Anda di halaman 1dari 11

HAK DAN KEWAJIBAN PERAWAT

VS
UU KESEHATAN

Disusun untuk memenuhi tugas mata ajar Ilmu Sosial dan Budaya
Dosen Pengampu : Dra. Lituhayu, MSc

OLEH :
QUARTILOSIA P.S 22020100120049

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2011
BAB I
PENDAHULUAN

Perawat merupakan profesi yang sering kali dipandang sebelah mata.


Banyak diantara mereka meragukan ilmu dan keterampilan perawat dalam
menangani pasien. Padahal 80% dari kesembuhan pasien dikarenakan oleh
penanganan dan pelayanan perawat, bukanlah dokter. Pasien pun lebih
intens bersama dengan perawat. Perawat jarang sekali dipandang sebagai
mitra dokter, mereka menganggap perawat hanya pembantu dokter.
Banyak keterampilan yang mampu dilakukan perawat lebih berkualitas
daripada dokter.
Seperti halnya saat ini banyak kasus yang sering melangggar hak asasi
manusia dalam keperawatan. Perawat tidak diizinkan memberikan
pertolongan pertama pada pasien yang dimana perawat sudah
melaksanakan sesuai prosedur yang berlaku. Pada sebuah kasus yang
sangat darurat pihak pasien banyak yang tidak berkenan di tangani oleh
perawat dikarenakan adanya adat dan kebiasaan orang sekitar dan pihak
pasien menuntut perawat. Sedangkan perawat sendiri tidak diberikan
kesempatan untuk memberikan penjelasan dan perawat tidak mampu
untuk membela diri dan membersihkan nama baiknya.
BAB II
ISI

A. STUDI KASUS
Jum'at, 20 November 2009 , 10:31:00
Misran Divonis 3 Bulan
128 Pusban Bakal Hentikan Praktik Farmasi

TENGGARONG – Malang benar nasib perawat Misran, kepala


Puskesmas Pembantu (Pusban) Kuala Samboja, Samboja, Kutai Kartanegara
(Kukar). Niatnya menolong masyarakat di wilayah kerjanya dibalas dengan
vonis 3 bulan penjara. Akibatnya, Persatuan Perawat Nasional Indonesia
(PPNI) Kukar mengancam, menghentikan pelayanan kefarmasian di 128
pusban di Kukar.
Dalam sidang, Kamis (19/11) terungkap fakta, Misran terbukti
memberikan obat keras daftar G yang memiliki ciri lingkaran merah di
kemasannya. Menurut hukum, obat tersebut hanya boleh diberikan
berdasarkan resep dokter. Namun demikian, realita di lapangan seluruh
pusban di Kukar tidak memiliki tenaga dokter. Sementara di Kuala
Samboja, jarak pusban ke puskesmas induk sekitar 15 kilometer.
Majelis hakim yang dipimpin Agus Nazaruddinsyah menyatakan,
Misran terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana karena
membuka praktik kefarmasian tanpa disertai keahlian dan kewenangan.
Misran didakwa melanggar pasal 82 ayat 1 huruf b junto pasal 63 ayat 1
Undang-Undang (UU) 23/1992 tentang Kesehatan.
Dia pun dijatuhi pidana penjara selama 3 bulan potong masa tahanan,
ditambah denda Rp 2 juta dengan subsider 1 bulan kurungan. Putusan hakim
lebih ringan dibanding dakwaan jaksa penuntut umum (JPU), yang
mendakwa Misran dengan pidana 10 bulan penjara dan denda Rp 2,5 juta
subsider 3 bulan kurungan, jika tidak dibayar. Hal yang memberatkan
Misran, yakni perbuatannya dapat membahayakan masyarakat.
Sementara yang meringankan, berlaku sopan di persidangan dan
Misran mengakui dan menyesali perbuatannya, belum pernah dihukum, dan
perbuatan Misran terjadi karena ketiadaan dokter di Kuala Samboja
sehingga timbul niat membantu masyarakat selama 24 jam.
Kasus Misran yang mendapat perhatian luas ini bermula, saat 3
anggota Polda Kaltim menangkap perawat teladan Kukar ini di
kediamannya pada Rabu, 3 Maret 2009 lalu, di jalan poros Balikpapan-
Handil. Sebanyak 21 jenis obat daftar G dan nota pembelian di dua apotek
di Samarinda menjadi barang bukti.
Dalam persidangan sebelumnya, beberapa saksi ahli mengatakan, obat
daftar G tidak bebas diperjualbelikan dan harus digunakan dengan resep
dokter. Sementara dalam pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Kukar dr
Abdurrachman yang menjadi saksi ahli, disebutkan semua pusban tidak
memiliki dokter dan perawat diberi delegasi melakukan pelayanan
pengobatan.
Dalam persidangan juga terungkap, Misran membeli obat daftar G
dengan meminta bantuan saksi Ahmad Sayidin. Dua nota pembelian obat di
Apotek Obat Sehat dan Apotek Setia Jaya di Samarinda menjadi buktinya.
Menurut Misran, obat itu dibeli karena stoknya habis. Menanggapi vonis
tersebut, baik JPU Fitri Ira dan kuasa hukum Misran menyatakan masih
pikir-pikir dulu.
“Kami diskusikan dulu selama 7 hari ke depan untuk mengambil sikap
yang terbaik apakah banding atau menerima. Ini terutama bagi kepentingan
masyarakat yang ingin mendapat pengobatan di pusban,” terang M
Aidiansyah, kuasa hukum Misran dari Lembaga Konsultasi dan Bantuan
Hukum (LKBH) Korpri Kukar. Sementara Misran menyatakan,
menyerahkan semua ke institusinya.
“Semua yang saya lakukan ini adalah instruksi dan saya tidak bisa
mengambil sikap karena ini urusan institusional. Saya akan diskusikan
dengan dinas, kuasa hukum, dan DPRD. Untuk saat ini, belum bisa juga
dikatakan menerima,” kata Misran.
HENTIKAN PRAKTIK
Ketua PPNI Kukar Abdul Jalal yang turut hadir di persidangan
mengaku, kecewa pada putusan tersebut. Jalal menyatakan perawat secara
tegas menolak unsur pendelegasian dari dokter, dan tidak akan
mengeluarkan obat dalam pelayanan farmasi di pusban. “Jika ditarik benang
merahnya, kesalahan ini karena sistem yang salah dan kebijakan yang tidak
disosialisasikan.
Bagaimana bila ada masyarakat memerlukan pengobatan di pedesaan
yang tidak ada dokter? Siapa yang mau mengobati masyarakat? Apa
kembali ke dukun?” ujarnya. Kepala Puskesmas Sebulu, Kukar ini
memberikan satu studi kasus. Yakni pasien yang berobat karena infeksi
saluran pernapasan atas (ISPA). “Itu ‘kan penyakit kacangan. Kalau hanya
diberi anti alergi ya tidak mempan, karena itu berkaitan dengan bibit
penyakit.
Mau tidak mau, dengan pengetahuan dan pedoman di puskesmas
pembantu, harus memberi obat daftar G, seperti Amoxicilin,” jelasnya. Jalal
menegaskan, seorang perawat tidak akan memberikan obat sembarangan.
Untuk diketahui, di seluruh Kukar ada 128 pusban yang diisi perawat tanpa
ada tenaga dokter. Sementara tenaga perawat di Kukar, setidaknya
berjumlah 800-an orang.
Selain bertugas di dua rumah sakit di Tenggarong dan Samboja, 382
orang di antaranya tersebar di 18 kecamatan di Kukar. Diungkapkan Jalal,
PPNI Kukar menilai, kasus Misran harus dilihat dari aspek sistemik atau
bentuk penyalahgunaan kewenangan yang dibebankan kepada satu orang.
“Sebagai tenaga kesehatan yang ingin menolong masyarakat, harus
disadari ada bentuk pertolongan yang tidak dilindungi hukum. Termasuk
pelayanan di luar gedung dan jam kerja. Jadinya, kepala kami ingin
menolong, tapi kaki berada di dalam penjara,” tutupnya, dengan nada
kecewa.(fel/kpnn)
B. ANALISA KASUS
Misran merupakan perawat yang telah bekerja selama 20 tahun di
wilayah Kutai dan pernah merasakan bui karena didakwa memberikan
obat kepada pasien tanpa memiliki keahlian dan kewenangan. Peristiwa ini
tersebut berawal ketika Misran mengambil keputusan untuk memberikan
obat yang terdaftar G (Gevaarlijk/berbahaya) karena pasien harus segera
mendapatkan pertolongan. Hal tersebut merupakan pelanggaran karena
jenis obat yang berlabel G hanya boleh diberikan kepada pasien atas
wewenang dari dokter, sesuai dengan pasal 82 (1) D UU 36/2009 tentang
Kesehatan.
Mungkin hal ini terdengar ganjil, akan tetapi di era globalisasi ini
masih saja ada daerah yang tidak memiliki seorang dokter termasuk
wilayah Kutai tersebut, yang ada hanya para perawat atau tenaga medis
selain dokter yang biasanya bertugas di puskesmas-puskesmas pembantu.
Apaabila terjadi keadaan darurat dan proses rujukan tidak bisa dilakukan
karena terkendala faktor geografis, wilayah, tenaga, biaya, jarak, dan
ketersediaan sarana transportasi menjadi dilema tersendiri bagi perawat.
Apakah pihaknya harus membantu pasien dengan resiko dituntut tanpa
perlindungan undang-undang atau menolak menangani pasien dan
membiarkan keadaan pasien bertambah parah yang tentunya tidak sesuai
dengan kode etik keperawatan?
Wewenang apoteker bahkan telah diatur dalam Peraturan Pemerintah
No. 51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. PP ini dengan tegas
menyatakan tenaga kesehatan yang berwenang melakukan pekerjaan
kefarmasian adalah apoteker.Dengan demikian, jangankan perawat atau
mantri, dokter sekalipun tidak diperkenankan melakukan praktik
kefarmasian. Kewenangan dokter diatur terpisah dalam UU No. 29/2004.
Namun, dokter diperkenankan melakukan praktik kefarmasian secara
terbatas dalam kondisi tertentu.
Adapun, aturan tentang perawat juga sudah ada, yakni SK Menteri
Kesehatan No. 1239/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat. Dengan
SK tersebut, perawat memiliki legitimasi dalam menjalankan praktik
profesinya. Paradigma perawat pun mulai bergeser dari sekadar
perpanjangan tangan dokter menjadi mitra sejajar dokter.

