ERUPSI OBAT
Oleh:
Ayezia Balqis
2013730015
Pembimbing:
dr. Mahdar Johan, Sp.KK
Jika edema juga terjadi pada dermis dan subkutis maka reaksi yang terjadi dikenal
sebagai angioedema. Angioedema umumnya bersifat unilateral dan tidak gatal dengan
predileksi di daerah bibir, kelopak mata, genitalia eksterna, tangan dan kaki.
Angioedema juga dapat terjadi pada glottis yang menyebabkan asfiksia, sehingga
dibutuhkan penangan segera. Angioedema bertahan selama 1-2 jam, meskipun bisa juga
menetap hingga 2-5 hari.1,4
Serum sickness-like reactions
Serum sickness-like reactions ditandai dengan adanya demam, ruam kulit yang
umumnya berupa urtikaria, dan arthralgia yang timbul 1-3 minggu setelah onset terapi.
Tanda lain yang dapat menjadi petunjuk lebih spesifik adalah adanya lesi
makulopapular pada sisi jari-jari dan ibu jari atau distribusi serpiginosa dari lesi tersebut
sepanjang sisi lateral telapak kaki. Dapat pula disertai dengan limfadenopati dan
eosinofilia. Reaksi ini dibedakan dengan true serum sickness berdasarkan tidak adanya
kompleks imun, hipokomplementemia, vaskulitis dan lesi renal. Etiologi tersering
adalah cefaclor, cefprozil, bupropion, minosiklin, dan rituximab. 2,4
3. Erupsi pustular
Erupsi akneiformis
Erupsi pustular yang sering dijumpai adalah steroid acne
dengan karakteristik erupsi yang timbul di area atipikal
seperti lengan dan tungkai dan seringkali bersifat
monomorfik. Biasanya tidak disertai dengan komedo. Lesi
akne biasanya terjadi dalam beberapa minggu setelah
dimulainya terapi.2,4
Etiologi tersering antara lain glukokortikoid, iodida, bromida,
hormon adrenokortikotropik, glukokortikoid, isoniazid,
androgen, lithium, actinomycin D dan fenitoin. Pada kasus-
kasus dimana obat pencetus tidak dapat dihentikan, maka Gambar 5. Erupsi
tretinoin topikal dapat berguna.4 akneiformis
Diagnosis
Reaksi simpang obat perlu dipertimbangkan pada semua pasien yang mengkonsumsi obat-
obatan dan yang secara tiba-tiba mengalami erupsi kulit simetris. Untuk memastikan
kecurigaan tersebut maka dapat didukung oleh bukti riwayat konsumsi obat pada saat
anamnesis, manifestasi klinis dan morfologi lesi pada kulit, serta pemeriksaan penunjang. 3
Dalam melakukan anamnesis maka hal-hal yang perlu diperhatikan adalah: 3
• Meninjau daftar pengobatan pasien secara lengkap, termasuk obat-obatan yang
diresepkan oleh dokter maupun yang dibeli sendiri.
• Mencatat riwayat reaksi simpang terhadap obat atau makanan
• Mempertimbangkan etiologi alternatif misalnya infeksi bakterial atau eksantema viral
• Memperhatikan jika terdapat komorbid infeksi, penyakit metabolik atau
imunokompromais.
Selain itu, hal-hal berikut ini perlu dicatat secara rinci, yaitu:3
• Interval antara penggunaan obat pertama kali dan onset erupsi kulit
• Rute, dosis, durasi dan frekuensi administrasi obat
• Penggunaan obat-obatan parenteral (lebih mungkin menyebabkan anafilaksis)
• Penggunaan obat-obatan topikal (lebih mungkin mencetuskan hipersensitivitas tipe
lambat)
• Penggunaan multiterapi dan administrasi yang berkepanjangan (risiko sensitisasi
alergik)
• Perbaikan setelah penghentian obat dan reaksi setelah readministrasi
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan fisik umum serta pemeriksaan dermatologi. Pada
pemerksaan dermatologi dipastikan kembali karakterisasi dari tipe reaksi obat yang terjadi.
Selain itu, perlu juga dipikirkan adanya toksisitas internal sehingga diperlukan peninjauan
klinis per sistem. Pemeriksaan fisik juga perlu mencari ciri-ciri reaksi obat yang berat dan
berpotensi mengancam nyawa, antara lain: 4
A. Sistemik
a. Demam dan/atau gejala keterlibatan organ dalam lain seperti faringitis, malaise,
arthralgia, batuk dan meningismus
b. Limfadenopati
B. Kutaneus
a. Evolusi menjadi eritroderma
b. Keterlibatan wajah yang jelas dengan atau tanpa edema
c. Keterlibatan membran mukosa (terutama jika erosif atau melibatkan
konjungtiva)
d. Skin tenderness, blistering atau shedding
e. Purpura
Tidak ada pemeriksaan baku emas untuk konfirmasi diagnosis erupsi obat. 4 Pada erupsi
asimptomatik ringan, anamnesis dan pemeriksaan fisik seringkali sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis. Tetapi pada erupsi berat atau persisten, pemeriksaan diagnostik lebih
lanjut mungkin diperlukan, yakni sebagai berikut:5
• Biopsi kulit
• Pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis
• Tes kimia serum (terutama untuk ketidakseimbangan elektrolit dan fungsi ginjal atau
hepatik pada pasien dengan reaksi berat)
• Tes antibodi atau imunoserologi
• Kultur direk untuk memeriksa etiologi infeksi primer atau sekunder
• Urinalisis, radiografi thoraks untuk vaskulitis
• Uji tempel atau skin prick untuk mengkonfirmasi agen penyebab
Tatalaksana
Langkah pertama dalam tatalaksana erupsi obat adalah mengidentifikasi dan menghentikan
obat penyebab. Terapi suportif yang dapat diberikan adalah:
• Terapi sistemik
Walaupun peran kortikosteroid pada pengobatan reaksi kuteneus berat masih
kontroversial, sebagian besar klinisi memilih untuk memberikan prednison pada dosis
1-2 mg/kgBB/hari saat gejala yang ditemukan berat. Antihistamin, kortikosteroid
topikal atau keduanya dapat digunakan untuk meringankan gejala yang terjadi. 4
o Kortikosteroid1
▪ Ringan: 0,5mg/kgBB/hari
▪ Berat: 1-4mg/kgBB/hari
o Antihistamin terutama pada urtikaria, angioedema. Dapat pula diberikan pada
eritroderma, dan erupsi makulopapular.1
• Terapi topikal
Pemberian terapi topikal tidak spesifik, bergantung pada kondisi dan luas lesi kulit.1
o Kortikosteroid
o Pelembab
o Keratolitik
o Antipruritus
o Kompres
• Desensitisasi obat atau induksi toleransi obat telah digunakan terutama untuk reaksi
yang dimediasi oleh IgE akibat obat-obatan seperti penisilin, antibodi monoklonal
(misalnya rituximab dan infliximab). Pasien sebaiknya tidak melakukan rechallenge
atau desensitisasi jika pernah mengalami reaksi berat. 4
Erupsi obat berat (misalnya SJS, TEN, dan sindrom hipersensitivitas membutuhkan rawat inap.
Tatalaksana pada pasien SJS/TEN mirip dengan penatalaksanaan luka bakar luas. Pada pasien
terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, bakteremia akibat hilangnya sawar kulit,
hiperkatabolisme, dan kadang acute respiratory distress syndrome (ARDS). Kebutuhan
metabolik dan cairan pasien SJS/TEN lebih sedikit dibandingkan dengan korban luka bakar,
namun asupan nutrisi dan monitoring terhadap sepsis sangat penting. 6
Prognosis
Prognosis erupsi obat alergik tipe ringan baik bila obat penyebab dapat diidentifikasi dan segera
dihentikan. Pada erupsi obat alergik tipe berat dimana terdapat lesi luas ataupun adanya
keterlibatan organ dalam, misalnya eritroderma dan nekrolisis epidermal toksik, prognosis
dapat menjadi buruk, disebabkan oleh komplikasi yang terjadi misalnya sepsis. 1
Untuk sebagian besar erupsi obat, penyembuhan sempurna tanpa komplikasi dapat diharapkan,
kecuali pada situasi-situasi berikut:
• Pasien dengan erupsi eksantematosa akan mengalami deskuamasi ringan setelah ruam
menghilang
• Pasien dengan sindrom hipersensitivitas obat berisiko untuk menjadi hipotiroid,
biasanya dalam 4-12 minggu pertama setelah reaksi. Selain itu, juga terdapat risiko
diabetes.
• Pasien dengan TEN dapat saja mengalami jaringan parut, kebutaan dan bahkan
kematian. Prognosis SJS-TEN dapat diperkirakan berdasarkan SCORTEN, seperti
terlihat pada tabel 3 dan 4.
Tabel 3. SCORTEN: Sistem Skoring Prognostik Untuk Pasien Dengan SJS-TEN
Faktor Prognostik Poin
Usia >40 tahun 1
Denyut nadi >120 kali/menit 1
Kanker atau keganasan hematologik 1
Luas permukaan tubuh yang terlibat >10% 1
Level urea serum >10 mM 1
Level bikarbonat serum >20 mM 1
Level glukosa serum >14 mM 1
1. FKUI. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2015.
2. Khan DA. Cutaneous drug reactions. J Allergy Clin Immunol. 2012 Nov 1;130(5):1225–
1225.e6.
4. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wollf K. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2012.
5. James WD, Berger TG, Elston DM, Neuhaus IM. Andrew’s Diseases of the Skin. 12th
ed. New York: Elsevier; 2016.