Anda di halaman 1dari 17

BAB III

LANDASAN TEORI

3.1 Peledakan
Dalam operasi penambangan terutama pada tambang terbuka, peledakan
merupakan metode yang paling sering digunakan untuk memberaikan batuan.
Energi yang dihasilkan oleh bahan peledak akan ditransmisikan kedalam massa
batuan sehingga batuan tersebut terberaikan. Semakin besar energi yang
ditransmisikan kedalam massa batuan semakin kecil ukuran fragmentasi batuan
yang akan dihasilkan oleh proses peledakan tersebut.
Beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam peledakan jenjang yang
dapat dikelompokkan kedalam 3 aspek, yaitu:
1. Aspek Teknis
Dalam hal ini tolak ukurnya adalah keberhasilan target produksi.
Parameter penting yang harus diperhitungkan terutama adalah diameter lubang
ledak dan tinggi jenjang, kemudian parameter lainnya diperhitungkan berdasarkan
parameter tersebut.
2. Aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Pertimbangannya bertumpu pada seluruh aspek kegiatan kerja pengeboran
dan peledakan, termasuk medan kerjanya.
3. Aspek Lingkungan
Dampak Negatif peledakan menjadi kritis ketika pekerjaan peledakan
menghasilkan Vibrasi tinggi, menimbulkan gangguan akibat suara/getaran yang
sangat keras serta banyaknya batu terbang.
Suatu Operasi peledakan dibidang pertambangan dinyatakan berhasil
dengan baik apabila (Koesnaryo, 2001):
1. Target produksi terpenuhi (dinyatakan dalam ton/hari atau ton/bulan).
2. Penggunaan bahan peledak efisien yang dinyatakan dalam jumlah batuan yang
berhasil dibongkar per kilogram bahan peledak ( powder factor).
3. Diperoleh fragmentasi batuan berukuran merata dengan sedikit bongkah
(kurang dari 15% dari jumlah batuan yang terbongkar per peledakan).
4. Diperoleh dinding batuan yang stabil dan rata (tidak ada retakan–retakan).

14
5. Aman.
6. Dampak terhadap lingkungan minimal.

3.2 Pola Peledakan


Pola peledakan merupakan urutan waktu peledakan antara lubang-lubang
bor dalam satu baris dengan lubang bor pada baris berikutnya ataupun antara
lubang bor yang satu dengan lubang bor lainnya.
Berdasarkan arah runtuhan batuan maka pola peledakan dibedakan
menjadi:
a. Flat Face, flat face adalah pola peledakan dengan waktu tunda yang sama
untuk tiap deret lubang ledak .
b. “V” cut, yaitu arah runtuhan batuannya ke depan dan membentuk huruf V.
c. Burn Cut, yaitu ada beberapa lubang cut yang tidak diisi dengan bahan
peledak yang berfungsi sebagai bidang bebas terhadap lubang cut yang terisi.
Lubang kosong dapat dibuat lebih dari satu dengan ukuran yang lebih besar
dari pada lubang cut yang terisi.
d. Echelon, yaitu arah runtuhan batuannya ke salah satu sudut dari bidang
bebasnya.

Sumber: Koesnaryo, 2001.


Gambar 3.1 Pola Peledakan

15
Berdasarkan urutan waktu peledakan maka pola peledakan
diklasifikasikan sebagai berikut.
a. Pola peledakan serentak, yaitu pola yang menerapkan peledakan secara
serentak untuk semua lubang ledak.
b. Pola peledakan beruntun, yaitu pola yang menerapkan peledakan dengan waktu
tunda/delay antara baris yang satu dengan baris lainnya.

3.3 Geometri Peledakan


Menurut teori Richard L. Ash 1963, geometri peledakkan adalah variabel
yang terdiri dari Burden, Spacing, Stamming, Subdrilling, kedalaman lubang
tembak, dan tinggi jenjang.

