Anda di halaman 1dari 8

Aditya Tarigan / XII-A3 /1

Adrianus Kristyo Prabowo / XII-A3 / 3

Benedictus Brian / XII-A3 /

Eric Marshall / XII-A3 /

Pertahanan dan Keamanan (HANKAM)

1. Pendahuluan tentang Demokrasi Terpimpin dan Hankam di Indonesia

Yang memegang peranan sebagai pelaku Pertahanan dan keamanan di indonesia adalah TNI (Tentara
Nasional Indonesia) Pemerintahan pada era presiden Soekano ditandai dengan adanya beberapa tindak
penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945. Karena situasi politik pada Sidang Konstituante
1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD
baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu
isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-
Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu . dengan Dekrit 5 Juli 1959, Soekarno
membubarkan Konstituante yang bertugas merancang UUD baru bagi Indonesia, serta memulai periode
yang dalam sejarah politik kita disebut sebagai “Demokrasi Terpimpin”. Peristiwa ini sangat penting,
bukan saja karena menandai berakhirnya eksperimen bangsa Indonesia dengan sistem demokrasi yang
liberal, tetapi juga tindakan Soekarno tersebut memberikan landasan awal bagi sistem politik yang
justru kemudian dibangun dan dikembangkan pada masa Orde Baru. Setelah memasuki demokrasi
Terpimpin, dibentuklah kabinet baru yang diberinama Kabinet Karya. Pada masa demokrasi Terpimpin
yaitu antara tahun 1959-1965 ini juga terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945 yaitu diantaranya
,Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi
Menteri Negara, MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, dan yang terakhir adalah
peristiwa yang sangat tragis yaitu Pemberontakan Partai Komunis Indonesia melalui Gerakan 30
September Partai Komunis Indonesia

Pada masa Demokrasi Terpimpin, TNI dan Polri disatukan menjadi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI) yang terdiri atas 4 angkatan yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, TNI
Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian. Masing-masing angkatan dipimpin oleh Menteri Panglima
Angkatanyang kedudukannya langsung berada di bawah presiden. ABRI menjadi salah satu golongan
fungsional dan kekuatan sosial politik Indonesia.

Terdapat Berbagai bentuk penyelewengan terhadap UUD 1945, suatu hal yang sangat tidak
dikehendaki oleh ABRI. Walaupun demikian ABRI dalam kenyataannya tidak dapat berbuat banyak,
bahkan dalam menghadapi berbagai kebijaksanaan presiden tidak dapat berbuat lain daripada
melaksanakannya. Keadaan seperti ini terpaksa dilakukan untuk menghindari situasi konfrontatif
dengan presiden yang dapat berakhibat mondorong lebih dekatnya presiden dengan PKI.

Dekrit presiden Soekarno 5 juli 1959 yang berisikan keputusan untuk kembali ke UUD 1945 tidak
mungkin dikeluarkan tanpa dukungan sepenuhnya dari ABRI. Walaupun demikian, dalam
perkembangan selanjutnya, setelah UUD 1945 dilaksanakan secara tidak semestinya, demikian juga
karena tindakan-tindakan presiden menjurus kepemerintahan diktaktor, serta adanya sikap presiden
soekarno yang istimewa terhadap PKI, maka tmbullah jarak psikologis antara presiden Soekarno dan
ABRI. Presiden Soekarno yang ingin lebih berperan dalam kedudukan sebagai panglima tertinggi
ABRI pada bulan juni 1962 membentuk staf Angkatan Bersenjata yang dipimpin oleh kepala staf
angkatan bersenjata (KSAB). Sebagai KSAB ditunjuk Jendral A.H Nasution, kedudukannya sebagai
kepala staf angatan darat digantikan oleh mayor jendral A. Yani. Sementara itu angkatan-angkatan dan
Polri dengan kepala staf angkatan dan kapolri yang diberi kedudukan mentri ditetapkan langsung
bertanggung jawab kepada presiden. Ketentuan terakhir ini memperbesar kekuasaan presiden terhadap
angkatan dan Polri, namun memperlemah persatuan dan kesatuan dalam tubuh ABRI.

Tujuan Front Nasional sebagai alat demokrasi terpimpin ialah: (1) menyelesaikan revolusi nasional
indonesia, (2) melaksanakan pembangunan semesta nasional, (3) mengembalikan irian barat kewilayah
RI. Sejak bulan maret 1961 dibentuk cabang-cabang Front Nasional di daerah-daerah. Sementara itu
Front Nasional sendiri menjadi ajang arena perebutan pengaruh antara partai-partai politik dan
golongan karya murni, terutama antara PKI dan ABRI. Kemudian pada tanggal 20 Oktober 1964
dengan bantuan ABRI, organisasi-organisasi golongan fungsional dalam Front Nasional mengadakan
forum kerja sama, diputuskan untuk membentuk “Serikat Golongan Karya” yang disingkat Sekber
Golkar. Sekber Golkar dibentuk dengan maksud menandingi FrotNasional yang di dominasi oleh PKI.

Usaha-usaha lain yang digunakan oleh ABRI dalam rangka mengimbangi kekuatan PKI terutama di
daerah-daerah, ialah dengan jalan meningkatkan organisasi teritorial sesuai dengan doktrin perang
wilayah. Pada akhir 1962 dalam struktur aparatur teritorial ditingkat kecamatan diadakan Komando
Rayon Militer (KORAMIL) dan sejak 1963 ditingkat desa diadakan Bintara Pembina Desa
(BABINSA). Dalam bidang media komunikasi masa, ABRI menerbitkan surat kabar Angkatan
Bersenjata dan Berita Yudha untuk mengimbangi propaganda dan agitasi PKI melalui surat kabar
harian rakyat, bintang timur, dan wana bakti. Ditingkat perguruan tinggi diadakan resimen mahasiswa
untuk mengimbangi kegiatan CGMI yang berafiliasi PKI.

Keadaan ekonomi sangat memburuk; PKI melancarkan demostrasi besar-besaran untuk menuntut
penurunan harga beras dan perbaikan ekonomi. Agitasi dilancarkan terhadap jendral-jendral ABRI
sebagai kapitalis birokrat, koruptor, setan-setan kota dan sebagainya yang mencapi puncaknya dengan
pemberontakan G 30 S/PKI pada dini hari 1 Oktober 1965. Pasukan-pasukan bersenjata mengadakan
penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama TNI-AD dan
perebutan beberapa instalasi strategis di ibukota. Secepat meletusnya pemberontakan G 30 S/PKI
secepat itu pula penumpasannya oleh soeharto, yang kemudian ditugasi oleh presiden Soekarno untuk
melaksanakan pemulihan keamanan dan ketertiban yang bersangkutan dengan G 30 S/PKI. Setelah
gagalnya kudeta yang dilakukan sayap komunis tentara pada 30 September 1965, kekuatan Soekarno
dan S PKI pun memudar dan kemudian hilang dan suharto berhasil menggantikan soekarno dan setelah
itu Indonesia memasuki periode baru yaitu masa orde baru yang dipimpin oleh soeharto

2. Kilas Balik Konsep Dwifungsi

Dwifungsi adalah suatu doktrin di lingkungan militer Indonesia yang menyebutkan bahwa TNI
memiliki dua tugas, yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua memegang
kekuasaan dan mengatur negara. Dengan peran ganda ini, militer diizinkan untuk memegang posisi di
dalam pemerintahan.

Konsep dwifungsi TNI pertama kali muncul dalam bentuk konsep "Jalan Tengah" yang diusulkan pada
tahun 1958 oleh Jendral A.H. Nasution, pimpinan TNI-AD pada saat itu, kepada Presiden Soekarno
untuk memberikan peluang bagi peranan terbatas TNI di dalam pemerintahan sipil.


...memberikan cukup saluran pada tentara kita bukan sebagai organisasi, tetapi sebagai
perorangan-perorangan yang menjadi eksponen daripada organisasi kita, (untuk) turut
serta menentukan, kebijaksanaan negara kita pada tingkat-tingkat yang tinggi

Pada masa pemerintahan Soeharto, konsep ini mengalami perubahan dan menjadikan TNI secara
organisatoris (bukan perorangan) menduduki jabatan-jabatan strategis di lingkungan pemerintahan
seperti menteri, gubernur, bupati, serta lembaga-lembaga legislatif dalam wadah Fraksi ABRI/TNI.

Dwifungsi ABRI secara perlahan-lahan dihapuskan menyusul runtuhnya rezim Soeharto. Pada rapat
pimpinan ABRI tahun 2000, disepakati untuk menghapus doktrin ini yang akan dimulai setelah Pemilu
2004 dan diharapkan selesai pada Pemilu 2009.

Peran militer diwujudkan dalam konsep Dwifungsi yang muncul pada periode awal kemerdekaan ini
adalah sebagai akibat dari peran sosial politik oleh militer dan kristalisasi ideologi yang menopang
tugas tersebut. Peran sospol militer diperlukan karena banyaknya kekosongan jabatan yang ditinggal
pergi Belanda, antara lain pada perusahaan-perusahaan milik Belanda yang dinasionalisasi sebagai
akibat Belanda menolak negosiasi soal Irian Barat. Nah, masuknya militer ke dalam bidang non-militer
ini juga dilegalisir oleh aturan pada waktu itu. Djiwandono (Civil Military Relation in Indonesia, 1998)
berargumen bahwa Dwifungsi ini merupakan evolusi dari ketidaksukaan terhadap Demokrasi Liberal.
Ini merupakan bentuk perlawanan terhadap "civilian supremacy over the military". Jadi dari sudut
pandang ini maka konsep Dwifungsi memang diformulasikan, dilaksanakan, dan dilembagakan sebagai
peran ABRI sejak awal berdirinya Republik ini.

Ide Dwifungsi memang berasal dari Pak AH Nasution pada saat beliau menjabat sebagai Menpangad,
dimana beliau menyatakan bahwa TNI itu tidak sama seperti tentara di negara Barat, di mana posisinya
hanya sebagai alat pemerintahan (di bawah kendali sipil), namun juga tidak seperti tentara di Amerika
Latin yang memonopoli kekuasaan, melainkan TNI adalah tentara yang berjuang bahu membahu
dengan rakyat. Oleh karena tampaknya ide Pak Nasution ini tidak Barat dan tidak Selatan maka
dijuluki konsep "Jalan Tengah" (Aspinall, Opposing Soeharto, 2005, p.63).

Kurun waktu itu baik Bung Karno maupun Pak Nasution kecewa dengan Demokrasi Parlementer. Pada
saat militer sukses menumpas pemberontakan di beberapa wilayah tanah air, Bung Karno merasa
mendapat angin untuk mengimplementasikan Demokrasi Terpimpin, sekaligus mempraktekkan ide
"Jalan Tengah" Pak Nasution. Jadi, dari sini memang tampak bahwa akar dari Dwifungsi itu berawal
pada masa Demokrasi Terpimpin. Namun di masa Orde Baru lah, Dwifungsi ini mendapatkan
legalitasnya. Peristiwa Pemberontakan G30S/PKI yang ditumpas oleh militer, menjadikan Dwifungsi
semakin mendapatkan legitimasinya (Singh, Dwifungsi ABRI, 1995, p.74).

Nah, inilah yang dianggap sebagai pangkal dari berbagai permasalahan di kemudian hari. Banyak ahli
yang berpandangan bahwa Dwifungsi dapat dibenarkan bagi para pejuang kemerdekaan, atau
setidaknya pada awal perjuangan dulu. Namun, klaim sejarah ini menjadi kabur manakala dihadapkan
kepada generasi pasca 1945. Memisahkan hal ini memang tidak mudah, peran ganda ini memasuki
wilayah abu-abu antara "pertahanan" dan "keamanan" yang juga berhubungan dengan Pemilu dan
partai politik, legislasi dan hubungan antara masyarakat dan militer. Apalagi UU No.20/1982
menyatakan ABRI itu sebagai "dinamisator" dan "stabilisator", yang mana bersama-sama dengan unsur
masyarakat lainnya mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mewujudkan kemakmukran bagi
seluruh rakyat Indonesia. Di masa kini, akan tampak dalam praktek semisal TNI membantu petani
tanam padi, karena masih ada petani yang tidak becus tanam padi, sehingga TNI merasa "terpanggil"
untuk membantunya.

3. Hubungan lama antara sipil dan militer

militer Indonesia benar-benar di bawah pemerintahan sipil. Di masa inilah terjadi rasionalisasi tentara
dan pembentukan ABRI yang profesional dan terintegrasi. Namun demikian, pada masa ini mulai
terbentuk "sayap-sayap militer dalam partai politik dalam organisasi kemiliteran". Adanya campur
tangan pemerintahan sipil dalam masalah-masalah internal militer menimbulkan kekecewaan
mendalam di kalangan perwira tinggi dan menengah militer.

Keterlibatan militer dalam bidang politik dan ekonomi mendapat angin segar pada masa transisi dari
Demokrasi Liberal ke Demokrasi Terpimpin (1957-1959). Paling tidak, ada tiga peristiwa penting yang
menyebabkan tertancapnya kuku-kuku militer di bidang politik, ekonomi dan sosial. Pertama,
nasionalisasi perkebunan-perkebunan dan perusahaan-perusahaan Belanda di mana militer berupaya
mengambil alih sebanyak mungkin aset perusahaan-perusahaan tersebut agar tidak diambil oleh
saingan utamanya, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI). Kedua, munculnya pemberontakan-
pemberontakan daerah yang menyebabkan pemerintah mengumumkan negara dalam keadaan darurat
perang (staat van oorlog en beleg/SOB). Ketiga, belum selesainya konstituante dalam membuat
Undang-Undang Dasar baru pengganti UUD 45 dan adanya pertarungan dalam menetapkan ideologi
negara, Pancasila atau Islam.

