Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PEDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu bentuk trauma yang
menyebabkan sering terjadinya fraktur. Fraktur merupakan gangguan
komplet atau tak-komplet pada kontinuitas struktur tulang dan didefinisikan
sesuai dengan jenis dan keluasannya (Smeltzer & Bare, 2013). Menurut
WHO terdapat beberapa penyebab yang menjadikan kecelakaan lalu lintas di
Indonesia semakin meningkat yaitu, di Indonesia tidak begitu tegas dalam
mengatur praktik, mengatur kecepatan dalam berkendara, mengemudi disaat
mabuk, tidak memakai helm dan penggunaan sabuk pengaman.
Kejadian fraktur di Indonesia sebesar 1,3 juta setiap tahun dengan
jumlah penduduk 238 juta, merupakan terbesar di Asia Tenggara (Ropyanto,
2013). Setiap populasi 100.000 orang, terdapat 18 orang yang meninggal
karena kecelakaan lalu lintas. WHO (Wordl Health Organization)
meriliskan The Global Report on Road Safety (2016), Indonesia merupakan
peringkat ketiga di Asia setelah Tiongkok dan India dengan total 38.279 total
kematian akibat kecelakaan lalu lintas di tahun 2015. Setiap tahun terdapat
1,24 juta orang yang meninggal disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas,
sedangkan 20 – 50 juta orang lainnya mengalami disabilitas akibat
kecelakaan lalu lintas.
Berdasarkan hasil riset dasar (RISKESDAS) pada tahun 2013 insiden
kecelakaan terjadi peningkatan yang cukup tinggi yaitu dari 25,9% pada
tahun 2007, menjadi 47,7% pada tahun 2013, faktur yang terjadi akibat
kecelakaan sebanyak 5,8%. (Riskesdas Depkes RI, 2013; Riskesdas Depkes
RI, 2007). Kementrian kesehatan RI melalui survey nasional tahun 2012
mencatat bahwa angka prevalensi kasus fraktur secara nasional sekitar
37,7%. Adapun jenis kasus terbanyak adalah fraktur femur dengan
presentase 39%, fraktur tibia dan fibula sebesar 11%, fraktur humerus dan
radialis sebesar 15% (Agus & Wien, 2017).
Pada penderita fraktur dampak yang dapat timbul oleh trauma ialah
nyeri atau rasa sakit, pembengkakan dan kelainan bentuk tubuh. Nyeri
fraktur terjadi akibat terputusnya kontinuitas tulang yang mengakibatkan
munculnya sensasi tidak menyenangkan dan pengalaman emosional akibat
dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial yang bersifat subjektif
(Alimul, 2009). Nyeri bisa timbul hampir pada setiap area fraktur. Bila tidak
diatasi dapat menimbulkan efek yang membahayakan yang akan
mengganggu proses penyembuhan dan dapat meningkatkan angka morbiditas
dan mortalitas, untuk itu perlu penanganan yang lebih efektif untuk
meminimalkan nyeri yang dialami oleh pasien (LeMone, 2015).
Kondisi yang menyebabkan ketidaknyamanan pasien ialah nyeri. Nyeri
merupakan sensasi ketidaknyamanan yang bersifat individual. Pasien
merespons terhadap nyeri yang dialaminya dengan beragam cara, misalnya
berteriak, meringis, dan sebagainya. Nyeri bersifat subjektif, maka perawat
mesti peka terhadap sensasi nyeri yang dialami pasien. Untuk itu, diperlukan
kemampuan perawat dalam mengidentifikasi dan mengatasi rasa nyeri. Salah
satu upaya mengontrol nyeri pada pasien fraktur ialah perawat perlu
memberikan informasi kepada pasien dan keluarga pasien tentang terapi non
farmakologi yang bisa membantu pasien dalam menghilangkan atau
mengurangi nyeri. Beberapa implementasi keperawatan yang dapat diberikan
dalam melakukan manajemen nyeri yaitu dengan mengajarkan teknik non
farmakologi, seperti teknik relaksasi, manajemen lingkungan dan pemberian
kompres hangat atau dingin (Prasetyo, 2012). Maka dari itu Perawat berperan
penting dalam proses penyembuhan pasien, harus menyediakan edukasi yang
diperlukan, mampu bertindak sebagai advokat pasien, dan mendorong
perilaku yang meningkatkan kesehatan serta perawat harus memberikan
asuhan keperawatan secara holistik (Smeltzer dan Bare, 2002).
Sehingga berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk mengambil
judul “Implementasi Keperawatan pada Pasien fraktur dengan Masalah Nyeri
di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang tahun 2018.”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis ingin mengetahui
implementasi keperawatan pada pasien dengan fraktur dengan masalah nyeri,
dengan merumuskan masalah “Bagaimanakah implementasi keperawatan
pada pasien dengan fraktur dengan masalah nyeri di Rumah Sakit
Muhammdiyah Palembang tahun 2018”.

1.3 Tujuan Studi Kasus


1. Tujuan umum
Mampu melaksanakan implementasi keperawatan pada pasien
dengan fraktur dengan masalah nyeri di Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang tahun 2018.

2. Tujuan khusus
1. Mampu melakukan teknik relaksasi nafas dalam pada pasien dengan
fraktur tulang panjang dengan masalah nyeri di Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang tahun 2018.
2. Mampu melakukan kompres hangat pada pasien dengan fraktur tulang
panjang dengan masalah nyeri di Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang tahun 2018.
3. Mampu melakukan therapeutic touch pada pasien dengan fraktur tulang
panjang dengan masalah nyeri di Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang tahun 2018.

1.4 Manfaat studi kasus


1. Manfaat bagi Rumah sakit
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi atau pun
tambahan informasi dalam pengelolaan pada pasien post operasi fraktur
tulang panjang dengan nyeri.
2. Manfaat bagi pasien
Sebagai tambahan wawasan, keterampilan dan pengalaman dalam
mengatasi nyeri pada pasien.
3. Manfaat bagi institusi pendidikan
Hasil Karya Tulis Ilmiah ini sebagai sumber informasi bagi institusi
pendidikan dalam pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan di
masa yang akan datang.
4. Manfaat bagi Mahasiswa
Sebagai sarana belajar.
5. Manfaat bagi peneliti selanjutnya
Agar hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dan informasi dasar
untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Fraktur


2.1.1 Anatomi Fisiologi Tulang
a. Klasifikasi Tulang
Tubuh manusia terdiri dari 206 tulang yang terbagi dalam empat kategori
(Asikin, 2016):
1. Tulang panjang (femur dan humerus) terdiri dari bagian silindris yang
sempit dan panjang seperti batang pada bagian tengah (diafisis) yang
bergabung bergabung ke dalam leher tulang (metafisis) menuju ujungnya
berbentuk bulat (epifisis). Tulang diafisis terdiri dari tulang spongiosa
yang mengandung sumsum kuning dan dibungkus oleh selapis tipis tulang
kompak.
2. Tulang pendek (falang dan karpal) berbentuk kuboid, yang bentuknya
hampir sama dengan tulang panjang, serta berukuran pendek dan kecil.
Tulang pendek terdiri dari tulang spongiosa yang ditutupi lapisan tipis
tulang kompak. Contoh tulang pendek yaitu tulang pergelangan tangan dan
tulang pergelangan kaki.
3. Tulang pipih (tulang dada/sternum, kepala, tulang belikat/scapula dan
panggul) berbentuk gepeng (pipih). Salah satu fungsi dari tulang pipih
yaitu melindungi organ vital dan lunak yang berada di dalamnya. Tulang
pipih terdiri dari dua lapisan tulang kompak dan di bagian tengahnya
terdapat lapisan spongiosa.
4. Tulang tidak beraturan ( tulang belakang/vertebra, tulang wajah, tulang
sesamoid dan mandibula) mempunyai berbagai bentuk serta memiliki
segmen tipis dan tebal. Segmen tipis dari tulang tidak beraturan terdiri dari
dua lempeng tulang kompak dengan tulang spongiosa di antara kedua
lempeng tersebut. Bagian yang tebal terdiri dari tulang spongiosa yang
dikelilingi lapisan tulang kompak.
Tulang sesamoid (patella yang terletak pada ekstremitas bawah)
merupakan tulang kecil yang terletak di sekitar tulang yang berdekatan
dengan persendian. Tulang ini berkembang bersama tendon dan jaringan
fasia.

b. Pembentukan Tulang
Proses pembentukan tulang dimulai saat stem cell mulai berdiferensiasi ke
dalam kondrosit, proses tersebut disebut osifikasi. Osifikasi yaitu proses saat
matriks tulang terbentuk dan terjadi pengerasan mineral, kemudian ditimbun
pada serabut kolagen dalam suatu lingkungan elektronegatif. Serabut kolagen
pada tulang memberikan kekuatan pada tulang terhadap tarikan, sedangkan
kalsium pada tulang berfungsi untuk memberikan kekuatan terhadap tekanan.
Proses osifikasi terdiri dari dua bentuk, yaitu secara endokondral dan
intramembran. Osifikasi secara endokondral terjadi saat stem cell mesenkem
mulai berdiferensiasi menjadi kondrosit yang kemudian berkembang menjadi
lipatan kartilago dengan mineral, yang memungkinkan pembentukan
osteoblast. Pembentukan tulang secara intramembran merupakan proses
pembentukan tulang di mana stem cell mesenkim berdiferensiasi menjadi
garis pra-osteoblast dan membentuk osteoblast tanpa melalui rangkaian
kartilago. Terakhir, pembentukan tulang yaitu kalsifikasi saat mineral
disimpan dan dikristalisasi (Asikin, 2016).