3.3.1 Burden (B)


Burden merupakan jarak lubang tembak tegak lurus terhadap bidang bebas
terdekat.Harga burden ini menentukan besaran yang lain, dimana penentuan harga
burden dipengaruhi oleh diameter lubang tembak, jenis batuan dan bahan peledak
yang digunakan.
Rumus untuk menghitung harga burden adalah :

𝐾𝑏 𝑥 𝐷𝑒
𝐵= …………………………………………………..…………(3.1)
12

Dimana :
B = Burden (meter)
Kb = Burden ratio penyesuaian
De = Diameter lubang tembak (Hole) (inci)
(Sumber : R.L. Ash, 1963)

Burden ratio digunakan untuk menentukan besarnya burden. Harga


burden ratio (Kb) dipengaruhi oleh jenis batuan yang diledakkan, juga bahan
peledak yang digunakan. Peledakan yang dilakukan pada batuan yang bukan
standar perlu dilakukan penyesuaian harga Kb, dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
Kb = Kbstandar x AF1 x AF2…………………………………..……….(3.2)

16
Dimana :
KB = Burden Ratio
Kbs = Burden Ratio Standar
AF1 = Faktor penyesuaian karena pengaruh batuan
AF2 = Faktor penyesuaian pengaruh bahan peledak
(Sumber : R.L. Ash, 1963)

Untuk menghitung harga AF1 dan AF2 dapat digunakan persamaan rumus
sebagai berikut :
𝐷𝑠𝑡𝑑 1/3
𝐴𝐹1 = ( ) ……………………………………………………..(3.3)
𝐷𝑖

1/3
𝑆𝐺 𝑥 𝑉𝑒 2
𝐴𝐹 = (𝑆𝐺𝑠𝑡𝑑 𝑥 𝑉𝑠𝑡𝑑2 ) ………………………………………………..(3.4)

Keterangan :
Kb = Burden ratio penyesuaian
Kbst = Burden ratio standar, 30
AF1 = Faktor penyesuaian terhadap batuan
AF2 = Faktor penyesuaian terhadap bahan peledak
Dst = Density batuan standar, 160 pcf (2,82 T/m3)
Di = Density batuan setempat, 2,16 T/m3
Epi = Energi potensial bahan peledak yang digunakan
Epst = Energi potensial bahan peledak standar, Sg = 1,2
Ve = 12000 m/detik
(Sumber : R.L. Ash, 1963)

3.3.2 Spacing (S)


Spacing adalah jarak antara lubang tembak yang dirangkai dalam satu
baris. Pada umumnya penentuan spacing tergantung pada kedalaman lubang
tembak dan burden.
Rumus untuk menghitung harga spacing adalah :
𝑠 = 𝐾𝑠 𝑥 𝐵…………………………………………………………….(3.5)

17
Dimana :
S = Spacing (meter)
Ks = Spacing ratio, 1,2
B = Burden (meter)
(Sumber : R.L. Ash, 1963)

3.3.3 Subdrilling (J)


Subdrilling adalah bagian dari panjang lubang tembak yang terletak lebih
rendah dari lantai jenjang. Tujuan dibuat subdrilling agar batuan dapat diledakan
secara penuh dengan hasil lantai yang rata.
Rumus untuk menghitung harga subdrilling adalah :
J = Kj x B……………………………………………..………………..(3.6)

Dimana :
J = Subdrlling (meter)
Kj = Subdrilling ratio, 0,3
B = Burden (meter)
(Sumber : R.L. Ash, 1963)

3.3.4 Kedalaman Lubang Tembak (H)


Kedalaman lubang tembak tidak boleh lebih kecil dari burden, untuk
menghindari terjadinya over break. Rumus untuk menghitung harga kedalaman
lubang tembak adalah :
H = Kh x B…………………………………………………………….(3.7)

H = l + J……………………………………………………………….(3.8)

Dimana ;
H = Kedalaman lubang tembak (meter)
Kh = Kedalaman ratio 1,5
B = Burden (meter)
L = Tinggi jenjang diinginkan (meter)
J = Subdrilling (meter)
(Sumber : R.L. Ash, 1963)

