Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Menurut Hutajulu,et.all (2014), Penegakan hukum dan peningkatan keamanan
di laut Indonesia (Perairan) Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif) yang luasnya 6
juta km2 tersebut (3 kali dari luas darat) masih memerlukan perhatian yang besar,
termasuk penegakan hukum dan pengamanan di Alur Laut Kepulauan Indonesia
(ALKI). Peningkatan kemampuan penegakan hukum dan pengamanan ini mencakup
suatu kerja sama yang erat antara kegiatan-kegiatan di darat, laut, dan udara. Usaha-
usaha meningkatkan monitoring, kontrol, surveillance, serta kegiatan-kegiatan
penyelidikan dan proses pengadilan harus ditata dengan sebaik-baiknya.
Upaya penegakan memerangi pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, selama ini
Kementerian Kelautan dan Perikanan, instansi penegak hukum, dan Pemerintah
Daerah berjalan sendiri-sendiri. Tidak ada gerakan serentak dan serius untuk
memeranginya.Bahkan ada instansi tertentu yang ikut bertugas sebagai pengawas dan
penyidik terhadap pencurian ikan sengaja membiarkan praktek ini karena menikmati
setoran dari pelaku pencurian ikan.
Upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana pencurian ikan di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia
sangat terkait dengan peraturan hukum dan institusi penegak hukum, kalau yang
pertama menyangkut peraturan perundang-undangannya, sedangkan yang kedua
menyangkut institusi penggeraknya, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan,
TNI-AL, Kepolisian RI, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Penegak hukum
merupakan bagian tak terpisahkan dari pembangunan hukum, sedangkan
pembangunan hukum itu sendiri adalah komponen integral dari pembangunan
nasional.Salah satu penyebab utama pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia ialah lemahnya
pengawasan akibat rendahnya integritas moral serta kurangnya sarana dan prasarana
yang memadai.Keadaan yang kurang menggembirakan ini menyebabkan suburnya
pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan
Republik Indonesia, namun kelemahan sistem tersebut tidak dapat berdiri sendiri.Ia
adalah produk dari integritas moral, karena yang dapat berfikir perlunya diperbaiki
sistem ialah yang bermoral. Orang yang tidak bermoral atau bermoral rendah
meskipun tidak mungkin terdorong untuk memperbaiki sistem karena kelemahan
sistem itu sendiri diperlukannya untuk melakukan penyelewengan.Pola perbuatan ini
sudah menjadi salah satu gejala umum yang sulit diberantas, karena terbatasnya akses
ke laut untuk melihat perilaku aparat pengawas perikanan.
Tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia oleh nelayan asing menurut audit BPK
mencapai 30 trilyun rupiah pertahun. Menarik pula, pelaku tindak pidana pencurian
ikan yang dilakukan nelayan asing di perairan Zona Ekonomi Eksklusif tidak boleh
dijatuhi pidana penjara selama belum ada perjanjian antara Pemerintah Republik
Indonesia dengan pemerintah Negara yang bersangkutan.
Menurut Silalahi (2006), hasil penelitian menunjukkan bahwa akibat atau
dampak yang timbul dari pencurian ikan (illegal fishing) yaitu hilangnya pendapatan
dan penerimaan Negara dan juga terlebih lagi yaitu rusaknya lingkungan sumberdaya
perikanan, berkurangnya pendapatan dan bertambahnya biaya operasional nelayan
untuk melaut. Pertanggungjawaban pidana pelaku usaha pencurian ikan yang
dilakukan tanpa SIPI dan SIUP diatur dalam pasal 92 dan pasal 93 ayat (1) dan (2)
UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu Ilegal Fishing ?
2. Apa saja penyebab terjadinya Illegal Fishing ?
3. Bagaimana dampak yang ditimbulkan akibat adanya illegal fishing ?
4. Apa saja hukum – hukum yang menatur tentang illegal fishing ?
5. Seperti apa contoh kasus dalam illegal fishing ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Illegal Fishing
2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya Illegal Fishing
3. Untuk mengetahui dampak dari Illegal Fishing
4. Untuk mengetahui tentang hukum yang mengatur Illegal Fishing
5. Untuk mengetahui kasus / aktivitas dari Illegal Fishing

1.4 Manfaat
1. Manfaat Teoritis.
a. Menambah bahan pustaka dalam ilmu hukum, khususnya Hukum Pidana
Khusus dan Hukum Laut Internasional mengenai masalah Illegal Fishing.
b. Memberi masukan bagi penulis selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Memberi masukan bagi Pemerintah Indonesia untuk lebih berperan
aktif dalam penanganan kasus Illegal Fishing.
b. Memberikan gambaran kepada masyarakat di Indonesia tentang
Hukum Pidana Khusus dan Hukum Laut Internasional.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Undang-undang Illegal Fishing

1. Pasal 26 ayat (1) :


“Setiap orang yang melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan,
pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan dan pemasaran ikan diwilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib memiliki SIUP”.
2. Pasal 26 ayat (2) :
“Kewajiban memiliki SIUP sebagaimana dimaksud ayat (1), tidak berlaku bagi
nelayan kecil dan/atau pembudidaya ikan kecil”.
3. Pasal 27 ayat (1) :
“Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera Indonesia yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau laut lepas wajib memiliki
SIPI”.
4. Pasal 27 ayat (2) :
“Setiap orang yang memiliki dan/atau pengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing yang dipergunakan untuk melakukan penangkapanikan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib memiliki SIPI”.
5. Pasal 27 ayat (3) :
“SIPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Menteri”.
6. Pasal 27 ayat (4) :
“Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di
wilayah yurisdiksi negara lain harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari
Pemerintah”.

7. Pasal 93 ayat (1) :


“Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikandi wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memilikiSIPI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliarrupiah)”.
8. Pasal 104 ayat (12) :
“Benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak
pidana perikanan dapat dirampas untuk Negara”.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 PENGERTIAN ILLEGAL FISHING


3.1.1 Menurut Undang – Undang ( UU )
Acuan larangan ilegal fishing diatur dalam undang-undang yaitu sebagai berikut :

Dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004


tentang Perikanan disebutkan bahwa orang atau badan hukum asing itu dapat masuk
ke wilayah ZEE Indonesia untuk melakukan usaha penangkapan ikan berdasarkan
persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional.

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan sebagaimana dalam


pasal 8 yakni: “Setiap orang dilarang melakukan penangkapan ikan dan/atau
pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan
peledak, alat dan/atau cara, dan/atau banguanan yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan atau/lingkungannya di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia.”

3.1.2 Menurut Literatur


Sedangkan menurut Qodir dan Udiyo Basuki ( 2014), Illegal fishing secara
sederhana berarti bahwa penangkapan ikan dilakukan dengan melanggar aturan-aturan
yang telah ada, atau kegiatan penangkapan ikan dapat dikatakan illegal jika terdapat
aturan-aturan tetapi ternyata dalam pelaksanaannya aturan-aturan tersebut tidak
efektif ditegakkan di lapangan. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan ilegal fishing
merupakan kegiatan yang menyalahi aturan baik UUD maupun hukum adat.

3.2 PENYEBAB ILLEGAL FISHING


3.2.1 Penyebab Terjadinya Illegal Fishing
1. Faktor Ekonomi.
Sebagaimana telah dikemukakan oleh Aristoteles bahwa kemiskinan
dapat menimbulkan kejahatan / pemberontakan. Demikian pula Illegal
Fishing, alasan pokok yang dikemukakan oleh pelaku adalah karena
faktor ekonomi. Pelaku mengaku bahwa mereka melakukan Illegal
Fishing karena tidak memiliki pekerjaan atau karena hidup mereka
bergantung pada hasil penangkapan ikan mereka, sedangkan keluarga
mereka memerlukan berbagai kebutuhan hidup. Oleh karena itu
melakukan Illegal Fishing menjadi alternative mereka untuk
kelangsungan hidup mereka.
Kondisi ekonomi Indonesia yang tak menentu membuat tuntutan
hidup juga semakin besar serta penyediaan lapangan kerja yang kurang
menyebabkan tuntutan hidup masyarakat juga ikut bertambah sehingga
mereka membutuhkan penghasilan yang besar pula untuk menopang
perekonomian individu agar bisa hidup layak.
2. Faktor Pengetahuan
Selain faktor ekonomi, maka faktor rendahnya pengetahuan
nelayan juga mendorong terjadinya illegal fishing. Nelayan cenderung
tidak mengetahui larangan illegal fishing terutama penggunaan bahan
peledak. Nelayan kurang mengetahui dampak penggunaan bahan
peledak yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan laut.
Berdasarkan wawancara dengan Kanit Patroli AKBP Takbir
(wawancara tanggal 25 September 2013) bahwa Nampak ada
beberapa faktor yang mendorong terjadinya illegal fishing yakni salah satunya
adalah rendahnya pengetahuan masyarakat tentang larangan penggunaan bahan
peledak dan dampak yang ditimbulkan darI penggunaan bahan peledak terhadap
kehidupan biota laut. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat yang terjerumus
menggunakan
bahan peledak untuk meningkatkan hasil tangkapannya. Kurangnya
penyuluhan dan peningkatan pengetahuan masyarakat nelayan
menyebabkan banyak di antara masyarakat nelayan tidak mengetahui
bahaya yang dapat ditimbulkan dari penggunaan bahan peledak
termasuk dampak yang lebih jauh terhadap lingkungan laut. Apabila
persoalan ini tidak ditangani secara serius maka hal ini dapat
menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar bagi generasi yang
akan datang, diantaranya matinya flora dan fauna laut bersama
habitatnya.
3. Faktor Pendidikan
Faktor lain adalah pendidikan. Tingkat pendidikan seseorang dapat
mempengaruhi tindakan mereka untuk melakukan suatu tindak kejahatan.
seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, dalam bertindak dan
berperilaku cenderung berpikir dengan menggunakan kerangka pikir yang baik
dan sistematis sehingga segala perbuatannya cenderung dapat dipertanggung
jawabkan, lain halnya dengan orang yang memiliki tingkat pendidikan yang
rendah dalam melakukan tindakan terkadang berpikiran sempit.
Menurut SATPOLAIR Polres pelabuhan KOMBES POL H.
Harisanyoto, AMKA (wawancara tanggal 25 September 2013), para
pelaku yang tertangkap umumnya hanya memiliki pendidikan
setingkat SD ataupun tidak bersekolah. Sehingga disimpulkan pelaku
illegal fishing memiliki pendidikan yang tergolong rendah.

3.3 DAMPAK AKIBAT ILLEGAL FISHING


3.3.1 Dampak Ekonomi
Berdasarkan data dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia ( Food
and Agriculture Organization / FAO ) menyatakan bahwa kerugian Indonesia
akibat ILEGAL Fishing diperkirakan mencapai Rp. 30 triliun per tahun. FAO
menyatakan bahwa saat ini stok sumber daya ikan di dunia yang masih
memungkinkan untuk ditingkatkan penangkapannya hanya tinggal 20 persen,
sedangkan 55 persen sudah dalam kondisi pemanfaatan penuh dan sisanya 25
persen terancam kelestariannya.
Hal ini diperjelas dengan pernyataan dari Kementerian Kelautan
Perikanan (KKP) bahwa tingkat kerugian tersebut sekitar 25 persen dari total
potensi perikanan yang dimiliki Indonesia sebesar 1,6 juta ton per tahun.
Berdasarkan data tersebut, setiap tahun diperkirakan Indonesia mengalami
kerugian akibat ILEGAL Fishing sebesar Rp. 101.040 trilliun/tahun. Kerugian
ekonomi lainnya, adalah hilangnya nilai ekonomis dari ikan yang dicuri,
pungutan hasil perikanan (PHP) akan hilang, dan subsidi BBM dinikmati oleh
kapal perikanan yang tidak berhak. Selain itu Unit Pengelolaan Ikan (UPI)
kekurangan pasokan bahan baku, sehingga melemahkan upaya pemerintah
untuk mendorong peningkatan daya saing produk perikanan. memenuhi
syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.
3.3.2 Dampak Politik
Salah satu pemicu konflik atau ketegangan hubungan diplomatik
diantara negara-negara adalah permasalahan ILEGAL Fishing. Terutama
mengganggu kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
menimbulkan citra negatif, karena beberapa Negara menganggap kita tidak
mampu mengelola sumber daya kelautan dengan baik. Apalagi menyangkut
hubungan bilateral antar negara yang berdekatan / bertetangga, yang dilakukan
oleh kapal nelayan tradisional (traditional fishing right), atau kapal-kapal
pukat( trawlers) yang dimiliki oleh setiap negara. Pada beberapa kasus
tradisional fishing right, yang sering terjadi adalah di perbatasan Indonesia –
Malaysia dan Indonesia – Australia. Sebagai upaya untuk memperkecil
ketegangan diantara kedua negara, diperlukan telaah ulang terhadap perjanjian
bilateral terkait dengan ha ltersebut.
3.3.3 Dampak Sosial
Kegiatan ILEGAL Fishing di Perairan Indonesia, menjadi perhatian dan
komitmen Pemerintah untuk mengatasinya. Bagi Indonesia dan negara-negara
di kawasan Asia Tenggara, sector perikanan dan kehutanan menjadi sumber
utama bagi ketahanan pangan di Kawasan tersebut Eksploitasi secara besar-
besaran dan drastis sebagai upaya utama perbaikan ekonomi Negara dan
kesejahteraan penduduk menjadi alasan dan penyebab utama berkurangnya
secara drastis sumber daya perikanan. Dampak social muncul dengan
rawannya terjadi konflik konflik / sengketa diantara para nelayan tradisional
antar Negara dan pemilik kapal pukat / trawl.
Seiring dengan berkurangnya hasil tangkapan dan kegiatan ILEGAL
Fishing, maka secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kelangsungan
hidup karyawan pengolahan pabrik ikan. Pasokan ikan yang berkurang,
menyebabkan beberapa perusahaan tidak beroperasi lagi dan banyak terjadi
pemutusan hubungan kerja ( PHK ) karena tidak ada lagi pasokan bahan baku.
3.3.4 Dampak Ekologis
Dampak yang muncul adalah kejahatan pencurian ikan yang berakibat
pada rusaknya sumber daya kelautan dan perikanan. Alat tangkap yang
digunakan dalam bentuk bahan beracun yang akan merusak terumbu karang
( alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan ), sebagai tempat berpijahnya
ikan, akan berakibat makin sedikitnya populasi ikan dalam suatu perairan
tertentu, atau menangkap menggunakan alat tangkap ikan skala besar ( seperti
trawl dan Pukat harimau ) yang tidak sesuai dengan ketentuan dan keadaan
laut Indonesia secara semena-mena dan eksploitatif, sehingga menipisnya
sumber daya ikan , hal ini akan mengganggu keberlanjutan perikanan.
Kebijakan Pemerintah terkait dengan penangkapan ikan harus memenuhi
aturan dan criteria adanya Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI), penetapan zona
penangkapan ( fishing ground ), jenis tangkapan ikan, jumlah tangkapan yang
sesuai dengan jenis kapal dan wilayah tangkap ( total allowable catch ), dan
alat tangkapnya.

3.4 HUKUM ILLEGAL FISHING


Sistem peradilan pidana merupakan istilah yang digunakan sebagai padanan
Criminal Justice System. Buku Romli Atmasasmita dalam bukunya “ Sistem
Peradilan Pidana Kontemporer”. Pengertian itu lebih banyak menekankan pada suatu
pemahaman mengenai jaringan di dalam lembaga peradilan. Pengertian itu juga
menekankan pada fungsi dari jaringan tersebut untuk menegakkan hukum pidana.
Tekanannya bukan semata-mata pada adanya penegakan hukum oleh peradilan
pidana, melainkan lebih jauh lagi dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum
tersebut, peradilan menjalankannya dengan membangun suatu jaringan.
a. Pengaturan Hukum Terhadap Perampasan Benda dan/atau Alat
yang dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari Tindak
Pidana Pencurian Ikan.
Pemerintah menilai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tidak dapat lagi
mencegah secara efektif tindak pidana pencurian ikan di perairan Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia yang
semakin lama semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif, serta bentuk
kejahatannya yang semakin terorganisir. Secara subtansial, perubahan yang signifikan
pada Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 dibandingkan dengan undang-undang
yang terdahulu, adalah penekanan pada ketentuan sanksi pidana berat terhadap kapal
asing yang melakukan tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia. Sejarah lahirnya Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 ini ada tersirat
bahwa undang-undang ini dirubah karena terdapat kekurangan. Beberapa hal yang
dapat kita cermati tentang perubahan-perubahan substansial antara undang-undang
nomor 31 Tahun 2004 dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 antara lain
pada ;

1. Hal Pembatasan Penangkapan


Kapal penangkap ikan berbendera asing tidak diperbolehkan menangkap ikan
di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia tanpa memiliki Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Indonesia.
2. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI )
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 93 tidak
menyebutkan secara jelas mengenai Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI ),
melainkan Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Melalui Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 2009, penyebutan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sudah
sangat tegas dan jelas. Penegasan itu dapat dilihat pada Bab XV Ketentuan Pidana
Pasal 93 ayat (2) menyatakan, “Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan
kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di ZEEI yang
tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp.
20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah).
3. Hal Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan yang di emban TNI-AL dan
Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kewenangan besar bagi TNI-AL dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Kementerian Kelautan dan Perikanan yang diberikan Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 untuk mencegah dan memberantas pencurian ikan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI) perairan Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia merupakan salah satunya tugas berat yang harus dilaksanakan. Dalam
melaksanakan fungsi dan tugasnya, penyidik dan pengawas perikanan dapat
melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan atau penenggelaman kapal
perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
4. Putusan Perampasan Benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/ atau
yang dihasilkan dari Tindak Pidana Pencurian Ikan.
Pasal 104 ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan digunakan untuk
menempatkan benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan
dari tindak pidana pencurian ikan menjadi rampasan melalui putusan pengadilan.
5. Peran Serta Masyarakat Diperlukan
Selain TNI-AL dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kelautan dan
Perikanan dan Penegak Hukum lainnya, Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
juga diikutsertakan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
6. Tidak Mementingkan Unsur Kesengajaan
Tindak Pidana Pencurian Ikan di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
“setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan “ dalam beberapa pasal
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dengan tidak memperdulikan unsur
kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang memang sebenarnya tidak mempunyai
niat melakukan tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
7. Penggunaan Sistem Pidana Penjara

Penggunaan Sistem Pidana Penjara terhadap pelaku tindak pidana pencurian


ikan oleh Nelayan Asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia tidak diberlakukan.Penahanan pun tidak
boleh dilakukan oleh penyidik.Ketika ditangkap di Tempat Kejadian Perkara,
selanjutnya tersangka di bawa untuk diproses dengan membuat Berita Acara
Pemeriksaan (BAP).Setelah selesai diperiksa, tersangka harus secepatnya dipulangkan
ke negara asalnya tanpa ditahan terlebih dahulu.

8. Persamaan Hukuman Bagi Percobaan dan Tindak Pidana

Selesai Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas


Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyamakan hukuman
pidana bagi pelaku tindak pidana selesai dengan pelaku tindak pidana percobaan.
Tindak Pidana Pencurian Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI ) adalah
suatu kejahatan karena perbuatan tersebut memiliki efek yang sangat besar yaitu
merugikan Negara lebih kurang 30 trilyun rupiah per tahun. Dari ketentuan pidana
yang diatur dalam Bab XV Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dapat dikelompokkan dari
segi bentuk perbuatannya yaitu Kejahatan dan pelanggaran.

Pasal 93 ayat ( 2 ) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan


atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang berbunyi : “
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing melakukan penangkapa ikan di ZEEI yang tidak memiliki SIPI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat ( 2 ), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp.20.000.000.000,- (dua puluh
miliar rupiah )”.

3.5 Aspek Hukum Penanganan Tindak Pidana Perikanan (Illegal Fishing) Di Indonesia

Bahwa dalam penerapan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004


sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Tindak Pidana Perikanan, bahwa ketentuan Hukum Acara Pidananya
sebagian telah diatur secara limitatif dan khusus dalam UU
Tindak Pidana Perikanan tersebut dan beberapa hal yang belum diatur secara
khusus dalam UU Tindak PidanaPerikanan, tetap tunduk pada ketentuan
UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
Tindak Pidana Perikanan diantaranya adalah berupa “penangkapan ikan
secara illegal” atau yang sering disebut sebagai ILLEGAL
FISHING, yaitu antara lain :

 Pengertian ILLEGAL FISHING, ada 6 (enam) katagori, sebagai contoh,yaitu:


1. Penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
tanpa ijin ;
2. Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan ijin palsu ;
3. Kegiatan penangkapan ikan tidak dilaporkan di pelabuhan pangkalan;
4. Membawa hasil tangkapan langsung ke luar negeri ;
5. Menggunakan alat penangkapan ikan terlarang ;
6. Menggunakan alat penangkapan ikan dengan jenis / ukuran alat tangkap
yang tidak sesuai dengan ijin .

 MODUS ILLEGAL FISHING, antara lain :


1. Double Flagging ( penggunaan bendera kapal ganda ) ;
2. Manipulasi data dalam mendaftarkan kapal eks. Asing menjadi KII
( manipulasi Delition Certificate dan Bill of Sale ) ;
3. Transhipment di tengah laut ( kapal penangkap ikan melakukan kegiatan
penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
dan memindahkan hasil tangkapan ke kapal pengumpul yang sudah
menunggu di batas luar ZEEI ) ;
4. Mematikan atau memindahkan Vesel Monitoring System ( VMS ) ke kapal
lain ;
5. Satu ijin untuk beberapa kapal yang sengaja dibuat serupa ( bentuk dan
warna) ;
6. Memasuki wilayah Indonesia dengan alasan tersesat atau menghindar dari
badai ;
7. Melakukan lintas damai namun tidak menyimpan alat penangkapan ikan
di dalam palka ( alat penangkapan ikan kedapatan dalam kondisi basah ) ;
8. Alasan Traditional Fishing Right (kapal-kapal Pump Boat);
9. Menangkap ikan tidak pada Fishing Ground yang telah ditetapkan ;
10. Untuk alat tangkap pukat ikan ukuran mata jaring < dari 50 mm, head rope
dan ground rope melebihi yang tertera pada ijin ;
11. Jaring insang ( Gill Nett melebihi panjang maksimal /10.000 meter ) ;
12. Penangkapan ikan dengan menggunakan pukat harimau ( Trawl) atau
pukat yang ditarik dua kapal ( Pair Trawl ) ;

 Faktor penyebab terjadinya ILLEGAL FISHING, yaitu antara lain :


1. Industri pengolahan ikan darui negara tetangga harus bertahan ;
2. Perairan untuk area penangkapan ikan ( Fishing Ground ) di negara lain,
sumber dayanya makin habis, disamping itu untuk rasionalisasi armada
penangkap ikan ;
3. Terjadinya Disparitas harga ikan ;
4. Adanya fenomena bahwa laut di wilayah Indonesia sangat terbuka dan
banyak terkandung ikan ;
5. Lemahnya pengawasan wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
;

 Tempat Kejadian atau locus delicti ILLEGAL FISHING, yaitu antara lain :
1. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI ) ;
2. Laut teritorial ;
3. Laut Natuna, nelayan asing yang melakukan Illegal Fishing antara lain
dari Taiwan, Vietnam, Thailand, Malaysia ;
4. Sulawesi Utara bagian utara, nelayan yang melakukan Illegal Fishing
antara lain dari Philipina ;
5. Laut Arafura, nelayan asing yang melakukan Illegal Fishing antara lain
Thailand, RRC, Taiwan .

 Bahwa dalam menangani perkara Tindak Pidana Perikanan, disyaratkan jaksa


Penuntut Umum yang ditunjuk secara khusus . Adapun Jaksa Penuntut Umum
yang ditunjuk untuk menangani perkara TP. Perikanan, sebagaimana diatur dalam
pasal 75 UU Nomor 31/2004 sebagaimana diubah UU Nomor 45 / 2009, yaitu :
1. Ditetapkan oleh Jaksa Agung RI ;
2. Berpengalaman menjadi penuntut umum minimal 2 (dua) tahun ;
3. Telah mengikuti Diklat Teknis di bidang perikanan ;
4. Cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi selama menjalankan
tugasnya .

 Substansi yang diatur dalam UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang TP. Perikanan,
antara lain :
1. Terkait pengawasan dan penegakan hukum, yaitu :
- Mekanisme koordinasi antar instansi penyidik dalam penyidikan TP.
Perikanan ( Bakorkamla ) ;
- Penerapan sanksi ( pidana badan atau denda ) ;
- Hukum Acara Pidana ( limitatif batas waktu penyelesaian perkara ) ;
- Adanya kemungkinan upaya penenggelaman kapal berbendera asing .
2. Terkait pengelolaan perikanan, antara lain :
- Ke-Pelabuhan perikanan ;
- Konservasi ;
- Perijinan ;
- Ke-syahbandaran .
3. Terkait perluasan Yurisdiksi Pengadilan Perikanan .

 Mekanisme Penanganan Perkara TP. Perikanan :


- Penyidik memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Penuntut
Umum ( SPDP ) paling lama 7 (tujuh) hari sejak ditemukan adanya tindak
pidana di bidang perikanan ;
- Penerimaan berkas perkara ( tahap satu ), yaitu bahwa :
1. Penyidikan kasus TP. di bidang Perikanan di wilayah pengelolaan
perikanan RI dilakukan oleh PPNS Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL
dan atau Penyidik Polri ;
2. Untuk Locus Delicti di wilayah ZEEI, JPU hanya menerima berkas perkara
yang disidik oleh PPNS perikanan ( PSDKP ) dan penyidik perwira TNI AL
dan berkas perkara TP. Perikanan dengan locus delicti di ZEEI yang disidik
oleh penyidik Polri, JPU agar memberikan petunjuk untuk dilakukan
penyidikan ulang oleh penyidik yang berwenang sesuai pasal 73 ayat 2 UU
Nomor 45 tahun 2009, yaitu penyidik PPNS Perikanan (PSDKP)
atau penyidik perwira TNI AL ;
3. Penelitian berkas perkara ( Pra Penuntutan ) oleh JPU harus melakukan
penelitian syarat formil yaitu mencakup identitas tersangka, penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan BB, daftar BB, dan penelitian syarat
materiil yaitu antara lain unsur pasal yang disangkakan terkait wilayah
( ZEEI atau diluar ZEEI ) dimana khusus untuk wilayah ZEEI wajib
dijuncto-kan dengan pasal 102 UU nomor 45 / 2009, tempos dan locus
delicti ( terkait kompetensi absolut dan relatif ), peran masing-masing
tersangka, keterangan saksi dan ahli .
4. Tenggang waktu penelitian berkas perkara maksimal 5 (lima) hari
terhitung sejak tanggal diterimanya berkas perkara hasil penyidikan ;
5. Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 5 hari, JPU tidak
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik ;
6. Dalam waktu paling lama 10 hari terhitung sejak tanggal penerimaan
berkas perkara, penyidik harus menyampaikan kembali berkas perkara
tersebut kepada JPU ;
7. JPU melimpahkan berkas perkara kepada Ketua PN paling lama 30
(tigapuluh) hari sejak tanggal berkas perkara dinyatakan lengkap oleh
JPU (P-21) ;
 Waktu penahanan dalam perkara di bidang perikanan :
1. Penyidikan ( pasal 73 ayat 4 UU Nomor 45 /2009)
 Penyidik dapat melakukan penahanan terhadap tersangka maksimal 20
(duapuluh) hari ;
 Perpanjangan JPU maksimal 10 (sepuluh) hari ;
Setelah waktu 30 (tigapuluh) hari, penyidik harus mengeluarkan tersangka
dari tahanan .
2. Penuntutan ( pasal 76 ayat 6 UU Nomor 45 / 2009)
 JPU dapat melakukan penahanan terhadap tersangka maksimal 10
(sepuluh) hari ;
 Perpanjangan oleh Ketua PN maksimal 10 (sepuluh) hari .

 Pengendalian Penuntutan :
1. Pengendalian Penuntutan perkara TP. Perikanan dilakukan oleh Kepala
Kejaksaan Negeri, yaitu dalam hal :
 Terdakwa adalah anak di bawah umur;
 Kapal berbendera Indonesia, milik WNI, bobot dibawah 5 GT dengan SIB
yang dikeluarkan syahbandar ;
 Nelayan tradisional, perahu muat 2 orang, menangkap ikan dengan
menggunakan potasium / racin ;
 Nelayan tradisional, perahu muat 2 orang, mengambil soft coral (karang
lunak) ;
 Tindak Pidana terjadi di laut pedalaman .
2. Pengendalian Penuntutan perkara TP. Perikanan dilakukan oleh Kepala
Kejaksaan Tinggi, yaitu dalam hal :
 Diluar ketentuan sebagaimana menjadi kewenangan pengendalian
Kepala Kejaksaan Negeri ;
3. Pengendalian Jaksa Agung Cq Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus,
yaitu dalam hal :
 Kapal milik WNA, berbendera asing, Nakhoda WNA atau ABK WNA,
kapal milik WNI atau berbendera Indonesia yang mengalihkan muatan ke
kapal asing di tengah laut ;
 Perkara menarik perhatian masyarakat, berskala nasional, internasional
dan menjadi perhatian pimpinan.

 Petunjuk Teknis penanganan perkara TP. Perikanan, antara lain adalah :


1. Surat Jaksa Agung RI Nomor : B-093/A/Ft.2/12/2008 tanggal 24
Desember 2008 perihal Pengendalian dan Percepatan Tuntutan perkara
TP. Perikanan .
2. Surat Jampidsus Nomor : B-27/F/Ft.2/01/2010 tanggal 8 Januari 2010
perihal Pendelegasian Kewenangan Pengendalian Penuntutan Perkara
TP. Perikanan ;
3. Surat Jampidsus Nomor : B-434/F/Ft.2/03/2010 tanggal 3 Maret 2010
perihal Pendelegasian Kewenangan Pengendalian Penuntutan Perkara
TP. Perikanan ;
4. Surat Jampidsus Nomor : B-735/F/Ft.2/04/2010 tanggal 5 April 2010
perihal Pemahaman dan Penerapan UU Nomor 45 / 2009 tentang
Perubahan atas UU Nomor 31/2004 tentang TP. Perikanan ;

 Penanganan tahap penuntutan :


 JPU tidak diperkenankan membuat Dakwaan Tunggal, agar
diformulasikan dengan Dakwaan Subsidiaritas atau Alternatif ;
 Pembuktian dilakukan secara optimal terhadap Dakwaan dengan
ancaman hukum terberat ;
 Terhadap kasus perkara yang terjadi (Locus Delicti) di wilayah ZEEI,
penerapan pidananya adalah denda (bukan pidana badan)
sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 102, oleh karenanya wajib
di-juncto-kan dengan pasal 102 UU Nomor 45/2009 ;
 Laporan penanganan perkara TP. Perikanan dibuat secara berjenjang
kepada Jaksa Agung RI cq Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus ;
 Petunjuk Teknis penanganan perkara TP. Perikanan, dalam hal
pelaksanaan sidang tanpa hadirnya terdakwa, yaitu berpedoman pada
Surat Jampidsus Nomor : B-621/F/Fek.2/11/1992 perihal Sidang IN
ABSENTIA .

 Penanganan mengenai barang bukti TP. Perikanan :

 Benda atau alat yang digunakan atau dihasilkan dari TP. Perikanan
dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah medapat
persetujuan Ketua PN ;
 Barang bukti hasil TP. Perikanan yang mudah rusak atau
memerlukan biaya perawatan tinggi, dapat dilelang dengan
persetujuan Ketua PN ;
 Barang bukti hasil TP. Perikanan yang mudah rusak berupa jenis ikan
terlebih dahulu disisihkan sebagian untuk kepentingan pembuktian di
Pengadilan .
 Benda atau alat yang dirampas untuk negara dari hasil TP. Perikanan,
dapat dilelang untuk negara ;
 Pelaksanaan lelang dilakukan oleh Kantor Pengelolaan Kekayaan
Negara dan Lelang ( KPKNL ) setelah sebelumnya diserahkan terlebih
dahulu ke bagian Pembinaan ;
 Uang hasil pelelangan dari hasil penyitaan TP. Perikanan disetor ke
kas negara sebagai PNBP ;
 Sebagaimana ketentuan pasal 76 huruf c ayat 5 UU Nomor 45 / 2009,
bahwa benda atau alat yang dirampas dari hasil TP.Perikanan berupa
kapal perikanan, dapat diserahkan kepada kelompok usaha bersama
nelayan dan atau korporasi perikanan, namun mengingat belum
adanya PP tentang pelaksnaan UU Nomor 45 / 2009, maka ketentuan
tersebut secara praktek belum dapat dilaksanakan secara efektif .
 Terkait pedoman penanganan mengenai barang bukti yaitu Surat
Keputusan Jaksa Agung RI Nomor : KEP-112/JA/10/1989 tentang
Mekanisme Penerimaan, Penyimpanan dan Penataan Barang Bukti .

 Penanganan terhadap tersangka saat tahap penyidikan atau terdakwa saat tahap
penuntutan ataupun pada saat pemeriksaan di persidangan tetapi sebelum ada
putusan hakim telah meninggal dunia :

 Sesuai dengan ketentuan Azas Hukum Pidana, sebagaimana diatur


dalam Buku Kesatu tentang Ketentuan Umum, yaitu sebagaimana
ketentuan pasal 77 KUHP, yaitu mengenai “Hapusnya Penuntutan
karena tersangka atau terdakwa meninggal dunia” .
3.6 STUDI KASUS
Satgas Illegal Fishing Menangkap Dua Kapal Tanpa Bendera

TEMPO.CO, Jakarta - Satuan Tugas Pemberantasan


Penangkapan Ikan Secara Ilegal kembali menangkap dua kapal asing di
perairan Indonesia.Komandan Satgas Susi Pudjiastuti mengatakan Kapal
Patroli Hiu Macan Tutul 001 menangkap dua kapal yang memasuki
perairan Indonesia secara ilegal.Kapal itu adalah RGJ dan Green Mile
yang sama-sama memasuki Wilayah Penangkapan Ikan (WPP) 117
Samudera Pasifik.

“Kedua kapal tanpa bendera.Untuk kapal Green Mile sekarang


sudah dibawa ke Sorong, Papua,” ujarnya dalam konferensi pers di
Jakarta, Kamis, 10 Desember 2015.Susi mengatakan kedua kapal berbobot
sekitar 30 GT. Kapal RGJ membawa 25 anak buah kapal yang
keseluruhannya merupakan warga negara asing.

Dalam operasi itu, turut diamankan 100 ekor ikan tuna.Sementara


kapal Green Mile membawa 24 ABK asing dengan 200 ekor ikan
tuna.“Ada informasi tambahan kalau ada izin dari Filipina.Tapi ini tetap
menyalahi aturan karena menangkap di perairan Indonesia,” ujar Menteri
Kelautan dan Perikanan ini.

21
Susi mengatakan Satgas akan mengencarkan patroli di wilayah-
wilayah laut rawan seperti utara Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan
utara-selatan Papua. Dia juga meminta aparat secara khusus mengawasi
pergerakan kapal Thailand yang terindikasi memasuki laut Kalimantan
Barat.

Kasus Penangkapan Kapal Berbendera Malaysia Di Kawasan Selat


Malaka
Petugas pengawas perairan Indonesia menangkap dua kapal asing
berbendera Malaysia di wilayah ZEE Indonesia pada bulan September
2013. Dari kedua kapal ini berhasil diamankan barang bukti berupa hasil
tangkapan dan juga alat tangkap yang merupakan alat tangkap terlarang
yaitu berupa Trawl(pukat harimau). Keduanya juga ditangkap karena tidak
mempunyai Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin
Penangkapan Ikan (SIPI) dari pemerintah RI.
Dari 10 orang ABK, tiga diantaranya kapten kapal telah dinyatakan
sebagai tersangka karena ketiga kapten tersebut adalah orang yang paling
bertanggung jawab, sementara yang lainnya rencananya akan di deportasi.
Kasus Penangkapan Kapal Berbendera Vietnam Di Kawasan
Perairan Sorong, Papua Barat
Petugas pengawas perairan Indonesia jugamenangkapkapal
berbendera Vietnam di kawasan perairan Sorong, Papua Barat. Kapal
berbendera Vietnammemasuki wilayah perairan Indonesia tanpa izin dan
tidak memiliki dokumen pelayaran serta kedapatan melakukan
penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak. Pemerintah
Indonesia mengambil kebijakan mendeportasi keduabelas nelayan
Vietnam pelaku pelanggaran illegal fishingtersebut.Kebijakan ini diambil
karena beberapa faktor, diantaranya karena hubungan bilateral antara
Indonesia-Vietnam yang selama ini sudah terjalin dengan baik diharapkan
tidak terputus karena faktor ini.

Kasus Ilegal Fishing di Kepulauan Natuna

22
Pada hari Selasa tanggal 22 mei 2012 jam 14.35 wib, terdakwa
mengoperasikan kapal penangkapan ikan BV 5347 TS miliknya berada
pada posisi 06°-11°- 45°LS, 109°- 11°-18° BT di Zona Ekonomi Ekonmi
Eksklusif I ndonesia (ZEEI) tepatnya di perairan laut Cina Selatan/peraian
Natuna wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Kapal
penangkap ikan BV 5347 TS berbendera Vietnam di nahkodai oleh Mr.
Pam Ngoc Tam. Bahwa setelah di lakukan pemeriksaan oleh petugas dari
Dirjen Kelautan dan Perikanan RI di temukan alat tangkap ikan
menggunakan jaring purse seine dan ikan hasil tangkap kurang lebih 100
kg (seratus kilogram) yang terdiri ikan laying, ikan kembung dan jenis
ikan campuaran lainnya. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Perikanan
Jakarta Utara menjatuhkan vonis pidana terhadap terdakwa Mr. Pam
Ngoc Tam oleh karena itu dengan pidana denda Rp. 15.000.000, (lima
belas juta rupiah). Menyatakan Barang bukti Dirampas untuk negara
berup 11 :

a. Kasko KM BV 5347 TS.Jarin Ikan Purse Seine.

b. Kompas.Gps Navigator.

c. Radio.Fish Finder.

d. Radio SSB.

e. Uang Rp.300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) hasil lelang campuran


sebanyak kurang lebih 100 kg.

Analisa Kasus

Aturan mengenai pelanggaran di wilayah laut Indonesiasebenarnya


sudah tertulis secara tegas dalam Undang-Undang Perikanan Indonesia
namun dalam penerapannya masih lemah dan tidak konsisten sehingga
sering dipermainkan oleh negara-negara tetangga.
Hal ini sangatbertentangan dengan rencana aksi nasional yang
terdapat dalam Keputusan Menteri No. KEP/50/MEN/2012 tentang
rencana aksi nasional pencegahan dan penanggulangan Illegal, Unreported

23
And Unregulated Fishing (IUU Fishing). Dalam Kepmen tersebut salah
satunya menyebutkan bahwa Indonesia akan meningkatkan konsistensi
dalam menerapkan sanksi bagi para pelaku IUU Fishing.
Sikap tidak konsisten Indonesia dalam menerapkan sanksi bagi
pelaku kasus illegal fishing di wilayah perairan Indonesia dapat dilihat
dari tindakanyang diambil Indonesia pada kasus nelayan Malaysia dan
Vietnam di atas. Dua kasus di atas jika dilihat secara seksama sebetulnya
sama, yaitu baik kapal berbendera Malaysia maupun Vietnam sama-sama
memasuki wilayah ZEE Indonesia tanpa izin dari pemerintah Indonesia
disertai menangkap ikan dengan menggunakan alat penangkap ikan
terlarang. Namun dalam memproses kasusnya Indonesia menerapkan
kebijakan yang berbeda.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Undang-undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas

Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan tidak mengatur


24
pembagian kewenangan secarategas dan tidak pula mengatur mekanisme

kerja yang pasti, sehingga ketiga instansi tersebut menyatakan instansinya

sama-sama berwenang dalam penegakan hukumperikanan serta tanpa

adanya keterpaduan sistem dalam pelaksanaannya. Konflik kewenangan

seperti ini tidaklah menguntungkan dan mencerminkan penegakan hukum

terhadap tindak pidana perikanan dipandang lemah dan tidak

optimal,sehingga berdampak kepada kegiatan penangkapan ikan secara

tidak sah masih menunjukkan frekuensi yang cukup tinggi dan tetap terus

berlangsung. Untuk itu segera dicarikan solusinya, guna tercipta suatu

kondisi yang tertib, aman serta adanya kepastian hukum. Hal tersebut

berpengaruh positif bagi para pelaku usaha dibidang perikanan yang pada

akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat.

4.2 Saran
Perlunya dilakukan peningkatan kemampuan maupun kompetensi

sumberdaya manusia khususnya ditingkat penuntutan dan pengadilan

sehingga dalam proses penyelesaian atau penegakan hukum terhadap

tindak pidana Ilegal Fishing dapat dilakukan secara profesional dan tepat

sasaran sehingga diharapkan tujuan dari sistem peradilan pidana terpadu

didalam menanggulangi kejahatan dibidang perikanan dapat tercapai.

Perlunya dibentuk Forum Koordinasi Aparat Penegak Hukum Dibidang

Perikanan sehingga dalam penanganan kasus tindak pidana Illegal Fishing

dapat dilaksanakan secara bersama – sama lintas sektor sehingga apa yang

menjadi faktor penghambat dalam upaya penegakan hukum dibidang

perikanan dapat diminimalisir.

25
DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.

http://mukhtar-api.blogspot.co.id/2011/05/illegal-fishing-di-indonesia.html

http://amrmulsin.blogspot.co.id/2014/05/makalah-illegal-fishing.html

http://www.pusakaindonesia.org/ilegal-fishing-bentuk-pelanggaran-kedaulatan/

http://mukhtar-api.blogspot.co.id/2011/05/illegal-fishing-di-indonesia.html

26
http://www.academia.edu/9986261/DAMPAK_ILLEGAL_FISHING_TERHADA

P_SOSIAL_DAN_EKONOMI_NEGARA

VOL43/VII/JAN-FEB 2015 INTEGRITO 13

DAFTAR ISI

COVER ………………………………………………………......... I
KATA PENGANTAR ………………………………………………………...…... Ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………...……... Iii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang Masalah ……………………………………..…………. 1
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………….. 3
1.3 Tujuan ……………………………………………….... 3
1.4 Manfaat ……………………………………………….... 3
BAB II LANDASAN TEORI ……………………………………………………. 4
2.1 Undang – Undang Illegal ………………………………………………. 4

27
Fishing
BAB III
……………………………………………………………... 6
3.1 PEMBAHASAN
BAB IV PENUTUP
…………………..……...……………………………….. 24
4.1 KESIMPULAN
4.2 SARAN ……………………………….……………………………….. 24
DAFTAR PUSATAKA ………………………………………………………….. 26

28

Anda mungkin juga menyukai