Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Memahami kinerja Puskesmas dan masalah kesehatan di
wilayah kerja Puskesmas serta pengelolaannya sebagai unit
organisasi fungsional yang melaksanakan usaha pokok
kesehatan secara menyeluruh, terarah, dan terpadu kepada
masyarakat.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Memahami keadaan wilayah kerja PuskesmasBalongsari.
2. Mempelajari struktur organisasi Puskesmas Balongsari.
3. Mengetahui manajemen dan sumber daya Puskesmas
Balongsari.
4. Mengetahui program-program Puskesmas Balongsari dan
pelaksanaannya.
5. Mengetahui bentuk pencatatan dan pelaporan Puskesmas
Balongsari.
6. Mengetahui permasalahan yang ada di Puskesmas
Balongsari dan mencoba menentukan solusi yang dapat
dilakukan.
BAB II
GAMBARAN UMUM
UKM Pengembangan
1. Upaya Kesehatan Sekolah
2. Kesehatan Jiwa
3. Kesehatan Gigi Masyarakat
4. Kesehatan Kerja dan Olahraga
5. Kesehatan Indera
6. Kesehatan Lansia
7. Posyandu Balita
8. Posyandu Remaja
Data Demografis
Data kependudukan tahun 2017 :
1. Jumlah penduduk keseluruhan : 38.143 orang
Laki-laki : 18.971 orang
Perempuan : 19.172 orang
2. Jumlah kepala keluarga :10.600 KK
4. UKM Pengembangan
Kesehatan Lansia : Posyandu lansia. Anamnesis,
pemeriksaan fisik, diagnosis
Posyandu Balita : Pendaftaran, Penimbangan, Pencatatan,
Penyuluhan, Pelayanan Kesehatan, dan pemberian PMT
5. UKP
Poli Umum dan UGD : anamnesa, pemeriksaan fisik,
diagnosis, terapi
Poli KIA / KB : anamnesa, pemeriksaan fisik, diagnosis, terapi
Poli MTBS : anamnesa, pemeriksaan fisik, diagnosis
Poli Santun Lansia : anamnesa, pemeriksaan fisik, diagnosis
Rumah Bersalin : visite pasien, anamnesis, pemeriksaan fisik,
diagnosis
BAB III
ANALISIS MASALAH
Pembinaan
tingkat Promkes PKP 28 % 0
4. perkembangan
Pos UKK
Poskestren
Purnama dan Promkes PKP 90 % 0
5. Mandiri
Konseling
6. Kesling PKP 10 % 9,6 %
Sanitasi
Daftar Sumber
Masalah Upaya data/ Harapan/ Capaian/
No.
Sesuai PKP Kesehatan Laporan Target Kenyataan
2017 Puskesmas
Inspeksi
7. Sanitasi PBL Kesling PKP 20 % 11,9 %
Cakupan
pelayanan P2 PKP 100 % 83 %
9.
Diare balita
Imunisasi TT5
pada WUS P2 PKP ≥85 % 30,47 %
10.
(15-49 th)
Perempuan
usia 30 – 50
tahun yang di P2 PKP 30 % 11 %
11. deteksi dini
kanker cervix
dan payudara .
Angka Bebas
12. Jentik (ABJ) P2 PKP 95 % 88,9 %
PUS dengan 4
13. T ber KB KIA PKP
Murid kelas 1-
6 yang P2 PKP 40 % 8,6 %
14.
mendapat
perawatan gigi
Penyehat
Tradisional Yansus PKP 65 % 0
15. ramuan yang
memiliki STPT
Penemuan
dan
16. penanganan P2 PKP 70 % 35,9 %
Kasus refraksi.
Penemuan
kasus penyakit
17. mata di P2 PKP 65 % 36,6 %
Puskesmas
Daftar Sumber
Masalah Upaya data/ Harapan/ Capaian/
No.
Sesuai PKP Kesehatan Laporan Target Kenyataan
2017 Puskesmas
Penemuan
kasus yang P2 PKP 12 % 3%
rujukan ke
spesialis di
18.
Puskesmas
melalui
pemeriksaan
fungsi
pendengaran
Penemuan
kasus penyakit P2 PKP 35 % 18%
19.
telinga di
puskesmas
Penemuan
Kasus
20.
Serumen prop P2 PKP 55 % 50%
Promotif dan
preventif yang
dilakukan
pada KesKerja PKP 60% 22%
21.
kelompok
kesehatan
kerja
3.2 Penentuan Prioritas Masalah
Prioritas masalah ditentukan dengan menggunakan metode USG
dikarenakan masalah yang timbul bukanlah jenis masalah yang
homogen.
