Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM IMUN

SYOK ANAFILAKTIK

DISUSUN OLEH

LAILA ANGGRAINI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

INSAN CENDEKIA MEDIKA

JOMBANG

2015
LAPORAN PENDAHULUAN

1. Definisi
Syok anafilaktik adalah syok yang terjadi secara akut yang disebabkan oleh reasi
alergi. (Prof.Dr. H. Tabrani Rab, Agenda Gawat Darurat (Critical Care),
Shock is a multisystem disorder that involves inadequate tissue perfusion and altered
metabolism. Anaphylactic shock is a potentially life-threatening situation. It is the result of an
exaggerated or a hypersensitivity response to an antigen (or allergen).(Pamela L. Swearingen,
Manual of Critical Care Nursing).
Syok anafilaksis adalah suatu keadaan yang dipicu oleh respon hipersensivitas
generalisata yang diperantai oleh IgE menyebabkan vasodilatasi sistemik dan peningkatan
permeabilitas vascular.(Robbins & Cotrain (Dasar Patologi Penyakit Edisi 7,).
Syok anafilaktik adalah suatu risiko pemberian obat, maupun melalui suntikan atau
cara lain. ( Arif Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran,).

2. Epidemiologi
Anafilaksis lokal (alergi atopik) yang merupakan predisposisi herediter untuk terjadinya
respon tipe 1 lokal terhadap allergen yang dihirup atau dicerna terjadi pada 10% masyarakat..

3. Klasifikasi
Berdasarkan reaksi tubuh :
a. Lokal : reaksi anafilaktik lokal biasanya meliputi urtikaria serta angioedema pada tempat
kontak dengan antigen dan dapat merupakan reaksi yang berat tetapi jarang fatal.
b. Sistemik : reaksi sistemik terjadi dalam tempo kurang lebih 30 menit sesudah kontak
dalam sistem organ berikut ini :
a) Kardiovaskuler
b) Respiratorius
c) Gastrointestinal
d) Integumen
4. Etiologi
Syok anafilaktik sering disebabkan oleh obat, terutama yang diberikan intravena seperti
antibiotik atau media kontras. Obat-obat yang sering memberikan reaksi anafilaktik adalah
golongan antibiotik penisilin, ampisilin, sefalosporin, neomisin, tetrasiklin, kloramfenikol,
sulfanamid, kanamisin, serum antitetanus, serum antidifteri, dan antirabies. Alergi terhadap
gigitan serangga, kuman-kuman, insulin, ACTH, zat radiodiagnostik, enzim-enzim, bahan
darah, obat bius (prokain, lidokain), vitamin, heparin, makan telur, susu, coklat, kacang, ikan
laut, mangga, kentang, dll juga dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
a. Alergen
Ada yang menyebutkan beberapa golongan alergen yang dapat menimbulkan reaksi
anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, bisa atau racun serangga dan alergen lain yang
tidak bisa di golongkan.

Alergen Penyebab Anafilaksis


Makanan Krustasea:Lobster, udang dan kepiting
Moluska : kerang
Ikan
Kacang-kacangan dan biji-bijian
Buah beri
Putih telur
Susu
Dan lain-lain
Obat Hormon : Insulin, PTH, ACTH, Vaso-presin, Relaxin
Enzim : Tripsin,Chymotripsin, Penicillinase, As-paraginase
Vaksin dan Darah
Toxoid : ATS, ADS, SABUA
Ekstrak alergen untuk uji kulit
Dextran
Antibiotika:
Penicillin,Streptomisin,Cephalosporin,Tetrasiklin,Ciprofloxacin,Amphote
ricin B, Nitrofurantoin.
Agen diagnostik-kontras
Vitamin B1, Asam folat
Agent anestesi: Lidocain, Procain,
Lain-lain: Barbiturat, Diazepam, Phenitoin, Protamine, Aminopyrine,
Acetil cystein , Codein, Morfin, Asam salisilat dan HCT
Bisa Lebah Madu, Jaket kuning, Semut api Tawon (Wasp)
serangga
Lain-lain Lateks, Karet, Glikoprotein seminal fluid

5. Patofisiologi
Syok anafilaktik terjadi setelah pajanan antigen terhadap sistem imun yang
menghasilkan dreganulasi sel mast dan pelepasan mediator. Aktivasi sel mast dapat terjadi
baik oleh jalur yang dimediasi imunoglobulin E (IgE) (anafilaktik) maupun yang tidak
dimediasi IgE (anafilaktoid ). Pencetus syok anafilaktik meliputi gigitan atau sengatan
serangga, obat-obatan dan makanan; anafilaksis dapat juga bersifat idiopatik. Mediator gadar
meliputi histamine, leukotriene, triptase, dan prostaglandin. Bila dilepaskan, mediator
menyebabkan peningkatan sekresi mucus, peningkatan tonus otot polos bronkus, edema
saluran napas, penurunan tonus vascular, dan kebocoran kapiler. Konstelasi mekanisme
tersebut menyebabkan gangguan pernapasan dan kolaps kardiovaskular. ( Michael I.
Greenberg, Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan, Hal. 24)
Antigen masuk ke dalam tubuh dapat melalui bermacam cara yaitu kontak langsung
melalui kulit, inhalasi, saluran cerna dan melalui tusukan / suntikan. Pada reaksi anafilaksis,
kejadian masuknya antigen yang paling sering adalah melalui tusukan / suntikan.
Begitu memasuki tubuh, antigen akan diikat langsung oleh protein yang spesifik
(seperti albumin). Hasil ikatan ini selanjutnya menempel pada dinding sel makrofag dan
dengan segera akan merangsang membrane sel makrofag untuk melepaskan sel precursor
pembentuk reagen antibody immunoglobulin E atau reagenic ( IgE) antibody forming
precursor cell. Sel-sel precursor ini lalu mengadakan mitosis dan menghasilkan serta
membebaskan antibody IgE yang spesifik. IgE yang terbebaskan ini akan diikat oleh reseptor
spesifik yang berada pada dinding sel mast dan basofil membentuk reseptor baru yaitu F ab.
Reseptor F ab ini berperan sebagai pengenal dan pengikat antigen yang sama. Proses yang
berlangsung sampai di sini disebut proses sensitisasi.
Pada suatu saat dimana tubuh kemasukan lagi antigen yang sama, maka antigen ini
akan segera sikenali oleh reseptor F ab yang telah terbentuk dan diikat membentuk ikatan IgE
– Ag. Adanya ikatan ini menyebabkan dinding sel mast dan basofil mengalami degranulasi
dan melepaskan mediator-mediator endogen seperti histamine, kinin, serotonin, Platelet
Activating Factor (PAF). Mediator-mediator ini selanjutnya menuju dan mempengaruhi sel-
sel target yaitu sel otot polos. Proses merupakan reaksi hipersensitivitas.
Pelepasan endogen tersebut bila berlangsung cepat disebut fase akut dan karena dapat
dilepaskan dalam jumlah yang besar, maka biasanya tidak dapat diatasi dengan hanya
memberikan antihistamin.
Pada saat fase akut ini berlangsung, pada membran sel mast dan basofil terjadi pula
proses yang lain. Fosfolipid yang terdapat di membrane sel mast dan basofil oleh pengaruh
enzim fosfolipase berubah menjadi asam arakidonat dan kemudian akan menjadi
prostaglandin, tromboksan dan leukotrien / SRSA ( Slow Reacting Substance of Anaphylaxis)
yang juga merupakan mediator-mediator endogen anafilaksis. Karena proses terbentuknya
mediator yang terakhir ini lebih lambat, maka disebut dengan fase lambat anafilaksis.
Melalui mekanisme yang berbeda, bahan yang masuk ke dalam tubuh dapat lasung
mengaktivasi permukaan reseptor sel plasma dan menyebabkan pembebasan histamine oleh
sel mast dan basofil tanpa melalui pembentukan IgE dan reaksi ikatan IgE-Ag. Proses ini
disebut reaksi anafilaktoid, yang memberikan gejala dan tanda serta akibat yang sama seperti
reaksi anafilaksis. Beberapa sistem yang dapat mengaktivasi komplemen yaitu, obat-obatan,
aktivasi kinin, pelepasan histamine secara langsung, narkotika, obat pelemas otot : d-
tubokurarin, atrakurium, antibiotika : vankomisin, polimiksin B.
Pada reaksi anafilaksis, histamine dan mediator lainnya yang terbebaskan akan
mempengaruhi sel target yaitu sel otot polos dan sel lainnya. Akibat yang ditimbulkan dapat
berupa:
a. Terjadinya vasodilatasi sehingga terjadi hipovolemi yang relative.
b. Terjadinya kontraksi dari otot-otot polos seperti spasme bronkus mengakibatkan sesak
nafas, kontraksi vesika urinaria menyebabkan inkontinensia uri, kontraksi usus
menyebabkan diare.
c. Terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan edema karena pergeseran
cairan dari intravaskuler ke interstisial dan menyebabkan hipovolemi intravaskuler dan
syok. Edema yang dapat terjadi terutama di kulit, bronkus, epiglottis dan laring.
d. Pada jantung dapat terjadi spasme arteri koronaria dan depresi miokardium.
e. Terjadinya spasme arteri koronaria dan depresi miokardium yang bila sangat hebat dapat
menyebabkan henti jantung mendadak.
f. Leukotrin (SRSA) dan tromboksan yang terbebaskan pada fase lambat dapat
menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat dibandingkan dengan yang disebabkan
oleh histamine. Prostaglandin selain dapat menyebabkan bronkokonstriksi juga dapat
meningkatkan pelepasan histamine. Peningkatan pelepasan histamine ini dapat pula
disebabkan oleh PAF.
Pathway

Anafilaksis

Pelebaran pembuluh darah

Maldistribusi

Aliran darah balik (Venous Retrun)

Tekanan darah

Tekanan perfusi pusing dan berkunang kunang

Hipoksia jaringan lemas

Badrest di tempat tidur

Intoleren aktivitas

6. Gejala klinis
a. Ringan :
a) Rasa kesemutan serta hangat pada bagian perifer, dan dapat disertai dengan
perasaan penuh dalam mulut serta tenggorok.
b) Kongesti nasal
c) Pembengkakan periorbital
d) Pruritus
e) Bersin – bersin dan mata yang berair
f) Awitan gejala dimulai dalam waktu 2 jam pertama sesudah kontak
b. Sedang :
a) Rasa hangat
b) Cemas
c) Gatal – gatal
d) Bronkospasme
e) Oedem saluran nafas atau laring dengan dispnea
f) Batuk serta mengi
g) Awitan gejala sama seperti reaksi yang ringan
c. Berat :
Reaksi sistemik yang berat memiliki onset mendadak dengan tanda –tanda serta gejala
yang sama seperti diuraikan diatas dan berjalan dengan cepat hingga terjadi
bronkospasme, oedem laring, dispnea berat, serta sianosis. Disfagia (kesulitan
menelan), kram abdomen, vomitus, diare dan serangan kejang – kejang dapat terjadi.
Kadang – kadang timbul henti jantung dan koma.
7. Pemeriksaan diagnosis
Untuk mengetahui babarapa penyebab terjadinya syok anafilatik, maka dilakukan
beberapa tes untuk mengidentifikasi alergennya :
a. Skin tes
Skin tes merupakan cara yang banyak digunakan, untuk mengevaluasi sensitivitas
alerginya. Keterbatasan skin tes adalah adanya hasil positif palsu dan adanya reexposure
dengan agen yang akan mengakibatkan efek samping serius yang akan datang, oleh
karena itu pemberiannya diencerkan 1 : 1.000 sampai 1 : 1.000.000 dari dosis initial.
b. Kadar komplemen dan antibody
Meskipun kadar komplemen tidak berubah dan Ig E menurun setelah reaksi
anafilaktik, keadaan ini tidak berkaitan dengan reaksi imunologi. Pada tes ini penderita
diberikan obat yang dicurigai secara intra vena, kemudian diamati kadar Ig E nya, akan
tetapi cara ini dapat mengancam kehidupan.
c. Pelepasan histamin oleh lekosit in vitro
Histamin dilepaskan bila lekosit yang diselimuti Ig E terpapar oleh antigen
imunospesifik. Pelepasan histamin tergantung dari derajat spesifitas sel yang disensitisasi
oleh antibodi Ig E. akan tetapi ada beberapa agent yang dapat menimbulkan reaksi
langsung ( non imunologik ) pada pelepasan histamin.
d. Radio allergo sorbent test ( RAST )
Antigen spesifik antibodi Ig E dapat diukur dengan menggunakan RAST. Pada
RAST, suatu kompleks pada sebuah antigen berikatan dengan matriks yang tidak larut
diinkubasi dengan serum penderita. Jumlah imunospesifik antibodi Ig E ditentukan
dengan inkubasi pada kompleks dan serum dengan ikatan radioaktif 125-labelled anti-Ig .
ikatan radioaktif ini mencerminkan antigen-spesifik antibodi.
e. Hitung eosinofil darah tepi, menunjukan adanya alergi dengan peningkatan jumlah .

8. Penatalaksanaan
Tanpa memandang beratnya gejala anafilaksis, sekali diagnosis sudah ditegakkan
pemberian epinefrin tidak boleh ditunda-tunda. Hal ini karena cepatnya mulai penyakit dan
lamanya gejala anafilaksis berhubungan erat dengan kematian. Dengan demikian sangat
masuk akal bila epinefrin 1 :1000 yang diberikan adalah 0,01 ml/kgBB sampai mencapai
maksimal 0,3 ml subkutan (SK) dan dapat diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali
seandainya gejala penyakit bertambah buruk atau dari awalnya kondisi penyakitnya sudah
berat, suntikan dapat diberikan secara intramuskular (IM) dan bahkan kadang-kadang dosis
epinefrin dapat dinaikan sampai 0,5 ml sepanjang pasien tidak mengidap kanaikan jantung.
Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi, penisilin, atau
sengatan serangga, segera diberikan suntikan inflitrasi epinefrin 1 : 1000 0,1 – 0,3 ml di
bekas tempat suntikan untuk mengurangi absorbsi alergen tadi. Bila mungkin dipasang
torniket proksimal dari tempat suntikan dan kendurkan setiap 10 menit. Torniket tersebut
dapat dilepas bila keadaan sudah terkendali. Selanjutnya dua hal penting yang harus segera di
perhatikan dalam memberikan terapi pada pasien anafilaksis yaitu mengusahakan :
a. Sistem pernapasan yang lancar, sehingga oksigenasi berjalan dengan baik.
b. Sistem kardiovaskuler yang juga harus berfungsi baik sehingga perfusi jaringan
memadai.
Meskipun prioritas pengobatan ditujukan kepada sistem pernapasan dan
kardiovaskular, tidak berarti pada organ lain tidak perlu diperhatikan atau diobati.
Prioritas ini berdasarkan kenyataan bahwa kematian pada anafilaksis terutama
disebabkan oleh tersumbatnya saluran napas atau syok anafilaksis.
a. Sistem pernapasan
1) Memelihara saluran napas yang memadai. Penyebab tersering kematian pada
anafilaksis adalah tersumbatnya saluran napas baik karena edema laring atau
spasme bronkus. Pada kebanyakan kasus, suntikan epinefrin sudah memadai
untuk mengatasi keadaan tersebut. Tetapi pada edema laring kadang-kadang
diperlukan tindakan trakeostomi. Tindakan intubasi trakea pada pasien dengan
edema larings tidak saja sulit tetapi juga sering menambah beratnya obstruksi.
Karena pipa endotrakeal sering mengiritasi larings. Bila saluran napas tertutup
sama sekali hanya tersedia waktu 3 menit untuk bertindak. Karena trakeostomi
hanya dikerjakan oleh dokter ahli atau yang berpengalaman maka tindakan yamg
dapat dilakukan dengan segera adalah melakukan punksi membran krikotiroid
dengan jarum besar. Kemudian pasien segera dirujuk ke rumah sakit.
2) Pemberian oksigen 4-6 l/menit sangat penting baik pada gangguan pernapasan
maupun pada kardiovaskular.
3) Bronkodilator diperlukan bila terjadi obsruksi saluran napas bagian bawah seperti
pada gejala asma atatu status asmatikus. Dalam hal ini dapat diberikan larutan
salbutamol atau agonis beta-2 lainnya 0,25 cc- 0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,9%
diberikan melalui nebulisasi atau aminofilin 5-6 mg / kgBB yang diencerkan
dalam 20 cc deksrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15
menit.
b. Sistem Kardiovaskular
1) Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan pemberian epinefrin
menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskular. Pasien ini
membutuhkan cairan intravena secara cepat baik dengan cairan kristaloid (NaCl
0,9 %) atau koloid (plasma, dextran). Dianjurkan untuk memberikan cairan
koloid 0,5-1 L dan sisanya dalam bentuk cairan kristaloid. Cairan koloid ini
tidak saja mengganti cairan intravaskular yang merembes ke luar pembuluh
darah atau yang terkumpul di jaringan splangnikus, tetapi juga dapat menarik
cairan ekstravaskular untuk kembali ke intravaskular.
2) Oksigen mutlak harus diberikan disamping pemantauan sistem kardiovaskular
dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis metabolik.
3) Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous presure). Pemasangan CVP ini
selain untuk memantau kebutuhan cairan dan menghindari kelebihan pemberian
cairan, juga dapat dipakai untuk pemberian obat yang bila bocor dapat
merangsang jaringan sekitarnya.
4) Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, para ahli
sependapat untuk memberikan vasopresor melalui cairan infus intravena.
Dengan cara melarutkan 1 ml epinefrin 1:1000 dalam 250 ml dekstrosa (
konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1 – 4 mg/menit atau 15-60
mikrodip/menit (dengan infus mikridip), bila diperlukan dosis dapat dinaikkan
sampai maksimum 10 mg/ml.
Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada keadaann anafilaksis yang
berat, American Heart Association, menganjurkan pemberian epinefrin secara
endotrakeal dengan dosis 10 ml epinefrin 1:10.000 diberikan melalui jarum
panjang atau kateter melalui pipa endotrakeal (dosis anak 5 ml epinefrin
1:10.000 ). Tindakan diatas kemudian diikuti pernapasan hiperventilasi untuk
menjamin absorbsi obat yang cepat.
Pernah dilaporkan selain usah-usaha yang dilaporkan tadi ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan :
a) Pasien yang mendapatkan obat atau dalam pengobatan obat penyakit
reseptor beta (beta blocker) gejalanya sering sukar diatasi dengan epinefrin
atau bahkan menjadi lebih buruk karena stimulasi reseptor adrenergik alfa
tidak terhambat. Dalam keadaan demikian inhalasi agonis beta-2 atau sulfas
atropine akan memberikan manfaat disamping pemberian amiofilin dan
kortikosteroid secara intravena.
b) Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH1 dangan AH2 bekerja secara
kinergistik terhadap reseptor yang ada di pembuluh darah. Tergantung
beratnya penyakit, AH dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan
anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan IV. Untuk AH2 seperti
simetidin (300 mg) atau ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml
NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila pasien mendapatkan
terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantiya dipakai
ranitidin.
c) Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien yang mengalami
gangguan napas maupun gangguan kardiovaskular. Memang kortikosteroid
tidak bermanfaat untuk reaksi anafilaksis akut, tetapi sangat bermanfaat
untuk mencegah reaksi anafilaksis yang berat dan berlangsung lama. Jika
pasien sadar bisa diberikan tablet prednisone tetapi lebih disukai
memberikan intravena dengan dosis 5mg/kgBB hidrokortison atau
ekuivalennya. Kortikosteroid ini diberikan setiap 4-6 jam.(Aruh. W.
Sudoyo, IPD, Hal.190-192)

9. Komplikasi
Komplikasinya meliputi :
a. Henti jantung (cardiac arrest) dan nafas.
b. Bronkospasme persisten
c. Oedema Larynx (dapat mengakibatkan kematian).
d. Relaps jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler).
e. Kerusakan otak permanen akibat syok.
f. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan
Kemungkinan rekurensi di masa mendatang dan kematian. (Michael I. Greenberg, Teks-
Atlas Kedokteran Kedaruratan).
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1) Syok anafilaktik sering disebabkan oleh obat, terutama yang diberikan intravena
seperti antibiotik atau media kontras. Obat-obat yang sering memberikan reaksi
anafilaktik adalah golongan antibiotik penisilin, ampisilin, sefalosporin, neomisin,
tetrasiklin, kloramfenikol, sulfanamid, kanamisin, serum antitetanus, serum
antidifteri, dan antirabies. Alergi terhadap gigitan serangga, kuman-kuman, insulin,
ACTH, zat radiodiagnostik, enzim-enzim, bahan darah, obat bius (prokain,
lidokain), vitamin, heparin, makan telur, susu, coklat, kacang, ikan laut, mangga,
kentang, dll juga dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
2) Riwayat Keperawatan
a. Riwayat kesehatan : Keluhan utama klien terlihat sesak.
b. Riwayat kesehatan masa lalu : klien sebelumnya pernah mengalami riwayat alergi
baik obat, makanan, atau debu.
c. Riwayat keluarga : Adanya penyakit tertentu dalam keluarga, yaitu ibu atau bapak
klien mempunyai riwayat alergi yang sama.
3) Pemeriksaan fisik
1. Kepala
Inspeksi : Bentuk semestris / tidak, warna rambut hitam / tidak, distribusi
rambut merata / tidak.
Palpasi : rambut rontok / tidak, kulit kepala kotor / tidak, ada benjolan / tidak ,
tekstur rambut kasar / halus.
2. Mata
Inspeksi : bentuk mata simetris / tidak, reflek kedip baik / tidak
Palpasi : konjungtiva merah muda / tidak, adanya nyeri tekan /tidak
3. Hidung
Inspeksi : hidung simetris / tidak,adanya inflamasi / tidak, adanya sekret /
tidak.
Palpasi : adanya nyeri tekan / tidak pada daerah sinus, adanya massa / tidak.
4. Mulut
Inspeksi : bentuk mulut simetris / tidak, andanya kelainan kongenental / tidak
seperti bibir sumbing, mukosa bibir kering / tidak, gigi ada yang berlubang /
tidak, adanya caries gigi atau tidak. Palatum berada di tengah / tidak.
5. Leher
Inspeksi : bentuk leher simetris / tidak, leher bersih / tidak, adanya lesi / tidak.
Palpasi : adanya benjolan / tidak, adanya pembesaran kelenjar tiroid / tidak,
adanya bendungan vena jugularis / tidak.
6. Dada
Paru – paru
Inspeksi : bentuk dada simetris / tidak,adanya interaksi interkosta / tidak, amati
klavikula dan scapula simetris / tidak.
Palpasi : merasakan paru kanan / kiri sama / tidak.
Auskultasi : apakah suara paru vesikuler/ wheezhing / creckles
Perkusi : suara paru sonor / tidak.
Jantung
Inspeksi : bentuk dada simetris atau tidak
Palpasi : adanya nyeri tekan / tidak
Auskultasi : bunyi S1LUB, adanya suara tambahan / tidak.
Bunyi S2 DUB adanya suara tambahan / tidak
Perkusi : bunyi jantung normal / tidak adanya sura tambahan.
7. Abdomen
Inspeksi : bentuk perut simetris / tidak, adanya massa / tidak, adanya benjolan
/ tidak.
Palpasi : adanya nyeri tekan / tidak
Auskultasi :mendengarkan peristaltic usus 5 – 35 kali/ menit atau tidak
8. Ektremitas
Inspeksi : Kaki kiri dan kanan simetris / tidak
Palpasi : adanya lesi atau tidak
9. akral
Palpasi : Dingin, hangat / tidak.

4) Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Laboratorium
a) Hematologi : Hitung sel meningkat, Hemokonsentrasi, trombositopenia,
eosinophilia naik/ normal / turun
b) Kimia: Plasma Histamin meningkat, sereum triptaase meningkat.
b. Radiologi
a) X foto: Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mukus, plug.
b) EKG: Gangguan konduksi, atrial dan ventrikular disritmia
5) Diagnosa keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme otot bronkeolus .
2. Gangguan perfusi jaringan, berhubungan dengan penurunan curah jantung dan
vasodilatasi arteri.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
4. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan produksi histamine
dan bradikinin oleh sel mast.
5. Resiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan
kapasitas vaskuler.
6) Intervensi

No. Tujuan Kriteria Hasil Tindakan Keperawatan Rasional


Dx
1 Mempertahankan Setelah dilakukan Mandiri : Mandiri:
pola nafas efektif tindakan
pasien 
keperawatan selama Pastikan 
tidak Menurunkan resiko
… x 24 jam pasien terdapat benda atau zat aspirasi atau masuknya
mampu tertentu atau gigi palsu pada suatu benda asing ke
mempertahankan mulut pasien faring.
pola pernapasan
efektif dengan jalan  Meningkatkan aliran
nafas yang paten.  Letakkan pasien pada posisi sekret, mencegah lidah
miring, permukaan datar jatuh dan menyumbat
dan miringkan kepala pasien jalan nafas.

 Menurunkan resiko
 Lakukan penghisapan aspirasi atau asfiksia
sesuai indikasi
Kolaborasi :
Kolaborasi :
 Berikan tambahan oksigen

atau ventilasi manual sesuai Untuk menurunkan
kebutuhan hipoksia cerebral.

2 Memperbaiki Setelah dilakukan Mandiri : Mandiri :


perfusi jaringan tindakan
pasien keperawatan selama Selidiki perubahan tiba Perfusi serebral
… x 24 jam : – tiba atau gangguan mental secara langsung
- Kulit pasien hangat. kontinu contoh cemas, berhubungan dengan
- Tanda vital dalam bingung letargi, pingsan. curah jantung.
batas normal.
- Pasien sadar atau Lihat kulit apakah
berorientasi. pucat, sianosis, belang, kulit Penurunan curah
dingin atau lembab, catat jantung dibuktikan oleh
kekuatan nadi perifer. penurunan perfusi kulit
dan penurunan nadi.

 Pantau pernapasan, Penurunan curah


catat kerja pernapasan. jantung dapat
mencetuskan stres
pernapasan.

3 Peningkatan Setelah dilakukan- periksa tanda vital sebelum - hipotensi dapat terjadi
toleransi aktivitas tindakan dan segera setelah aktivitas karena efek obat,
keperawatan selama perpindahan
… x 24 jam : cairan,pengruh fungsi
jantung.
- Pasien mencapai- catat respon cardiopulmonal - Penurunan / ketidak
peningktan toleransi terhadap aktivitas . mampuan miokardium
aktivitas yang dapat untuk meningkatkan
di ukur. volume sekuncup selama
aktivitas.
- kaji penyebab kelemahan - Kelemahan dapat
disebabkan oleh efek
samping beberapa
obat,nyeri dan stres.
-
- evaluasi peningkatan Dapat menunjukan
intoleran aktivitas. peningkatan
decompensasi jantung
dari pada kelebihan
aktivitas.
- berikan bantuan dalam - Pemenuhan kebutuhan
aktivitas perawatan mandiri perawatan diri pasien
sesuai indikasi.selingi tanpa mempengaruhi
periode aktivitas dengan strees miokard/kebutuhan
periode istirahat. oksigen.

4 Mecegah Setelah dilakukan MANDIRI : MANDIRI :


kerusakan kulit tindakan - Kaji kulit setiap hari. - Untuk mengetahui ada
dan meningkatkan keperawatan selama Catatwarna kulit,turgor tidaknya perubahan kulit.
kesembuhan. … x 24 jam : kulit,sirkulasi dan sensasi.
- Menunjukan- Perthankan higiene kulit
kemajuan pada luka mslnya membasuh dan - Memprtahankan
atau penyembuhan kemudian mengeringkan kebersihan karena kulit
dng hati2 dan melakukan tiap kering dapat menjadi
masase dengan menggunakn barier infeksi. Masase
lotion/cream meningkatkan sirkulasi
-
Pertahankan kebersihan kulit dan kenyamanan.
lingkungan pasien seprti - Friksi kulit di sebabkan
seprei bersih kering dan oleh kain yang berkerut
tidak berkerut dan basah yang
menebabkan iritasi dan
- Sarankan pasien untuk potensial terhadap
melakukan ambulasi infeksi.
beberapa jam sekali jika - Menurunkan tekana pada
memungkinkan. kulit dari istirahat lama
- Gunting kuku secara di temapat tidur.
teratur.
- Kuku yang panjg /kasar
meningkatkan kerusakan
dermal.

KOLABORASI: KOLABORASI:
- Gunakn/berikan obat obatn - Digunakn pada
atau sistemik sesuai perawatan lesi kulit. Jika
indikasi. digunakn slep multi
dosis,perawatn harus
dilakuakn untuk
menghindari kontaminasi
silang.

5 Memenuhi Setelah dilakukan MANDIRI : MANDIRI :


kebutuhan cairan tindakan - Catat tanda vital pasien. - Indikator dari volume
tubuh keperawatan selama cairan sirkulasi.
… x 24 jam : - Catat peningkatan suhu dan - Meningkatkan kebutuhan
- Diharapkan durasi demam . berikan metabolisme dan
kebutuhan tubuh kompres hangat sesuai diforesis yang berlebihan
pasien terhadap indikasi,pertahankan dihubungkan dengan
cairan terpenuhi pakaian tetap demam dalam
kering,pertahankan meningkatkan kehilangan
kenyamanan suhu cairan yang berlebihan.
lingkungan. - Peningkatan berat jenis
urine/penuruna haluaran
- Ukur haluan urine dan berat urine menunjukan
jenis urine. perubaha perfusi ginjal
/volume sirkulasi.
- Memprtahankan
keseimbangan
- Pantau pemasukan oral dan cairan,mengurangi rasa
memasukan cairan haus,dan melembabkan
sediktnya 2500ml/hari membran mukosa.

KOLABORASI : KOLABORASI:
- Berikan obat obatan sesuai - Untuk membantu
indikasi misl ; mengurangi demam dan
antipiretik(aceta minofen) respon metabolisme,
menurunkan cairan tak
kasat mata.
7) Evaluasi

No. Dx Evaluasi
1. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam:
Pasien mampu mempertahankan pola pernapasan efektif dengan
jalan nafas yang paten.
2. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam :
- Kulit pasien hangat.
- Tanda vital dalam batas normal.
- Pasien sadar atau berorientasi.
3 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam :
Pasien mencapai peningktan toleransi aktivitas yang dapat di ukur
4 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam :
- Menunjukan kemajuan pada luka atau penyembuhan

5 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam :


- Diharapkan kebutuhan tubuh pasien terhadap cairan terpenuhi
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Tabrani Rab. 2007. Agenda Gawat Darurat (critical Care) Jilid 3. Penerbit P.T.
Alumni : Bandung.
Sudoyo. W Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I Edisi iv. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran. Jakarta.
Swearingen .PL. 1995. Manual of Critical Care Nursing. Mosby Year Book, Inc: St.Louis
Missouri.
Greenberg. Micahael I dkk. Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan Jilid I. Penerbit Erlangga :
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai