Fiqih Munakahat
Fiqih Munakahat
BAGIAN I
MUQADDIMAH
PENGERTIAN NIKAH secara bahasa : kumpulan, bersetubuh, akad. secara syar’i :
dihalalkannya seorang lelaki dan untuk perempuan bersenangg-senang, melakukan hubungan
seksual, dll .
HIKMAH NIKAH
Islam tidak mensyari’atkan sesuatu melainkan dibaliknya terdapat kandungan keutamaan dan
hikmah yang besar. Demikian pula dalam nikah, terdapat beberapa hikmah dan maslahat bagi
pelaksananya :
1. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan sarana berteduh yang baik & nyaman.
2. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan kosumsi makan-minum-pakaian yang
memadai.
3. Tempat suami-isteri dapat memenuhi kebutuhan biologisnya.
1. Tempat semua anggota keluarga diterima keberadaannya secara wajar & apa adanya.
2. Tempat semua anggota keluarga mendapat pengakuan secara wajar dan nyaman.
3. Tempat semua anggota keluarga mendapat dukungan psikologis bagi perkembangan
jiwanya.
4. Basis pembentukan identitas, citra dan konsep diri para anggota keluarga.
HUKUM NIKAH
Para fuqaha mengklasifikasikan hukum nikah menjadi 5 kategori yang berpulang kepada
kondisi pelakunya :
1. Wajib, bila nafsu mendesak, mampu menikah dan berpeluang besar jatuh ke dalam
zina.
2. Sunnah, bila nafsu mendesak, mampu menikah tetapi dapat memelihara diri dari zina.
3. Mubah, bila tak ada alasan yang mendesak/mewajibkan segera menikah dan/atau
alasan yang mengharamkan menikah.
4. Makruh, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah tetapi tidak merugikan
isterinya.
5. Haram, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah sehingga merugikan
isterinya.
JENIS NIKAH
Imam Daruquthni mengeluarkan hadits yang bersumber dari Abu Hurairah, bahwa ‘Aisyah ra
menyebutkan adanya 4 jenis nikah pada masa jahiliyah (sebelum Muhammad saw menjadi
rasul) :
1. Perkawinan Pinang, yaitu seorang pria datang meminang seorang wanita baik secara
langsung atau melalui wali si wanita, kemudian menikahinya dengan mahar.
2. Perkawinan Gadai/Pinjam, yaitu seorang isteri yang diperintah suaminya untuk
berkumpul dengan pria lain hingga hamil, demi mendapatkan keturunan atau
perbaikan keturunan.
3. Poliandri, yaitu sejumlah pria (biasanya kurang dari 10 orang) secara bergilir
mencampuri seorang wanita dengan kesepakatan bahwa jika wanita itu hamil dan
melahirkan, maka kesemua pria tersebut harus ridha bila kemudian salah satu dari
merekalah yang ditunjuk oleh si wanita sebagai ayah dari anak tersebut.
4. Pelacur, yaitu seorang wanita yang memasang bendera hitam di depan rumahnya
sebagai tanda siapapun yang berkehendak kepadanya boleh masuk dan menggaulinya.
Bila hamil dan melahirkan, kemudian si wanita mengumpulkan seluruh pria yang
pernah menyetubuhinya dan memanggil seorang dukun ahli firasat untuk meneliti
nasab anak itu lalu memberikan sang bayi kepada sang ayah yang harus tak boleh
menolak.
Pada masa Muhammad saw telah menjadi rasulullah, muncul pula jenis-jenis nikah dalam
bentuk lain :
1. Nikah Syighar, yaitu seorang wali menikahkan putrinya kepada seorang pria dengan
syarat pria tersebut menikahkannya kepada putrinya dengan tanpa mahar.
2. Nikah Mut’ah, yaitu pria yang menikahi seorang wanita untuk jangka waktu tertentu.
3. Nikah Muhallil, yaitu seorang pria A yang menyuruh/membayar (muhallal) seorang
pria B (muhallil) untuk menikahi wanita yang pernah dinikahi dan dithalaq sebanyak
tiga kali agar dapat dinikahi pria A setelah diceraikan oleh pria B.
4. Nikah Ahli Kitab, yaitu seorang pria mu’min yang menikahi wanita beragama samawi
(Yahudi atau Nashrani).
Perhatikan : Hanya jenis nikah nomor 1 (Perkawinan Pinang) yang dihalalkan dalam syari’at
Islam.
BAGIAN III
KHITBAH
PENGERTIAN KHITBAH
secara syar’i : permintaan/perjanjian seorang pria untuk menikahi seorang wanita, baik secara
langsung maupun tak langsung
HIKMAH KHITBAH
2. Cara untuk mengetahui tabiat, akhlaq dan kecenderungan masing-masing calon pasangan
suami isteri.
3. Cara untuk mencapai kemufakatan kedua belah atas berbagai perkara yang prinsipil dan
teknis dalam membentuk keluarga.
JENIS KHITBAH
2. Secara tak langsung : pinangan dilakukan dengan permintaan dengan bahasa kiasan atau
sindiran.
Khitbah bukanlah pernikahan itu sendiri. Ia tak lain hanyalah janji untuk menikah, sehingga
tidak akan ada konsekwensi hukum pernikahan, seperti misalnya : halalnya khalwat, halalnya
senggama, kewajiban nafkah, dsb. Jadi, interaksi antara keduanya haruslah terpelihara dari
pelanggaran batas-batas syari’at. Tunangan (saling bertukar cincin) bukanlah penghalal
hubungan. Pemberian apapun yang mengiringinya dipandang syari’at sebagai sesuatu yang
tidak boleh mengikat dan tak dapat dikenakan syarat apapun.
Dr. Yusuf Al Qaradhawi menjelaskan muatan QS. An Nuur (24) : 30-31 bahwa pada
dasarnya memandang lawan jenis yang bukan mahram adalah dibolehkan dengan mematuhi 2
syarat :
Kaidah tersebut berlaku pula dalam khitbah. Syari’at mengarahkan memandang dalam
khitbah melalui dua cara :
1. mengutus seorang wanita yang dipercaya untuk melihat dan melakukan investigasi
2. melihat/menemui langsung
Para ‘ulama bersepakat mengharamkan khitbah atas seorang wanita yang telah dikhitbah
sebelumnya oleh orang lain.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar bahwa Rasulullah pernah berkata : “Janganlah seorang diantaramu
membeli apa yang telah dibeli oleh saudaranya dan jangan pula mengkhitbah wanita yang
telah dikhitbah oleh saudaranya, kecuali ia mengizinkan.” (HR Muslim dengan sanad shahih).
Dalam matan hadits riwayat Bukhari : “Rasulullah saw melarang seorang membeli apa yang
telah dibeli oleh saudaranya dan melarang mengkhitbah wanita yang telah dikhitbah oleh
saudaranya, hingga ia meninggalkannya atau mengizinkannya.”
Seorang gadis memiliki hak menerima atau menolak pinangan yang diajukan kepadanya.
Walinya tidak berhak memaksakan kehendaknya kepada sang gadis. Diantara syarat sah
pernikahan yang paling asasi adalah kerelaan calon isteri.
Rasulullah bersabda : “Seorang janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri dan gadis
dimintakan izinnya, dan izinnya adalah diamnya.” (Muttafaqun ‘alaih) Dalam periwayatan
lainnya : “Tidak boleh dinikahkan seorang janda hingga ia diajak musyawarah dan tidak
boleh dinikahkan seorang gadis hingga diminta izinnya. Para shahabat bertanya : “Ya
Rasulullah, lalu bagaimana izinnya ?” Rasulullah saw menjawab : “Ia diam.” (HR. Jama’ah)
Kebalikannya, bila seorang gadis telah menyetujui pinangan yang diajukan kepadanya, maka
walinya tidak boleh menunda untuk menyegerakan pernikahannya.
Rasulullah bersabda : “Tiga yang jangan diperlambat : Shalat bila sudah waktunya, jenazah
bila sudah didatangkan dan gadis bila sudah menemukan calon suami yang sekufu’ .” (HR.
Tirmidzi)
Kelima : KHITBAH DITERIMA/DITOLAK DIDASARKAN PADA
KUFU’(KESEPADANAN)
Khitbah dalam Islam lebih menitikberatkan kesepadanan calon suami dengan calon isteri
dalam aspek diin dan akhlaq (QS. An Nuur : 3 & 26), selain aspek sosial, ekonomi, ilmu, dsb.
Diperbolehkan adanya tukar cincin ataupun benda lain dalam khitbah, bila maksudnya
sebatas saling memberikan hadiah tak mengikat/tak bersyarat dan selama tak ada anggapan
bahwa pemberian itu menghalalkan hukum suami-isteri.
Rasulullah bersabda : “Wanita manapun yang dinikahi dengan mahar dan hadiah sebelum
ikatan nikah maka mahar itu baginya dan bagi walinya jika ia diberikan sesudahnya.” (HR.
Al Khomsah kecuali Tirmidzi)
BAGIAN 4
AKAD NIKAH
secara bahasa : akad = membuat simpul, perjajian, kesepakatan; akad nikah = mengawinkan
wanita.
secara syar’i : Ikrar seorang pria untuk menikahi/mengikat janji seorang wanita lewat
perantara walinya, dengan tujuan
Akad nikah tidak akan sah kecuali jika terpenuhi rukun-rukun yang enam perkara ini :
1. Ijab-Qabul
2. Islam menjadikan Ijab (pernyataan wali dalam menyerahkan mempelai wanita kepada
mempelai pria) dan Qabul (pernyataan mempelai pria dalam menerima ijab) sebagai
bukti kerelaan kedua belah pihak. Al Qur-an mengistilahkan ijab-qabul sebagai
miitsaaqan ghaliizhaa (perjanjian yang kokoh) sebagai pertanda keagungan dan
kesucian, disamping penegasan maksud niat nikah tersebut adalah untuk selamanya.
3. Syarat ijab-qabul adalah :
a) Diucapkan dengan bahasa yang dimengerti oleh semua pihak yang hadir.
b) Menyebut jelas pernikahan & nama mempelai pria-wanita
2. Adanya mempelai pria.
Syarat mempelai pria adalah :
a) Muslim & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka); lihat QS. Al Baqarah : 221, Al
Mumtahanah : 9.
b) Bukan mahrom dari calon isteri.
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
a) Muslimah (atau beragama samawi, tetapi bukan kafirah/musyrikah) & mukallaf; lihat QS.
Al Baqarah : 221, Al Maidah : 5.
b) Tidak ada halangan syar’i (tidak bersuami, tidak dalam masa ‘iddah & bukan mahrom dari
calon suami).
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
4. Adanya wali.
b) ‘Adil
c) Tidak dipaksa.
a) Ayah
b) Kakek
g) Paman sekandung
h) Paman seayah
k) Hakim
Meskipun semua yang hadir menyaksikan aqad nikah pada hakikatnya adalah saksi, tetapi
Islam mengajarkan tetap harus adanya 2 orang saksi pria yang jujur lagi adil agar pernikahan
tersebut menjadi sah. Syarat saksi adalah :
b) ‘Adil
d) Tidak dipaksa.
6. Mahar.
a) Mahar adalah pemberian wajib (yang tak dapat digantikan dengan lainnya) dari seorang
suami kepada isteri, baik sebelum, sesudah maupun pada saat aqad nikah. Lihat QS. An
Nisaa’ : 4.
b) Mahar wajib diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya, bukan kepada/milik
mertua.
c) Mahar yang tidak tunai pada akad nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan.
d) Mahar dapat dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan dengan kerelaan.
e) Mahar tidak memiliki batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan perkara ini
untuk disesuaikan kepada adat istiadat yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi tetap harus
berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat. Rasulullah saw senang mahar yang mudah dan
pernah pula
1. Khutbah Nikah.
Disunnahkan sebelum aqad nikah berlangsung, dihadirkan khutbah nikah untuk memberikan
wasiat dan bekalan ruhiah kepada kepada mempelai bahwa pernikahan adalah sesuatu yang
sakral dan agar dapat mengarungi biduk rumah tangga secara sakinah, mawaddah dan
rahmah. Khutbah dapat dilakukan oleh wali ataupun yang lain.
JIMA’
PENGERTIAN JIMA’
secara bahasa : sumber segala sesuatu, tempat bernaung/berlindung, ajakan untuk berkumpul.
secara syar’i : permintaan/perjanjian seorang pria untuk menikahi seorang wanita, baik secara
langsung maupun tak langsung
4. Wathun.
5. Massulkhitaanain.
HUKUM JIMA’
Jima’ merupakan nafkah batin yang wajib ditunaikan oleh suami. Ia merupakan hak isteri atas
suami selama tak ada hal-hal yang menghalangi. Bobot/kadar kewajibannya menjadi ikhtilaaf
dikalangan para fuqaha :
Madzhab Hanafiah : Isteri berhak meminta suami untuk melakukan hubungan seksual.
Madzhab Malikiah : jima’ wajib bagi suami jika tak ada faktor ‘udzur.
Madzhab Syafi’iah : suami tidak wajib melakukan hubungan seksual kecuali hanya sekali.
Madzhab Hanablah : suami wajib melakukan hubungan seksual minimal sekali per 4 bulan
bila tak ada ‘udzur.
ETIKA JIMA’
a. kecuali isteri selesai bersuci dari haid atau nifas (QS. Al Baqarah : 222).
Ada beberapa pertanyaan yang harus mendapatkan penjabaran yang arif dan dengan hujjah
yang kuat untuk perlu diketahui oleh semua kaum muslimin adalah sebagai berikut :
Bagaiamana syari’at mengatur tentang gaya & posisi jima’ ? Lihat QS. Al Baqarah : 223.
– Bolehkah melihat kemaluan (farji) dari pasangan kita saat melakukan jima’ ?
BAGIAN 6
PENGERTIAN JIMA’
secara bahasa : sumber segala sesuatu, tempat bernaung/berlindung, ajakan untuk berkumpul.
secara syar’i : permintaan/perjanjian seorang pria untuk menikahi seorang wanita, baik secara
langsung maupun tak langsung
HAK KHUSUS ISTERI ATAS SUAMI
3. Interaksi yang baik & positif kepada isteri (QS. An Nisaa’ : 19) :
. Memperlakukan isteri dengan lemah lembut, mesra dan memberikan kesempatan senda
gurau
2. Menjaga & mengelola harta suami dengan baik (QS. An Nisaa’ : 34).
BAGIAN 7
A. NUSYUZ
PENGERTIAN NUSYUZ
secara syar’i : isteri yang menentang suami, mengabaikan perintah dan membencinya.
KONSEKUENSI NUSYUZ
Bila didapat adanya indikasi nusyuz maka syari’at menerakan beberapa konsekwensi
dicabutnya beberapa hak isteri :
a. nafkah
b. pakaian
1. Menasehati.
2. Pisah ranjang
3. Pukul
B. THALAQ
PENGERTIAN THALAQ
HUKUM THALAQ
Para fuqaha bersepakat bahwa thalaq adalah mubah meskipun dibenci. Lihat QS. Al Baqarah
: 229 , Ath_Thalaaq : 1 dan An_Nisaa’ : 1. dari beberapa ayat tersebut, dapat ditarik konklusi
pemahaman :
Thalaq adalah bagian dari solusi, yang pada kondisi tertentu juteru adalah solusi terbaik.
Thalaq adalah akad cerai suami kepada isteri, bukan sebaliknya. Adapun akad cerai isteri
kepada suami disebut khulu’.
RUKUN THALAQ
Thalaq dianggap sah secara hukum apabila memenuhi rukun-rukun di bawah ini :
3. Adanya lafazh thalaq secara langsung, baik dengan pernyataan yang jelas maupun kinayah.
2. Zhihar : suami menceraikan isterinya dengan akad “Punggungmu seperti punggung ibuku”;
4. Li-an : suami menuduh isterinya telah berzina dan/atau menafikan anak yang
dikandungnya.
BAGIAN 8
PENGERTIAN RUJU’
secara syar’i : keinginan suami untuk kembali kepada isterinya pasca perceraian. Lihat QS.
Al Baqarah : 228
JENIS RUJU’
. Ruju’ Thalaq Raj’i : ruju’nya suami kepada isteri sebelum selesai masa ‘iddah; cukup
dengan ucapan atau jima’, tanpa harus adanya tajdiidun_nikaah.
2. Ruju’ Thalaq Ba’in : ruju’nya suami kepada isteri setelah selesai masa ‘iddah; harus
adanya tajdiidun_nikaah.
b. Ba’in Kubro : Thalaq ke-3, bisa ruju’ setelah isteri menikah dengan pria lain.
B. ‘IDDAH
PENGERTIAN ‘IDDAH
secara syar’i : masa tunggu (kosongnya rahim dari pembuahan) seorang wanita yang telah
dicerai.
HIKMAH ‘IDDAH
3. Memberi kesempatan kepada suami-isteri untuk saling ruju’ dan memperbaiki hubungan.
4. Menginsyafkan bahwa hidup menikah lebih baik dan nikmat ketimbang melajang.
1. ‘Iddah wanita yang dithalaq dalam keadaan hamil, waktunya hingga melahirkan. (QS. Ath
Thalaq : 4)
2. ‘Iddah wanita yang dithalaq dalam keadaan tidak hamil, waktunya 3 kali suci dari haidh.
(QS. Al Baqarah : 228)
3. ‘Iddah wanita yang dithalaq dalam keadaan belum sempat jima’, maka tak ada masa
‘iddah. (QS. Al Ahzaab : 49)
4. ‘Iddah wanita yang ditinggal wafat suaminya, waktunya 4 bulan 10 hari. (QS. Al Baqarah :
234)