MANUSIA METODE
Tidak memeriksakan
diri saat ada keluhan
Tingkat
Pendidikan
Rendah Cakupan
penemuan
dan
penanganan
kasus
Tidak refraksi
Banyaknya Optik
Mempunyai
Tidak Ada yang di wilayah kerja
jaminan
mengantar puskesmas
kesehatan
periksa
DANA LINGKUNGAN
SARANA
Gambar 3.1 Diagram Fishbone Masalah Penemuan dan Penanganan Kasus Refraksi
Dalam penentuan determinan masalah , kami menggunakan metode
Nominal Group Technique (NGT)
Tabel 3.4 Penentuan Prioritas Determinan Masalah dengan Nominal Group
Technique
Penyebab Masalah I II III Total
Tidak ada yang mengantar periksa 7 7 6 20
Tidak mempunyai jaminan kesehatan 6 5 7 18
Banyaknya optik di wilayah kerja 5 6 4 15
puskesmas
Menganggap kelainan refraksi hal yang 4 3 5 12
biasa
Tidak memeriksakan diri saat ada 3 4 2 9
keluhan
Tenaga terlatih masih sedikit 2 1 3 6
Tingkat pendidikan rendah 1 2 1 4
BAB IV
PEMECAHAN MASALAH
Hipermetropia Miopia
Gambar 4.1 Hipermetropia & miopia
B. Hipermetropia
Hiperopia (hipermetropia, farsightedness) adalah keadaan
mata tak berakomodasi yang memfokuskan bayangan di belakang
retina. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya panjang sumbu
(hiperopia aksial), seperti yang terjadi pada kelainan kongenital
tertentu, atau menurunnya indeks refraksi (hiperopia refraktif),
seperti pada afakia. Hiperopia adalah suatu konsep yang lebih sulit
dijelaskan daripada miopia. Istilah "farsighted" berperan dalam
menimbulkan kesulitan tersebut, selain juga seringnya terdapat
kesalahpahaman di kalangan awam bahwa presbiopia adalah
farsightedness dan bahwa seseorang yang melihat jauh dengan
baik artinya farsighted (Vanghan & Asbury, 2012).
Berdasarkan akomodasi hipermetropia dibedakan secara
klinis menjadi hipermetropia manifest, hipermetropia manifest
absolute, hipermetropia manifest fakultatif, hipermetropia laten dan
hipermetropia total (Perdami, 2014). Hipermetropia dapat dikenali
dengan beberapa gejala sebagai berikut :
a. Biasanya pasien pada usia tua mengeluh pengelihatan jauh
kabur.
b. Pengelihatan dekat lebih cepat buram. Akan lebih terasa
pada keadaan kelelahan atau penerangan yang kurang.
c. Sakit kepala pada daerah frontal dan dipacu oleh kegiatan
melihat dekat dalam jangka panjang. Jarang terjadi di pagi
hari, cenderung terjadi setelah siang hari dan membaik
spontan bila kegiatan melihat dekat dihentikan.
d. Eyestrain / ketegangan pada mata.
e. Sensitif terhadap cahaya.
f. Spasme akomodasi, yaitu terjadinya cramp. Ciliaris diikuti
pengelihatan buram intermiten.
Hipermetropia dapat disebabkan oleh (Ilyas, 2013):
a. Hipermetropia sumbu atau hipermetropia aksial merupakan
kelainan refraksi akibat bola mata pendek, atau sumbu
anteroposterior yang pendek.
b. Hipermetropia kurvatur, dimana kelengkungan kornea atau
lensa kurang sehingga bayangan difokuskan di belakang
retina.
c. Hipermetropia refraktif, dimana terdapat indeks bias yang
kurang pada sistem optik mata.
C. Astigmatisme
Astigmatisma adalah keadaan dimana sinar sejajar tidak
dibiaskan secara seimbang pada seluruh meridian. Pada
astigmatisma regular terdapat dua meridian utama yang terletak
saling tegak lurus. Gelaja astigmatisma biasanya dikenali dengan
penglihatan yang kabur, head tilting, mempersempit palpebra dan
mendekati objek untuk melihat lebih jelas. Penatalaksanaan
astigmatisma dilakukan dengan lensa silinder bersama sferis
(Perdami, 2014).
Astigmatisma merupakan suatu kondisi dimana kornea
memiliki lengkungan yang abnormal, sehingga menyebabkan
gangguan penglihatan. Kornea yang normal berbentuk bulat, tetapi
pada astigmatisma kornea berbentuk oval, sehingga menyebabkan
ketidakfokusan pada cahaya yang masuk ke mata.
Astigmatisma merupakan kondisi yang umum diderita dan
sering terjadi bersamaan dengan miopia (rabun jauh) atau
hiperopia (rabun dekat). Penyebab astigmatisma seringkali tidak
diketahui. Astigmatisma biasanya ada sejak lahir. Tahap
astigmatisma yang kecil dianggap normal dan biasanya tidak
memerlukan koreksi apapun. Meskipun jarang, astigmatisma
mungkin juga disebabkan oleh seringnya menggosok mata dengan
keras (seperti pada anak yang mengidap alergi konjungtivitis) atau
penyakit kornea mata seperti keratokonus. Astigmatisma dapat
dikoreksi dengan lensa korektif seperti kacamata atau lensa kontak.
Alat bantu penglihatan ini dapat membantu memfokuskan cahaya
yang masuk ke retina mata. Cara lain untuk mengkoreksi
astigmatisma adalah operasi refraktif seperti LASIK, dan implan
lensa kontak (Singapore National Eye Centre, 2014) Astigmatisme
adalah kekuatan optik kornea di bidang yang berbeda tidak sama.
Sinar cahaya paralel yang melewati bidang yang berbeda ini jatuh
ke titik fokus yang berbeda (Bruce James, 2006).
Bayi yang baru lahir biasanya mempunyai kornea yang bulat
atau sferis yang di dalam perkembangannya terjadi keadaan yang
disebut sebagai astigmatisme with the rule (astigmat lazim) yang
berarti kelengkungan kornea pada bidang vertikal bertambah atau
lebih kuat atau jari-jarinya lebih pendek dibanding jari-jari
kelengkungan kornea di bidang horizontal. Pada keadaan astigmat
lazim ini diperlukan lensa silinder negatif dengan sumbu 180 derajat
untuk memperbaiki kelainan refraksi yang terjadi (Ilyas, 2013).
Pada usia pertengahan kornea menjadi lebih sferis kembali
sehingga astigmat menjadi againts the rule (astigmat tidak lazim).
a) Astigmat tidak lazim (astigmatisme againts the rule): Suatu
keadaan kelainan refraksi astigmat dimana koreksi dengan silinder
negatif dilakukan dengan sumbu tegak lurus (60-120 derajat) atau
dengan silinder positif sumbu horizontal (30-150 derajat). Keadaan
ini terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian horizontal
lebih kuat dibandingkan kelengkungan kornea vertikal. Hal ini
sering ditemukan pada usia lanjut.
b) Astigmat regular: Astigmat yang memperlihatkan kekuatan
pembiasan bertambah atau berkurang perlahan-lahan secara
teratur dari satu meridian ke meridian berikutnya. Bayangan yang
terjadi pada astigmat regular dengan bentuk yang teratur dapat
berbentuk garis, lonjong atau lingkaran.
c) Astigmat iregular: Astigmat yang terjadi tidak mempunyai 2
meridian saling tegak lurus. Astigmat iregular dapat terjadi akibat
kelengkungan kornea pada meridian yang sama berbeda sehingga
bayangan menjadi iregular. Astigmatisme iregular terjadi akibat
infeksi kornea, trauma dan distrofi atau akibat kelainan pembiasan
pada meridian lensa yang berbeda.
C. Uji “Pinhole”
Jika pasien memerlukan kacamata atau jika kacamatanya
tidak tersedia, ketajaman penglihatan terkoreksi dapat diperkirakan
dengan uji penglihatan melalui pinhole. Penglihatan kabur akibat
refraksi (misalnya: miopia, hiperopia, astigmatisme) disebabkan
oleh banyaknya berkas sinar tak terfokus yang masuk ke pupil dan
mencapai retina. Ini mengakibatkan terbentuknya bayangan yang
tidak terfokus tajam.
Melihat kartu Snellen melalui sebuah plakat dengan banyak
lubang kecil mencegah sebagian besar berkas tak terfokus yang
memasuki mata. Hanya sejumlah kecil berkas sejajar-sentral yang
bisa mencapai retina sehingga dihasilkan bayangan yang lebih
tajam. Dengan demikian, pasien dapat membaca huruf pada satu
atau dua baris dari barisan huruf yang bisa terbaca saat memakai
kacamata koreksi yang sesuai (Vanghan & Asbury, 2012).
a. Faktor Manusia
Menganggap kelainan refraksi hal yang biasa dan tidak
memeriksakan diri saat ada keluhan. Pemecahan masalah yang
penulis sarankan ialah meningkatkan sosialisasi kepada
masyarakat di wilayah kerja puskesmas balongsari mengenai
penyakit-penyakit pada mata , gejala yang mungkin timbul , dan
menyadarkan masyarakat kalau tidak segera memeriksakan diri
kelainan yang timbul akan semakin parah. Hal ini bisa
disosialisasikan menggunakan media leaflet, banner, maupun
penyuluhan secara langsung.
b. Faktor Metode
Jumlah tenaga yang terlatih sedikit , sehingga apabila tenaga kerja
tersebut harus melakukan kegiatan lain, maka pelaksanaan
pemeriksaan akan tertunda. Pemecahan masalah yang penulis
sarankan ialah dengan melakukan pelatihan kepada petugas.
c. Faktor Sarana
Tidak ada yang mengantar pasien untuk berobat ke puskesmas.
Pemecahan masalah yang penulis sarankan ialah bekerjasama
dengan kader untuk mau mengantarkan pasien yang menderita
kelainan pada mata untuk memeriksakan diri ke puskesmas sesuai
jadwal.
d. Faktor Lingkungan
Banyaknya optik di wilayah kerja puskesmas sehingga pasien
kebanyakan langsung periksa ke optik. Pemecahan masalah yang
penulis sarankan ialah meningkatkan sosialisasi kepada
masyarakat di wilayah kerja puskesmas balongsari mengenai
pentingnya memeriksakan diri dulu ke puskesmas dan dokter mata
sebelum pergi ke optik.
.
4.4 Rencana Kegiatan, Monitoring, dan Evaluasi
Rencana kegiatan yang dilakukan merupakan suatu kesatuan
program yang disebut “PEMANIS” (Pemeriksaan Mata Gratis) Program
tersebut memiliki 3 kegiatan yang berbeda, namun memiliki tujuan akhir
yang sama yaitu meningkatkan cakupan jumlah Penemuan dan
penanganan Kasus refraksi di wilayah kerja Puskesmas Balongsari.
Kegiatan tersebut terdiri dari:
Tabel 4.1 Macam Kegiatan, Rancangan, Monitoring, dan Evaluasi
1. “ PEMANDU”
(Periksa Mata Di
Posbindu)
Semua yang
Koordinasi dengan PJ Peserta PJ Indra menjadi peserta
Swadana posbindu Laporan Akhir
posbindu POSBINDU 1 tahun Puskesmas
dan BOK pemantauan Tahun
peserta posbindu per RW Balongsari dilakukan
dilakukan pemeriksaan pemeriksaan
mata sesuai jadwal mata
posbindu
2. “Kader ANTARIKSA”
3. “MAMA KES’EL”
(Memeriksakan Mata
di Poskeskel)
Setiap Pasien
yang berobat di
poskeskel Masyarakat PJ Indra
dilakukan di wilayah Pasien yang berobat ke Laporan Akhir
pemeriksaan
1 tahun Bidan - poskeskel rutin dilakukan
kerja pemantauan Tahun
mata poskeskel Kelurahan pemeriksaan mata
Pemasangan
banner di
poskeskel
tentang penyakit
pada mata dan
pentingnya
deteksi dini
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan data dari Puskesmas Balongsari selama bulan Januari
hingga Desember 2017, masih terdapat beberapa masalah kesehatan di
wilayah kerja Puskesmas Balongsari. Masalah yang didapatkan melalui
data Puskesmas di antaranya adalah Penemuan dan Penanganan Kasus
refraksi.
4.2. Saran
Program-program yang diusulkan untuk meningkatkan jumlah
Penemuan dan penanganan Kasus refraksi agar mencapai target tentunya
tidak lepas dari kelemahan dan kekurangan. Diharapkan melalui
monitoring dan evaluasi program didapatkan informasi mengenai
efektivitas program-program tersebut. Perbaikan-perbaikan metode
penyampaian program dapat membantu meningkatkan efektivitas
program. Hendaknya juga terdapat alokasi dana dan Plan of Action untuk
melancarkan program-program usulan tersebut. Kerjasama antara pihak
Puskesmas Balongsari dan masyarakat terutama diharapkan dapat terus
terjalin untuk mengembangkan program-program serupa.
DAFTAR PUSTAKA