18
3.3.5 Stemming (T)
Stemming merupakan bagian teratas dari suatu lubang ledak yang
merupakan kolom penutup isian bahan peledak. Stemming disebut juga‘Collar‘
dan sangat menentukan‘Stress balance‘ dalam lubang bor. Fungsi lainnya dari
stemming adalah mengurangi gas yang timbul.
Untuk mendapatkan Stress Balance, maka T = B. Biasanya KT standar
yang dipakai adalah 0,70 dan ini sudah cukup untuk mengontrol ‘AirBlast‘ dan
‘Stress Balance‘. Untuk menentukan tinggi stemming dapat ditentukan dengan
persamaan rumus sebagai berikut :
Rumus untuk menghitung harga stemming adalah :
T=

Kt x B……………………………………………………………...(3.9)

Dimana ;
T = Stemming (meter)
Kt = Stemming ratio, 0,7
B = Burden (meter)
(Sumber : R.L. Ash, 1963)

3.3.6 Tinggi Jenjang


Tinggi jenjang adalah total kedalaman lubang ledak di kurangi dengan
subdrilling. Dapat ditentukan dengan persamaan rumus sebagai berikut :
L = H − J……………………………………………………………..(3.10)

Dimana :

L = Tinggi Jenjang (meter)


H = Kedalaman Lubang ledak (meter)
J = subdrilling (meter)
(Sumber : R.L. Ash, 1963)

3.4 Bahan Peledak


Bahan Peledak adalah bahan atau zat yang berbentuk padat, cair, gas atau
pencampuran yang apabila dikenai atau terkena suatu aksi berupa panas, benturan

19
atau gesekan, akan berubah secara kimiawi menjadi zat-zat yang lebih stabil, yang
sebagian besar atau seluruhnya berbentuk gas atau perubahan tersebut
berlangsung dalam waktu yang amat singkat, disertai efek panas dan tekanan yang
tinggi.
Sehubungan dengan penggunaan bahan peledak dalam proses
pembongkaran batuan maka ada beberapa hal yang harus dihitung yaitu :

3.4.1 Bahan Peledak Anfo


Dalam penggunaan Anfo sesuai dengan ketentuan Zero Oxygen Balance
maka perbandingan yang digunakan adalah 94,5% ammonium nitrat (AN) dan
5,5% Fuel Oil (FO)
Persamaan yang digunakan untuk menghitung berat Anfo adalah :
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 ℎ𝑎𝑛𝑑𝑎𝑘
Berat AN= 𝑥 94,5% ……………………………....(3.11)
100
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 ℎ𝑎𝑛𝑑𝑎𝑘
Berat FO = 𝑥 5,5%
100

Dimana :
AN = Ammonium Nitrat
FO = Fuel Oil

3.4.2 Loading Density (de)


Loading density diartikan sebagai berat bahan peledak per satuan tinggi
panjang kolom isian.
Rumus yang digunakan untuk menghitung loading density adalah :
𝑑𝑒 = 0.34 𝑥 𝐷𝑒 2 𝑥 𝑆𝐺…………………………………………….....(3.12)

Dimana :
de = Loading density (lb/ft)
SG = Berat jenis bahan peledak
De = Diameter lubang tembak (meter)
(Sumber : C.J. Konya, 1990)

3.4.3 Panjang Kolom Isian (Pc)

20
Rumus yang digunakan untuk menghitung harga panjang kolom isian
bahan peledak adalah :
PC = H − T…………………………………………………..(3.13)
Dimana :
Pc = Panjang kolom isian (meter)
H = Kedalaman lubang tembak,
T = Stemming (meter)
(Sumber : C.J. Konya, 1990)

3.4.4 Jumlah Bahan Peledak Perlubang Ledak (E)


Untuk memperkirakan jumlah bahan peledak yang digunakan setiap
lubang tembak, dipengaruhi oleh kedua factor diatas.
Rumus yang digunakan untuk menghitung jumlah bahan peledak adalah:

𝐸 = 𝑑𝑒 𝑥 𝑃𝑐………………………………………………………...(3.14)

Dimana ;
E = Jumlah bahan peledak setiap lubang (Kg)
Pc = Panjang kolom isian (meter)
De = Loading density, (ld/ft atau Kg/m)
(Sumber : C.J. Konya, 1990)

3.4.5 Total Bahan Peledak Yang Dibutuhkan


Rumus yang digunakan untuk menghitung jumlah bahan peledak yang
dibutuhkan adalah :
𝐸 = 𝑛 𝑥 𝑒…………………………………………………………......(3.15)

Dimana :
E = Total bahan peledak yang dibutuhkan
n = Jumlah lubang bor
e = Jumlah bahan peledak
(Sumber : C.J. Konya, 1990)

3.4.6 Powder Factor (Pf)

21
Powder factor adalah perbandingan antara berat bahan peledak yang
digunakan dengan jumlah batuan yang terbongkar. Nilai powder factor dapat
dinyatakan dalam satuan kg/ton. Powder factor patut diperhitungkan agar dapat
diketahui tingkat efektif suatu pekerjaan peledakan serta efisiensi penggunaan
bahan peledak
Powder factor menunjukkan jumlah bahan peledak yang dipakai untuk
memperoleh satu satuan volume atau berat fragmentasi. Powder factor cenderung
mengarah pada nilai ekonomis suatu proses peledakan karena berkaitan dengan
harga bahan peledak yang digunakan dan perolehan fragmentasi peledakan yang
akan dijual.
Nilai powder factor sangat mempengaruhi oleh jumlah bidang bebas,
geometri peledakan, pola peledakan dan struktur geologi. Ketika nilai powder
factor besar dapat dikatakan bahwa kuantitas bahan peledak yang dipakai telah
cukup efektif, sedangkan bila nilai powder factor kecil, mengindikasikan bahwa
pekerjaan peledakan yang dilakukan masih kurang efektif, bila banyak sedikitnya
jumlah bahan peledak dalam suatu lubang sangat mempengaruhi efektifitas dan
efisiensi pekerjaan yang ditinjau dari segi penggunaan bahan peledak. Persamaan
yang digunakan untuk menghitung powder factor adalah :
𝑊
𝑃𝑓 = …………………………………………………………....(3.16)
𝐸

Di mana :U
Pf = Powder factor
E = Jumlah bahan peledak (Kg)
W = Berat batuan terbongkar (ton)
(Sumber : C.J. Konya, 1990)

3.5 Energi Peledakan


Setiap peledakan akan menghasilkan energi yang menyebabkan terjadinya
berbagai jenis gelombang yang merambat di dalam bumi, di permukaan bumi
maupun di udara. Salah satu penyebab pecahnya batuan dari bergetarnya bumi
karena peledakan adalah adanya rambatan gelombang tersebut. Reaksi peledakan
tidak saja menghasilkan gelombang energi yang mampu menghancurkan massa
batuan padat, tetapi masih ada tersisa energi yang menghasilkan gelombang dan

22
terus merambat dengan kecepatan yang kian melemah seiring dengan semakin
jauh jarak rambatannya dari pusat ledakan. Tetapi dalam kasus yang khusus
semakin jauh ternyata getaran yang ditimbulkan lebih besar.
Energi peledakan akan membentuk gelombang tekan yang menghasilkan
deformasi plastis terhadap batuan, sehingga batuan akan pecah atau hancur.
Sebagian dari gelombang tersebut terus merambat menembus bumi atau batuan
membentuk gelombang tegangan-regangan didalam batas zona elastis batuan.
Gelombang yang menjalar didalam batas zona elastis batuan disebut pula
gelombang seismik yang tidak akan memecahkan batuan tetapi hanya
menggetarkannya.
Dari uraian diatas, maka energi yang dihasilkan peledakan dapat
dikategorikan kedalam dua bagian, yaitu energi terpakai (work energy) dari energi
sisa (waste energy). Energi terpakai adalah energi yang menghasilkan tenaga atau
daya yang betul-betul digunakan untuk menghancurkan batuan. Energi ini terdiri
dari 2 jenis, yaitu energi kejut dan energi gas. Gambar 3.5 memperlihatkan skema
pembagian energi peledakan.

ENERGI PELEDAKAN
(EXPLOSIVE ENERGY)

ENERGI TERPAKAI ENERGI TAK TERPAKAI


(WORK ENERGY) (WASTE ENERGY)

ENERGI KEJUT ENERGI GAS ENERGI PANAS ENERGI SINAR ENERGI SUARA ENERGI SEISMIK
(SHOCK ENERGY) (GAS ENERGY) (HEAT ENERGY) (LIGHT ENERGY) (SOUND ENERGY) (SEISMIC ENERGY)

Sumber: Marmer, 2008


Gambar 3.5 Distribusi Energi Hasil Peledakan

Energi sisa yang dominan dibicarakan adalah energi seismik dan suara.
Energi seismik akan menghasilkan gelombang seismik yang ditransmisikan atau

23
dirambatkan ke dalam bumi atau massa batuan yang solid dari ke permukaan.
Gelombang inilah yang menyebabkan getaran peledakan yang dapat dirasakan
oleh kita dan dapat merusak struktur bangunan. Peledakan yang diatur dan
diperhitungkan dengan seksama dapat mengurangi efek gelombang seismik.
Terdapat dua jenis gelombang seismik, yaitu gelombang badan (body
waves) dan gelombang permukaan (surface waves). Disebut gelombang badan
karena gelombang ini merambat dan menembus ke dalam bumi atau massa
batuan. Gelombang badan ada dua jenis, yaitu gelombang kompresi
(compressional waves) dan gelombang geser (shear waves).
1. Gelombang kompresi disebut juga gelombang primer (P-waves) menghasilkan
gerakan tekan-tarik secara bergantian yang menimbulkan kompresi dan dilatasi
(pengembangan) serta merambat dan bergetar searah dengan arah perambatan
gelombang.
2. Gelombang geser disebut juga gelombang sekunder (S-waves) adalah
gelombang melintang (transversal) menghasilkan getaran partikel naik-turun
dengan arah tegak lurus perambatan gelombang.
Gelombang kompresi dan geser merambat dengan kecepatan yang
berbeda, dimana gelombang kompresi selalu bergerak lebih cepat. Gelombang
permukaan merambat diluar lapisan atau dipermukaan bumi dan tidak menembus
bumi atau lapisan batuan. Gelombang ini akan terbentuk apabila gelombang
badan menemukan permukaan bebas dan mengalami refleksi. Terdapat dua jenis
gelombang permukaan, yaitu:
1. Gelombang Rayleigh (R-wave), yaitu gerakan partikel yang berputar mundur
(retograde circular motion) membuat lintasan eliptis pada bidang vertikal
sejajar arah perambatan gelombang.
2. Gelombang Love (Q-wave), yaitu gerakan partikel tegak lurus dengan arah
perambatan gelombang, (Marmer, 2008).

24
Sumber: Marmer, 2008
Gambar 3.6 Ilustrasi Gelombang Seismik

3.6 Mekanisme Pecahan Batuan


Proses pecahnya batuan akibat energi ledakan dapat dibagi dalam tiga
tingkat yaitu :
1. Proses Pemecahan Tingkat Satu (Dynamic Loading)
Pada saat bahan peledak diinisiasi dan meledak, akan menimbulkan
tekanan tinggi yang dapat menghancurkan batuan disekitar lubang ledak.
Gelombang kejut (shock wave) yang meninggalkan lubang ledak merambat
dengan kecepatan 3000-5.000 m/det akan mengakibatkan tegangan tangensial
(tangensial stresses) dan menimbulkan rekahan radial (radial cracks) yang
menjalar dari lubang ledak. Rekahan radial pertama terjadi dalam waktu 1- 2 ms.
2. Proses pemecahan tingkat II (Quasi-static Loading)
Tekanan akibat gelombang kejut yang meninggalkan lubang ledak pada
proses I adalah positif. Apabila gelombang kejut mencapai bidang bebas (free
face), gelombang tersebut akan dipantulkan. Tekanannya akan turun dengan cepat
dan kemudian berubah menjadi negatif serta menimbulkan gelombang tarik
(tension wave). Gelombang tarik ini merambat kembali ke dalam batuan. Oleh
karena kuat tarik batuan lebih kecil daripada kuat tekan, maka akan terjadi
rekahan-rekahan karena tegangan tarik (tensile stress) yang cukup kuat sehingga
menyebabkan “scabbing” atau “spalling” pada bidang bebas.

25
Dalam proses pemecahan tahap I dan II fungsi dari energi yang
ditimbulkan gelombang kejut adalah membuat sejumlah rekahan-rekahan kecil
pada batuan. Secara teoritis jumlah energi gelombang kejut hanya berkisar antara
5-15% dari energi total bahan peledak. Jadi gelombang kejut tidak secara
langsung memecahkan batuan, tetapi mempersiapkan kondisi batuan untuk proses
pemecahan akhir.
3. Proses Pemecahan Tingkat III (Release of Loading)
Dibawah pengaruh tekanan yang sangat tinggi dari gas-gas hasil peledakan
maka rekahan radial utama pada tahap II akan diperlebar secara cepat oleh efek
kombinasi dari tegangan tarik, yang disebabkan oleh kompresi radial (radial
compression) dan pembajian (pneumatic wedging). Apabila massa batuan di
depan lubang ledak gagal mempertahankan posisinya dan bergerak ke depan maka
tegangan tekan yang tinggi yang berada dalam batuan akan dilepaskan. Akibat
pelepasan tegangan tekan ini, akan menimbulkan tegangan tarik yang besar di
dalam massa batuan. Tegangan tarik inilah yang melengkapi proses pemecahan
batuan tahap II. Rekahan yang terjadi pada tahap II merupakan bidang-bidang
lemah yang membantu fragmentasi utama pada proses peledakan.

Sumber: Koesnaryo, 2001


Gambar 3.7 Mekanisme Pecahnya Batuan

3.7 Fragmentasi
Fragmentasi adalah istilah umum untuk menunjukkan ukuran setiap
bongkah batuan hasil peledakan. Untuk tujuan tertentu ukuran fragmentasi yang
besar atau boulder diperlukan, misalnya disusun sebagai penghalang (barrier) di

26
tepi jalan tambang. Namun kebanyakan diinginkan ukuran fragmentasi yang kecil
karena penanganan selanjutnya akan lebih mudah. Ukuran fragmentasi terbesar
biasanya dibatasi oleh dimensi mangkok alat gali (excavator atau shovel) yang
akan memuatnya ke dalam truck dan oleh ukuran gap bukaan crusher.

3.7.1 Metode Pengukuran Fragmentasi


Empat metode pengukuran fragmentasi peledakan (Hustrulid, 1999)
adalah sebagai berikut :
a. Pengayakan (sieving)
Metode ini menggunakan ayakan dengan ukuran saringan berbeda untuk
mengetahui persentase lolos fragmentasi batuan hasil peledakan.
b. Boulder counting (production statistic)
Metode ini mengukur hasil peledakan melalui proses berikutnya, apakah
terdapat kendala dalam proses tersebut, misalnya melalui pengamatan
diggingrate, secondary breakage dan produktivitas crusher.
c. Image analysis (photographic)
Metode ini menggunakan perangkat lunak (software) dalam melakukan analisis
fragmentasi. Software tersebut antara lain Fragsize, Split Engineering,
gold size, power sieve, fragscan, wipfrag, dll.
d. Manual (Measurement)
Dilakukan pengamatan dan pengukuran secara manual di lapangan, dalam
satuan luas tertentu yang dianggap mewakili (representatif).

3.7.2 Prediksi Distribusi Fragmentasi


Untuk menghitung distribusi rata-rata fragmentasi batuan digunakan
persamaan Kuznetsov berikut:
𝑉 0,8
𝑥̅ = 𝐴𝑥 (𝑄) 𝑥 𝑄 0,167……………………………………………...(3.17)

dengan:
𝑋̅ = Ukuran rata-rata fragmentasi batuan (cm)
A = Faktor batuan
Vo = Volume batuan yang terbongkar (m3)
Q = Berat bahan peledak tiap lubang ledak (kg)

27
Persamaan di atas untuk tipe bahan peledak TNT. Untuk itu Cunningham
memodifikasi persamaan tersebut untuk memenuhi penggunaan ANFO sebagai
bahan peledak. Sehingga pesamaan tersebut menjadi :

𝑣 0,8 𝐸 −0,63
𝑥̅ = 𝐴𝑥 (𝑄) 𝑥𝑄 0,1667 (115) …………………………………...(3.18)

Dengan :
Q = Berat bahan peledak tiap lubang ledak (kg)
E = RWS bahan peledak : ANFO = 100, TNT = 115
(Sumber : Cunningham 1983)

Untuk menentukan distribusi fragmen batuan hasil peledakan digunakan


persamaan Rossin – Rammler, yaitu :

𝑋 𝑛
−( )
𝑅=𝑒 𝑋𝑐 ………………………………………………………...(3.19)

Dengan :
R = Persentase massa batuan yang lolos dengan ukuran X (cm)
Xc = Karakteristik ukuran (cm)
X = Ukuran Ayakan (cm)
N = Indeks Keseragaman
(Sumber : Rossin – Rammler 1933)

Karakteristik ukuran (Xc) dihitung dengan menggunakan rumus berikut


ini:
𝑥
𝑋𝑐 = 1 ……………………………………………………….(3.20)
(0,693) ⁄𝑛

Indeks n adalah indeks keseragaman yang dikembangkan oleh


Cunningham dengan menggunakan parameter dari desain peledakan. Indeks
keseragaman (n) ditentukan dengan persamaan di bawah ini :
14𝐵 𝑊 𝐴−1 𝑃𝐶
𝑛 = (2,2 − ) (1 − 𝐵 ) (1 + ) ( 𝐻 )…………………………..(3.21)
𝐷 2

Dengan :
B = Burden (m)
D = Diameter (m)
W = Standar deviasi lubang bor (m)
A = Ratio spasi/burden

28
PC = Panjang muatan handak (m)
H =Tinggi jenjang (m)
(Sumber : Konya, 1990; 135-136 )

3.7.3 Pembobotan Faktor Batuan


Salah satu data masukan untuk model Kuz-Ram adalah faktor batuan yang
diperoleh dari indeks kemampuledakkan atau Blastability index (BI). Nilai BI
ditentukan dari penjumlahan bobot lima parameter yaitu : Rock mass description
(RMD), join plane spacing (JPS), joint plane orientation (JPO), specific gravity
influence (SGI), dan Moh’s hardness (H). Parameter-parameter tersebut
kenyataanya sangat bervariasi. Secara lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 3.7.3 Pembobotan Masa Batuan Untuk Peledakan
Parameter Pembobotan
1. Rock Mass Description (RMD)
 Powdery / Friable 10
 Blocky 20
 Totally massive 50
2. Joint Mass Description (JPS)
 Close (Spasi < 0,1 m) 10
 Intermediate (Spasi 0,1 - 1 m) 20
 Wide (Spasi > 1 m) 50
3. Joint Plane Orientation (JPO)
 Horizontal 10
 Dip out of face 20
 Strike normal to face 30
 Dip into face 40
4. Spesific Gravity Influence (SGI)
SGI = 25 x SG – 50
5. Hardness (H) 1 - 10
Sumber : Hustrulid, 1999

29
Tabel 3.7.3 Skala Moh’s
Kekerasan Nama Mineral Alat penguji
1 Talc (Talk) Sangat Lunak
2 Gypsum (Gipsum) Tergores kuku manusia
3 Calcite (Kalsit) Tergores koin perunggu
4 Flourspar (Flourite) Tergores paku besi
5 Apatite (Apatit) Tergores kaca
6 Feldspar / Ortoklas Tergores pisau lipat
7 Quartz (Kuarsa) Tergores pisau baja
8 Topaz Tergores amplas
9 Corondum
10 Diamond (Intan)
Sumber : Hustrulid, 1999
Hubungan antara kelima parameter tersebut terhadap BI dapat dilihat pada
persamaan berikut :
BI = 0,5 (RMD+JPS+JPO+SGI+H) ………………………………(3.22)
Dengan :
BI = Blastability index
RMD = Rock Mass Description
JPS = Joint Mass Description
JPO = Joint Plane Orientation
SGI = Spesific Gravity Influence
H = Hardness
(sumber : Hustrulid, 1999)
Persamaan yang memberikan hubungan antara faktor batuan dengan
indeks kemampuledakkan suatu batuan menurut Lily (1986) adalah sebagai
berikut :
RF = 0,12 x (BI) …….………………………………………….(3.23)
Dengan :
BI = Blastability index
(Sumber :Lily, 1986)

30

Anda mungkin juga menyukai