c. Penyembuhan Tulang

2.1 Gambar proses penyembuhan tulang


(Sjamsuhidayat, 2005)
Ketika tulang mengalami cedera, fragmen tulang tidak hanya ditambal
dengan jaringan parut, namun secara alamiah tulang akan mengalami
regenerasi sendiri. Tahapan penyembuhan tulang terdiri atas (Lukman, 2009).
1. Tahap inflamasi
Tahap inflamasi akan hilang ketika berkurangnya pembengkakan dan
nyeri. Saat tulang mengalami cedera, terjadi perdarahan dalam jaringan
yang cedera sehingga menimbulkan terjadinya hematoma. Ujung fragmen
tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah. Tempat
cidera kemudian akan diinvasi oleh makrofag (sel darah putih besar), yang
akan membersihkan daerah tersebut. Pada saat itu terjadi inflamasi,
pembengkakan dan nyeri.
2. Tahap proliferasi sel
Terjadi proliferasi dan differensial sel menjadi fibro kartilago/ tulang
rawan yang berasal dari periosteum, ednosteum dan bone marrow yang
telah mengalami polifireasi, dan terjadilah osteoblast dan proses
ostegenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang
menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah.
3. Tahap pembentukan kalus
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh
hingga celah sudah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan
dengan jaringan fibrosa, tulang rawan dan tulang serat matur. Perlu waktu
3-4 minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau
jaringan fibrosa.
4. Tahap penulangan kalus (Osifikasi)
Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam 2-3 minggu.
Mineral terus-menerus ditimbun sampai tulang benar-benar telah bersatu
dengan keras.
5. Tahap menjadi tulang dewasa (Remodeling)
Selama beberapa bulan atau tahun, terjadi proses reabsorbsi dan
pembentukan menjadi tulang yang terus menerus. Pada akhirnya
terbentuknya struktur yang mirip dengan tulang normalnya.
Tabel 2.1 Perkiraan penyembuhan fraktur pada orang dewasa
Lokasisasi Waktu penyembuhan
Falang/metacarpal/metatarsal/kosta 3-6 minggu
Distal radius 6 minggu
Diafisis ulna dan radius 12 minggu
Humerus 10-12 minggu
Klavikula 6 minggu
Panggul 10-12 minggu
Femur 12-16 minggu
Tibia 8-10 minggu
Fibula 12-16 minggu
Vetebra 12 minggu
(Nurarif & Kusuma, 2015)

2.1.2 Fraktur
A. Pengertian Fraktur
Fraktur adalah diskontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh tekanan atau trauma. Selain itu, fraktur merupakan
rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan oleh tekanan eksternal yang
lebih besar dibandingkan dengan yang dapat diserap tulang. (Asikin,
2016).

B. Etiologi Fraktur
Fraktur dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu (Musliha, 2014):
1. Fraktur akibat peristiwa trauma
Bila terjadi penekanan kekuatan pada tulang maka dapat
mengakibatkan patah pada tempat yang terkena serta jaringan
lunak juga akan rusak.
2. Fraktur akibat peristiwa kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang sama halnya seperti logam dan
benda lain akibat tekanan berulang-ulang.
3. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut
lunak (misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat
rapuh.
Menurut Brunner & Suddarth, (2005) fraktur dapat
disebabkan oleh pukulan langsung, gaya remuk, gerak punter
mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstremitas, organ tubuh
dapat mengalami cidera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur
atau akibat fragmen tulang.

C. Patofisiologi
Ketika tulang patah maka akan terjadi kerusakan di korteks,
pembuluh darah, sumsum tulang dan jaringan lunak. Akibatnya, terjadi
perdarahan dan membentuk hematoma di rongga medulla tulang.
Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respons
inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan
leukosit, serta infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan
dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya. Hematon yang
terbentuk bisa menyebabkan peningkatan tekanan dalam sumsum
tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak dan gumpalan
lemak tersebut masuk kedalam pembuluh darah yang mensuplai organ-
organ yang lain. Hematom menyebabkan dilatasi kapiler di otot,
sehingga meningkatkan tekanan kapiler, lalu menstimulasi histamine
pada otot yang iskemik dan menyebabkan protein plasma hilang dan
masuk ke interintestinal. Hal ini menimbulkan terjadi edema. Edema
yang terbentuk akan menekan ujung syaraf, yang bila berlangsung lama
bisa menyebabkan syndroma comportement. (Asikin, 2016).
D. Pathway
1.Trauma langsung Trauma tidak langsung Trauma patologis

Fraktur

Dikontunitas tulang Perubahan jaringan kulit

Pergeseran fragmen Nyeri Laserisasi kulit


tulang akut

Putus Kerusakan
vena/arteri integritas kulit
deformitas

Pendarahan
Ggn fungsi ekstremitas

Kehilangan vol.
Ggn Mobilitas fisik Cairan Resiko syok
(hipovolemik)

Imobilisasi fisik Pembedahan


O
R
I
F
/
O
Terputusnya Jaingan Adanya luka terbuka Kurang R
pengetahuanE
F
Nyeri akut Resiko cidera dan infeksi Ansietas/cemas

Skema 2.1 Pathways Fraktur


(Nurarif & Kusuma, 2015)
E. Klasifikasi Fraktur

2.2 Klasifikasi fraktur


( Asikin, 2016)

Klasifikasi fraktur sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang


praktis, dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu (Nurarif dan Kusuma,
2015 dalam Chairuddin, 2003) :
a. Berdasarkan etiologis
1) Fraktur traumatik
2) Fraktur patologis terjadi karena adanya kelainan/penyakit
menyebabkan kelemahan pada tulang (infeksi, tumor, kelainan
bawaan dan terjadi secara spontan akibat trauma ringan)
3) Fraktur stress terjadi akibat adanya stress kecil dan berulang-ulang
pada daerah tulang yang menopang berat badan.
b. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
1) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.
c. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1) Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang
tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2) Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh
penampang tulang seperti:
a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari korteks
dengan kompresi tulang spongiosa dibawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
d. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme
trauma.
1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang
padatulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau
langsung.
2) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk
sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma
angulasi juga.
3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk
spiral yang disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma
aksialfleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan
atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
e. Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu
dan saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu
tapi tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu
tapi tidak pada tulang yang sama.
1) Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
2) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap
tetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih
utuh.
3) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen
tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum
(pergeseran searah sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen
saling menjauh).
f. Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :1/3 proksimal, 1/3
medial dan 1/3 distal
g. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.

F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada pasien dengan fraktur antara lain (Lukman,
2009):
1. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai frragmen
tulang diimobilisasi.
2. Hilangnya fungsi, ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik
karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang
tempat melengketnya otot.
3. Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang
sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah
tempat fraktur.
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan maka terjadi krepitus.
Krepitus teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya dan dapat berakibat kerusakan jaringan lunak yang lebih
berat.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi
akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
G. Komplikasi
Komplikasi fraktur adalah sebagai berikut (Asikin. Dkk, 2016) :
a) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, sianosis bagian distal, hematoma dan dingin
pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
b) Sindrom Kompartemen
Sindrom Kompartemen merupakan peningkatan tekanan berlebih di
dalam satu ruangan yang disebabkan pendarahan masif, odema atau
yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena
tekanan dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat.
c) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) terjadi karena sel lemak yang
dihasilkan sumsum tulang kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai
dengan gangguan pernapasan, takikardia, hipertensi, takipnea dan
demam.
d) Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma ortopedik infeksi dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa
juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan dan seperti
pin dan plat.
e) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke
tulangrusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang
dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f) Syok
Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan sehingga
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan
menurunnya oksigenasi.
g) Delayed Union
Delayed Union adalah proses penyembuhan tulang dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung lebih lambat
dari keadaan normal. Ini disebabkan karena penurunan suplai
darah ke tulang.
h) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur menyambung kembali
seperti semula.
i) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang fraktur telah
sembuh dalam posisi yang tidak pada seharusnya, ditandai dengan
adanya perubahan bentuk sudut atau miring (deformitas).

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriiksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah (Lukman,
2009):
1. Pemeriksaan Rontgen: menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma dan
jenis fraktur.
2. Scan tulang, tomogram, CT Scan/MRI: memperlihatkan tingkat
keparahan fraktur, juga dapat untuk mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak.
3. Arteriogram: dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vascular.
4. Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
multiple trauma). Peningkatan jumlah SDP adalah proses stress
normal setelah trauma.
5. Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal.
6. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfuse multiple atau cedera hati.
H. Penatalaksanaan
a. Fraktur Terbuka
Fraktur terbuka merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi
kontaminasi oleh bakteri dan disertai dengan perdarahan yang hebat.
Sebelum kuman terlalu jauh meresap, sebaiknya dilakukan (Asikin,
2016) :
1) Pembersihan luka / debridemen
2) Eksisi (pengangkatan jaringan)
3) Hecting situasi (jahitan situasi)
4) Antibiotik
b. Seluruh Fraktur
Dalam fraktur dikenal dengan empat R yaitu : Rekognisis, reduksi,
retensi, rehabilitasi. (Price, 1995) :
1) Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan
tindakan selanjutnya.
2) Reduksi/Reposisi
Upaya untuk mengembalikan fragmen tulang yang patah pada
kesejajarannya.
a) Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat
dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang
dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang
mendasarinya tetap, sama. Pada kebanyakan kasus, reduksi
tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang
keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan
manipulasi dan traksi manual.
b) Alat Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan
efek reduksi dan imoblisasi. Ketika tulang sembuh, akan
terlihat pembentukan kalus ada sinar-x. Ketika kalus telah
kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan
imobilisasi.
c) Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan
reduksi terbuka. Dengan pendekatan Ibnu Rusyd, fragmen
tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin,
kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan
untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya
sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.
3) Hold Reduction
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur.
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi,
atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi
pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips,
atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk
fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur.
4) Rehabilitasi
Latihan dan pengobatan yang diperlukan untuk mencegah
terjadinya atropi dan kontraktur dengan fisioterapi.

2.2 Konsep Nyeri


2.2.1 Pengertian Nyeri
Nyeri adalah perasaan tidak nyaman yang bersifat subjektif dan
hanya bisa dijelaskan dan dievaluasi oleh orang yang mengalaminya.
Nyeri juga dapat diartikan sebagai perasaan tidak nyaman, baik ringan
maupun berat (Mubarak, 2007).

2.2.2 Klasifikasi Nyeri


Nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan
berdasarkan pada tempat, sifat, berat ringannya nyeri dan waktu lamanya
serangan. (Asmadi, 2009).
a. Nyeri berdasarkan tempatnya:
1. Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh,
misalnya pada kulit dan mukosa.
2. Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang
lebih dalam atau pada organ-organ tubuh visceral.
3. Refered pain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit
organ/struktur dalam tubuh yang ditransmisikan ke bagian tubuh di
daerah yang berbeda, bukan daerah asal nyeri.
4. Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan pada
system saraf pusat, spinal cord, batang otak, thalamus dan lain-
lain.

b. Nyeri berdasarkan sifatnya:


1. Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu
menghilang.
2. Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan
dalam waktu yang lama.
3. Paroxymal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi
dan kuat sekali. Nyeri tersebut biasanya menetap ±10-15 menit,
lalu menghilang, kemudian timbul lagi.

c. Nyeri berdasarkan berat ringannya:


1. Nyeri ringan, yaitu nyeri dengan intensitas rendah.
2. Nyeri sedang, yaitu nyeri yang menimbulkan reaksi.
3. Nyeri berat, yaitu nyeri dengan intensitas yang tinggi.

d. Nyeri berdasarkan waktu lamanya serangan:


1. Nyeri akut, yaitu nyeri yang dirasakan dalam waktu yang singkat
dan berakhir kurang dari enam bulan, sumber dan daerah nyeri
diketahui dengan jelas. Rasa nyeri mungkin sebagai akibat dari
luka, seperti luka operasi, ataupun pada suatu penyakit
arteriosclerosis pada arteri koroner.
2. Nyeri kronis, yaitu nyeri yang dirasakan lebih dari enam bulan.
Nyeri kronis ini polanya beragam dan berlangsung berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun. Ragam pola tersebut ada yang nyeri timbul
dengan periode yang diselingi interval bebas dari nyeri lalu timbul
kembali lagi nyeri, dan begitu seterusnya. Ada pula pola nyeri
kronis yang konstan, artinya nyeri tersebut terus-menerus terasa
makin lama semakin meningkat intensitasnya walaupun telah
diberikan pengobatan. Misalnya, pada nyeri karena neoplasma.

2.2.3 Cara Mengukur Nyeri


Hayward (1975) mengembangkan sebuah alat ukur nyeri
(painometer) dengan skala longitudinal yang pada salah satu
ujungnya tercantum nilai 0 (untuk keadaan nyeri) dan ujung
lainnya nilai 10 (untuk kondisi nyeri paling hebat). Untuk
mengukurnya, penderita memilih salah satu bilangan yang
menurutnya paling menggambarkan pengalaman nyeri yang
terakhir kali ia rasakan, dan nilai ini dapat dicatat pada sebuah
garfik yang di buat menurut waktu. Intensitas nyeri ini sifatnya
subjektif dan dipengaruhi oleh banyak hal, seperti tingkat
kesadaran, konsentrasi, jumlah distraksi, tingkat aktivitas, dan
harapan keluarga. Intensitas nyeri dapat dijabarkan dalam sebuah
skala nyeri dengan beberapa kategori (Mubarak, 2007).
Skala Keteerangan
0 Tidak nyeri
1-3 Nyeri ringan
4-6 Nyeri sedang
7-9 Sangat nyeri, tetapi masih dapat dikontrol dengan aktivitas yang biasa
dilakukan
10 Sangat nyeri dan tidak bisa dikontrol
Skala nyeri menurut Hayward
Sedangkan skala nyeri menurut McGill (McGill scale)
mengukur intensitas nyeri dengan menggunakan lima angka, yaitu
0: tidak nyeri, 1: nyeri ringan, 2: nyeri sedang, 3: nyeri berat, 4:
nyeri sangat berat, 5: nyeri hebat. Selain kedua skala diatas, ada
pula skala wajah, yakni Wong-Baker FACES Rating Scale yang
ditujukan untuk pasien yang tidak mampu menyatakan intensitas
nyerinya melalui angka. Ini termasuk anak-anak yang tidak mampu
berkomunikasi secara verbal dan lansia yang mengalami gangguan
kognisi dan komunikasi.

2.3 Konsep Pengkajian Keperawatan Fraktur


1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan.
Disini, semua data dikumpulkan secara sistematis guna
menentukan status kesehatan klien saat ini. Pengkajian harus di
lakukan secara komprehensif terkait dengan aspek biologis,
psikologis, sosial, maupun spiritual klien (Asmadi, 2008).
Menurut Asikin, (2016) berikut ini yang perlu dilakukan
dan diperiksa dalam pengkajian fraktur antara lain:
a. Anamnesa
1) Identitas Pasien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa
yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,
asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS,
diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan
lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang
lengkap tentang rasa nyeri pasien digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan pasien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan pasien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pada pasien fraktur dapat disebabkan oleh trauma/kecelakaan,
degeneratif dan patologis yang didahului dengan pendarahan,
kerusakan jaringan yang mengakibatkan nyeri dan bengkak,
kebiruan, pucat dan kesemutan.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur
dan memberikan petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit tertentu, misalnya kanker tulang dan
penyakit paget yang menyebabkan fraktur patologis sering kali
sulit untuk menyambun. Selain itu, penyakit diabetes mellitus juga
dapat menghambat proses penyembuhan tulang.
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu factor predisposisi terjadinya fraktur,
misalnya diabetes mellitus, osteoporosis dan kanker tulang.
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi pasien terhadap penyakit yang
dideritanya serta peran pasien dalam keluarga dan masyarakat
serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya
baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul rasa ketakutan terjadinya
kecacatan pada diri pasien dan harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan
tulang. Selain itu, pengkajian juga dilakukan untuk
mengetahui kebiasaan hidup pasien, misalnya penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
konsumsi alcohol yang dapat mengganggu keseimbangan dan
apakah pasien melakukan olahraga atau tidak.
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pasien yang mengalami fraktur harus mengonsumsi nutrisi
melebihi kebutuhan sehari-hari, misalnya kalsium, zat besi,
protein dan vitamin C.
c) Pola Eliminasi
Kaji apakah terdapat kesulitan atau tidak saat BAB dan BAK.
d) Pola Tidur dan Istirahat
Pada semua pasien fraktur timbul rasa nyeri dan keterbatasan
gerak, sehingga dapat mengganggu pola serta kebutuhan tidur
pasien. Selain itu, juga dilakukan pengkajian mengenai
lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, kesulitan
tidur, serta penggunaan obat tidur.
e) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua
bentuk kegiatan pasien menjadi berkurang dan kebutuhan
pasien perlu banyak dibantu oleh perawat dan keluarga. Hal
lain yang perlu dikaji yaitu bentuk aktivitas pasien terutam
dalam hal pekerjaan pasien.
f) Pola hubungan dan peran
Pasien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat karena harus menjalani rawat inap.
g) Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul pada pasien fraktur, yaitu timbul
ketakutan terhadap kecacatan akibat fraktur, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal.
h) Pola Sensori dan kognitif
Pada pasien yang mengalami fraktur, daya rabanya akan
berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedangkan
pada indra yang lain tidak timbul gangguan. Begitu pun pada
kognitifnya, juga tidak mengalami gangguan.
i) Pola reproduksi
Pasien perlu dikaji status pernikahannya termasuk jumlah
anak dan lama pernikahannya.
j) Pola tata nilai dan keyakinan
Untuk pasien fraktur, tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi.
Hal ini dapat disebabkan oleh nyeri dan keterbatasan gerak
pasien.

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum
(status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan
pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu dilaksanakan secara total
care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya
memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam
(Lukman dan Ningsih, 2012).
1) Gambaran Umum
Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti: a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma,
gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.b)
Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat
dan pada kasus fraktur biasanya akut. c) Tanda-tanda vital tidak
normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
2) Secara fisik
a) Sistem Integumen
b) Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
c) Nyeri terus menerus sampai fragmen tulang diimobilisasi
d) Ekstremitas tidak berfungsi dengan baik
e) Pergeseran fragmen menyebabkan deformitas
f) Teraba derik tulang (kripitus) akibt gesekan antara fragmen
satu dengan yang lain
g) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit
3) Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan Rontgen: menentukan lokasi/luasnya fraktur/
luasnya trauma, skan tulang, temogram,
b) scan tulang: memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c) Hitung darah lengkap : HB mungkin meningkat/menurun,
peningkatan jumlal leukosit sebagai espon terhadap
peradangan atau setelah trauma.
d) Kreatinin : traumaa otot meningkatkan beban kreatinin
untuk ginjal.
e) Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan
darah, transfusi multiple, atau cederah hati.
2. Diagnosa Keperawatan
Diganosa keperawatan adalah penyataan yang dibuat oleh perawat
profesional yang memberi gambaran tentang masalah atau status kesehatan
klien, baik aktual maupun potensial, yang ditetapkan berdasarkan analisis
dan interpretasi data hasil pengkajian (Asmadi, 2008).
Menurut Doengoes (2012), Berikut ini merupakan diagnosa
keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur yang aktual terjadi
adalah: 1) Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema,
cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas, 2) Gangguan
mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif
(imobilisasi), 3) Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan
traksi (pen, kawat, sekrup).
Berdasarkan pendapat Altman (1999) dan Smeltzer (2002) dalam
Lukman & Ningsih (2012) tersebut dapat disimpulkan bahwa ada enam
masalah/diagnosa keperawatan yang dapat ditemukan pada klien fraktur
yaitu sebagi berikut :
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b/d pembengkakan, alat
yang mengikat atau gangguan aliran balik.
c. Gangguan citra tubuh, harga diri atau kinerja perna berhubungan
dengan dampak masalah muskuloskletal.
d. Hambatan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler,
nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
e. Defisit perawatan diri b/d nyeri, intoleran aktivitas, hambatan
mobilitas fisik, penurunan kekuatan dan ketahanan.
f. Ansietas/kecemasan b/d krisis stiusional ketidakakraban dengan
lingkungan ancaman perubahan status kesehatan, berpisah dnegan
sistem pendukung yang biasa.
3. Intervensi
Tahap perencanaan memberikan kesempatan kepada perawat,
pasien, keluarga dan orang terdekat pasien untuk merumuskan rencana
tindakan keperawatan guna mengatasi masalah yang dialami pasien.
Perencanaan ini merupakan sesuatu petunjuk tertulis yang
menggambarkan secara tepat rencana tindakan keperawatan yang
dilakukan terhadap pasien sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan
diagnosa keperawatan (Asmadi, 2008).
Sedangkan menurut NANDA-I (Wilkinson, 2016), Diagnosa
keperawatan dan perencanaan yang muncul pada pasien fraktur yaitu :
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema,
cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
1) Definisi : Pengalaman sensori dan emosi akibat adanya
kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau awitan yagn
tiba-tiba dengan intensitas ringan sampai beratan durasi kurang
dari enam bulan.
2) Batasan karakteristik :
a) Subjektif: melaporkan nyeri dengan isyarat/ menggunakan
skala nyeri
b) Objektif: Respon autonom (perbuhan tekanan darah,
pernapasan, denyut jantung, dilatasi pupil), Perilaku
distraksi (mondar-mandir, aktivitas berulang), Peilaku
ekspresif (gelisah , merintih, peka terhadap rangsangan,
menghela napas panjang), wajah topeng, sikap
melindungi, fokus menyempit (gangguan persepsi waktu,
proses fikir, dan interaksi dengan orang lain atau
lingkungan menurun), bukti nyeri dapat diamati, posisi
untuk menghindari nyeri, perilaku menjaga atau sikap
melindungi, gangguan tidur (mata terlihat kuyu, gerakan
teratur)
3) Hasil NOC :
a) Kepuasan pasien : Manajemen Nyeri
Memperlihatkan manajemen nyeri yang dibuktikan
dengan mengenali nyeri, dapat menggunakan pencegahan
nyeri, sering melaporkan nyeri dapat dikendalikan, mampu
menggunakan analgesik
b) Tingkat kenyamanan: tidak mengalami gangguan dalam
frekuensi penapasan, denyut jantung, atau tekanan darah,
mempertahankan selera makan yang baik, melaporkan
kesejahteraan fisik dan psikologis, melaporkan pola tidur
yang baik.
c) Tingkat nyeri: Menunjukan tingkat nyeri yang dibuktikan
ekspresi nyeri pada wajah tidak ada, tidak menangis,
gelisah dan keteganggan otot tidak ada, durasi nyeri
berkurang, tidak merintih dan menangis, tidak merasa
gelisah, mempertahankan tingkat nyeri pada 3 atau kurang
dari 5, mual tidak ada
4) Intervensi NIC:
Manajemen nyeri: melakukan pengkajian nyeri
komprehensif, (lokasi, durasi, kualitas, intensitas, penyebab),
observsi adanya petunjuk nonverbal mengenai
ketidaknyamanan terutama pada pasien yang tidak mampu
komunikasi efektif, gali pencetus yang memperberat dan
menurunkan nyeri, gali pengetahuan dan kepercayaan pasien
terhadap nyeri, tentukan akibat dari pengalaman nyeri terhadap
kualitas hidup, ajarkan teknik nonfarmakologi, berikan
individu penurun nyeri yang optimmal dengan resep analgetik,
pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring,
gips, taraksi, kedalikan faktor lingkungan.
Pemberian analgesik: yakinkan penggunaan obat tepat,
pastikan akses intreven pada tempatnya selama terapi, monitor
aliran untuk memastikan masukkan obat sesuai dosis, monitor
evaluasi pemberian
Pemberian medikasi: ikuti prosesur lima benar dalam
pemberian obat, pemberian sesuai resep dokter, catat alergi,
beritahu pasen mengenai manfaat dan efek samping obat,
dokumentasi pemberian obat.
Manajemen medikasi: tentukan kemampuan pasien untuk
mengobati diri sendiri dengan cara tepat, monitor tanda dan
gejala toksisitas obat pertimbangkan pengetahuan pasien
tentang obat, konsultasi dengan profesional perawatan
kesehatan lainnya.

b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b/d pembengkakan,


alat yang mengikat atau gangguan aliran balik.
1) Definisi :penurunan sirkulasi darah ke perifer yang dapat
menggangu kesehatan.
2) Batasan karakteristik :Objektif: nadi berkurang, perubahan
fungsi motorik, perubahan karakteristik kulit (warna,
elestisitas, rambut, kelebamban, kuku, sensasi, suhu),
perubahan tekanan darah di ekstremitas, waktu pengisian
kapiler > 3 detik, klaudikasi, pelambatan penyembuhan,
edema, nyeri, bising femoral, jarak bebas nyeri uji jalan selama
6 menit lebih pendek, warna kulit pucat saat peninggian
(ekstemitas).
3) Hasil NOC :
a) Status Sikulasi dibuktikan rentang normal pada tekanan
parsial oksigen (PaO2) pada arteri, nadi karotis, brakhial,
radial, femoral, tekanan darah nadi, CVP
b) Menunjukan tidak ada gangguan integritas jaringan kulit
dan perfusi jaringan perifer: dibutktikan dengan keadaan
ringan atau tidak ada masalah dengan suhu, sensasi,
hidrasi, keutuhan ketebalan kulit, perfusi jaringan
4) Intervensi NIC:
Manajemen sensai perifer: patau diskriminasi tajam, tumpul,
panas, atau dingin (perifer), pantau presterisa; baal, kesemutan,
hiperestesia, hipoestestia, kaji hasil lab yang berhubungan
retensi cairan, ajarkan pasien dan keluarga untk berbaring dan
mengubah posisi.
Manajemen tekan: Mobilisasi pasien minimal setiap 2 jam
sekali, selidiki nyeri tiba-tiba, memberikan obat sesuai dengan
indikasi. Misalnya, antibiotik, berikan pakain yang tidak ketat,
letakkan matras kasus secara tepat, monitor mobilitas dan
sumber gesekan serta terkanan pada aktivitas pasien.
Perawatan sirkulasi: lakukan penilaian komperhensif
sirkulasi perifer (pemeriksaan nadi perifer, edema, pengisisan
kapiler, warna dan suhu ekstremitas), elevansi ekstermitas
yang terkena 20 derajat atau lebih diatas jantung, jika perlu.
pemantauan derajat ketidaknyamanan atau nyeri ketika latihan
atau istirahat, pantau status cairan termasuk asupan dan
haluaran. Kolaborasi pemberian antitrombosit atau
antikoagulan, jika perlu.

c. Gangguan citra tubuh b/d cidera/ trauma, penanganan


pembedahan
1) Definisi : konfusi pada gambaran mental fisik diri seseorang.
2) Batasan karakteristik :
a) Subjektif: takut pada reaksi orang lain, fokus pada
ketakutandan kehilangan, perasasan negatif tentang tubuh,
mengungkapkan secara verbal perubahan gaya hidup.
b) Objektif: perubahan stuktur tubuh, perilaku memantau
tetang tubuh, menutupi atau terlalu memperlihatkan
bagian tubuh, kehilangan bagian tubuh, tidak melihat
bagian tubuh dengan sengaja atau tanpa sengaja,
melaporkan persepsi yang merefleksika gangguan tubuh
seseorang.
3) Hasil NOC :
a) Adaptasi dengan ketunadayaan fisik: pasien mampu
menyampaikan untuk menyesuaikan diri terhadap
keadaannya, dapat beradaptasi terhadap keterbatasaanya,
sering menerima bantuan aktivits fisik, melaporkan
penurunan stres terkait keterbatasaan.
b) Citra tubuh: adaptasi terhadap leterbatasaan, dapat
menahan diri dari kemarahan, tingkat rasa takut menurun,
dapat menghargai identitas.
c) Kewaspadaan akan sisi yang terkena: menerima
keterbatsaan geraknya, dan mampu menyesuai kedalam
aktivtias sehari-hari
d) Harga diri: Menerima penampilan, mengidentifikasi
kekuatan diri
4) Intervensi NIC:
Peningkatan citra tubuh: identifikasi cara mengurangi
kecacatan, fasilatasi kontak pasien dnegan individu yang
mengalmai kejaidan yang sama, gunakan latihan
pengungkapan diri dengan kelompok remaja.
Peningkatan harga diri: monitor pernyataan pasien
mengenai harga diri, bantu pasien mengidentitfikasi kekuatan
dan penerimaan diri, jngan mengkritik pasien secara negatif,
dukung pasien untuk mengevaluasi perilakunya, berikan
pujian dengan kemajuan pasien, instruksikan orang tua/
keluarga untuk memberikan dukungan positif
Manajemen pengabaian unilateral: membantu pasien
beradaptasi terhadap gangguan kemampuannya, berikan
latihan ROM dan pijakan pada sisi tubuh yang terkena
dampak, pasien mendemostrasikan pengkompensasikan
pengabaian dengan cara bantu pasien melakukan aktivitas
adal, mandi, berdadandan. Libatkan keluarga dalam proses
rehabilitas untuk memberikan dukungan terhadap usaha
pasien.

d. Hambatan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka


neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
1) Definisi : keterbatasan dalam pergerakan fisik mandiri dan
terarah pada tubuh atau ektremitas.
2) Batasan karakteristik: Objektif: penurunan waktu reaksi,
kesulitan membolak-balik posisi tubuh, dispnea saat
beraktivitas, perubahan cara berjalan, pergerakan menyentak,
keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan
motorik kasar, terbatas rentan sendi. Melambat pergerakannya,
gerakan tidak teratur.
3) Hasil NOC: Ambuasi dibuktikan dengan dapat berjalan secara
mandiri atau dengan tanpa alat batuan, meminta pertologan
untuk aktivitas mobilisasi, menyangga berat badan, mampu
mempertahankan keseimbangan tubuh, mampu berpindah tubuh
secara mandiri dengan atau tanpa bantuan alat. Menggunakan
kursi roda secara afektif.
4) Intervensi NIC
Terapi ambulasi dan keseimbang: Kaji derajat imobilitas
yang dihasilkan oleh cidera, Gunakan sabuk/ untuk berjalan
berpindah dan ambulasi sesuai kebutuhan. Tempatkan dalam
posisi terlentang secara periodik untuk menstabilkan fraktur
tungkai bawah bila mungkin, Instuksikan pasien mengenai
perpindahan dan teknik ambulasi yang benar. Berikan alat
bantu, bantu pasien duduk disisi tempat tidur, monitor
penggunaan alat bantu berjalan, awasi tekanan darah
melakukan aktivitas, kolaborasi ahli terapi fisik /rehabilitas
spesialis.
Promosi latihan fisik: kaji kebutuhan belajar pasien,
tingkatkan motivasi pasien utuk mengembalikan mobilitas fisik,
konsultasi ahli terapi, instruksikan pasien untuk memperhatikan
kesejajaran tubuh yang benar,
Melakukan terapi latihan fisik mobilitas sendi dan
pengendalian otot: ajarkan dan dukung pasien untuk
menggunakan latihan ROM aktif atau pasif untuk
mempertahankan dan meningkatkan kekuatan dan ketahanaan
otot, awasi seluruh upaya dan monitor perubahan nadi, pusing
dan fisiologis lainnya, ubah posisi pasien minimal setiap 2 jam
sekali berdasarkan jadwal spesifik.

e. Defisit perawatan diri; berpakaian b/d nyeri, intoleran


aktivitas, hambatan mobilitas fisik, penurunan kekuatan dan
ketahanan.
1) Definisi: hambatan kemampuan untuk memenuhi aktivitas
berpakaian lengkap dan berhias
2) Batasan karakteristik: objektif: hambatan kemampuan untuk
(mengancingkan pakaian, mengambil pakaian, mengenakan
atau melepaskan), ketidakmampuan untuk (memilih pakaian,
mempertahankan penampilan, mengenakan pakaian pada
bagian bawah dan atas, menggunakan alat bantu)
3) Hasil NOC: Perawatan diri berpakaian: dapat dan tidak
terganggu mengenakan pakaian dan melepas dibagian
atas/bawah secara mandiri, memasang kaos kaki, secara
mandiri tanpa bantuan, dapat menggunakan pakaian secara rapi.
4) Intervensi NIC:
Manajemen lingkungan: pantau defisit sensori, kognitif atau
fisik yang dapat membuat kesulitan dalam berpakaian pasien,
ciptakan lingkungan yang aman bagi pasien, sediakan tempat
tidur dengan ketinggian rendah dan disesuaikan, letakkan
benda yang sering digunakan dalam jangkauan pasien, bantu
pasien dalam pengunaan pakaian, izinkan keluaga untuk
mendampingin pasien, bersihkan tempat dan peralatan makan
sebelunya, hindari lingkungan yang terlalu panas/dingin
Bantuan perawatan diri: kaji kemampuan untuk
menggunakan alat bantu, pantau tingkat kekuatan dan
toleransi terhadap aktivitas, gunakan alat bantu seperti, sendok
sepatu, perpegangan panjang, beri motivasi untuk berpakaian
sendiri, pertahankan privasi saat berpakaain, mengajarkan
keluarga untuk pengunaan alat bantu dan aktivitas yang
adaptif.

f. Ansietas/kecemasan b/d krisis stiusional ketidakakraban


dengan lingkungan ancaman perubahan status kesehatan,
berpisah dengan sistem pendukung yang biasa.
1) Definisi: Perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar
disertai respon autonom (sumber sering tidak diketahui spesifik
oleh individu) perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi
terhadap bahaya, menghadapi ancaman.
2) Batasan karakteristik:
Perilaku: pasien akan mengalami penurunanan produktifitas,
mengekspresikan kekhawatiran akibat perubahan hidup,
gerakan yang tidak elevan, gelisah, resah, isomnia, kontak mata
buruk.
Afektif: gelisah, kesedihan yang mendalam, distress, ketakutan,
perasaan tidak adekuat, fokus pada diri sendiri, gugup, gembira
berlebihan. Nyeri, marah, meyesal, takut, khawatir.
Fisiologis: wajah tegang, insomnia, peningkatan keringat,
peningkatan ketegangan, terguncang, gemetar/tremor tangan,
suara bergetar.
Parasimpatis: nyeri abdomen, penurunan TD, penurunan nadi,
diare, pingsan, keletihan, mual, gangguan tidur, kesemutan
pada ekstemitas, sering berkemih, urgensi kemih.
Simpatis: anoreksia, mulut kering, wajah kemerahan, jantung
berdebar, peningkatn TD, peningkatan refleks, dilatasi pupil,
kesulitan bernapas, kedutan otot, kelemahan.
Kognitif: kesadaran terhadap gejala fisiologi, blocking pikiran,
konfusi, kesulitan untuk berkonsentrasi, keterbatasan
menyelesaikan masalah, dan belajar, takut terhadap
konsekuensi tidak spesifik, mudah lupa, gangguan perhatian,
dan melamun.
3) Hasil NOC:
Tingkat ansietas: ansietas berkurang, dibuktikan dengan
menunjukan Pengendalian diri terhadap ansietas, Tingkat
hiperaktivitas, Konsentrasi, Koping yang baik: dapat
berisitrahat, merasa nyaman, tidak orotabilitas, mampu
mengambil kepututsan, tidak terjadi peningkatan TD, tanda-
tanda vitas normal, tidak menarik diri, (mampu berkonsentrasi,
menunjukkan kemampuan untuk fokus pada pengetahuan dan
keterampilan baru, (selalu merencanakan strategi koping saat
situasi tertekan, mempertahankan performa peran,
menggunakan teknik relaksasi untuk meredakan ansietas)
4) Intevensi NIC:
Penurunan kecemasan: Evaluasi tingkat cemas pasien dan
keluarga, berikan informasi faktual terkait diagnosis, perawatan
dan pragnosis pembedahan, kaji untuk tanda verbal dan
nonverbal kecemasan, dorong keluarga untuk meningkatkan
rasa aman dan mendampingi pasien untuk meningkatkan rasa
aman dan mengurangi ketakutan, dengarkan pasien, dorong
verbalisasi perasaan, persepsi dan ketakutan, jelaskan semua
prosedur termasuk sensasi yang akan dirasakan yang mungkin
akan dialami pasien selama prosedur, Instruksikan pasien untuk
menggunakan teknik relaksasi.
Bimbingan antisipasi: bantu pasien untuk memutuskan
bagaimana dan siapa yang dapat menyelesaikan masalah,
gunakan contoh kasus untuk meningkatkan kemampuan, latih
teknik yang digunakan untuk beradaptasi terhadap
perkembangan krisis dengan tepat. Sediakan bahan rujukan,
libatkan keluarga.
Teknik menenangkan diri: pertahankan sikap yang tenang
dan berhati-hati, pertahankan kontak mata, yakinkan
keselamatan dan keamanan pasien, berikan waktu dan tempat
untuk menyendiri jika diperlukan, duduk dan bicara tenang
pasien, instruksikan pasien menggunakan metode mengurangi
kecemasan (mis, teknik nafas dalam, distraksi, visualisasi,
relaksasi otot, mendengarkan musik yang lembut jika
dibutuhkan).
Peningkatan koping: berikan penilaian mengenai pemahaman
pasien terhadap penyakit dan diskusikan respon alternatif
terhdap situasi, gunakan pendekatan yang tenang, bantu pasien
mengembangkan penilaian terkait dengan kejadian dengan
lebih objektif, sediakan informasi aktual, dukung kemampuan
mengatasi situasi secara berangsur-angsur.
Dukungan emosi: diskusikan dengan pasien mengenai
pengalaman emosinya, bantu pasien untuk mengenali dan
mengatasi perasaan cemas, sedih marah dan bersalah, berikan
dukungan seama fase mengingkari/denial, marah, tawar
menawar, fase menerima dalam proses duka, berikan bantuan
dalam membuat keputusan, rujuk konseling.
Terapi relaksasi`: evaluasi apakah intervensi kalau sudah
memberikan manfaat, gambarkan jenis dan manfaat relaksasi
yan tersedia (mis. musik, meditasi, bernafas dengan ritme,
relaksasi otot dll), ciptakan lingkungan yang tenang, dorong
pasien untuk mengambil posisi yang nyaman dengan pakaian
longgar dan mata tertutup, dapatkan perilaku yang menunjukan
terjadinya relaksasi, mis. Bernafas dalam, pernapasan perut,
bayangan menenangkan, tunjukan dan praktikan teknik
relaksasi pada pasien, evaluasi dan dokumentasi laporan
individu terkait dengan relaksasi yang dilakukan

4. Impementasi
Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan
rencana asuhan keperawatan ke dalam bentuk intervensi keperawatan guna
membantu pasien mencapai tujuan yang telah diterapkan. Implementasi
tindakan keperawatan dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu independent,
interindependent, dan dependen.
6. Independent, yaitu suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh perawat
tanpa petunjuk dari dokter atau tenaga kesehatan lainnya.
7. Interdependent, yaitu suatu kegiatan yang memerlukan kerja sama
dari tenaga kesehatan (misalnya: ahli gizi, fisioterapi, dan dokter).
8. Dependen, berhubungan dengan pelaksanaan rencana tindakan
medis/instruksi dari tenaga medis.
Hal lain yang tidak kalah penting pada tahap implementasi ini adalah
mengevaluasi respons atau hasil dari tindakan keperawatan yang
dilakukan terhadap pasien serta mendokumentasikan semua tindakan
yang telah dilaksanakan berikut respons atau hasilnya (Asmadi,
2008).

5. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir proses dari proses keperawatan yang
merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir
yang diamati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap
perencanaan. Evaluasi dilakukan secara bersinambungan dengan
melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Jika hasil evaluasi
menunjukkan tercapainya tujuan dan kriteria hasil klien bisa keluar dari
siklus proses keperawatan. Jika sebaliknya klien akan masuk kembali
dalam siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang (reassessment). Secara
umum, evaluasi ditunjukkan untuk:
a. Melihat dan menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan.
b. Menentukan apakah tujuan keperawatan telah tercapai atau belum.
c. Mengkaji penyebab jika tujuan asuhan keperawatan belum tercapai
(Asmadi, 2008).
Evaluasi terbagi atas dua jenis, yaitu evaluasi formatif dan evaluasi
sumatif. Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proseskeperawatan dan
hasil tindakkan keperawatan. Evaluasi formatif ini dilakukan segera
setelah perawat mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai
keefektifan tindakan keperawatan yang telah di laksanakan. Perumusan
evaluasi formatif ini meliputi empat komponen yang dikenal dengan
istilah SOAP, yakni subjectif (data berupa keluhan klien), objecttif (data
hsil pemeriksaan), analisis data (perbandingan data dengan teori), dan
perencanaan.
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang di lakukan setelah semua
aktifitas proses keperawatan selesaidilakukan. Evaluasi submutif ini
bertujuan menilai dan memonitor kualitas asuhan keperawatan yang telah
di berikan. Metode yang dapat digunakan pada evaluasi jenis ini adalah
melakukan wawancara pada akhir layanan, menanyakan respons klien dan
keluarga terkait layanan keperawatan, mengadakan pertemuan pada akhir
layanan.

2.4 Konsep Asuhan Keperawatan Nyeri


1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu
proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data
untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Iyet et al,
1996). Tahap pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan asuhan
keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu (Nursalam, 2001).
Pengkajian nyeri yang akurat penting untuk upaya penatalaksanaan nyeri
yang efektif. Karena nyeri merupakan pengalaman yang subjektif dan
dirasakan secara berbeda pada masing-masing individu, maka perawat perlu
mengkaji semua faktor yang memengaruhi nyeri, seperti faktor fisiologis,
psikologis, perilaku, emosional, dan sosiokultural. Pengkajian nyeri terdiri
atas dua komponen utama, yakni (a) riwayat nyeri untuk mendapatkan data
dari klien dan (b) observasi langsung pada respons perilaku dan fisiologis
klien. Tujuan pengkajian adalah untuk mendapatkan pemahaman objektif
terhadap pengalaman subjektif (Mubarak, 2007).
P Provoking atau pemicu, yaitu factor yang memicu timbulnya nyeri
Q Quality atau kualitas nyeri (misalnya tumpul, tajam)
R Region atau daerah, yaitu daerah perjalanan ke daerah lain
S Severity atau keganasan, yaitu intensitasnya
T Time atau waktu, yaitu serangan, lamanya, kekerapan, dan sebab
Deskripsi Verbal Tentang Nyeri

a. Riwayat Nyeri
Saat mengkaji nyeri, perawat sebaiknya member klien kesempatan untuk
mengungkapkan cara pandang mereka terhadap nyeri dan situasi tersebut
dengan kata-kata mereka sendiri. Langkah ini akan membantu perawat
memahami situasi tersebut. Secara umum, pengkajian riwayat nyeri
meliputi beberapa aspek, antara lain:
- Lokasi. Untuk menentukan lokasi nyeri yang spesifik, minta klien
menunjukkan area nyerinya. Pengkajian ini bisa dilakukan dengan
bantuan gambar tubuh. Klien bisa menandai bagian tubuh yang
mengalami nyeri. Ini sangat bermanfaat, terutama untuk klien yang
memiliki lebih dari satu sumber nyeri.
- Intensitas nyeri. Penggunaan skala intensitas nyeri adalah metode yang
mudah terpercaya untuk menentukan intensitas nyeri pasien. Skala
nyeri yang paling sering digunakan adalah rentang 0-5 atau 0-10.
Angka “0” menandakan tidak nyeri sama sekali dan angka tertinggi
menandakan nyeri “terhebat” yang dirasakan klien.
- Kualitas nyeri. Terkadang nyeri bisa terasa seperti “dipukul-pukul”
atau “ditusuk-tusuk”. Perawat perlu mencatat kata-kata yang
digunakan klien untuk menggambarkan nyerinya sebab informasi yang
akurat dapat berpengaruh besar pada diagnosis dan etiologi nyeri serta
pilihan tindakan yang diambil.
- Pola. Pola nyeri meliputi waktu awitan, durasi, dan kekambuhan atau
interval nyeri. Karenanya, perawat perlu mengkaji kapan nyeri
dimulai, berapa lama nyeri berlangsung, apakah nyeri berulang, dan
kapan nyeri terakhir kali muncul.
- Faktor presipitasi. Terkadang, aktivitas tertentu dapat memicu
munculnya nyeri. Karenanya, perawat perlu mengkaji kapan nyeri
dimulai, berapa lama nyeri berlangsung, apakah nyeri berulang dan
kapan nyeri terakhir kali muncul.
- Gejala yang menyertai. Gejala ini meliputi mual, muntah, pusing dan
diare. Gejala tersebut bisa disebabkan oleh awitan nyeri atau oleh nyeri
itu sendiri.
- Pengaruh pada aktivitas sehari-hari. Dengan mengetahui sejauh mana
nyeri memengaruhi aktivitas harian klien akan membantu perawat
memahami perspektif klien tentang nyeri. Beberapa aspek kehidupan
yang perlu dikaji terkait nyeri adalah tidur, nafsu makan, konsentrasi,
pekerjaan, hubungan interpersonal, hubungan pernikahan, aktivitas di
rumah, aktivitas sewaktu senggang, serta status emosional.
- Sumber koping. Setiap individu memiliki strategi koping yang berbeda
dalam menghadapi nyeri. Strategi tersebut dapat dipengaruhi oleh
pengalaman nyeri sebelumnya atau pengaruh agama atau budaya.
- Respons afektif. Respons afektif klien terhadap nyeri bervariasi,
bergantung pada situasi, derajat dan durasi nyeri, interpretasi tentang
nyeri dan banyak faktor lainnya. Perawat perlu mengkaji adanya
perasaan ansietas, takut, lelah, depresi atau perasaan gagal pada diri
klien.
b. Observasi respons perilaku dan fisiologis
Banyak respons nonverbal yang bisa dijadikan indicator nyeri. Salah
satu yang paling utama adalah ekspresi wajah. Perilaku seperti menutup
mata rapat-rapat atau membukanya lebar-lebar, menggigiti bibir bawah
dan seringai wajah dapat mengindikasikan nyeri. Selain ekspresi wajah,
respons perilaku lain yang dapat menandakan nyeri adalah vokalisasi
(misalnya erangan, menangis dan berteriak), imobilisasi bagian tubuh
yang mengalami nyeri, gerakan tubuh tanpa tujuan (misalnya
menendang-nendang, membolak-balikkan tubuh di atas kasur).
Sedangkan respons fisiologis untuk nyeri bervariasi, bergantung pada
sumber dan durasi nyeri. Pada awal awitan nyeri akut, respons fisiologis
dapat meliputi peningkatan tekanan darah, nadi, dan pernapasan,
diaphoresis, serta dilatasi pupil akibat terstimulasinya system saraf
simpatis. Akan tetapi, jika nyeri berlangsung lama dan saraf simpatis
telah beradaptasi respons fisiologis tersebut mungkin akan berkurang
atau bahkan tidak ada. Karenanya, penting bagi perawat untuk mengkaji
lebih dari satu respons fisiologis sebab bisa jadi respons tersebut
merupakan indikator yang buruk untuk nyeri (Mubarak, 2007).

2.5 Implementasi Keperawatan pada Nyeri Fraktur


2.5.1 Jenis Implementasi
Terdapat berbagai jenis implementasi sebagai upaya untuk
mengurangi nyeri dan meredakan gejala penyebabnya yaitu:
2. Relaksasi
Relaksasi adalah suatu tindakan untuk “membebaskan” mental
dan fisik dari ketegangan dan nyeri. Berbagai metode relaksasi
digunakan untuk menurunkan kecemasan dan ketegangan otot
sehingga didapatkan penurunan denyut jantung, penurunan
respirasi serta penurunan ketegangan otot. Contoh tindakan
relaksasi yang dapat dilakukan untuk menurunkan nyeri adalah
napas dalam dan relaksasi otot (Prasetyo, 2010).
3. Kompres
Kompres es (dingin) dan panas dapat menjadi strategi pereda
nyeri yang efektif pada beberapa keadaan; namun begitu,
ketidakefektifannya dan mekanisme kerjanya memerlukan studi
lebih lanjut. Diduga bahwa terapi es dan panas bekerja dengan
menstimulasi reseptor tidak nyeri (non nosiseptor) dalam bidang
reseptor yang sama seperti pada cedera (Smeltzer, 2002).
Terapi es dapat menurunkan prostaglandin, yang
memperkuat sensitivitas reseptor nyeri dan subkutan lain pada
tempat cedera dengan menghambat proses inflamasi. Agar
efektif, es harus diletakkan pada tempat cedera segera setelah
cedera terjadi.
Penggunaan panas mempunyai keuntungan meningkatkan
aliran darah ke suatu area dan kemungkinan dapat turut
menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan. Baik
terapi es maupun panas harus digunakan dengan hati-hati dan
dipantau dengan cermat untuk menghindari cedera kulit.

2.5 Metode Implementasi


Metode dan teknik yang dapat dilakukan dalam upaya untuk
mengatasi nyeri antara lain sebagai berikut:
1. Teknik relaksasi
Teknik ini didasarkan pada keyakinan bahwa tubuh berespons pada
ansietas yang merangsang pikiran karena nyeri atau kondisi
penyakitnya. Teknik relaksasi dapat menurunkan ketegangan
fisiologis. Teknik ini dapat dilakukan dengan kepala ditopang dalam
posisi berbaring atau duduk di kursi. Hal utama yang dibutuhkan
dalam pelaksanaan teknik relaksasi adalah klien dengan posisi yang
nyaman, klien dengan pikiran yang beristirahat, dan lingkungan yang
tenang.
Teknik relaksasi banyak jenisnya, salah satunya adalah relaksasi
autogenik. Relaksasi ini mudah dilakukan dan tidak berisiko.
Prinsipnya klien harus mampu berkonsentrasi sambil membaca
mantra/doa/zikir dalam hati seiring dengan ekspirasi udara paru.
a) Napas dalam
Napas dalam yaitu bentuk latihan napas yang terdiri atas pernapasan
abdominal (diafragma) dan purse lips breathing.
Prosedur:
1) Atur posisi yang nyaman.
2) Fleksikan lutut klien untuk merelaksasikan otot abdomen.
3) Tempatkan 1 atau 2 tangan pada abdomen, tepat di bawah tulang
iga.
4) Tarik napas dalam melalui hidung, jaga mulut tetap tertutup.
Hitung sampai 3 selama inspirasi.
5) Hembuskan udara lewat bibir seperti meniup (purse lips breathing)
secara perlahan-lahan. Saat menghembuskan udara anjurkan klien
untuk merasakan relaksasi.
b) Relaksasi otot
2) Anjurkanlah pasien untuk mengepalkan tangan dan mintalah klien
merasakan, biarkan ketegangan beberapa detik.
3) Mintalah klien untuk melepaskan kepalan dan relaks.
4) Lanjutkanlah tindakan yang sama pada beberapa otot (lengan,
bahu, muka, kaki).
Latihan relaksasi progresif merupakan kombinasi latihan
pernapasan dan kontraksi serta relaksasi kelompok otot. Saat klien
melakukan relaksasi pernapasan dalam dengan diafragma dengan
teratur, perawat mengarahkan klien untuk melokalisasi daerah yang
mengalami ketegangan otot, merasakannya, menegangkan otot
tersebut, kemudian mengendorkan dengan sepenuhnya. Secara
bertahap klien akan merelaksasikan otot tanpa harus
menegangkannya terlebih dahulu. Berikut contoh latihan relaksasi
progresif:
“ Atur posisi Anda agar nyaman, letakkan tangan anda di samping
tubuh anda dan rilekskan, letakkan kaki anda jangan disilangkan
atau ditekuk kemudian rilekskan.
Lakukan teknik napas dalam yang teratur, rasakan otot yang
menegang, tegangkan kemudian kendorkan bersamaan
menghembuskan napas dan rasakan relaksnya”.
Kemudian lanjutkan cara tersebut untuk mengendorkan
otot-otot pada tangan, muka, bahu, kaki dan bagian otot lainnya
yang tegang.
2. Kompres panas dan dingin
Suhu tubuh optimum sangat penting untuk kehidupan sel agar
dapat berfungsi secara efektif. Perubahan suhu tubuh yang
ekstrem dapat membahayakan bagi tubuh. Oleh karena itu,
perawat harus berusaha untuk dapat memelihara suhu tubuh klien
agar tetap normal. Ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan
untuk memelihara suhu tubuh diantaranya melalui kompres.
a. Pengertian
Kompres adalah metode pemeliharaan suhu tubuh dengan
menggunkan cairan atau alat yang dapat menimbulkan hangat atau
dingin pada bagian tubuh yang memerlukan.
b. Jenis
1) Kompres panas
2) Kompres dingin
c. Tujuan
1) Kompres panas:
a) Memperlancar sirkulasi darah
b) Mengurangi rasa sakit
c) Memberi rasa hangat, nyaman dan tenang pada klien
d) Merangsang peristaltic usus
2) Kompres dingin:
a) Menurunkan suhu tubuh
b) Mencegah peradangan meluas
c) Mengurangi kongesti
d) Mengurangi perdarahan setempat
e) Mengurangi rasa sakit pada suatu daerah setempat
d. Indikasi
1) Kompres panas, indikasinya:
a) Klien yang kedinginan (suhu tubuh yang rendah)
b) Klien dengan perut kembung
c) Klien yang mempunyai penyakit peradangan, seperti radang
persendian.
d) Spasme otot
e) Adanya abses, hematoma.
2) Kompres dingin, indikasinya:
a) Klien dengan suhu tubuh yang tinggi
b) Klien dengan batuk atau muntah darah
c) Pascatonsillectomy
d) Radang, memar.
e) Cara pemberian kompres
3) Cara pemberian kompres panas:
a) Kompres panas basah
Persiapan alat:
- Kom berisi cairan hangat sesuai kebutuhan (16o-400 C)
- Bak steril berisi pinset dua buah, kasa beberapa potong
dengan ukuran yang sesuai
- Kasa perban atau kain segitiga
- Pengalas
- Sarung tangan bersih ditempatnya
- Bengkok dua buah (satu kosong, satu berisi larutan
Lysol 3%)
Prosedur:
- Dekatkan alat-alat ke klien
- Perhatikan privacy klien
- Cuci tangan
- Atur posisi klien yang nyaman
- Pasang pengalas di bawah daerah yang akan dikompres
- Kenakan sarung tangan, lalu buka balutan perban bila
diperban. Kemudian, buang bekas balutan ke dalam
bengkok kosong.
- Ambil beberapa potong kasa dengan pinset dari bak
steril, lalu masukkan ke dalam kom yang berisi cairan
hangat
- Kemudian ambil kasa tersebut, lalu bentangkan dan
letakkan pada area yang akan dikompres
- Bila klien menoleransi kompres hangat tersebut, lalu
ditutup/dilapisi dengan kasa kering. Selanjutnya dibalut
dengan kasa perban atau kain segitiga
- Lakukan perasat ini selama 15-30 menit atau sesuai
program dengan anti balutan kompres tiap 5 menit
- Lepaskan sarung tangan
- Atur kembali klien dengan posisi yang nyaman
- Bereskan semua alat-alat untuk disimpan kembali
- Cuci tangan
- Dokumentasikan tindakan ini beserta responsnya.
Hal yang perlu diperhatikan:
- Kain kasa harus diganti pada waktunya dan suhu
kompres diperhatikan tetap hangat.
- Cairan jangan terlalu panas, hindarkan agar kulit jangan
sampai kulit terbakar.
- Kain kompres harus lebih besar daripada area yang akan
dikompres.
- Untuk kompres hangat pada luka terbuka, peralatan
harus steril. Pada luka tertutup seperti memar atau
bengkak, peralatan tidak perlu steril karena yang penting
bersih.
b) Kompres panas kering menggunakan buli-buli panas.
Persiapan alat:
- Buli-buli panas dan sarungnya
- Termos berisi air panas
- Termometer air panas (bila perlu)
- Lap kerja
Prosedur:
- Siapkan peralatan.
- Cuci tangan.
- Lakukan pemanasan pendahuluan pada buli-buli panas
dengan cara: mengisi buli-buli dengan air panas,
kencangkan penutupnya, kemudian membalik posisi
buli-buli berulang-ulang, lalu kosongkan isinya.
- Siapkan dan ukur suhu air yang diinginkan (50-60o C).
- Isi buli-buli dengan air panas sebanyak ± ½ bagian dari
ukuran buli-buli tersebut. Lalu keluarkan udaranya
dengan cara:
1. Letakkan atau tidurkan buli-buli di atas
meja/tempat datar.
2. Bagian atas buli dilipat sampai kelihatan
permukaan air di leher buli-buli.
3. Kemudian penutup buli-buli ditutup dengan
rapat/benar.
- Periksa apakah buli-buli bocor atau tidak? Lalu
keringkan dengan lap kerja dan masukkan ke dalam
sarung buli-buli.
- Bawa buli-buli tersebut ke dekat klien.
- Beri tahu klien, jelaskan tujuan prosedur ini.
- Atur posisi yang nyaman pada klien.
- Letakkan/pasang buli-buli pada area yang memerlukan.
- Kaji secara teratur kondisi klien untuk mengetahui
kelainan yang timbul akibat pemberian kompres dengan
buli-buli panas, seperti kemerahan, ketidaknyamanan,
kebocoran, dan sebagainya.
- Ganti buli-buli panas setelah 20 menit dipasang dengan
air panas lagi, sesuai yang dikehendaki.
- Bereskan alat-alat bila sudah selesai.
- Cuci tangan.
- Dokumentasi.
Hal yang perlu diperhatikan:
- Buli-buli panas tidak boleh diberikan pada klien
perdarahan.
- Pemakaian buli-buli panas pada bagian abdomen, tutup
buli-buli mengarah ke atas atau ke samping.
- Pada bagian kaki, tutup buli-buli mengarah ke bawah
atau ke samping.
- Buli-buli harus diperiksa dulu, ada tidak cincin karet
pada penutupnya.
4) Cara pemberian kompres dingin:
a) Kompres dingin basah dengan larutan obat antiseptik
Persiapan alat:
- Mangkok bertutup steril
- Bak steril berisi pinset anatomis dua buah, beberapa
potong kain kasa sesuai kebutuhan
- Cairan antiseptik yang digunakan dapat berupa PK
1:4000, Rivanol 1:1000 sampai 1:3000 dan seterusnya
sesuai kebutuhan, larutan Betadine.
- Pembalut bila perlu.
- Perlak dan pengalas.
- Sampiran bila perlu.
Prosedur:
- Dekatkan alat-alat ke klien.
- Pasang sampiran.
- Cuci tangan.
- Pasang perlak dan alas pada area yang akan dikompres.
- Mengocok obat atau larutan bila terdapat endapan.
- Tuangkan cairan ke dalam mangkok steril.
- Masukkan beberapa potong kasa ke dalam mangkok
tersebut.
- Peras kain kasa tersebut dengan menggunakan pinset.
- Bentangkan kain kasa dan letakkan kasa di atas area
yang dikompres lalu dibalut.
- Rapihkan posisi klien.
- Bereskan alat-alat setelah selesai tindakan.
- Cuci tangan
- Dokumentasikan.
Hal yang perlu diperhatikan:
- Kain kasa harus sering dibasahi agar tetap basah.
- Pada luka kotor, kasa diganti tiap 1-2 jam.
- Perhatikan kulit setempat/ sekitarnya. Bila terjadi iritasi,
segera laporkan.
- Pada malam hari, agar kelembapan kompres bertahan
lama, tutupi dengan kapas berlemak.
b) Kompres dingin basah dengan air biasa/air es
Persiapan alat:
- Kom kecil berisi air biasa/air es.
- Perlak pengalas.
- Beberapa buah waslap atau kain kasa dengan ukuran
tertentu.
- Sampiran bila perlu.
- Busur selimut bila perlu.
Prosedur:
- Dekatkan alat-alat ke klien.
- Pasang sampiran bila perlu.
- Cuci tangan.
- Pasang pengalas pada area yang akan dikompres.
- Masukkan waslap atau kain kasa ke dalam air biasa/air
es lalu diperas sampai lembap.
- Letakkan waslap atau kain kasa tersebut pada area yang
dikompres.
- Ganti waslap/kain kasa tiap kali dengan waslap/kain
kasa yang sudah terendam dalam air biasa/air es.
Diulang-ulang sampai suhu tubuh turun.
- Rapihkan klien dan bereskan alat-alat bila perasat ini
telah selesai.
- Cuci tangan.
- Dokumentasi.
Hal yang perlu diperhatikan:
- Bila suhu tubuh 39o C atau lebih, tempat kompres dilipat
paha dan ketiak.
- Pada pemberian kompres di lipat paha, selimut diangkat
dan dipasang busur selimut di atas dada dan perut klien
agar seprai atas tidak basah.
c) Kompres dingin kering dengan kirbat es (eskap)
Pesiapan alat:
- Kirbat es atau eskap dengan sarungnya.
- Kom berisi pottongan-potongan kecil es dan satu sendok
teh garam agar es tidak cepat mencair.
- Air dalam kom.
- Lap kerja.
- Perlak pengalas.
Prosedur:
- Bawa alat-alat ke dekat klien.
- Cuci tangan.
- Masukkan potongan es ke dalam kom air supaya pinggir
es tidak tajam.
- Isi kirbat es dengan potongan es sebanyak ± ½ bagian
dari kirbat tersebut.
- Keluarkan udara dari eskap dengan melipat bagian yang
kosong, lalu ditutup rapat.
- Periksa eskap, adakah bocor atau tidak.
- Keringkan eskap dengan lap, lalu masukkan ke dalam
sarungnya.
- Buka area yang akan dikompres dan atur posisi yang
nyaman pada klien.
- Pasang perlak pengalas pada bagian tubuh yang akan
dikompres.
- Letakkan eskap pada bagian yang memerlukan kompres.
- Kaji keadaan kulit setiap 20 menit terhadap nyeri, mati
rasa dan suhu tubuh.
- Angkat eskap bila sudah selesai.
- Atur posisi klien kembali pada posisi yang nyaman.
- Bereskan alat-alat setelah selesai perasat ini.
- Cuci tangan.
- Dokumentasikan.
Hal yang perlu diperhatikan:
- Bila klien kedinginan/sianosis, kirbat es harus segera
diangkat.
- Selama pemberian kirbat es, perhatikan kulit klien
terhadap keberadaan iritasi, dan lain-lain.
- Pemberian kirbat es untuk menurunkan suhu tubuh,
maka suhu tubuh klien harus dikontrol setiap 30-60
menit. Bila suhu sudah turun, kompres dihentikan.
- Bila tidak ada kirbat es, bisa menggunakan kantong
plastik.
- Bila es dalam kirbat es sudah mencair, harus segera
diganti (bila perlu).

Anda mungkin juga menyukai