Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS KEBUTUHAN MODEL INTERAKSI TATA GUNA LAHAN DAN

TRANSPORTASI
STUDI KASUS KOTAMADYA BANDUNG

Oleh :
Ir. Najid, MT Prof.Ir.Hang Tuah Salim,MOcE.Ph.D.
Mahasiswa Program Doktoral Jurusan Teknik Sipil ITB
Pascasarjana Teknik Sipil ITB Gd.Lab.Tek.I Lantai 2
Gd.Lab.Tek.I Lantai 2 Jl.Ganesha 10 Bandung –40132
Jl.Ganesha 10 Bandung –40132 Telp./Fax : (022) 2502350
Telp./Fax : (022) 2502350 e-mail : Tuah@melsa.net.id.
e-mail : najid@trans.si.itb.ac.id

Ir.Ofyar Z.Tamin,MSc.Ph.D. Ir.Ade Sjafruddin,MSc.Ph.D.


Staf Pengajar Staf Pengajar
Jurusan Teknik Sipil ITB Jurusan Teknik Sipil ITB
Gd.Lab.Tek.I Lantai 2 Gd.Lab.Tek.I Lantai 2
Jl.Ganesha 10 Bandung –40132 Jl.Ganesha 10 Bandung –40132
Telp./Fax : (022) 2502350 Telp./Fax : (022) 2502350
e-mail : ofyar@trans.si.itb.ac.id e-mail : ades@trans.si.itb.ac.id

Abstrak
Perkembangan guna lahan di Kotamadya Bandung telah mengarah pada terjadinya polisentrisitas tetapi karena
perkembangan guna lahan kurang dapat dikendalikan maka perjalanan ke pusat kota lama masih tetap tinggi dan
juga variabel aksesibilitas ke tempat kerja tidak menjadi pertimbangan utama dalam memilih tempat tinggal
sehingga menimbulkan in-efisiensi dalam perjalanan kota khususnya perjalanan komuter. Akibat kurangnya
pengendalian tersebut maka perubahan guna lahan khususnya yang terjadi di pusat kota lama sudah tidak sesuai
dengan rencana tata guna lahan yang telah ditetapkan, yang mengakibatkan daya dukung prasarana tidak
mencukupi. Untuk mengatasi hal tersebut Pemerintah Daerah telah membangun prasarana khususnya jalan, yang
justru makin merangsang tidak terkendalinya perkembangan dan perubahan guna lahan dari rencana yang telah
ditetapkan, khususnya yang terjadi di pusat kota.
Model Integrasi Tata Guna Lahan dan Transportasi adalah model yang mengalokasikan masing-masing guna
lahan seperti pemukiman, perkantoran, bisnis, industri dan sebagainya yang didasarkan pada interaksi dengan
model transportasi telah banyak dibuat pemodelannya dan perangkat lunaknya. Semua model Integrasi
menggunakan variabel aksesibilitas untuk menghubungkan model guna lahan dan transportasi. Aksesibilitas
adalah ukuran kemudahan pencapaian suatu lokasi yang sangat ditentukan oleh sarana dan prasarana
transportasi. Dalam makalah ini akan diuraikan dan dianalisis macam-macam model yang telah dibuat
(khususnya model guna lahan) dalam usaha menghubungkan alokasi guna lahan dengan transportasi serta model
mana yang paling sesuai untuk kondisi kota-kota di Indonesia dan kota Bandung khususnya.

Kata kunci : Model Integrasi Guna Lahan dan Transportasi, Aksesibilitas, Pajak Bumi dan Bangunan, model
Optimasi dan model Prediktif.

1. LATAR BELAKANG
Kombaitan dalam studi kasusnya di kotamadya Bandung menyatakan bahwa : (sumber
Kombaitan,1999)
a. Perkembangan kota mengarah pada polisentrisitas tetapi jarak/lama komuting semakin
tinggi (tidak sesuai dengan teori) karena aksesibilitas (antara tempat tinggal dan tempat
kerja) bukan merupakan faktor utama yang digunakan pekerja dalam memilih tempat
tinggal dan tempat kerja.
b. Lama komuting bertambah lebih besar dari pada jarak menunjukkan meningkatnya
kepadatan lalu lintas (kemacetan lalu lintas)
Hasil studi Kombaitan diatas menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran terhadap
aksesibilitas yang dapat diterima oleh penduduk untuk perjalanan komuting, yang
menunjukkan aksesibilitas perjalanan kerja yang semakin rendah atau In-efisiensi dalam

1
Simposium IV FSTPT, Udayana Bali, November 2001

perjalanan kerja. Dalam studi tersebut juga didapatkan bahwa faktor daya tarik lahan seperti
harga lahan dan faslilitas lingkungan lebih menentukan dalam pemilihan lokasi tempat
tinggal.

Parengkuan (1991) menyatakan masalah ketersediaan lahan semakin parah dengan adanya
kasus-kasus seperti lahan-lahan yang semula telah dialokasikan untuk suatu kegiatan tertentu
dalam rencana kota, pada saat akan diimplementasikan sering telah digunakan oleh jenis
kegiatan lainnya. Perubahan guna lahan mudah saja terjadi yang kemudian disahkan pada
evaluasi rencana berikutnya (Winarso, 1995). Keadaan ini tentu tidak benar, bahkan sering
pula menyulut ketidak puasan masyarakat karena perubahan yang terjadi tidak sesuai dengan
rencana yang telah diketahui masyarakat. Perubahan juga mempunyai dampak yang besar
terhadap pengeluaran publik, terutama jika perubahan itu untuk guna lahan yang lebih
komersial seperti pusat perbelanjaan, pertokoan, perkantoran dan lain sebagainya.

Salah satu instrumen perangkat kebijakan lahan kota untuk mengendalikan permasalahan
tersebut adalah pajak lahan kota atau Pajak Bumi dan Bangunan disingkat PBB. Hasil analisis
menunjukkan bahwa pajak bangunan lebih mempunyai hubungan dengan pembentukan lahan
kota dibandingkan dengan pajak bumi untuk kasus kotamadya Bandung (Parengkuan,1991).
Guna lahan merupakan pusat aktifitas, Kebutuhan beraktifitas dilayani oleh sistem kegiatan
sedangkan kebutuhan transportasi dilayani oleh sistem jaringan. Interaksi antara sistem
kegiatan dan sistem jaringan menghasilkan sistem pergerakan yang merupakan umpan balik
bagi sistem kegiatan dan sistem jaringan. Interaksi tersebut dikontrol oleh sistem
kelembagaan, untuk lebih jelasnya hubungan tersebut dapat dilihat pada gambar 1 di bawah
ini :

Sistem Kegiatan Sistem Jaringan

Sistem Pergerakan

Sistem Kelembagaan

Gambar 1 : Sistem Transportasi Makro


Sumber : Tamin (1997)

Sistem kegiatan pada sistem makro tersebut di atas dipengaruhi oleh guna lahan yang
dipengaruhi oleh alokasi penduduk dan alokasi aktifitas seperti bisnis/komersial, industri,
sekolah dan lain-lain.

2. ANALISIS MASALAH INTERAKSI GUNA LAHAN DAN TRANSPORTASI DI


KOTA BANDUNG
Berdasarkan Master Plan kota Bandung 1971, maka kota Bandung dikembangkan dengan
fungsi kota sebagai : Pusat pemerintahan, pusat pendidikan tinggi, pusat perdagangan, pusat
industri, pusat kebudayaan dan pariwisata. Dalam RIK Bandung 2005, fungsi-fungsi tersebut
ditetapkan kembali sebagai fungsi kota Bandung dan hal tersebut memberikan peluang yang
luas bagi pertumbuhan dan perkembangan kota Bandung. Namun selanjutnya timbul
masalah-masalah perkotaan di kota Bandung seperti masalah transportasi, urbanisasi yang
tinggi, disparitas kepadatan penduduk, terpusatnya kegiatan komersial pada satu kawasan,
dsb.

2
Simposium IV FSTPT, Udayana Bali, November 2001

Berdasarkan permasalahn diatas, ditetapkan kebijakan pemindahan sebagian fungsi kegiatan


kota Bandung dalam RIK Bandung 2005, diantaranya adalah fungsi primer yang bersifat
mengganggu dan polutan (industri dasar, perdagangan grosir, pergudangan, dsb.) akan
dipindahkan ke Jl.Soekarno-Hatta dan fungsi sekunder berupa aktivitas perguruan tinggi
swasta serta kegiatan Pemda tingkat II Kab.Bandung. Namun kebijakan tersebut belum dapat
dilaksanakan sepenuhnya yang terlihat dari masuknya aktivitas industri ke wilayah perluasan
kodya Bandung, meluasnya aktivitas perdagangan ke jalan-jalan utama, pusat-pusat sekunder
yang belum berkembang dan semakin banyak perguruan tinggi swasta yang memperbesar
skala kegiatannya di kota Bandung.

Pada tahun 1990 (setelah perluasan) penggunaan dominan di Kotamadya Bandung adalah
perumahan (52,56%) , lahan kosong berupa tegalan atau sawah (41,53%), industri (3,65%),
fasilitas sosial (3,33%) dan ekonomi perdagangan (2,68%). Dilihat dari penyebaran kegiatan
komersial dan jasa, kegiatan tersebut cenderung menyebar ke arah utara (Jl.Merdeka-Dago,
Jl.Sukajadi, Jl.Setiabudi). dan ke arah selatan. Perkembangan industri pada kawasan
perluasan tersebut terkonsentrasi pada kawasan Jl.Raya Ujungberung dan Gedebage. Namun
demikian dominasi kegiatan masih terlihat pada kawasan Kotamadya lama terutama pada
kawasan pusat kota (Bappeda, 1998). Di wilayah pusat kota lama yang termasuk dalam
wilayah pengembangan (WP) Cibeunying terjadi juga perubahan guna lahan dari rencana
semula yang contohnya dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini :
Tabel 1 : Contoh perubahan guna lahan di wilayah pengembangan Cibeunying
Lokasi Perubahan Peruntukan dalam Pemanfaatan Tahun
Rencana Perubahan
Jl.Lembong,Braga-Sumur Bandung Perumahan Perkantoran 1996
Jl.Ir.H.Juanda,Tamansari-Bandung Wetan Perhotelan Pertokoan 1996
Jl.Cikutra 03/02, Sukapada-Cibeunying Kidul Perumahan Pendidikan Tinggi 1996
Jl.Ir.JuandaTamansari-Bandung Wetan Perhotelan Pertokoan 1997
Jl.RE.Martadinata 7, Tamansari-bandung Wetan Perumahan Kantor Swasta 1997
Jl.Kanayakan Baru 06/08,dago-Coblong Perumahan Pendidikan Tinggi 1997
Jl.Diponegoro, Citarum – Bandung Wetan Perkantoran Pendidikan 1997
Jl.Cikutra, Neglasari – Cibeunying Kaler Perumahan Pendidikan 1998
Jl.Cihampelas 02/07, Cipaganti – Coblong Perumahan Kantor Swasta 1998
Jl.Komplek Istana dago, 06/09 Dago – Coblong Perumahan Pertokoan 1998
Sumber : Rejeki, N.T. (1999)

Studio proses perencanaan, 1997, jurusan Planalogi ITB, telah melakukan estimasi jumlah
pekerja di setiap desa dan kelurahan di metropolitan Bandung dengan menggunakan
pendekatan proses disagregasi macam tenaga kerja yang diperkirakan bekerja di setiap
kelurahan dan desa. Angka pekerja hasil estimasi ini kemudian digunakan sebagai dasar
untuk menentukan pusat-pusat kerja. Hasil estimasi menunjukkan telah terbentuk 3 (tiga)
pusat kerja lain selain kawasan pusat kota Bandung Jumlah pekerja pada masing-masing
pusat kota dan pusat kota baru dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini :
Tabel 2 : Jumlah Pekerja pada masing-masing Pusat Kota
No Pusat Kota Jumlah Pekerja
1 Pusat Lama 57082
2 Pusat Husein Sastranegara 17955
3 Pusat Ujung Berung 8530
4 Pusat Cimahi 9113
Sumber : Studio Proses Perencanaan, 1997, jurusan Planalogi ITB

Saat ini dengan berhentinya produksi pesawat terbang di IPTN maka telah terjadi
pengurangan jumlah pekerja di pusat Husein Sastranegara. Kebijaksanaan desentralisasi
3
Simposium IV FSTPT, Udayana Bali, November 2001

berbagai aktivitas berfungsi regional ke luar kawasan pusat juga mewarnai pusat-pusat
kesempatan kerja baru di kawasan pinggiran, antara lain yang terutama adalah pemerintahan
tingkat propinsi dan perdagangan grosir (terutama Pasar Induk Caringin dan Gedebage) yang
keseluruhannya pada umumnya berlokasi di sepanjang jalan Soekarno-Hatta di pinggiran
dalam. Aktivitas pemerintahan tingkat kabupaten terdesentralisasi keluar agak jauh yakni di
dekat kota Soreang. Kemudian pertumbuhan industri berteknologi tinggi seperti industri
senjata (Pindad) dan industri telekomunikasi (INTI), ketiganya berlokasi di kawasan
pinggiran dalam, merupakan pertumbuhan pusat kerja industri generasi selanjutnya, termasuk
industri sepatu Cibaduyut yang berada di kawasan pinggiran luar.

Pada koridor jalan Sudirman-Asia Afrika-A.Yani, akibat perkembangan lahan di sisi kiri dan
kanan sepanjang koridor jalan utama tersebut, selain meningkatkan kesempatan kerja juga
telah mengakibatkan tingginya lalu lintas atau pergerakan lokal sehingga menurunkan dan
menyalahi fungsi jalan tersebut. Perbandingan pergerakan lokal dan menerus akibat
perkembangan lahan di sisi kiri dan kanan koridor jalan utama tersebut selama periode 1990-
1995 dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini :
Tabel 3: Proporsi Lalu Lokal akibat Perkembangan Lahan
Nama Jalan Prosentase Guna Lahan Prosentase Proporsi Lalu
Perkembangan Utama Pertambahan Lalu Lintas Lokal
Guna Lahan Lintas Lokal & (Menerus) 1995
Sudirman 9,86 % Perkantoran 5% 34,74% (65,26%)
Asia Afrika 27,88 % Perkantoran 7,2 % 28,6% (71,4%)
Ahmad Yani 42,17 % Bank 8,7 % 30,23% (69,77%)
Sumber : Hadi, GK, 1995

Perkembangan lanjut dari pusat-pusat kesempatan kerja baru terlihat dengan menjamurnya
kawasan perumahan skala besar yang dibangun sejak awal 1980-an yakni dalam bentuk
beberapa pusat distrik dan lingkungan. Selain bekerjanya daya tolak kawasan pusat,
pertumbuhan kawasan perumahan ini juga dipengaruhi oleh kebijaksanaan pembiayaan
pembangunan perumahan lewat fasilitas kredit perbankan. Pada awal tahun 1990-an pusat-
pusat perkembangan semakin mantap bersama-sama dengan perkembangan beberapa pusat
sekunder di kawasan pinggiran dalam, misalnya pusat sekunder Maskumambang, Setrasari
dan pusat Buahbatu, yang terakhir ini tidak direncanakan sebelumnya. Di sepanjang jalan
Soekarno Hatta kemudian bermunculan kegiatan perdagangan dan jasa berskala besar,
menengah dan kecil serta beberapa kampus pendidikan tinggi (Bappeda,1998). Gambaran
yang terjadi pada lokasi studi seperti di uraikan di atas memperlihatkan fenomena yaitu
pembangunan sarana dan prasarana jalan mempengaruhi perkembangan lahan dan
perkembangan lahan mempengaruhi perkembangan jumlah penduduk. Fenomena tersebut
dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini :
Tabel 4 : Hubungan perkembangan sarana dan prasarana jalan dengan penduduk
Tahun Luas Panjang Jalan Kendaraan Mobil Angkutan Jumlah
(km2) Penumpang Umum Penduduk
1985 81,0148 563,272 n.a n.a n.a 1604094
1989 167,2965 575,321 247825 n.a n.a 1797025
1990 167,2965 575,321 246596 n.a n.a 2056915
1991 167,2965 735,000 264885 29664 5443 2096464
1992 167,2965 735,000 274114 31829 6588 2134427
1993 167,2965 735,000 298020 32323 6651 2170866
1994 167,2965 735,000 320275 33000 6651 2209941
1998 167,2965 932,701 355698 n.a 7331 2501506
Sumber : Hadi,GK, 1995 dan BPS Kodya Bandung

4
Simposium IV FSTPT, Udayana Bali, November 2001

Hubungan jumlah kendaraan, angkutan umum dan panjang jalan terhadap jumlah penduduk
sebagai respons dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini :
Tabel 5 : Jumlah kend, angkutan umum dan panjang jalan terhadap jumlah penduduk
No Hubungan Persamaan Regresi R2