Menurut Undang-Undang No. 23, tahun 1992 tentang kesehatan


pasal 4, lingkup praktik keperawatan adalah :

a. Memberikan asuhan keperawatan pada individu, keluarga,


kelompok dan masyarakat dalam menyelesaikan masalah kesehatan
sederhana dan kompleks.

b. Memberikan tindakan keperawatan langsung, terapi


komplementer, penyuluhan kesehatan, nasehat, konseling, dalam rangka
penyelesaian masalah kesehatan melalui pemenuhan kebutuhan dasar
manusia dalam upaya memandirikan klien.

c. Memberikan pelayanan keperawatan di sarana kesehatan dan


kunjungan rumah.

d. Memberikan pengobatan dan tindakan medik terbatas, pelayanan


KB, imunisasi, pertolongan persalinan normal.

e. Melaksanakan program pengobatan dan atau tindakan medik


secara tertulis dari dokter.

f. Melaksanakan Program Pemerintah dalam bidang kesehatan.

Namun, Misran mempunyai alasan kuat mengapa dirinya dan


beberapa perawat lain di Kukar memberikan obat keras. Pertama, di
daerahnya tidak ada dokter. Kedua, penyakit yang diderita masyarakat
hanya bisa diobati dengan obat keras. Ketiga, jika dirinya tidak mengobati
bisa dijerat dengan pasal pidana di UU 36/2009 tentang Kesehatan.
Karena, dalam Pasal 190 ayat (1) disebutkan, "Jika tenaga kesehatan tidak
memberikan bantuan pada orang yang sakit, maka dapat dipidana."
Sehingga Putusan hakim yang menjatuhi Misran hukuman pidana penjara
selama 3 bulan potong masa tahanan, ditambah denda Rp 2 juta dengan
subsider 1 bulan kurungan secara langsung menuai kontra pendapat
diantaranya karena :

1. kondisi geografis

2. kelalaian pemerintah dalam menyediakan struktur medis

3. hakim dinilai melihat masalah ini hanya berdasarkan hukum formil


padahal tindakan ini tidak menyalahi hukum pidana secara materil

4. misran melanggar kewenangan yang didapat karena keahlian (authority


by expertise) sedangkan masih terdapat kewenangan yang dimiliki misran
yaitu kewenangan yang didapat karena posisi (authority by position) dan
kewenangan yang didapat karena situasi (authority by situation)

Kasus Misran merupakan sebagian kecil masalah yang terjadi dan


dialami oleh perawat dimanapun perawat berada, rasa tanggung jawab
sebagai perawat yang ingin memberikan pelayanan kesehatan bagi
masyarakat demi kesehatan bangsa, namun rasa tanggung jawab ini tidak
didukung oleh peraturan yang dapat mendukung perawat dalam
memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.

Menilik dari kasus diatas seharusnya membuat mata Indonesia


bahkan dunia terbuka bahwa tenaga medis seperti perawat juga
membutuhkan perlindungan hukum. Agaknya kasus seperti yang dialami
misran merupakan sebagian kecil dari masalah yang terjadi dan dialami
oleh perawat. Rasa tanggung jawab sebagai perawat yang ingin
memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat dan dengan tulus ikhlas
membantu proses kesembuhan pasien tidak didukung oleh peraturan yang
dapat mendukung dan melindungi perawat dalam melakukan pelayanan
kesehatan. Salah satu tujuan dari Negara kita adalah untuk memberikan
kesejahteraan bagi warganya, akan tetapi peran tenaga kesehatann
khususnya perawat yang mendominasi dari segi kuantitas masih belum
ditempatkan peda porsi yang selayaknya, bahkan seperti diabaikan.
Dalam setiap forum bahkan pendidikan yang diberikan kepada calon
perawat selalu menekankan bahwa perawat adalah ujung tombak dalam
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat karena 80%
kesembuhan pasien ditentukan dari keberhasilan perawat dalam merawat
pasien selama proses penyembuhan. Di sisi lain pemenuhan hak-hak
perawat sepertinya terabaikan.. Hal ini terbukti dari tidak segera
disahkannya RUU Keperawatan menjadi UU Keperawatan. Dilihat dari
sudut hukum, rancangan UU ini nantinya dapat menjadi payung hukum
perawat Indonesia dalam menjalankan praktik profesinya. Perlindungan
hukum terhadap perawat merupakan faktor utama yang mendorong
perlunya perundangan itu. Selama ini, perawat sering kali kalah di mata
hukum ketika memiliki masalah yang berkaitan dengan pekerjaannya.
Pada kenyataannya tidak terlihat keseriusan pemerintah untuk
mengesahkan RUU Keperawatan yang sejak dulu diperjuangkan oleh
persatuan perawat dari seliruh penjuru negeri. Padahal RUU tentang
Praktik Perawat telah menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2005-2009. Hal ini
berdasarkan Keputusan DPR-RI No. 01/DPR-RI/III/2004-2005 tentang
Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional Tahun 2005-2009.
Dalam Prolegnas 2005-2009 tersebut, telah ditetapkan 284 (duaratus
delapan puluh empat) prioritas RUU untuk digarap selama lima tahun.
Masuknya RUU Praktik Perawat dalam Prolegnas 2005-2009 melalui
proses yang amat panjang. Proses penyusunan Prolegnas diatur dalam
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan
dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional.
Perawat Indonesia (lebih dari 500.000) merupakan 60 % dari total
tenaga Kesehatan telah memberikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia
dengan memberi pelayanan di daerah terpencil, perbatasan, desa-desa
tertinggal, pulau-pulau terluar dan seluruh tatanan pelayanan kesehatan
yang ada di Indonesia. Masyarakat perlu mendapatkan pelayanan
kesehatan yang memadai oleh tenaga perawat yang berkualitas dengan
dasar regulasi yang memadai. Disamping itu bagi perawat juga terlindungi
dari berbagai resiko kerja dan tuntutan hukum.
Selain dihadapkan pada masalah di atas dengan telah di tanda
tanganinya Mutual Recognition Agreement (MRA) di 10 negara ASEAN
terutama bidang keperawatan yang telah di berlakukan tahun 2010.
Dimana diantara 10 negara Asean tersebut hanya 3 negara yang belum
memiliki Undang-Undang Keperawatan yaitu; Indonesia, Laos dan
Vietnam. Maka dapat dibayangkan bahwa masyarakat Indonesia akan
menjadi sasaran empuk tenaga-tenaga kesehatan asing, tenaga perawat
dalam negeri terpinggirkan, pengakuan rendah dan gaji yang tidak
memadai.
BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN
Hak asasi manusia harus dijunjung tinggi dalam segala aspek
kehidupan termasuk dalam dunia kesehatan salah satunya keperawatan.
Aplikasi HAM dalam keperawatan terdiri dari hak asasi klien dan hak
asasi perawat, kedua hak asasi tersebut harus berjalan beriringan sehingga
nantinya tidak ada yang merasa dirugikan satu sama lain dan proses
keperawatan akan berjalan lancar hingga menuju kesembuhan pasien.
Undang-undang keperawatan merupakan payung bagi perawat untuk
melaksanakan tugasnya. Selama ini profesi perawat rentan terhadap
tuntutan hukum. Selain itu, kesejahteraan perawat juga dinilai masih jauh
dari layak, padahal tanggung jawab sebagai perawat sangatlah besar
karena hampir 75% penanganan medis dilakukan oleh perawat.
Maka dari itu, Undang-Undang Keperawatan perlu segera disahkan
agar kasus seperti yang dihadapi Miswar tidak perlu terulang kembali.
Sehingga perawat dapat melakukan tugasnya untuk melayani masyarakat
dengan maksimal dan tanpa perasaan was-was.

B. SARAN

1. Perlu segera dilakukan pengesahan UU Keperawatan agar dapat


menjadi pedoman bagi perawat untuk menjalankan tugasnya.
2. Sebaik perundangan tersebut tidak hanya memuat tugas dan kewajiban
perawat akan tetapi juga memperhatikan hak-hak perawat sebagai
pelayan masyarakat yang masih termasuk pada masyarakat itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai