SINUSITIS
Sinus maksila atau antrum Highmore adalah suatu rongga pneumatic berbentuk
piramid yang tak teratur dengan dasarnya menghadap ke fosanasalis dan
puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Sinus ini merupakan
sinus yang terbesar diantara sinus paranasal. Pengukuran volume sinus maksila
dapat di lakukan dengan dua cara, yaitu rontgenologik dan manometrik. Pada saat
lahir volume sinus maksila dan sekitarnya berukuran 6 – 8 ml dan penuh dengan
cairan, sedangkan volume sinus maksila orang dewasakira -kira 15 ml.
PENGERTIAN
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang
terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal
dan sinusitis sfenoid. Yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan
sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusuitis sfenoid lebih jarang.
Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal.
Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar
yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyps (EPOS) menggunakan istilah rinosinusitis menggantikan sinusitis
(Fokkens et al., 2007).
Sinus maksila disebut juga antrum High more, merupakan sinus yang sering
terinfeksi, oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) letak
ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau drainase dari sinus
maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah dasar
akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis
maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus medius , disekitar hiatus
semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.
Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut, berulang atau kronis. Sinusitis maksilaris
akut berlangsung tidak lebih dari tiga minggu. Sinusitis akut dapat sembuh
sempurna jika diterapi dengan baik, tanpa adanya residu kerusakan jaringan
mukosa. Sinusitis berulang terjadi lebih sering tapi tidak terjadi kerusakan
signifikan pada membran mukosa. Sinusitis kronis berlangsung selama 3 bulan
atau lebih dengan gejala yang terjadi selama lebih dari dua puluh hari.
ETIOLOGI
Penyebab sinusitis akut ialah (1) rinitis akut, (2) infeksi faring, seprti faringitis,
adenoiditis, tonsilitis akut, (3) infeksi gigi rahang atas M1, M2, M3 serta P1 dan
P2 (dentogen), (4) berenang dan menyelam, (5) trauma dapat menyebabkan
perdarahan mukosa sinus paranasal, (6) barotrauma dapat menyebabkan nekrosis
mukosa.
PATHWAYS SINUSITIS
Reaksi Alergi/Hipersensitivitas
Persisten
peradangan sinus
irigasi sinus
MANIFESTASI KLINIK
Gejala rinosinusitis kronik tidak jelas. Selama eksaserbasi akut, gejala mirip
dengan gejala rinosinusitis akut; namun, diluar masa itu, gejala berupa suatu
perasaan penuh pada wajah dan hidung, dan hipersekresi yang seringkali
mukopurulen. Kadang-kadang terdapat nyeri kepala, namun gejala ini seringkali
tidak tepat dianggap sebagai gejala penyakit sinus. Hidung biasanya sedikit
tersumbat dan tentunya ada gejala-gejala faktor predisposisi, seperti rinitis alergi
yang menetap dan keluhan-keluhannya yang menonjol. Batuk kronik dengan
laringitis kronik ringan dan faringitis seringkali menyertai rinosinusitis kronik dan
gejala-gejala utama ini dapat menyebabkan pasien datang ke dokter (Hilger, 2012)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.
Transluminasi bermakna bila salah satu sinus yang sakit, sehingga tampak lebih
suram dibandingkan dengan sisi yang normal. Pemeriksaan radiologik yang dibuat
adalah posisi waters. Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau
batas cairan-udara (air fluid level) pada sinus yang sakit.
PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Inhalasi
Inhalasi banyak menolong penderita dewasa karena mukosa hidung dapat
istirahat dengan menghirup udara yang sudah dihangatkan dan lembab.
2. Pungsi percobaan dan pencucian
Apabila cara diatas tak banyak menolong mengurangi gejala dan
menyembuhkan penyakitnya dengan cepat, mungkin karena drainase sinus
kurang baik atau adanya kuman yang resisten. Kedua hal tersebut dapat
diketahui dengan pungsi percobaan dan pencucian. Dengan anestesi lokal,
trokar dan kanula dimasukkan melalui meatus inferior dan ditusukkan
menembus dinding naso-antral. Kemudian dimasukkan cairan garam faal steril
ke dalam antrum dan selanjutnya isi antrum dihisap kembali kedalam tabung
suntikan. Apabila setelah dua sampai tiga kali pencucian infeksi belum sirna,
maka mungkin diperlukan tindakan antrostomi intranasal.
PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
1. Pre Operative
a. Persiapan fisik, meliputi : status kesehatan fisik secara umum, status
nutrisi, keseimbangan cairan dan elektrolit, kebersihan lambung dan kolon,
pencukuran daerah operasi, personal hyegene, pengosongan kandung
kemih.
b. Latihan Pra Operasi, meliputi : Latihan nafas dalam, latihan batuk efektif,
latihan gerak sendi.
c. Analisa Faktor Risiko terhadap pembedahan, meliputi Usia,
nutrisi, penyakit kronis, ketidak sesuaian respon neuroendokrin, merokok,
alcohol dan obat-obatan.
d. Pemerikasaan Penunjang dan Pemeriksaan status anestesi
e. Inform Concern meliputi : tindakan pembedahan dan
pemberian darah serta produk darah.
f. Persiapan Mental / Psikis, meliputi : Pemberian edukasi tentang
prosedur tindakan dan prosedur sesudah operasi, memberikan kesempatan
kepada klien dan keluarga untuk menanyakan tentang prosedur yang ada
dan melakukan kolaborasi pemberian obat-obatan untuk menurunkan
kecemasan
2. Intra Operatif
a. Safety Mangement,meliputi : Pengaturan posisi pasien, memasang
alat grounding, memberikan dukungan secara fisik dan psikis pada pasien
dan memastikan peralatan sudah siap untuk dipergunakan sesuai
kebutuhan.
b. Monitoring Fisiologis, meliputi : Melakukan penghitungan balance
cairan, monitoring kondisi kardiopulmonal dan monitoring perubahan vital
sign.
c. Monitoring Psikologis ( bila pasien sadar ), antara lain : memberikan
dukungan emosional, berdiri dekat klien, mengkaji status emosional dan
mengkomunikasikan status emosional klien dengan tim kesehatan lain
( jika terjadi perubahan ).
d. Pengaturan dan koordinasi nursing care, antara lain : memasang
keamanan fisik pasien dan mempertahankan prinsip dan teknik asepsis.
3. Post Operatif
a. Pemindahan pasien dari kamar operasi ke unit perawatan pasca anestesi (
Recovery Room ), Tujuan Perawatan pasien di recovery room , antara lain :
mempertahankan jalan nafas, mempertahankan ventilasi/oksigenasi,
mempertahankan sirkulasi darah, observasi keadaan umum, vomitus dan
drainage, balance cairan, mempertahankan kenyamanan dan mencegah
risiko injuri.
b. Tranport pasien ke ruang rawat, dilakukan setelah memenuhi score post
anestesi untuk bisa dipindahkan. Faktor yang perlu diperhatikan dalam
transport pasien adalah : perencanaan, sumber daya manusia, equipment/
peralatan, prosedur dan passage ( jalur lintasan ).
c. Perawatan di ruang rawat, meliputi : monitoring tanda-tanda vital,
manajemen luka, mobilisasi dini, rehabilitasi dan discharge planning
( persiapan pasien pulang ke rumah ).
d. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan rinoskopi anterior dan rinoskopi posterior serta palpasi
turut membantu menemukan nyeri tekan pada daerah sinus yang
terkena
B. PENGKAJIAN SEKUNDER
Foto rontgen sinus paranasal
Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain:
1. Waters
2. PA
3. Lateral.
Pembengkakan permukaan mukosa yang berbatas tegas pada resesus alveolaris
antrum maksila biasanya terjadi akibat infeksi yang berasal dari gigi atau daerah
periodontal. Jika cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus, selalu dapat dilihat
adanya batas cairan (air fluid level) pada foto dengan posisi tegak.
DAFTAR PUSTAKA
1. Aisyah. 2015. Buku Ajar Sistem Telinga, Hidung dan Tenggorokan :
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammdiyah Semarang.
www.repository.unimus.ac.id
2. Carpenito, & Lyinda Jual. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi
ke- 10. Alih Bahasa, Yasmin Asih. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
3. Doenges, E.M. 2008. Nursing Diagnosis Manual: planning,
individualizing, and documenting client care. 2nd ed. United States of
America: F. A. Davis Company
4. Grace A pierce. 2006. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Jakarta:
Erlangga.
5. Kumar. 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta: EGC.
6. Nancy R dan Judith M Wilkinson. 2012. Buku Saku Diagnosis
Keperawatan Nanda Nic Noc. Jakarta: EGC.
7. Price Sylvia, & Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Dasar Penyakit
(Pathophysiologi: Clinical Concepts of Diasase Process. Jakarta : EGC.
8. Reksoprodjo, Soelarto (ed). 2010. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah.
Tangerang: Bina Rupa Aksara.
9. Sjamsuhidajat dan Wim De Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Vol 3.
Jakarta: EGC.
10. Suzanne, C Smeltser (ed). 2003. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC.