Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

ASPEK PSIKOSOSISIAL KULTURAL DAN SPIRITUAL PADA ORANG


HIV/AIDS

Ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah HIV Paliatif

Disusun Oleh :

Tutor H

1. Olivia Rizki Khaerani 220110160090


2. Ricky Simbolon 220110160091
3. Jihan Salimah 220110160092
4. Annisa Rahmafillah 220110160093
5. Aulia Nurhanifa 220110160094
6. Dylla Iztiazahra 220110160095
7. Via Fauziati 220110160096
8. Astriani Nur Afifah 220110160097
9. Luciana Tasya 220110160098
10. Naomi Sella Aprilia 220110160099
11. Andreas Leonando 220110160100

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
2018
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. Semoga shalawat dan salam selalu
dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabatnya, dan
umatnya. Penulisan makalah kelompok ini kami beri judul Aspek Psikososisial
Kultural dan Spiritual pada orang HIV/AIDS.
Kami berterima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu
penyelesaian makalah ini. Terutama kepada Bapak Dosen Pembina HIV Paliatif.
Semoga Allah membalas amal baiknya dengan balasan yang lebih baik lagi.
Sebagaimana pepatah mengatakan bahwa tak ada gading yang tak retak,
demikian pula makalah ini tentu ada kekurangannya. Oleh karena itu, saran dan
kritik yang membangun untuk perbaikan penulisan makalah yang akan datang,
kami harapkan.

Jatinangor, 8 Mei 2018

Tim Penyusun,

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... 2


DAFTAR ISI ..................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 4
1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 4
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 5
1.3 Tujuan ............................................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................... 6
2.1 Spiritual Pasien HIV / AIDS ............................................................................. 6
2.2 Stigma dan Aspek Psikososial ..................................................................... 8
2.3 Definisi Psikososial dan Kultural ..................................................................... 13
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 21

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sebuah retrovirus
yang menginfeksi sel- sel sistem imun, menghancurkan atau merusak fungsi
dari sel-sel sistem imun. Sebagai progress dari infeksi, sistem imun menjadi
lemah, dan manusia menjadi lebih rentan terkena infeksi. Stadium yang
paling lanjut dari infeksi HIV adalah Acquired Immune Deficiency
Syndrome (AIDS) (WHO, 2013a). Virus HIV ditemukan dalam cairan
tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina, dan air susu ibu.
Virus tersebut merusak kekebalan tubuh manusia dan mengakibatkan turun
dan hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi
lainnya (Nursalam & Kurniawati, 2007).
Penurunan imunitas dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang
perlu diperhatikan oleh tenaga kesehatan adalah stresor psikososial. Aspek
psikososial menurut Stewart (1997) dibedakan menjadi tiga hal, antara lain:
(1) stigma sosial; (2) diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV; (3)
terjadinya waktu yang lama terhadap respon psikologis mulai penolakan,
marah, tawar-menawar, dan depresi berakibat pada keterlambatan upaya
pencegahan dan pengobatan.
HIV/AIDS pun tergolong ke dalam penyakit krokik dan
membutuhkan perawatan koprehensif tidak hanya dari petugas kesehatan
tetapi juga dari keluarga dan anggota masyarakat lain. Pada saat pengobatan
HIV/AIDS dimulai oleh klien di rumah sakit, maka saat itulah dibutuhkan
dukungan dari keluarga dan masyarakat sekitar serta managamen diri sendiri
dari klien HIV/AIDS itu sendiri (Bartlett, 2004).
Aspek spiritual meliputi pengaruh kepercayaan spiritual (Tomey &
Alligood, 2006). Sedangkan, spiritualitas menurut Craven & Hirnle (2007)
adalah perasaan yang menyeluruh dan harmonisasi dengan diri sendiri,

4
dengan orang lain dan dengan Tuhan yang lebih besar yang dipengaruhi
oleh status perkembangan, identitas yang kuat, dan harapan. Spiritualitas
memegang peranan penting dalam pengobatan HIV/AIDS. Penelitian
tentang pentingnya spiritualitas pada penyakit kronis termasuk HIV/AIDS
telah banyak dilakukan, Aspek spiritual ini membantu meringakan gejala
ataupun dalan beberapa kasus dapat merubah prognosis penyakit (1995
dalam TUCK & Thinganjana, 2001).

1.2. Rumusan Masalah


Dari hal di atas dapat diidentifikasikan permasalahan, sebagai berikut :
1. Apa pengertian aspek psikososial kultural?
2. Apa pengertian aspek spiritual?
3. Bagaimana proses pengaruh aspek psikososial terhadap perilaku orang
dengan HIV/AIDS?
4. Bagaimana proses pengaruh aspek spiritual terhadap perilaku orang
dengan HIV/AIDS?

1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian aspek psikososial
2. Untuk mengetahui pengertian aspek spiritual
3. Untuk mengetahui peran proses aspek psikososial terhadap perilaku
orang dengan HIV/AIDS
4. Untuk mengetahui peran proses aspek spiritual terhadap perilaku orang
dengan HIV/AIDS

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Psikososial dan Kultural

Psikososial adalah suatu kondisi yang terjadi pada individu yang


mencakup aspek psikis dan sosial atau sebaliknya. Psikososial menunjuk pada
hubungan yang dinamis antara faktor psikis dan sosial, yang saling berinteraksi
dan memengaruhi satu sama lain. Psikososial sendiri berasal dari kata psiko dan
sosial. Kata psiko mengacu pada aspek psikologis dari individu (pikiran, perasaan
dan perilaku) sedangkan sosial mengacu pada hubungan eksternal individu
dengan orang-orang di sekitarnya (Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI). Istilah
psikososial berarti menyinggung relasi sosial yang mencakup faktor-faktor
psikologis (Chaplin, 2011)
Masalah-masalah psikososial menurut (Nanda, 2012) yaitu :
a. Berduka
b. Keputusasaan
c. Ansietas
d. Ketidakberdayaan
e. Risiko penyimpangan perilaku sehat
f. Gangguan citra tubuh
g. Koping tidak efektif
h. Koping keluarga tidak efektif
i. Sindroma post trauma
j. Penampilan peran tidak efektif
k. HDR situasional

Definisi kultural adalah sesuatu hal yang terkait dengan kebudayaan


kelompok tertentu serta kebiasaan mereka yang meliputi kepercayaan, tradisi, dsb

6
atau hal-hal yang berkaitan dengan seni rupa seperti seperti musik, teater, melukis,
dll.
Pengertian kultural budaya adalah segala cakupan budaya yang sudah ada
secara turun temurun yang meliputi bidang seni, pengetahuan, hukum,
kepercayaan, adat istiadat, pola kebiasaan masyarakat dan hal terkait lainnya
yang ada di suatu wilayah masyarakat tertentu.
Pengertian landasan kultural adalah landasan yang lebih menekankan
kepada nilai-nilai kebudayaan bangsa yaitu suatu kultur budaya yang menjadi jati
diri bangsa yang telah ada sejak jaman dahulu dan tidak terpengaruh oleh unsur
budaya bangsa lain.
Pengertian kultural adalah sesuatu yang berhubungan dengan kebudayaan.
Jadi, segala sesuatu yang ada kaitan dengan unsur budaya disebut kultural.
Banyak hal yang berkaitan dengan kultural. Dalam berbagai segi kehidupan
manusia, makna kultural melekat erat, misal dalam bidang pendidikan, sosiologi
dan sebagainya.
Kebutuhan sehari-hari manusia ada tiga jenis, yaitu kebutuhan primer,
sekunder, dan tersier. Primer berhubungan dengan kebutuhan pokok seperti
makanan, pakaian dan sebagainya. Tersier kebutuhan akan barang mewah.
Sedangkan sekunder atau kebutuhan kultural, berhubungan dengan kondisi
dimana seseorang tersebut berada. Misal orang yang berada di Surabaya akan
berbeda kebutuhannya dengan orang di daerah pedalaman Papua.
Dalam bidang pendidikan, kultural berperan penting. Karena unsur
kultural memiliki tujuan untuk melestarikan budaya dari sebuah daerah kepada
para generasi penerus, dan cara satu-satunya yang dapat dilakukan adalah dengan
jalur pendidikan. Masyarakat berusaha unuk melakukan perubahan yang sesuai
dengan perkembangan zama sehingga akan lahir norma, aturan, dan tata tertib
baru di masyarakat.
Contoh lain dari segi kultural yang sering kita lihat dan alami adalah
fenomena mudik lebaran. Mudik pada saat hari raya Idul Fitri bukanlah
kebudayaan Islam di seluruh belahan dunia, tetapi hanya terjadi di Indonesia.
Masyarakat yang merantau memanfaatkan momen ini untuk pulang ke kampung

7
halaman supaya bisa bertemu keluarga tercinta. Hal ini sudah berlangsung turun
temurun selama entah berapa lamanya. Yang pasti mudik sudah menjadi momen
kultural atau kebudayaan bagi bangsa kita.

2.2 Stigma dan Aspek Psikososial

Dukungan psikososial adalah suatu keadaan yang bermanfaat bagi


individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya, sehingga
seseorang akan tahu bahwa ada orang lain yang mem- perhatikannya,
melayani dan mencintai (Darwin, 2014). stigma sosial yang ada dimasyarakat
yang diberikan kepada pasien HIV/AIDS merupakan point negative diantaranya
karena dianggap membahayakan karena menular, akibat perilaku yang tidak wajar
(seks menyimpang) dan belum ada obatnya.
Stigma juga merupakan suatu proses dinamis yang terbangun dari suatu
persepsi yang telah ada sebelumnya yang menimbulkan suatu pelanggaran
terhadap sikap, kepercayaan dan nilai. Stigma ini dapat mendorong seseorang
untuk mempunyai prasangka, pemikiran, perilaku dan atau tindakan oleh pihak
pemerintah, masyarakat, pemberi kerja, penyedia pelayanan kesehatan, teman
kerja, teman dan keluarga.
Beberapa bentuk stigma dan diskriminasi yang dilakukan staf rumah sakit
terhadap pasien HIV/AIDS :
1. Dianggap remeh dan mendapat judgement yang buruk
2. Tidak diberikan jaminan untuk mendapatkan fasilitas yang lain
3. Adanya “labelling” terhadap pasien
4. Penggunaan alat perlindungan diri yang berlebihan terhadap pasien
5. Tes HIV tidak dilakukan secara tuntas
6. Konseling pre dan post yang tidak adekuat
Pada tahun 2010, hanya 6 % penduduk diatas usia 15 tahun yang
mengetahui layanan tes sukarela dan rahasia (VCT).
7. Hasil test HIV biasanya diberikan oleh pasien sendiri

8
8. Tidak adanya jaminan kerahasiaan terhadap hasil tes kepada keluarga dan
staf kesehatan yang tidak merawat pasien tersebut
9. Penolakan/denial terhadap perawatan

Hal-hal yang dapat menyebabkan stigma pada pasien dengan HIV/AIDS :


1. Pengetahuan tentang HIV/AIDS
Banyak tenaga kesehatan memiliki pengetahuan dan training yang kurang
terhadap dasar-dasar transmisi HIV, kontrol infeksi dan manajemen klinis
terhadap HIV/AIDS
2. Dukungan institusi
Kurangnya kebijakan RS dalam melindungi pasien dengan HIV, SOP,
penyediaan sarana-fasilitas, bahan dan alat perlindungan diri serta jaminan
terhadap keamanan staf dalam pelayanan perawatan.
3. Tingkat pendidikan
4. Lama bekerja
5. Persepsi tentang ODHA

Upaya untuk mengurangi Stigma :


1. Mengkaji dan meningkatkan pengetahuan dan sikap terhadap HIV pada
seluruh tenaga kesehatan
Informasi yang keliru dan sikap menghakimi pada petugas kesehatan dapat
menimbulkan stigma, ketakutan dan perawatan yang berbeda pada
penderita dengan HIV. Dalam suatu penelitian disebutkan bahwa senior
tidak memilikii pemahaman yang cukup terhadap transmisi dan
pencegahan HIV. Sehingga sangatlah penting untuk diadakan pelatihan
adar dapat meningkatkan pengetahuan sehingga staf dapat memiliki
kepedulian, memenuhi kebutuhan dan memberikan hak-hak pasien HIV.
2. Menciptakan suasana kerja yang aman bagi pekerja kesehatan
Melakukan pengkajian dan menggali ketakutan dan risiko pada petugas
kesehatan, kemudian mengembangkan dan mengimplementasikan
kebijakan yang menjamin keamanan pekerja dan memperhatikan hak-hak