Ini menyebabkan Presiden Soekarno, atas desakan militer menetapkan Dekrit 5 Juli 1959 yang disusul
dengan pembentukan Dewan Nasional dan kabinet yang terdiri atas berbagai unsur kekuatan sosial-
politik, termasuk militer.
Pada masa inilah, tepatnya 11 November 1958, AH Nasution,pada acara wisuda lulusan Akademi
Militer Magelang, mencetuskan konsep "Jalan Tengah" (The Middle-Way), yang intinya "ABRI bukan
sekadar alat sipil seperti di negara-negara Barat, juga bukan sebuah rezim militer yang mendominasi
kekuasaan negara, melainkan merupakan salah satu dari banyak kekuatan dalam masyarakat, kekuatan
demi perjuangan rakyat yang bekerja bahu-membahu dengan kekuatan lain yang dimiliki rakyat".
Konsep "Jalan Tengah" inilah yang menjadi cikal bakal dari "Dwifungsi ABRI". Konsep "Jalan Tengah
Tentara" (The Army's middle way) ini kemudian dijabarkan oleh Komandan Sekolah Staf dan
Komando TNI AD (Seskoad), Brigjen Soewarto, dan menjadi alat legitimasi militer untuk berperan
dalam masyarakat, di luar peran Hankam, khususnya dalam menghadapi PKI.

Pada periode 1962-1965, di mana terjadi hubungan segitiga Soekarno-Tentara (TNI AD)-PKI, terdapat
persaingan yang amat tajam antara TNI AD dan PKI dalam merebut hati Presiden Soekarno. Pada masa
ini, muncullah dokrin Tri Ubaya Cakti (Three Sacred Vows) yang merupakan hasil Seminar Angkatan
darat I, 2-9 April 1965, masih berbau Soekarnois. Pada intinya dokrin tersebut menyatakan bahwa "
kedudukan TNI AD sebagai golongan karya ABRI merupakan suatu kekuatan sosial politik dan
kekuatan militer; adalah bagian dari pada kekuatan progresif revolusioner yang menetapkan sekaligus
perannya sebagai alat revolusi, alat demokrasi serta sebagai alat kekuasaan negara, ikut mengambil
bagian dalam menentukan dan melaksanakan haluan negara...".

Setelah gagalnya kudeta yang dilakukan sayap komunis tentara pada 30 September 1965, kekuatan
Soekarno dan PKI pun memudar dan kemudian hilang. Mayor Jenderal Soeharto yang saat itu menjadi
Pangkostrad secara cepat menggilas PKI dan secara lambat tetapi pasti, menggilas kekuatan Soekarno.
Tinggallah TNI AD sebagai kekuatan utama (the first among equals) dalam sistem politik Indonesia.

4. Sejarah Republik Indonesia dan Hubungan Sipil-Militer

Sejak pemerintahan Soeharto berakhir di tahun 1998, turut berubah pula paradigma hubungan
sipil-militer di negeri ini. Negeri kita sebelumnya amat didominasi oleh militer, dan memang hal ini
tidak bisa dilepaskan dari sejarah bangsa Indonesia itu sendiri. Sejak Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945, militer memiliki peran yang amat penting dalam revolusi fisik dan tidak mengakui
kontrol sipil atas dirinya. Contohnya, Jenderal Soedirman menolak perintah Presiden Soekarno untuk
melepaskan Syahrir pada 30 Juni 1946 setelah diumumkan negara dalam keadaan darurat. Meski
Soekarno mengumumkan di radio bahwa penahanan Syahrir dapat membahayakan keutuhan nasional,
Pak Dirman tetap menolak (Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since 1300, 1993, p.223).
Penolakan perintah yang lain adalah pada saat Soekarno ditangkap Belanda pada saat Belanda
menyerbu Yogyakarta, 19 Desember 1948. Setelah Soekarno ditahan sekian lama, Soekarno dan
Soedirman tetap tidak mencapai kesepakatan tentang gencatan senjata dengan Belanda. Soekarno
menghendaki gencatan senjata. Soedirman menghendaki peperangan gerilya diteruskan sampai
tujuannya tercapai. Akibatnya, Soedirman menawarkan untuk berhenti sebagai Panglima karena
Soekarno tidak mau menarik ide gencatan senjata. Di mata Nasution, sikap Pak Dirman ini amat
mengesankan. Alih-alih menyerah, malah memimpin perang gerilya dengan segala resiko dan kesulitan
yang harus dihadapi. Disinilah kelemahan pimpinan sipil pada waktu itu yang telah dipandang
membahayakan keutuhan nasional. Makanya, dikatakan bahwa satu-satunya milik Republik ini yang
tetap utuh dan tidak akan berubah meski menghadapi segala macam ancaman, tantangan, halangan dan
gangguan adalah Tentara Nasional Indonesia (Rinakit, The Indonesia Military after New Order, 2005,
p.40).

Dari titik tonggak sejarah inilah bisa kita runut hubungan sipil dan militer negeri kita yang
dimulai sejak negeri kita berdiri. Sistem pemerintahan kita juga mempengaruhi hubungan ini. Pada
awal berdirinya negara ini, kita mengadopsi gaya Demokrasi Liberal, mulai dari sistem pemerintahan
yang presidensial, kemudian berubah menjadi parlementer dengan masih menggunakan satu konstitusi
yang sama (bandingkan dengan Thailand yang hampir setiap terjadi kudeta ganti konstitusi). Gaya
parlementer ini bertahan sekitar satu dekade, dan hasilnya banyak yang tidak puas sehingga berakhir
dengan kegagalan. Nah, karena gagal berliberal-ria ini, maka dicobalah gaya yang lain. Muncul lah
Demokrasi Terpimpin, tetap dibawah Presiden Soekarno pada tahun 1959. Pak Harto melabeli ini
sebagai Orde Lama. Demokrasi Terpimpin ini memungkinkan Presiden mempunyai kekuasaan yang
besar, ditambah aneka hak prerogatif lainnya. Setelah tumbang, maka lahirlah Demokrasi Pancasila
bersamaan dengan naiknya Pak Harto ke tampuk pimpinan negara kita, berlabel Orde Baru. Meski Pak
Harto menjadi Presiden setelah membasmi komunisme (yang dianggap sebagai musuh kapitalisme
barat), baik Orde Baru maupun Orde Lama sama-sama mencela Demokrasi Liberal. Dikatakan bahwa
Demokrasi Liberal itu terlalu individualistis, terlalu bebas, sehingga tidak sesuai dengan kultur
Indonesia yang bersifat kegotong-royongan, kekeluargaan dan kekerabatan. Jadi, mulai dari sudut
pandang ini, Demokrasi Liberal sudah mendapatkan label negatif. Kata liberal pun dalam Bahasa
Indonesia berkonotasi negatif.

Orde Baru telah menetapkan bahwa pondasi negara adalah Pancasila, dan konstitusinya UUD 1945.
Pak Harto mendefinisikan Orde Baru adalah sebagai koreksi total terhadap Orde Lama, yang dipandang
korup dengan kekuasaannya yang bersifat absolut, bukan oleh lembaga perwakilan rakyat (DPR dan
MPR) melainkan digenggam oleh sang Presiden itu sendiri. Tapi meskipun dimaksudkan sebagai
koreksi rejim sebelumnya, ternyata dalam kenyataannya, tidak juga berbeda jauh dengan Orde Lama.
Contohnya, Presiden melakukan dominasi terhadap lembaga legislatif melalui suatu sistem penunjukan
langsung, dimana seluruh kandidat harus melalui serangkaian ujian dengan apa yang disebut sebagai
"screening" sebelum dinominasikan. Eksekutif juga sering diprotes karena terlalu absolut, tidak ada
kebebasan mengemukakan pendapat dan berkumpul. Pendek kata, masyarakat dibatasi gerak-geriknya.
Salah-salah sedikit dicap anti pemerintah. Gaya pemerintahan pada masa itu benar benar "one man-
rule", kekuasaan mutlak berada di tangan Presiden. Media yang berani menyiarkan tulisan yang tajam
harus siap-siap dibredel. Yang suka usil siap-siap masuk bui. Yang suka bikin onar dan kriminal,
selesai dengan petrus (penembak misterius) sebagai shock terapi

5. kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik dari sistem pertahanan dan keamanan yang ada di Indonesia pada saat
Demokrasi Terpimpin yang dipimpin oleh Soekarno adalah ABRI yang merupakan gabungan dari TNI
dan POLRI dalam masa Demokrasi Terpimpin mengalami penyimpangan yaitu ABRI mencampuri
bidang-bidang lain selain pertahanan dan keamanan yaitu mencampuri bidang politik dan ekonomi.
ABRI juga dijadikan sebagai alat bagi para penguasa untuk menutup-tutupi apa yang sebenarnya terjadi
di negara Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai