Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Jumlah konsumen rokok di Indonesia setiap tahun terus meningkat.


Menurut World Health Organization (WHO), Indonesia berada pada urutan
ketiga tertinggi setelah Cina dan India dalam jumlah perokok usia dewasa
(WHO, 2012). Laporan WHO (2011) mengenai konsumsi tembakau di
dunia, Indonesia memiliki angka prevalensi merokok 46,8% laki-laki dan
3,1% perempuan. Menurut hasil Global Adults Tobacco Survey (GATS)
tahun 2011 diketahui proporsi perokok umur ≥ 15 tahun pada laki laki
sebesar 67%, dan perempuan 2,7% (Sihombing & Notohartojo, 2015).

Hasil penelitian Riskesdas (2013) melaporkan proporsi penduduk


umur ≥15 tahun yang merokok dan mengunyah tembakau cenderung
meningk dalam Riskesdas 2007 (34,2%), Riskesdas 2010 (34,7%) dan
Riskesdas 2013 (36,3%). Proporsi perokok di jawa tengah umur ≥10
menunjukan 32,2% perokok setiap hari dan 6,0% perokok kadang-kadang.
Laporan hasil Riskesdas provinsi Jawa Tengah (2007) jumlah perokok di
sukoharjo menunjukan 21,1% perokok setiap hari, dan 6,3% perokok
kadang-kadang.

Rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan dapat
mengakibatkan kecanduan bagi individu dan masyarakat (Irmayanti, 2015).
Konsumsi rokok merupakan salah satu faktor risiko utama terjadinya
berbagai penyakit tidak menular seperti penyakit jantung koroner, stroke,
kanker, penyakit paru kronik dan diabetes mellitus dan merupakan
penyebab kematian utama didunia, termasuk di negara kita Indonesia
(Depkes RI, 2012).
Selain dampak pada kesehatan, perilaku merokok ternyata memberi
dampak sosial dan ekonomi yang cukup serius. Dari beberapa kajian tentang
perilaku merokok dengan status sosial ekonomi, terlihat adanya fenomena
yang ironis, bahwa di negara-negera berkembang dan terbelakang
pertumbuhan prevalensi merokok setiap tahun rata-rata 2,1%. Hal ini sangat
berbeda dengan negara-negara maju, yang prevalensinya justru menurun
1,1% per tahun (Daroji, et al., 2011).

Pola belanja rumah tangga miskin ternyata belanja rokok menjadi


prioritas kedua (12,43%) setelah belanja padi-padian (19,30%). Hal ini
berarti bahwa belanja rokok dianggap lebih penting dari belanja pendidikan,
8 kali lipat (1,47%) dan kesehatan, 6 kali lipat (1,99%) (Daroji, et al., 2011).

Menurut Fajriwin (1999), asap rokok dari orang tua yang merokok
dapat menyebabkan pencemaran udara dalam rumah yang dapat merusak
mekanisme paru-paru. Asap rokok juga diketahui sebagai sumber oksidan.
Asap rokok yang berlebihan dapat merusak sel paru-paru baik sel saluran
pernapasan maupun sel jaringan paru seperti alveoli (Winarni, et al., 2010).

Masyarakat perokok pada dasarnya menyadari bahwa tembakau


yang dijadikan rokok merupakan salah satu potensi sumber penyakit dan
mengganggu kesehatan diri maupun lingkungan sekitarnya. Rokok tidak
hanya berbahaya bagi sang penghisapnya namun juga bagi orang yang tidak
sengaja menghisap asap (perokok pasif) dari rokok yang dihisap oleh si
perokok, bahkan akan lebih berbahaya dampaknya kepada perokok pasif
ketimbang si perokok itu sendiri (Ruhimat, 2014).

Perilaku merokok yang dinilai merugikan telah bergeser menjadi


perilaku yang menyenangkan dan menjadi aktifitas yang bersifat obsesif.
Faktor terbesar dari kebiasaan merokok adalah faktor sosial atau
lingkungan. Terkait hal itu, kita tentu telah mengetahui bahwa karakter
seseorang banyak dibentuk oleh lingkungan sekitar, baik keluarga, tetangga,
ataupun teman pergaulan (Aula, 2010).
Keluarga menurut Undang-undang no. 10 tahun 1992 adalah unit
terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami istri atau suami istri dan
anaknya, atau ayah dengan anaknya, atau ibu dengan anaknya (Agustini, et
al., 2013). Keluarga merupakan kelompok individu yang ada hubungannya,
hidup bersama dan bekerjasama di dalam suatu unit. Kehidupan dalam
kelompok tersebut bukan secara kebetulan, tetapi diikat oleh hubungan
darah atau perkawinan (Purwaningsih, 2010).

Keintiman keluarga adalah perasaan saling percaya, berbagi,


terbuka, perasaan yang dekat, terikat dan saling berhubungan antara dua
atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan darah,
hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidupnya dalam suatu
rumah tangga. Fungsi keluarga menurut Friedman (1992) adalah : fungsi
afektif dan koping, fungsi sosialisasi, fungsi reproduksi, fungsi ekonomi,
dan fungsi fisik (Chotimah, 2015).
Berdasarkan latar belakang diatas, dilakukan penelitian tentang
“Hubungan Antara Keintiman Keluarga dengan Perilaku Merokok Kepala
Keluarga di Kecamatan Kartasura”.

B. Rumusan Masalah
Pada penelitian ini akan diteliti adakah hubungan antara keintiman
keluarga dengan perilaku merokok kepala keluarga.

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis adanya
hubungan antara keintiman keluarga dengan perilaku merokok kepala
keluarga.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini menambah bukti empiris mengenai hubungan antara
keintiman keluarga dengan perilaku merokok kepala keluarga.
2. Manfaat praktis
Memberi masukan kepada pembuat kebijakan dibidang kesehatan
mengenai hubungan antara keintiman keluarga dengan perilaku
merokok kepala keluarga.

Anda mungkin juga menyukai