Anda di halaman 1dari 17

FIQIH MUNAKAHAT

BAGIAN I

MUQADDIMAH
PENGERTIAN NIKAH secara bahasa : kumpulan, bersetubuh, akad. secara syar’i :
dihalalkannya seorang lelaki dan untuk perempuan bersenangg-senang, melakukan hubungan
seksual, dll .

HIKMAH NIKAH
Islam tidak mensyari’atkan sesuatu melainkan dibaliknya terdapat kandungan keutamaan dan
hikmah yang besar. Demikian pula dalam nikah, terdapat beberapa hikmah dan maslahat bagi
pelaksananya :

1. Sarana pemenuh kebutuhan biologis (QS. Ar Ruum : 21)


2. Sarana menggapai kedamaian & ketenteraman jiwa (QS. Ar Ruum : 21)
3. Sarana menggapai kesinambungan peradaban manusia (QS. An Nisaa’ : 1, An Nahl :
72)

Rasulullah berkata : “Nikahlah, supaya kamu berkembang menjadi banyak.


Sesungguhnya saya akan membanggakan banyaknya jumlah ummatku.” (HR.
Baihaqi)

4. Sarana untuk menyelamatkan manusia dari dekadensi moral.

Rasulullah pernah berkata kepada sekelompok pemuda : “Wahai pemuda, barang


siapa diantara kalian mampu kawin, maka kawinlah. Sebab ia lebih dapat
menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Namun jika belum mampu, maka
berpuasalah, karena sesungguhnya puasa itu sebagai wija’ (pengekang syahwat)
baginya.” (HR Bukhari dan Muslim dalam Kitab Shaum)

VISI ISLAM TENTANG KELUARGA/RUMAH TANGGA


Visi Rasulullah saw tentang keluarga adalah “baiti jannati”. Sebuah keluarga akan menjadi
“surga kecil” jika ia memenuhi empat fungsi berikut :
Fungsi Pertama : FUNGSI FISIOLOGIS, Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :

1. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan sarana berteduh yang baik & nyaman.
2. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan kosumsi makan-minum-pakaian yang
memadai.
3. Tempat suami-isteri dapat memenuhi kebutuhan biologisnya.

Fungsi Kedua : FUNGSI PSIKOLOGIS

Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :

1. Tempat semua anggota keluarga diterima keberadaannya secara wajar & apa adanya.
2. Tempat semua anggota keluarga mendapat pengakuan secara wajar dan nyaman.
3. Tempat semua anggota keluarga mendapat dukungan psikologis bagi perkembangan
jiwanya.
4. Basis pembentukan identitas, citra dan konsep diri para anggota keluarga.

Fungsi Ketiga : FUNGSI SOSIOLOGIS

Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :

1. Lingkungan pertama dan terbaik bagi segenap anggota keluarga.


2. Unit sosial terkecil yang menjembatani interaksi positif antara individu anggota
keluarga dengan masyarakat sebagai unit sosial yang lebih besar.

Fungsi Keempat : FUNGSI DA’WAH

Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :

1. Menjadi obyek wajib da’wah pertama bagi sang da’i.


2. Menjadi prototipe keluarga muslim ideal (bagian dari pesona islam) bagi masyarakat
muslim dan nonmuslim.
3. Setiap anggota keluarga menjadi partisipan aktif-kontributif dalam da’wah.
4. Memberi antibodi/imunitas bagi anggota keluarga dari kebatilan dan kemaksiatan.
BAGIAN II

HUKUM DAN JENIS NIKAH

HUKUM NIKAH

Para fuqaha mengklasifikasikan hukum nikah menjadi 5 kategori yang berpulang kepada
kondisi pelakunya :

1. Wajib, bila nafsu mendesak, mampu menikah dan berpeluang besar jatuh ke dalam
zina.
2. Sunnah, bila nafsu mendesak, mampu menikah tetapi dapat memelihara diri dari zina.
3. Mubah, bila tak ada alasan yang mendesak/mewajibkan segera menikah dan/atau
alasan yang mengharamkan menikah.
4. Makruh, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah tetapi tidak merugikan
isterinya.
5. Haram, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah sehingga merugikan
isterinya.

JENIS NIKAH

Imam Daruquthni mengeluarkan hadits yang bersumber dari Abu Hurairah, bahwa ‘Aisyah ra
menyebutkan adanya 4 jenis nikah pada masa jahiliyah (sebelum Muhammad saw menjadi
rasul) :

1. Perkawinan Pinang, yaitu seorang pria datang meminang seorang wanita baik secara
langsung atau melalui wali si wanita, kemudian menikahinya dengan mahar.
2. Perkawinan Gadai/Pinjam, yaitu seorang isteri yang diperintah suaminya untuk
berkumpul dengan pria lain hingga hamil, demi mendapatkan keturunan atau
perbaikan keturunan.
3. Poliandri, yaitu sejumlah pria (biasanya kurang dari 10 orang) secara bergilir
mencampuri seorang wanita dengan kesepakatan bahwa jika wanita itu hamil dan
melahirkan, maka kesemua pria tersebut harus ridha bila kemudian salah satu dari
merekalah yang ditunjuk oleh si wanita sebagai ayah dari anak tersebut.
4. Pelacur, yaitu seorang wanita yang memasang bendera hitam di depan rumahnya
sebagai tanda siapapun yang berkehendak kepadanya boleh masuk dan menggaulinya.
Bila hamil dan melahirkan, kemudian si wanita mengumpulkan seluruh pria yang
pernah menyetubuhinya dan memanggil seorang dukun ahli firasat untuk meneliti
nasab anak itu lalu memberikan sang bayi kepada sang ayah yang harus tak boleh
menolak.

Pada masa Muhammad saw telah menjadi rasulullah, muncul pula jenis-jenis nikah dalam
bentuk lain :

1. Nikah Syighar, yaitu seorang wali menikahkan putrinya kepada seorang pria dengan
syarat pria tersebut menikahkannya kepada putrinya dengan tanpa mahar.
2. Nikah Mut’ah, yaitu pria yang menikahi seorang wanita untuk jangka waktu tertentu.
3. Nikah Muhallil, yaitu seorang pria A yang menyuruh/membayar (muhallal) seorang
pria B (muhallil) untuk menikahi wanita yang pernah dinikahi dan dithalaq sebanyak
tiga kali agar dapat dinikahi pria A setelah diceraikan oleh pria B.
4. Nikah Ahli Kitab, yaitu seorang pria mu’min yang menikahi wanita beragama samawi
(Yahudi atau Nashrani).

Perhatikan : Hanya jenis nikah nomor 1 (Perkawinan Pinang) yang dihalalkan dalam syari’at
Islam.

BAGIAN III
KHITBAH
PENGERTIAN KHITBAH

secara bahasa : pinangan, lamaran.

secara syar’i : permintaan/perjanjian seorang pria untuk menikahi seorang wanita, baik secara
langsung maupun tak langsung

HIKMAH KHITBAH

1. Cara untuk saling mengenal antara calon pasangan suami isteri.

2. Cara untuk mengetahui tabiat, akhlaq dan kecenderungan masing-masing calon pasangan
suami isteri.

3. Cara untuk mencapai kemufakatan kedua belah atas berbagai perkara yang prinsipil dan
teknis dalam membentuk keluarga.
JENIS KHITBAH

1. Secara langsung : pinangan dilakukan dengan permintaan yang lugas.

2. Secara tak langsung : pinangan dilakukan dengan permintaan dengan bahasa kiasan atau
sindiran.

BEBERAPA KETENTUAN DAN ADAB KHITBAH

Pertama : KHITBAH BUKANLAH AQAD NIKAH

Khitbah bukanlah pernikahan itu sendiri. Ia tak lain hanyalah janji untuk menikah, sehingga
tidak akan ada konsekwensi hukum pernikahan, seperti misalnya : halalnya khalwat, halalnya
senggama, kewajiban nafkah, dsb. Jadi, interaksi antara keduanya haruslah terpelihara dari
pelanggaran batas-batas syari’at. Tunangan (saling bertukar cincin) bukanlah penghalal
hubungan. Pemberian apapun yang mengiringinya dipandang syari’at sebagai sesuatu yang
tidak boleh mengikat dan tak dapat dikenakan syarat apapun.

Kedua : KHITBAH DILAKUKAN DENGAN TETAP MEMELIHARA PANDANGAN

Dr. Yusuf Al Qaradhawi menjelaskan muatan QS. An Nuur (24) : 30-31 bahwa pada
dasarnya memandang lawan jenis yang bukan mahram adalah dibolehkan dengan mematuhi 2
syarat :

1. tidak didasari oleh syahwat

2. tidak memanipulasi kelezatan dari pandangan tersebut.

Kaidah tersebut berlaku pula dalam khitbah. Syari’at mengarahkan memandang dalam
khitbah melalui dua cara :

1. mengutus seorang wanita yang dipercaya untuk melihat dan melakukan investigasi

2. melihat/menemui langsung

Ketiga : KHITBAH DI ATAS KHITBAH ADALAH HARAM

Para ‘ulama bersepakat mengharamkan khitbah atas seorang wanita yang telah dikhitbah
sebelumnya oleh orang lain.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar bahwa Rasulullah pernah berkata : “Janganlah seorang diantaramu
membeli apa yang telah dibeli oleh saudaranya dan jangan pula mengkhitbah wanita yang
telah dikhitbah oleh saudaranya, kecuali ia mengizinkan.” (HR Muslim dengan sanad shahih).
Dalam matan hadits riwayat Bukhari : “Rasulullah saw melarang seorang membeli apa yang
telah dibeli oleh saudaranya dan melarang mengkhitbah wanita yang telah dikhitbah oleh
saudaranya, hingga ia meninggalkannya atau mengizinkannya.”

Keempat : KHITBAH DITERIMA/DITOLAK DIDASARKAN PADA KEPUTUSAN


SEORANG GADIS

Seorang gadis memiliki hak menerima atau menolak pinangan yang diajukan kepadanya.
Walinya tidak berhak memaksakan kehendaknya kepada sang gadis. Diantara syarat sah
pernikahan yang paling asasi adalah kerelaan calon isteri.

Rasulullah bersabda : “Seorang janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri dan gadis
dimintakan izinnya, dan izinnya adalah diamnya.” (Muttafaqun ‘alaih) Dalam periwayatan
lainnya : “Tidak boleh dinikahkan seorang janda hingga ia diajak musyawarah dan tidak
boleh dinikahkan seorang gadis hingga diminta izinnya. Para shahabat bertanya : “Ya
Rasulullah, lalu bagaimana izinnya ?” Rasulullah saw menjawab : “Ia diam.” (HR. Jama’ah)

Kebalikannya, bila seorang gadis telah menyetujui pinangan yang diajukan kepadanya, maka
walinya tidak boleh menunda untuk menyegerakan pernikahannya.

Rasulullah bersabda : “Tiga yang jangan diperlambat : Shalat bila sudah waktunya, jenazah
bila sudah didatangkan dan gadis bila sudah menemukan calon suami yang sekufu’ .” (HR.
Tirmidzi)
Kelima : KHITBAH DITERIMA/DITOLAK DIDASARKAN PADA
KUFU’(KESEPADANAN)

Khitbah dalam Islam lebih menitikberatkan kesepadanan calon suami dengan calon isteri
dalam aspek diin dan akhlaq (QS. An Nuur : 3 & 26), selain aspek sosial, ekonomi, ilmu, dsb.

Keenam : KHITBAH MEMPERKENANKAN HADIAH TAK BERSYARAT

Diperbolehkan adanya tukar cincin ataupun benda lain dalam khitbah, bila maksudnya
sebatas saling memberikan hadiah tak mengikat/tak bersyarat dan selama tak ada anggapan
bahwa pemberian itu menghalalkan hukum suami-isteri.
Rasulullah bersabda : “Wanita manapun yang dinikahi dengan mahar dan hadiah sebelum
ikatan nikah maka mahar itu baginya dan bagi walinya jika ia diberikan sesudahnya.” (HR.
Al Khomsah kecuali Tirmidzi)

BAGIAN 4

AKAD NIKAH

PENGERTIAN AKAD NIKAH

secara bahasa : akad = membuat simpul, perjajian, kesepakatan; akad nikah = mengawinkan
wanita.

secara syar’i : Ikrar seorang pria untuk menikahi/mengikat janji seorang wanita lewat
perantara walinya, dengan tujuan

a) hidup bersama membina rumah tangga sesuai sunnah Rasulullah saw.

b) memperoleh ketenangan jiwa.

c) menyalurkan syahwat dengan cara yang halal

d) melahirkan keturunan yang sah dan shalih.

RUKUN DAN SYARAT SAH NIKAH

Akad nikah tidak akan sah kecuali jika terpenuhi rukun-rukun yang enam perkara ini :

1. Ijab-Qabul
2. Islam menjadikan Ijab (pernyataan wali dalam menyerahkan mempelai wanita kepada
mempelai pria) dan Qabul (pernyataan mempelai pria dalam menerima ijab) sebagai
bukti kerelaan kedua belah pihak. Al Qur-an mengistilahkan ijab-qabul sebagai
miitsaaqan ghaliizhaa (perjanjian yang kokoh) sebagai pertanda keagungan dan
kesucian, disamping penegasan maksud niat nikah tersebut adalah untuk selamanya.
3. Syarat ijab-qabul adalah :
a) Diucapkan dengan bahasa yang dimengerti oleh semua pihak yang hadir.
b) Menyebut jelas pernikahan & nama mempelai pria-wanita
2. Adanya mempelai pria.
Syarat mempelai pria adalah :
a) Muslim & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka); lihat QS. Al Baqarah : 221, Al
Mumtahanah : 9.
b) Bukan mahrom dari calon isteri.
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.

3. Adanya mempelai wanita.

Syarat mempelai wanita adalah :

a) Muslimah (atau beragama samawi, tetapi bukan kafirah/musyrikah) & mukallaf; lihat QS.
Al Baqarah : 221, Al Maidah : 5.

b) Tidak ada halangan syar’i (tidak bersuami, tidak dalam masa ‘iddah & bukan mahrom dari
calon suami).

c) Tidak dipaksa.

d) Orangnya jelas.

e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.

4. Adanya wali.

Syarat wali adalah :

a) Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).

b) ‘Adil

c) Tidak dipaksa.

d) Tidaksedang melaksanakan ibadah haji.

Tingkatan dan urutan wali adalah sebagai berikut:

a) Ayah

b) Kakek

c) Saudara laki-laki sekandung


d) Saudara laki-laki seayah

e) Anak laki-laki dari no. c)

f) Anak laki-laki dari no. d)

g) Paman sekandung

h) Paman seayah

i) Anak laki-laki dari no. g)

j) Anak laki-laki dari no. h)

k) Hakim

5. Adanya saksi (2 orang pria).

Meskipun semua yang hadir menyaksikan aqad nikah pada hakikatnya adalah saksi, tetapi
Islam mengajarkan tetap harus adanya 2 orang saksi pria yang jujur lagi adil agar pernikahan
tersebut menjadi sah. Syarat saksi adalah :

a) Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).

b) ‘Adil

c) Dapat mendengar dan melihat.

d) Tidak dipaksa.

e) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab-qabul.

f) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.

6. Mahar.

Beberapa ketentuan tentang mahar :

a) Mahar adalah pemberian wajib (yang tak dapat digantikan dengan lainnya) dari seorang
suami kepada isteri, baik sebelum, sesudah maupun pada saat aqad nikah. Lihat QS. An
Nisaa’ : 4.
b) Mahar wajib diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya, bukan kepada/milik
mertua.

c) Mahar yang tidak tunai pada akad nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan.

d) Mahar dapat dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan dengan kerelaan.

e) Mahar tidak memiliki batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan perkara ini
untuk disesuaikan kepada adat istiadat yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi tetap harus
berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat. Rasulullah saw senang mahar yang mudah dan
pernah pula

BEBERAPA KETENTUAN TAMBAHAN TERKAIT DENGAN PENYELENGGARAAN


AQAD NIKAH

1. Khutbah Nikah.

Disunnahkan sebelum aqad nikah berlangsung, dihadirkan khutbah nikah untuk memberikan
wasiat dan bekalan ruhiah kepada kepada mempelai bahwa pernikahan adalah sesuatu yang
sakral dan agar dapat mengarungi biduk rumah tangga secara sakinah, mawaddah dan
rahmah. Khutbah dapat dilakukan oleh wali ataupun yang lain.

2. Mendoakan kedua mempelai.

3. Adab Malam Pengantin

a. Suami meletakkan telapak tangan kanannya ke kening isterinya dan mendo’akannya

b. Suami bersikap lembut dan menaungi isterinya

c. Saling beradaptasi dan memunculkan suasana harmonis

BEBERAPA KETENTUAN TAMBAHAN TERKAIT DENGAN WALIMATUL ‘URSY

secara bahasa : walimah = berkumpul.

secara syar’i : a) pesta/resepsi perkawinan.

b) makanan yang dihidangkan dalam acara pesta/resepsi perkawinan.

Hukum menghadiri walimatul’ursy adalah fardhu. Sedangkan memenuhi undangan selain


walimatul’ursy, para fuqaha berikhtilaf antara fardhu kifayah dan sunnah.
BAGIAN 5

JIMA’

PENGERTIAN JIMA’

secara bahasa : sumber segala sesuatu, tempat bernaung/berlindung, ajakan untuk berkumpul.

secara syar’i : permintaan/perjanjian seorang pria untuk menikahi seorang wanita, baik secara
langsung maupun tak langsung

BEBERAPA ISTILAH JIMA’ DALAM AL QUR-AN & AS SUNNAH

1. Mulaamasah (QS. An Nisaa’ : 43).

2. Rafats & Mubaasyarah (QS. Al Baqarah : 187).

3. Massun (QS. Maryam : 20).

4. Wathun.

5. Massulkhitaanain.

HUKUM JIMA’

Jima’ merupakan nafkah batin yang wajib ditunaikan oleh suami. Ia merupakan hak isteri atas
suami selama tak ada hal-hal yang menghalangi. Bobot/kadar kewajibannya menjadi ikhtilaaf
dikalangan para fuqaha :

Madzhab Hanafiah : Isteri berhak meminta suami untuk melakukan hubungan seksual.

Madzhab Malikiah : jima’ wajib bagi suami jika tak ada faktor ‘udzur.

Madzhab Syafi’iah : suami tidak wajib melakukan hubungan seksual kecuali hanya sekali.

Madzhab Hanablah : suami wajib melakukan hubungan seksual minimal sekali per 4 bulan
bila tak ada ‘udzur.

ETIKA JIMA’

1. Berhias dan berwewangian.

2. Mencumbu-rayu yang membangkitkan gairah seksual.


3. Berdoa sebelum jima’.
4. Berwudhu ketika hendak mengulangi, hendak makan atau tidur (bila belum mandi junub).

5. Tidak melakukan jima’ pada saat :

a. kecuali isteri selesai bersuci dari haid atau nifas (QS. Al Baqarah : 222).

b. Isteri sedang puasa wajib (QS. Al Baqarah : 187).

c. Suami/isteri sedang i’tikaaf (QS. Al Baqarah : 187).

d. Suami/isteri sedang thawaaf (QS. Al Baqarah : 197).

6. Tidak melakukan jima’ melalui dubur (anal sex).

7. Tidak melakukan ‘azl (coitus interuptus) tanpa seizin isteri.

8. Tidak menceritakan ‘rahasia kamar’ kepada orang lain.

Ada beberapa pertanyaan yang harus mendapatkan penjabaran yang arif dan dengan hujjah
yang kuat untuk perlu diketahui oleh semua kaum muslimin adalah sebagai berikut :

Bagaiamana syari’at mengatur tentang gaya & posisi jima’ ? Lihat QS. Al Baqarah : 223.

– Haruskah jima’ dilakukan dengan mengenakan tutup ?

– Bolehkah melihat kemaluan (farji) dari pasangan kita saat melakukan jima’ ?

– Bagaimana pandangan syari’at tentang oral sex ?

– Bagaimana caranya mandi junub ? Lihat QS. An Nisaa’ : 43

– Bagaimana pandangan syari’at tentang ‘bulan madu’ ?

BAGIAN 6

HAK & KEWAJIBAN SUAMI-ISTERI

PENGERTIAN JIMA’

secara bahasa : sumber segala sesuatu, tempat bernaung/berlindung, ajakan untuk berkumpul.

secara syar’i : permintaan/perjanjian seorang pria untuk menikahi seorang wanita, baik secara
langsung maupun tak langsung
HAK KHUSUS ISTERI ATAS SUAMI

1. Menunaikan maharnya secara utuh/sempurna (QS. An Nisaa’ : 4, 20).

2. Nafkah materiil (QS. Al Baqarah : 233).

3. Interaksi yang baik & positif kepada isteri (QS. An Nisaa’ : 19) :

a. Melapangkan nafkah (QS. Al Haaqqah : 7).

b. Bermusyawarah dalam berbagai urusan

. Memperlakukan isteri dengan lemah lembut, mesra dan memberikan kesempatan senda
gurau

d. Melupakan kekurangan isteri, dengan mengunggulkan kebaikannya.

e. Menjaga performa dan penampilan baik di hadapan isteri.

f. Meringankan bebanan kerja domestik isteri.

4. Melindung isteri dari api neraka (QS. At Tahriim : 6)

HAK KHUSUS SUAMI ATAS ISTERI

1. Tha’at dengan sebaiknya.

2. Menjaga & mengelola harta suami dengan baik (QS. An Nisaa’ : 34).

3. Menjaga kemuliaannya & perasaannya

4. Mengatur rumah dan mendidik anak-anaknya.

5. Berbuat baik kepada keluarga suami.

HAK UMUM BERSAMA SUAMI-ISTERI

1. Saling bekerja sama dalam mentha’ati Allah dan taqwa kepadaNya.

2. Saling bekerja sama dalam mewujudkan kebahagiaan dan menghindarkan kenestapaan.

3. Saling bekerja sama dalam membangun keluarga dan mendidik anak.

4. Saling bekerja sama dalam menjaga rahasia.


5. Saling melayani

BAGIAN 7

NUSYUZ DAN THALAQ

A. NUSYUZ

PENGERTIAN NUSYUZ

secara bahasa : menentang, durhaka, sesuatu yang meninggi (irtifaa’)

secara syar’i : isteri yang menentang suami, mengabaikan perintah dan membencinya.

KONSEKUENSI NUSYUZ

Bila didapat adanya indikasi nusyuz maka syari’at menerakan beberapa konsekwensi
dicabutnya beberapa hak isteri :

a. nafkah

b. pakaian

c. gilir (bagi yang berpologami)

TAHAPAN SOLUSI NUSYUZ

Lihat QS. An Nisaa’ : 34-35. Tahapan-tahapan tersebut adalah :

1. Menasehati.

2. Pisah ranjang

3. Pukul

4. Mendatangkan hakam dari masing-masing pihak.

B. THALAQ

PENGERTIAN THALAQ

secara bahasa : pelepasan (ithlaaq), hallul_qayyidu (mengurai ikatan)


secara syar’i : seorang suami memutuskan jalinan pernikahan yang sah pernyataan yang jelas
maupun kiasan.

HUKUM THALAQ

Para fuqaha bersepakat bahwa thalaq adalah mubah meskipun dibenci. Lihat QS. Al Baqarah
: 229 , Ath_Thalaaq : 1 dan An_Nisaa’ : 1. dari beberapa ayat tersebut, dapat ditarik konklusi
pemahaman :

Thalaq adalah bagian dari solusi, yang pada kondisi tertentu juteru adalah solusi terbaik.

Thalaq adalah akad cerai suami kepada isteri, bukan sebaliknya. Adapun akad cerai isteri
kepada suami disebut khulu’.

RUKUN THALAQ

Thalaq dianggap sah secara hukum apabila memenuhi rukun-rukun di bawah ini :

1. Suami yang mukallaf.

2. Yang ditthalaq adalah isteri yang sah.

3. Adanya lafazh thalaq secara langsung, baik dengan pernyataan yang jelas maupun kinayah.

BEBERAPA BENTUK PERCERAIAN SELAIN THALAQ

1. Khulu’ : isteri menggugat suami agar suami menceraikannya, dengan mendapatkan


kompensasi tebusan.

2. Zhihar : suami menceraikan isterinya dengan akad “Punggungmu seperti punggung ibuku”;

ini diharamkan dalam Islam. (QS. 58:2-4)

3. Ilaa’ : sumpah suami untuk tidak menggauli isterinya (maks. 40 hari);

ini dibolehkan selama tujuannya mendidik. (QS. 2:226-227)

4. Li-an : suami menuduh isterinya telah berzina dan/atau menafikan anak yang
dikandungnya.

BAGIAN 8

RUJU’ DAN ‘IDDAH


A. RUJU’

PENGERTIAN RUJU’

secara bahasa : kembali, menahan.

secara syar’i : keinginan suami untuk kembali kepada isterinya pasca perceraian. Lihat QS.
Al Baqarah : 228

JENIS RUJU’

Lihat QS. An Nisaa’ : 34-35. Tahapan-tahapan tersebut adalah :

. Ruju’ Thalaq Raj’i : ruju’nya suami kepada isteri sebelum selesai masa ‘iddah; cukup
dengan ucapan atau jima’, tanpa harus adanya tajdiidun_nikaah.

2. Ruju’ Thalaq Ba’in : ruju’nya suami kepada isteri setelah selesai masa ‘iddah; harus
adanya tajdiidun_nikaah.

a. Ba’in Shughra : Thalaq ke-1 & ke-2

b. Ba’in Kubro : Thalaq ke-3, bisa ruju’ setelah isteri menikah dengan pria lain.

B. ‘IDDAH

PENGERTIAN ‘IDDAH

secara bahasa : menghitung (‘adda)

secara syar’i : masa tunggu (kosongnya rahim dari pembuahan) seorang wanita yang telah
dicerai.

HIKMAH ‘IDDAH

1. Menjaga dan memelihara dari rusaknya nasab.

2. Penegasan akan hamil tidaknya seorang wanita setelah perceraian.

3. Memberi kesempatan kepada suami-isteri untuk saling ruju’ dan memperbaiki hubungan.

4. Menginsyafkan bahwa hidup menikah lebih baik dan nikmat ketimbang melajang.

5. Menghormati suami yang meninggal (khusu bagi ‘iddah wafat)


JENIS ’IDDAH

1. ‘Iddah wanita yang dithalaq dalam keadaan hamil, waktunya hingga melahirkan. (QS. Ath
Thalaq : 4)

2. ‘Iddah wanita yang dithalaq dalam keadaan tidak hamil, waktunya 3 kali suci dari haidh.
(QS. Al Baqarah : 228)

3. ‘Iddah wanita yang dithalaq dalam keadaan belum sempat jima’, maka tak ada masa
‘iddah. (QS. Al Ahzaab : 49)

4. ‘Iddah wanita yang ditinggal wafat suaminya, waktunya 4 bulan 10 hari. (QS. Al Baqarah :
234)

Anda mungkin juga menyukai