Anda di halaman 1dari 45

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ginjal mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga kesehatan

tubuh secara menyeluruh karena ginjal adalah salah satu organ vital dalam tubuh.

Ginjal berfungsi untuk mengatur keseimbangan cairan dalam tubuh, mengatur

konsentrasi garam dalam darah, keseimbangan asam basa dalam darah, dan

ekskresi bahan buangan seperti urea dan sampah nitrogen lain dalam darah. Bila

ginjal tidak bisa bekerja sebagaimana mestinya maka akan timbul masalah

kesehatan yang berkaitan dengan penyakit gagal ginjal kronik (Cahyaningsih,

2009).

Gagal ginjal merupakan suatu keadaan di mana terjadinya penurunan

fungsi ginjal secara optimal untuk membuang zat-zat sisa dan cairan yang

berlebihan dari dalam tubuh (Vitahealth,2007). Penurunan fungsi ginjal dapat

terjadi akibat suatu penyakit, kelainan anatomi ginjal dan penyakit yang

menyerang ginjal itu sendiri.Apabila hanya 10% dari ginjal yang berfungsi,

pasien di katakan sudah sampai pada penyakit gagal ginjal end-stage renal

disease (ESRD) atau penyakit ginjal tahap akhir.Awitan gagal ginjal mungkin

akut, yaitu berkembang sangat cepat dalam beberapa jam atau dalam beberapa

hari. Gagal ginjal dapat juga kronik, yaitu terjadi perlahan dan berkembang

perlahan mungkin dalam beberapa tahun (Baradero,2009). Pada gagal ginjal

kronik telah terjadi kerusakan ginjal di mana fungsi ginjal tidak kembali normal,

cenderung berlanjut menjadi gagal ginjal terminal (National Cancer

Institute,2009).

1
2

Pada tahun 1990-1999 insidensi rawat inap (hospitalization) di Amerika

Serikat sebanyak 810.000 hingga 1 juta jiwa.Pasien yang menjalani rawat inap

dengan riwayat penyakit degeneratif rentan untuk mengalami rawat inap ulang.

Rawat inap ulang termasuk salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup

pasien-pasien penyakit degeneratif. Pada studi retrospektif yang dilakukan oleh

Allaudeen tahun 2011 terdapat 17% pasien yang mengalami rehospitalisasi

setelah 30 hari keluar dari rumah sakit. Salah satunya ialah gagal ginjal kronik.

Pasien gagal ginjal kronikyang selesai menjalani rawat inap rentan untuk kembali

menjalani rawat inap ulang akibat eksaserbasi dari gejala yang ditimbulkan oleh

gagal ginjal kronik(Tsuchihashi et. al, 2001).

Berdasarkan estimasi Badan Kesehatan Dunia (WHO), secara global

lebih dari 500 juta orang mengalami penyakit gagal ginjal kronik. Sekitar 1,5

juta orang harus menjalani hidup bergantung pada cuci darah (Hemodialisis). Di

Indonesia, berdasarkan Pusat Data dan Informasi Perhimpunan Rumah Sakit

Seluruh Indonesia, jumlah pasien gagal ginjal kronik diperkirakan sekitar 50

orang persatu juta penduduk, 60% nya adalah usia dewasa dan usia lanjut.

Menurut data dari The United States Renal Data System (USRDS)

(2009), Gagal Ginjal Tahap Akhir (GGTA) sering ditemukan dan

prevalensisekitar 10% sampai dengan 13%. Di Amerika Serikat jumlahnya

mencapai 25 juta orang, dan di Indonesia diperkirakan 12,5 % atau sekitar 18

juta orang (Suhardjono,2009).

Penelitian mengungkapkan pada tahun 2008 sebanyak 6,2% dari

populasi penduduk Indonesia menderita gagal ginjal kronik tahap lima,


3

diprediksi mencapai 0,8% dari total populasi penderita gagal ginjal di Indonesia

yaitu sekitar 104 ribu orang (Suhardjono, 2008).

Beban kesehatan akibat gagal ginjal terlihat pada besarnya angka

kejadian Gagal Ginjal Kronik (GGK). Di Amerika Serikat, insidensi dan

prevalensi GGK mengalami kenaikan setiap tahun dengan prognosis buruk dan

beban biaya kesehatan yang tinggi. Gagal ginjal terminal sebagai akibat akhir

GGK, mengalami kenaikan insidensi dua kali lipat dalam decade terakhir

dengan kecendrungan terus mengalami kenaikan dalam tahun mendatang

(K/DOQI, 2002). Pada survey yang di lakukan oleh perhimpunan Nefrologi

Indonesia (Pernefri) tahun 2008 di empat kota di Indonesia, dengan memeriksa

kadar keratinin serum 1200 orang, di dapatkan prevalensi penyakit ginjal kronik

cukup besar yaitu 12,5% (Prodjosudjaji, 2009).

Berdasakan survei dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI)

menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan prevalensi penyakit

gagal ginjal kronik yang cukup tinggi, yaitu sekitar 30,7 juta penduduk. Menurut

data PT Askes, ada sekitar 14,3 juta orang penderita gagal ginjal tahap akhir saat

ini menjalani pengobatan yaitu dengan prevalensi 433 perjumlah penduduk,

Jumlah ini akan meningkat hingga melebihi 200 juta pada tahun 2025 (Kartika,

2013).

Kejadian rawat inap ulang (readmission) akibat gagal ginjal meningkat

dengan persentase 29-47% setelah 3-6 bulan keluar dari rumah sakit (Rich et.

al., 1995). Sedangkan di Yogjakarta, prevalensi pasien gagal ginjal kronikyang

menjalani rawat inap ulang dalam satu tahun sebesar 52.21% sementara yang

dirawat ulang lebih dari satu kali dalam waktu satu tahun sebesar 44.79%
4

(Majid, 2010). Untuk Indonesia sendiri belum ada gambaran yang jelas

mengenai prevalensi kejadian rawat inap ulang khususnya untuk kota Mataram.

Berdasarkan data yang didapatkan pasien dengan rawat inap pada kasus

GGK pada tahun 2016 adalah sebanyak 376 pasien (RSUDP NTB,

2015).Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh peneliti terdahulu di Rumah

Sakit Umum Provinsi NTB didapatkan bahwa empat dari lima responden yang

telah dilakukan wawancara oleh penulis mengatakan karena diperbolehkan

pulang dari rawat inap di rumah sakit responden merasa badan terasa sehat dan

tidak merasa perlu lagi untuk mengkonsumsi obat ginjal.

Pasien Gagal Ginjal Kronik yang berada pada stadium akhir memerlukan

terapi pengganti fungsi ginjal (renal replacement therapy) untuk

mempertahankan kelangsungan hidupnya seperti tranplantasi ginjal,

hemodialisis dan terapi Continous Ambulatory Peritonial Dyalisis (CAPD)

(Pernefri, 2003). Hemodialisis merupakan suatu proses yang di gunakan pada

pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan dialysis jangka pendek

(beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien gagal ginjal stadium

terminal yang memerlukan terapi hemodialisis dalam jangka panjang atau

permanen. Hemodialisis akan mencegah kematian pada gagal ginjal kronik,

namun tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu

mengimbangi hilangnya aktifitas metabolic dan endokrin yang di laksanakan

oleh ginjal. Pasien harus menjalani hemodialisis sepanjang hidupnya atau

samapai mendapat ginjal baru melalui operasi pencangkokan ginjal (Smeltzer,

2002). Hemodialisis, meskipun masih menyandang sejumlah tantangan besar,

dengan angka kematian tahunan pasien lebih dari 20% di Amerika Serikat, pada
5

sisi lain sebenarnya secara nyata telah memperpanjang survival pasien gagal

ginjal terminal.meskipun masih jauh di bawah usia populasi kontrol yang

normal, telah di capai perpanjang usia 7,1% sampai 11,5 tahun pada pasien

berusia 40 sampai 44 tahun, (K/DOQI, 2002).

Pasien yang menjalani program hemodialisarutin mengalami berbagai

masalah yang timbul akibat tidak berfungsinya ginjal.Hal tersebut muncul setiap

waktu sampai akhir kehidupan pasien dan menjadi stressor fisik yang

berpengaruh pada berbagai dimensi kehidupan pasien meliputi

biopsikososiospiritual.Kelemahan fisik yang di rasakan seperti mual, muntah,

nyeri, lemah otot dan udema adalah sebagian dari manifestasi klinis dari pasien

yang menjalani hemodialisis.Ketidakberdayaan serta kurangnya penerimaan diri

pasien menjadi faktor psikologis yang mampu mengarahkan pasien pada tingkat

depresi sehingga berpengaruh pada sikap kepatuhan pasien terhadap program

hemodialisis rutin.

Setiap orang memilikiyang berbeda-beda terhadap tindakan

hemodialisis.Hal ini di sebabkan oleh tingkat pengetahuan dan pengalaman

pasien dalam menjalani hemodialisis.Pada awal menjalani hemodialisis respon

pasien seolah-olah tidak menerima atas kehilangan fungsi ginjalnya, marah dan

sedih dengan kejadian yang di alami sehingga memerlukan waktu yang cukup

lama untuk dapat beradaptasi dengan program hemodialisis.

Kepatuhan adalah ketaatan pasien dalam melaksanakan terapi.Kepatuhan

pasien dalam menjalani rutinitas hemodialisis sangat di perlukan dalam

penatalaksanaan pasien gagal ginjal kronik.Salah satu faktor pendukung

kepatuhan adalah pengetahuan pasien tentang program terapi yang di


6

jalaninya.Tingkat pendidikan merupakan salah satu unsur yang penting bagi

sumber pengetahuan seseorang yang akan mempengaruhi pola berpikir

seseorang dalam pengambilan keputusan mengenai kesehatan dirinya, maka

makin tinggi tingkat pendidikan seseorang di harapkan makin besar pula tingkat

kepatuhannya dalam melaksanakan program pengobatan terhadap penyakitnya

(Hasbullah, 2001).

Pada penelitian yang di lakukan pada 96 pasien yang tidak patuh

terhadap terapi medis ada 29 pasien dengan frekuensi rawat inapnya tinggi ,

artinya responden yang patuh dengan terapi medis berpeluang 7,91 kali lebih

besar menjalani rawat inap dengan frekuensi tinggi di bandingkan dengan

responden yang patuh dengan terapi medis (Majid, 2010).

Menurut studi yang dilakukan oleh Krumholz pada tahun 2000

menyebutkan bahwa yang mempengaruhi kejadian rawat inap ulang

(readmission) di antaranya adalah infeksi (terutama infeksi saluran nafas seperti

pneumonia), infark miokard, disritmia jantung, ischemic heart disease, gagal

ginjal akut, dehidrasi dan gagal nafas (Krumholz et al, 2000).

Resiko kematian akibat gagal ginjal berkisar antara 5-10% pertahun pada

gagal ginjal kronik.Gagal ginjal merupakan penyakit yang paling sering

memerlukan perawatan ulang dirumah sakit (readmission) meskipun pengobatan

rawat jalan telah diberikan secara optimal.(Andriyanto, 2012).

Dampak yang biasa ditimbulkan pada kasus gagal ginjal kronik bila tidak

ditangani segera yaitu muntah darah, buang air besar yang bercampur darah,

jumlah urin sangat meningkat atau sangat menurun, penurunan kesadaran

(delirium, kebingungan, mengantuk, atau koma), berkurangnya sensasi di


7

tangan, kaki, dan daerah lain, kram otot dan berkedut, kejang dan uremic frost

(es uremik), ketika kristal putih terbentuk di kulit. (Andriyanto, 2012).

Menurut Majid dalam studi tahun 2010 mengatakan bahwa faktor yang

mempengaruhi kejadian rawat inap ulang pasien gagal ginjal ialah hipertensi,

derajat penyakit, dukungan keluarga dan sosial, kepatuhan (terapi, diet dan

cairan tubuh), tingkat aktivitas dan istirahat serta tingkat kecemasan pasien gagal

ginjal.

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti merasa tertarik untuk

melakukan penelitian tentang Gambaran Kejadian Readmission Pada Pasien

Gagal Ginjal Kronik di Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi NTB.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka dapat di rumuskan

masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :

“Bagaimanakah Hubungan Kepatuhan Pasien dengan Kejadian

Readmission pada Pasien Gagal Ginjal Kronik di Rumah Sakit Umum Daerah

Provinsi NTB.”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan Kepatuhan

Pasien dengan Kejadian Readmission pada Pasien Gagal Ginjal Kronik di

Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi NTB.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi tingkat kejadian rawat inap ulang pada pasien gagal

ginjal kronik di RSUDP NTB.


8

2. Mengidentifikasi kejadian rawat inap ulang pada pasien gagal ginjal

di RSUDP NTB.

3. Menganalisa tentang rawat inap ulang pada pasien gagal ginjal di

RSUDP NTB.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Perawat

Diharapkan dapat memperluas dan dan melengkapi konsep yang

menunjang ilmu keperawatan, terutama berkaitan dengan perawat dapat

mengetahui hubungan kepatuhan pasien dengan kejadian Readmission

pada pasien gagal ginjal kronik di Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi

NTB.

1.4.2 Bagi Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi NTB

Dari hasil penelitian di harapkan sebagai bahan masukan bagi

Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi NTB dalam mengetahui hubungan

pasien kepatuhan dengan kejadian Readmission pada pasien gagl ginjal

kronik di Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi NTB.

1.4.3 Bagi Pasien

Supaya pasien mengetahui tentang kejadian Readmission pada

khususnya pasien yang mengalami penyakit gagal ginjal.

1.4.4 Bagi Peneliti

Dapat menambah pengetahuan dan wawasan dalam meningkatkan

pengetahuan dan keterampilan penelitian serta menerapkan riset

keperawatan pada umumnya dan dapat menambah pengetahuan dalam hal

metodeologi peneliti dalam meneliti kejadian hubungan kepatuhan pasien


9

dengan kejadian Readmission pada pasien gagal ginjal kronik di Rumah

Sakit Umum Daerah Provinsi NTB.

1.5 Keaslian Penelitian

Nama Desain Persamaan dan


NnnnnnnNo Judul penelitian
peneliti Variabel yang diteliti Penelitian Perbedaan
1. Dwi Factor factor yang a. Variabel independen Observasiona a. Persamaan
Amelia berhubungan Factor factor yang l dengan Jenis
Anggraeni, dengan kejadian berhubungan dengan pendekatan penelitian
Septi rawat ulang kejadian rawat ualng cross b. Perbedaan
Kurniasari pasien penyakit pasien sectional - Lokasi
(2016) jantung koroner di b. Variabel dependen study penelitian
ruang jantung Penyakit jantung - Variabel
RSU dr. H Abdul koroner penelitian
Moeloek Provinsi - Jumlah
Lampung populasi dan
sampel
2. M. Wahyu Hubungan tingkat a. Variabel Desain a. Persamaan
Dwi kepatuhan minum independen survey - Jenis
Nugroho P obat dengan Tingkat kepatuhan dengan penelitian
kejadian rawat minum obat dengan pendekatan b. Perbedaan
inap ulang pasien kejadian rawat inap cross - Desain
dengan gagal pasien sectional penelitian
jantung kongestif b. Variabel dependen study - Lokasi
di RSUD gagal jantung penelitian
dr.Moewardi kongestif - Variabel
yang diteliti
- Jumlah
populasi dan
sampel
3 Abdul Analisis faktor a. Variabel Penelitian a. Persamaan
Majid - faktor yang indeoenden cross - Desain
berhubungan Analisis factor sectional . penelitian
dengan kejadian Analisis
rawat inap ulang chi-square
pasien gagal b. Variabel dan Multiple b. Perbedaan
jantung dependent Logistic - Lokasi
kongestifdi Kejadian rawat Regression penelitian
RumahSakit inap ulang - Variabel
YogyakartaTahun pasien kongestif yang diteliti
2010 jantung - Jumlah
populasi dan
sampel
10

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Gagal Ginjal Kronik

2.1.1 Definisi

Gagal ginjal kronik (Chronic Renal Failure) kerusakan ginjal

progrestif yang berakibat fatal dan di tandai dengan uremia (urea dan

limbah nitrogen lainnya yang beredar dalam darah serta komplikasinya

jika tidak di lakukan dialysis atau transplatasi ginjal), (Nursalam,2006).

Gagal ginjal kronis terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak

mampu mempertahankan lingkungan dalam yang cocok untuk

kelangsungan hidup.Kerusakan pada kedua ginjal ini ireversibel

(Baradero, 2013).

Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang

progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk

mepertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit

sehingga terjadi uremia (Smeltzer&Suzanne, 2002).

Menurut Doenges, 1999, Chronic Kidney Disease biasanya

berakibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal secara bertahap. Penyebab

termasuk glomerulonefritis, infeksi kronis, penyakit vascular (lupus

sistemik), agen nefrotik (aminoglikosida), penyakit endokrin,

(diabetes).Bertahapnya syndrome ini melalui tahap dan menghasilkan

perubahan utama pada semua system tubuh.

10
11

2.1.2 Etiologi

Gagal ginjal kronik merupakan suatu keadaan klinis kerusakan

ginjal yang progresif dan ireversibel dari berbagai penyebab :

1. Infeksi : pielonefritis kronik.

2. Penyakit peradangan : glomerulonefritis.

3. Penyakit vaskular hipertensif : nefroskeloris benigna, nefrosklerosisi

maligna, stenosis arteria renalis.

4. Gangguan jaringan penyambung : lupus eritematosus sistemik,

poliarteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.

5. Gangguan kongenital dan herediter : penyakit ginjal polikistik dan

asidosis tubulus ginjal.

6. Penyakit metabolik : diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme dan

amiloidosis.

7. Nefropati toksik : penyalahgunaan analgesik dan nefropati timbal.

8. Nefropati obstruktif : saluran kemih bagian atas (kalkuli, eoplasma,

fibrosis retroperitoneal) dan saluran kemih bagian bawah (hipertrofi

prostat, striktur uretra, anomali kongenital apada leher kandung kemih

dan uretra). (Muhammad, 2012).

2.1.3 Patofisiologi

Patogensis gagal ginjal kronik yakni semakin buruk dan rusaknya

nefron-nefron yang disertai berkurangnya fungsi ginjal,ketika kerusakan

ginjal berlanjutan dan jumlah nefron berkurang maka ada dua adaptasi

penting dilakukan oleh ginjal,sebagai respon terhadap acaman

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.Sisa nefron yang ada mengalami


12

gipertofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja

ginjal. Tetapi penimgkatan filtrasi, beban solute dan reabsorbsi tubulus

dalam setiap nefron miskipun GFR untuk seluruh nefron yang terdapat

pada ginjal turun dibawah nilai normal.Mekanisme adaptasi ini cukup

berhasil dalam mempertahankn keseimbangan cairan dan elektrolit

tubuh hingga tingkat fungsi ginjal yang sangat rendah,namun akhirnya

kalau sekitar 75% massa nefron sudah hancur,makakecepatan filtrasi dan

beban solute bagi nefron demikian tinggi sehingga keseimbangan

glomerolus tubulus tidak dipertahankan lagi. Fleksibilitas baik pada

proses konvresi solute dan air menjadi kurang(Price, 2012).

Fungsi renal menurun, produk akhir metebolisme protein ( yang

normalnya diekresikan ke dalam urin ) tertimbun dalam darah. Terjadi

uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak

tertimbun produk sampah, maka gejala akan semakin berat. Banyak

gejala uremia membaik setelah dialisis.

Banyak masalah muncul pada ginjal sebagai akibat dari

penurunan jumlah glomerulus yang berfungsi, yang menyebabkan

penurunan klirens substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh

ginjal.

Penurunan laju filtrasi glomerulus ( GFR ) dapat didetaksi dengan

mendapatkan urine 24 jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin.

Menurunnya filtrasi glomerulus akibat tidak berfungsinya glomerulus

klirens kreatinin akan menurun dan kadar kreatinin serum akan

meningkat. Selama itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya


13

meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator yang paling sensitif

dari fungsi renal karena subtansi ini diproduksi secara konstan oleh

tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh

masukan protein dalam diet, katabolisme ( jaringan dan luka RBC ) dan

medikasi seperti steroid.

2.1.4 Gejala

Pada gagal ginjal kronis, gejala-gejalanya berkembang secara

perlahan, pada awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi

ginjal hanya dapat diketahui dari pemeriksaan laboratorium, pada gagal

ginjal kronis ringan sampai sedang, gejalanya ringan meskipun terdapat

peningkatan urea dalam darah, pada stadium ini terdapat:

1. Nokturia, penderita sering berkemih dimalam hari karena ginjal

tidak daapat menyerap air dari air kemih, akibatnya volume air

kemih bertambah.

2. Tekanan darah tinggi, karena ginjal tidak mampu membuang

kelebihan garam dan air, tekanan darah tinggi bisa menyebabkan

stroke atau gagal jantung.

Sejalan dengan perkembangan penyakit, maka lama-lama limbah

metabolik yang tertimbun didarah semakin banyak. Pada stadium ini,

penderita menunjukkan gejala-gejala:

1. Letih, mudah lelah, kurang siaga

2. Kedutan otot, kelemahan otot, kram

3. Perasaan tertusuk jarum pada anggota gerak

4. Hilangnya rasa didaerah tertentu


14

5. Kejang terjadi jika tekanan darah tinggi menyebabkan kelainan

fungsi otak

6. Nafsu makan menurun, mual dan muntah

7. Peradangan lapisan mulut (stomatitis)

8. Rasa tidak enak dimulut

9. Malnutrisi

10. Penurunan berat badan

2.1.5 Tes Diagnostik

1. Urine

a. Volume, biasanya kurang dari 400 ml/jam ( oliguria)

b. Warna, secara abormal urine keruh mungkin disebabkan oleh

pus, bakteri, lemak,partikel oloid, fosfat atau urat.

c. Berat jenis urine, kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010

menunjukkan kerusakan ginjal berat)

d. Klirens kreatinin, mungkin menurun

e. Natrium, lebih besar dari 40 meq/L karena ginjal tidak mampu

mereabsorbsi natrium.

2. Darah

a. Hitung darah lengkap, Hb, menurun pada adanya anemia, Hb

biasanya kurang dari 78 mg %

b. Sel darah merah, menurun pada defisiensi eritropoetin seperti

azotemia

c. Kalium, peningkatan sehubungna dengan retensi sesuai

perpindahan seluler ( asidosis)


15

d. Kalsium menurun

e. Protein ( khusus albumin ), kadar serum menurun dapat

menunjukkan kehilangan protein melaluiburine, perpindahan

cairan dan penurunna pemasukan.

3. X-RayMenunjukkan ukuran ginjal, ureter, kandung kemih dan

adanya obstruksi ( Price, 2012)

2.1.6 Manifestasi Klinik

1. Manifestasi klinik antara lain

a. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental,

berat badan berkurang, mudah tersinggung, depresi

b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah,

nafas dangkal atau sesak nafas baik waktu ada kegiatan atau

tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada

tapi mungkin juga sangat parah.

2. Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 ) antara lain : hipertensi,

(akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin,

angiotensin, aldosteron), gagal ginjal kronikdan udem pulmoner

(akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada

lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah,

dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran,

tidak mampu berkonsentrasi)

2.1.7 Pengobatan

Diet rendah protein ( 0,4-0.8 gram /kg BB ) bisa memperlambat

perkembangn gagal ginjal kronis. Tambahan vitamin B dan C diberikan


16

jika penderita menjalani diet ketat atau menjalani dialisa. Pada penderita

gagal ginjal kronis biasanya kadar trigliserida dalam darah tinggi. Hal ini

akan meningkatkan resiko terjadinya komplkasi, seperti stroke dan

serangan jantung dan untuk menurunkan kadar trigliserida diberikan

gemfibrozil.

Kadang asupan cairan di batasi untuk mencegah teralalu

rendahnya kadar garam (natrium) dalam darah. Asupan garam biasanya

tidak dibatasi kecuali jika terjadi edema (penimbunan cairan di

dalamjaringan) atau hipertensi.

Makanan kaya kalium harus dihindari. Hiperkalemia (tingginya

kadar kalium dalam darah) sangat berbahaya karena meningaktakan

resiko terjadinya gangguan irama jantung dan cardiacarrest, jika kadar

kalium terlalu tinggi, maka diberikan natrium polisteren sulfonat untuk

mengikat kalium, sehingga kalium dapat dibuang bersama tinja, kadar

fosfat dalam daraah dikendalikan dengan membatasi asupan makanan

kaya fosfat ( misalnya produk olahan susu, hati, polong, kacang-

kacangan dan minuman ringan). Bisa diberikan obat-obatan yang bisa

mengikat fosfat, seperti kalsium karbonat, kalsium asetat dan aluminium

hidroksida.

Anemia terjadi karena gagal ginjal menghasilkan eritropoetin

dalam jumlah yang mencukupi. eritropoetin adalah hormon yang

merangsang pembentukan sel darah merah. Respon terhadappenyuntikan

poietin sangat lambat.transfusi darah hanya diberikan jika anemianya

berat atau menimbulkan gejala. Kecendrungan mudahnya terjadi


17

pendarahan untuk sementara waktu bisa diatasi dengan transfuse sel

darah merah atau dengan obat-obatan (misalnya desmopresin atau

estrogen) ( Price, 2012).

2.1.8 Penatalaksanaan Medik

1. Pada umumnya keadaan termal sehingga etiologi tidak dapatdiobati

lagi, Usaha harus ditentukan mengurangi gejala, mencegah

perburukan faal ginjal yang terdiri dari pengaturan minum,

pengendalian hipertensi, pengendalian kalium darah, penanggulangan

anemia, asidosis, pengobatan dan pencegahan infeksi, pengaturan

protein dalam makanan, pengobatan neuropati, dialisa dan transplatasi

(Junadi,2012)

2. Terapi hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi

pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun

tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium,

hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran

semi permeabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal

buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi

(Setyawan, 2011).

a. Tujuan Hemodialisa

Sebagai terapi pengganti, kegiatan hemodialisa

mempunyai tujuan:

1) Membuang produk metabolisme protein seperti urea,

kreatinin dan asam urat

2) Membuang kelebihan air.


18

3) Mempertahankan atau mengembalikan system buffer tubuh.

4) Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.

5) Memperbaiki status kesehatan penderita.

b. Proses Hemodialisa

Dalam kegiatan hemodialisa terjadi 3 proses utama

seperti berikut :

1) Proses Difusi yaitu berpindahnya bahan terlarut karena

perbedaan kadar di dalam darah dan di dalam dialisat.

Semakian tinggi perbedaan kadar dalam darah maka

semakin banyak bahan yang dipindahkan ke dalam dialisat.

2) Proses Ultrafiltrasi yaitu proses berpindahnya air dan bahan

terlarut karena perbedaan tekanan hidrostatis dalam darah

dan dialisat.

3) Proses Osmosis yaitu proses berpindahnya air karena

tenaga kimia, yaitu perbedaan osmolaritas darah dan

dialisat ( Lumenta, 1996 ).

c. Alasan dilakukannya Hemodialisa

Hemodialisa dilakukan jika gagal ginjal menyebabkan:

1) Kelainan fungsi otak (ensefalopati uremik)

2) Perikarditis (peradangan kantong)

3) Asidosis (peningkatan keasaman darah) yang tidak

memberikan respon terhadap pengobatan lainnya.

4) Gagal Ginjal
19

5) Hiperkalemia (kadar kalium yang sangat tinggi dalam

darah)

d. Frekuensi Hemodialisa.

Frekuensi, tergantung kepada banyaknya fungsi ginjal

yang tersisa, tetapi sebagian besar penderita menjalani dialisa

sebanyak 3 kali/minggu. Program dialisa dikatakan berhasil

jika:

1) Penderita kembali menjalani hidup normal.

2) Penderita kembali menjalani diet yang normal.

3) Jumlah sel darah merah dapat ditoleransi.

4) Tekanan darah normal.

5) Tidak terdapat kerusakan saraf yang progresif

6) Dialisa bisa digunakan sebagai pengobatan jangka panjang

untuk gagal ginjal kronis atau sebagai pengobatan

sementara sebelum penderita menjalani pencangkokan

ginjal. Pada gagal ginjal akut, dialisa dilakukan hanya

selama beberapa hari atau beberapa minggu, sampai fungsi

ginjal kembali normal.

e. Komplikasi pada Hemodialisa

Komplikasi dalam pelaksanaan hemodialisa yang sering

terjadi pada saat dilakukan terapi adalah :Hipotensi, kram otot,

mual atau muntah, sakit kepala, sakit dada, gatal-gatal, demam

dan menggigil, kejang.


20

2.2 Kepatuhan

2.2.1 Pengertian Kepatuhan

Kepatuhan adalah suatu kondisi yang tercipta dan berbentuk

melalui proses dari sereangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-

nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan ketertiban. Sikap

atau perbuatan yang di lakukan bukan lagi atau sama sekali tidak di

rasakan sebagai beban, bahkan sebaliknya akan membebani dirinya

bila mana ia tidak dapat berbuat sebagaimana lazimnya

(Prijadarminto, 2003). Patuh adalah suka menuruti perintah, taat pada

perintah atau aturan.Sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai

aturan dan berdisiplin. Seseorang di katakana patuh bila mau datang

ke petugas kesehatan yang telah di tentukan sesuai dengan jadwal

yang telah di tetapkan serta mau melaksanakan apa yang di anjurkan

oleh petugas (Ali et al, 1990).

Kepatuhan (compliance), juga di kenal sebagai ketaatan

(adherence) adalah derajat di mana pasien mengikuti anjuran klinis

dari dokter yang mengobatinya. Kepatuhan terhadap pengobatan

membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam manajemen perawatan

diri dan kerja sama antara pasien dan petugas kesehatan (Robert,

1999). Penderita yang patuh berobat adalah yang menyelesaikan

pengobatan secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal

6 bulan sampai dengan 9 bulan (Depkes RI, 2000).

Sejauh mana perilaku pada seseorang dalam minum obat,

mengikuti diet atau membuat perubahan gaya hidup sehat, sesuai


21

dengan yang telah di sepakati rekomendasi dari penyedia layanan

kesehatan (WHO, 2003). Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku

seorang individu dengan nasihat medis atau kesehatan dan

menggambarkan penggunaan obat sesuai dengan petunjuk pada resep

serta mencakup penggunaannya pada waktu yang benar (Siregar,

2006). Sejauh mana perilaku pasien (dalam hal minum obat,

mengikuti diet, memodifikasikan kebiasaan atau menghadiri klinik)

bertepatan dengan nasihat medis atau kesehatan.

Filosofi yang mendasari kepatuhan adalah penyakit itu dapat

dikendalikan (di kontrol) jika pasien mematuhi tindakan atau terapi

yang telah di tentukan. Komponen penting untuk mempengaruhi

kepatuhan terhadap terapi dan mempengaruhi perilaku perawatan diri

pada pasien gagal ginjal kronik adalah pendidikan pasien, kolaborsi

dengan tim pelayanan kesehatan dan dukungan psikososial.

2.2.2 Jenis Kepatuhan

Kepatuhan penderita dapat di bedakan menjadi (Cramer,

1997):

1. Kepatuhan penuh ( Total compliance)

Pada keadaan ini penderita tidak hanya berobat secara

teratur sesuai batas waktu yang di tetapkan melainkan juga patuh

memakia obat secara teratur sesuai petunjuk.

2. Penderita yang sama sekali tidak patuh (Non compliance)

Yaitu penderita yang putus berobat atau tidak

menggunakan obat sama sekali.


22

2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan

Hasil penelitian Wal et al (2006), kepatuahan responden

terhadap terapi medis terdapat 5-10% pasien tidak patuh dengan terapi

medis, 50-60% patuh dan sisanya kurang patuh. Menurut Wal et al

(2006), ketidak patuhan meningkatkan mortalitas, morbiditas dan

perawatan di rumah sakit. Kepatuhan adalah fenomena multidimensi

yang saling berinteraksi, saling berhubungan dan saling mempengaruhi

di antara beberapa faktor.Faktor-faktor tersebut adalah faktor pasien,

kondisi atau keadaan, terapi, pelayanan kesehatan sosial ekonomi.Dari

faktor-faktor tersebut, faktor pasien adalah yang paling besar

pengaruhnya.

Faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan (Brunner dan

Suddarth, 2002):

1. Variabel demografi, seperti usia, jenis kelamin, status sosio,

ekonomi dan pendidikan.

2. Variabel penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala

akibat terapi.

3. Variabel program teraupetik seperti kompleksitas program dan efek

samping yang tidak menyenangkan.

4. Variabel psikososial seperti intelegensi, sikap terhadap tenaga

kesehatan, penerimaan atau penyangkalan terhadap penyakit,

keyakinan agama atau budaya dan biaya finansial dan lainnya yang

termasuk dalam mengikuti regimen hal tersebut di atas juga di

temukan oleh Bart Smet (1998) dalam psikologi kesehatan.


23

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan

(Smet,1998):

1. Komunikasi

Berbagai aspek komunikasi antara pasien dan dokter

mempengaruhi tingkat ketidak taatan, misalnya informasi dengan

pengawasan yang kurang, ketidakpuasaan terhadap aspek

hubungan emosional dengan dokter, ketidakpuasaan terhadap obat

yang di berikan.

2. Pengetahuan

Ketetapan dalam memeberikan informasi secara jelas dan

eksplisit terutama sekali penting dalam pemberian antibiotik

untuk mencegah timbulnya penyakit infeksi.Pasien sering kali

menghentikan obat tersebut setelah gejala yang di rasakan hilang

bukan saat obat itu habis.

3. Fasilitas Kesehatan

Fasilitas kesehatan merupakan sarana penting di mana

dalam memberikan penyuluhan terhadap penderita, di harapkan

penderita menerima penjelasan dari tenaga kesehatan yang

meliputi jumlah tenaga kesehatan, gedung serbaguna untuk

penyuluhan dan lain-lain.

Faktor yang mempengaruhi kepatuhan (Niven, 2002) :

1. Penderita atau individu


a. Sikap atau motivasi pasien ingin sembuh

Motivasi atau sikap yang paling kuat adalah dalam

diri individu sendiri. Motivasi individu ingin tetap


24

memperthankan kesehatannya sangat berpengaruh terhadap

faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku penderita

dalam control penyakitnya.

b. Keyakinan

Keyakinan merupakan dimensi spiritual yang dapat

menjalani kehidupan. Penderita yang berpegang teguh

terhadap keyakinannya akan memiliki jiwa yang tabah dan

tidak mudah putus asa serta dapat menerima keadaannya,

demikian juga cara perilaku akan lebih baik. Kemauan untuk

melakukan kontrol penyakitnya dapat di pengaruhi oleh

keyakinan penderita, di mana penderita memiliki keyakinan

yang kuat akan lebih tabah terhadap anjuran dan larangan

kalau tahu akibatnya.

2. Dukungan keluarga

Dukungan keluarga merupakan bagian dari penderita

yang paling dekat dan tidak dapat di pisahkan. Penderita akan

merasa senang dan tentram apabila mendapat perhatian dan

dukungan dari keluarganya. Dengan dukungan tersebut akan

menimbulkan kepercayaan dirinya untuk menghadapi dan

mengelola penyakitnya dengan lebih baik, serta penderita mau

menuruti saran-saran yang di berikan oleh keluarga untuk

menunjang pengelolaan penyakitnya.

3. Dukungan social
Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional

dari anggota keluarga lain merupakan faktor-faktor penting


25

dalam kepatuhan terhadap program-program medis. Keluarga

dapat mengurangi ansietas yang di sebabkan oleh penyakit

tertentu dan dapat mengurangi godaan terhadap ketidaktaatan.

4. Dukungan petugas kesehatan

Dukungan petugas kesehatan merupakan faktor lain

yang dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan. Dukungan

mereka terutama berguna pada pasien menghadapi bahwa

perilaku sehat baru tersebut merupakan hal penting.Begitu juga

mereka dapat mempengaruhi perilaku pasien dengan

caramenyampaikan antusias mereka terhadap tindakan tertentu

dari pasien yang telah mampu beradaptasi dengan program

pengobatannya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan menurut

(WHO,2003) :

1. Faktor social/ekonomi

2. Faktor kondisi yang berhubungan dengan kesehatan

3. Faktor terapi terkait dengan pasien

4. Faktor perilaku pasien

5. Faktor pada system kesehatan

Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan

terhadap program terapi adalah:

1. Pengetahuan

Pengetahuan (knowledge), merupakan hasil dari tahu dan

terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek


26

tertentu.Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang penting

dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Perilaku

yang di dasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada

perilaku yang tidak di dasari oleh pengetahuan.

2. Tingkat ekonomi

Tingkat ekonomi atau penghasilan yang rendah akan

berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun

pencegahan. Seseorang kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan

yang ada mungkin karena tidak mempunyai cukup uang untuk

membeli obat atau membayar transportasi. Tingkta ekonomi dapat

mempengaruhi pemilihan metode terapi yang akan di gunakan oleh

klien.

3. Sikap

Sikap (attitude) merupakan reaksi atau respon yang masih

tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek.Sikap itu

merupakan pelaksanaan motif tertentu.

4. Usia

Usia berpengaruh terhadap cara pandang seseorang dalam

kehidupan, masa depan dan pengambilan keputusan. Penderita yang

dalam usia produktif merasa terpacu untuk sembuh mengingat dia

masih muda mempunyai harapan hidup yang tinggi, sebagai tulang

punggung keluarga.

5. Dukungan keluarga
Di dalam melaksanakan program terapi, klien tidak bias

melakukannya sendiri, dia butuh orang yang selalu mendampingi


27

selama pelaksanaan program terapi. Dalam hal pengaturan diet,

pembatasan cairan, obat-obatan, dan pengercekan laboraturium juga

memerlukan keluarga untuk mencapai target.

6. Jarak dari pusat pelayanan

Mereka yang tinggal di daerah yang belum ada fasilitas

pelayanan kesehatan tentu saja akan lebih sulit dan memerlukan

biaya lebih besar untuk mencapai lokasi.

7. Nilai dan keyakinan

Nilai dan keyakina individu dalam mengambil suatu

keputusan, dalam hal ini untuk mendapatkan kesehatan yang

optimal merupakan keyakinan dasar yang di gunakan oleh individu

untuk memotivasi dirinya selama menjalani terapi. Individu yang

pada awalnya sudah memiliki cara pandang yang negative, tidak

memiliki keyakinan untuk hidup lebih baik cenderung tidak

menjalani terapi dengan sungguh-sungguh, bahkan sering absen

atau tidak mau datang lagi untuk menjalani terapi.

2.2.4 Skala Ukur Kepatuhan Minum obat

1. Skala MMAS-8 (Morisky Medication Adherence Scale)

Kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat dapat di ukur

menggunakan berbagai metode, salah satu metode yang dapat di

gunakan adalah yang terdiri dari tiga aspek yaitu frekuensi kelupaan

dalam menkonsumsi obat tanpa di ketahui oleh tim medis,

kemampuan mengendalikan diri untuk tetap mengkonsumsi obat

(Morisky & Munter, 2009).


28

MMAS-8 (Morisky Medication Adherence Scale)

Penilaian kepatuhan minum obat :

a. Kepatuhan tinggi :8

b. Kepatuhan menengah : 6-7

c. Kepatuhan rendah : 1-5

2. Menghitung Sisa Jumlah Tablet

Menghitung jumlah sisa tablet secara langsung dan

menghitung tingkat kepatuhan pasien dengan menggunakan rumus

(Jasti et al, 2005).

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑜𝑏𝑎𝑡 − 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑜𝑏𝑎𝑡 𝑠𝑖𝑠𝑎


𝑘𝑒𝑝𝑎𝑡𝑢ℎ𝑎𝑛 = × 100%
jumlah obat

2.3 Rawat Inap Ulang Pasien Gagal Ginjal Kronik

2.3.1 Pengertian Rawat Inap Ulang

Rawat inap ulang didefinisikan sebagai kejadian pasien dirawat

di rumah sakit yang terjadi beberapa kali dalam jangkawaktu tertentu

oleh pasien yang sama. Rawat inap ulang pasiengagal ginjal dapat

diartikan sebagai kejadian pasien gagal ginjaldirawat kembali di rumah

sakit yang terjadi lebih dari satu kalipada pada pasien yang sama

dengan kurun waktu tertentu.

Gagal Ginjal adalah penyebab utama rawat inap di padaorang

dewasa berumur 65 tahun di Amerika Serikat. Setiap tahun,satu juta

pasien dirawat di rumah sakit dengan diagnosisprimer gagal ginjal.

Rawat inap ulang (readmission) padapenyakit gagal ginjal diakibatkan

oleh eksaserbasi darigejala klinis gagal ginjal kronik .Beberapa dipicu

oleh factorconcomitantkardiovaskular seperti takiaritmia, unstable


29

coronarysyndrome. Selain itu juga bisa disebabkan oleh

gangguanSerebrovaskular dan ketidakpatuhan dalam diet dan terapi

(AFA,2014).

2.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Rawat Inap Ulang

Kejadian rawat inap ulang pasien gagal ginjal kronik terjadi

karena eksaserbasi dari gejala klinis overload. Gejala yang

menyebabkan pasien GGK mengalami rehospitalisasi ialah di mana

kebutuhan manusia gagal untuk mempertahankan metabolism, dan

keseimbangan cairan dan elektrolit, sehingga menyebabkan uremia

(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).

Rehospitalisasi menjadi salah satu faktor yang menentukan

prognosis penyakit tersebut. Pasien yang mengalami rehospitalisasi

akan memiliki afek atau dampak yaitu sekitar 50% meninggal pada 6

bulan setelah rehospitalisasi dan 25-35% akan meninggal pada 12 bulan

setelah rehospitalisasi (AHA, 2014).

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi rehospitalisasi pasien

GGK :

1. Faktor gangguan fungsi ginjal

a. Gangguan ginjal dan memburuknya fungsi ginjal

b. Selama gagal ginjal rawat inap semakin di akui

c. Prediktor kuat dari hasil yang merugikan

d. Salah satu penyebab termasuk rawat inap ulang (AHA, 2014)

2. Faktor psikososial
Ketidak patuhan terhadap terapi tentu akan memperburuk

kondisi umum dari pasien gagal ginjal. Menurut studi analitik yang
30

dilakukan Majid (2010) 72,5% pasien gagal ginjal menjalani rawat

inap ulang di sebabkan oleh ketidak patuhan terhadap terapi.

Sedangkan ketidak patuhan terhadap diet sebesar 73%. Ketidak

patuhan terhadap terapi bias di sebabkan karena depresi, sehingga

pasien tidak patuh terhadap terapi dan memiliki pola makan yang

tidak sesuai dengan anjuran. Dukungan keluarga dan lingkungan

sekitar juga penting.Kurangnya dukungan dari lingkungan sekitar

pasien menjadi faktor independen yang menyebabkan kejadian

rawat inap ulang pasien gagal ginjal.57% pasien gagal ginjal yang

menjalani rawat inap ulang kurang mendapatkan dukungan dari

keluarga dan social (Majid, 2010).

3. Faktor demografi
Jenis kelamin laki-laki, usia 75 tahun dan lebih tua dan etnis

Afrika Amerika sebagai faktor resiko untuk untuk di terima kembali

pada rawat inap ulang dengan gagal ginjal (Silverstein et al, 2008).

4. Faktor ekonomi

Faktor ekonomi yang di prediksi untuk mempengaruhi

keputusan pasien gagal ginjal kronik menjalani rawat inap ulang

adalah :

a. Status pendapatan perbulan

Dari hasil penelitian menyebutkan bahwa pekerjaan

berbanding lurus dengan pendapatan (Kausz, 2000).Kebutuhan

financial yang cukup tinggi pada pasien gagal ginjal kronik

dapat mempengaruhi perekonomian keluarga.Perencanaan

strategis untuk pengembangan ekonomi, bekerjasama dengan


31

badan pemerintah di perlukan untuk meringankan beban pasien

(Brener, 2006).

b. Status asuransi

Dari hasil penelitian menyebutkan bahwa keikutsertaan

asuransi pasien di pengaruhi oleh status pendapatan(Obrador et

al, 1999).Semua pasien dengan asuransi kesehatan mendapatkan

pelayanan sama dalam pelaksanaan rawat inap.

5. Faktor dukungan pelayanan kesehatan

Bahwa pasien mempunyai hubungan baik dengan petugas

kesehatan akan memiliki kepatuhan pada penatalaksanaan

penyakitnya. Semakin baik hubungan pasien dengan petugas

kesehatan memberikan dukungan yang besar terhadap ketaatan

pasien dalam rawat inap (Burrows, 2008).

2.3.3 Tujuan Pelayanan Rawat Inap Ulang

Pelayanan rawat inap adalah pelayanan terhadap pasien masuk

rumah sakit yang menempati tempat tidur perawatan untuk keperluan

observasi, diagnosa, terapi,rehabilitasi medik dan atau pelayanan medik

lainnya ( Suryanti, 2012).

Adapun tujuan pelayanan rawat inap antara lain :

1. Membantu penderita memenuhi kebutuhannya sehari – hari

sehubungan dengan penyembuhan penyakitnya.

2. Mengembangkan hubungan kerja sama yang produktif baik antara

unit maupun antara profesi.


32

3. Membeikan kesempatan kepada tenaga perawat untuk

meningkatkan keterampilannya dalam hal kepperawatan.

4. Meningkatkan suasana yang memungkinkan timbul dan

berkembangnya gagasan yang kreatif.

5. Mengandalkan evaluasi yang terus menerus mengenai metode

keperawatan yang dipergunakan untuk usaha peningkatan

6. Memanfaatkan hasil evaluasi tersebut sebagai alat peningkatan atau

perbaikan praktek keperawatan yang dipergunakan

2.3.4 Kategori Kejadian Rawat Inap

Kejadian rawat inap dapat dikategorikan menjadi dua (Majid,

2010) :

1. Tinggi

Kejadian rawat inap ulang terjadi lebih dari satu kali dalam satu

tahun terahir.

2. Rendah

Kejadian rawat inap ulang terjadi satu kali dalam satu tahun terahir.

2.3.5 Standar Pelayanan Rawat Inap

Standar yang dikemukakan ini menurut Kepmenkes No 129

tahun 2008 mengenai standar minimal rumah sakit.

Jenis
No Indikator Standar
Pelayanan
1 Rawat Inap 1. Pemberi pelayanan di rawat inap
a. Dokter Spesialis.
b.Perawat minimal pendidikan
D3
2. Dokter penanggung jawab rawat
2. 100%
inap
3. Ketersediaan pelayanan rawat
3. a. Anak.
inap. b. Penyakit dalam
c. Kebidanan
d. Bedah
33

Jenis
No Indikator Standar
Pelayanan
4. Jam visite dokter spesialis. 4. 08:00 – 14:00 setiap hari kerja
5. Kejadian infeksi paska operasi 5. ≤ 1,5%
6. Kejadian Infeksi Nosokomial 6. ≤ 1,5%
7. Tidak adanya pasien jatuh yang 7. 100%
berakibat kecacatan/kematian
8. Kematian pasien > 48 jam 8. ≤ 0,24%
9. Kejadian pulang paksa 9. ≤ 5%
10. Kepuasan pelanggan 10. ≥ 90%
11. Rawat Inap TB 11. a. ≥ 60%
a. Penegakan diagnosis TB melalui b. ≥ 60%
pemeriksaan mikroskopis TB
b. Terlaksananya kegiatan dan
pelaporan TB di Rumah Sakit
12.Ketersediaan pelayanan rawat inap12. NAPZA, Gangguan Psikotik,
di rumah sakit yang memberikan Gangguan Nerotik, dan
pelayanan jiwa. gangguan mental organic.
13. Tidak adanya kejadian kematian 13. 100%
pasien gangguan jiwa karena
bunuh diri.
14. Kejadian Re-admision pasien 14. 100%
gangguan jiwa dalam waktu ≤ 1
bulan.
15. Lama hari perawatan pasien 15. ≤ 6 minggu
gangguan jiwa.
34

2.4 Kerangka teori

Faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat


kepatuhan
1. Variable demografi
2. Variable penyakit
3. Variable program teraupetik
4. Variable psikososial

Faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat


kepatuhan:
1. Komunikasi
2. Pengetahuan
3. Fasilitas kesehatan

Faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat


kepatuhan :

1. Penderita atau individu


2. Dukungan keluarga
3. Dukungan social
4. Dukungan petugas kesehatan Rawat inap ulang
(Readmission)

Faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat


kepatuhan :

1. Faktor social / ekonomi


2. Faktor kondisi yang berhubungan dengan Faktor yang mempengaruhi
kesehatan
kejadian rawat inap ulang:
3. Faktor terapi terkait dengan pasien
4. Faktor perilaku pasien 1. Faktor gangguan fungsi
5. Faktor pada system kesehatan ginjal
2. Faktor psikososial
3. Faktor demografi
4. Faktor ekonomi
Faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat 5. Faktor dukungan
kepatuhan : pelayanan kesehatan
1. Pengetahuan
2. Tingkat ekonomi
3. Sikap
4. Usia
5. Dukungan keluarga
6. Jarak dari pusat pelayanan
7. Nilai dan keyakinan

Gambar 2.1 :Kerangkakonseptual Hubungan Kepatuhan Pasien dengan Kejadian


Readmission pada Pasien Gagal Ginjal Kronik di Rumah Sakit
Umum Daerah Provinsi NTB ( Brunner dan Suddart, 2002, Smet,
1998, Niven 2002 dan WHO,2003)
35

BAB 3

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi

hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau

antara variabel yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin

diteliti (Notoatmodjo, 2010).

4. independen
Variabel Kepatuhan dependen

Kepatuhan pasien minum obat Rawat inap ulang (readmission)

Gambar 3.1 Kerangka konseptual penelitian “Hubungan Kepatuhan Pasien


Dengan Kejadian Readmission pada Pasien Gagal Ginjal Kronik di
RSUDP NTB”

3.2 Variabel Penelitian

1. Variabel Independen/ Variabel Bebas

Variabel ini sering di sebut dengan variabel stimulus, predictor dan

antecedent.Variabel bebas adalah merupakan variabel yang mempengaruhi

atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen

(Sugiyono, 2011).

Variabel independen dalam penelitian ini adalah kepatuhan pasien

minum obat.

2. Variabel Dependen

Variabel dependen, sering di sebut sebagai variabel output, criteria,

konsekuen. Dalam bahasa Indonesia biasa di sebut dengan variabel terikat

35
36

yang merupakan variabel yang di pengaruhi atau yang menjadi akibat,

karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2011).

Variabel dependen pada penelitian ini adalah kejadian rawat inap

ulang pasien dengan gagal ginjal kronik.

3.3 Hipotesis

Menurut Sugiyono (2011), hipotesis penelitian adalah jawaban sementara

penelitian, patokan duga sementara, yang kebenarannya akan di buktikan dalam

penelitian tersebut. Menurut Sugiyono (2011) hipotesis di bagi menjadi dua

macam :

1. Hipotesis Alternatif (Ha)

Hipotesis ini menyatakan adanya hubungan variabel X dan Y atau

hubungan antara dua kelompok.

2. Hipotesis Nol (H0)

Hipotesis ini menyatakan tidak ada hubungan variabel atau tidak

adanya hubungan variabel X dan Y.

Hipotesis yang di ajukan pada penelitian ini adalah :

a. Ha : ada hubungan kepatuhan pasien minum obat dengan kejadian rawat

inap ulang pada pasien gagal ginjal kronik di RSUDP NTB.

b. H0 : tidak ada hubungan kepatuhan pasien minum obat dengan kejadian

rawat inap ulang pasien gagal ginjal kronik di RSUDP NTB.


37

3.4 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang di

amati dari sesuatu yang di definisikan tersebut. Karakteristik yang dapat di amati

(di ukur) itulah yang merupakan kunci definisi operasional. Dapat di amati

artinya memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran

secara cermat terhadap suatu objek atau objek atau fenomena yang kemudian

dapat di ulang lagi oleh orang lain (Nursalam, 2008).

Table 3.2 Definisi Operasional

VARIABEL DEFINISI PARAMETER ALAT UKUR CARA HASIL SKALA


OPERASIONAL UKUR UKUR UKUR
Variabel Kepatuhan -Pasien mampu Mengisi Kuesioner 1.jika Nominal
independen pasien terhadap menjelaskan kuesioner responden
Kepatuhan pengobatan yang resiko ketidak menjawab
pasien telah di tentukan patuhan dalam YA maka
minum obat minum obat skornya
(1)
-Pasien mampu 2.jika
untuk responden
mengingat menjawab
waktu untuk TIDAK
minum obat maka
skornya
(0)
Dengan
criteria:
-baik : 76-
100%
-cukup :
56-75%
-kurang:
≤56%
Skala Kejadian pasien -Ketidak Mengisis kusioner 1.jika Nominal
dependen gagal ginjal Kronik patuhan Chek responden
Rawa inap dirawat kembali di terhadap menjawab
ulang rumah sakit yang minum obat YA maka
terjadi lebih dari akan skornya
satu kali pada memperburuk (1)
pada kondisi pasien. 2.jika
pasien yang sama - responden
dengan kurun Ketergantunga menjawab
38

waktu tertentu. n terhadap obat TIDAK


maka
skornya
(0)
Dengan
criteria:
-baik : 76-
100%
-cukup :
56-75%
-kurang:
≤56%
39

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Desain penelitian merupakan rencana penelitian yang di susun

sedemikian rupa sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban pertanyaan

peneliti (Setiadi, 2010). Penelitian yang di lakukan adalah jenis studi korelasi

yang merupakan penelitian hubungan antara dua variabel pada sekelompok

subjek untuk melihat hubungan antara variabel satu dengan yang lain di mana

dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat hubugan kepatuhan pasien dengan

kejadian readmission pada pasien gagal ginjal kronik (Notoatmodjo, 2010).

Pendekatan yang di gunakan secara cross sectional untuk mempelajari dinamika

korelasi anatara variabel dengan cara melakukan observasi pada subjek

penelitian hanya sekali saja dalam waktu yang bersamaan (Notoatmodjo, 2010).

4.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akandilakukan bulan Maret 2017, di Rumah Sakit Umum

Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat.

4.3 Populasi Dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek

atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang di

tetapkan oleh peneliti untuk di pelajari dan kemudian di tarik kesimpulan

(Sugiyono, 2011). Pada penelitian ini populasinya adalah semua pasien

dengan diagnose medis gagal ginjal kronik yang mengalami rawat inap

ulang di RSUDP NTB. Berdasarkan studi pendahuluan yang di lakukan

39
40

peneliti, di dapatkan bahwa dari rekapitulasi tahun 2016 sebanyak 376

pasien.

4.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek yang akan diteliti

dan dianggap akan mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010).

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi (Sugiyono, 2011). Sampel pada penelitian ini adalah semua

pasien dengan diagnosemedis gagal ginjal kronik yang mengalami rawat

inap ulang dikelas perawatan reguler di RSUDP NTB.

4.3.3 Teknik Sampling


Menurut Nursalam (2011) Sampling adalah suatu proses dalam

menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi. Teknik

sampling merupakan cara – cara yang ditempuh dalam pengambilan

sampel, agar memperoleh sampel yang benar – benar sesuai dengan

keseluruhan subjek penelitian.

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah

purposive sampling. Purposive sampling adalah metode penetapan

sampel dengan memilih beberapa sampel tertentu yang di nilai sesuai

dengan tujuan atau masalah penelitian dalam sebuah populasi

(Nursalam, 2008). Alasan mengambil Purposive sampling karena

pengambilan sampel harus didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat atau

karakteristik tertentu, di mana semua hal tersebut adalah merupakan cici-

ciri pokok populasi dari sampel yang akan di ambil.


41

4.3.4 Kriteria Sampel

1. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian

dari dari suatu populasi target yang terjangkau dan akan diteliti

(Nursalam, 2011). Adapun kriteria inklusi penelitian ini adalah:

a. Pasien gagal ginjal yang mengalami rawat inap ulang di RSUDP

NTB dengan diagnosa yang sama.

b. Pasien yang bersedia menjadi responden penelitian.

2. Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan

subjek yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai

sebab (Nursalam, 2011). Adapun kriteria eksklusi penelitian ini

adalah :

a. Pasien dengan diagnosa gagal ginjal yangdirawat di rumah sakit

pada kali pertama perawatan dan pasien yangdalam keadaan

kritis.

b. Pasien yang tidak bersedia menjadi responden penelitian.

4.4 Etika Penelitian

1. Informed Consent atau lembar persetujuan ini diberikan kepada responden

yang akan diteliti dengan tujuan agar subyek mengetahui maksud dan tujuan

penelitian.

2. Anonymity (tanpa nama) untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan

mencantumkan nama responden, tetapi lembar tersebut diberikan kode.


42

3. Confidentiality atau kerahasiaan informasi responden dijamin peneliti hanya

data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.

4.5 Instrumen Penelitian

Instrument penelitian adalah alat-alat yang di gunakan untuk

pengumpulan data (Notoatmodjo, 2010).Instrument dalam penelitian ini adalah

kuisioner yang di susun dalam tiga bagian yaitu bagian pertama berupa data

biografi responden meliputi No. responden, inisial responden, jenis kelamin dan

umur.Bagian kedua adalah kusioner kepatuhan minum obat yang terdiri atas 35

pertanyaan dengan pilihan jawaban YA dan TIDAK.Jika responden menjawab

“Ya” di berikan skor 1 dan jika responden menjawab “Tidak” di berikan skor

0.Skor maksimal adalah 100 sedangkan skor minimalnya adalah nol. Responden

di katakana baik jika mendapat skor 75-100%, cukup 56-75% dan kurang ≤56%.

4.6 Pengumpulan Data

Pengumpulan data di lakukan dengan cara membagikan kuesioner

kepada responden. Responden di berikan penjelasan terlebih dahulu mengenai

cara menjawab pertanyaan dalam kuesioner. Waktu mengerjakan kuesioner

sekitar 20-30 menit. Bila responden tidak paham, maka bias menanyakan pada

peneliti saat itu juga.

Responden pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Memperoleh ijin untuk melakukan penelitian kepada direktur RSUDP NTB.

2. Memberikan penjelasan tentang tujuan, manfaat dan prosedur penelitian yang

akan di laksanakan kepada responden.


43

3. Setelah responden memahami penjelasan yang di berikan, responden di minta

persetujuan sebagai responden dalam penelitian dengan menandatangani

informed consent sebagai buktinya.

4. Membagikan kuesioner kepada responden dan menjelaskan cara mengisinya

5. Mempersilahkan responden untuk mengisi kuesioner.

6. Mengumpulkan kuesioner yang telah di isi dan di periksa kelengkapannya,

apabila terdapat kekurangan maka responden di minta melengkapi kembali.

7. Melakukan analisis data dengan computer.

4.7 Pengolahan Data

Pengolahan data pada penelitian ini di laksanakan dengan tahap-tahap

sebagai berikut:

1. Memeriksa (Editting)

Editing adalah memeriksa daftar pertanyaan yang telah di serahkan oleh

para pengumpul data (Setiadi, 2007). Pemeriksa daftar pertanyaan yang telah

selesai di isi responden di lakukan terhadap:

a. Kelengkapan jawaban, apakah tiap pertanyaan yang telah di serahkan

sudah ada jawabannya sesuai ketentuan instrument yang di gunakan.

b. Keterbacaan tulisan, tulisan yang tidak terbaca akan mempersulit

epngolahan data.

Editing di lakukan di tempat pengumpulan data sehingga bila terdapat

kekurangan dapat segera di lengkapi.

2. Memberikan tanda kode (coding)


Coding adalah mengklasifikasikan jawaban-jawaban dari para responden

ke dalam kategori. Biasanya klasifikasi di lakukan dengan caramemberi

tanda/kode berbentuk angka pada masing-masing jawaban (Setiadi, 2007).


44

3. Pemasukan data (processing)


Setelah semua data terkumpul maka data akan di tabulasikan dan di

kelompokkan sesuai dengan sub variabel yang di teliti. Jawaban seluruh

responden dari masing-masing pertanyaan di jumlahkan dan di bandingkan

dengan jumlah jawaban yang di harapkan, kemudian di kalikan 100% dengan

menggunakan rumus (Arikunto,2006). Adapun rumus yang di gunakan

sebagai berikut:

∑f
P= × 100%
n

Keterangan :

P = persentase skor atau responden

∑f = Frekuensi skor atau responden

N = Jumlah responden atau skor total

Dari perhitungan rumus di atas kemudian hasilnya di persentasikan dengan

menggunakan criteria kualitatif (Arikunto, 2006) yaitu:

1. 75-100% = Baik

2. 56-75% = Cukup

3. ≤ 56% = Kurang

4. Cleaning
Cleaning adalah melakukan pengecekkan kembali data yang sudah

dientry untuk melihat ada tidaknya kesalahan terutama kesesuaian

pengkodean yang telah di tetapkan dengan pengetikkan melalui computer.

4.8 Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis bivariat.

Menurut Notoatmodjo (2010), analisis bivariat di lakukan terhadap dua variabel


45

yang di duga berhubungan atau berkolerasi. Untuk mengetahui hubungan lebih

lanjut antara kepatuhan minum obat dengan rawat inap ulang di gunakan uji

statistic korelasi Spearman (rs) dengan menggunakan bantuan program SPSS.

Menurut Afifi A.A. & Clark V. (1990) di adopsi oleh Windu Purnomo (2002)

dalam Nursalam (2008) bahwa jika variabel bebas terdiri dari satu variabel

berskala ordinal, dan variabel tergantung berskala ordinal maka uji statistic

menggunakan uji korelasi Rank Spearman (rs). Berdasarkan uji statistic tersebut

dapat di putuskan H0 di terima (Ha di tolak) bila nilai p > 0,05, sebaliknya H0 di

tolak (Ha di terima) bila nilai p < 0,05.

Anda mungkin juga menyukai