PEDAHULUAN
2. Tujuan khusus
1. Mampu melakukan teknik relaksasi nafas dalam pada pasien dengan
fraktur tulang panjang dengan masalah nyeri di Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang tahun 2018.
2. Mampu melakukan kompres hangat pada pasien dengan fraktur tulang
panjang dengan masalah nyeri di Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang tahun 2018.
3. Mampu melakukan therapeutic touch pada pasien dengan fraktur tulang
panjang dengan masalah nyeri di Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang tahun 2018.
b. Pembentukan Tulang
Proses pembentukan tulang dimulai saat stem cell mulai berdiferensiasi ke
dalam kondrosit, proses tersebut disebut osifikasi. Osifikasi yaitu proses saat
matriks tulang terbentuk dan terjadi pengerasan mineral, kemudian ditimbun
pada serabut kolagen dalam suatu lingkungan elektronegatif. Serabut kolagen
pada tulang memberikan kekuatan pada tulang terhadap tarikan, sedangkan
kalsium pada tulang berfungsi untuk memberikan kekuatan terhadap tekanan.
Proses osifikasi terdiri dari dua bentuk, yaitu secara endokondral dan
intramembran. Osifikasi secara endokondral terjadi saat stem cell mesenkem
mulai berdiferensiasi menjadi kondrosit yang kemudian berkembang menjadi
lipatan kartilago dengan mineral, yang memungkinkan pembentukan
osteoblast. Pembentukan tulang secara intramembran merupakan proses
pembentukan tulang di mana stem cell mesenkim berdiferensiasi menjadi
garis pra-osteoblast dan membentuk osteoblast tanpa melalui rangkaian
kartilago. Terakhir, pembentukan tulang yaitu kalsifikasi saat mineral
disimpan dan dikristalisasi (Asikin, 2016).
c. Penyembuhan Tulang
2.1.2 Fraktur
A. Pengertian Fraktur
Fraktur adalah diskontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh tekanan atau trauma. Selain itu, fraktur merupakan
rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan oleh tekanan eksternal yang
lebih besar dibandingkan dengan yang dapat diserap tulang. (Asikin,
2016).
B. Etiologi Fraktur
Fraktur dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu (Musliha, 2014):
1. Fraktur akibat peristiwa trauma
Bila terjadi penekanan kekuatan pada tulang maka dapat
mengakibatkan patah pada tempat yang terkena serta jaringan
lunak juga akan rusak.
2. Fraktur akibat peristiwa kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang sama halnya seperti logam dan
benda lain akibat tekanan berulang-ulang.
3. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut
lunak (misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat
rapuh.
Menurut Brunner & Suddarth, (2005) fraktur dapat
disebabkan oleh pukulan langsung, gaya remuk, gerak punter
mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstremitas, organ tubuh
dapat mengalami cidera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur
atau akibat fragmen tulang.
C. Patofisiologi
Ketika tulang patah maka akan terjadi kerusakan di korteks,
pembuluh darah, sumsum tulang dan jaringan lunak. Akibatnya, terjadi
perdarahan dan membentuk hematoma di rongga medulla tulang.
Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respons
inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan
leukosit, serta infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan
dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya. Hematon yang
terbentuk bisa menyebabkan peningkatan tekanan dalam sumsum
tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak dan gumpalan
lemak tersebut masuk kedalam pembuluh darah yang mensuplai organ-
organ yang lain. Hematom menyebabkan dilatasi kapiler di otot,
sehingga meningkatkan tekanan kapiler, lalu menstimulasi histamine
pada otot yang iskemik dan menyebabkan protein plasma hilang dan
masuk ke interintestinal. Hal ini menimbulkan terjadi edema. Edema
yang terbentuk akan menekan ujung syaraf, yang bila berlangsung lama
bisa menyebabkan syndroma comportement. (Asikin, 2016).
D. Pathway
1.Trauma langsung Trauma tidak langsung Trauma patologis
Fraktur
Putus Kerusakan
vena/arteri integritas kulit
deformitas
Pendarahan
Ggn fungsi ekstremitas
Kehilangan vol.
Ggn Mobilitas fisik Cairan Resiko syok
(hipovolemik)
F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada pasien dengan fraktur antara lain (Lukman,
2009):
1. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai frragmen
tulang diimobilisasi.
2. Hilangnya fungsi, ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik
karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang
tempat melengketnya otot.
3. Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang
sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah
tempat fraktur.
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan maka terjadi krepitus.
Krepitus teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya dan dapat berakibat kerusakan jaringan lunak yang lebih
berat.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi
akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
G. Komplikasi
Komplikasi fraktur adalah sebagai berikut (Asikin. Dkk, 2016) :
a) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, sianosis bagian distal, hematoma dan dingin
pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
b) Sindrom Kompartemen
Sindrom Kompartemen merupakan peningkatan tekanan berlebih di
dalam satu ruangan yang disebabkan pendarahan masif, odema atau
yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena
tekanan dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat.
c) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) terjadi karena sel lemak yang
dihasilkan sumsum tulang kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai
dengan gangguan pernapasan, takikardia, hipertensi, takipnea dan
demam.
d) Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma ortopedik infeksi dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa
juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan dan seperti
pin dan plat.
e) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke
tulangrusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang
dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f) Syok
Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan sehingga
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan
menurunnya oksigenasi.
g) Delayed Union
Delayed Union adalah proses penyembuhan tulang dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung lebih lambat
dari keadaan normal. Ini disebabkan karena penurunan suplai
darah ke tulang.
h) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur menyambung kembali
seperti semula.
i) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang fraktur telah
sembuh dalam posisi yang tidak pada seharusnya, ditandai dengan
adanya perubahan bentuk sudut atau miring (deformitas).
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriiksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah (Lukman,
2009):
1. Pemeriksaan Rontgen: menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma dan
jenis fraktur.
2. Scan tulang, tomogram, CT Scan/MRI: memperlihatkan tingkat
keparahan fraktur, juga dapat untuk mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak.
3. Arteriogram: dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vascular.
4. Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
multiple trauma). Peningkatan jumlah SDP adalah proses stress
normal setelah trauma.
5. Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal.
6. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfuse multiple atau cedera hati.
H. Penatalaksanaan
a. Fraktur Terbuka
Fraktur terbuka merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi
kontaminasi oleh bakteri dan disertai dengan perdarahan yang hebat.
Sebelum kuman terlalu jauh meresap, sebaiknya dilakukan (Asikin,
2016) :
1) Pembersihan luka / debridemen
2) Eksisi (pengangkatan jaringan)
3) Hecting situasi (jahitan situasi)
4) Antibiotik
b. Seluruh Fraktur
Dalam fraktur dikenal dengan empat R yaitu : Rekognisis, reduksi,
retensi, rehabilitasi. (Price, 1995) :
1) Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan
tindakan selanjutnya.
2) Reduksi/Reposisi
Upaya untuk mengembalikan fragmen tulang yang patah pada
kesejajarannya.
a) Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat
dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang
dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang
mendasarinya tetap, sama. Pada kebanyakan kasus, reduksi
tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang
keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan
manipulasi dan traksi manual.
b) Alat Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan
efek reduksi dan imoblisasi. Ketika tulang sembuh, akan
terlihat pembentukan kalus ada sinar-x. Ketika kalus telah
kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan
imobilisasi.
c) Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan
reduksi terbuka. Dengan pendekatan Ibnu Rusyd, fragmen
tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin,
kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan
untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya
sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.
3) Hold Reduction
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur.
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi,
atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi
pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips,
atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk
fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur.
4) Rehabilitasi
Latihan dan pengobatan yang diperlukan untuk mencegah
terjadinya atropi dan kontraktur dengan fisioterapi.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum
(status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan
pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu dilaksanakan secara total
care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya
memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam
(Lukman dan Ningsih, 2012).
1) Gambaran Umum
Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti: a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma,
gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.b)
Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat
dan pada kasus fraktur biasanya akut. c) Tanda-tanda vital tidak
normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
2) Secara fisik
a) Sistem Integumen
b) Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
c) Nyeri terus menerus sampai fragmen tulang diimobilisasi
d) Ekstremitas tidak berfungsi dengan baik
e) Pergeseran fragmen menyebabkan deformitas
f) Teraba derik tulang (kripitus) akibt gesekan antara fragmen
satu dengan yang lain
g) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit
3) Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan Rontgen: menentukan lokasi/luasnya fraktur/
luasnya trauma, skan tulang, temogram,
b) scan tulang: memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c) Hitung darah lengkap : HB mungkin meningkat/menurun,
peningkatan jumlal leukosit sebagai espon terhadap
peradangan atau setelah trauma.
d) Kreatinin : traumaa otot meningkatkan beban kreatinin
untuk ginjal.
e) Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan
darah, transfusi multiple, atau cederah hati.
2. Diagnosa Keperawatan
Diganosa keperawatan adalah penyataan yang dibuat oleh perawat
profesional yang memberi gambaran tentang masalah atau status kesehatan
klien, baik aktual maupun potensial, yang ditetapkan berdasarkan analisis
dan interpretasi data hasil pengkajian (Asmadi, 2008).
Menurut Doengoes (2012), Berikut ini merupakan diagnosa
keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur yang aktual terjadi
adalah: 1) Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema,
cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas, 2) Gangguan
mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif
(imobilisasi), 3) Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan
traksi (pen, kawat, sekrup).
Berdasarkan pendapat Altman (1999) dan Smeltzer (2002) dalam
Lukman & Ningsih (2012) tersebut dapat disimpulkan bahwa ada enam
masalah/diagnosa keperawatan yang dapat ditemukan pada klien fraktur
yaitu sebagi berikut :
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b/d pembengkakan, alat
yang mengikat atau gangguan aliran balik.
c. Gangguan citra tubuh, harga diri atau kinerja perna berhubungan
dengan dampak masalah muskuloskletal.
d. Hambatan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler,
nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
e. Defisit perawatan diri b/d nyeri, intoleran aktivitas, hambatan
mobilitas fisik, penurunan kekuatan dan ketahanan.
f. Ansietas/kecemasan b/d krisis stiusional ketidakakraban dengan
lingkungan ancaman perubahan status kesehatan, berpisah dnegan
sistem pendukung yang biasa.
3. Intervensi
Tahap perencanaan memberikan kesempatan kepada perawat,
pasien, keluarga dan orang terdekat pasien untuk merumuskan rencana
tindakan keperawatan guna mengatasi masalah yang dialami pasien.
Perencanaan ini merupakan sesuatu petunjuk tertulis yang
menggambarkan secara tepat rencana tindakan keperawatan yang
dilakukan terhadap pasien sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan
diagnosa keperawatan (Asmadi, 2008).
Sedangkan menurut NANDA-I (Wilkinson, 2016), Diagnosa
keperawatan dan perencanaan yang muncul pada pasien fraktur yaitu :
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema,
cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
1) Definisi : Pengalaman sensori dan emosi akibat adanya
kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau awitan yagn
tiba-tiba dengan intensitas ringan sampai beratan durasi kurang
dari enam bulan.
2) Batasan karakteristik :
a) Subjektif: melaporkan nyeri dengan isyarat/ menggunakan
skala nyeri
b) Objektif: Respon autonom (perbuhan tekanan darah,
pernapasan, denyut jantung, dilatasi pupil), Perilaku
distraksi (mondar-mandir, aktivitas berulang), Peilaku
ekspresif (gelisah , merintih, peka terhadap rangsangan,
menghela napas panjang), wajah topeng, sikap
melindungi, fokus menyempit (gangguan persepsi waktu,
proses fikir, dan interaksi dengan orang lain atau
lingkungan menurun), bukti nyeri dapat diamati, posisi
untuk menghindari nyeri, perilaku menjaga atau sikap
melindungi, gangguan tidur (mata terlihat kuyu, gerakan
teratur)
3) Hasil NOC :
a) Kepuasan pasien : Manajemen Nyeri
Memperlihatkan manajemen nyeri yang dibuktikan
dengan mengenali nyeri, dapat menggunakan pencegahan
nyeri, sering melaporkan nyeri dapat dikendalikan, mampu
menggunakan analgesik
b) Tingkat kenyamanan: tidak mengalami gangguan dalam
frekuensi penapasan, denyut jantung, atau tekanan darah,
mempertahankan selera makan yang baik, melaporkan
kesejahteraan fisik dan psikologis, melaporkan pola tidur
yang baik.
c) Tingkat nyeri: Menunjukan tingkat nyeri yang dibuktikan
ekspresi nyeri pada wajah tidak ada, tidak menangis,
gelisah dan keteganggan otot tidak ada, durasi nyeri
berkurang, tidak merintih dan menangis, tidak merasa
gelisah, mempertahankan tingkat nyeri pada 3 atau kurang
dari 5, mual tidak ada
4) Intervensi NIC:
Manajemen nyeri: melakukan pengkajian nyeri
komprehensif, (lokasi, durasi, kualitas, intensitas, penyebab),
observsi adanya petunjuk nonverbal mengenai
ketidaknyamanan terutama pada pasien yang tidak mampu
komunikasi efektif, gali pencetus yang memperberat dan
menurunkan nyeri, gali pengetahuan dan kepercayaan pasien
terhadap nyeri, tentukan akibat dari pengalaman nyeri terhadap
kualitas hidup, ajarkan teknik nonfarmakologi, berikan
individu penurun nyeri yang optimmal dengan resep analgetik,
pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring,
gips, taraksi, kedalikan faktor lingkungan.
Pemberian analgesik: yakinkan penggunaan obat tepat,
pastikan akses intreven pada tempatnya selama terapi, monitor
aliran untuk memastikan masukkan obat sesuai dosis, monitor
evaluasi pemberian
Pemberian medikasi: ikuti prosesur lima benar dalam
pemberian obat, pemberian sesuai resep dokter, catat alergi,
beritahu pasen mengenai manfaat dan efek samping obat,
dokumentasi pemberian obat.
Manajemen medikasi: tentukan kemampuan pasien untuk
mengobati diri sendiri dengan cara tepat, monitor tanda dan
gejala toksisitas obat pertimbangkan pengetahuan pasien
tentang obat, konsultasi dengan profesional perawatan
kesehatan lainnya.
4. Impementasi
Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan
rencana asuhan keperawatan ke dalam bentuk intervensi keperawatan guna
membantu pasien mencapai tujuan yang telah diterapkan. Implementasi
tindakan keperawatan dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu independent,
interindependent, dan dependen.
6. Independent, yaitu suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh perawat
tanpa petunjuk dari dokter atau tenaga kesehatan lainnya.
7. Interdependent, yaitu suatu kegiatan yang memerlukan kerja sama
dari tenaga kesehatan (misalnya: ahli gizi, fisioterapi, dan dokter).
8. Dependen, berhubungan dengan pelaksanaan rencana tindakan
medis/instruksi dari tenaga medis.
Hal lain yang tidak kalah penting pada tahap implementasi ini adalah
mengevaluasi respons atau hasil dari tindakan keperawatan yang
dilakukan terhadap pasien serta mendokumentasikan semua tindakan
yang telah dilaksanakan berikut respons atau hasilnya (Asmadi,
2008).
5. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir proses dari proses keperawatan yang
merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir
yang diamati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap
perencanaan. Evaluasi dilakukan secara bersinambungan dengan
melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Jika hasil evaluasi
menunjukkan tercapainya tujuan dan kriteria hasil klien bisa keluar dari
siklus proses keperawatan. Jika sebaliknya klien akan masuk kembali
dalam siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang (reassessment). Secara
umum, evaluasi ditunjukkan untuk:
a. Melihat dan menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan.
b. Menentukan apakah tujuan keperawatan telah tercapai atau belum.
c. Mengkaji penyebab jika tujuan asuhan keperawatan belum tercapai
(Asmadi, 2008).
Evaluasi terbagi atas dua jenis, yaitu evaluasi formatif dan evaluasi
sumatif. Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proseskeperawatan dan
hasil tindakkan keperawatan. Evaluasi formatif ini dilakukan segera
setelah perawat mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai
keefektifan tindakan keperawatan yang telah di laksanakan. Perumusan
evaluasi formatif ini meliputi empat komponen yang dikenal dengan
istilah SOAP, yakni subjectif (data berupa keluhan klien), objecttif (data
hsil pemeriksaan), analisis data (perbandingan data dengan teori), dan
perencanaan.
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang di lakukan setelah semua
aktifitas proses keperawatan selesaidilakukan. Evaluasi submutif ini
bertujuan menilai dan memonitor kualitas asuhan keperawatan yang telah
di berikan. Metode yang dapat digunakan pada evaluasi jenis ini adalah
melakukan wawancara pada akhir layanan, menanyakan respons klien dan
keluarga terkait layanan keperawatan, mengadakan pertemuan pada akhir
layanan.
a. Riwayat Nyeri
Saat mengkaji nyeri, perawat sebaiknya member klien kesempatan untuk
mengungkapkan cara pandang mereka terhadap nyeri dan situasi tersebut
dengan kata-kata mereka sendiri. Langkah ini akan membantu perawat
memahami situasi tersebut. Secara umum, pengkajian riwayat nyeri
meliputi beberapa aspek, antara lain:
- Lokasi. Untuk menentukan lokasi nyeri yang spesifik, minta klien
menunjukkan area nyerinya. Pengkajian ini bisa dilakukan dengan
bantuan gambar tubuh. Klien bisa menandai bagian tubuh yang
mengalami nyeri. Ini sangat bermanfaat, terutama untuk klien yang
memiliki lebih dari satu sumber nyeri.
- Intensitas nyeri. Penggunaan skala intensitas nyeri adalah metode yang
mudah terpercaya untuk menentukan intensitas nyeri pasien. Skala
nyeri yang paling sering digunakan adalah rentang 0-5 atau 0-10.
Angka “0” menandakan tidak nyeri sama sekali dan angka tertinggi
menandakan nyeri “terhebat” yang dirasakan klien.
- Kualitas nyeri. Terkadang nyeri bisa terasa seperti “dipukul-pukul”
atau “ditusuk-tusuk”. Perawat perlu mencatat kata-kata yang
digunakan klien untuk menggambarkan nyerinya sebab informasi yang
akurat dapat berpengaruh besar pada diagnosis dan etiologi nyeri serta
pilihan tindakan yang diambil.
- Pola. Pola nyeri meliputi waktu awitan, durasi, dan kekambuhan atau
interval nyeri. Karenanya, perawat perlu mengkaji kapan nyeri
dimulai, berapa lama nyeri berlangsung, apakah nyeri berulang, dan
kapan nyeri terakhir kali muncul.
- Faktor presipitasi. Terkadang, aktivitas tertentu dapat memicu
munculnya nyeri. Karenanya, perawat perlu mengkaji kapan nyeri
dimulai, berapa lama nyeri berlangsung, apakah nyeri berulang dan
kapan nyeri terakhir kali muncul.
- Gejala yang menyertai. Gejala ini meliputi mual, muntah, pusing dan
diare. Gejala tersebut bisa disebabkan oleh awitan nyeri atau oleh nyeri
itu sendiri.
- Pengaruh pada aktivitas sehari-hari. Dengan mengetahui sejauh mana
nyeri memengaruhi aktivitas harian klien akan membantu perawat
memahami perspektif klien tentang nyeri. Beberapa aspek kehidupan
yang perlu dikaji terkait nyeri adalah tidur, nafsu makan, konsentrasi,
pekerjaan, hubungan interpersonal, hubungan pernikahan, aktivitas di
rumah, aktivitas sewaktu senggang, serta status emosional.
- Sumber koping. Setiap individu memiliki strategi koping yang berbeda
dalam menghadapi nyeri. Strategi tersebut dapat dipengaruhi oleh
pengalaman nyeri sebelumnya atau pengaruh agama atau budaya.
- Respons afektif. Respons afektif klien terhadap nyeri bervariasi,
bergantung pada situasi, derajat dan durasi nyeri, interpretasi tentang
nyeri dan banyak faktor lainnya. Perawat perlu mengkaji adanya
perasaan ansietas, takut, lelah, depresi atau perasaan gagal pada diri
klien.
b. Observasi respons perilaku dan fisiologis
Banyak respons nonverbal yang bisa dijadikan indicator nyeri. Salah
satu yang paling utama adalah ekspresi wajah. Perilaku seperti menutup
mata rapat-rapat atau membukanya lebar-lebar, menggigiti bibir bawah
dan seringai wajah dapat mengindikasikan nyeri. Selain ekspresi wajah,
respons perilaku lain yang dapat menandakan nyeri adalah vokalisasi
(misalnya erangan, menangis dan berteriak), imobilisasi bagian tubuh
yang mengalami nyeri, gerakan tubuh tanpa tujuan (misalnya
menendang-nendang, membolak-balikkan tubuh di atas kasur).
Sedangkan respons fisiologis untuk nyeri bervariasi, bergantung pada
sumber dan durasi nyeri. Pada awal awitan nyeri akut, respons fisiologis
dapat meliputi peningkatan tekanan darah, nadi, dan pernapasan,
diaphoresis, serta dilatasi pupil akibat terstimulasinya system saraf
simpatis. Akan tetapi, jika nyeri berlangsung lama dan saraf simpatis
telah beradaptasi respons fisiologis tersebut mungkin akan berkurang
atau bahkan tidak ada. Karenanya, penting bagi perawat untuk mengkaji
lebih dari satu respons fisiologis sebab bisa jadi respons tersebut
merupakan indikator yang buruk untuk nyeri (Mubarak, 2007).