1 Penduduk dan Panjang Jalan Y = 10506,51 + 2812,366.X 0,86


2 Penduduk dan Kendaraan Y = 1553719 + 2,066.X 0,98
3 Penduduk dan Angk. Umum Y = 1738212 + 65,482.X 0,64

Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa koefisien determinasi terbesar (R 2) adalah pada hubungan
antara penduduk dan kendaraan, hal ini di sebabkan pertumbuhan kendaraan dipengaruhi
langsung oleh pertumbuhan penduduk. Namun dari ketiga hubungan antara variabel di atas
terlihat bahwa pertumbuhan transportasi menentukan dengan cukup berarti pertumbuhan
penduduk. Pengembangan kegiatan perkotaan lainnya dikembangkan berdasarkan kegiatan
dominan, kebijakan dan strategi pengembangan tata ruang yang ada, dengan menjelaskan
fungsi dan beberapa pembatas untuk mengendalikan dan mengoptimalkan penggunaan
lahan dan efisiensi aktivitas kegiatan secara keseluruhan. (Bappeda,1998). Dari
gambaran dan analisis data di atas maka masalah yang terjadi di Kotamadya Bandung dan
arahan penanganannya dapat dilihat pada gambar 2 di bawah ini :
Masalah

Menurunnya kinerja
Pembangunan
dari fungsi jalan
Prasarana Jalan

Kondisi transportasi :
Kondisi tata guna lahan : - terjadi in-efisiensi dalam pergerakan
- terjadi polisentrisitas khususnya pergerakan komuter
- perubahan guna lahan yang - pergerakan ke pusat kota lama masih
pesat di sepanjang jalan arteri tinggi karena ketergantungan pada pusat
- perubahan guna lahan tidak kota lama masih tinggi.
sesuai dengan rencana semula - bangkitan perjalanan tinggi terutama pada
jalan-jalan utama dan telah menyebabkan
turunnya fungsi jalan utama tersebut.

Arahan Penanganan Masalah :

Kebijakan Pemerintah di bidang tata guna lahan

Keinginan Mengefisiensikan Optimasi Keinginan meningkatkan


pergerakan dan biaya pertumbuhan ekonomi dan
prasarana kesempatan kerja.

Perilaku pelaku Perilaku pemilihan


perjalanan lokasi

Gambar 2 : Masalah dan Arahan Penanganannya


5
Simposium IV FSTPT, Udayana Bali, November 2001

Telah banyak perangkat lunak yang memodelkan perilaku pelaku perjalanan dan telah banyak
diaplikasikan pada kota-kota di Indonesia, tetapi pemodelan terhadap perilaku pemilihan
lokasi belum diaplikasikan pada kota-kota di Indonesia.
Untuk menggambarkan hubungan antara guna lahan dan transportasi maka para perencana
transportasi telah membuat model interaksi guna lahan dan transportasi.

3. ANALISIS MODEL INTERAKSI GUNA LAHAN DAN TRANSPORTASI


Model interaksi guna lahan dan transportasi yang ada saat ini dapat dikelompokkan dalam 2
(dua) kelompok besar yaitu model transportasi dan model guna lahan. Keseluruhan model
interaksi guna lahan dan transportasi dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) model yaitu :
Model Konvensional (model 4 tahap), model Behavioural, model Linked, model Integrasi
(sumber : Bureau of Transport Economics, 1998). Model Integrasi dibagi lagi menjadi model
yang Prediktif dan model yang Optimasi. Masing-masing dari keseluruhan model interaksi
guna lahan dan transportasi berdasarkan karakteristiknya dapat dikelompokkan ke dalam 4
(empat) kelompok model di atas. Pengelompokan masing-masing model interaksi guna lahan
dan transportasi dapat di lihat pada gambar 3 di lampiran.

Model Konvensional (model 4 tahap) terdiri dari sub model Bangkitan Perjalanan (Trip
Generation) yang merupakan fungsi dari faktor tata guna lahan dan faktor sosial ekonomi,
Distribusi Perjalanan (Trip Distribution), Pemisahan Moda (Moda Split) dan Pemilihan Rute
(Trip Assignment).

Model Behavioural didasarkan bahwa pelaku perjalanan akan terus melakukan pilihan
(individual or person based) atau bukan berbasis zona. Pelaku perjalanan akan melakukan
pilihan didasarkan pada utilitas yang merupakan fungsi dari aksesibilitas dan daya tarik
tujuan perjalanan. Model behavioural yang dikenal adalah Multinomial Logit Models yang
didasarkan pada teori Random Utility.
Model Linked melakukan analisis sistem transportasi serta analisis terhadap alokasi
penduduk dan pusat aktivitas tetapi guna lahan merupakan exogenous variable. Model Linked
yang dikenal adalah SELNEC model. Pada SELNEC model output dari model guna lahan
menjadi input untuk model transportasi, dan aksesibilitas untuk model guna lahan diperoleh
dari model transportasi. Jadi pada model ini aksesibilitas digunakan untuk analisis distribusi
perjalanan pada model transportasi dan untuk model guna lahan. Kelemahan model Linked
ini adalah analisis Trip Generation masih bersifat in elastic terhadap biaya perjalanan
(generalised cost). Pada model Linked ini terdapat time lag antara model guna lahan dan
model transportasi sehingga model guna lahan dianggap sebagai variabel exogenous.

Model Integrasi merupakan model yang melakukan analisis guna lahan (alokasi penduduk
dan pusat aktifitas) dan sistem transportasi secara terintegrasi. Pada model Integrasi analisis
guna lahan yang dilakukan selain mempertimbangkan faktor aksesibilitas yang merupakan
output dari model transportasi juga mempertimbangkan daya tarik lahan dan faktor kebijakan.
Model Integrasi dibedakan berdasarkan model guna lahannya yaitu model guna lahan yang
hanya menganalisis alokasi dari perumahan (penduduk) dan model guna lahan yang
menganalisis keduanya yaitu alokasi perumahan (penduduk) dan alokasi komersil (bisnis).
Masing-masing model Integrasi tersebut juga dibedakan atas model guna lahan yang
mempertimbangkan harga lahan (rumah) dalam analisisnya dan model yang tidak
mempertimbangkan harga lahan (rumah) tersebut dalam analisisnya. Masing-masing model
tersebut juga dibedakan berdasarkan mode response. Maksud perjalanan dan biaya perjalanan
yang merupakan fungsi dari alokasi penduduk dan alokasi pusat aktivitas pada sebagian

6
Simposium IV FSTPT, Udayana Bali, November 2001

model tidak mempengaruhi moda angkutan yang digunakan, model yang demikian tersebut
merupakan model yang mode unresponse. Sebagian dari model tersebut juga melakukan
analisis terhadap lingkungan, tetapi aspek lingkungan tidak dibahas karena pada saat ini
masalah lingkungan belum menjadi masalah yang crucial pada kota-kota di Indonesia.

Sebagaimana diketahui bahwa model guna lahan yang pertama adalah model Lowry (1964).
Model Lowry banyak digunakan atau dikembangkan oleh model-model guna lahan
selanjutnya. Prinsip model Lowry adalah :
a. Perubahan guna lahan ditentukan oleh Basic Employment, Residential (tempat tinggal)
dan Service Employment.
b. Basic Employment sebagai input awal, kemudian dialokasikan tempat tinggal berdasarkan
lokasi Basic Employment tersebut. Alokasi dari Service Employment didasarkan pada
alokasi tempat tinggal.
c. Menggunakan 2 (dua) persamaan yaitu persamaan untuk alokasi tempat tinggal dan
persamaan untuk alokasi aktifitas.

Model Prediktif adalah model yang menjelaskan perubahan guna lahan dan dampaknya
terhadap transportasi serta sebaliknya atau merupakan model dinamik yang didasarkan pada
perilaku (behaviour) demand. Sebagian dari model Prediktif tersebut didasarkan pada
pendekatan deterministik dan hanya model Calutas, Dortmund, MEP dan Osaka yang
didasarkan pada pendekatan stokastik. Pendekatan stokastik dianggap lebih sesuai dalam
menggambarkan perilaku konsumen karena kumpulan pilihan yang sama dengan atribut dan
karakteristik sosial ekonomi yang juga sama, ternyata mereka memilih alternatif yang tidak
sama (BEN AKIVA dan LERMAN, 1985). Namun dari model stokastik tersebut diatas,
penetapan utilitas dalam memodelkan demand didasarkan pada data revealed pereference,
dengan demikian penggambaran perilaku demand hanya terbatas pada apa yang terjadi atau
telah lampau sehingga tidak menggambarkan keadaan perilaku demand saat ini dan yang
akan datang.

Model Optimasi adalah model yang memetakan pola guna lahan untuk mengoptimalkan
utilitas dari pelaku perjalanan atau mengoptimasikan efisiensi kota (Bureau of Transport
Economics, 1998). Efisiensi kota ditentukan oleh biaya perjalanan dan biaya pembangunan.
Model Optimasi yang ada saat ini adalah model Saloc (Transloc) dan model Topaz.
Kelebihan model Optimasi khususnya model Topaz (Brotchie, 1980) adalah :
a. Evaluasi dari alternatif solusi didasarkan pada efisiensi biaya.
b. Optimasi dari minimasi biaya perjalanan dan biaya infrastruktur (Interaction cost).
c. Lebih sesuai untuk kota dengan perencanaan yang belum mantap.

Pada model optimasi yang ada alokasi guna lahan didasarkan pada minimasi biaya perjalanan
dan biaya pembangunan prasarana atau biaya-biaya sosial yang lain. Pada kasus di kota
Bandung pola perpindahan penduduk tidak hanya mempertimbangkan biaya perjalanan ke
tempat kerja (Kombaitan, 1999), hal ini berarti bahwa penduduk bersedia mengorbankan
biaya perjalanan yang lebih besar untuk memperoleh kelebihan manfaat dari lokasi (harga
lahan) dalam usaha mengoptimalkan utilitasnya. Berdasarkan hal tersebut maka aksesibilitas
dan harga lahan perlu dipertimbangkan dalam pemodelan yang didasarkan pada optimasi dan
perilaku permintaan dengan pajak bumi dan bangunan sebagai alat kendali. Pendekatan ini
bertujuan men-stimulate demand karena perencanaan pada kota-kota di Indonesia belum
mengikutsertakan swasta secara aktif. Pendekatan untuk pemodelannya dapat dilihat pada
gambar 4 di bawah ini :

7
Simposium IV FSTPT, Udayana Bali, November 2001

Kapasitas
jalan
Volume
Kebijakan Produktifitas & kec.lalu
Guna Lahan, Ketersediaan
Lahan (indikator lintas
Pajak dan Lahan/zona
ekonomi / zona
Ekonomi kecamatan)
Biaya
Perjalanan Trip
Assignment
Variabel Prosedur
Kebijakan Optimasi
(harga lahan) Alokasi Okupa Moda Split
nsi
kend.
Trip
Model Perilaku Distribution
Pemilihan Lokasi Distribusi Penduduk
Aksesibilitas
Penduduk dan Aktifitas dan Aktifitas/ zona

Trip
Generation
Total
Kondisi Penduduk
sosial Kota
ekonomi
demand

Gambar 4 : Pendekatan Pemodelan pada wilayah Studi

4. KESIMPULAN DAN SARAN


4.1. Kesimpulan
1. Pembangunan prasarana jalan di kota Bandung telah mengarah kepada terbentuknya
pusat-pusat kota baru dan perubahan pemanfaatan lahan dari rencana semula.
2. Ketergantungan pada pusat kota lama menyebabkan in-efisiensi dalam pergerakan di kota.
3. Perubahan pemanfaatan lahan khususnya pada koridor-koridor jalan utama telah
menyebabkan proporsi pergerakan lokal menjadi tinggi sehingga menurunkan fungsi jalan
yang bersangkutan.
4. Sesuai arahan Bappeda maka perlu suatu pendekatan Optimasi terhadap semua keinginan
untuk mengatasi masalah di kota Bandung.
5. Pertumbuhan transportasi dan pertumbuhan penduduk mempunyai hubungan yang cukup
kuat di Kotamadya Bandung.
6. Mekanisme Pajak Bumi dabn Bangunan dapat digunakan sebagai alat kendali kebijakan
Pemerintah untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
7. Belum ada pemodelan yang menjelaskan perilaku permintaan terhadap lokasi tempat
tinggal dan bisnis yang didasarkan optimasi tujuan pemerintah daerah dan perilaku
permintaan lokasi dengan pajak bumi bangunan sebagai faktor pengendali.

4.2. Saran
1. Aplikasi perangkat lunak pemodelan guna lahan yang optimasi dapat digunakan dengan
perubahan dan penambahan yang disesuaikan masalah di kota Bandung.

8
Simposium IV FSTPT, Udayana Bali, November 2001

2. Struktur data untuk pemodelan perilaku permintaan terhadap lokasi tempat tinggal dan
bisnis/ perkantoran sebaiknya didasarkan pada stated preference, mengingat pendekatan
yang selama ini dilakukan berdasarkan revealed preference.

5. DAFTAR PUSTAKA
- Bappeda, 1998, Studi Sistem Transportasi Terpadu di Kotamadya DT II Bandung.
- Brotchie JF, et.al., 1980, Technique for Optimal Placement of Activities in Zones
(TOPAZ), Berlin Heidelberg New York.
- Bureau of Transport Economics, 1998, Urban Transport Models, Department Of
Transport and Regional Services.
- Lubis,H.A.S. & Karsaman,R.H., 1997, Krisis Perencanaan Transportasi Kota,
Perencanaan dan Manajemen Transportasi, Jurnal PWK.Vol. 8 no.3.
- Hadi,G.K, 1995, Dampak Perubahan Guna Lahan Terhadap Kinerja Jaringan Jalan, Lalu
Lintas dan Biaya Perjalanan, Tesis, ITB.
- Kombaitan,B., 1999, Perubahan Struktur Ruang Perkotaan dan Perkembangan Pola
Ruang Pergerakan Bekerja, Disertasi, ITB.
- Kombaitan,B., 1995, Perijinan Pembangunan Kawasan dalam Penataan Ruang, Aspek
Hukum dalam Penataan Ruang, Jurnal PWK no. 17.
- Musa,I.,2000, Peranan Faktor Lokasi dalam Pemilihan Lokasi Industri Para pemanfaat
Kawasan Industri di Indonesia, Disertasi, ITB.
- Parengkuan,E.P,1991, Studi Permasalahan Pajak Lahan Kota dalam Kaitannya dengan
Penggunaan Lahan dan aspek Pengendalian Guna Lahan di Kotamadya Bandung, Jurnal
Perencanaan Wilayah dan Kota, no.2 Triwulan 1.
- Rejeki,T.R., Pedoman Penentuan Indeks Perubahan Pemanfaatan Lahan Sebagai
Penerapan Permendagri No.4 Tahun 1996, Tesis, ITB.
- Santoso,I., 1986, The Developmentof Microcomputer version Of Leeds Integrated Land
Use – Transport (LILT) Model, Thesis, University of London.
- Sujarto,D., 1992, Wawasan Tata Ruang, Wawasan mengenai Tata Ruang dan
Pembangunan, Jurnal PWK Juli, Edisi Khusus.
- Tamin,O.Z., 1997, Perencanaan & Pemodelan Transportasi, Penerbit ITB.
- Tamin,O.Z, Russ,B.F., 1997, Penerapan Konsep Interaksi Tata Guna Lahan-Sistem
Transportasi dalam Perencanaan Sistem Jaringan Transportasi, Perencanaan dan
Manajemen Transportasi, Jurnal PWK.Vol. 8 no.3.
- Winarso,H.,1995, Tarif Ijin Perubahan Guna Lahan Perkotaan Sebagai Bentuk Kontrol
Pelaksanaan Penataan Ruang Kota, Aspek Hukum dalam Penataan Ruang, Jurnal PWK
no.17.
- Webster,F.V, et.al, 1990, Urban Land Use and Transportation Interaction, Gower
Publishing Company.

9
Simposium IV FSTPT, Udayana Bali, November 2001

Lampiran :
Model Interaksi Guna
Lahan danTransportasi

Model Behavioural Linked Model Integrasi


Konvensional Model Model

4-Step Multinomial Logit Model Model Model


Model Model SELNEC Prediktif Optimasi

Optimasi alokasi
penduduk/aktifitas
Prediksi alokasi Prediksi alokasi
Penduduk penduduk dan aktifitas

Tanpa harga
lahan/rumah
Tanpa harga Dengan harga Tanpa harga
lahan/rumah lahan/rumah lahan/rumah

Tidak respon thd Moda Split Moda Split


Pemilihan Moda UnResponse Response

Tidak respon thd Respon thd Tidak respon Respon thd


Pemilihan Moda Pemilihan Moda thd.Pem.Moda Pemilihan
Moda

Disagregat *) Disagregat Agregat Agregat

Disagregat Disagregat

Calutas
Amersfoort Osaka Dortmund Transloc Topaz
LILT
MEP
(*)
(*)

KIM
Agregat **) Master
Meplan
Boyce
Keterangan : Lowry ITLUP Catlas
*) aktifitas disagregat, POLIS
Tranus (*) (*)
penduduk agregat PSCOG
**) aktifitas agregat, penduduk disagregat Hamilton
(*)dengan analisis lingkungan LUTE
HLFM II
Gambar 3 : Karakteristik Model Interaksi Guna Lahan dan Transportasi
10

Anda mungkin juga menyukai