Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

SINUSITIS

ANATOMI DAN FISIOLOGI


Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang paling sulit
didiskripsikan oleh karena bentuknya yang sangat bervariasi pada setiap individu,
ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maxilla, sinus etmoid, sinus frontal
dan sinus sfenoid1. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernafasan yang
mengalami modifikasi dan menghasilkan mukus dan silia, sekret disalurkan
kedalam rongga hidung melalui ostium masing-masing sinus9. Secara klinis sinus
paranasal dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok anterior yang terdiri sinus
frontalis, sinus maksila dan sinus etmoid anterior, muara sinus kelompok ini
bermuara di meatus media, dekat infundibulum, sedangkan kelompok posterior
terdiri dari sinus etmoid posterior dan sphenoid, ostiumnya terletak di meatus
superior.

Sinus maksila atau antrum Highmore adalah suatu rongga pneumatic berbentuk
piramid yang tak teratur dengan dasarnya menghadap ke fosanasalis dan
puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Sinus ini merupakan
sinus yang terbesar diantara sinus paranasal. Pengukuran volume sinus maksila
dapat di lakukan dengan dua cara, yaitu rontgenologik dan manometrik. Pada saat
lahir volume sinus maksila dan sekitarnya berukuran 6 – 8 ml dan penuh dengan
cairan, sedangkan volume sinus maksila orang dewasakira -kira 15 ml.

Tidak ada perbedaan kapasitas antara laki-laki dan perempuan.


Ukuran kedua sinus maksila kanan dan kiri tidak selalu sama, tetapi diantara sinus
paranasal yang lain, sinus maksila yang paling simetris antara kanan dan kiri serta
paling sedikit mengalami variasi dalam perkembangan. Besar kecilnya rongga
sinus maksila terutama tergantung pada tebal tipisnya dinding sinus. Ukuran rata-
rata pada bayi baru lahir 7 - 8 x 4 – 6 mm dan untuk 15 tahun 31 – 32 x 18 – 20 x
19 – 20 mm serta pada orang dewasa diperoleh ukuran sumbu anteroposteror 34
mm, tinggi 33 mm dan lebar 23 mm.

Sinus mempunyai beberapa dinding, anterior dibentuk oleh permukaan maksila os


maksila, yang disebut fosa kanina. Dinding posterior dibentuk oleh permukaan
infratemporal maksila. Dinding medial dibentuk oleh dinding lateral rongga
hidung. Dinding superior dibentuk oleh dasar orbita dan dinding inferior oleh
prosesus alveolaris dan palatum.

PENGERTIAN
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang
terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal
dan sinusitis sfenoid. Yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan
sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusuitis sfenoid lebih jarang.

Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal.
Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar
yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyps (EPOS) menggunakan istilah rinosinusitis menggantikan sinusitis
(Fokkens et al., 2007).

Sinus maksila disebut juga antrum High more, merupakan sinus yang sering
terinfeksi, oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) letak
ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau drainase dari sinus
maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah dasar
akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis
maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus medius , disekitar hiatus
semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.

Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut, berulang atau kronis. Sinusitis maksilaris
akut berlangsung tidak lebih dari tiga minggu. Sinusitis akut dapat sembuh
sempurna jika diterapi dengan baik, tanpa adanya residu kerusakan jaringan
mukosa. Sinusitis berulang terjadi lebih sering tapi tidak terjadi kerusakan
signifikan pada membran mukosa. Sinusitis kronis berlangsung selama 3 bulan
atau lebih dengan gejala yang terjadi selama lebih dari dua puluh hari.

ETIOLOGI
Penyebab sinusitis akut ialah (1) rinitis akut, (2) infeksi faring, seprti faringitis,
adenoiditis, tonsilitis akut, (3) infeksi gigi rahang atas M1, M2, M3 serta P1 dan
P2 (dentogen), (4) berenang dan menyelam, (5) trauma dapat menyebabkan
perdarahan mukosa sinus paranasal, (6) barotrauma dapat menyebabkan nekrosis
mukosa.

Sinusitis maksilaris dengan asal geligi. Bentuk penyakit geligi-maksilaris yang


khusus bertanggung jawab pada 10 persen kasus sinusitis yang terjadi setelah
gangguan pada gigi. Penyebab tersering adalah ekstraksi gigi molar, biasanya
molar pertama, dimana sepotong kecil tulang di antara akar gigi molar dan sinus
maksilaris ikut terangkat.
FATOFISIOLOGI DAN PATHWAYS
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain (1)
sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu
keseimbangan kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan
tekanan udara dan (6) membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga
hidung.

Fungsi sinus paranasal dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pertahanan


mukosilier, ostium sinus yang tetap terbuka dan pertahanan tubuh baik lokal
maupun sistemik. Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat
mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara
teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur
yang sudah tertentu polanya.

Bila terjadi edema di kompleks osteomeatal, mukosa yang letaknya berhadapan


akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat
dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus, sehingga
silia menjadi kurang aktif dan lendir yang di produksi mukosa sinus menjadi lebih
kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri patogen. Bila
sumbatan berlangsung terus, akan terjadi hipoksia dan retensi lendir sehingga
timbul infeksi oleh bakteri anaerob.1 Bakteri yang sering ditemukan pada sinusitis
kronik adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella
catarrhalis, Streptococcus B hemoliticus, Staphylococcus aureus, kuman anaerob
jarang ditemukan.1 Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi hipertrofi,
polipoid atau pembentukan polip dan kista.

Reaksi peradangan berjalan menurut tahap-tahap tertentu yang khas. Pelebaran


kapiler darah akan memperlambat aliran darah sehingga akan mengeluarkan fibrin
dan eksudat serta migrasi leukosit menembus dinding pembuluh darah
membentuk sel-sel nanah dalam eksudat. Tetapi bilamana terjadi pada selaput
lendir, maka pada saat permulaan vasodilatasi terjadi peningkatan produksi mukus
dari kelenjar mukus sehingga nanah yang terjadi bukan murni sebagai nanah,
tetapi mukopus.

PATHWAYS SINUSITIS
Reaksi Alergi/Hipersensitivitas

Edema mukosa nasal


(Pembengkakan mukosa hidung)

Persisten

peradangan sinus

gangguan jalan nafas

irigasi sinus

kecemasan perdarahan nyeri akut

MANIFESTASI KLINIK
Gejala rinosinusitis kronik tidak jelas. Selama eksaserbasi akut, gejala mirip
dengan gejala rinosinusitis akut; namun, diluar masa itu, gejala berupa suatu
perasaan penuh pada wajah dan hidung, dan hipersekresi yang seringkali
mukopurulen. Kadang-kadang terdapat nyeri kepala, namun gejala ini seringkali
tidak tepat dianggap sebagai gejala penyakit sinus. Hidung biasanya sedikit
tersumbat dan tentunya ada gejala-gejala faktor predisposisi, seperti rinitis alergi
yang menetap dan keluhan-keluhannya yang menonjol. Batuk kronik dengan
laringitis kronik ringan dan faringitis seringkali menyertai rinosinusitis kronik dan
gejala-gejala utama ini dapat menyebabkan pasien datang ke dokter (Hilger, 2012)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.
Transluminasi bermakna bila salah satu sinus yang sakit, sehingga tampak lebih
suram dibandingkan dengan sisi yang normal. Pemeriksaan radiologik yang dibuat
adalah posisi waters. Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau
batas cairan-udara (air fluid level) pada sinus yang sakit.

Pemeriksaan mikrobiologik atau biakan hapusan hidung dilakukan dengan


mengambil sekret dari meatus medius. Mungkin ditemukan bermacam-macam
bakteri yang merupakan flora normal atau kuman patogen, seperti Pneumokokus,
Streptokokus, Stafilokokus dan Haemofilus influenza. Selain itu mungkin
ditemukan juga virus atau jamur.

PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Inhalasi
Inhalasi banyak menolong penderita dewasa karena mukosa hidung dapat
istirahat dengan menghirup udara yang sudah dihangatkan dan lembab.
2. Pungsi percobaan dan pencucian
Apabila cara diatas tak banyak menolong mengurangi gejala dan
menyembuhkan penyakitnya dengan cepat, mungkin karena drainase sinus
kurang baik atau adanya kuman yang resisten. Kedua hal tersebut dapat
diketahui dengan pungsi percobaan dan pencucian. Dengan anestesi lokal,
trokar dan kanula dimasukkan melalui meatus inferior dan ditusukkan
menembus dinding naso-antral. Kemudian dimasukkan cairan garam faal steril
ke dalam antrum dan selanjutnya isi antrum dihisap kembali kedalam tabung
suntikan. Apabila setelah dua sampai tiga kali pencucian infeksi belum sirna,
maka mungkin diperlukan tindakan antrostomi intranasal.

PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
1. Pre Operative
a. Persiapan fisik, meliputi : status kesehatan fisik secara umum, status
nutrisi, keseimbangan cairan dan elektrolit, kebersihan lambung dan kolon,
pencukuran daerah operasi, personal hyegene, pengosongan kandung
kemih.
b. Latihan Pra Operasi, meliputi : Latihan nafas dalam, latihan batuk efektif,
latihan gerak sendi.
c. Analisa Faktor Risiko terhadap pembedahan, meliputi Usia,
nutrisi, penyakit kronis, ketidak sesuaian respon neuroendokrin, merokok,
alcohol dan obat-obatan.
d. Pemerikasaan Penunjang dan Pemeriksaan status anestesi
e. Inform Concern meliputi : tindakan pembedahan dan
pemberian darah serta produk darah.
f. Persiapan Mental / Psikis, meliputi : Pemberian edukasi tentang
prosedur tindakan dan prosedur sesudah operasi, memberikan kesempatan
kepada klien dan keluarga untuk menanyakan tentang prosedur yang ada
dan melakukan kolaborasi pemberian obat-obatan untuk menurunkan
kecemasan
2. Intra Operatif
a. Safety Mangement,meliputi : Pengaturan posisi pasien, memasang
alat grounding, memberikan dukungan secara fisik dan psikis pada pasien
dan memastikan peralatan sudah siap untuk dipergunakan sesuai
kebutuhan.
b. Monitoring Fisiologis, meliputi : Melakukan penghitungan balance
cairan, monitoring kondisi kardiopulmonal dan monitoring perubahan vital
sign.
c. Monitoring Psikologis ( bila pasien sadar ), antara lain : memberikan
dukungan emosional, berdiri dekat klien, mengkaji status emosional dan
mengkomunikasikan status emosional klien dengan tim kesehatan lain
( jika terjadi perubahan ).
d. Pengaturan dan koordinasi nursing care, antara lain : memasang
keamanan fisik pasien dan mempertahankan prinsip dan teknik asepsis.
3. Post Operatif
a. Pemindahan pasien dari kamar operasi ke unit perawatan pasca anestesi (
Recovery Room ), Tujuan Perawatan pasien di recovery room , antara lain :
mempertahankan jalan nafas, mempertahankan ventilasi/oksigenasi,
mempertahankan sirkulasi darah, observasi keadaan umum, vomitus dan
drainage, balance cairan, mempertahankan kenyamanan dan mencegah
risiko injuri.
b. Tranport pasien ke ruang rawat, dilakukan setelah memenuhi score post
anestesi untuk bisa dipindahkan. Faktor yang perlu diperhatikan dalam
transport pasien adalah : perencanaan, sumber daya manusia, equipment/
peralatan, prosedur dan passage ( jalur lintasan ).
c. Perawatan di ruang rawat, meliputi : monitoring tanda-tanda vital,
manajemen luka, mobilisasi dini, rehabilitasi dan discharge planning
( persiapan pasien pulang ke rumah ).

TINJAUAN TEORITIS KEPERAWATAN BERDASARKAN KASUS


A. PENGKAJIAN PRIMER
1. Pengkajian
a. Biodata
Nama, jenis kelamin, umur, agama, suku/bangsa, status perkawinan,
pekerjaan alamat, tanggal MRS, diagnosa medis, dan keluarga yang
mudah dihubungi.
b. Riwayat Kesehatan
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pemeriksaan pada anamnese didapati keluhan pasien Kongesti
hidung/sumbatan hidung, sekret hidung purulen, sakit kepala, nyeri
atau rasa tertekan pada wajah, ganguan penghidu, sedangkan untuk
anak: batuk dan iritabilitas. Kriteria minor antara lain : demam dan
halitosis
 Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah pasien pernah menderita penyakit hidung sebelumnya
seperti rhinitis, alergi pada hidung
 Riwayat Penyakit Keluarga
Apakah ada keluarga klien yang menderita penyakit ini seperti
klien saat ini dan pakah pernah / mengalami alergi / bersin
 Pengkajian Psikososial dan Spiritual
 Psikologis
Bagaimana perasaan pasien terhadap penyakit yang dialaminya
 Sosial
Bagaimana hubungan pasien dengan tim medis dan orang-
orang
 Spiritual
Bagaimana cara beribadah pasien sebelum dan saat sakit
c. Pola Fungsi Kesehatan
 Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup
Untuk mengurangi flu biasanya klien mengkonsumsi obat tanpa
memperhatikan efek samping
 Pola Nutrisi dan Metabolisme
Biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan
pada hidung

 Pola Istirahat dan Tidur


Biasanya pasien tidak dapat tidur karena pilek yang dideritanya
 Pola Persepsi dan Konsep Diri
Biasanya konsep diri pasien menjadi menurun karena pilek terus
menerus dan berbau
 Pola Sensorik
Daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek
terus menerus (baik purulen , serous, mukopurulen)

d. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan rinoskopi anterior dan rinoskopi posterior serta palpasi
turut membantu menemukan nyeri tekan pada daerah sinus yang
terkena
B. PENGKAJIAN SEKUNDER
Foto rontgen sinus paranasal
Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain:
1. Waters
2. PA
3. Lateral.
Pembengkakan permukaan mukosa yang berbatas tegas pada resesus alveolaris
antrum maksila biasanya terjadi akibat infeksi yang berasal dari gigi atau daerah
periodontal. Jika cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus, selalu dapat dilihat
adanya batas cairan (air fluid level) pada foto dengan posisi tegak.

CT-Scan (Computer Tomography) sinus paranasal


Sinus maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka terlihat pada penampang
CT-Scan aksial dan koronal. Pada sinusitis dengan komplikasi, CT-Scan adalah
cara yang terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah.
CT-Scan koronal dari sinus paling baik untuk pembedahan, memberikan
visualisasi yang baik tentang anatomi rongga hidung, komplek osteomeatal,
rongga-rongga sinus dan struktur-struktur yang mengelilinginya seperti orbita,
lamina kribiformis, dan kanalis optikus. Obstruksi anatomi pada komplek
osteomeatal dan kelainan-kelainan gigi akan terlihat jelas

Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelas pemeriksaan karena


dapat melihat bagian-bagian rongga hidung yang berhubungan dengan faktor
lokal penyebab sinusitis.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat melihat adanya kelainan septum nasi, meatus
media, konka media dan inferior, juga dapat mengetahui adanya polip atau tumor

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN UTAMA


1. Pre Operasi :
a. Bersihan Jalan Nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan nafas :
banyaknya mucus
b. Cemas berhubungan dengan akan dilakukan tindakan irigasi sinus
2. Intra operatif
a. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan adanya perdarahan .
b. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif
3. Post operatif
a. Gangguan rasa nyeri berhubungan dengan tindakan pembedahan.
b. Resiko Cidera berhubungan dengan kesadaran yang menurun ( efek obat
anestesi ) (Carpenito, 2006).
D. INTERVENSI DAN RASIONAL
Pre Operatif
a. Bersihan Jalan Nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan nafas :
banyaknya mucus
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama di ruang premidikasi
pasien menunjukkan keefektifan jalan nafas dibuktikan dengan
Kriteria hasil : Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa
tercekik,irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara
nafas abnormal)
Intervensi dan rasional :
1. Berikan O2 3l/mnt, metode kanul hidung
R : memenuhi akan kebutuhan oksigenasi tubuh
2. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam
R : Nafas dalam akan menambah kapasitas volume oksigen yang masuk
3. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
Posisi kepala dan leher akan membantu jalan nafas lebih terbuka
4. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
R : sekret dapat mengurangi lumen jalan nafas
5. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
R : mengetahui adanya sumbatan jalan nafas
6. kolaborasi pemberian bronkodilator
R : Bronkodilator memberikan efek dilatasi jalan nafas
7. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
R : dengan keseimbangan cairan akan meningkatkan kemampuan tubuh untuk
mempertahankan kepatenan ventilasi
8. Monitor respirasi dan status O2
R : Mengetahui kadar oksigen dalam tubuh
9. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang penggunaan
peralatan : O2, Suction, Inhalasi.
R : Memberikan edukasi tentang pentingnya kebersihan jalan nafas dan cara
membersihkannya.
b. Cemas berhubungan dengan akan dilakukan tindakan irigasi sinus
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan cemas dapat berkurang.
Kriteria hasil : Kecemasan dapat berkurang.
Intervensi dan rasional :
1) I : Kaji sejauh mana kecemasan pasien.
R : Untuk mengetahui tingkat kecemasan pasien.
2) I : Menginformasikan pasien atau orang terdekat tentang peran advokat perawat
intra operasi.
R : Mengembangkan rasa percaya diri.
3) I : Identifikasikan tingkat rasa cemas.
R : Untuk mengetahui tingkat kecemasan pasien.
4) I : Beri tahu pasien yang kemungkinan akan dilakukan tindakan operasi.
R : Mengurangi rasa cemas atau takut.
Intra Operatif
a. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan adanya perdarahan .
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan devisit volume cairan teratasi
Kriteria hasil : Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine
normal, Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal,Tidak ada tanda
tanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa lembab, Jumlah
dan irama pernapasan dalam batas normal Intake oral dan intravena adekuat
Intervensi dan rasional :
1) Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
R : mengetahui dan menjaga keseimbangan caiaran tubuh
2) Monitor status hidrasi ( kelembaban membrane mukosa, nadi adekuat, tekanan
darah ortostatik ), jika diperlukan
R : Mengetahui tanda-tanda dehidrasi
3) Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi cairan (BUN , Hmt , osmolalitas
urin, albumin, total protein )
R : Mengetahui keadaan awal pasien
4) Monitor vital sign setiap 15 menit
R : Mengetahui adanya perubahan status keadaan umum pasien untuk
antisipasi apabila terjadi keadaan yang memburuk dan memerlukan tindakan
segera
5) Kolaborasi pemberian cairan IV
R : Memberikan intake cairan yang adekuat
6) Atur kemungkinan tranfusi
R : Persiapan apabila terjadi perdarahan yang masif
b. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasive pembedahan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama pembedahan
berlangsung pasien tidak mengalami tanda-tanda infeksi dengan criteria : Klien
bebas dari tanda dan gejala infeksi
Intervensi dan rasional
1) Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
R : Untuk memaminimalisir kontaminasi
2) Kolaborasi pemberian terapi antibiotik:profilaksis 1 jam sebelum operasi
R : Antibiotika memberikan efek mencegah sistemik infection
3) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan local
R : Mengetahui adanya tanda-tanda awal infeksi
4) Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase
R : Mengetahui secara dini tanda-tanda infeksi
5) Monitor adanya luka
R : Jaringan luka merupakan port de entry kuman
6) Dorong masukan cairan yang adekuat
R : Cairan yang adekuat dapat mempertahankan imun tubuh
Post Operatif
a. Gangguan rasa nyeri berhubungan dengan tindakan pembedahan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri dapat terkontrol
Kriteria hasil : Nyeri dapat terkontrol, nyeri berkurang.
Intervensi dan rasional :
1) I : Monitor perkembangan nyeri.
R : Mengetahui tindakan dari yang dilakukan.
2) I : Monitor tanda-tanda vital darah dan nadi.
R : Mengetahui keadaan pasien.
3) I : Berikan tindakan nyaman.
4) R : Meningkatkan relaksasi.
5) I : Cari perubahan karakteristik nyeri, periksa mulut dan tenggorokan.
R: Dapat menunjukkan terjadinya komplikasi yang memerlukan evaluasi
lanjutan.
b. Resiko Cidera berhubungan dengan kesadaran yang menurun ( efek obat
anestesi ) (Carpenito, 2006).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama di ruang RR.klien tidak
mengalami trauma dengan
criteria hasil: pasien terbebas dari trauma fisik
Intervensi dan rasional
1) Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi
kognitif pasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien
R : Mengetahui potensi trauma bagi pasien
2) Menghindarkan lingkungan yang berbahaya (misalnya memindahkan
perabotan)
R : Antisipasi terhadap benda-benda yang berpotensi membahayakan pasien
3) Memasang side rail tempat tidur
R : Membatasi gerak pasien yang tidak/belum sadar
4) Memberikan penerangan yang cukup
R : Penerangan yang cukup dapat memonitor pasien secara keseluruhan
5) Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien.
R : Menjaga atau dapat mengetahui gerakan pasien yang tidak sadar
6) Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau pengunjung adanya
perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit.
R : Memberikan edukasi dapat memberikan pemahaman tentang risiko trauma
pada pasien yang belum sadar akibat obat-obat anestesi

DAFTAR PUSTAKA
1. Aisyah. 2015. Buku Ajar Sistem Telinga, Hidung dan Tenggorokan :
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammdiyah Semarang.
www.repository.unimus.ac.id
2. Carpenito, & Lyinda Jual. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi
ke- 10. Alih Bahasa, Yasmin Asih. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
3. Doenges, E.M. 2008. Nursing Diagnosis Manual: planning,
individualizing, and documenting client care. 2nd ed. United States of
America: F. A. Davis Company
4. Grace A pierce. 2006. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Jakarta:
Erlangga.
5. Kumar. 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta: EGC.
6. Nancy R dan Judith M Wilkinson. 2012. Buku Saku Diagnosis
Keperawatan Nanda Nic Noc. Jakarta: EGC.
7. Price Sylvia, & Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Dasar Penyakit
(Pathophysiologi: Clinical Concepts of Diasase Process. Jakarta : EGC.
8. Reksoprodjo, Soelarto (ed). 2010. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah.
Tangerang: Bina Rupa Aksara.
9. Sjamsuhidajat dan Wim De Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Vol 3.
Jakarta: EGC.
10. Suzanne, C Smeltser (ed). 2003. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai