Anda di halaman 1dari 15

BAGIAN ANESTESI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2018


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

SEPSIS

Oleh:
Ramdita Amalia (11120151011)

Pembimbing Supervisor:
dr. Lismasari, Sp.An, M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:


Nama : Ramdita Amalia
NIM : 11120151011
Judul Referat : Sepsis

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Anestesi
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Palopo, Juni 2018

Mengetahui,

Supervisor

dr. Lismasari, Sp.An, M.Kes

2
BAB I

PENDAHULUAN

Sepsis merupakan respons sistemik terhadap infeksi dimana pathogen atau


toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivitas proses inflamasi.
(infeksi dan inflamasi). Sejak tahun 2016 definisi sepsis mengalami perubahan menjadi
disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh kelainan regulasi respon
host terhadap infeksi. Dulu Sepsis dibagi dalam derajat Systemic Inflammatory
Response Syndrome (SIRS), sepsis, sepsis berat, dan syok septik, sekarang Sepsis hanya
dibagi dalam derajat Sepsis dan Syok septik. Disfungsi organ dinyatakan sebagai
perubahan akut pada total skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) >2 poin
sebagai konsekuensi dari infeksi. Nilai SOFA dapat dianggap nol pada pasien yang
tidak diketahui memiliki disfungsi organ. Sementara skor SOFA >2 dihubungkan
dengan risiko kematian kurang lebih 10% pada populasi di rumah sakit umum dengan
kecurigaan adanya infeksi.
SIRS yang terdapat dalam definisi sepsis terdahulu dianggap tidak bias
dijadikan dasar diagnosis karena respon inflamasi tersebut bisa hanya menggambarkan
respon host yang normal dan adaptif. Bahkan pasien dengan disfungsi organ ringan
kondisinya dapat memburuk lebih jauh, menandakan bahwa sepsis merupakan suatu
kondisi yang serius dan membutuhkan intervensi yang cepat dan tepat. Dalam definisi
terbaru ini, istilah “sepsis berat” telah dihilangkan, hal ini bertujuan agar sepsis tidak
dianggap ringan dan bisa diberi penanganan yang tepat sesegera mungkin.
Berdasarkan perubahan inilah penting untuk kita dapat memahami mengenai
Sepsis mulai dari definisi terbaru, derajat sepsis, penyebab hingga penatalaksanaannya.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Definisi
Dulu Sepsis didefinisikan sebagai suatu sindroma klinik yang terjadi
oleh karena adanya respon tubuh yang berlebihan terhadap rangsangan produk
mikroorganisme. Ditandai dengan demam, takikardia, takipnea, hipotensi dan
disfungsi organ berhubungan dengan gangguan sirkulasi darah.
Berdasarkan Third International Consensus Definitions for Sepsis and
Septic Shock (Sepsis-3) tahun 2016, definisi sepsis dan derajat sepsis
mengalami perubahan. Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang
mengancam jiwa yang disebabkan oleh kelainan regulasi respon host terhadap
infeksi. Disfungsi organ dinyatakan sebagai perubahan akut pada total skor
Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) ≥2 poin sebagai konsekuensi
dari infeksi. Nilai SOFA dapat dianggap nol pada pasien yang tidak diketahui
memiliki disfungsi organ. Sementara skor SOFA ≥2 dihubungkan dengan risiko
kematian kurang lebih 10% pada populasi di rumah sakit umum dengan
kecurigaan adanya infeksi.

Derajat Sepsis lama dikategorikan sebagai berikut.


1. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), Respon tubuh terhadap
inflamasi sistemik mencakup 2 atau lebih keadaan sebagai berikut:
a) Hyperthermia/hypothermia (>38,3°C; <35,6°C)
b) Takipnea (resp >20/menit)
c) Tachycardia (nadi >100/menit)
d) Leukositosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm
2. Sepsis: Keadaan klinis berkaitan dengan infeksi dengan manifestasi SIRS.

4
3. Sepsis Berat: Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau
hipotensi termasuk asidosis laktat, oliguria, dan penurunan kesadaran.
4. Syok septik
Sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan secara
adekuat atau memerlukan vasopressor untuk mempertahankan tekanan
darah dan perfusi organ.

SIRS yang terdapat dalam definisi sepsis terdahulu dianggap tidak bisa
dijadikan dasar diagnosis karena respon inflamasi tersebut bisa hanya
menggambarkan respon host yang normal dan adaptif. Bahkan pasien dengan
disfungsi organ ringan kondisinya dapat memburuk lebih jauh, menandakan
bahwa sepsis merupakan suatu kondisi yang serius dan membutuhkan
intervensi yang cepat dan tepat. Dalam definisi terbaru ini, istilah “sepsis berat”
telah dihilangkan, hal ini bertujuan agar sepsis tidak dianggap ringan dan bisa
diberi penanganan yang tepat sesegera mungkin.
Selain dengan menggunakan skor SOFA, pasien dengan curiga adanya
infeksi yang diprediksi menjalani perawatan di ICU dalam jangka waktu lama
atau diprediksi meninggal di rumah sakit dapat secara cepat diidentifikasi
dengan quick SOFA (qSOFA), yang terdiri dari:
 Terganggunya status kesadaran
 Tekanan darah sistolik <100 mmHg
 Laju pernafasan >22 x/menit
Syok sepsis didefinisikan sebagai kondisi lanjut dari sepsis dimana
abnormalitas metabolisme seluler dan sirkulatorik yang menyertai pasien cukup
berat sehingga dapat meningkatkan mortalitas. Pasien dengan syok sepsis dapat
diidentifikasi berdasarkan adanya sepsis yang disertai hipotensi persisten yang
membutuhkan vasopresor untuk menjaga agar MAP >65 mmHg dan kadar
laktat serum >2 mmol/L (18 mg/dL) walaupun telah diberi resusitasi yang
adekuat.

5
2. 2 Epidemiologi
Tiga belas juta orang menderita sepsis tiap tahunnya di dunia, dan
sebanyak 4 juta orang diantaranya meninggal. Sepsis merupakan penyebab
utama kematian di ICU dan saat ini insidensinya terus meningkat di negara
maju. Sepsis berat merupakan penyebab kematian utama di Amerika Serikat
dan merupakan penyebab kematian tersering pada pasien kritis di non-coronary
Intensive Care Unit (ICU). Di Amerika Serikat, insidensi sepsis berat diestimasi
mencapai 300 kasus per 100.000 populasi. Kira – kira setengah dari kasus
tersebut terjadi di luar ICU. Seperempat dari total pasien yang mengalami
sepsis berat akan meninggal selama perawatan. Sedangkan syok septik
dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi, mencapai 50%.

2. 3 Etiologi
Organisme penyebab sepsis telah berkembang selama beberapa tahun
ini. Awalnya sepsis dipahami sebagai penyakit yang secara spesifik
berhubungan dengan bakteri gram negatif karena sepsis dianggap sebagai suatu
respon terhadap endotoksin, suatu molekul yang diperkirakan spesifik terhadap
bakteri gram negatif. Pada kenyataannya, beberapa studi original tentang sepsis
mengungkapkan bahwa bakteri gram negatif hanya merupakan salah satu
penyebab tersering dari sepsis.
Saat ini telah diakui bahwa sepsis dapat diakibatkan oleh semua bakteri,
begitu juga dengan fungi dan virus. Organisme gram positif sebagai salah satu
penyebab sepsis frekuensinya meningkat dengan menyumbang 30% - 50% dari
total kasus. Kondisi ini kemungkinan besar diakibatkan oleh peningkatan
penggunaan prosedur invasif dan peningkatan proporsi infeksi yang didapat
dari rumah sakit.
Berdasarkan perkiraan sepsis terkini, terdapat kurang lebih 200.000
kasus sepsis gram positif per tahun, dibandingkan dengan kira-kira 150.000

6
kasus sepsis gram negatif di Amerika. Hal ini menunjukkan bahwa angka
kejadian sepsis oleh gram positif telah melampaui gram negatif.
Tipe organisme yang menyebabkan sepsis berat merupakan salah satu
factor penting penentu keluaran. Walaupun beberapa studi telah
mengungkapkan adanya peningkatan insidensi organisme gram positif, studi
terbaru dari European Prevalence of Infection in Intensive Care (EPIC II)
melaporkan bahwa organisme gram negatif masih mendominasi (62.2% vs.
46.8%). Pola organisme penginfeksi masih menyerupai studi – studi terdahulu,
dengan organisme yang mendominasi adalah Staphylococcus aureus (20.5%),
Pseudomonas species (19.9%), Enterobacteriacae (terutama E. coli, 16.0%),
fungi (19%), dan ada pula Acinetobacter yang menyumbang 9% dari total
infeksi. Organisme yang dihubungkan dengan kematian di rumah sakit dalam
analisis regresi logistic multivariat adalah Enterococcus, Pseudomonas, dan
Acinetobacter species.
Suatu metaanalisis besar dari 510 studi melaporkan bahwa bakteremia
gram negatif dihubungkan dengan angka kematian yang lebih tinggi
dibandingkan gram positif. Infeksi yang menyebar melalui aliran darah paling
umum disebabkan oleh bakteri koagulase negatif Staphylococcus dan E. coli,
namun hubungannya dengan kematian relatif rendah (berturut – turut 20% and
19%) dibandingkan dengan Candida (43%) dan Acinetobacter (40%).
Pneumonia gram positif oleh karena Staphylococcus aureus menyumbang
angka kematian yanglebih tinggi (41%) dibandingkan dengan yang disebabkan
oleh karena bakteri gram positif yang paling umum menyebabkan pneumonia
yaitu Streptococcus pneumonia (13%), namun basil gram negatif Pseudomonas
aeruginosa, memiliki angka kematian tertinggi dari semua etiologi pneumonia
(77%). Namun, kurang lebih sepertiga pasien dengan sepsis berat tidak pernah
memiliki kultur darah positif.
Insiden sepsis yang disebabkan bakteri saat ini meningkat, diikuti kasus
sepsis yang disebabkan oleh fungi. Keadaan ini menggambarkan peningkatan

7
kasus sepsis nosokomial. Penelitian tentang infeksi nosokomial karena fungi
menemukan bahwa terjadi pergeseran patogen penyebab dari yang utamanya
Candida albicans menjadi Recalcitrant torulopsis, glabrata, dan subspecies
Krusei.

2. 4 Patofisiologi
Infeksi menyebabkan terjadinya proses kaskade inflamasi yang diawali
dengan adanya gangguan pada host, misalnya oleh karena luka bakar dan
infeksi. Respon inflamasi dimaksudkan untuk melindungi host dari kerusakan
jaringan, namun beberapa mediator inflamasi juga berpotensi membahayakan
host. Teori yang umum dijabarkan adalah bahwa sepsis terjadi ketika respon
dari host berlebihan sehingga menimbulkan permasalahan baru pada pasien
selain infeksi yang menyerangnya.
Respon host dideskripsikan terdiri dari tiga faktor yaitu reaksi humoral,
selular, dan neuroendokrin. Sel – sel inflamatorik seperti neutrofil, monosit,
makrofag, basofil, dan trombosit berinteraksi dengan sel endotel via mediator
sel yang kemudian akan memperkuat respon inflamasi.
Aliran darah mikrovaskuler dapat juga dipengaruhi oleh aktivasi dari
sistem koagulasi dan komplemen, sehingga menimbulkan iskemia lokal, yang
dapat mengganggu respirasi selular. Hasil akhirnya adalah berupa hipoksia
jaringan global dimana terjadi insufisiensi transpor oksigen sistemik sehingga
tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen tubuh. Hal ini memicu terjadinya
penurunan kontraktilitas miokardium, penurunan resistensi vaskuler sistemik,
hipotensi, asidosis metabolik, dan akhirnya sindroma disfungsi multi organ
serta kematian.

2. 5 Kriteria Klinis dan Diagnosis


Tanda-tanda klinis yang dapat menyebabkan dokter untuk
mempertimbangkan sepsis dalam diagnosis diferensial, yaitu demam atau

8
hipotermia, takikardi yang tidak jelas, takipnea yang tidak jelas, tanda-tanda
vasodilatasi perifer, syok dan perubahan status mental yang tidak dapat
dijelaskan. Pengukuran hemodinamik yang menunjukkan syok septik, yaitu
curah jantung meningkat, dengan resistensi vaskuler sistemik yang rendah.
Abnormalitas hitung darah lengkap, hasil uji laboratorium, faktor pembekuan,
dan reaktan fase akut mungkin mengindikasikan sepsis.
Berikut indikator laboratorium yang dapat digunakan untuk membantu
diagnosis sepsis.

Tes laboratorium Temuan Keterangan


Hitung sel darah Leukositosis atau Endotoksemia dapat
putih leukopenia menyebabkan early
leukopenia
Hitung platelet Trombositosis atau Nilai tinggi awal dapat
trombositopenia dilihat sebagai respon
fase akut, jumlah
trombosit yang rendah
terlihat pada DIC
Coagulation cascade Defisiensi Protein C; Kelainan dapat
defisiensi antitrombin; diamati sebelum
level D-dimer timbulnya kegagalan
meningkat; PT organ dan tanpa
(Prothrombin Time) perdarahan yang jelas.
dan PTT (Partial
Thromboplastin Time)
memanjang
Level kreatinin Meningkat Doubling-menandakan
cedera ginjal akut
Level asam laktat Lactic acid > 4 Mengindikasikan
mmol/L (36 mg/dL) hipoksia jaringan
Level enzim hepar Level alkaline Mengindikasikan
phosphatase, AST, cedera hepatoseluler
ALT, bilirubin akut yang disebabkan
meningkat hipoperfusi
Level serum fosfat Hipofosfatemia Berkorelasi terbalik
dengan tingkat sitokin
proinflamasi
Level C-reactive Meningkat Respons fase akut
protein (CRP)

9
Level prokalsitonin Meningkat Membedakan SIRS
yang infeksius dari
SIRS yang non-
Tabel 1. Indikator laboratorium untuk sepsis

Berdasarkan definisi sepsis terbaru yaitu disfungsi organ yang


mengancam jiwa yang disebabkan oleh kelainan regulasi respon host terhadap
infeksi, maka diperlukan sistem skoring Sequential Organ Failure Assessment
(SOFA) untuk mengetahui kegagalan fungsi organ sebagain akibat dari
konsekuensi infeksi. Nilai SOFA dapat dianggap nol pada pasien yang tidak
diketahui memiliki disfungsi organ. Sementara skor SOFA ≥2 dihubungkan
dengan risiko kematian kurang lebih 10% pada populasi di rumah sakit umum
dengan kecurigaan adanya infeksi. Berikut sistem skoring SOFA.

Tabel 2. Sistem skoring Sequential Organ Failure Assessment (SOFA)

10
Skor qSOFA ditujukan untuk mengidentifikasi pasien dewasa dengan curiga

infeksi yang memiliki kecenderungan memperoleh outcome yang buruk. Parameter ini

berguna bagi klinisi untuk secara cepat mengidentifikasi disfungsi organ serta

memberikan terapi yang tepat dan sesegera mungkin. Pada pasien yang dicurigai

mengalami infeksi dan dirawat di ICU skor qSOFA tidak terlalu signifikan dalam

memprediksi kematian dalam rumah sakit jika dibandingkan dengan skor SOFA, hal

ini mungkin dipengaruhi oleh faktor perancu salah satunya yaitu penggunaan peralatan

untuk menyokong organ (misal ventilasi mekanik, vasopresor). Namun, pada pasien

dengan curiga infeksi yang dirawat di luar ICU, validitas skor qSOFA untuk

memprediksi kematian di rumah sakit lebih tinggi daripada skor SOFA. Berikut adalah

skor qSOFA.

 Terganggunya status kesadaran


 Tekanan darah sistolik <100 mmHg
 Laju pernafasan >22 x/menit

Skor qSOFA menjadi 2 kelompok yaitu kelompok skor qSOFA >2 dan <2.

Pembagian ini didasarkan pada pustaka yang menyatakan bahwa skor qSOFA >2

merupakan salah satu dasar untuk mendiagnosis apakah pasien dengan kecurigaan

infeksi mengalami sepsis atau tidak sehingga diperkirakan skor tersebut dapat menjadi

prediktor mortalitas pada sepsis dan syok sepsis.

11
2. 6 Penatalaksanaan

Tata cara pengelolaan pasien secara terstruktur menurut Surviving Sepsis

Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic

Shock 2012:

Terapi yang diarahkan oleh tujuan secara dini (Early goal directed therapy)

Early goal directed therapy berfokus pada optimalisasi pengiriman oksigen

jaringan yang diukur dengan saturasi oksigen vena, pH, atau kadar laktat arteri.

Pendekatan ini telah menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup dibandingkan

dengan resusitasi cairan dan pemeliharaan tekanan darah yang standar. Tujuan

fisiologis selama 6 jam pertama resusitasi sebagai berikut:

1. Tekanan vena sentral (CVP) 8-12mmHg


2. Tekanan arterial rata-rata (MAP) ≥65mmHg
3. Saturasi oksigen vena sentral (SavO2) ≥70%
4. Urine output ≥0,5ml/kg/jam.

Tiga kategori untuk memperbaiki hemodinamik pada sepsis


1. Terapi cairan
Karena syok septik disertai demam, vasodilatasi, dan diffuse capillary
leakage, preload menjadi inadekuat sehingga terapi cairan merupakn
tindakan utama.
2. Terapi vasopressor
Bila cairan tidak dapat mengatasi cardiac output (arterial pressure dan organ
perfusion adekuat). Vasopressor potensial: nor epinephrine, dopamine,
epinephrine, phenylephrine.

12
3. Terapi inotropik
Bila resusitasi cairan adekuat, kebanyakan pasien syok septik mengalami
hiperdinamik, tetapi kontraktilitas miokardium yang dinilai dari ejection
fraction mengalami gangguan. Kebanyakan pasien mengalami penurunan
cardiac output, sehingga diperlukan inotropic: dobutamine, dopamine, dan
epinephrine.

Terapi Antibiotik
Merupakan modalitas yang sangat penting dalam pengobatan sepsis.
Terapi antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak
diketahui sepsis berat, setelah kultur diambil. Terapi inisial berupa satu atau
lebih obat yang memiliki aktivitas melawan patogen bakteri atau jamur dan
dapat penetrasi ke tempat yang diduga sumber sepsis. Oleh karena pada sepsis
umumnya disebabkan oleh gram negatif, penggunaan antibiotik yang dapat
mencegah pelepasan endotoksin seperti karbapenem memiliki keuntungan,
terutama pada keadaan dimana terjadi proses inflamasi yang hebat akibat
pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan gagal multi organ.
Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan data
mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada
bukti bahwa terapi kombinasi lebih baik daripada monoterapi.

13
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa


yang disebabkan oleh kelainan regulasi respon host terhadap infeksi. Disfungsi
organ dinyatakan sebagai perubahan akut pada total skor Sequential Organ
Failure Assessment (SOFA) ≥2 poin sebagai konsekuensi dari infeksi.
Berdasarkan Third International Consensus Definitions for Sepsis and Septic
Shock (Sepsis-3) tahun 2016 derajat sepsis SIRS dan sepsis berat telah
dihilangkan sehingga hanya terdiri atas Sepsis dan syok sepsis.

Penatalaksanaan sepsis menurut Surviving Sepsis Campaign: International

Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock 2012 yaitu insial

resustasi, Early goal directed therapy, terapi cairan, vasopressor, inotropic dan

pemberian antibiotic sesuai hasil kultur sesegera mungkin.

3.2 Saran

Mengetahui dan memahami definisi sepsis terbaru sangat penting untuk


kelanjutan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat, sehingga pasien dengan
sepsis dapat segera terdeteksi sebelum berlanjut ke syok sepsis, dan dapat
mengurangi angka kematian akibat syok sepsis.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Plevin, Rebecca. 2017. Update in sepsis guidelines: what is really new?. BMJ

Journals.

2. Singer, Mervyn; Deutschman, Clifford S; Seymour, Christopher Warren, et al. 2016.

The Third International Consensus Definitions for Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3).

JAMA.

3. Mayr, Florian B. 2014. Epidemiology of severe sepsis. NCBI Journal.

4. Surviving Sepsis Campaign. 2012. Society of Critical Care Medicine

5. Bone et al. 1991. The ACCP-SCCM consensus conference on sepsis and organ failure.

NCBI Journal.

15

Anda mungkin juga menyukai