Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

A. Pengertian
Lupus eritematosus sistemik atau systemic lupus erythematosus (SLE)
merupakan penyakit autoimun multisistem yang berat. Pada keadaan ini tubuh
membentuk berbagai jenis antibodi, termasuk antibodi terhadap antigen nuklear
(ANAs) sehingga menyebabkan kerusakan berbagai organ. Penyakit ini ditandai
dengan adanya periode remisi dan episode serangan akut dengan gambaran klinis
yang beragam berkaitan dengan berbagai organ yang terlibat. SLE terutama
menyerang wanita usia reproduksi. Faktor genetik, imunologik, hormonal serta
lingkungan berperan dalam proses patofisiologi (Raunwald E, 2012).
Lupus Eritematosus Sistemik merupakan kondisi inflamasi yang berhubungan
dengan sistem imunologi yang dapat menyebabkan kerusakan multi organ. Lupus
Eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana sistem tubuh
menyerang jaringannya sendiri. LES tergolong penyakit kolagen-vaskular yaitu suatu
kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh
darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan
yang kompleks. Tingkat LES sangat bervariasi antar negara, etnis, usia, gender, dan
perubahan dari waktu ke waktu. Penyakit ini terjadi sembilan kali lebih sering pada
wanita dibandingkan pria, terutama pada wanita di usia melahirkan anak tahun 15
sampai 35 (Anna MQ, 2012).

B. Etiologi
Penyebab LES masih belum diketahui. Ada sedikit keraguan bahwa penyakit
ini diperantarai oleh respons imun abnormal yang berkaitan dengan adanya berbagai
antibodi dan kompleks imun di dalam plasma yang menyebabkan efek-efek patologik
yang terlihat pada lupus eritematosus. Penyebab respons ini banyak diyakini akibat
autoimun, meskipun terdapat bukti adanya pengaruh virus dan genetik. Etiologi lain
yang diduga dapat menyebabkan LES antara lain induksi obat, genetik, dan virus
(Bertsias G, 2013).
C. Anatomi Fisiologi Organ Terkait
Darah manusia adalah cairan jaringan tubuh. Fungsi utamanya adalah
mengangkut oksigen yang diperlukan oleh sel-sel di seluruh tubuh. Darah juga
menyuplai jaringan tubuh dengan nutrisi, mengangkut zat-zat sisa metabolisme, dan
mengandung berbagai bahan penyusun sistem imun yang bertujuan mempertahankan
tubuh dari berbagai penyakit. Hormon-hormon dari system endokrin juga diedarkan
melalui darah.. Darah manusia berwarna merah, antara merah terang apabila kaya
oksigen sampai merah tua apabila kekurangan oksigen. Warna merah pada darah
disebabkan oleh hemoglobin, protein pernapasan (respiratory protein) yang
mengandung besi dalam bentuk heme, yang merupakan tempat terikatnya molekul-
molekul oksigen.
Manusia memiliki sistem peredaran darah tertutup yang berarti darah mengalir
dalam pembuluh darah dan disirkulasikan oleh jantung. Darah dipompa oleh jantung
menuju paru-paru untuk melepaskan sisa metabolisme berupa karbon dioksida dan
menyerap oksigen melalui pembuluh arteri pulmonalis, lalu dibawa kembali ke
jantung melalui vena pulmonalis. Setelah itu darah dikirimkan ke seluruh tubuh oleh
saluran pembuluh darah aorta. Darah mengedarkan oksigen ke seluruh tubuh melalui
saluran halus darah yang disebut pembuluh kapiler. Darah kemudian kembali ke
jantung melalui pembuluh darah vena cava superior dan vena cava inferior.
Darah juga mengangkut bahan bahan sisa metabolisme, obat-obatan dan bahan
kimia asing ke hati untuk diuraikan dan ke ginjal untuk dibuang sebagai air seni.
D. Concept Map
E. Tanda & Gejala
Tanda dan gejala paling sering pada SLE adalah pada sistem musculoskeletal,
berupa arthritis atau artralgia (93%) dan seringkali mendahului gejala-gejala lainnya.
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85 % kasus SLE, kelainan
ginjal ditemukan 3 pada 68 % kasus SLE. Kelainan lain dapat berupa jantung, paru,
abdomen, pembesaran kelenjar getah bening sering atau manifestasi neuropsikiatrik
(Hom G, 2008).

F. Pemeriksaan Penunjang
Kriteria diagnostic:
Seseorang dikatakan menderita SLE jika memenuhi 4 dari 11 kriteria SLE menurut
American Reumatism Association (ARA, 1992), yaitu:
1. Arthritis/nyeri sendi
2. ANA diatas titer normal
3. Bercak malar/butterfly rash
4. Sensitive terhadap sinar matahari (timbul bercak setelah terkena sinar UV A dan
B)
5. Bercak discoid
6. Terjadi satu kelainan darah
a. Anemia hemolitik
b. Leukosit <4000/mm3
c. Limfosit <1500/mm3
d. Trombosit <100000/mm3
7. Kelainan ginjal proteinuria >0,5 g/24jam
8. Terjadinya pleuritis ataupun perkarditis
9. Terjadinya kelainan neurologi baik konvulsi ataupun psikologi
10. Terjadi ulcer di rongga mulut
11. Adanya salah satu kelainan immunologi
a. Sel Lupus Erythematosus (LE) positif
b. Anti ds- Deoxyribonukleat Acid diatas titer normal
c. Anti-smith (anti SM) diatas titer normal
d. Tes serologi seifilis positif palsu
Uji Laboratorium
1. ANA positif pada lebih dari 95% pasien lupus. Pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengetahui adanya antibodi yang mampu mengahancurkan inti dari sel-sel tubuh
sendiri. Selain mendeteksi adanya ANA, juga berguna untuk mengevaluasi pola
dari ANA dan antibodi spesifik. Pola ANA diketahui dari pemeriksaan preparat
dibawah sinar UV. Pemeriksaan ini berguna untuk membedakan SLE dari tipe-
tipe gangguan lainnya.
2. Antibody terhadap dsDNA merupakan uji spesifik untuk SLE. Gangguan
reumatologik lain dapat menyebabkan ANA positif, tetapi antibody anti DNA
jarang ditemukan kecuali pada SLE.
3. Laju endap darah pada pasien SLE biasanya meningkat. Ini adalah uji nonspesifik
untuk mengukur peradangan dan tidak berkaitan dengan tingkat keparahan
penyakit.
4. Uji factor LE. Sel LE dibentuk dengan merusak beberapa leukosit pasien sehingga
sel-sel tersebut mengeluarkan nukleoproteinnya. Protein ini bereaksi dengan IgG,
dan kompleks ini difagositosis oleh leukosit normal yang masih ada.
5. Urin diperiksa untuk mengetahui adanya protein, laukosit, dan eritrosit. Uji ini
dilakukan untuk mengetahui adanya komplikasi ginjal dan untuk memantau
perkembangan penyakit.

G. Komplikasi
Lupus mungkin terlihat sebagai penyakit yang biasa terjadi pada kulit. Namun
jika tidak segera ditangani, lupus bisa menjadi momok bagi kehidupan Anda. Berikut
ini adalah beberapa komplikasi yang bisa terjadi jika penyakit lupus tidak ditangani
dengan cepat dan tepat:
1. Penyakit ginjal
Jika terjadi pembengkakan pada kaki atau pergelangan kaki setelah Anda divonis
mengidap lupus, maka itu adalah tanda bahwa eksresi cairan pada tubuh Anda
sudah tidak normal. Ada yang salah pada ginjal Anda. Pada kasus yang lebih
parah, gejalanya sampai urin bercampur darah hingga pasien mengalami gagal
ginjal.
2. Penyakit jantung
Komplikasi jantung yang paling umum terjadi pada penderita lupus adalah
terjadinya infeksi pada selaput pembungkus jantung, penebalan pembuluh darah,
dan melemahnya otot-otot jantung.
3. Penyakit paru-paru
1 dari 3 orang penderita lupus akan mengalami infeksi pada selaput pembungkus
paru-paru. Jika ini terjadi maka pasien akan merasakan sakit saat bernapas hingga
batuk berdarah.
4. Gangguan peredaran darah darah
Untuk penyakit yang satu ini pada penderita lupus, biasanya tidak ditemukan
gejala yang dapat dideteksi secara langsung. Gangguannya antara lain seperti
terganggunya distribusi oksigen dalam darah atau berkurangnya produksi sel
darah putih, dan anemia.
5. Gangguan saraf
Banyak dari penderita lupus yang mengalami susah konsentrasi, cepat lupa, sakit
kepala yang sangat parah, khawatir berlebihan, dan selalu gelisah. Hal ini
dikarenakan penyakit lupus lama-kelamaan akan melemahkan kerja saraf dan
menyebabkan stres pada pasien.

H. Penatalaksanaan Medis
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit,
mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup
pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit,
menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien tentang
manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya
variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga
sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul. Pengobatan SLE
meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al., 2000).
a. Terapi Nonfarmakologi
Pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002).
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan
keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan.
Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau
diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE.
Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi
penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and
500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6,
TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al.,
1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk
penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV.
- Diet Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar
pasien memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan adalah
yang mengandung cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah garam. Pasien
disarankan berhati-hati dengan suplemen makanan dan obat tradisional.
- Aktivitas
Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olahraga diperlukan untuk
mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh
berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan dengan kekambuhan.
Pasien disarankan untuk menghindari sinar matahari, bila terpaksa harus
terpapar matahari harus menggunakan krim pelindung matahari (waterproof
sunblock) setiap 2 jam. Lampu fluorescence juga dapat meningkatkan
timbulnya lesi kulit pada pasien SLE.
b. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan
mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat
keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada
setiap pasien.
- NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat
dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik,
antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi
nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX
inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam
arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi
termasuk interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-
1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti
produksi prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan
hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel
endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002).
Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser,
nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi.
- Obat lain
Obat-obat lain yang digunakan pada terapi penyakit SLE antara lain adalah
azatioprin, intravena gamma globulin, monoklonal antibodi, terapi hormon,
mikofenolat mofetil dan pemberian antiinfeksi.

I. Pengkajian Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
Penyakit SLE (sistemik lupus eritematosus) kebanyakan menyerang wanita,
bila dibandingkan dengan pria perbandingannya adalah 8 : 1. Penyakit ini
lebih sering dijumpai pada orang berkulit hitam dari pada orang yang berkulit
putih.
b. Keluhan utama
Pada SLE ( sistemik lupus eritematosus ) kelainan kulit meliputi eritema malar
(pipi) ras seperti kupu-kupu, yang dapat mengenai seluruh tubuh, sebelumnya
pasien mengeluh demam dan kelelahan.
c. Riwayat penyakit sekarang
Pada penderita SLE, di duga adanya riwayat penyakit anemia hemolitik,
trombositopeni, abortus spontan yang unik. Kelainan pada proses pembekuan
darah (kemungkinan sindroma, antibody, antikardiolipin).
d. Riwayat penyakit keluarga
Faktor genetik keluarga yang mempunyai kepekaan genetik sehingga
cenderung memproduksi auto antibody tertentu sehingga keluarga mempunyai
resiko tinggi terjadinya lupus eritematosus.
e. Pola-pola fungsi kesehatan
- Pola nutrisi
Penderita SLE banyak yang kehilangan berat badannya sampai beberapa
kg, penyakit ini disertai adanya rasa mual dan muntah sehingga
mengakibatkan penderita nafsu makannya menurun.
- Pola aktivitas
Penderita SLE sering mengeluhkan kelelahan yang luar biasa.
- Pola eliminasi
Tidak semua dari penderita SLE mengalami nefritis proliferatif mesangial,
namun, secara klinis penderita ini juga mengalami diare.
- Pola sensori dan kognitif
Pada penderita SLE, daya perabaannya akan sedikit terganggu bila pada
jari – jari tangannya terdapat lesi vaskulitik atau lesi semi vaskulitik.
- Pola persepsi dan konsep diri
Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversibel yang
menimbulkan bekas seperti luka dan warna yang buruk pada
kulit penderita SLE akan membuat penderita merasa malu dengan adanya
lesi kulit yang ada.
f. Pemeriksaan fisik
- Sistem integument
Pada penderita SLE cenderung mengalami kelainan kulit eritema molar
yang bersifat irreversibel.
- Kepala
Pada penderita SLE mengalami lesi pada kulit kepala dan kerontokan
yang sifatnya reversibel dan rambut yang hilang akan tumbuh kembali.
- Muka
Pada penderita SLE lesi tidak selalu terdapat pada muka/wajah
- Telinga
Pada penderita SLE tidak selalu ditemukan lesi di telinga.
- Mulut
Pada penderita SLE sekitar 20% terdapat lesi mukosa mulut.
- Ekstremitas
Pada penderita SLE sering dijumpai lesi vaskulitik pada jari-jari tangan
dan jari jari-jari kaki, juga sering merasakan nyeri sendi.
- Paru-paru
Penderita SLE mengalami pleurisy, pleural effusion, pneumonitis,
interstilsiel fibrosis.
- Leher
Penderita SLE tiroidnya mengalami
abnormal, hyperparathyroidisme, intolerance glukosa.
- Jantung
Penderita SLE dapat mengalami perikarditis, myokarditis, endokarditis,
vaskulitis.
- Gastrointestinal
Penderita SLE mengalami hepatomegaly/pembesaran hepar, nyeri pada
perut.
- Muskuluskletal
Penderita mengalami arthralgias, symmetric polyarthritis, efusi dan joint
swelling.
- Sensori
Penderita mengalami konjungtivitis, photophobia.
- Neurologis
Penderita mengalami depresi, psychosis, neuropathies.
g. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis dapat ditemukan dengan melakukan biopsi kulit. Pada pemeriksaan
histologi terlihat adanya infiltrat limfositik periadneksal, proses degenerasi
berupa mencairnya lapisan basal epidermis penyumbatan folikel, dan
hyperkeratosis. Imunofluoresensi langsung pada kulit yang mempunyai lesi
memberikan gambaran pola deposisi immunoglobulin seperti yang terlihat
pada SLE. Pemeriksaan laboratorium yang penting adalah pemeriksaan
serologis terhadap autoantibodi / antinuklear antibodi / ana yang diproduksi
pada penderita le. Skrining tes ana ini dilakukan dengan teknik
imunofluoresen indirek, dikenal dengan fluorescent antinuclear antibody test
(fana).

J. Diagnosa Keperawatan
1. Keletihan b.d Keseluan Fisiologis
2. Nyeri Akut b.d Agen Cidera Biologis
3. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan Tubuh b.d Ketidakmampuan
Mencerna Makanan
K. Intervensi Keperawatan
No.
NOC NIC Rasional
Dx
1. Setalah dilakukan tind. Kep NIC: Monitor TTV 1) Mengetahui
selama 3x24 jam status 1) Monitor TTV keadaan umum
neurologis dapat NIC: Manajemen Energi pasien
1) Monitor intake/asupan 2) Mengetahui
ditingkatkan dari level 2
nutrisi untuk asupan nutrisi
(banyak terganggu) ke level pasien
mengetahui sumber
4 (sedikit terganggu) dengan energi yang adekuat 3) Mengetahui
kriteria hasil : 2) Monitor kardiorepirasi
NOC: Status Kesehatan kardiorespirasi pasien pasien
Pribadi selama kegiatan 4) Mengetahui
1) Kebugaran fisik 3) Monitor/catat waktu ketidaknyaman
ditingkatkan dari level 2 dan lama istirahat/tidur nyeri
(banyak terganggu) ke pasien 5) Mengetahui
level 4 (sedikit 4) Monitor lokasi dan respon oksigen
terganggu) sumber ketidaknyaman pasien
2) Resistensi terhadap nyeri
infeksi ditingkatkan dari 5) Monitor respon
level 2 (banyak oksigenasi pasien
terganggu) ke level 4
(sedikit terganggu)
3) Pola tidur-istirahat
ditingkatkan dari level 3
(cukup terganggu) ke
level 5 (sedikit
terganggu)
4) Fungsi gastrointestinal
ditingkatkan dari level 2
(banyak terganggu) ke
level 4 (sedikit
terganggu)
2. Setalah dilakukan tind. Kep NIC: Manajemen Nyeri 1) Mengetahui
selama 3x24 jam status 1) Lakukan pengkajian keadaan fisik
neurologis dapat nyeri komprehensif pasien
2) Mengetahui
ditingkatkan dari level 2 2) Dukung istirahat/tidur
tingkat nyeri
(banyak terganggu) ke level yang adekuat pasien
4 (sedikit terganggu) dengan NIC: Pemberian 3) Mengetahui
kriteria hasil : Analgesik pasien alergi atau
NOC: Status Neurologis 1) Tentukan lokasi, tidak
1) Kesadaran dipertahankan karakteristik, kualitas, 4) Kolaborasikan
dari level 3 (cukup dan keparahan nyeri pemberian obat
analgesik sesuai
terganggu) ke level 5 2) Cek adanya riwayat
indikasi
(tidak terganggu) alergi obat 5) Mengetahui rute
2) Pola bernafas 3) Tentukan analgesik, pemberian dan
dipertahankan dari level rute pemberian, dan dosis obat
3 (cukup terganggu) ke dosis untuk mencapai
level 5 (tidak terganggu) hasil pengurangan
3) Pola istirahat-tidur nyeri yang optimal
dipertahankan dari level 4) Kolaborasi pemberian
3 (cukup terganggu) ke obat
level 5 (tidak terganggu)
4) Tekanan nadi
ditingkatkan dari level 3
(cukup terganggu) ke
level 5 (tidak terganggu)
5) Hipertermia ditingkatkan
dari level 3 (cukup
terganggu) ke level 5
(tidak terganggu)
3. Setelah dilakukan tind. Kep NIC: Monitor Nutrisi 1) Mengetahui BB
selama 3x24 jam status 1) Monitor BB pasien pasien
nutrisi dapat ditingkatkan 2) Monitor pertumbuhan 2) Mengetahui
pertumbuhan dan
dari level 2 (banyak dan perkembangan
perkembangan
menyimpang dari rentang 3) Monitor turgor kulit pasien
normal) ke level 4 (sedikit 4) Indentifikasi 3) Mengetahui
menyimpang dari rentang abnormalitas kulit turgor kulit
normal) dengan kriteria 5) Monitor mual dan pasien
hasil : muntah 4) Mengetahui
NOC: Status Nutrisi 6) Monitor diet dan adanya maul dan
muntah
1) Asupan gizi ditingkatkan asupan kalori
5) Mengetahui
dari level 2 (banyak 7) Indentifikasi perubahan napsu
menyimpang dari abnormalitas eliminasi makan pasien
rentang normal) ke level bowel 6) Mengetahui
4 (sedikit menyimpang 8) Indentifikasi keadaan fisik
dari rentang normal) perubahan napsu pasien
2) Asupan makanan makan dan aktivitas
ditingkatkan dari level 2 akhir-akhir ini
(banyak menyimpang 9) Monitor adanya pucat,
dari rentang normal) ke kemerahan, dan
level 4 (sedikit konjungtiva
menyimpang dari
rentang normal)
3) Asupan cairan
ditingkatkan dari level 2
(banyak menyimpang
dari rentang normal) ke
level 4 (sedikit
menyimpang dari
rentang normal)
4) Energi ditingkatkan dari
level 2 (banyak
menyimpang dari
rentang normal) ke level
4 (sedikit menyimpang
dari rentang normal)
5) Rasio BB/TB
ditingkatkan dari level 2
(banyak menyimpang
dari rentang normal) ke
level 4 (sedikit
menyimpang dari
rentang normal)
6) Hidrasi ditingkatkan dari
level 2 (banyak
menyimpang dari
rentang normal) ke level
4 (sedikit menyimpang
dari rentang normal)

