Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

ERUPSI OBAT

Oleh:
Ayezia Balqis
2013730015

Pembimbing:
dr. Mahdar Johan, Sp.KK

STASE ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RSUD R. SYAMSUDIN, S.H
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
PERIODE: 21 MEI – 23 JUNI 2018
Pendahuluan
Reaksi simpang terhadap obat atau produk diagnostik merupakan kasus yang sering ditemukan
dokter dalam tatalaksana pasien sehari-hari. Selain obat yang diresepkan oleh dokter, obat yang
dijual bebas, termasuk herbal dan suplemen serta obat topikal dapat pula menyebabkan reaksi
simpang ringan hingga mengancam nyawa.1
Menurut WHO, reaksi simpang obat adalah efek yang berbahaya, tidak diharapkan dan tidak
diinginkan dari suatu obat yang terjadi pada dosis pencegahan, diagnosis, atau tatalaksana. 2
Reaksi simpang obat dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi imunologi dan nonimunologi.
Mayoritas reaksi simpang obat disebabkan oleh efek nonimunologik yang dapat diprediksi
sebelumnya, sedangkan 20-25% kejadian lainnya disebabkan oleh efek yang tidak diprediksi
yang mungkin atau tidak dimediasi oleh sistem imun. Meskipun reaksi obat alergik hanya
merupakan bagian kecil dari seluruh tipe reaksi simpang obat, sebagian besar erupsi obat
tergolong di dalam reaksi obat alergik.2,3
Erupsi obat memiliki manifestasi klinis yang bervariasi, mulai dari erupsi yang hanya terbatas
pada kulit hingga yang disertai oleh reaksi sistemik, misalnya sindrom hipersensitivitas obat
atau toxic epidermal necrolysis (TEN). Angka kejadian erupsi obat meningkat juga seiring
waktu, yang berhubungan dengan konsumsi obat yang meningkat di masyarakat, praktik
polifarmasi, serta kondisi imunokompromais.1,4
Definisi
Erupsi obat (cutaneous adverse drug reaction) adalah perubahan yang tidak diharapkan pada
struktur atau fungsi kulit dan atau mukosa akibat pemberian obat dosis lazim melalui oral,
intrakutan, subkutan, intramuskular, intravena, inhalasi atau absorbsi via kulit atau membran
mukosa (tetes mata, tetes hidung, suppositoria, vaginal suppositoria, dll). Erupsi obat alergik
(EOA) (cutaneous drug hypersensitivity) adalah reaksi hipersensitifitas yang bermanifestasi
pada kulit dan atau mukosa akibat pemberian obat dosis lazim. Obat adalah zat yang dipakai
baik untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, maupun pengobatan. 1,3
Epidemiologi
Insidens EOA sekitar 6-10% dari seluruh reaksi simpang obat yang dilaporkan. 1 Reaksi yang
berat hanya mencapai 2% dari seluruh EOA yang terjadi dan yang fatal berjumlah lebih sedikit
lagi. Morfologi tersering berupa erupsi makulopapular dan eksantema fikstum. 3 Penyebab
terbanyak adalah antibiotik.4
Etiologi
Dalam mengevaluasi pasien dengan riwayat suspek erupsi obat, maka penting untuk
menanyakan riwayat pengobatan secara rinci, termasuk penggunaan obat yang dijual bebas
maupun obat herbal dan suplemen. Obat-obatan yang baru dikonsumsi dalam jangka waktu 3
bulan, terlebih lagi dalam rentang 6 minggu, merupakan agen-agen potensial terhadap
terjadinya sebagian besar EOA. Tidak lupa perlu juga dipikirkan obat-obatan yang digunakan
secara intermiten.4
Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya erupsi obat alergik dapat dilihat dari sisi pasien maupun sisi obatnya
sendiri. Yang termasuk faktor risiko dari sisi pasien adalah usia (usia tua, anak laki-laki <3
tahun, anak perempuan >9 tahun), jenis kelamin wanita, faktor genetik (misalnya variasi dari
metabolimse obat dan HLA), infeksi virus, dan penyakit penyerta (misalnya gangguan fungsi
ginjal dan hepar). Sedangkan faktor risiko dari sisi obat ditentukan oleh rute administrasi (lebih
umum pada administrasi topikal dan intramuskular, kemudian intravena dan oral adalah yang
paling aman), durasi (lebih umum pada penggunaan kronik atau sering dibandingkan yang
jangka pendek atau intermiten), dosis dan variasi pada metabolisme. 3
Patogenesis
Erupsi obat dapat dibagi menjadi reaksi yang dimediasi secara imunologik dan secara non-
imunologik.
Reaksi yang dimediasi secara imunologik
Berdasarkan klasifikasi Coombs dan Gell, mekanisme yang mendasari terjadinya EOA dibagi
menjadi 4 tipe, yaitu:1,5

Gambar 1. Klasifikasi Coombs dan Gell yang sudah direvisi


1. Reaksi hipersensitivitas tipe I
Tipe I dimediasi oleh Immunoglobulin (Ig) E yang dapat menyebabkan reaksi
anafilaksis, urtikaria dan angioedema, timbul sangat cepat, terkadang dapat berupa
urtikaria atau angioedema persisten beberapa minggu setelah obat dihentikan. Pada
reaksi hipersensitivitas tipe I, IgE akan berikatan dengan sel mast sehingga terjadi
pelepasan histamin. Histamin menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi eritema dan edema.
2. Reaksi hipersensitivitas tipe II
Tipe II merupakan mekanisme sitotoksik yang diperantarai reaksi antigen, IgG dan
komplemen terhadap eritrosit, leukosit, trombosit, atau sel prekursor hematologik lain.
Manifestasi yang terjadi adalah hemolisis dan purpura. Obat yang dapat menyebabkan
hipersensitivitas tipe ini antara lain golongan penisilin, sefalosporin, streptomisin,
klorpromazin, sulfonamid, analgesik, dan antipiretik.
3. Reaksi hipersensitivitas tipe III
Tipe III adalah reaksi imun kompleks yang sering terjadi akibat penggunaan obat
sistemik dosis tinggi dan terapi jangka panjang, menunjukkan manifestasi berupa
vaskulitis pada kulit dan penyakit autoimun yang diinduksi oleh obat.
4. Reaksi hipersensitivitas tipe IV
Tipe IV (tipe lambat) adalah reaksi yang diperantarai oleh limfosit T dengan manifestasi
kulit erupsi ringan hingga berat, mulai dari dermatitis kontak, erupsi eksantematosa,
reaksi fotoalergik, hingga pustulosis eksantematosa generalisata akut. Tipe ini
merupakan tipe yang paling mendasari insidens EOA. Reaksi ini dibagi menjadi 4
subkelas, yaitu tipe IVa, IVb, IVc dan IVd.
Reaksi yang dimediasi secara non-imunologik
Reaksi yang dimediasi secara non-imunologik dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Akumulasi
Contoh akumulasi adalah argyria (diskolorasi biru-abu-abu pada kulit dan kuku) yang
terjadi pada penggunaan silver nitrate nasal spray.
2. Efek samping farmakologik
Efek samping obat adalah efek yang normal tapi tidak diinginkan dari obat tersebut.
Misalnya siklofosfamid berkaitan dengan terjadinya kerontokan rambut.
3. Pelepasan langsung mediator sel mast
Pelepasan langsung mediator sel mast adalah fenomena dependen dosis yang tidak
melibatkan antibodi. Misalnya aspirin dan NSAID lainnya menyebabkan perubahan
produksi leukotrien yang memicu pelepasan histamin dan mediator sel mast lainnya.
Material kontras radiografik, alkohol, sitokin, opiat, simetidin, quinine, hydralazine,
atropine, vancomycin, dan tubocurarine juga dapat menyebabkan pelepasan mediator
sel mast.
4. Reaksi idiosinkratik
Reaksi idiosinkratik adalah efek yang tidak dapat diprediksi dan tidak dapat dijelaskan
oleh sifat farmakologis dari obat tersebut. Misalnya pada individu dengan
mononukleosis infeksius yang mengalami ruam saat diberikan ampisilin.
5. Gangguan keseimbangan ekologik
Ketidakseimbangan flora endogen dapat terjadi ketika agen antimikrobial menekan
pertumbuhan satu spesies mikroba dan menyebabkan bertumbuhnya spesies lain secara
berlebihan. Misalnya pada kasus kandidiasis yang sering terjadi pada individu dengan
terapi antibiotik.
6. Intoleransi
Intoleransi dapat terjadi pada pasien dengan metabolisme yang berbeda. Misalnya
adalah individu yang merupakan asetilator lambat dari enzim N-acetyltransferase lebih
berisiko untuk mengalami lupus yang diinduksi oleh obat sebagai respons terhadap
prokainamid.
7. Fenomena Jarisch-Herxheimer
Fenomena Jarisch-Herxheimer adalah reaksi akibat endotoksin bakterial dan antigen
mikrobial yang dilepaskan akibat dari hancurnya mikroorganisme. Reaksi ini ditandai
dengan demam, limfadenopati yang nyeri, arthralgia, erupsi makular atau urtikaria
transien, dan eksaserbasi dari lesi kutaneus sebelumnya. Reaksi ini bukan merupakan
indikasi untuk menghentikan pengobatan karena gejala akan membaik meskipun
dengan melanjutkan terapi. Reaksi ini dapat terjadi pada terapi penisilin untuk sifilis,
griseofulvin atau ketokonazol untuk infeksi dermatofit, dan diethylcarbamazine untuk
oncerciasis.
8. Overdosis
Overdosis adalah respons berlebihan terhadap peningkatan jumlah obat. Misalnya
peningkatan dosis antikoagulan dapat berakibat purpura.
9. Dermatitis fototoksik
Dermatitis fototoksik adalah respons sunburn berlebihan yang disebabkan oleh
pembentuk toxic photoproduct, misalnya radikal bebas atau reactive oxygen species.
Manifestasi Klinis
Erupsi obat alergik dapat memiliki berbagai macam manifestasi klinis mulai dari yang ringan,
berat hingga mengancam jiwa. Gambaran klinis dapat berupa lesi yang terbatas pada kulit
hingga merupakan bagian dari reaksi sistemik. Erupsi pada kulit umumnya memiliki morfologi
makulopapular, urtikaria, vesikel dan pustular. Lesi dominan yang timbul merupakan petunjuk
reaksi hipersensitivitas yang mendasari. Pada erupsi obat sistemik biasanya akan disertai
dengan demam.
1. Erupsi makulopapular
Erupsi makulopapular disebut juga erupsi
eksantematosa atau morbiliformis. Erupsi
jenis ini merupakan jenis erupsi obat
kutaneus tersering, yakni kurang lebih
95% dari seluruh reaksi kutaneus yang
terjadi akibat obat. Manifestasi berupa
morbiliformis atau makulopapular
eritematosa, dengan distribusi dimulai
pada batang tubuh kemudian menyebar ke
perifer secara simetris dan generalisata.
Ruam hampir selalu disertai dengan
pruritus.1 Patogenesis yang mendasari
diduga akibat reaksi hipersensitivitas tipe
lambat, sehingga biasanya erupsi timbul 1
minggu setelah konsumsi obat dan masih
dapat timbul 1-2 hari setelah obat Gambar 2. Erupsi makulopapular
dihentikan. Erupsi sembuh biasanya dalam 7-14 hari yang berupa perubahan warna dari
merah terang menjadi merah kecoklatan serta dapat diikuti dengan deskuamasi. 2,4
Etiologi tersering yang mendasari erupsi makulopapular adalah antibiotik (penisilin dan
sulfonamid), nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor (misalnya nevirapine), obat
antiepileptik (misalnya fenitoin, karbamazepin).4
Diagnosis banding yang harus dipikirkan adalah eksantema infeksius (misalnya viral,
bakterial), penyakit kolagen vaskular, dan infeksi bakterial.4
Sindrom hipersensitivitas obat
Erupsi eksantematosa yang disertai dengan
demam dan inflamasi organ dalam
merupakan tanda dari reaksi yang lebih serius,
yang dikenal sebagai sindrom
hipersensitivitas obat. Sindrom ini
merupakan bentuk erupsi obat alergik tipe
berat yang dapat mengancam jiwa, karena
adanya keterlibatan organ dalam. Dulu
sindrom hipersensitivitas obat dikenal dengan
nama drug-induced hypersensitivity reaction
(DIHS) atau drug reaction with eosinophilia
Gambar 3. DRESS
and systemic symptoms (DRESS).1,2
Sindrom ini ditandai dengan adanya manifestasi kulit, disertai dengan demam tinggi
dan keterlibatan organ internal (misalnya hati, ginjal, jantung, paru-paru, atau SSP).
Gejala timbul dengan onset lambat, biasanya 3 minggu setelah konsumsi obat. Lesi
kulit umumnya berupa erupsi makulopapular, namun dapat juga bermanifestasi lebih
serius sebagai lesi pustular dan epidermolisis. Wajah biasanya mengalami edema dan
distribusi ruam tersebar simetris, hampir di seluruh tubuh, dan jarang pada telapak
tangan dan kaki. Keterlibatan organ dalam dapat bersifat asimptomatik. Selain itu,
dapat ditemukan limfositosis atipikal yang diikuti eosinofilia pada fase awal.1,4
Sindrom hipersensitivitas obat lebih sering terjadi pada paparan pertama terhadap obat,
dengan onset 1-6 minggu setelah pajanan. Sindrom ini seringkali juga diawali oleh
infeksi saluran pernapasan atas dan dihubungkan dengan infeksi HHV-6, HHV-7,
Epstein Barr Virus dan cytomegalovirus.1 Gejala klinis akan menetap meskipun obat
sudah dihentikan.1
Etiologi tersering adalah antikonvulsan aromatik, lamotrigine, antibiotik sulfonamid,
dapson, nitrofurantoin, nevirapin, minosiklin, metronidazole dan alopurinol. Dapat
ditemukan reaksi silang dengan struktur kimia obat yang berbeda. 1
2. Urtikaria dengan atau tanpa angioedema
Urtikaria dan angioedema adalah manifestasi
tersering dari alergi obat yang dimediasi oleh
IgE. Keduanya dapat disebabkan oleh
bermacam-macam obat-obatan, dengan etiologi
tersering adalah antibiotik β-laktam. Akan
tetapi, reaksi alergik obat yang tidak dimediasi
oleh IgE juga dapat menimbulkan urtikaria dan
angioedema, misalnya akibat dari aktivasi
komplemen atau dimediasi oleh bradikinin.
Salah satu penyebabnya adalah angiotensin
converting enzyme (ACE)-inhibitor.2
Urtikaria ditandai dengan edema setempat pada
kulit dengan ukuran yang bervariasi. Predileksi
dapat di seluruh tubuh. Keluhan umumnya gatal
dan panas pada tempat lesi. Lesi individual
biasanya bertahan kurang dari 24 jam kemudian Gambar 4. Urtikaria dan
hilang perlahan.1 angioedema

Jika edema juga terjadi pada dermis dan subkutis maka reaksi yang terjadi dikenal
sebagai angioedema. Angioedema umumnya bersifat unilateral dan tidak gatal dengan
predileksi di daerah bibir, kelopak mata, genitalia eksterna, tangan dan kaki.
Angioedema juga dapat terjadi pada glottis yang menyebabkan asfiksia, sehingga
dibutuhkan penangan segera. Angioedema bertahan selama 1-2 jam, meskipun bisa juga
menetap hingga 2-5 hari.1,4
Serum sickness-like reactions
Serum sickness-like reactions ditandai dengan adanya demam, ruam kulit yang
umumnya berupa urtikaria, dan arthralgia yang timbul 1-3 minggu setelah onset terapi.
Tanda lain yang dapat menjadi petunjuk lebih spesifik adalah adanya lesi
makulopapular pada sisi jari-jari dan ibu jari atau distribusi serpiginosa dari lesi tersebut
sepanjang sisi lateral telapak kaki. Dapat pula disertai dengan limfadenopati dan
eosinofilia. Reaksi ini dibedakan dengan true serum sickness berdasarkan tidak adanya
kompleks imun, hipokomplementemia, vaskulitis dan lesi renal. Etiologi tersering
adalah cefaclor, cefprozil, bupropion, minosiklin, dan rituximab. 2,4
3. Erupsi pustular
Erupsi akneiformis
Erupsi pustular yang sering dijumpai adalah steroid acne
dengan karakteristik erupsi yang timbul di area atipikal
seperti lengan dan tungkai dan seringkali bersifat
monomorfik. Biasanya tidak disertai dengan komedo. Lesi
akne biasanya terjadi dalam beberapa minggu setelah
dimulainya terapi.2,4
Etiologi tersering antara lain glukokortikoid, iodida, bromida,
hormon adrenokortikotropik, glukokortikoid, isoniazid,
androgen, lithium, actinomycin D dan fenitoin. Pada kasus-
kasus dimana obat pencetus tidak dapat dihentikan, maka Gambar 5. Erupsi
tretinoin topikal dapat berguna.4 akneiformis

Pustulosis eksantematosa generalisata akut (PEGA)


Pustulosis eksantematosa generalisata akut
merupakan erupsi febril akut yang seringkali
berkaitan dengan leukositosis. Imunopatologi
PEGA adalah hipersensitivitas tipe lambat yang
berkaitan dengan sel T CD4+ yang menghasilkan
IL-8 dalam jumlah tinggi. Erupsi pustular akut
timbul 1-3 minggu setelah konsumsi obat
dengan gejala prodromal demam, mual dan
malaise. Kelainan kulit yang ditemukan berupa
pustul milier multipel di atas dasar eritematosa.
Predileksi utama di wajah dan lipatan tubuh.
Deskuamasi generalisata terjadi kurang lebih 2
minggu kemudian. Etiologi tersering adalah
antibiotik beta laktam dan makrolid,
Gambar 6. PEGA antikonvulsan dan calcium channel blockers.1,2,4
Lesi target atipikal, vesikel dan keterlibatan mukosa (biasanya ringan dan pada oral)
jarang terjadi tetapi dapat menyerupai Steven-Johnson syndrome. PEGA perlu
dibedakan dengan penyebab pustul infeksius lainnya misalnya kandidiasis, impetigo
dan folikulitis bakterial.2
4. Erupsi bulosa
Erupsi obat alergik juga dapat timbul sebagai vesikel atau bula. Ada yang bersifat jinak
dan self-limited namun ada pula yang termasuk ke dalam severe cutaneous adverse
reactions (SCAR) yakni Steven-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal
Necrolysis (TEN).2
Pseudoporfiria
Pseudoporfiria adalah kelainan kulit fotoksik yang dapat menyerupai porphyria cutanea
tarda pada dewasa atau eryhtropoietic protoporphyria pada anak-anak. Pseudoporfiria
yang menyerupai porphyria cutanea tarda ditandai dengan kerentanan kulit,
pembentukan vesikel/bula dan jaringan parut pada fotodistribusi. Kondisi ini terjadi
pada level porfirin normal. Jenis pseudoporfiria lainnya ditandai dengan cutaneous
burning, vesikulasi, jaringan parut angular yang mirip dengan varicella, dan penebalan
seperti lilin pada kulit. Erupsi dapat terjadi dalam 1 hari semenjak penggunaan obat
atau terlambat hingga 1 tahun. Gejala menghilang beberapa minggu hingga beberapa
bulan setelah agen penyebab dihentikan.4
Selain menghentikan pengobatan sebaiknya direkomendasikan penggunaan tabir surya
spektrum luas dan baju pelindung. Obat-obatan yang terkait dengan kejadian
pseudoporfiria antara lain naproxen dan NSAID lainnya, dan voriconazole. 4
Drug-induced pemphigus
Bula kendur dapat terjadi pada pemfigus yang dicetuskan oleh obat dan seringkali
disebabkan oleh obat-obatan yang mengandung thiol (misalnya captopril dan
penicillamine). Mekanisme dari pemfigus yang dicetuskan oleh obat masih belum jelas
tetapi mungkin tidak berkaitan dengan efek farmakologis pada enzim atau aktivasi
sitokin yang menyebabkan akantolisis.2
Drug-induced bullous pemphigoid
Bula tegang dapat terjadi akibat pemfigoid bulosa yang dicetuskan oleh obat dan dapat
disebabkan oleh beberapa obat, termasuk ACE-inhibitor, furosemid, penisilin, dan
sulfasalazine. Erupsi ini diduga akibat mekanisme multipel, termasuk di antaranya
adalah autoantibodi terhadap antigen zona membran basalis, misalnya BP180. 2
Drug-induced linear IgA disease
Penyakit linear IgA bulosa menyebabkan erupsi yang secara klinis mirip, dan
vankomisin adalah obat yang paling sering menjadi penyebabnya. Penyakit ini adalah
suatu penyakit autoimun dengan deposisi linear IgA yang biasanya berlokasi di zona
membran basalis.2
Steven-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)
Steven-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sekarang
dianggap sebagai satu spektrum penyakit. Patologi epidermal primer pada pasien
dengan TEN adalah kematian epidermal dalam skala besar akibat dari apoptosis.
Mekanisme pasti apoptosis yang terjadi masih belum diketahui namun diduga
melibatkan granzymes, granulysin, TNF, dan ligand Fas sebagai efektor dari apoptosis.
Mayoritas kasus SJS dicetuskan oleh obat dan TEN hampir selalu dicetuskan oleh obat. 2
SJS melibatkan kurang dari 10% total luas permukaan tubuh. Keterlibatan lebih dari
30% total luas permukaan tubuh diklasifikasikan sebagai TEN. Sedangkan diantaranya,
yakni 10-30% diklasifikasikan sebagai SJS-TEN. Untuk menentukan luas permukaan
tubuh yang terlibat dapat digunakan perhitungan seperti pada luka bakar, misalnya
menggunakan Rule of 9. Manifestasi klinis utama dari SJS/TEN meliputi trias erosi
membran mukosa, lesi target dan nekrosis epidermal dengan pengelupasan.2

Gambar 7. A. Erupsi awal. B. Gambaran awal dengan vesikel dan bula. C.


Erupsi lanjut. D. Nekrolisis epidermal luas.
Fase prodromal dengan demam, batuk dan malaise dapat mendahului manifestasi
kutaneus selama beberapa minggu. Lesi target dapat muncul sebagai lesi iris dengan 3
lingkaran dan berubah menjadi lesi purpura dengan 2 lingkaran. Bula dapat terjadi pada
pasien dengan SJS/TEN dan umumnya bersifat kendur sehingga dapat ditemukan tanda
Nikolsy positif. Lesi biasanya pertama kali muncul di batang tubuh dan kemudian
dengan cepat menyebar ke wajah, leher dan ekstremitas, umumnya mencapai puncak
dalam 4 hari. Lesi mukosal yang nyeri dapat melibatkan bibir, kavitas oral, konjungtiva,
kavitas nasal, urethra dan vagina.2
Berbagai macam obat dapat menyebabkan terjadinya SJS/TEN, namun terdapat
beberapa obat-obatan dengan risiko tinggi yakni antibiotik sulfonamid, sefalosporin,
karbamazepin, fenitoin, NSAID oxicam, nevirapine, lamotrigine, sertraline,
pantoprazole, dan tramadol.2
5. Eksantema fikstum
Eksantema fikstum atau fixed drug eruption (FDE) merupakan salah satu erupsi kulit
yang sering dijumpai. Imunopatologi yang mendasari hampir selalu konsisten dengan
reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang melibatkan sel T CD8 + intraepidermal.2
Lesi berupa makula eritematosa, merah terang atau merah kehitaman (dusky red) soliter
yang dapat berkembang menjadi plakat edematosa. Lesi kadang disertai vesikel atau
bula pada bagian tengah lesi sehingga sering menyerupai eritema multiforme. Pasien
dapat mengeluhkan rasa terbakar atau tersengat, maupun gejala konstitusional seperti
demam, malaise dan keluhan abdominal. Eksantema fikstum dapat terjadi mulai dari
30 menit hingga 8-16 jam setelah konsumsi obat. Setelah fase akut awal dalam hitungan
hari hingga minggu, lesi kemudian meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama
hilang, bahkan sering menetap.1,4

Gambar 8. Eksantema fikstum


Predileksi tersering di daerah bibir, tangan, genitalia dan perianal namun dapat terjadi
di permukaan kulit manapun.. Ciri khas erupsi obat jenis ini adalah erupsi berulang
yang muncul dengan cepat (hanya dalam beberapa jam) pada predileksi yang sama
setelah pajanan obat penyebab, yang juga dapat disertai dengan timbulnya lesi baru. 1,2,4
Etiologi tersering adalah ibuprofen, sulfonamid, tetrasiklin, dan naproxen.4
6. Eritroderma
Eritroderma atau dermatitis eksfoliativa merupakan lesi eritema difus disertai skuama
pada lebih dari 90% area tubuh. Eritroderma bukan merupakan suatu diagnosis spesifik
dan dapat disebabkan oleh berbagai penyakit kulit lain selain erupsi obat alergik,
misalnya perluasan penyakit kulit, penyakit sistemik termasuk keganasan (misal
penyakit Hodgkin) atau idiopatik. Perlu dilakukan pemeriksaan teliti dan penunjang
untuk membantu menyingkirkan kemungkinan penyebab lain. Pada eritroderma sering
terjadi ketidakseimbangan elektrolit, gangguan termoregulasi, serta kehilangan
albumin, sehingga merupakan indikasi pasien untuk dirawat. Obat penyebab antara lain
asetaminofen dan minosiklin.1
Tabel 1. Manifestasi Klinis pada Beberapa Erupsi Obat

Tabel 2. Erupsi Bulosa

Diagnosis
Reaksi simpang obat perlu dipertimbangkan pada semua pasien yang mengkonsumsi obat-
obatan dan yang secara tiba-tiba mengalami erupsi kulit simetris. Untuk memastikan
kecurigaan tersebut maka dapat didukung oleh bukti riwayat konsumsi obat pada saat
anamnesis, manifestasi klinis dan morfologi lesi pada kulit, serta pemeriksaan penunjang. 3
Dalam melakukan anamnesis maka hal-hal yang perlu diperhatikan adalah: 3
• Meninjau daftar pengobatan pasien secara lengkap, termasuk obat-obatan yang
diresepkan oleh dokter maupun yang dibeli sendiri.
• Mencatat riwayat reaksi simpang terhadap obat atau makanan
• Mempertimbangkan etiologi alternatif misalnya infeksi bakterial atau eksantema viral
• Memperhatikan jika terdapat komorbid infeksi, penyakit metabolik atau
imunokompromais.
Selain itu, hal-hal berikut ini perlu dicatat secara rinci, yaitu:3

• Interval antara penggunaan obat pertama kali dan onset erupsi kulit
• Rute, dosis, durasi dan frekuensi administrasi obat
• Penggunaan obat-obatan parenteral (lebih mungkin menyebabkan anafilaksis)
• Penggunaan obat-obatan topikal (lebih mungkin mencetuskan hipersensitivitas tipe
lambat)
• Penggunaan multiterapi dan administrasi yang berkepanjangan (risiko sensitisasi
alergik)
• Perbaikan setelah penghentian obat dan reaksi setelah readministrasi
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan fisik umum serta pemeriksaan dermatologi. Pada
pemerksaan dermatologi dipastikan kembali karakterisasi dari tipe reaksi obat yang terjadi.
Selain itu, perlu juga dipikirkan adanya toksisitas internal sehingga diperlukan peninjauan
klinis per sistem. Pemeriksaan fisik juga perlu mencari ciri-ciri reaksi obat yang berat dan
berpotensi mengancam nyawa, antara lain: 4
A. Sistemik
a. Demam dan/atau gejala keterlibatan organ dalam lain seperti faringitis, malaise,
arthralgia, batuk dan meningismus
b. Limfadenopati
B. Kutaneus
a. Evolusi menjadi eritroderma
b. Keterlibatan wajah yang jelas dengan atau tanpa edema
c. Keterlibatan membran mukosa (terutama jika erosif atau melibatkan
konjungtiva)
d. Skin tenderness, blistering atau shedding
e. Purpura
Tidak ada pemeriksaan baku emas untuk konfirmasi diagnosis erupsi obat. 4 Pada erupsi
asimptomatik ringan, anamnesis dan pemeriksaan fisik seringkali sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis. Tetapi pada erupsi berat atau persisten, pemeriksaan diagnostik lebih
lanjut mungkin diperlukan, yakni sebagai berikut:5
• Biopsi kulit
• Pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis
• Tes kimia serum (terutama untuk ketidakseimbangan elektrolit dan fungsi ginjal atau
hepatik pada pasien dengan reaksi berat)
• Tes antibodi atau imunoserologi
• Kultur direk untuk memeriksa etiologi infeksi primer atau sekunder
• Urinalisis, radiografi thoraks untuk vaskulitis
• Uji tempel atau skin prick untuk mengkonfirmasi agen penyebab
Tatalaksana
Langkah pertama dalam tatalaksana erupsi obat adalah mengidentifikasi dan menghentikan
obat penyebab. Terapi suportif yang dapat diberikan adalah:

• Terapi sistemik
Walaupun peran kortikosteroid pada pengobatan reaksi kuteneus berat masih
kontroversial, sebagian besar klinisi memilih untuk memberikan prednison pada dosis
1-2 mg/kgBB/hari saat gejala yang ditemukan berat. Antihistamin, kortikosteroid
topikal atau keduanya dapat digunakan untuk meringankan gejala yang terjadi. 4
o Kortikosteroid1
▪ Ringan: 0,5mg/kgBB/hari
▪ Berat: 1-4mg/kgBB/hari
o Antihistamin terutama pada urtikaria, angioedema. Dapat pula diberikan pada
eritroderma, dan erupsi makulopapular.1
• Terapi topikal
Pemberian terapi topikal tidak spesifik, bergantung pada kondisi dan luas lesi kulit.1
o Kortikosteroid
o Pelembab
o Keratolitik
o Antipruritus
o Kompres
• Desensitisasi obat atau induksi toleransi obat telah digunakan terutama untuk reaksi
yang dimediasi oleh IgE akibat obat-obatan seperti penisilin, antibodi monoklonal
(misalnya rituximab dan infliximab). Pasien sebaiknya tidak melakukan rechallenge
atau desensitisasi jika pernah mengalami reaksi berat. 4
Erupsi obat berat (misalnya SJS, TEN, dan sindrom hipersensitivitas membutuhkan rawat inap.
Tatalaksana pada pasien SJS/TEN mirip dengan penatalaksanaan luka bakar luas. Pada pasien
terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, bakteremia akibat hilangnya sawar kulit,
hiperkatabolisme, dan kadang acute respiratory distress syndrome (ARDS). Kebutuhan
metabolik dan cairan pasien SJS/TEN lebih sedikit dibandingkan dengan korban luka bakar,
namun asupan nutrisi dan monitoring terhadap sepsis sangat penting. 6
Prognosis
Prognosis erupsi obat alergik tipe ringan baik bila obat penyebab dapat diidentifikasi dan segera
dihentikan. Pada erupsi obat alergik tipe berat dimana terdapat lesi luas ataupun adanya
keterlibatan organ dalam, misalnya eritroderma dan nekrolisis epidermal toksik, prognosis
dapat menjadi buruk, disebabkan oleh komplikasi yang terjadi misalnya sepsis. 1
Untuk sebagian besar erupsi obat, penyembuhan sempurna tanpa komplikasi dapat diharapkan,
kecuali pada situasi-situasi berikut:

• Pasien dengan erupsi eksantematosa akan mengalami deskuamasi ringan setelah ruam
menghilang
• Pasien dengan sindrom hipersensitivitas obat berisiko untuk menjadi hipotiroid,
biasanya dalam 4-12 minggu pertama setelah reaksi. Selain itu, juga terdapat risiko
diabetes.
• Pasien dengan TEN dapat saja mengalami jaringan parut, kebutaan dan bahkan
kematian. Prognosis SJS-TEN dapat diperkirakan berdasarkan SCORTEN, seperti
terlihat pada tabel 3 dan 4.
Tabel 3. SCORTEN: Sistem Skoring Prognostik Untuk Pasien Dengan SJS-TEN
Faktor Prognostik Poin
Usia >40 tahun 1
Denyut nadi >120 kali/menit 1
Kanker atau keganasan hematologik 1
Luas permukaan tubuh yang terlibat >10% 1
Level urea serum >10 mM 1
Level bikarbonat serum >20 mM 1
Level glukosa serum >14 mM 1

Tabel 4. Angka Kematian Pasien SJS-TEN Berdasarkan Nilai Scorten


Nilai SCORTEN Angka Kematian (%)
0-1 3.2
2 12.1
3 35.8
4 58.3
5 90
Daftar Pustaka

1. FKUI. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2015.

2. Khan DA. Cutaneous drug reactions. J Allergy Clin Immunol. 2012 Nov 1;130(5):1225–
1225.e6.

3. Drug Eruptions: Practice Essentials, Background, Pathophysiology. 2018 Jun 02;


Available from: https://emedicine.medscape.com/article/1049474-overview

4. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wollf K. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2012.

5. James WD, Berger TG, Elston DM, Neuhaus IM. Andrew’s Diseases of the Skin. 12th
ed. New York: Elsevier; 2016.

Anda mungkin juga menyukai