Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik
kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat,
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional yang harus dilakukan
oleh apoteker (Depkes RI, 2009). Jadi semestinya masyarakat yang datang ke
apotek ditemui oleh apoteker, konsultasi tentang masalah obat yang mereka
konsumsi, diberi alternatif solusi dan diakhiri dengan membayar jasa
pelayanan. Akan tetapi pada kenyataannya, masih banyak terdapat fasilitas
pelayanan kefarmasian yang tidak melaksanakan fungsinya dengan baik.
Misalnya saja di apotek yang seharusnya berfungsi sebagai sarana pelayanan
kefarmasian, telah berubah fungsi menjadi tempat untuk sekedar jual beli obat.
Obat dijadikan sebagai komoditi dagang dengan adanya Pajak Pertambahan
Nilai, Pajak Penghasilan, dan margin keuntungan atas kegiatan jual beli obat
(Pratomo, 2013).
Apoteker merupakan sebuah profesi yang salah satu cirinya adalah
memberikan jasa berupa pelayanan kefarmasian, tidak hanya menjual produk
obat saja. Dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian, apoteker tidak hanya
meracik obat saja, melainkan harus berinteraksi secara langsung dengan
pasien dan bertanggung jawab atas terapi yang diberikan kepada pasien. Akan
tetapi, tentunya akan timbul biaya-biaya yang harus ditanggung oleh pasien
sebagai pengganti atas jasa pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh
apoteker. Di Indonesia hingga saat ini masih belum diberlakukan penarikan
jasa pelayanan kefarmasian untuk apoteker. Sebagian besar Apoteker
Pengelola Apotek (APA) digaji bulanan oleh Pemilik Sarana Apotek (PSA)
sedangkan apoteker selaku PSA, penghasilan diperoleh dari margin obat yang
berkisar antara 5-20%.
Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) telah menyampaikan wacana penerapan
konsep harga netto untuk mengubah pola pengelolaan apotek. Masyarakat
seharusnya membayar obat sesuai harga netto, tetapi sebagai gantinya
apoteker berhak mendapatkan fee atas pelayanan kefarmasian yang
dilakukannya. Mengenakan biaya pada pasien untuk pelayanan manajemen
terapi obat adalah suatu cara untuk meningkatkan kesadaran dan merubah cara
pandang terhadap nilai dari pelayanan kefarmasian (Yusmainita, 2008).
Namun dengan dikenakannya jasa kefarmasian kepada pasien, apoteker juga
harus melakukan tugasnya untuk melakukan pelayanan kefarmasian kepada
pasien dengan baik.
B. Perumusan Masalah
Permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana penentuan harga obat non resep di apotek?
2. Berapa rata-rata tarif jasa pelayanan kefarmasian untuk obat non resep
yang dapat diambil oleh apoteker di apotek?
3. Apakah penarikan tarif jasa pelayanan kefarmasian membuat harga obat
non resep menjadi lebih mahal?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk memperkirakan rata-rata tarif jasa pelayanan
kefarmasian untuk obat non resep yang dapat diambil oleh apoteker di apotek
tanpa memberatkan pasien.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah :
1. Bagi apoteker, penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai
pertimbangan dalam menetapkan pola tarif atas jasa pelayanan
kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker di apotek.
2. Bagi mahasiswa, dapat menambah pengetahuan terkait jasa pelayanan
kefarmasian sehingga dapat dijadikan pertimbangan apabila nantinya
BAB II
Tinjauan Pustaka
II.1 Apoteker
Menurut PP nomor 51 tahun 2009, apoteker adalah sarjana farmasi
yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan
apoteker. Apoteker termasuk dalam tenaga kefarmasian yang bertugas
untuk melakukan pekerjaan kefarmasian. Apoteker merupakan pendidikan
profesi setelah sarjana farmasi.
Apoteker adalah sebuah profesi, yang terhimpun dalam suatu
organisasi profesi. Profesi adalah sekelompok yang dalam aktivitasnya
dilakukan oleh professional yang disiplin ilmu sama, terkait dengan
masalah kemanusiaan, selalu membutuhkan pelatihan, pendidikan, dan
keahlian khusus yang didapat secara formal dan membutuhkan
kepercayaan masyarakat. Ciri-ciri profesional adalah sebagai berikut :
a. Intelektual dan didukung oleh ilmu pengetahuan (body of knowledge
theory)
b. Diperoleh dari pendidikan yang intensif berat, ekstensif, dan jangka
waktu yang lama
c. Bergabung dalam suatu organisasi (asosiasi) profesi khusus
d. Sebagai seorang profesional :

1) Bertanggung jawab terhadap kemanusiaan (public good)

2) Mempunyai integritas yang luhur (sinless, soundness of moral,


principle, uprightness, honesty, sincerely, wholeness,
compeleteness)

3) Melayani masyarakat dengan altruism

e. Mempunyai izin/lisensi agar dapat diakui masyarakat

f. Merupakan praktisi independen dan melayani klien secara individu

g. Memberikan pelayanan secara imparsial (tidak diskriminatif)

h. Memberikan pelayanan dengan kompensasi fee (Fixed charge)

i. Mempunyai komitmen untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya,


yang merupakan jaminan reputasi mereka

j. Memiliki kesetiaan yang tinggi (loyal) dengan sejawatnya

k. Secara teratur melakukan pengembangan profesi secara terus menerus


(Continuing Professional Development)

l. Menggunakan pertimbangan pribadi dalam solusi masalah sehari-hari


m. Keuntungan tidak tergantung dari modal

o. Memiliki status professional sangat terhormat dan dikenal luas


(Yusmainita, 2008)

Menurut Permenkes nomor 35 tahun 2014, peran apoteker dalam

melakukan pelayanan kefarmasian adalah:

a. Pemberi layanan

Apoteker sebagai pemberi pelayanan harus berinteraksi dengan pasien.


Apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan
kesehatan secara berkesinambungan.

b. Pengambil keputusan

Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam mengambil keputusan


dengan menggunakan seluruh sumber daya yang ada secara efektif dan
efisien.

c. Komunikator

Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien maupun profesi


kesehatan lainnya sehubungan dengan terapi pasien. Oleh karena itu,
apoteker harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik.

d. Pemimpin

Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin.


Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil
keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan
dan mengelola hasil keputusan.
e. Pengelola

Apoteker harus mampu mengelola sumber daya manusia, fisik, anggaran


dan informasi secara efektif. Apoteker harus mengikuti kemajuan
teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi tentang obat dan hal-
hal lain yang berhubungan dengan obat.

f. Pembelajar seumur hidup

Apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan


profesi melalui pendidikan berkelanjutan (Continuing Professional
Development) .

g. Peneliti

Apoteker harus selalu menerapkan prinsip/kaidah ilmiah dalam


mengumpulkan informasi sediaan farmasi dan pelayanan kefarmasian dan
memanfaatkannya dalam pengembangan dan pelaksanaan pelayanan
kefarmasian.

II.2 Apotek

Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian


dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada
masyarakat (Depkes RI, 2014). Menurut PP nomor 51 Tahun 2009, apotek
adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian
oleh Apoteker.

Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku Apotek harus dikelola oleh


seorang apoteker yang profesional. Pelayanan kefarmasian di apotek harus
dilakukan oleh seorang Apoteker. Menurut Permenkes nomor 35 tahun 2014,
apotek harus mudah diakses oleh masyarakat. Sarana dan prasarana apotek
harus dapat menjamin mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai serta kelancaran praktik pelayanan kefarmasian. Sarana dan
prasarana yang diperlukan untuk menunjang pelayanan kefarmasian di apotek
meliputi sarana yang memiliki fungsi :

a. Ruang penerimaan resep

Ruang penerimaan resep sekurang-kurangnya terdiri dari tempat


penerimaan resep, satu set meja dan kursi, serta satu set komputer. Ruang
penerimaan resep ditempatkan pada bagian paling depan dan mudah
terlihat oleh pasien.

b. Ruang pelayanan resep dan peracikan

Ruang pelayanan resep dan peracikan atau produksi sediaan secara


terbatas meliputi rak obat sesuai kebutuhan dan meja peracikan. Di ruang
peracikan sekurang-kurangnya disediakan peralatan peracikan, timbangan
obat, air minum (air mineral) untuk pengencer, sendok obat, bahan
pengemas obat, lemari pendingin, termometer ruangan, blanko salinan
resep, etiket dan label obat. Ruang ini diatur agar mendapatkan cahaya dan
sirkulasi udara yang cukup, dapat dilengkapi dengan pendingin ruangan.

c. Ruang penyerahan obat

Ruang penyerahan obat berupa konter penyerahan obat yang dapat


digabungkan dengan ruang penerimaan resep.
d. Ruang konseling

Ruang konseling sekurang-kurangnya memiliki satu set meja dan kursi


konseling, lemari buku, buku-buku referensi, leaflet, poster, alat bantu
konseling, buku catatan konseling dan formulir catatan pengobatan pasien.

e. Ruang penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis


habis pakai

Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur,


kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan
keamanan petugas. Ruang penyimpanan harus dilengkapi dengan
rak/lemari obat, pallet, pendingin ruangan, lemari pendingin, lemari
penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika, lemari penyimpanan obat
khusus, pengukur suhu dan kartu suhu.

f. Ruang arsip

Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang berkaitan


dengan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai serta pelayanan kefarmasian dalam jangka waktu tertentu.

Untuk dapat melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian di apotek, Apoteker


harus memiliki Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA). Apoteker dapat
mendirikan apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari pemilik modal
baik perorangan maupun perusahaan. Dalam hal Apoteker yang mendirikan
apotek bekerja sama dengan pemilik modal maka pekerjaan kefarmasian harus
tetap dilakukan sepenuhnya oleh apoteker yang bersangkutan (Depkes RI,
2009b).
3. Pelayanan kefarmasian

Tenaga Kefarmasian sebagai salah satu tenaga kesehatan pemberi


pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan penting karena
terkait langsung dengan pemberian pelayanan, khususnya pelayanan
kefarmasian. Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi
dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu
kehidupan pasien (Depkes RI, 2014). Pelayanan kefarmasian telah mengalami
perubahan yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug
oriented) berkembang menjadi pelayanan komprehensif meliputi pelayanan
obat dan pelayanan farmasi klinik yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien. Permenkes nomor 35 tahun 2014 telah mengatur tentang standar
pelayanan kefarmasian di apotek. Standar pelayanan kefarmasian adalah tolak
ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Tujuan disusunnya standar
pelayanan kefarmasian di apotek adalah untuk :

a. Meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian

b. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian

c. Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak


rasional dalam rangka keselamatan pasien
Pelayanan Kefarmasian di apotek meliputi dua kegiatan, yaitu kegiatan
yang bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai dan pelayanan farmasi klinik (Depkes RI, 2014).

a. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai,
yang meliputi :

1) Perencanaan

Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi, alat


kesehatan, dan bahan medis habis pakai perlu diperhatikan pola
penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.

2) Pengadaan

Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan


sediaan farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.

3) Penerimaan

Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis


spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera
dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.

4) Penyimpanan

a) Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.


Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada
wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus
ditulis informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-
12

kurangnya memuat nama obat, nomor batch dan tanggal

kadaluwarsa.

b) Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai


sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.

c) Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk


sediaan dan kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis.

d) Pengeluaran obat memakai sistem First Expire First Out (FEFO)


dan First In First Out (FIFO).

5) Pemusnahan

a) Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan


jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak
yang mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh
apoteker dan disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Pemusnahan obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh
apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki
surat izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan
dengan berita acara pemusnahan.

b) Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu lima tahun dapat
dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh apoteker
disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain di apotek dengan
cara dibakar atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan
Berita Acara Pemusnahan Resep dan selanjutnya dilaporkan kepada
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
13

6) Pengendalian

Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah


persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem
pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini
bertujuan untuk menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan,
kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian
pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu stok
baik dengan cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang-
kurangnya memuat nama obat, tanggal kadaluwarsa, jumlah
pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan.

7) Pencatatan dan pelaporan

Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan


farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi
pengadaan (surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stok),
penyerahan (nota atau receipt penjualan) dan pencatatan lainnya
disesuaikan dengan kebutuhan.

Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan


internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan
manajemen apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya.

Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk


memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan meliputi pelaporan narkotika, psikotropika dan pelaporan
lainnya.
14

b. Pelayanan farmasi klinik, yang meliputi :


1) Pengkajian resep

Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian


farmasetik dan pertimbangan klinis. Jika ditemukan adanya
ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka apoteker harus
menghubungi dokter penulis resep.

2) Dispensing

Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian


informasi obat. Apoteker di apotek juga dapat melayani obat non resep
atau pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi
kepada pasien yang memerlukan obat non resep untuk penyakit ringan
dengan memilihkan obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai.

3) Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan


oleh apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak
memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam
segala aspek penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien
atau masyarakat. Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat
bebas dan herbal.

Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute


dan metode pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan
alternatif, kemanjuran, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan
menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat
15

fisika atau kimia dari obat dan lain-lain. Pelayanan Informasi Obat
harus didokumentasikan untuk membantu penelusuran kembali dalam
waktu yang relatif singkat.

4) Konseling

Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker dengan


pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman,
kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam
penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien.
Untuk mengawali konseling, apoteker menggunakan three prime
questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu
dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker harus
melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah
memahami obat yang digunakan.

Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda


tangan pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang
diberikan dalam konseling.

5) Pelayanan kefarmasian di rumah

Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat


melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah,
khususnya untuk kelompok lanjut usia (lansia) dan pasien dengan
pengobatan penyakit kronis lainnya.

Jenis Pelayanan Kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh


Apoteker, meliputi :
16

a) Penilaian/pencarian masalah yang berhubungan dengan pengobatan

b) Identifikasi kepatuhan pasien

c) Pendampingan pengelolaan obat dan/atau alat kesehatan di rumah,


misalnya cara pemakaian obat asma, penyimpanan insulin

d) Konsultasi masalah obat atau kesehatan secara umum

e) Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan


obat berdasarkan catatan pengobatan pasien

f) Dokumentasi pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di rumah

6) Pemantauan Terapi Obat (PTO)

Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien


mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan
memaksimalkan kemanjuran obat dan meminimalkan efek samping.

Kriteria pasien:

a) Anak-anak dan lanjut usia (lansia), ibu hamil dan menyusui

b) Menerima obat lebih dari lima jenis

c) Adanya multidiagnosis

d) Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati

e) Menerima obat dengan indeks terapi sempit

f) Menerima obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi obat


yang merugikan.

7) Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang


merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang
17

digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi

atau memodifikasi fungsi fisiologis.

Kegiatan:

a) Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi


mengalami efek samping obat

b) Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

c) Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional

Menurut Bahfen (2006), dalam memberikan perlindungan terhadap pasien

dapat diidentifikasi bahwa fungsi dari pharmaceutical care adalah :

a. Menyediakan informasi tentang obat-obatan kepada tenaga kesehatan


lainnya. Tujuan yang ingin dicapai mencakup mengidentifikasikan
hasil pengobatan dan tujuan akhir pengobatan, agar pengobatan dapat
diterima untuk terapi, agar diterapkan penggunaan secara rasional,
memantau efek samping obat dan menentukan metode penggunaan
obat.

b. Mendapatkan rekam medis untuk digunakan dalam pemilihan obat


yang tepat

c. Memantau penggunaan obat apakah efektif, tidak efektif, reaksi yang


berlawanan, keracunan dan jika perlu memberikan saran untuk
memodifikasi pengobatan

d. Menyediakan bimbingan dan konseling dalam rangka pendidikan


kepada pasien
18

e. Menyediakan dan memelihara serta memfasilitasi pengujian


pengobatan bagi pasien penyakit kronis

f. Berpartisipasi dalam pengelolaan obat-obatan untuk pelayanan


gawat darurat

g. Pembinaan pelayanan informasi dan pendidikan bagi masyarakat

h. Partisipasi dalam penilaian penggunaan obat dan audit kesehatan

Menyediakan pendidikan mengenai obat-obatan untuk tenaga kesehatan


4
5

p. Memiliki status professional sangat terhormat dan dikenal luas


(Yusmainita, 2008)

Menurut Permenkes nomor 35 tahun 2014, peran apoteker dalam

melakukan pelayanan kefarmasian adalah:

e. Pemberi layanan

Apoteker sebagai pemberi pelayanan harus berinteraksi dengan pasien.


Apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan
kesehatan secara berkesinambungan.

f. Pengambil keputusan

Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam mengambil keputusan


dengan menggunakan seluruh sumber daya yang ada secara efektif dan
efisien.

g. Komunikator

Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien maupun profesi


kesehatan lainnya sehubungan dengan terapi pasien. Oleh karena itu,
apoteker harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik.

h. Pemimpin

Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin.


Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil
keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan
dan mengelola hasil keputusan.
7

h. Pengelola

Apoteker harus mampu mengelola sumber daya manusia, fisik, anggaran


dan informasi secara efektif. Apoteker harus mengikuti kemajuan
teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi tentang obat dan hal-
hal lain yang berhubungan dengan obat.

i. Pembelajar seumur hidup

Apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan


profesi melalui pendidikan berkelanjutan (Continuing Professional
Development) .

j. Peneliti

Apoteker harus selalu menerapkan prinsip/kaidah ilmiah dalam


mengumpulkan informasi sediaan farmasi dan pelayanan kefarmasian dan
memanfaatkannya dalam pengembangan dan pelaksanaan pelayanan
kefarmasian.

2. Apotek

Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian


dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada
masyarakat (Depkes RI, 2014). Menurut PP nomor 51 Tahun 2009, apotek
adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian
oleh Apoteker.

Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku Apotek harus dikelola oleh


seorang apoteker yang profesional. Pelayanan kefarmasian di apotek harus
dilakukan oleh seorang Apoteker. Menurut Permenkes nomor 35 tahun 2014,
8

apotek harus mudah diakses oleh masyarakat. Sarana dan prasarana apotek
harus dapat menjamin mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai serta kelancaran praktik pelayanan kefarmasian. Sarana dan
prasarana yang diperlukan untuk menunjang pelayanan kefarmasian di apotek
meliputi sarana yang memiliki fungsi :

a. Ruang penerimaan resep

Ruang penerimaan resep sekurang-kurangnya terdiri dari tempat


penerimaan resep, satu set meja dan kursi, serta satu set komputer. Ruang
penerimaan resep ditempatkan pada bagian paling depan dan mudah
terlihat oleh pasien.

b. Ruang pelayanan resep dan peracikan

Ruang pelayanan resep dan peracikan atau produksi sediaan secara


terbatas meliputi rak obat sesuai kebutuhan dan meja peracikan. Di ruang
peracikan sekurang-kurangnya disediakan peralatan peracikan, timbangan
obat, air minum (air mineral) untuk pengencer, sendok obat, bahan
pengemas obat, lemari pendingin, termometer ruangan, blanko salinan
resep, etiket dan label obat. Ruang ini diatur agar mendapatkan cahaya dan
sirkulasi udara yang cukup, dapat dilengkapi dengan pendingin ruangan.

c. Ruang penyerahan obat

Ruang penyerahan obat berupa konter penyerahan obat yang dapat


digabungkan dengan ruang penerimaan resep.
9

d. Ruang konseling

Ruang konseling sekurang-kurangnya memiliki satu set meja dan kursi


konseling, lemari buku, buku-buku referensi, leaflet, poster, alat bantu
konseling, buku catatan konseling dan formulir catatan pengobatan pasien.

g. Ruang penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis


habis pakai

Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur,


kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan
keamanan petugas. Ruang penyimpanan harus dilengkapi dengan
rak/lemari obat, pallet, pendingin ruangan, lemari pendingin, lemari
penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika, lemari penyimpanan obat
khusus, pengukur suhu dan kartu suhu.

h. Ruang arsip

Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang berkaitan


dengan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai serta pelayanan kefarmasian dalam jangka waktu tertentu.

Untuk dapat melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian di apotek, Apoteker


harus memiliki Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA). Apoteker dapat
mendirikan apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari pemilik modal
baik perorangan maupun perusahaan. Dalam hal Apoteker yang mendirikan
apotek bekerja sama dengan pemilik modal maka pekerjaan kefarmasian harus
tetap dilakukan sepenuhnya oleh apoteker yang bersangkutan (Depkes RI,
2009b).
10

3. Pelayanan kefarmasian

Tenaga Kefarmasian sebagai salah satu tenaga kesehatan pemberi


pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan penting karena
terkait langsung dengan pemberian pelayanan, khususnya pelayanan
kefarmasian. Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi
dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu
kehidupan pasien (Depkes RI, 2014). Pelayanan kefarmasian telah mengalami
perubahan yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug
oriented) berkembang menjadi pelayanan komprehensif meliputi pelayanan
obat dan pelayanan farmasi klinik yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien. Permenkes nomor 35 tahun 2014 telah mengatur tentang standar
pelayanan kefarmasian di apotek. Standar pelayanan kefarmasian adalah tolak
ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Tujuan disusunnya standar
pelayanan kefarmasian di apotek adalah untuk :

d. Meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian

e. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian

f. Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak


rasional dalam rangka keselamatan pasien
11

Pelayanan Kefarmasian di apotek meliputi dua kegiatan, yaitu kegiatan


yang bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai dan pelayanan farmasi klinik (Depkes RI, 2014).

a. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai,
yang meliputi :

1) Perencanaan

Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi, alat


kesehatan, dan bahan medis habis pakai perlu diperhatikan pola
penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.

2) Pengadaan

Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan


sediaan farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.

3) Penerimaan

Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis


spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera
dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.

5) Penyimpanan

a) Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.


Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada
wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus
ditulis informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-
12

kurangnya memuat nama obat, nomor batch dan tanggal

kadaluwarsa.

e) Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai


sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.

f) Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk


sediaan dan kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis.

g) Pengeluaran obat memakai sistem First Expire First Out (FEFO)


dan First In First Out (FIFO).

6) Pemusnahan

a) Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan


jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak
yang mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh
apoteker dan disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Pemusnahan obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh
apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki
surat izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan
dengan berita acara pemusnahan.

b) Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu lima tahun dapat
dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh apoteker
disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain di apotek dengan
cara dibakar atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan
Berita Acara Pemusnahan Resep dan selanjutnya dilaporkan kepada
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
13

6) Pengendalian

Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah


persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem
pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini
bertujuan untuk menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan,
kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian
pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu stok
baik dengan cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang-
kurangnya memuat nama obat, tanggal kadaluwarsa, jumlah
pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan.

7) Pencatatan dan pelaporan

Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan


farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi
pengadaan (surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stok),
penyerahan (nota atau receipt penjualan) dan pencatatan lainnya
disesuaikan dengan kebutuhan.

Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan


internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan
manajemen apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya.

Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk


memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan meliputi pelaporan narkotika, psikotropika dan pelaporan
lainnya.
14

b. Pelayanan farmasi klinik, yang meliputi :


1) Pengkajian resep

Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian


farmasetik dan pertimbangan klinis. Jika ditemukan adanya
ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka apoteker harus
menghubungi dokter penulis resep.

2) Dispensing

Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian


informasi obat. Apoteker di apotek juga dapat melayani obat non resep
atau pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi
kepada pasien yang memerlukan obat non resep untuk penyakit ringan
dengan memilihkan obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai.

3) Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan


oleh apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak
memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam
segala aspek penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien
atau masyarakat. Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat
bebas dan herbal.

Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute


dan metode pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan
alternatif, kemanjuran, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan
menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat
15

fisika atau kimia dari obat dan lain-lain. Pelayanan Informasi Obat
harus didokumentasikan untuk membantu penelusuran kembali dalam
waktu yang relatif singkat.

4) Konseling

Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker dengan


pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman,
kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam
penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien.
Untuk mengawali konseling, apoteker menggunakan three prime
questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu
dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker harus
melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah
memahami obat yang digunakan.

Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda


tangan pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang
diberikan dalam konseling.

5) Pelayanan kefarmasian di rumah

Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat


melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah,
khususnya untuk kelompok lanjut usia (lansia) dan pasien dengan
pengobatan penyakit kronis lainnya.

Jenis Pelayanan Kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh


Apoteker, meliputi :
16

g) Penilaian/pencarian masalah yang berhubungan dengan pengobatan

h) Identifikasi kepatuhan pasien

i) Pendampingan pengelolaan obat dan/atau alat kesehatan di rumah,


misalnya cara pemakaian obat asma, penyimpanan insulin

j) Konsultasi masalah obat atau kesehatan secara umum

k) Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan


obat berdasarkan catatan pengobatan pasien

l) Dokumentasi pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di rumah

7) Pemantauan Terapi Obat (PTO)

Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien


mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan
memaksimalkan kemanjuran obat dan meminimalkan efek samping.

Kriteria pasien:

g) Anak-anak dan lanjut usia (lansia), ibu hamil dan menyusui

h) Menerima obat lebih dari lima jenis

i) Adanya multidiagnosis

j) Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati

k) Menerima obat dengan indeks terapi sempit

l) Menerima obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi obat


yang merugikan.

7) Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang


merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang
17

digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi

atau memodifikasi fungsi fisiologis.

Kegiatan:

d) Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi


mengalami efek samping obat

e) Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

f) Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional

Menurut Bahfen (2006), dalam memberikan perlindungan terhadap pasien

dapat diidentifikasi bahwa fungsi dari pharmaceutical care adalah :

e. Menyediakan informasi tentang obat-obatan kepada tenaga kesehatan


lainnya. Tujuan yang ingin dicapai mencakup mengidentifikasikan
hasil pengobatan dan tujuan akhir pengobatan, agar pengobatan dapat
diterima untuk terapi, agar diterapkan penggunaan secara rasional,
memantau efek samping obat dan menentukan metode penggunaan
obat.

f. Mendapatkan rekam medis untuk digunakan dalam pemilihan obat


yang tepat

g. Memantau penggunaan obat apakah efektif, tidak efektif, reaksi yang


berlawanan, keracunan dan jika perlu memberikan saran untuk
memodifikasi pengobatan

h. Menyediakan bimbingan dan konseling dalam rangka pendidikan


kepada pasien
18

i. Menyediakan dan memelihara serta memfasilitasi pengujian pengobatan bagi


pasien penyakit kronis

j. Berpartisipasi dalam pengelolaan obat-obatan untuk pelayanan gawat darurat

k. Pembinaan pelayanan informasi dan pendidikan bagi masyarakat

l. Partisipasi dalam penilaian penggunaan obat dan audit kesehatan

m. Menyediakan pendidikan mengenai obat-obatan untuk tenaga kesehatan lainnya


BAB III

METODE PENELITIAN

Anda mungkin juga menyukai