(DSN) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah sebuah usaha saling melindungi dan tolong
menolong di antara sejumlah orang melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang
memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui Akad yang sesuai
dengan syariah. Asuransi Syariah adalah sebuah sistem di mana para peserta mendonasikan
sebagian atau seluruh kontribusi/premi yang mereka bayar untuk digunakan membayar klaim
atas musibah yang dialami oleh sebagian peserta. Proses hubungan peserta dan perusahaan dalam
mekanisme pertanggungan pada asuransi syariah adalah sharing of risk atau “saling menanggung
risiko”. Apabila terjadi musibah, maka semua peserta asuransi syariah saling menanggung.
Dengan demikian, tidak terjadi transfer risiko (transfer of risk atau “memindahkan risiko”) dari
peserta ke perusahaan seperti pada asuransi konvensional. Peranan perusahaan asuransi pada
asuransi syariah terbatas hanya sebagai pemegang amanah dalam mengelola dan
menginvestasikan dana dari kontribusi peserta. Jadi pada asuransi syariah, perusahaan hanya
bertindak sebagai pengelola operasional saja, bukan sebagai penanggung seperti pada asuransi
konvensional. Tabarru’ Definisi tabarru’ adalah sumbangan atau derma (dalam definisi Islam
adalah Hibah). Sumbangan atau derma (hibah) atau dana kebajikan ini diberikan dan diikhlaskan
oleh peserta asuransi syariah jika sewaktu-waktu akan dipergunakan untuk membayar klaim atau
manfaat asuransi lainnya. Dengan adanya dana tabarru’ dari para peserta asuransi syariah ini
maka semua dana untuk menanggung risiko dihimpun oleh para peserta sendiri. Dengan
demikian kontrak polis pada asuransi syariah menempatkan peserta sebagai pihak yang
menanggung risiko, bukan perusahaan asuransi, seperti pada asuransi konvensional. Oleh karena
dana-dana yang terhimpun dan digunakan dari dan oleh peserta tersebut harus dikelola secara
baik dari segi administratif maupun investasinya, untuk itu peserta memberikan kuasa kepada
perusahaan asuransi untuk bertindak sebagai operator yang bertugas mengelola dana-dana
tersebut secara baik. Jadi jelas di sini bahwa posisi perusahaan asuransi syariah hanyalah sebagai
pengelola atau operator saja dan BUKAN sebagai pemilik dana. Sebagai pengelola atau operator,
fungsi perusahaan asuransi hanya MENGELOLA dana peserta saja, dan pengelola tidak boleh
menggunakan dana-dana tersebut jika tidak ada kuasa dari peserta. Dengan demikian maka unsur
ketidakjelasan (Gharar) dan untung-untungan (Maysir) pun akan hilang karena: 1) Posisi peserta
sebagai pemilik dana menjadi lebih dominan dibandingkan dengan posisi perusahaan yang hanya
sebagai pengelola dana peserta saja. 2) Peserta akan memperoleh pembagian keuntungan dari
dana tabarru’ yang terkumpul. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan asuransi konvensional
(non-syariah) di mana pemegang polis tidak mengetahui secara pasti berapa besar jumlah premi
yang berhasil dikumpulkan oleh perusahaan, apakah jumlahnya lebih besar atau lebih kecil
daripada pembayaran klaim yang dilakukan, karena di sini perusahaan, sebagai penanggung,
bebas menggunakan dan menginvestasikan dananya ke mana saja.
sumber : http://www.asuransisyariah.asia/Pengertian-Asuransi-Syariah.html
.
Asuransi Syariah adalah sebuah sistem di mana para peserta saling menanggung risiko (sharing
of risk) dengan menghibahkan sebagian atau seluruh kontribusi melalui dana tabarru’, yang akan
digunakan untuk membayar klaim, atau jika terjadi musibah yang dialami oleh sebagian peserta.
Peranan perusahaan di sini adalah sebagai pemegang amanah dalam mengelola dan
menginvestasikan dana dari kontribusi peserta. Perusahaan bertindak sebagai pengelola
operasional saja, bukan sebagai penanggung seperti pada asuransi konvensional.
1. Akad Tabarru ’ digunakan diantara sesama peserta. Setiap peserta memberikan hibah
berupa kontribusi (premi) melalui dana tabarru’ yang akan digunakan untuk menolong
peserta lain yang terkena musibah. Perusahaan asuransi berfungsi sebagai pengelola dana
hibah tersebut.
2. AkadTijarah adalah Akad antara Peserta (secara kolektif atau secara individu) dengan
Perusahaan dengan tujuan komersial.
3. Akad Wakalah bil Ujrah digunakan sebagai dasar peserta menyerahkan
pengelolaan keuangan kepada perusahaan asuransi, yaitu suatu akadTijarah yang
memberikan kuasa kepada perusahaan sebagai wakil peserta untuk mengelola
dana Tabarru’dan/atau dana investasi peserta, sesuai kuasa atau wewenang yang
diberikan dengan imbalan berupa Ujrah (fee).
4. Akad Mudharabah digunakan dalam pengelolaan investasi, yaitu suatu akad Tijarah yang
memberikan kuasa kepada perusahaan sebagai mudharib untuk mengelola investasi
dana Tabarru’ dan/atau dana investasi peserta, sesuai kuasa atau wewenang yang
diberikan dengan imbalan berupa bagi hasil (nisbah) yang besarnya telah disepakati
bersama.
Berikut perbedaan antara asuransi konvensional dengan asuransi syariah.
*Sesuai PMK 227/2012, syarat peserta yang berhak mendapatkan surplus underwriting:
Asuransi syari’ah disebut juga dengan asuransi ta’awun yang artinya tolong menolong atau
saling membantu . Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Asuransi ta’awun prinsip dasarnya
adalah dasar syariat yang saling toleran terhadap sesama manusia untuk menjalin kebersamaan
dalam meringankan bencana yang dialami peserta. Prinsip ini sesuai dengan firman Allah SWT
dalam surat Al Maidah ayat 2, yang artinya :
“Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong
menolong dalam dosa dan permusuhan”
Asuransi yang selama ini digunakan oleh mayoritas masyarakat (konvensional) bukan
merupakan asuransi yang dikenal oleh para pendahulu dari kalangan ahli fiqh, karena tidak
termasuk transaksi yang dikenal oleh fiqh Islam, dan tidak pula dari kalangan para sahabat yang
membahas hukimnya.
Terjadi perbedaan pendapat ulama tentang asuransi non syariah (konvensional) yang disebabkan
oleh perbedaan ilmu dan ijtihad mereka. Alasannya antara lain :
2. Di dalamnya terdapat riba atau syubhat riba. Hal ini akan lebih jelas dalam asuransi jiwa,
dimana seseorang yang membeli polis asuransi membayar sejumlah kecil dana/premi dengan
harapan mendapatkan uang yang lebih banyak dimasa yang akan datang, namun bisa saja dia
tidak mendapatkannya. Jadi pada hakekatnya transaksi ini adalah tukar menukar uang, dan
dengan adanya tambahan dari uang yang dibayarkan, maka ini jelas mengandung unsur riba, baik
riba fadl dan riba nasi’ah.
3. Asuransi ini termasuk jenis perjudian (maysir), karena salah satu pihak membayar sedikit
harta untuk mendapatkan harta yang lebih banyak dengan cara untung-untungan atau tanpa
pekerjaan. Jika terjadi kecelakaan ia berhak mendapatkan semua harta yang dijanjikan, tapi jika
tidak maka ia tidak akan mendapatkan apapun.
Melihat ketiga hal di atas, dapat dikatakan bahwa transaksi dalam asuransi konvensional yang
selama ini kita kenal, belum sesuai dengan transaksi yang dikenal dalam fiqh Islam. Asuransi
syari’ah dengan prinsip ta’awunnya, dapat diterima oleh masyarakat dan berkembang cukup
pesat pada beberapa tahun terakhir ini.
Asuransi syariah dengan perjanjian di awal yang jelas dan transparan serta aqad yang sesuai
syariah, dimana dana-dana dan premi asuransi yang terkumpul (disebut juga dengan dana
tabarru’) akan dikelola secara profesional oleh perusahaan asuransi syariah melalui investasi
syar’i dengan berlandaskan prinsip syariah.
Dan pada akhirnya semua dana yang dikelola tersebut (dana tabarru’) nantinya akan
dipergunakan untuk menghadapi dan mengantisipasi terjadinya musibah/bencana/klaim yang
terjadi diantara peserta asuransi. Melalui asuransi syari’ah, kita mempersiapkan diri secara
finansial dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip transaksi yang sesuai dengan fiqh Islam.
Jadi tidak ada keraguan untuk berasuransi syari’ah.
Ada beberapa perbedaan mendasar antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional.
Perbedaan tersebut adalah:
1. Asuransi syari’ah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) dari MUI yang bertugas
mengawasi produk yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. Dewan
Pengawas Syariah ini tidak ditemukan dalam asuransi konvensional.
2. Akad yang dilaksanakan pada asuransi syari’ah berdasarkan tolong menolong. Sedangkan
asuransi konvensional berdasarkan jual beli
3. Investasi dana pada asuransi syari’ah berdasarkan Wakallah bil Ujrah dan terbebas dari
Riba. Sedangkan pada asuransi konvensional memakai bunga (riba) sebagai bagian
penempatan investasinya
4. Kepemilikan dana pada asuransi syari’ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya
sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang
terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Sehingga, perusahaan bebas
menentukan alokasi investasinya.
5. Pembayaran klaim pada asuransi syari’ah diambil dari dana tabarru’ (dana kebajikan)
seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan
dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah. Sedangkan
pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana
perusahaan.
6. Pembagian keuntungan pada asuransi syari’ah dibagi antara perusahaan dengan peserta
sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. Sedangkan pada asuransi
konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.