Anda di halaman 1dari 7

Nama :

1. Marwah Alfyani (03021181320040)


2. Zaira Putri A (03021181320031)
3. Rand Sausan Muthia S (03021181320023)
4. Wiranto Prabandanu (03021181320025)
5. Cindy Claudia (03021181320017)

SRC (Solvent Refined Coal)

Liquifikasi Batubara
Teknologi likuifikasi adalah teknologi pencairan batubara dengan bantuan
panas dan penambahan zat kimia tertentu. Cairan yang terbentuk tersebut
selanjutnya difraksionasi dikilang untuk menghasilkan berbagai macam bahan
bakar cair seperti bensin, solar, minyak tanah dan lain-lain. Teknologi ini sudah
lama di kuasai negara maju seperti Jerman, Inggris, Amerika Serikat, Australia
dan Jepang. Penguasaan negara Jerman yang baik terhadap teknologi inilah yang
merupakan salah satu faktor yang mendukung kemenangan Jerman dalam Perang
dunia I. Teknologi ini juga secara intensif sedang dikaji oleh peneliti-peneliti
BPPT dan PPTM untuk diterapkan secara komersial.
Riset Pencairan Batubara untuk memproduksi BBM sintetis di Indonesia
sudah berlangsung sejak awal tahun 1990-an, namun perkembangannya secara
nyata dengan target komersial baru dimulai sejak awal tahun 1994, setelah
perjanjian kerjasama riset ditandatangani antara BPPT dan NEDO. Proses
pencairan (liquefaction) ini dibedakan antara proses yang indirect coal
liquefaction (tidak langsung) dan direct coal liquefaction (langsung).
Teknik mengubah batubara menjadi cairan hidrokarbon dengan proses
likuifikasi pertama kali dikemukakan oleh Bergius pada tahun 1913. Bergius
melakukan hidrogenasi batu bara pada tekanan 200 – 680 atm dan temperatur 450
C dengan menggunakan katalis oksida besi. Produk utama yang dihasilkan berupa
fuel gas dan minyak, yang diolah kembali menjadi diesel oil dan gasolin.
Sementara itu, Jepang juga melakukan inisiatif pengembangan teknologi
pencairan batubara melalui proyek Sunshine tahun 1974 sebagai pengembangan
alternatif energi pengganti minyak bumi. . Proses Pott-Broche (1993) merupakan
awal dari teknologi SRC (Solvent – Refined – Coal).
Secara intuitif aspek yang penting dalam pengolahan batubara menjadi
bahan bakar minyak sintetik adalah efisiensi proses yang mencakup keseimbangan
energi dan masa, nilai investasi, kemudian apakah prosesnya ramah lingkungan
sehubungan dengan emisi gas buang, karena ini akan mempengaruhi nilai insentiv
menyangkut tema tentang lingkungan. Undang-undang No. 2/2006 yang mengatur
tentang proses pencairan batubara.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pencairan batubara


Ada beberapa hal yang sangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas proses
pencairan batu bara diantaranya adalah :
1. Reaktifitas Batubara
Setiap jenis batu bara mempunyai reaktifitas yang berbeda-beda tergantung
pada peringkat batu bara tersebut. Batu bara jenis antrasit sukar untuk
dicairkan. Bituminus kualitas tinggi memerlukan kondisi operasi tertentu
dibandingkan dengan batu bara kualitas rendah. High volatile bituminous coal
memberikan hasil cairan yang banyak. Batubara peringkat rendah (low rank
coal) seperti lignit mencair lebih cepat tetapi hasil (cairan) sedikit.
2. Laju pemanasan
Laju pemanasan dalam reaktor diusahakan secepat mungkin untuk
menghindari repolimerisasi dari radikal bebas yang terbentuk dari pemecahan
ikatan kimia dari batu bara. Suhu optimal yang diperlukan utnuk mencairkan
batubara adalah antara 350 – 500 ˚C.
3. Katalis
Kebanyakan logam (metal) dapat digunakan sebagai katalis. Abu batubara
juga dapat bertindak sebagai katalis dalam proses hidrogenasi batu bara.
4. Tekanan
Untuk mencairkan batubara diperlukan tekanan operasi yang cukup tinggi
yaitu berkisar antara 500 – 4000 psi (34 – 270 atm). Namun demikian
batubara juga mencair pada tekanan oeprasi yang relatif rendah pada kondisi
superkritik pelarut donor hidrogen yang digunakan.
5. Waktu kontak
Waktu kontak adalah waktu yang dibutuhkan untuk proses pencairan batubara
di dalam reaktor yang berkisar antara 20 menit – 2 jam. Batubara juga dapat
dicairkan pada waktu kontak yang lebih rendah sekitar 10 menit. Proses ini
disebut Short contact time liquefaction

Proses Liquifikasi batubara


Proses pencairan (liquefaction) ini dibedakan antara proses indirect coal
liquefaction (tidak langsung) dan direct coal liquefaction (langsung).
1. Indirect coal liquefaction
Merupakan proses pencairan batubara secara tidak langsung, yaitu melalui
tahap gasifikasi batubara sehingga menghasilkan gas sintesa yaitu campuran
karbon monoksida dan hidrogen yang dalam tahap selanjutnya diubah menjadi
bahan bakar cair dengan bantuan katalis tertentu. Contoh proses likuifikasi tak
langsung adalah proses Fischer-Tropsch.

2. Direct Coal Liquefaction (DCL) / Bergius Process


Direct Coal Liquefaction adalah proses hydro-craacking dengan bantuan
katalisator. Prinsip dasar dari DCL adalah meng-introduksi-an gas hidrogen
kedalam struktur batubara agar rasio perbandingan antara C/H menjadi kecil
sehingga terbentuk senyawa-senyawa hidrokarbon rantai pendek berbentuk cair.
Proses ini telah mencapai rasio konversi 70% batubara (berat kering) menjadi
sintetik cair. Proses pencairan secara langsung dapat dilakukan melalui pirolisis,
ekstraksi pelarut dan hidrogenasi katalitik.
Pencairan batubara secara langsung menciptakan molekul minyak lebih
ringan dan lebih stabil dengan memecah batubara menjadi komponen yang lebih
kecil dan menambahkan hidrogen. Kotoran seperti belerang, nitrogen, dan abu
juga dihilangkan dalam proses ini untuk menghasilkan bahan bakar bersih.
Batubara dihancurkan, slurried dengan minyak daur ulang, dan dipanaskan dan
bertekanan untuk menghasilkan minyak mentah yang dapat disempurnakan.
Proses SRC (Solvent Refined Coal)
SRC-I dan SRC-II (Solvent Refined Coal) dikembangkan oleh Gulf Oil
dan diimplementasikan sebagai industri di Amerika Serikat pada 1960-an dan
1970-an. Nuclear Utilities Services Corporation mengembangkan proses
hidrogenasi yang dipatenkan oleh Wilburn C. Schroeder pada tahun 1976. Proses
ini meliputi pengeringan, penuumbukan dan pencampuran dengan batubara sekitar
1wt% katalis. Hidrogenasi terjadi dengan menggunakan suhu tinggi dan tekanan
gas sintetis yang diproduksi dalam gasifier terpisah. Proses ini akhirnya
menghasilkan produk sintetis mentah, paphtha, jumlah terbatas C3/C4 gas, cairan
ringan-menengah (C5-C10) cocok untuk digunakan sebagai bahan bakar,
sejumlah kecil jumlah NH3 dan signifikan dari CO2.
Proses ini terbagi menjadi 2 yaitu SRC I dan SRC II. Pada SRC I ini,
produksi batubara yang dihasilkan yaitu bahan bakar padat dengan kandungan abu
rendah. Sedangkan pada SRC II, dihasilkan produk cair dengan menggunakan
slurry hasil recycle. Pecahan batubara dicampur dengan solvent kemudian
dicampur dengan hidrogen dan dipanaskan pada suhu 300-3700C dan dimasukkan
ke reaktor dengan suhu operasi 450-4659 C. Solvent akan terdekomposisi di
reaktor menghasilkan metana. Hot effluent di reaktor dipisahkan pada high
pressure separator yang disusun seri untuk memisahkan gas dan produk light
hidrokarbon.
Proses SRC I dan SRC II termasuk proses secara langsung dengan metode
solvent extraction. Kesulitan proses ekstraksi pelarut, batu bara dilarutkan dalam
pelarut hidrogen donor yang dapat memindahkan atom hidrogen kedalam batu
bara. Kontak batu bara dengan gas hidrogen pada suhu dan tekanan tinggi akan
menghasilkan gas, cairan dan padatan berupa batu bara tak terkonversi serta abu..
Keuntungan proses ekstraksi pelarut adalah temperatur operasinya yang
relatif lebih rendah dibandingkan dengan proses pirolisis, konfigurasi proses dapat
dirancang sesuai dengan kualitas batu bara umpan dan kualitas produk yang
diinginkan. Kerugian proses ini adalah kesulitan pemisahan batu bara yang tak
terkonversi dan abu yang terbentuk.
Pada proses SRC II ini, serbuk batubara dicampurkan dengan recycle oil
dan melalui hidrogen bertekanan tinggi menuju digestor dimana semua batu bara
terlarut. Setelah pemisahan gas untuk direcycle, digestor dibersihkan dengan
solvent untuk penghilangan abu. Produk kemudian di hydrocracking dalam
sebuah ebullating bed catalyst. Pada proses ini abu yang mengadung pirit sebagai
katalis direcycle bersama minyak.
Distilat umumnya dibagi atas tiga komponen berdasarkan perbedaan titik
didihnya yaitu fraksi minyak ringan (light oil) yaitu semua komponen dengan titik
didih lebih rendah dari 200 ˚C, fraksi menegah yaitu komponen dengan titik didih
antara 200 – 325 ˚C serta fraksi minyak berat dengan titik didih di atas 325 ˚C.
Pengolahan lanjutan terhadap fraksi – fraksi yang terbentuk pada pencairan
metode SRC akan menghasilkan bahan bakar gasoline dan Diesel fuel.

Gambar 1
Skema Proses SRC

Kelebihan Batubara Cair


1. Harga produksi lebih murah
2. Jenis batubara yang dapat dipergunakan adalah batu bara yang berkalori rendah
(low rank coal), yang selama ini kurang diminati pasaran.
3. Dapat dipergunakan sebagai bahan pengganti bahan bakar pesawat jet (jet
fuel), mesin diesel (diesel fuel), serta gasoline dan bahan bakar minyak biasa.
4. Teknologi pengolahannya lebih ramah lingkungan. Dari pasca produksinya
tidak ada proses pembakaran, dan tidak dihasilkan gas CO2. Kalaupun
menghasilkan limbah (debu dan unsur sisa produksi lainnya), masih dapat
dimanfaatkan untuk bahan baku campuran pembuatan aspal. Bahkan sisa gas
hidrogen masih laku dijual untuk dimanfaatkan menjadi bahan bakar.

Kekurangan Batubara Cair


1. Keekonomian
Harga minyak bumi sangat fluktuatif, sehingga seringkali investor ragu untuk
membangun kilang pencairan batubara. Batubara cair akan ekonomis jika harga
minyak bumi di atas US $35/bbl.
2. Investasi Awal Tinggi
Biaya investasi kilang pencairan batubara komersial, cukup mahal
3. Merupakan Investasi Jangka panjang
Break Even Point (BEP) baru dicapai setelah 7 tahun beroperasi, sedangkan
tahap pembangunan memakan waktu 3 tahun.

Sumber:

1. http://bataviase.co.id
2. http://blogodril.blogspot.com/2010/03/batubara-yang-dicairkan-konversi-
energi.html
3. http://scientificindonesia.wordpress.com/proses-pengolahan-batubara/
http://www.bunghatta.ac.id/artikel/100/batubara-sebagai-sumbar-bahan-
bakar-alternatif.html
4. Jauhari, Muhammad. 2007. Potensi Industri Pengolahan Batubara Cair
5. Optimizing Refinery Operations & Alternative Fuels Production Recent
Advances in Direct Coal Liquefaction Tchnology (Headwaters, 2009)
6. (Axens, 2009)Summary Report of the DOE Direct Liquefaction Process
7. Development Campaign of the Late Twentieth Century: Topical
Report (DOE, 2001)
8. Robinson, Ken K (2009) Reaction Engineering of Direct Coal
Liquefaction (online) http://www.mdpi.com/1996-1073/2/4/976/htm

Anda mungkin juga menyukai