Anda di halaman 1dari 10

Penentuan Zat Warna Makanan pada Vitamin dengan Metoda RP-HPLC

Oleh :

Patricia Helena (15036027)

Puja (15036028)

Narita (15036040)

Atika Pitaloka (15036044)

Robi Prasmi Kardi ( 150360

Utami Oktavia ( 150360

Khairunnisa ( 150360

Frangki

Muhammad Fauzi ( 150360

Dosen Pembimbing :

BUDHI OKTAVIA, M.Si, Ph.D

PROGRAM STUDI KIMIA

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2018
Penentuan Zat Warna Makanan pada Vitamin dengan Metoda RP-HPLC

A. Tujuan Percobaan

B. Waktu dan Tempat


Hari / Tanggal : Rabu / 23 Mei 2018
Pukul : 08.00 – 13.00 WIB
Tempat : Labotarorium Instrumen FMIPA UNP.

C. Dasar Teori
Istilah vitamin pertama kali digunakan pada tahun 1912 oleh Cashimir Funk di

Polandia. Dalam upaya menemukan zat di dalam dedak beras yang mampu

menyembuhkan penyakit beri-beri, ia menyimpulkan bahwa penyakit tersebut

disebabkan oleh kekurangan suatu zat didalam makanan sehari-hari. Zat ini sangat

dibutuhkan untuk hidup ( vita ) dan mengandung unsur nitogen ( amine ), oleh sebab

itu diberi nama vitamine. Penelitian selanjutnya membuktikan bahwa ada beberapa

jenis vitaminyang ternyata tidak merupakan amine, oleh sebab itu istilah “ vitamine “

diubah menjadi vitamin ( Prawirokusumo, 1991 ).


Berdasarkan kelarutannya vitamin dibagi menjadi dua golongan utama, yaitu :
1. Vitamin yang larut dalam air, meliputi vitamin B dan C. Vitamin yang larut dalam

air disebut prakoenzim. Vitamin-vitamin ini dapat bergerak bebas didalam badan,

darah, dan limfa. Karena sifat kelarutannya, vitami yang laru dalam air mudah

rusak dalam pengolahan dan mudah hilang atau terlarut bersama air selama

pencucian bahan. Didalam tubuh vitamin ini tersimpan dalam jumah terbatas dan

kelebihan vitamin akan dikeluarkan atau diekskresikan melalui urin. Oleh karena

itu untuk mempertahankan saturasi jaringan vitamin ini sering dikonsumsi.


2. Vitamin yang larut dalam lemak, meliputi A,D,E dan K. Golongan vitamin yang

larut dalam lemak disebut alosterin. Setelah diserap dalam tubuh, vitamin akan

disimpan dalam jaringan-jaringan lemak, terutama hati. Karena sifatnya tidak larut

dalam air, vitamin-vitamin ini tidak dieksresikan. Akibatnya didalam tubuh dapat
disimpan dalam jumlah banyak, sehingga kemungkinan terjadinya toksitas jauh

lebih besar daripada vitamin yang larut dalam air.


Vitamin C

Vitamin C merupakan senyawa yang sangat mudah larut dalam air,

mempunyai sifat asam dan sifat pereduksi yang kuat. Sifat-sifat tersebut terutama

disebabkan adanya struktur enediol yang berkonjugasi dengan 5 gugus karbonion

dalam cincin lakton. Bentuk vitamin C yang ada di alam terutama L-asam askorbat.

D-asam askorbat jarang terdapat di alam dan hanya memiliki 10% aktivitas vitamin C.

Biasanya D-asam askorbat ditambah ke dalam bahan pangan sebagai antioksidan,

bukan sebagai sumber vitamin C.

`Di dalam larutan, gugus hidroksil pada atom C sangat mudah terionisasi (pk1

= 64,04 pada 250C) dan memberikan nilai pH 2,5. Gugus hidroksil pada atom C 2

lebih tahan terhadap ionisasi dan mempunyai nilai pk2 = 11,4 struktur enediol pada

atom C 2 dan C 3 dari L-asam askorbat dapat dioksidasi menjadi gugus keto. Hasil

oksidasinya adalah L-asam dehidroaskorbat dan membentuk sistem redoks dengan L-

asam askorbat. Oksidasi L-asam dehidroaskorbat menghasilkan asam 2,3

diketogulonat yang bersifat irreversibel dan tidak mempunyai aktivitas vitamin C

sama sekali. Asam askorbat pertama kali diusulkan penamaanyya oleh Szent Gyorgyi

dan Howart pada tahun 1933, ( Ervan, 2014 ).


Vitamin C yang mempunyai rumus empiris C6H8O6 dalam bentuk murni

merupakan kristal putih, tidak berwarna, tidak berbau dan mencair pada suhu 190-

1920C. Senyawa ini bersifat reduktor kuat dan mempunyai rasa asam.

Vitamin C sangat mudah larut dalam air (1 gram dapat larut sempurna dalam 3

ml air), sedikit larut dalam alkohol (1 gram larut dalam 50 ml alkohol absolut atau

100 ml gliserin) dan tidak larut dalam benzene, eter, kloroform, minyak dan

sejenisnya. Walaupun vitamin C stabil dalam bentuk kristal, tetapi mudah rusak atau

terdegradasi jika berada dalam bentuk larutan, terutama jika terdapat udara, logam-

logam seperti Cu dan Fe.

High Performance Liquid Chromatography (HPLC)

HPLC merupakan metode kromatografi cair yang paling akhir ditemukan.

HPLC telah menjadi metode analisis yang rutin dan bahkan preparatif pada berbagai

laboratorium. Prinsip pemisahan dengan menggunakan metode ini adalah berdasarkan

kecepatan migrasi sampel yang terdistribusi dalam dua fase yaituu fase diam dan fase

gerak yang dikendalikan dengan tekanan tinggi ( Day, 1986 ).

Tiga hal yang harus diperhatikan dalam HPLC :

1. Detektor
Detektor adalah indera atau sensor penting untuk mendeteksi analit yang

mendekati. Detektor yang dipakai dalam HPLC biasanya spektrofotometer UV

yang digunakan terutama untuk mendeteksi senyawa-senyawa yang mengandung

gugus kromofor.
2. Memilih kolom, Fase diam atau kemasan
Fase diam dapat berupa zat permukaan padat yang berfungsi sebagai medium

yang menyerap atau permukaan zat cair yang terdapat pada sejenis zat padat.
Sebagian besar bahan penyerap yang digunakan adalah silika. Jika permukaan silika

tidak dimodifikasi dengan fase gerak dan linarut melalui ikatann hidrogen.
Kolom non-polar yang lazim digunakan pada hampir lebih dari 70%

konsumsi penelitian dengan HPLC adalah fase terbalik dengan spesifikasi fase

terikat (bonded phase) jenis C18. Metode kromatografi fase terbalik berarti bahwa

polaritas fase diam lebih rendah dari pada polaritas fase gerak, sehingga pada

pemisahan solut yang lebih polar akan terelusi lebih awal dibanding solut yang

kurang polar.
3. Pemilihan Fase Gerak

Pemilihan fase gerak yang terpenting adalah kepolaran campuran pelarut linier

diantara kepolaran pelarut murni. Pada HPLC pernyataan yang paling baik

didefinisikan adalah memakai volume tambat. Untuk mengetahui perilaku linarut

yang dikenal sebagai k (faktor resensi). Harga k merupakan ukuran kualitatif berapa

banyak linarut ditahan oleh kolom. Instrumen HPLC juga terdiri atas unit injeksi

sampel (injektor) untuk penyuntikan sampel dan detektor. Gambar 2.1 merupakan

skema unit HPLC yang menunjukkan komponen-komponen penyusunnya.


Gambar 2.1. Skema unit HPLC

Ket : 1. Wadah pelarut, 2. Penyaring, 3. Pompa tekanan tinggi, 4. Pulser damper, 5. Katup pengalir, 6. Manometer, 7.

Prekolom, 8. Syringe injeksi, 9. Katup injeksi, 10. Kolom, 11. Oven termostat, 12. Detektor, 13. Rekorder, 14.