L. Daftar Pustaka
1. Wahono, C.S. 2012. Mengenal Seribu Wajah Lupus. (Online), diakses pada 1
Desember 2014
2. Raunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL.
Harrisson’s Principle of Internal Medicine. Edisi ke-18. USA: McGraw-Hill
Professional Publishing; 2012.
3. Anna MQ, Peter VR, et al. Diagnosis of Systemic Lupus Eritematosus. Diunduh
31 Agustus 2013
4. Bertsias G, Ricard Cervera, Dimitrios T Boumpas. Systemic Lupus
Erythematosus: Pathogenesis and Clinical Features. Diunduh 2 September 2013
5. Hom G, Graham RR, Modrek B, Taylor KE, Ortmann W, Garnier S, et al.
Association of Systemic Lupus Erythematosus with C8orf13-BLK and ITGAM-
ITGAX. N Engl J Med 2008 Jan 20; 358: 900-9.7.
6. Herdman Heather.T.2015.Nanda International Inc. Diagnosis Keperawatan:
Definisi & Klasifikasi 2015-2017.Edisi 10.Jakarta: EGC
7. Bulechek Gloria.2013.Nursing Interventions Classification (NIC).Edisi
6.CV.Mocomedia
8. Moorhead Sue.2013.Nursing Outcomes Classification (NOC).Edisi
5.CV.Mocomedia

Anda mungkin juga menyukai