9
pekerja kesehatan. Kebijakan dibutuhkan untuk memfasilitasi kebutuhan
penting (misal sarung tangan), yang berguna untuk kontrol infeksi secara
optimal sehingga tidak hanya sebagai proteksi terhadap pekerja kesehatan,
namun juga bagi pencegahan terhadap pemaparan infeksi ke pasien.
3. Menggunakan pendekatan partisipasi dan partnership untuk mengurangi
stigma dari diskriminasi dalam lingkungan kesehatan
Kelompok dan organisasi diharapkan bekerja dalam setting perawatan
kesehatan juga mampu untuk memposisikan diri mereka sebagai
rekan/partner dibandingkan sebagai pengamat atau pelengkap jika tujuan
mereka adalah meningkatkan perawatan kesehatan lingkungan bagi
penderita HIV.
4. Meningkatkan layanan tes sukarela dan rahasisa (VCT)
Kelompok dengan tingkat ekonomi yang lebih tinggi memiliki informasi
yang lebih baik tentang pelayanan VCT maupun penanggulangan HIV,
sedangkan masyarakat pedesaan sebaliknya. Pada tahun 2011, kementrian
kesehtan melaporkan 500 tempat VCT aktif di 33 provinsi, meningkat dari
tahun 2009 yang hanya ada 156 dari 27 provinsi. Masalah kerahasiaan dan
ketakutan terhadap stigma dan diskriminasi masih menghalangi upaya-
upaya untuk meningkatkan cakupan dan pemahaman program-program
perlindungan dan bantuan sosial perlu lebih terhadap masalah HIV (Unicef
Indonesia, 2012).
5. Melakukan riset
Jumlah penderita HIV yang semakin meningkat perlu didukung dengan
adanya penelitian untuk mendapatkan penilaian balik tentang intervensi
dari pasien dengan HIV postitif.
Adanya stigma dalam masyarakat ini menimbulkan masalah psikososial
yang rumit bagi penderita AIDS. Pengucilan penderita dan diskriminasi tidak
jarang membuat penderita AIDS tidak mendapatkan hak-hak asasinya dan pada
akhirnya menyebabkan stress psikososial pada pasien. Stres psikososial-spiritual
pasien terinfeksi HIV yang berlanjut, akan mempercepat kejadian AIDS dan
bahkan meningkatkan angka kematian. Respons adaptasi psikologis terhadap

10
stresor menurut Kubler Ross (1974) dalam Potter & Perry (2005) menguraikan
lima tahap reaksi emosi seseorang terhadap stresor yakni 1) pengingkaran; 2)
marah; 3) tawar menawar; 4) depresi; dan 5) menerima. Jika stres mencapai
tingkat exhausted stage dapat menimbulkan kegagalan fungsi sistem imun, yang
menurunkan kualitas hidup pasien sehingga memperparah keadaan pasien dan
mempercepat kejadian AIDS.
WHO mendefinisikan kualitas hidup adalah persepsi individu dalam
hidup, ditinjau dari konteks budaya dan system nilai dimana mereka tinggal, dan
berhubungan dengan standar hidup, harapan, kesenangan, dan perhatian mereka.
Hal ini merupakan konsep tingkatan, terangkum secara kompleks mencakup
kesehatan fisik, status psikologis, tingkat kebebasan, hubungan social dan
hubungan kepada karakteristik lingkungan mereka. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup pada pasien HIV/AIDS yaitu efek terapi
antiretroviral, efek dari faktor psikososial, dukungan sosial, mekanisme koping,
spiritual, depresi, pekerjaan dan infeksi dari HIV. Mekanisme koping
mempengaruhi kualitas hidup secara signifikan. Pearlin dan School
mendefinisikan mekanisme koping sebagai upaya kognitif dan perilaku yang
dibuat untuk mentolerir dan mengurangi stressor. Individu yang mampu
mengontrol stres dengan pemecahan masalah dan pendekatan perilaku secara
signifikan memiliki kualitas hidup yang lebih baik dari pada individu yang tidak
menggunakan keterampilan tersebut dalam mengatasi masalahnya (Basavaraj, et
al, 2010).
Kebanyakan dikalangan penderita HIV/AIDS mengalami mekanisme
koping maladaptif yang dapat berupa penyangkalan, kepasrahan, isolasi,
menyembunyikan status, menganggap hal ini hukum karma dan lain sebagainya.
HIV/AIDS merupakan masalah global dan terus menjadi ancaman serius dibidang
kesehatan. Secara fisiologis HIV menyerang sistem kekebalan tubuh
penderitanya. Jika ditambah dengan stress psikososial- spiritual yang
berkepanjangan pada pasien terinfeksi HIV, maka akan mempercepat terjadinya
AIDS, bahkan meningkatkan angka kematian.

11
Individu dengan HIV & AIDS yang mendapat perawatan di rumah sakit
akan mengalami kecemasan dan stres pada semua tingkat usia. Penyebab
kecemasan yang dialami pasien tersebut salah satu faktor yang mempengaruhi
selain dari petugas kesehatan adalah keluarga yang menunggui selama perawatan.
Keluarga juga sering merasa cemas dengan perkembangan keadaan pasien,
pengobatan, dan biaya perawatan. Meskipun dampak tersebut tidak secara
langsung kepada pasien, tetapi secara psikologis pasien akan merasakan
perubahan perilaku dari keluarga yang menungguinya selama perawatan (Marks,
1998 dalam Subowo, 1992). Pasien menjadi semakin stres dan berpengaruh
terhadap proses penyembuhannya karena penurunan respon imun. Ader (1885)
dalam Subowo (1992) telah membuktikan bahwa individu yang mengalami
kegoncangan jiwa akan mudah terserang penyakit, karena pada kondisi stres akan
terjadi penekanan sistem imun.
Dalam hal ini, perawat mempunyai peranan penting pada pengelolaan stres
khususnya dalam memfasilitasi dan mengarahkan koping pasien yang konstruktif
agar pasien dapat beradaptasi dengan sakitnya dan pemberian dukungan sosial,
berupa dukungan emosional, informasi, dan material (Batuman, 1990; Bear, 1996;
Folkman & Lazarus, 1988). Salah satu metoda yang digunakan dalam penerapan
teknologi ini adalah menerapkan model Asuhan Keperawatan. Pendekatan yang
digunakan adalah strategi koping dan dukungan sosial yang bertujuan untuk
mempercepat respons adaptif pada pasien terinfeksi HIV, meliputi modulasi
respons imun (Ader, 1991; Setyawan, 1996; Putra, 1999; ) respons psikologis; dan
respons sosial (Steward, 1997).
Adapun perawatan pelayanan paliatif terhadap penderita HIV/AIDS adalah
perawatan kesehatan terpadu yang bersifat aktif dan menyeluruh diberikan
terhadap penderita melalui pendekatan multidisiplin keahlian yang terintegrasi.
Tujuan pelayanan perawatan HIV/AIDS di rumah sakit adalah untuk mengurangi
penderitaan, memperpanjang umur, meningkatkan kualitas hidup, juga
memberikan support kepada keluarga, meski pada akhirnya pasien meninggal,
yang terpenting sebelum meninggal dia sudah siap secara psikologis dan spiritual,

12
serta tidak stres menghadapi penyakit yang dideritanya (Pusat Pengembangan
Paliatif dan Bebas Nyeri RSU Dr. Soetomo, 2008).
Paliatif yang dikembangkan mempunyai prinsip sebagai berikut :
a. Menghargai setiap kehidupan
b. Menganggap kematian sebagai proses yang normal
c. Tidak mempercepat atau menunda kematian
d. Menghargai keinginan pasien dalam mengambil keputusan
e. Menghilangkan nyeri
f. Mengintegrasikan aspek psikologis, sosial, dan spiritual dalam perawatan
pasien dan keluarga
g. Menghindari tindakan medis yang sia-sia
h. Memberikan dukungan yang diperlukan agar pasien tetap aktif sesuai
dengan kondisinya sampai akhir hayat
i. Memberikan dukungan kepada keluarga dalam masa duka cita (Pusat
Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri

2.3 Spiritual Pasien HIV / AIDS

HIV/ AIDS adalah salah satu masalah global yang terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Tingginya kasus HIV/Aids dan kematian akibat
HIV/AIDS memberikan gambaran betapa penyakit tersebut menjadi ancaman
yang serius. Hal penting yang perlu dilakukan oleh pasien adalah melakukan
perawatan kesehatan dengan baik agar kualitas hidupnya tetap optimal dan
meningkatkan umur harapan hidup. Permasalahan yang perlu diantisipasi pasien
agar kualitas hidupnya tetap optimal tidak hanya penanganan masalah penurunan
fisik namun juga antisipasi dan manajemen masalah psikososial dan spiritual.
Pasien perlu melakukan manajemen masalah psikososial dan spiritual dengan
adekuat agar kualitas hidupnya tetap optimal.
Permasalahan spiritual yang dialami oleh pasien penderita HIV/ Aids antara
lain menyalahkan Tuhan, menolak beribadah, beribadah tidak sesuai ketentuan,
gangguan dalam beribadah maupun distress spiritual. Studi kualitatif

13
mengindikasikan bahwa pasien HIV/ Aids akan berakibat buruk pada
spiritualitasnya setelah mengetahui bahwa mereka terdiagnosis HIV/ Aids
(Tarakesh, et al, 2006 dalam Trevino, dkk, 2010). Namun, pasien dengan
manajemen koping yang baik justru mengalami hal yang sebaliknya. Seperti
penelitian yang dilakukan pada pasien HIV/AIDS di Rumah Sakit Sultan Agung
kota Semarang menunjukkan bahwa partisipan utama menerima penyakitnya
dengan ikhlas, pasrah pada Tuhan. Upaya spiritual yang dilakukan untuk
mengurangi dan mengatasi permasalahan psikologi dilakukan dengan lebih
mendekatkan diri kepada Tuhan. Upaya mendekatkan diri pada Tuhan dilakukan
dengan beribadah seperti sholat dan mengaji. Penelitian menunjukkan bahwa
ODHA yang awalnya tidak rajin beribadah menjadi lebih rajin beribadah.
Upaya strategi religius yang dilakukan ODHA sesuai hasil penelitian ini
untuk mengurangi kecemasan dan meningkatkan ketenangan. Seperti yang
disampaikan oleh Bulechek, Butcher, Dochterman dan Wagner, (2012), bahwa
manajemen keperawatan untuk masalah mengatasi masalah psikologis adalah
penurunan kecemasan, dukungan emosi, spiritual dan dukungan keluarga. Hampir
semua responden mengungkapkan setelah beribadah mereka merasa lebih tenang
dan tidak cemas lagi.
Rohaniawan dibutuhkan untuk menguatkan spiritual pasien terminal
(HIV/AIDS), di tengah harapan terhadap perawatan medis yang rendah.
Spiritualitas pasien berupa komitmen agama dan praktik agama menjadi faktor
yang membantu bahkan melindungi resiko progresivitas penyakit HIV/AIDS.
Pendapat di atas dikuatkan oleh Utley dan Wachholtz (2011), yang
menyatakan ada hubungan signifikan antara spiritualitas dengan perkembangan
penyakit. Mereka yang memiliki peningkatan spiritual memberikan efek positif
seperti berkurangnya rasa sakit, munculnya energi positif, hilangnya
psychological distress, hilangnya depresi, kesehatan mental yang lebih baik,
meningkatnya fungsi kognitif dan sosial, serta berkurangnya perkembangan gejala
HIV.
Penelitian lainnya oleh Wyngaard (2013), membuktikan bahwa efektivitas
pendekatan holistik dengan menyentuh aspek spiritual dalam merawat orang

14
dengan HIV/AIDS (ODHA) mampu mengantarkan mereka menemukan kembali
harapan dan makna hidup, serta memperbaiki martabat yang mendapat stigma dan
dihantui perasaan bersalah terhadap diri sendiri atau keluarga, dan meningkatkan
keterampilan untuk bertahan hidup.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 812/Menkes/SK/VII/2007
tentang “Kebijakan Perawatan Paliatif’, menyebutkan bahwa perawatan paliatif
adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan
keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang
dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi
dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-masalah lain,
fisik, psikososial dan spiritual. Van Dyh (2008) menyatakan perawatan paliatif
adalah memenuhi kebutuhan pasien dengan memadukan perawatan medis,
dukungan sosial emosional, konseling, dan perawatan spiritual.
Baylor University School of Nursing (BUSN) (1991 dalam Kemp (1999)
dalam Irsanty (2010) Kebutuhan Asuhan Spiritual mencakup:
1) Makna
a) Pengertian
Yaitu alasan terjadinya suatu peristiwa atau berbagai peristiwa, tujuan hidup,
dan keyakinan akan kekuatan dalam hidup.
Makna dapat ditemukan saat meninjau prestasi eksternal, pencarian ini berupa
pencarian moral atau spiritual, memikirkan kesalahan atau ketidakcukupan.
Pencarian makna juga mencakup makna menjelang ajal, keberadaan manusia,
penderitaan, dan usia hidup yang tersisa Speck, (1998 dalam Kemp, 1999).
Tidak adanya makna dalam kehidupan manusia diungkapkan dengan berbagai
cara melalui kehilangan harapan dan keputusasaan.
b) Pengkajian dan Intervensi
Pengkajian sebaiknya dilakukan secara langsung:
Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan isu yang ada saat ini, komunikasi
secara umum dan hubungan perawat klien. Selain itu pertanyaan yang diajukan
dapat berupa makna menjelang ajal dan penderitaan yang dialami.

15
Intervensi yang diberikan adalah memberikan kesempatan pada individu untuk
mencari makna hidup dan tidak begitu saja diberikan oleh orang lain. Perawat
dapat membantu memberi makna hidup dengan bertindak secara konsisten untuk
memberikan perawatan yang penuh cinta. Walaupun makna dan harapan itu tidak
dapat dipenuhi oleh klien. Klien dapat berdoa bila tidak dapat mencapai
kesempurnaan spiritual.
2) Harapan
Conrad (1985 dalam Kemp, 1999) mengatakan harapan adalah faktor
penting dalam menghadapi stress, dalam mempertahankan kualitas hidup, dan
untuk melanjutkan hidup. Komponen harapan menurut Post-White, dkk (1996
dalam Kemp 1999) adalah menemukan makna melalui iman atau spiritualitas,
memiliki hubungan yang menguatkan, mengandalkan sumber dalam diri,
menjalani kehidupan setiap hari, dan mengantisipasi kelangsungan hidup di masa
depan.
a) Pengkajian dan intervensi
Tujuannya adalah memberikan panduan dalam membantu klien dan
keluarga menemukan harapan yang ada dalam penyakit terminal.
Intervensi utamanya adalah memperkuat hal yang kurang dan memperkokoh
dimensi yang lebih kuat untuk menimbulkan harapan (Kemp 1999).
Saat menjelang ajal adalah waktu yang terbaik untuk melihat keimanan, karena
kebanyakan orang tidak menyadari apa yang ia rindukan sepanjang perjalanan
kehidupannya. Jika pergi ke tempat ibadah tidak mungkin dilakukan secara fisik,
kunjungan dari rohaniawan dapat sangat membantu. Lagu dan ritual agama klien
bahkan dapat lebih menyenangkan dibandingkan dengan konseling.
Dinamika harapan dibangun dari tiga unsur utama: harapan, putus asa, dan
hubungan timbal balik antara harapan dan putus asa. Keseimbangan yang
bergantian antara harapan, putus asa, dan keputusasaan berdasarkan pada faktor
yang berkontribusi terhadap harapan dan putus asa yang muncul sebagai sentral
dalam dinamika harapan. Dinamika harapan berhubungan erat dengan proses
dasar untuk mencari cara sendiri dengan HIV/AIDS, mendalami menjadi HIV-
positif, dan hidup dengan HIV/ AIDS. Hal signifikan lainnya, dinamika harapan

16
berhubungan erat dengan HIV, berubah dari abstrak ke konkret dalam hubungan
dengan klien dengan HIV/Aids (Kylma, Julkunen & Lahdevirta, 2003).

3) Keterkaitan dengan Tuhan


Kemp (1999) mengatakan Tuhan adalah Yang Maha melebihi manusia. Ini
sangat penting dalam kenyamanan yang berasal dari keterkaitan dengan Tuhan:
Ada Yang maha dari penderitaan ini, Yang Maha dari ketakutan ini, Yang Maha
dari ketidakmampuan kita.
Pengkajian diawali dengan melihat apakah kehidupan individu ditandai
dengan harapan, makna, hubungan terbuka, dan penerimaan diri atau dengan
keputusasaan, kesia-siaan, isolasi dan rasa bersalah.
Pertanyaan yang spesifik: menelusuri mengenai keyakinan individu tentang
Tuhan atau agama, hubungan individu dengan Tuhan, kehidupan agama dan
spiritual individu saat ia masih muda dan sudah tua, serta aspek kehidupan
spiritual atau agama yang hilang. Pertanyaan yang sangat baik adalah: ”menurut
anda apa yang ingin disampaikan Tuhan pada anda saat ini?”
Inti dari asuhan spiritual adalah asuhan itu sendiri bukan upaya untuk
meyakinkan klien untuk meyakini kepercayaan orang lain.

4) Pengampunan atau penerimaan


Ditandai dengan rasa bersalah, menghadapi situasi hidup yang
menyakitkan. Beberapa individu menganggap proses ini sebagai sesuatu yang
berkaitan dengan dosa, penyesalan, pengampunan dan hukuman. Klien
mengalami rasa bersalah yang berat akibat perasaan menyimpang atas dosa atau
tanggungjawab mereka sendiri terkait dengan keadaan yang menyakitkan di
kehidupan mereka. Tujuan dari kehidupan moral atau spiritual adalah
mengungkap jenis pertahanan yang membantu banyak untuk mengatasi situasi
hidup yang menyakitkan (Kemp, 1999).
Intervensi yang diberikan oleh petugas kesehatan adalah menunjukkan
pengampunan dan penerimaan dengan cara memberikan perawatan yang penuh
perhatian secara terus menerus sehingga dapat menunjukkan kepada klien

17
kemungkinan bahwa pengampunan dan penerimaan dapat dilakukan. Tidak
membeda-bedakan agama dan kepercayaan, tugas utamanya adalah melaksanakan
kemurahan hati. Intervensi yang dilakukan oleh perawat adalah intervensi pasif.

18
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sebuah retrovirus yang
menginfeksi sel- sel sistem imun, menghancurkan atau merusak fungsi dari sel-sel
sistem imun. Virus HIV ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah,
cairan sperma, cairan vagina, dan air susu ibu. HIV/AIDS pun tergolong ke dalam
penyakit krokik dan membutuhkan perawatan koprehensif tidak hanya dari
petugas kesehatan tetapi juga dari keluarga dan anggota masyarakat lain.
HIV/AIDS cenderung mendapatkan stigma dalam aspek psikososial dan
spiritualnya, dimana psikososial adalah suatu kondisi yang terjadi pada individu
yang mencakup aspek psikis dan sosial atau sebaliknya. Psikososial menunjuk
pada hubungan yang dinamis antara faktor psikis dan sosial, yang saling
berinteraksi dan memengaruhi satu sama lain.
Beberapa bentuk stigma dan diskriminasi yang didapatkan oleh Orang Dengan
HIV/AIDS yakni
1. Dianggap remeh dan mendapat judgement yang buruk
2. Tidak diberikan jaminan untuk mendapatkan fasilitas yang lain
3. Adanya “labelling” terhadap pasien
4. Penggunaan alat perlindungan diri yang berlebihan terhadap pasien
5. Tes HIV tidak dilakukan secara tuntas
6. Konseling pre dan post yang tidak adekuat
7. Hasil test HIV biasanya diberikan oleh pasien sendiri
8. Tidak adanya jaminan kerahasiaan terhadap hasil tes kepada keluarga dan
staf kesehatan yang tidak merawat pasien tersebut
9. Penolakan/denial terhadap perawatan
Hal tersebut terjadi karena kurangnya :
1. Pengetahuan tentang HIV/AIDS
2. Tingkat pendidikan

19
3. Lama bekerja
4. Persepsi tentang ODHA

3.2 Saran
1. Diharapkan masyarakat dapat memfasilitasi Odha dan keluarga Odha
untuk bisa memperoleh dukungan dari keluarga Odha lainnya dengan
membentuk. Berikan dukungan yang bersifat komprehensif (dukungan
sosio-ekonomi sebagai dampak pengobatan yang harus diberikan kepada
penderita dan harga obat penyanggah yang sangat mahal, dukungan HAM
dan hukum, dukungan medis dan terapi, dukungan psikososial dan
spiritual).
2. Melakukan strategi untuk mengurangi stigma dan diskriminasi kepada
Odha dan keluarga yang terinfeksi HIV dan AIDS, misalnya dengan
penyebarluasan informasi yang benar tentang HIV/AIDS dan cara
pencegahannya melalui media massa, ataupun dengan memberi advokasi
kepada para pengambil kebijakan dan anggota parlemen untuk
menghasilkan peraturan-peraturan yang berorientasikan pada masalah
keluarga, khususnya masalah anak yang terdampak HIV dan AIDS.
3. Hendaknya seluruh praktisi kesehatan mengetahui tentang informasi HIV
dan AIDS dengan benar, sehingga tidak terjadi perlakuan diskriminatif
bagi pasien Odha dan keluarganya.
4. Dengan bekal pendidikan dan pengetahuan yang baik tentang HIV dan
AIDS, praktisi kesehatan (dokter, perawat, dan petugas kesehatan lainnya)
diharapkan mampu memberikan informasi yang benar kepada Odha dan
keluarganya tanpa membuat Odha dan keluarga Odha menjadi takut
terhadap penyakit tersebut.

20
Daftar Pustaka

Armiyati, Y., Rahayu, D. A., & Aisah S. (2015). The 2nd University Research
Coloquium . Manajemen Masalah Psikososiospiritual Pasien
HIV/AIDS di Kota Semarang, ISSN 2407-9189, 548 – 556.
Collein, I. (2012). Makna Spiritualitas Pada pasien HIV/AIDS dalam Konteks
Asuhan Keperawatan di RSUP dr. Mangunkusumo Jakarta. Diakses
dari http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20283094-
T%20Irsanty%20Collein.pdf
Dinas Kesehatan NTB (2012). Profil Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Barat tahun
2012
Hidayanti, E., Hikmah, S., Wihartati, W., & Handayani, M. R. (2016). Religia.
Kontribusi Konseling Islam dalam Mewujudkan Palliative Care Bagi
Pasien HIV / AIDS di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang, 19
(1), 113 – 132.
Martiningsih., Haris, Abdul., Wulandari, A. 2015. Stigma Petugas Kesehatan
terhadap Pasien HIV/AIDS dan Problem Solving, I (2), 1471 – 1477.
Retrieved from http://poltekkes-mataram.ac.id/cp/wp-
content/uploads.2015/08/1.-Martiningsih.pdf
Pria Wahyu Romadhon Girianto, Wiwik, (2017), Hubungan Dukungan
Psikososial Keluarga Dengan Tingkat Stres Pasien Hiv/Aids.
Kediri: Prodi S1 Keperawatan STIKES Karya Husada Kediri.
Sri Budiarti (2016) Gambaran Dukungan Keluarga Pada Pasien Hiv/ Aids di Rs
Paru Dr. Ario Wirawan Salatiga, Program Studi Keperawatan
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta
UNICEF, Indonesia. 2012. Ringkasan Kajian : Respon terhadap HIV & AIDS.
www.unicef.co.id
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/169/jtptunimus-gdl-oktayuanit-8436-3-
babii.pdf

21

Anda mungkin juga menyukai