Pumpul fraksi

HPLC mempunyai banyak keuntungan dibandingkan dengan kromatografi cair

klasik, yaitu :

1. Cepat
2. Daya pisahnya baik
3. Kepekaan yang tinggi
4. Kolom dapat digunakan berkali-kali
5. Ideal untuk molekul besar dan ion
6. Mudah memperoleh kembali cuplikan ( Khopkar, 2003 ).
Pewarna
Sebagai salah satu bagian dari banyaknya bahan tambahan makanan yang dipakai

dalam makanan, pewarna patut menjadi obyek atau perhatian yang layak. Hal tersebut

karena secara organoleptis ketertarikan konsumen terutama ditentukan atau dipengarubi

oleh penampakannya terhadap produk yang akan dikonsumsi, dalam hal ini pewama

cukup memberikan rangsangan yang kuat kepada konsumen untuk memilikinya


Sejak zaman dahulu sudah menjadi kebiasaan umum untuk menambahkan pewama

makanan pada jenis-jenis makanan yang kurang menarik. Pada masa kini pewama

makanan umumnya digunakan untuk tujuan-tujuan sebagai berikut:


1. Memperbaiki penampakan makanan yang memudar akibat pengolahan

2. Menyeragamkan warna yang berbeda karena pengaruh alami. dengan

penambahan pewama diharapkan penampakan produk tersebut akan lebih

seragam dan penerimaan produk tersebut oleh konsumen juga akan lebih

mantap.

3. Meningkatkan warna makanan, untuk memperoleh warna cerah dari aslinya


4. Melindungi flavour dan vitamin yang peka terhadap cahaya selama

penyimpanan.Dalam hal ini pewama tersebut berfungsi sebagai penyaring cahaya

(tirai yang menghambat masuknya cahaya)


5. Memperoleh penampakan yang lebih menarik dari bahan aslinya
6. Untuk mengidentifikasi suatu produk
7. Sebagai idikator visual untuk kualitas.

Secara umum pewarna makanan dibagi menjadi pewarna alami dan pewarna

sintetis

1. Pewarna Alami
Bahan pewarna alami adalah zat warna yang diperoleh dari tumbuhan,

hewan dan dari sumber mineral lainnya. Pewarna alami yang banyak digunakan meliputi

antosianin, betaxantin, karotenoid dan khlorofil.


Kekurangan bahan pewarna alami dibandingkan dengan pewarna sintetis

antara lain : bahan pewarna alami kadang-kadang dapat mempengaruhi rasa dan bau,

stabilitas dan keseragaman warnanya yang rendah ( Gerindra, 1986 ).


2. Pewarna Sintetis

Berdasarkan rumus kimianya , pewarna sintetis dalam makanan dapat

digolongkan dalam beberapa kelas yaitu azo, triarylmethane, quinoline, xanthene dan

indigoid. Kelas azo merupakan pewarna sintetis yang banyak warnanya, mencakup

warna orange, kuning, merah, ungu, dan coklat. Kelas triarylmethane menckup arna

biru dan hijau. Kelas quinoline yaitu waran kuning kehijauan sedangkan xanthene

warna merah dan indigoid biru kemerahan ( Legowo, 2007 ).

D. Alat dan Bahan


Alat :
1. Gelas kimia 100 ml
2. Labu ukur 100 ml
3. Spatula
4. Batang pengaduk
5. Perangkat HPLC
6. Corong
7. Gelas ukur
8. Lumpang Alu
9. Pipet tetes
Bahan :
1. Natrium Asetat
2. Tartrazin
3. Vitacimin
4. Methanol
5. Aqua DM
E. Prosedur Kerja
Pembuatan Pewarna Standar
1. Membuat larutan standar pewarna tartrazin dengan konsentrasi 10, 20 ppm dari

larutan induk 100 ppm dengan labu ukur 25 ml


10 ppm
M1.VI = M2.V2
10 ppm.25 ml = 100 ppm. V2

250 ppm ml = 100 ppm V2

V2 = 250 ppm.ml/100 ppm

V2 = 2,5 ml larutan induk

20 ppm

M1.VI = M2.V2
20 ppm.25 ml = 100 ppm. V2

500 ppm ml = 100 ppm V2

V2 = 500ppm.ml/100 ppm

V2 = 5 ml larutan induk

2. Melarutkan dalam labu ukur 25 ml dengan aqua DM


3.

Preparasi Sampel
1. Menimbang 50 mg sampel vitacimin
2. Melarutkan dalam ml dengan Aqua DM
3. Menentukan panjang gelombang maksimum menggunakan spektofotometri

DAFTAR PUSTAKA

Day, R.A dan Underwood, A.L. 1986. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta : Erlangga.
Ervan. 2014. Metode Analisis Vitamin. Makasar: Universitas Hasanuddin.

Girindra, A. 1986. Biokimia I. Jakarta : Gramedia.

Khopkar, S.M. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI Press.

Legowo, Anang M. 2007. Analisis Pangan. Semarang: Universitas Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai