Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penyakit merupakan salah satu stressor psikososial dalam kehidupan seseorang.
Apalagi bagi penderita HIV/AIDS, penyakit ini tergolong kronis sekaligus terminal.
Dimana penderitanya selain dihadapkan pada pengobatan seumur hidup, juga dihadapkan
pada ancaman kematian mengingat belum ditemukan obatnya. ODHA (orang dengan
HIV/AIDS) pasti mengalami stress yang berat baik yang bersumber dari penyakitnya
sendiri ataupun dampak psikososialnya. Setiap orang memiliki beragam cara
mengatasi stressyang dihadapi dalam hidupnya. Sebagian mengembangkan
strategi coping yang positif dan sebagian yang lain justru memilih strategi yang negatif
yang merugikan. Pemilihan dan pengembagan strategi coping akan sangat menentukan
perjalanan ODHA dalam menghadapi penyakitnya. Gambaran ini pula yang terjadi pada
para perempuan dengan HIV/AIDS yang dengan cara mereka masing-masing berjuang
menaklukan stress yang dialami dalam hidupnya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah HIV/AIDS itu ?
2. Bagaimana penyebaran dan tanda-tanda terserang HIV/AIDS tersebut ?
3. Bagaimana cara pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS tersebut ?

C. TUJUAN MAKALAH
1. Untuk mengetahui HIV/AIDS tersebut.
2. Agar mengerti tentang penyebaran dan tanda-tanda terserang HIV/AIDS.
3. Supaya memahami cara pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome, merupakan kumpulan gejala
penyakit akibat penurunan sistem imun atau kekebalan tubuh oleh virus HIV.
(Nursalam, 2007)
AIDS adalah infeksi oportunistik yang menyerang seseorang dimana mengalami
penurunan sistem imun yang mendasar (sel T berjumlah 200 atau kurang) dan
memiliki antibodi positif terhadap HIV. (Doenges, 1999)
AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasilakhir
dari infeksi oleh HIV. (Sylvia, 2005)

B. ETIOLOGI
AIDS adalah peyakit yang disebabkan oleh virus yang merusak sistem kekebalan
tubuh, sehingga tubuh mudah diserang penyakit-penyakit lain yang dapat berakibat
fatal. Padahal, penyakit-penyakit tersebut misalnya berbagai virus, cacing, jamur
protozoa, dan basil tidak menyebabkan gangguan yang berarti pada orang yang sistem
kekebalannya normal. Selain penyakit infeksi, penderita AIDS juga mudah terkena
kanker. Dengan demikian, gejala AIDS amat bervariasi.
Virus yang menyebabkan penyakit ini adalah virus HIV ( Human
Immunodefeciency Virus ). Dewasa ini dikenal juga dua tipe HIV yaitu HIV-1 dan
HIV-2 didapatkan di Afrika barat. Infeksi HIV-1 memberi gambaran klinis yang
hampir sama. Hanya infeksi HIV-1 lebih mudah ditularkan dan masa sejak mulai
infeksi ( masuknya virus ketubuh ) sampai timbulnya penyakit lebih pendek.

2
Cara penularan AIDS ( Arif,2000 ) antara lain sebagai berikut :

a. Hubungan seksual dengan risiko penularan 0,1% tiap hungan seksual.


b. Melalui darah yaitu:

1) Tranfusi darah yang mengandung HIV, resiko penularan 90%

2) Tranfusi jarum yang mengandung HIV,risiko penularan.

3) Terpapar mukosa yang mengandung HIV, risiko penularan.

4) Transmisi dari ibu ke anak:

a) Selama kehamilan

b) Saat persalinan, risiko penularan 50%

c) Melalui air susu ibu ( ASI ) 14%

C. PATOFISIOLOGI
Penyakit AIDS disebabkan oleh Virus HIV. Masa inkubasi AIDS diperkirakan
antara 10 minggu sampai 10 tahun. Diperkirakan sekitar 50% orang yang terinfeksi
HIV akan menunjukan gejala AIDS dalam 5 tahun pertama, dan mencapai 70%
dalam sepuluh tahun akan mendapat AIDS. Berbeda dengan virus lain yang
menyerang sel target dalam waktu singkat, virus HIV menyerang sel target dalam
jangka waktu lama. Supaya terjadi infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal
ini sel darah putih yang disebut limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam
DNA sel yang terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembangbiak dan pada akhirnya
menghancurkan sel serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel virus yang
baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya.
Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang disebut
CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. CD4 adalah sebuah marker atau penanda
yang berada di permukaan sel-sel darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit.Sel-
sel yang memiliki reseptor CD4 biasanya disebut sel CD4+ atau limfosit T penolong.
Limfosit T penolong berfungsi mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada

3
sistem kekebalan (misalnya limfosit B, makrofag dan limfosit T sitotoksik), yang
kesemuanya membantu menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing. Infeksi
HIV menyebabkan hancurnya limfosit T penolong, sehingga terjadi kelemahan sistem
tubuh dalam melindungi dirinya terhadap infeksi dan kanker.
Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T penolong melalui
3 tahap selama beberapa bulan atau tahun. Seseorang yang sehat memiliki limfosit
CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa bulan pertama setelah
terinfeksi HIV, jumlahnya menurun sebanyak 40-50%. Selama bulan-bulan ini
penderita bisa menularkan HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus yang
terdapat di dalam darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak
mampu meredakan infeksi. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam
darah mencapai kadar yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita. Perusakan sel
CD4+ dan penularan penyakit kepada orang lain terus berlanjut. Kadar partikel virus
yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang rendah membantu dokter dalam
menentukan orang-orang yang beresiko tinggi menderita AIDS. 1-2 tahun sebelum
terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+ biasanya menurun drastis. Jika kadarnya
mencapai 200 sel/mL darah, maka penderita menjadi rentan terhadap infeksi.
Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B (limfosit yang
menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi antibodi yang
berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan HIV dan infeksi yang
dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak membantu dalam melawan
berbagai infeksi oportunistik pada AIDS. Pada saat yang bersamaan, penghancuran
limfosit CD4+ oleh virus menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem kekebalan
tubuh dalam mengenali organisme dan sasaran baru yang harus diserang.
Setelah virus HIV masuk ke dalam tubuh dibutuhkan waktu selama 3-6 bulan
sebelum titer antibodi terhadap HIV positif. Fase ini disebut “periode jendela”
(window period). Setelah itu penyakit seakan berhenti berkembang selama lebih
kurang 1-20 bulan, namun apabila diperiksa titer antibodinya terhadap HIV tetap
positif (fase ini disebut fase laten). Beberapa tahun kemudian baru timbul gambaran
klinik AIDS yang lengkap (merupakan sindrom/kumpulan gejala). Perjalanan

4
penyakit infeksi HIVsampai menjadi AIDS membutuhkan waktu sedikitnya 26 bulan,
bahkan ada yang lebih dari 10 tahun setelah diketahui HIV positif. (Heri : 2012)

D. TANDA DAN GEJALA


1. Gejala Awal
a. Demam tinggi yang terkadang sembuh sendiri, namun bisa muncul lagi dalam
waktu mendadak.
b. Rasa sakit pada tenggorokan dan biasanya rasa sakit lebih sering dilihat
sebagai gejala flu.
c. Ada ruam kemerahan dan hitam di atas kulit.
d. Tubuh akan terasa lebih lelah dan tidak bisa melakukan aktivitas dengan
bebas.
e. Rasa sakit pada semua bagian persendian dan otot.
f. Terjadi pembengkakan pada bagian kelenjar yang tidak disertai dengan rasa
sakit.
g. Sakit kepala yang sangat parah dan bisa menyebabkan penderita tidak bisa
bangun atau membuka mata.
2. Gejala Tahap Lanjut
Pada tahap yang lebih lanjut maka sebenarnya penderita justru tidak
merasakan gejala seperti pada tahap awal. Virus akan berkembang dalam tubuh
dan tidak menyebabkan rasa sakit. Padahal selama periode ini sebenarnya virus
berkembang dan merusak sistem tubuh. Perawatan dan pengobatan yang
dilakukan pada tahap lanjut berfungsi untuk mengendalikan pertumbuhan sel
dan menjaga kerusakan organ. Biasanya masa tahap lanjut bisa mencapai 10
tahun atau lebih tergantung dari kondisi penderita. Pada tahap ini penderita
tetap bisa memiliki potensi menularkan HIV meskipun virus yang berkembang
dalam tubuh jumlahnya sudah lebih kecil.

5
3. Gejala Tahap Akhir
a. Sistem kekebalan tubuh yang terus melemah dan mudah terserang penyakit.
b. Berat badan menurun cepat dan tanpa alasan khusus.
c. Banyak mengeluarkan keringat terutama pada malam hari meskipun saat
cuaca panas dan dingin.
d. Merasakan lelah yang sangat panjang dan membuat tubuh tidak bisa
digunakan untuk beraktivitas.
e. Terjadi pembengkakan kelenjar pada bagian ketiak, leher maupun
selangkangan.
f. Gangguan pencernaan yang bisa menyebabkan diare dan muntah berlebihan
selama beberapa minggu.
g. Banyak luka kecil yang ditemukan pada bagian mulut, alat kelamin hingga
anus.
h. Penderita akan mengalami depresi yang menyebabkan kehilangan ingatan
dan depresi yang mengacaukan mental.

E. KLASIFIKASI
Pada tahun 1990, Worl Health Organization ( WHO ) mengkelompokan berbagai
infeksi dan kondisi AIDS dengn memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang
terinfeksi dengan HIV-1. sistem ini diperbarui pada bulan September tahun 2005.
Kebanyakan kondisi ini adalah infeksi oportunistik yang dengan mudah ditangani
pada orang sehat.
1. Stadium I: infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai AIDS.

2. Stadium II: termasuk manifestasi membrane mukosa kecil dan radang saluran
pernafasan atas yang berulang.

3. Stadium III: termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari
sebulan, infeksi bakteri parah, dan tuberkolosis.

4. Stadium IV: termasuk toksoplamosis otak, kandiasis esophagus, trakea, bronkus


atau paru-paru, dan sakorma Kaposi. Semua penyakit ini adalah indicator AIDS.

6
F. MANIFESTASI KLINIS
Klasifikasi klinis infeksi HIV pada orang dewasa menurut WHO

Stadium Gambaran Klinis Skala Aktivitas


I 1. Asimtomatik Asimptomatik
2. Limfadenopati generalisata
Asktifitas normal
II 1. Berat badan menurun < 10% Simptomatik, aktivitas
2. Kelainan kulit dan mukosa yang normal.
ringan seperti dermatitis
seboroik, prunigo, onikomikosis,
ulkus oral yang rekuren, khelitis
angularis.
3. Herpes zoster angularis.
4. Terakhir
5. Infeksi saluran nafas bagian atas
seperti, sinusitis bakterialis.
III 1. Berat badan menurun < 10% Pada umumnya lemah,
2. Diare kronis berlangsung aktivitas ditempat tidur
3. Lebih dari 1 bulan kuran dari 50%
4. Demam berkepanjangan lebih
dari 1 bulan.
5. Kandidiasis orofarigeal.
6. Oral hairy leukoplakia.
7. TB paru dalam tahun terakhir.
8. Infeksi bacterial yang berat
seperti pneumonia, piomiositis.
IV 1. HIV waiting sindrom seperti Pada umumnya sangat
yang di definisikan oleh CDC. lemah,aktivitas
2. Pneumonia Pneumocytis carinii. ditempat tidur kurang
3. Taksoplamosis otak. lebih dari 5%
4. Diare kriptosporidosis lebih dari
1 bulan.
5. Kriptokokosis ektrapulmonal.
6. Retinitis virus situnegalo
7. Herpes simplek mukokutan >1
bulan
8. Leukoessefalopati multifocal
progresif.
9. Mikosis diseminata seperti
histoplamosis.
10. Kandiasis di esophagus, trakea,
bronkus dan paru.
11. Mikobakterisosis atipikal
diseminata.
7
12. Septisemia salmonellosis no
tifoid.
13. Tuberkolosis diluar paru.
14. Limfoma
15. Sarcoma Kaposi.
16. Ensefalopati HIV

G. KOMPLIKASI
Adapun komplikasi kien dengan HIV/AIDS (Arif Mansjoer, 2000 ) antara lain
1. Pneumonia pneumocystis (PCP)
2. Tuberculosis (TBC
3. Esofagitis
4. Diare
5. Toksoplasmositis
6. Leukoensefalopati multifocal prigesif
7. Sarcoma Kaposi
8. Kanker getah bening
9. Kanker leher rahim (pada wanita yang terkena HIV)

H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostic untuk penderita AIDS (Arif Mansjoer, 2000) adalah :
1. Lakukan anamnesi gejala infeksi oportunistik dan kanker yang terkaitdengan
AIDS.
2. Telusuri perilaku berisiko yang memmungkinkan penularan.3.
3. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda infeksi oportunistik dan kankerterkait.
Jangan lupa perubahan kelenjar, pemeriksaan mulut, kulit, danfunduskopi.
4. Dalam pemeriksaan penunjang dicari jumlah limfosot total, antibodi HIV,dan
pemeriksaan Rontgen.
5. Bila hasil pemeriksaan antibodi positif maka dilakukan pemeriksaan jumlah CD
protein purufied derivative (PPD), serologi toksoplasma,serologi sitomegalovirus,
serologi PMS, hepatitis, dan pap smear.
6. Sedangkan pada pemeriksaan follow up diperiksa jumlah CD

8
7. Bila >500maka pemeriksaan diulang tiap 6 bulan. Sedangkan bila jumlahnya 200-
500 maka diulang tiap 3-6 bulan, dan bila <200 diberikan profilaksi pneumonia
pneumocystis carinii
8. Pemberian profilaksi INH tidaktergantung pada jumlah CD
9. Perlu juga dilakukan pemeriksaan viral load untuk mengetahui awal pemberian
obat antiretroviral dan memantau hasil pengobatan.

I. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Medis
Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya yaitu
(Endah Istiqomah : 2009) :
a. Pengendalian Infeksi Opurtunistik. Bertujuan menghilangkan, mengendalikan,
dan pemulihan infeksi opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan
pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan
komplikasi penyebab sepsisharus dipertahankan bagi pasien dilingkungan
perawatan kritis.
b. Terapi AZT (Azidotimidin)Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat
antiviral AZT yang efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi
antiviral Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim
pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4
nya <>3 .Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan
Human Immunodeficiency Virus(HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500
mm3c)
c. Terapi Antiviral Baru Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas
system imun dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai
reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah :
1) Didanosine
2) Ribavirin
3) Diedoxycytidine
4) Recombinant CD 4 dapat larutd)

9
d. Vaksin dan Rekonstruksi Virus. Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan
agen tersebut seperti interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis
dapat menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian
untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.

J. RESPON SPESIFIK PENDERITA HIV/AIDS


1. Respon Biologis (Imunitas)
Secara imunologis, sel T yang terdiri dari limfosit T-helper, disebut
limfosit CD4+ akan mengalami perubahan baik secara kuantitas maupun kualitas.
HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara
langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel
T (toxic HIV). Secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut
sampul gp 120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian
menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen (APC). Setelah HIV
melekat melalui reseptor CD4+ dan co-reseptornya bagian sampul tersebut
melakukan fusi dengan membran sel dan bagian intinya masuk ke dalam sel
membran. Pada bagian inti terdapat enzim reverse transcripatase yang terdiri dari
DNA polimerase dan ribonuclease. Pada inti yang mengandung RNA, dengan
enzim DNA polimerase menyusun kopi DNA dari RNA tersebut. Enzim
ribonuclease memusnahkan RNA asli. Enzim polimerase kemudian membentuk
kopi DNA kedua dari DNA pertama yang tersusun sebagai cetakan (Stewart,
1997; Baratawidjaja, 2000).
Kode genetik DNA berupa untai ganda setelah terbentuk, maka akan
masuk ke inti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA copi dari virus disisipkan
dalam DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4+, kemudian
bereplikasi yang menyebabkan sel limfosit CD4 mengalami sitolisis (Stewart,
1997).
Virus HIV yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien, juga
menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia
di otak, sel - sel hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfe, sel- sel
epitel pada usus, dan sel langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia

10
di otak adalah encepalopati dan pada sel epitel usus adalah diare yang kronis
(Stewart, 1997).
Gejala-gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi tersebut biasanya baru
disadari pasien setelah beberapa waktu lamanya tidak mengalami kesembuhan.
Pasien yang terinfeski virus HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan gejala
selama bertahuntahun. Sepanjang perjalanan penyakit tersebut sel CD4+
mengalami penurunan jumlahnya dari 1000/ul sebelum terinfeksi menjadi sekitar
200 – 300/ul setelah terinfeksi 2 – 10 tahun (Stewart, 1997).

2. Respon Adaptif Psikososial-Spiritual


a. Respons Adaptif Psikologis (penerimaan diri)
Pengalaman suatu penyakit akan membangkitkan berbagai perasaan dan
reaksi stres, frustasi, kecemasan, kemarahan, penyangkalan, rasa malu,
berduka dan ketidak pastian menuju pada adaptasi terhadap penyakit.
Tahapan reaksi psikologis pasien HIV/AIDS (Stewart,1997) adalah seperti
terlihat pada table 2.1
Tabel 2.1. Reaksi Psikologis Pasien HIV

Reaksi Proses Psikologis Hal-hal yang Biasa


Dijumpai
1. Shock (kaget, Merasa bersalah, marah, dan tidak Rasa takut, hilang akal, frustasi,
goncangan batin). berdaya. rasa sedih, susah, acting out.
2. Mengucilkan diri Merasa cacat, tidak berguna, dan Khawatir menginfeksi orang lain,
menutup diri. murung.
3 Membuka status Ingin tahu reaksi orang lain, penglihatan Penolakan, stress, dan
secara terbatas stress, ingin dicintai. konfrontasi
4. Mencari orang Berbagi rasa, pengenalan, kepercayaan, Ketergantungan, campur tangan,
lain yang HIV positif penguatan, dan dukungan social. tidak percaya pada pemegang
rahasia dirinya.
5. Status khusus Perubahan keterasingan menjadi Ketergantungan, dikotomi kita dn
manfaat khusus, perbedaan menjadi hal mereka (semua orang dilihat

11
yang istimewa, dibutuhkan oleh yang sebagai terinfeksi HIV dan
lainnya. direspon seperti itu), over
identification.
6. Perilaku Komitmen dan kesatuan kelompok, Pemadaman, reaksi, dan
mementingkanorang kepuasan memberi dan berbagi, kompensasi yang berlebihan.
lain penasaran sebagai kelompok.
7 Penerimaan Integrasi status positif HIV dengan Apatis dan sulit berubah.
identitas diri, keseimbangan antara
kepentingan orang lain dengan diri
sendiri, bisa menyebutkan kondisi
seseorang.

b. Respon Adaptif Spiritual


Respon Adaptif spiritual dikembangkan dari konsep Ronaldson (2000) dan
Kauman dan Nipan (2003). Respon Adaptif spiritual meliputi :
1. Harapan yang realistis
2. Tabah dan sabar
3. Pandai mengambil hikmah

Rangsangan

Fisika, Kimia, Psikis, Sosial

Individu

ADAPTIF BEBAN EKSTRA

Mekanisme Koping Perubahan Neurohormonal

Perubahan Jaringan Organ


Perubahan Perilaku

Gambar 2.2 Hubungan antara Mekanisme Koping dengan Stres

Sumber. Notosoedirdjo M, 1998

12
K. ISU ETIK DAN HUKUM PADA KONSELING PRE-POST TEST HIV/AIDS
1. Konseling Pre-Post Tes Hiv
Konseling adalah proses pertolongan dimana seseorang dengan tulus
ikhlas dan tujuan yang jelas memberikan waktu, perhatian dan keahliannya untuk
membantu klien mempelajari dirinya, mengenali dan melakukan pemecahan
masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan. Voluntary counseling
and tesing (VCT) atau konseling dan tes suka rela merupakan kegiatan konseling
yang bersifat suka rela dan rahasia, yang dilakukan sebelum dan sesudah tes darah
di laboratorium. Tes HIV dilakukan setelah klien terlebih dahulu memahami dan
menandatangani informed consent yaitu surat persetujuan setelah mendapatkan
penjelasan yang lengkap dan benar. Pelayanan VCT harus dilakukan oleh petugas
yang sangat terlatih dan memiliki keterampilan konseling dan pemahaman akan
HIV/AIDS. Konseling dilakukan oleh konselor terlatih dengan modul VCT.
Mereka dapat berprofesi perawat, pekerja sosial, dokter, psikolog, psikiater atau
profesi lain.

2. Informed Consent Untuk Tes Hiv/AIDS


Tes HIV adalah sebagai tes darah yang digunakan untuk memastikan
apakah seseorang sudah positif terinfeksi HIV atau tidak, yaitu dengan cara
mendeteksi adanya antibodi HIV didalam sampel darahnya.
Hal ini perlu dilakukan setidaknya agar seseorang bisa mengetahui secara
pasti status kesehatan dirinya, terutama menyangkut risiko dari perilakunya
selama ini. Tes HIV Harus Bersifat :
a. Sukarela: Bahwa seseorang yang akan melakukan tes HIV haruslah
berdasarkan atas kesadarannya sendiri, bukan atas paksaan / tekanan orang
lain ini juga berarti bahwa dirinya setuju untuk dites setelah mengetahui hal-
hal apa saja yang tercakup dalam tes itu, apa keuntungan dan kerugian dari
testing, serta apa saja implikasi dari hasil positif ataupun hasil (-).
b. Rahasia: Apapun hasil tes ini (baik positif maupun negatif) hasilnya hanya
boleh diberitahu langsung kepada orang yang bersangkutan.

13
c. Tidak boleh diwakilkan kepada siapapun, baik orang tua / pasangan, atasan
atau siapapun.

3. Aspek Etik dan legal Tes HIV


Informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga
atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap
pasien tersebut (Permenkes, 1989).
Dasar dari informed consent yaitu
a. Asas menghormati otonomi pasien setelah mendapatkan informasi
yang memadai pasien bebas dan berhak memutuskan apa yang akan
dilakukan terhadapnya.
b. Kepmenkes 1239/Menkes/SK/XI/2001 pasal 16: dalam melaksanakan
kewenangannya perawat wajib menyampaikan informasi dan meminta
persetujuan tindakan yang akan dilakukan.
c. PP No 32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan pasal 22 ayat 1: bagi
tenaga kesehatan dalam menjalankan tugas wajib memberikan
informasi dan meminta persetujuan.
d. UU no 23 tahun 1992 tentang tenaga kesehatan pasal 15 ayat 2:
tindakan medis tertentu hanya bisa dilakukan dengan persetujuan yang
bersangkutan atau keluarga.

Semua tes HIV harus mendapat informed consent dari klien setelah klien
diberikan informasi yang cukup tentang tes, tujuan tes, implikasi hasil tes positif
atau negatif yang berupa konseling pra tes. Dalam menjalankan fungsi perawat
sebagai advokat bagi klien, tugas perawat dalam informed consent adalah
memastikan bahwa informed consent telah meliputi tiga aspek penting yaitu:

a. Persetujuan harus diberikan secara sukarela.


b. Persetujuan harus diberikan oleh individu yang mempunyai kapasitas dan
kemampuan untuk memahami.
c. Persetujuan harus diberikan setelah diberikan informasi yang cukup sebagai
pertimbangan untuk membuat keputusan.

14
Persetujuan pada tes HIV harus bersifat jelas dan khusus, maksudnya,
persetujuan diberikan terpisah dari persetujuan tindakan medis atau tindakan
perawatan lain (Kelly 1997 dalam Chitty 1993). Persetujuan juga sebaiknya
dalam bentuk tertulis, karena persetujuan secara verbal memungkinkan pasien
untuk menyangkal persetujuan yang telah diberikannya di kemuadian hari.
Depkes Afrika pada Bulan Desember 1999 mengeluarkan kebijakan tentang
perkecualian dimana informed consent untuk tes HIV tidak diperlukan yaitu untuk
skrening HIV pada darah pendonor dimana darah ini tanpa nama. Selain itu
informed consent juga tidak diperlukan pada pemeriksaan tes inisial HIV (Rapid
Tes) pada kasus bila ada tenaga kesehatan yang terpapar darah klien yang di
curigai terinfeksi HIV, sementara klien menolak dilakukan tes HIV dan terdapat
sampel darah.

4. Kerahasiaan Status Hiv


Pasien HIV berhak atas kerahasiaan, ini sesuai dengan prinsip etik Asas
kerahasiaan yaitu Kerahasiaan klien harus dihormati meskipun klien telah
meninggal. Untuk itu tenaga kesehatan mempunyai kewajiban etik melindungi
hak klien tersebut dengan tetap merahasiakan apapun yang berhubungan dangan
klien. Hak klien atas kerahasiaan ini juga di lindungi oleh hukum sehingga
apabila kita melanggarnya kita bisa terkena sangsi hukum.
Terdapat perkecualian dimana rahasia pasien HIV/AIDS bisa dibuka yaitu
bilamana:
a. Berhubungan dengan administrasi (Steward Graeme, 1997).
b. Bila kita dimintai keterangan di persidangan (Steward Graeme, 1997).
c. Informasi bisa diberikan pada orang yang merawat atau memberikan
konseling dan informasi diberikan dengan tujuan untuk merawat, mengobati
atau memberikan konseling pada klien. (Steward Graeme, 1997).
d. Informasi diberikan kepada Depkes. Berdasarkan instruksi Menkes no
72/Menkes/Inst/II/1988 tentang kewajiban melaporkan penderita dengan
gejala AIDS: petugas kesehatan yang mengetahui atau menemukan seseorang
dengan gejala AIDS wajib melaporkan kepada sarana pelayanan kesehatan
yang di teruskan pada dirjen P2M dan diteruskan ke Depkes. Hal ini penting

15
untuk menjaga kepentingan masyarakat banyak dari tertular HIV/AIDS.
(Depkes RI, 2003).
e. Informasi diberikan kepada partner sex/keluarga yang merawat klien dan
berisiko terinfeksi oleh klien karena klien tidak mau menginformasikan pada
keluarga/pasangan seksnya dan melakukan hubungan seksual yang aman. Hal
ini berkaitan dengan tugas tenaga kesehatan untuk melindungi masyarakat,
keluarga dan orang terdekat klien dari bahaya tertular HIV. Dalam hal ini,
petugas kesehatan boleh membuka status HIV pasien hanya jika petugas
mengidentifikasi keluarga/partner sex klien berisiko tinggi tertular, pasien
menolak memberi tahu pasangannya atau melakukan hubungan sex yang
aman, pasien telah diberi konseling tentang pentingnya memberitahu
pasangan/keluarganya dan melakukan hubungan sex yang aman, tenaga
kesehatan telah memberitahu klien bahwa klien berkewajiban melindungi
orang lain dari bahaya penularan HIV/AIDS tapi klien tetap menolak
memberitahu keluarga atau pasangannya tentang status penyakitnya (Steward
Graeme,1997).

5. Pekerjaan
ODHA mempunyai hak yang sama dalam pekerjaankarena ODHA yang
masih berstatus HIV bisa hidup produktif seperti orang normal. Hingga saat ini,
ODHA masih mengalami banyak diskriminasi di tempat kerja sehingga mereka di
PHK atau tidak di terima bekerja. Untuk melindungi hak ODHA ini maka telah
disepakati bahwa tes skrining HIV tidak boleh menjadi persyaratan untuk
masuk/bekerja di suatu perusahaan/kantor. Selain itu, untuk menghindari
diskriminasi tersebut, SADC (South African Medical Council) mengeluarkan “the
code of good practice” sebagai pedoman bagi perusahaan dan para pekerja
tentang bagaimana mengelola ODHA di tempat kerja. Tujuan pedoman ini
meliputi:
a. Melindungi hak ODHA untuk tidak diperlakukan secara dirkriminatif.
b. Melindungi hak ODHA atas kerahasiaan dan privasi.
c. Melindungi hak ODHA atas keselamatan kerja.

16
d. melindungi hak ODHA atas imbalan yang adil sesuai hasil kerjanya.

6. Stigma Dan Diskriminasi


Stigma atau cap buruk adalah tindakan memvonis seseorang buruk
moral/perilakunya sehingga mendapatkan peyakit tersebut. Orang-orang yang di
stigma biasanya di anggap memalukan untuk alasan tertentu dan sebagai
akibatnya mereka dipermalukan, dihindari, dideskreditkan, ditolak, ditahan.
Penelitian yang dilakukan oleh Kristina di Kalimantan Selatan dan Cipto (2006)
di Jember Jatim tentang pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan
dan sikap siswa mengenai stigma pada orang dengan HIV/AIDS menunjukkan
bahwa 72% orang yang berpendidikan cukup (SMU) kurang menerima ODHA
dan hanya 5% yang cukup menerima. Faktor yang berhubungan dengan kurang
diterimanya ODHA antara lain karena HIV/AIDS dihubungkan dengan perilaku
menyimpang seperti seks sesame jenis, penggunaan obat terlarang, seks bebas,
serta HIV diakibatkan oleh kesalahan moral sehingga patut mendapatkan
hukuman (Kristina, 2005) & Cipto (2006).
Diskriminasi didefinisikan UNAIDS sebagai tindakan yang disebabkan
perbedaan, menghakimi orang berdasarkan status HIV mereka baik yang pasti
atau yang diperkirakan. Diskriminasi dapat terjadi di bidang kesehatan,
kerahasiaan, kebebasan, keamanan pribadi, perlakuan kejam, penghinaan atau
perlakuan kasar, pekerjaan, pendidikan, keluarga dan hak kepemilikan maupun
hak untuk berkumpul.
ODHA menghadapi diskriminasi dimana saja di berbagai negara dan hal
ini berdampak pada kualitas hidup mereka. Membiarkan diskriminasi akan
merugikan upaya penanggulangan infeksi HIV/AIDS.

7. Persetujuan Untuk Berpartisipasi Dalam Riset Kesehatan


Norma etik dalam riset biomedik berdasarkan pada empat prinsip yaitu
autonomy, beneficience, non maleficience & Justice (Declaration of Helsinki,
1975). Dalam kaitannya dengan HIV, pasien sebagai obyek riset berhak atas
informed consent sebelum mereka berpartisipasi dalam riset. Partisipasi seseorang

17
dalam riset harus diberikan secara suka rela dan berdasarkan pengetahuan tentang
risiko dan keuntungan berpartisipasi.

18
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Identitas
Nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, alamat, No CM, diagnose
keperawatan
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Awal yang dirasakan pasien pada saat datang ke rumah sakit. Pada penyakit HIV
biasanya klien mengeluh demam, merasa capek, mudah lelah, letih, lesu, flu,
pusing dan diare.
b. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan kronologis dari penyakit yang diderita saat ini mulai awal hingga di
bawa ke rumah sakit secara lengkap meliputi: PQRST (palliative,
quality,region,skala, timing)
c. Riwayat penyakit terdahulu
Merupakan suatu kronologis dari penyakit apa pernah dirasakan oleh klien pada
saat dahulu sebelum sakit kembali.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah keluarga klien ada yang menderita penyakit yang sama atau penyakit
turunan
3. Pemeriksaan Fisik
a. Aktivitas/istirahat
Tanda dan gejala mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas,
kelelahan otot, menurunnya masa otot, respon fisiologis.
b. Sirkulasi
Proses penyembuhan luka yang lambat, pendarahan lama pada saat cedera,
takikardia, perubahan TD postural menurunnya volume nadi postural, pucat atau
sianosis, perpanjangan pengisisan kapiler.

19
c. Integritas ego
Factor stess yang berhungan dengan kehilangan ( keluarga, pekerjaan, gaya hidup
dll ), mengkhawatirkan penampilannya ( menurunnya berat badan ) mengingkari
diagnose, merasa tidak berdaya, putus asa, tidak berguna, rasa bersalah, dan
depresi.
d. Eliminasi
Diare yang intermiten, terus menerus, sering atau tanpa disertai kram abdomenial,
mueri panggul, rasa terbakar saat miksi.
e. Makanan/cairan
Tidak nafsu makan, perubahan dalam mengenali makanan, mual/muntah.
Disfagia, nyeri restoternal saat menelan penurunan berat badan yang progresif.
f. Hygiene
Memperlihatkan penampilan yang tidak rapih, kekurangan dalam banyak atau
semua perawatan diri.
g. Neurosensori
Perubahan status mental, dengan rentan antara kacau menal sampai demensia,
lupa, konsentrasi buruk, tingkat kesadaran menurun, apatis, retadarsi
psikomotor/respon lambat. Ide paranoid, ansietas yang berkembang bebas,
harapan yang tidak realistis, timbul reflek tidak normal, menurunnya kekuatan
otot.
h. Nyeri/kenyamanan
Pembengkakan pada sendi, nyeri pada kelenjar, nyeri tekan. Penurunan rentan
gerak, perubahan gaya berjalan/pincang, gerak otot melindungi yang sakit.
i. Pernafasan
Takipneu, dister pernafasa, perubahan bunyi nafas.
j. Keamanan
Perubahan integritas kulit
k. Seksualitas
Kehamilan atau resiko terhadap hamil, genetalia : manisfestasi kulit (herpes, kutil)
l. Interaksi seksual
Perubahan pada interaksi keluarga/orang terdekat. Aktivitas yang tak
terorganisasi.

20
m. Penyuluhan/pembelajaran
Pertimbangan rencana pemulangan : memerlukan bantuan keuangan, obat-obatan
atau tindakan, perawatan kulit atau luka, peralatan/bahan, tranfortasi, belanja
makanan dan persiapan : perawatan diri, prosedur perawatan teknis dll.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnustrisi dan pola hidup
yang berisiko.
2. Resiko tinggi infeksi ( kontak pasien ) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya
infeksi nonopportunistik yang dapat ditranmisikan.
3. Intoleran aktivitas berhungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnustrisi,
kelelahan.
4. Diare berhubungan dengan infeksi GI
5. Tidak efektif koping keluarga berhungan dengan cemas tentang keadaan yang orang
dicintai.

C. INTERVENSI DAN RASIONAL


NO. DIAGNOSA PERENCANAAN KEPERAWATAN
KEPERAWATAN TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
1. Resiko tinggi infeksi Pasien akan bebas -Monitor tanda -Untuk pengobatan
berhubungan dengan infeksi infeksi baru dini
imunosupresi, opportunistic dan
komplikasinya -Gunakan teknik -Mencegah pasien
malnustrisi dan pola
hidup yang berisiko. dengan kriteria tak aspetik pada setiap terpapar oleh
ada tanda-tanda tindakan invasive kuman
infeksi baru, lab
-Kumpulkan -Mempertahankan
tidak ada infeksi
opurtunis, tanda specimen untuk tes kadar darah yang
terapeutik.
vital batas normal, lab
tidak ada luka atau
eksudat.
2. Resiko tinggi infeksi Infeksi HIV tidak -Anjurkan pasien -Pasien dan
(kontak pasien) ditranmisikan tim atau orang orang keluarga mau dan
berhubungan dengan kesehatan penting lainya memerlukan
infeksi HIV, adanya memperhatikan informasi ini
infeksi universal -Gunakan darah
nonopportunistik precautions dan cairan tubuh -Mencegah tranmisi
yang dapat dengan kriteria precaution bial infeksi HIV ke
ditranmisikan kontak pasien dan orang lain

21
tim kesehatan merawat pasien.
tidak terpapar
HIV, tidak -Gunakan masker
terinfeksi parogen bila perlu.
lain TBC
3. Intoleran aktivitas Pasein -Monitor respon -Intake menurun
berhungan dengan berpartisipasi fisiologis terhadap dihubungkan
kelemahan, dalam kegiatan aktivitas dengan nyeri
pertukaran oksigen, dengan kriteria tenggorokan
malnustrisi, bebas dysnea dan -Berikan bantuan
kebutuhan energy
kelelahan. takikardi selama perawatan yang
aktivitas pasien sendiri tidak -Menetukan data
mampu dasar
-Jadwalkan -Mengurangi
perawatan pasien muntah
sehingga tidak
-Menyakinkam
menggangu
bahwa makanan
istirahat
sesuai dengan
keinginan pasien

4. Diare berhubungan Pasien merasa -Kaji konsistensi -Mendeteksi adanya


dengan infeksi GI nyaman dan dan frekuensi feses darah dalam feses
mengotrol diare, dan adanya darah.
komplikasi -Hipermoliti
minimal dengan -Auskultasi bunyi dengan diare
criteria perut lunak usus
-Mengurangi
tidak tegang, feses
-Atur agen motilitas usus yang
lunak dan warna
normal, kram antimolitas dan pelan, efek buruk
perut hilang. psilium perforasi pada
(Metamucil) sesuai intestinal.
order.
-Usus
-Berikan orintment menghilangkan
A dan D, vaselin distensi.
atau zinc oside
Tidak efektif koping Keluarga atau -Kaji koping -Memulai suatu
keluarga berhungan orang penting keluarga terhadap hubungan dalam
dengan cemas memperthankan sakit pasien dan bekerja secara
tentang keadaan support system perawatnya konstruktif dengan
5. yang orang dicintai. dan adaptasi keluarga
terhadap -Biarkan keluarga
perubahan akan mengungkapkannya -Mereka tak

22
kebutuhannya peraasaan secara menyadaribahwa
dengan criteria verbal. mereka berbicara
pasien dan secara bebas
keluarganya. -Ajarkan kepada
keluarga tentang -Menghilangkan
penyakit dan kecemasan tentang
tranmisinya. tranmisi melalui
kontak sederhana

23
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
HIV/AIDS adalah penyakit yang sampai sekarang ini belum ada obatnya dan
mematikan, selain karena mengganggu kesehatan fisik, HIV/AIDS juga mengganggu
stabilitas psikis dan kehidupan sosial penderita, sehingga perlu dilakukan penanganan
yang komprehensif.
Peran pemerintah sangat besar terhadap penanganan HIV/AIDS sebab pemerintah
adalah pemegang kendali terhadap stabilitas dalam kelompok masyarakat, selain itu
pemerintah memiliki kekuatan melalui Kebijakan yang dibuat sebagai upaya pencapaian
tatanan sosial yang sehat dan dinamis.

B. SARAN
Penyusun menyampaikan saran kepada pembaca terlebih kepada masyarakat
Indonesia untuk tetap menjaga pola hidup yang baik dan benar dengan memperhatikan
kesehatan fisik dan pergaulan hidup yang sehat. Karena pada zaman modern ini banyak
sekali kasus yang berhubungan dengan penyakit HIV/AIDS.

24
DAFTAR PUSTAKA

Nursalam, dan Ninuk. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS.

Jakarta: Salemba Medika

Tarwoto, dkk. 2010. Kesehatan Remaja Problem dan Solusinya. Jakarta: Salemba Medika

Wardiyah, Aryanti dan Rilyani. 2016. Sistem Reproduksi. Jakarta: Salemba Medika

http://batukarinfo.com/system/files/Pemberdayaan%20Perempuan%20Dalam%20Pencegahan%2

0Penularan%20HIV%20dan%20AIDS.pdf (diakses pada tanggal 21 Februari 2018)

http://ners.unair.ac.id/materikuliah/1-BUKU-AIDS-2007.pdf (diakses pada tanggal 21 Februari

2018)

https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/53970108/3933-11044-1-

SM.pdf?AWSAccessKeyId=AKIAIWOWYYGZ2Y53UL3A&Expires=1519220324&Signature

=wli%2BNOMwjuxLBV943fvAiN7zLQ0%3D&response-content-

disposition=inline%3B%20filename%3DBEBAN_PEREMPUAN_PENDERITA_HIV_AIDS_D

ALAM.pdf (diakses pada tanggal 21 Februari 2018)

http://journal.walisongo.ac.id/index.php/sawwa/article/view/667 (diakses pada tanggal 21

Februari 2018)

https://www.scribd.com/document/365718815/LAPORAN-PENDAHULUAN-HIV-AIDS-docx

(diakses pada tanggal 21 Februari 2018)

25

Anda mungkin juga menyukai