Anda di halaman 1dari 37

Jika saja semasa hidupnya Rasulullah Saw.

menjelaskan ilmu pengetahuan alam dan astronomi,


maka aktivitas penginderaan dan penalaran manusia niscaya akan berakhir sampai di situ, dan
manusia akan dimanjakan dengan itu semua. Akan tetapi, Rasulullah justru menyarankan manusia
agar menggunakan indera dan kecerdasannya guna mengkaji segala hal yang bisa meningkatkan
kesejahteraan, memperluas pengetahuan, dan memperkaya jiwa. Dengan demikian, pintu untuk
menyingkap ilmu pengetahuan semacam itu adalah kecerdasan dan eksperimen, bukan hadis dan
ilmu-ilmu agama.

– Muḥammad ‘Abduh (1849-1905)-

KECEPATAN CAHAYA DAN USIA DUNIA MENURUT ALQURAN

Sekitar satu dasawarsa lalu, seorang astronom Mesir muda yang cerdas menceritakan sebuah
makalah yang baru ia baca. Ia menilai, makalah tersebut adalah tulisan paling mengesankan
yang belum pernah ia temukan sebelumnya. Saya kira makalah yang ia maksud adalah makalah
sains, karena itulah saya penasaran untuk mengetahui isinya meskipun bidang keahlian
perhitungan dalam makalah tersebut utamanya didasarkan pada sebuah ayat Alquran berikut:
Dialah yang mengatur urusan kosmik dari langit hingga bumi kemudian (urusan) itu naik kepada-
Nya (yakni melalui alam semesta) pada suatu hari yang kadar (lamanya) adalah seribu tahun
menurut perhitunganmu (Alquran, Surah as-Sajdah/32: 5). Sebagai perbandingan dan untuk
menyajikan beberapa implikasi penting, di sini saya menyisipkan terjemahan versi Yusuf Ali
terhadap ayat tersebut sebagaimana berikut: “Ia yang mengatur (semua) urusan dari langit ke
bumi: pada akhimya (segala urusan) akan naik kepada-Nya di suatu Hari yang kadar (lamanya)
adalah seribu tahun menurut perhitunganmu“. Perlu dicatat bahwa hari yang dimaksud dalam
ayat ini adalah hari kiamat, bukan hari-hari biasa.

Penulis makalah tersebut kemudian menggabungkan ayat ini dengan beberapa kuantitas-
kuantitas astronomi dan geometri secara artifisial hingga mendapatkan nilai c (laju cahaya) yang
sangat dekat dengan hasil eksperimen (yaitu 299.792,46 km/s).

Kesalahan konseptual dan metodologis utama yang dilakukan oleh Hassab-Elnaby adalah
sebagai berikut:
 Ayat tersebut hanya membahas waktu, tidak menyebutkan jarak. Karena itu, hasil
perhitungan laju cahaya berdasarkan ayat itu tidaklah valid. (Lihat Lampiran B tentang
bagaimana penulis memperkenalkan konsep jarak secara artifisial).

 Penulis memanipulasi kuantitas-kuantitas fisika demi mendapatkan hasil yang tepat,


kadang-kadang “mengatur” persamaan-persamaan dengan pencantuman artifisial cosinus
dari sebuah sudut atau nilai rata-rata dari suatu jumlah tertentu (misalnya, jarak bulan-bumi
yang bervariasi sepanjang tahun dan bahkan sepanjang waktu).

 Alquran menyebutkan seribu tahun menurut perhitunganmu, yang berarti bulan-bulan


sinodis, bukan bulan sideris sebagaimana yang digunakan Hassab-Elnaby.

 Hassab-Elnaby menjejali pembaca dengan berbagai istilah teknis dan konsep fisika,
termasuk intepretasi keliru atas teori relativitas khusus. Jika metode ini benar-benar kuat, ia
semestinya dapat memberi penjelasan yang sesederhana dan sejernih mungkin.

 Jika seseorang bisa menghitung jarak yang ditempuh oleh ‘semua urusan’ untuk
mencapai Tuhan dalam satu ‘hari’ (1.000 tahun), ini menunjukkan bahwa (1) Allah berada
dalam radius jarak tertentu dari kita manusia dan (2) diperlukan beberapa waktu untuk
mencapai-Nya.

 Beberapa penulis menunjukkan bahwa gagasan satu hari yang setara dengan seribu
tahun juga muncul dalam Perjanjian Baru: Bagi Tuhan, satu hari sama seperti seribu tahun (2
Petrus, 3: 8). Yang lebih penting, kata ribu dalam budaya Arab kuno berarti ‘sangat banyak’
atau jauh lebih besar dari yang biasa digunakan manusia dalam hidup keseharian.

Lalu mengapa kita harus susah-susah membahas makalah yang mengandung kesalahan serius
ini? Tidak adakah klaim-klaim menggelikan yang lain? Sebenarnya banyak, tetapi makalah
tersebut mencerminkan dua hal. Pertama, bagaimana seorang Muslim mendekati Alquran.
Kedua, bagaimana gaya pendekatan tersebut berdampak terhadap kebudayaan Islam. Selain
tersebar begitu luas, gagasan ini juga telah direproduksi dalam bentuk yang lebih buruk, yakni
dalam sebuah buku karya Zaghloul An-Najjar berisi 600 halaman dengan 200 gambar full colour
yang sudah terbit dalam empat edisi. Dalam buku tersebut, Profesor An-Najjar meluangkan satu
halaman khusus untuk membahas derivasi laju cahaya yang dimulai dengan persamaan berikut:
Laju benda-benda kosmik = 1.000 tahun/hari

menurut perhitungan manusia.

Namun, setiap mahasiswa dapat segera menilai bahwa secara fundamental, persamaan ini
salah. Laju (speed) tidak pernah bisa menjadi rasio dari dua periode waktu. Karena itu, ketika
hasil persamaannya adalah 334,056.8 km/s, An-Najjar mencoba mendapatkan hasil yang tepat
(300.000 km/jam) dengan menggunakan ‘saran’ Hassab-Elnaby, yakni mengalikan ‘faktor bulan’
dan ‘faktor tahun’ yang masing-masing ia sebut sebagai ‘rasio bulan sideris/bulan sinodis’ yakni
27.32/29.53 = 0,9252′ dan ‘rasio 309 tahun lunar/300 tahun matahari’ yang ia anggap setara
dengan 0,97087. Satu hal yang hilang di sini adalah cosinus sudut yang diperkenalkan secara
artifisial oleh Hassab-Elnaby. Kita justru mendapat beberapa angka baru yang secara
“abrakadabra” dikalikan berkali-kali-hanya untuk menghasilkan nilai yang diinginkan (dan/atau
sudah diketahui sebelumnya).

Derivasi versi An-Najjar yang cukup berbeda tersebut sangatlah penting, sebab versi tersebut
menjustifikasi bahwa angka-angka dapat digunakan dan digabung satu sama lain untuk
mendapatkan hasil final yang diinginkan, bukan karena angka-angka tersebut masuk akal dalam
kerangka konseptual yang koheren.

Sayangnya, perhitungan Elnaby dan An-Najjar bukanlah akhir cerita. Pendekatan yang mereka
gunakan tampaknya telah berkembang menjadi ‘aliran’ tersendiri dengan para pengikut yang
menerapkan metodologi yang sama untuk masalah-masalah lain yang sejenis.

Pada Juli 2007, saya menerima sebuah makalah berjudul ”A New Method for Estimating the
Ages of the Earth and of the Universe” yang ditulis Profesor Kamel Ben Salem. Coba perhatikan
kesamaan judul makalah tersebut dengan makalah Hassab-Elnaby. Dalam karyanya, Ben Salem
menggunakan metodologi yang saya kritik di atas secara persis. Ia memulai paparannya dengan
ayat Alquran: Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada-Nya dalam sehari yang
kadarnya sama dengan lima puluh ribu tahun (Alquran, Surah al-Ma‘ārij, 70: 4) yang kemudian
menjadi pusat tesisnya dan diperkuat dengan ayat berikut ini: Sesungguhnya sehari di sisi
Tuhanmu sama seperti seribu tahun menurut perhitunganmu (Alquran Surah al-Ḥajj, 22: 47; al-
Sajdah, 32: 5). Selain itu, dalam makalah tersebut, ia juga kerap menggunakan ungkapan-
ungkapan seperti “relativitas waktu dalam Alquran”. Untuk memulai derivasinya, ia
mengungkapkan bahwa “salah satu sahabat Nabi menyadari bahwa ayat tentang 50.000 tahun
menunjukkan kurun waktu yang memisahkan awal penciptaan dan hari akhir (Hari Perhitungan)”
dengan operasi perkalian berikut:

1 hari = 50.000 tahun = 50.000 x 365.256.363.051

‘hari dunia’ = 18.262.818.152 ‘hari dunia’

dan setiap ‘hari dunia’ bernilai 1.000 tahun,

sehingga kurun waktu berdasarkan perhitungan ini


adalah 18.262.818.152 tahun menurut perhitungan
manusia.

Ben Salem kemudian juga mengutip beberapa ayat lain (seperti, Alquran, Surah Qāf, 50: 38 dan
Fuṣṣilāt, 41: 9-10) sehingga sampai pada sebuah kesimpulan bahwa total jatah waktu yang
diberikan kepada alam semesta (dari penciptaan sampai hari kiamat) adalah delapan ‘hari’ (atau
periode P) dengan rincian 6 periode P berdasarkan masa kosmologi lampau, sedangkan dua
yang terakhir merupakan usia bumi. Dari langkah sederhana inilah, diperoleh sebuah hasil:

umur bumi, TE =2 P = (18.262.818.152/8) x 2 =


4.565.704.538 tahun atau 4.5657 milyar tahun; usia alam
semesta, TU = 6 P = 6 x (18.262.818.152/8) =
13.697.113.614 tahun, yaitu 13,7 miliar tahun;

Sehingga waktu yang tersisa antara saat ini dan Hari Kiamat adalah 4.5657 miliar tahun
meskipun dalam hal ini Ben Salem tidak menunjukkan secara jelas karena umat Muslim
umumnya menganggap hari Kiamat sebagai pengetahuan eksklusif ilahi. Ben Salem hanya
menyebutnya dengan istilah “waktu yang tersisa untuk tata surya.”
Lalu, apa yang bisa kita tarik dari ‘derivasi’ semacam itu? Tidak banyak, selain catatan bahwa
Ben Salem harusnya mengetahui bahwa perkiraan terbaru atas usia semesta (13,7 miliar tahun)
yang diperoleh dari data WMAP hampir sama dengan tiga kali usia bumi (4.540.000.000 tahun)
yang sudah diketahui luas berdasarkan US Geological Survey. (Perhatikan bahwa rasio 3: 1 ini
hanya bisa dianggap mendekati kebenaran di zaman kita saat ini, dan belum tentu dapat
bertahan selama, katakanlah, 100 juta tahun mendatang.) Dengan catatan ini, setiap Muslim
jangan menganggap bahwa rasio 3:1 diturunkan dari beberapa ayat Alquran yang membicarakan
penciptaan langit dan bumi dalam empat hari, dua hari, dan lain sebagainya. Begitu juga, akan
sangat mudah disimpulkan bahwa 1/4 (atau 2/8) dari 50.000 x 365 menghasilkan angka 4,5 juta,
sehingga jika angka ini dikalikan dengan 1.000, akan diperoleh hasil 4,5 miliar tahun sebagai
umur bumi. Sisa digit angka dalam derivasi -yang sebenarya tidak bermakna apa-apa itu- hanya
digunakan untuk membesar-besarkan kesan saja.

Meskipun saat ini semakin sedikit orang yang terkesan dengan perhitungan numerik di atas, saya
ingin menunjukkan bahwa ketika Ben Salem tengah membangun ‘metode barunya’ yang
sepenuhnya didasarkan pada beberapa ayat Alquran, Zaghloul An-Najjar dan Marwan At-
Taftanazi juga menggunakan ayat-ayat yang sama dalam buku mereka masing-masing dan
membuat kesimpulan bahwa bumi pasti diciptakan sebelum penciptaan bagian-bagian kosmos
yang lain. Berikut saya kutipkan ungkapan An-Najjar (profesor geologi) mengenai hal ini:

Alquran menyatakan bahwa Allah menciptakan segala yang ada di bumi sebelum mengubah
langit berasap pertama menjadi tujuh langit (Alquran, Surah AI-Baqarah/2: 29). Kemudian Surah
Fuṣṣilāt/41: 9-12 menyatakan bahwa semua elemen yang diperlukan kehidupan di bumi, bahkan
bumi purba itu sendiri, sudah diciptakan sebelum pemisahan langit berasap pertama menjadi
tujuh langit. Jadi, bisakah para ahli astronomi, astrofisika, dan geologi Muslim merevisi teori-teori
dan perhitungan ilmiah dewasa ini berdasarkan ayat-ayat Alquran untuk menguatkan bahwa
fakta-fakta tersebut adalah i’jaz? Ketika para ahli sepakat mengenai unsur-unsur berat hanya bisa
diciptakan di alam semesta khususnya di dalam bintang-bintang, revisi yang demikian akan
sangat berguna untuk memperkuat kepercayaan Muslim dan mengundang non-Muslim (untuk
juga percaya) bahwa orang-orang tersebut sebenarnya terlalu tergoda oleh sains dan data-
datanya yang membawa mereka tersesat dan hilang arah.

Hampir sama dengan pernyataan di atas, Marwan At-Taftanazi (ahli I’jaz yang lain)
mengemukakan hal berikut:
Ayat-ayat ini (Alquran, Surah Fuṣṣilāt/41: 9-11) menguatkan fakta kosmik yang sudah mapan dan
pasti, bahwa setelah awal ‘pemisahan’, bumi diciptakan pertama kali, kemudian dibentuklah
langit dari ‘asap’ primordial. Sementara itu, para penafsir yang tidak ingin mencocokkan ayat ini
dengan teori-teori ilmiah -yang menganggap penciptaan langit terjadi sebelum bumi, sebenarnya
melakukan kesalahan serius,

Malek Bennabi (l905-1973) -seorang pemikir Aljazair yang sangat disegani, dengan buku pertama
dan terpentingnya, The Quranic Phenomenon, yang ditulis khusus untuk mengeksplorasi berbagai
karakteristik Alquran dan pengalaman Nabi mengenai fenomena-fenomena alam-juga tergoda
dengan konsep I’jaz dan meluangkan satu bab khusus untuk membahas ‘kandungan ajaib ilmiah’
di balik beberapa ayat tertentu. Satu hal yang paling menakjubkan dari pernyataannya adalah
penjelasan mengenai ‘Ayat Cahaya’ yang sudah terkenal (Alquran, surah an-Nūr/24: 35, seperti
yang dikutip sebelumnya) dengan menyamakan ceruk sebagai proyektor, lampu sebagai kawat
pijar, dan kaca sebagai bola lampu. Sayangnya, kesalahannya bukan hanya dalam pernyataan ini,
sebab ia juga melontarkan beberapa interpretasi keliru lainnya yang tak kalah mengejutkan.

FENOMENA KEBUDAYAAN YANG BERKEMBANG

Teori I’jaz ‘ilm (‘mukjizat ilmiah’) Alquran ini telah berkembang cepat dan menjadi bagian besar
yang tak terpisahkan dalam lanskap budaya Dunia Islam (utamanya bangsa Arab) selama
beberapa dekade terakhir, sehingga menjamurlah berbagai kajian mengenai ‘konten ilmiah dalam
Alquran’. Pencarian singkat di dunia maya terhadap referensi seputar topik ini akan menampilkan
berbagai artikel buku, semisal Subatomic World in the Quran , Science and Sunnah: the Genetic
Code, The Grand Unification Theory (GUT): Its Prediction in Alquran, dan Islam and the Second Law
of Thermodynamics. Karya-karta tersebut ditulis untuk menunjukkan, misalnya, bahwa Alquran
lah yang meramalkan penemuan telepon, fax, e-mail, radio, telegram, televisi, laser, pulsar, dan
lubang hitam.

Dalam otobiografi intelektualnya, Desperately Seeking Paradise, Sardar membela tesis sains
Islaminya dari serangan salah seorang temannya yang sangat skeptis terhadap seluruh konsep
yang ditawarkan Sardar dan melontarkan ungkapan: “Ide Anda mengenai sains Islami telah
dibajak oleh kaum fundamentalis dan mistik. Para fundamentalis mencari mukjizat ilmiah dalam
Alquran, sehingga segala hal, mulai dari relativitas, mekanika kuantum, teori big bang, hingga
kajian embriologi dan beberapa kajian geologi modern dianggap telah “ditemukan” dalam
Alquran”.(Terkait dengan aliran ‘mistik’, lawan bicara Sardar tersebut merujuk aliran Nasr.)
Harus juga saya tekankan di sini bahwa sebagian besar pendukung metode ini adalah orang-
orang terdidik, dan terlepas dari proposisi-proposisi mereka yang dengan mudah bisa
dimentahkan atau disalahkan, mereka benar-benar tulus ketika mencoba mengukuhkan
(kebenaran) pernyataan autentik Alquran.

Salah satu gagasan paling mencolok dalam literatur Islam adalah klaim bahwa Alquran berisi
“segala jenis pengetahuan” -yang kadang-kadang ditambah dengan pernyataan “yang ada dari
zaman kuno hingga zaman modern”. Gagasan ini biasanya diperkuat dengan ayat Alquran
berikut: Tiadalah Kami alpakan (abaikan) sesuatu apa pun di dalam al-Kitab (Alquran, Surah Al-
An‘ām/6: 38). Namun, kaum modernis (reformis) menafsirkan ayat ini hanya sebagai petunjuk
bahwa Alquran memuat prinsip-prinsip umum dari segala hal yang penting diketahui manusia.
Belakangan, kecenderungan lain muncul pada abad ke-20 dengan klaim bahwa prinsip “segala
jenis pengetahuan ada di dalam Alquran” harus diperluas dan mencakup sains modern, sehingga
segala hal yang telah dan akan diciptakan oleh manusia juga bisa ditemukan dalam teks-teks
Alquran, apabila Alquran benar-benar dieksplorasi dengan cermat.

Ada dua versi dari kecenderungan terakhir ini: (a) aliran ‘tafsir ilmiah’ (tafsīr ‘ilmī) yang
menyatakan bahwa pengetahuan ilmiah modern harus digunakan bersama perangkat-perangkat
keilmuan lain untuk lebih memahami beberapa ayat Alquran yang tidak bisa ditafsirkan dengan
tepat pada zaman dahulu, dan (b) aliran ‘mukjizat ilmiah Alquran’ (I’jaz ‘ilmi) yang mengklaim
bahwa beberapa ayat Alquran, jika dibaca dan ditafsirkan ‘secara ilmiah’, cukup eksplisit
mengungkapkan sebagian kebenaran ilmiah yang ditemukan belakangan ini; karena itulah
Alquran dianggap sebagai keajaiban ilmiah yang berasal dari Tuhan.

Belakangan ini, aliran tersebut tidah hanya populer, tetapi juga mendapat dukungan resmi.
Bahkan, di Makkah didirikan Komisi untuk Mukjizat Ilmiah Alquran dan Sunnah di bawah Liga
Muslim Dunia yang hingga kini menerbitkan belasan buku tentang topik seperti “mukjizat-
mukjizat Alquran dalam geologi” dan menyelenggarakan sembilan konferensi internasional di
berbagai negara. Bukti popularitas dan dukungan resmi terbaru yang diterima ‘aliran’ ini adalah
penghargaan Dubai International Holy Quran Award yang diberikan oleh Islamic Personality of
2006 kepada Zaghloul An-Najjar, tokoh terpopular dalam aliran tersebut.

Sebelum membahas teori I’jaz, saya ingin terlebih dahulu membahas pendekatan lain yang lebih
moderat dan sering disebut dengan ‘penafsiran ilmiah’. Penafsiran ini mendukung pemanfaatan
pengetahuan ilmiah dalam interpretasi Alquran.
TAFSĪR ‘ILMĪ (PENAFSIRAN IIMIAH)

Tidak seperti At-Taftanazi, An-Najjar (sebagaimana penulis-penulis lain) membedakan dengan


jelas antara pendekatan I’jaz (berikut tujuan-tujuannya) dan tafsīr ‘ilmi. Sikap An-Najjar tersebut
tampak dalam pernyataannya berikut ini:

Ketika menyebut ‘i‘jaz ilmiah’, yang ada di pikiran kami adalah tersedianya bukti-bukti yang
menunjukkan bahwa Alquran mendahului sains modern dalam fakta-fakta tentang kosmos atau
adanya penjelasan Alquran tentang fenomena alam berabad-abad sebelum adanya penemuan
sains. Sementara itu, tafsīr ‘ilmī adalah upaya manusia untuk memiliki pemahaman yang baik
mengenai beberapa ayat Alquran. Jika upaya ini berhasil, upaya penafsiran tersebut akan
mendapat dua pahala (satu karena sudah mencoba, dan satu lagi karena berhasil -menurut
tradisi Islam), sedangkan jika gagal, ia hanya menerima satu pahala.

Aliran penafsiran Alquran ini berhubungan erat dengan gerakan reformasi yang muncul sekitar
pertengahan abad ke-19 dengan pemimpin-pemimpin seperti Sir Seyyed Ahmad Khan,
Jamaluddin AI-Afghani, dan Muḥammad ‘Abduh. Beberapa pemimpin tersebut sama-sama
mencurahkan perhatian serius baik dengan cara ‘membuktikan’ potensi modern Islam vis-a–vis
Barat maupun dengan melahirkan gerakan kebangkitan dari kalangan umat Muslim demi
menggalakkan sikap-sikap modern di bidang penalaran dan kemajuan. (Beberapa penulis
mengklaim bahwa penafsir Alquran pada masa klasik abad ke-12, Fakhr Al-Din AI-Razi, harus
dianggap sebagai pelopor aliran ini, karena sering menggunakan pengetahuan ilmiah pada
zamannya dalam karya tafsirnya). Khan dan para reformis bersikeras bahwa Alquran dan alam
semesta harus dianggap sebagai perjanjian antara Tuhan dan manusia, sehingga tidak ada
kontradiksi karena keduanya mencerminkan keselarasan.

Dalam tafsir Alqurannya -yang belum tuntas namun cukup ambisius-’Abduh sering menggunakan
sains dalam menafsirkan ulang beberapa konsep dan peristiwa yang disebutkan dalam ayat-ayat
Alquran. ‘Abduh begitu bersemangat menggunakan sains dalam bagian-bagian akhir penafsiran
ayat-ayat yang berhubungan dengan fenomena alam. Sayangnya, tak ada satu pun dari para
reformis ini yang dapat dianggap sebagai pelopor kecenderungan penafsiran ilmiah, sebab
penafsiran ilmiah bukanlah tujuan utama mereka. Yang mereka lakukan sebenarnya adalah
menyelaraskan Alquran dengan sains dalam rangka menunjukkan modernitas yang melekat
dalam Islam.
Menurut Islamolog Rotraud Wieland, pendekatan penafsiran ilmiah pertama kali digunakan oleh
Muḥammad Al-Iskandarani, seorang dokter yang sekitar tahun 1880 menulis dua buku dan
diduga “mengungkap rahasia Alquran mengenai benda-benda langit dan bumi, hewan, tanaman,
dan zat-zat logam”. Langkahnya tersebut diikuti oleh beberapa pemikir lain dengan agenda yang
lebih berani, khususnya Thanthawi Jauhari yang pada 1923 menghasilkan sebuah ensiklopedi
penuh mengenai nilai-nilai ilmiah Alquran, yang dilengkapi gambar dan tabel. Dengan ensiklopedi
tersebut, Thanthawi berupaya menunjukkan bahwa Alquran berisi banyak ‘permata’ pengetahuan
(seperti judul bukunya, Jawāhīr).

Sebelumnya, para pemikir terkenal telah menggunakan pendekatan ini dalam menafsirkan
Alquran. Pada zaman klasik, ada seorang jenius berwawasan luas di bidang kesusasteraan dan
polymath) Al-Jāhizh (781-869), teolog Andalusia dan ahli hukum Ibn Hazm (994 -1064), dan Al-
Ghazālī (1058-1111), sedangkan pada zaman modern ada Al-Kawākībī (1849-1905).

Para pendukung terbaru pendekatan tafsir ilmiah di antaranya adalah ahli bedah Prancis yang
terkenal Maurice Bucaille (meskipun ia kadang-kadang lebih cenderung pada ‘mukjizat ilmiah
Alquran’), Wahid Ad-Din Khan, Muḥammad Jamal-Eddine Al-Fendi, Ahmad Mustafa Al-Maraghi,
Muḥammad Mutawalli As-Sya’rawi, Mustansir Mir, Jalees Rehman, Abd-Al-‘Alim Abdul-Rahman
Khudr, dan bahkan Muḥammad TaIbi (dalam hal-hal tertentu). Dalam artikel terbaru mengenai
masalah ini, Rehman mengutip beberapa contoh berikut ini sebagai “upaya menjelaskan ayat-
ayat Alquran dengan sains modern”, seperti penjelasan mengenai “banjir pada masa Nabi Nuh
sebagai peristiwa mencairnya lapisan es”, “penyakit karena konsumsi daging babi dan alkohol”,
dan lain-lain. Barangkali, karena juga menyadari kelemahan program tersebut, ia menambahkan,
“Banyak penulis [dengan upaya yang sama] yang memiliki niat baik dan sering percaya bahwa
pengungkapan korelasi Alquran dan sains modernlah yang menghasilkan Islamisasi sains”. Ia
juga mengakui, “Salah satu bahaya dari upaya mengaitkan sains modern dengan Alquran adalah
karena upaya ini telah membuat semacam keterkaitan antara nilai-nilai dan kebenaran Alquran
yang abadi dengan ide-ide sains modern yang bersifat sementara.”

Saya akan memberi beberapa contoh tentang bagaimana tafsir ini bekerja. Pertama-tama
biasanya dilakukan penyaringan atau pelacakan ayat-ayat yang berkaitan dengan fenomena
alam, misalnya Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan); Yang satu tawar
dan segar, dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan dinding dan batas yang menghalangi
antura keduanya (Alquran, Surah Al-Furqān/25: 53) atau ayat Dan matahari berjalan di tempat
peredarannya (Alquran, Surah Yā Sīn/36: 38). Kemudian, proses ini dilanjutkan dengan
menghimpun semua pengetahuan ilmiah untuk mencoba menarik penjelasan yang paling masuk
akal (atau setidak-tidaknya konsisten dengan pengetahuan ilmiah yang mapan ketika itu). Karena
itulah, Wahid Ad-Din Khan menggunakan konsep “tegangan permukaan” di air yang
komposisinya berbeda untuk menjelaskan ayat pertama yang dikutip di sini. Sementara itu,
Muḥammad Abduh menggunakan teori aktivitas gunung berapi bawah laut untuk menafsirkan
ayat kedua dan teori astronomi modern untuk menggambarkan gerakan matahari dalam ayat
Alquran, Surah Yā Sīn/36: 38.

Seorang cendekiawan Muslim klasik yang sangat berpengaruh karena menggunakan pendekatan
saintifik beberapa abad yang lalu adalah Ar-Rāzī dengan karyanya Mafātih Al-Ghayb atau Kitāb
At-Tafsīr Al-Kabīr. Dalam karya-karya tersebut, ia menggunakan banyak teori sains, sehingga
dalam beberapa hal ia tak jarang membingungkan pembaca dengan diskusi astronomi atau
karena terlalu menyimpang jauh dari tema yang diangkat dalam sebuah ayat. Ia sendiri
menyadari sikapnya yang berlebihan itu, kemudian berusaha membenarkan pendekatannya
dengan mematahkan beberapa kritik yang dilontarkan kepadanya seperti tampak dalam
tulisannya berikut:

Barangkali, orang-orang bodoh dan apatis akan berkata: Sikap Anda yang terlalu mengait-
ngaitkan penafsiran atas Kitab Allah ini dengan astronomi telah menyalahi norma. Menanggapi
pikiran dangkal ini, kami menjawab: Jika Anda pernah merenungkan Kitab Allah secara
mendalam dan benar, Anda akan menyadari kesalahan dalam keberatan Anda itu. Pembelaan
atas apa yang kami lakukan berasal dari dua sisi: pertama, Allah sendiri yang mengisi Kitab-Nya
dengan contoh-contoh dari langit dan bumi untuk menekankan konsep pengetahuan, kekuatan,
dan kebijaksanaan dari-Nya yang la ulang-ulang dalam berbagai ayat dan sural. Yang kedua,
pernyataan-Nya berikut: Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi adalah lebih besar (urusannya)
dibandingkan penciptaan manusia. Hanya saja kebanyakan manusia tidak mengetahui (Alquran,
Surah Gāfir/40: 57), sehingga mengabaikan pentingnya pemahaman terhadap fenomena langit.

Banyak cendekiawan menyatakan keberatannya terhadap pendekatan ini. Berikut ini adalah para
penentang aliran tersebut, di antaranya yang paling terkemuka: Pada zaman klasik, ada As-
Syatibi (1388), ahli hukum Islam Andalusia, dan pada abad ke-20 ada Rasyid Ridha, Mahmud
Syaltut, dan Sayyid Qutb. Alasan di balik keberatan tokoh-tokoh tersebut dirangkum oleh
Wielandt dalam beberapa poin berikut: (a) aliran tersebut sering memunculkan makna kosakata
Alquran yang tak dapat dipertahankan; (b) meremehkan sebab-sebab turunnya wahyu (asbab an-
nuzul) dan konteks tekstual dari ayat-ayat yang sedang ditafsirkan, dan (c) menghilangkan
konteks sosial dan budaya masyarakat di balik ayat-ayat yang ditafsirkan. Sementara itu, penulis
kontemporer Sami Ahmad Al-Musili menambahkan dua poin yang lebih kritis berikut ini: (1)
Dalam tafsir ilmiah, Alquran yang sempurna dibuat tunduk pada pengetahuan (sains) manusia
yang tidak sempurna dan (2) pendekatan ini bersifat elitis dan eksklusif sehingga tidak dapat
diakses oleh semua umat Muslim. Menurut saya, poin-poin yang disebutkan di atas bukanlah
masalah yang serius, setidak-tidaknya karena dua alasan. Pertama, tiga poin yang pertama
sebenarnya mengabaikan gagasan bahwa Alquran tidak boleh terikat pada budaya Arab abad ke-
7 dan harus relevan untuk semua orang, dan karena itulah para pendukung aliran penafsiran
ilmiah mencurahkan segala upaya intelektualnya untuk mewujudkan gagasan ini. Kedua, semua
keberatan di atas mengabaikan gagasan utama yang saya anjurkan dalam buku ini, yakni bahwa
Alquran mengandung banyak lapisan makna dan karenanya bisa dilihat oleh pengetahuan
sebelumnya (yang dimiliki seseorang sebelum membaca Alquran), sehingga Alquran bisa
mencerahkan jika direfleksikan karena memiliki kecenderungan ilmiah atau sastrawi serta
mengandung gagasan rasional atau spiritual.

Dalam sebuah artikel yang lebih mutakhir, Mustansir Mir mempertimbangkan kelangsungan
proyek penafsiran ilmiah tersebut. Dalam upayanya mempertahankan pendekatan ini, ia
menunjukkan bahwa penafsiran ilmiah harus dianggap pertama-tama sebagai sebuah
pendekatan terhadap Alquran sebagaimana pendekatan-pendekatan lain yang telah muncul
sebelumnya (linguistik dan teologis). Kemudian, pendekatan ‘ilmiah’ ini harus dianggap muncul
sebagai respons atas kebutuhan nyata dan konkret. Dewasa ini, dominasi sains dan pandangan
dunia ilmiah tampaknya akan mendorong bahkan memaksa digalakkannya tafsīr ‘ilmi (tafsir
ilmiah). Ia memberi dukungan atas pendekatan ini dengan alasan sebagai berikut:

Secara linguistik, sangat mungkin sebuah kata, frasa, atau kalimat memiliki lebih dari satu
lapisan makna, sehingga sebuah lapisan makna tertentu bisa diterima suatu khalayak pada
masa tertentu pula, sedangkan lapisan makna lain yang tidak meniadakan lapisan pertama, bisa
diterima khalayak lain pada masa berikutnya.

Demi menguatkan idenya, ia memberi contoh berikut:

Kata yasbahūn (berenang atau mengapung) dalam ayat “Dan Dialah yang menciptakan malam
dan siang serta matahari dan bulan yang masing-masing keduanya ‘mengapung’di dalam garis
orbitnya (Alquran, Surah aI-Anbiyā’/21: 33)” bisa dimengerti dengan baik oleh masyarakat Arab
abad ke-7 yang mengamati fenomena alam dengan mata telanjang, tetapi juga (dimengerti dan
diterima oleh) kita hari ini yang telah memiliki penemuan-penemuan ilmiah, yaitu mekanika
benda langit.

Mir sebenarnya sangat kritis terhadap beberapa ‘penafsiran ilmiah’ amatir yang dangkal
informasi dan telah muncul di mana-mana, terutama di dunia maya. Ia menyimpulkan bahwa
“tidak ada penafsiran ilmiah terhadap Alquran yang kredibel hingga hari ini” dan “seperti halnya di
dunia tasawuf, tafsīr ‘ilmī mungkin harus menunggu muncul seorang Ghazālī-nya sendiri”. Saya
setuju dengan ungkapan tersebut.

I’JAZ ‘ILMĪ: SEBUAH TINJAUAN HISTORIS SINGKAT

Banyak penulis menganggap kecenderungan tren ini bersumber dari Nabi sendiri melalui
beberapa hadis beliau, para sahabat beliau, atau melalui pengakuan sahabat-sahabat beliau.
Nabi diriwayatkan pernah bersabda bahwa “keajaiban Alquran tidak terbatas” sehingga beliau
memerintahkan umat Muslim untuk “menggali makna Alquran dan memecahkan misteri-
misterinya”. Demikian pula, salah satu sahabat utama Nabi, Abdullah bin Mas‘ud, diriwayatkan
pernah mengatakan: “Siapa pun yang ingin menguasai pengetahuan orang-orang dahulu dan
orang-orang yang akan datang, ia harus mempelajari Alquran secara mendalam”. Saya harus
menambahkan di sini bahwa banyak temuan lain yang juga membenarkan kemukjizatan konten
ilmiah Alquran tersebut dalam hadis (dan wacana klasik lainnya) dan semakin mengukuhkan
Alquran sebagai ‘mukjizat’ Nabi.

Beberapa penulis lain mempertimbangkan temuan berharga dari para teolog dan ahli hukum
klasik termasyhur, Al-Ghazālī (w. 1111) dan As-Suyūtī (w. 1505), yang sangat terkesan dengan
ayat-ayat Dan Kami turunkan Al Kitab (Alquran) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu
(Alquran, Surah an-Naḥl/16: 89) dan Tiadalah Kami alpakan sesuatu apa pun di dalam Al Kitab
(Alquran, Surah Al-An‘ām/6: 38). Dengan retorika yang agak berlebihan, mereka pun menyerukan
bahwa Alquran berisi semua pengetahuan yang bisa dipikirkan (thinkable). Al-Ghazālī
mempertahankan gagasannya mengenai ‘penafsiran dengan opini pribadi’ (tafsīr bi ar-ra‘y) dan
menunjukkan bahwa pernyataan Nabi dan Abdullah ibn Mas’ud di atas sangat jelas menyiratkan
keharusan seseorang untuk melampaui setiap pembacaan yang dangkal terhadap Alquran.
Dalam buku terkenalnya, Ihyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, ia menulis demikian: ‘Alquran memiliki simbol-simbol
dan petunjuk-petunjuk yang hanya dapat dipahami oleh para ahli; maka dapatkah pembacaan
yang dangkal bisa mengungkap makna di balik ayat-ayat tersebut?” Lebih lanjut beliau
mengatakan dalam buku beliau selanjutnya, Jawāhīr Alquran: “Pernahkah Anda mendengar
bahwa Alquran adalah samudera yang menjadi muara dari semua pengetahuan, dari yang
terdahulu hingga yang terkemudian, seperti halnya sungai-sungai dari berbagai pantai bermuara
di lautan?” Dengan analogi yang sama, ia menyamakan eksplorasi terhadap Alquran layaknya
penemuan kerang, kemudian menyamakan tingkatan orang yang mendekati Alquran, dari hanya
mengagumi, menggosok, hingga membuka kerang untuk menemukan mutiara di dalamnya.

Namun, seperti yang ditekankan Ahmad Dallal, dua ayat di atas (Alquran, Surah An-Naḥl/16: 89
dan Al-An‘ām/6: 38) -jika dibaca lebih saksama- sebenarnya mengarah kepada pengetahuan
tentang akhirat. Ia bahkan bersikeras mengatakan bahwa “terlepas dari klaim keduanya, baik Al-
Ghazālī maupun As-Suyūtī tidak benar-benar mengorelasikan teks Alquran dengan sains dalam
sebuah prosedur penafsiran yang sistematis”. Dallal kemudian menunjukkan bahwa
kecenderungan yang demikian tidak pernah muncul pada masa keemasan Islam, bahkan ketika
sains berada di puncak pekembangannya Banyak orang mengklaim bahwa ledakan I’jaz
termutakhir dimulai oleh Maurice Bucaille, ahli bedah Prancis yang pada 1976 menerbitkan buku
berjudul La Bible, Ie Coran et la Sain: Les ecritures saintes examinees ala lumiere des
connaissances modernes (“Bibel, Alquran, dan Sains: Kitab-Kitab Suci dalam Tinjauan Sains
Modern”) yang di dalamnya menyatakan bahwa Alquran bukan hanya tidak mengandung
pernyataan yang bertentangan dengan temuan ilmiah terbaru, melainkan juga berisi berbagai
referensi mengenai fakta yang tidak bisa terungkap sejak 14 abad yang lalu. Dalam versi bahasa
Prancis, buku tersebut telah diterbitkan dalam 14 edisi dan telah diterjemahkan ke hampir semua
bahasa di seluruh dunia. Buku tersebut merupakan sensasi instan di Dunia Muslim, dan Dr.
Bucaille kemudian menjadi ikon budaya. Peneliti mana pun tidak akan ragu mengatakan bahwa
reputasi tersebut sebenarnya dipengaruhi statusnya sebagai seorang Prancis dan seorang
dokter serta misteri tak terungkap apakah dirinya memeluk Islam atau tidak.

Dalam buku yang ia tulis bersama Muḥammad TaIbi (Reflexions sur Ie Coran), diceritakan
bagaimana ia mempresentasikan temuannya di depan Academie Nationale de Medecine dalam
kuliah yang ia sampaikan tak lama setelah penerbitan bukunya:

Dalam buku saya, saya menampilkan berbagai tema yang sama sekali tidak memuat
pertentangan sekecil apa pun antara teks-teks Alquran dan sains modern. Skenario penciptaan
dunia dalam Alquran-berbeda dengan Bibel -secara keseluruhan sesuai dengan ide-ide modern
tentang susunan alam semesta, penelitian tentang benda-benda langit, gerakan dan evolusinya,
serta dengan gagasan yang akhir-akhir ini baru muncul, termasuk prediksi penjelajahan ruang
angkasa, refleksi terhadap siklus air di alam, dan bentuk bumi yang diterima beberapa abad
kemudian. Semua pengamatan ini -yang tentu saja dapat mengejutkan siapa pun yang
melihatnya secara objektif- berpotensi menggeser fokus saya ke level pertanyaan yang
dimensinya lebih luas. Namun, pertanyaan yang harus tetap diajukan adalah: apakah kita di sini
hanya akan diam saja melihat adanya berbagai fakta yang sangat menentang kecenderungan
alamiah kita dan hanya menjelaskan segala hal dengan pertimbangan-pertimbangan
materialistik? Memang, keberadaan pernyataan-pernyataan ilmiah dalam Alquran menjadi
tantangan tersendiri bagi kemanusiaan.

Seperti yang dapat kita lihat dengan jelas, Bucaille bergeser dari sebuah pendekatan tafsīr ‘‘ilmī
yang menjanjikan sumbangsih besar menuju I’jaz ‘ilmī. Dalam buku yang ditulis bersama TaIbi, ia
menyediakan banyak ruang untuk memperkuat pendapatnya tentang wacana sains dalam
Alquran.

Kasus yang serupa dengan Bucaille dialami Profesor Keith Moore yang pada 1986 menerbitkan
sebuah artikel berjudul ”A Scientist’s Interpretation of References to Embryology in the Quran”
dalam The Journal of Islamic Medical Association. Moore adalah seorang profesor anatomi dan
pernah menjabat sebagai pembantu dekan sains-sains dasar di Fakultas Kedokteran University
of Toronto. Moore akhirnya juga menjadi selebriti di Dunia Muslim (meskipun reputasinya lebih
rendah dibandingkan Bucaille) berkat pernyataan-pernyataannya itu. Setelah mengkaji ayat-ayat
Alquran yang (secara singkat) menggambarkan tahap-tahap perkembangan embrio, ia
berkesimpulan:

Penafsiran ayat-ayatAlquran mengacu kepada perkembangan manusia yang tidak mungkin


terjadi pada abad ke-7 Masehi, atau bahkan seratus tahun yang lalu. Saat ini, kita dapat
menafsirkannya karena sains modern mengenai embriologi telah memberikan pemahaman baru.
Dan yang pasti, ada banyak ayat lain dalam Alquran tentang perkembangan manusia yang akan
dipahami di masa mendatang seiring dengan bertambahnya pengetahuan kita.

Satu hal yang perlu dicatat dalam analisis Moore adalah bahwa ia hanya mengacu kepada satu
terjemahan saja, yakni terjemahan versi Abdelmajid Az-Zandani (pendukung kuat I’jaz)! Karena
itulah, dapat dipahami mengapa Moore membuat penafsiran yang mengesankan dan menarik
kesimpulan yang seantusias itu.
Meski demikian, marilah kita membaca ayat-ayat berikut dengan pikiran terbuka dan perspektif
netral: Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu
Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maha
Suci lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik (Alquran, Surah al-Mu’minūn/23: 14); Dia menciptakan
kamu dalam perut ibumu dalam berbagai tahap yang datang silih berganti dalam tiga fase
kegelapan (Alquran, Surah Az-Zumar/39: 6); dan beberapa ayat lain (misalnya, Alquran, Surah al-
Ḥajj/22: 5) yang mirip dengan dua ayat sebelumnya.

Kesimpulan rasional yang mungkin muncul di benak kita adalah bahwa gambaran-gambaran
tersebut bersifat umum dan bernilai benar menurut kapasitas keilmuan masing-masing orang di
beberapa generasi yang berbeda. Satu hal yang sulit dibuktikan dari klaim-klaim Az-Zandani dan
pendukung I’jaz adalah keberadaan ‘fakta-fakta’ yang ditemukan baru-baru ini. Mengatakan
bahwa banyak pengetahuan tentang alam semesta (tubuh manusia, gerak langit, dan lain-lain)
yang sudah diketahui sejak dulu namun sering tidak dipahami, bukan berarti merendahkan
Alquran; justru inilah gerbang masuk bagi sains modern. Saya yakin bahwa ini hanyalah salah
satu di antara sekian banyak kasus tersebut.

Saya kira, dua contoh pendekatan I’jaz versi Bucaille dan Moore adalah gerbang perkenalan yang
baik untuk mendalami metodologi I’jaz meskipun keduanya memiliki kekurangan masing-masing.
Dua versi tersebut juga menjelaskan bahwa para pendukung pendekatan ini secara bertahap
bergeser dari menggunakan pengetahuan ilmiah untuk bisa memahami secara lebih baik ayat-
ayat Alquran tentang fenomena alam -metode yang digagas dan dipraktikkan oleh ‘Abduh dan
para pemikir lain- menuju penafsiran ayat-ayat Alquran yang diklaim membahas eksplorasi ruang
angkasa, radio, relativitas, lubang hitam, dan kecepatan cahaya.

METODOLOGI I’JAZ: DALAM TEORI

Zaghloul An-Najjar memperkenalkan agenda utamanya untuk membuktikan bahwa kemukjizatan


Alquran mendahului berbagai penemuan ilmiah modern dengan melontarkan beberapa
pernyataan berikut. Pertama, ia menegaskan bahwa susunan Alquran sering disampaikan
dengan gaya bahasa yang bisa dipahami secara bermacam-macam oleh generasi yang berbeda-
beda, tetapi tidak bertentangan satu sama lain. Karena itulah, dengan meluasnya bidang
pengetahuan, sains, dan lainnya dewasa ini, pemahaman kita terhadap berbagai ayat Alquran
bisa jadi sangat berbeda dengan pemahaman generasi-generasi sebelum kita. Sampai di titik ini,
saya setuju dengan pendapatnya.

Akan tetapi, ia terlalu eepat membuat lompatan besar dengan mengklaim bahwa Alquran
mengandung begitu banyak informasi ilmiah. Ia mengaku mendapatkan ‘pembenaran’ atas
pernyataannya ini berdasarkan ayat-ayat berikut: Setiap berita (yang dibawa oleh rasul-rasul)
memiliki waktu (kejadian tertentu) yang kelak akan kamu ketahui (Alquran, Surah al-An‘ām/6: 67);
Kami akan memperlihatkan tanda-tanda (kekuasaan) Kami kepada mereka di segenap ufuk dan
dalam diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alquran adalah Kebenaran.
Tidakkah .cukup bagimu bahwa Tuhanmu menyaksikan segala sesuatu? (Alquran, Surah Fuṣṣilāt /
41: 53); dan Dan Alquran ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Sesungguhnya
kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Alquran setelah beberapa waktu lagi (Alquran, Surah
Ṣād/38: 87-88).

Setelah itu, ia kemudian menentukan pedoman-pedoman I’jaz yang dipetakan menjadi sepuluh
prinsip berikut:

1. Memahami teks Alquran dengan baik dan sesuai dengan aturan pemaknaan bahasa
Arab.

2. Mempertimbangkan ‘ilmu-ilmu Alquran’ terdahulu (semisal, asbāb an-nuzūl, ayat yang di-
nasīkh, dan hadis-hadis yang menjelaskan ayat-ayat tertentu, dan lain-lain).

3. Menghimpun berbagai ayat yang berkaitan dengan sebuah topik umum sebelum
melangkah pada penafsiran baru.

4. Menghindari penafsiran yang berlebihan dan tidak ‘memelintir’ ayat-ayat agar bisa sesuai
dengan temuan ilmiah.

5. Menjauhi isu-isu yang ‘tak terlihat’ (gaib atau pengetahuan eksklusif ilahiah).

6. Fokus pada sebuah tema secara khusus ketika menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan
dengan topik tertentu

7. Mempertahankan ketepatan dan kejujuran intelektual ketika berhadapan dengan


pernyataan ilahi.
8. Menggunakan fakta-fakta ilmiah yang sudah mapan, bukan teori-teori yang belum pasti
atau sekadar dugaan, kecuali dalam ayat-ayat Alquran dan pernyataan Nabi tentang
penciptaan dan kemusnahan alam semesta serta tentang kehidupan dan manusia. Beberapa
topik ini memang tidak memungkinkan observasi dan determinasi, sehingga pengetahuan
manusia di bidang ini hanya berada pada tingkat dugaan. Umat Muslim sendiri bisa -dengan
menggunakan ayat-ayat dari Kitab Suci atau Sunnah (tradisi Nabi)- membantu menguatkan
teori yang masih bersifat dugaan itu untuk naik ke tingkat kebenaran yang mapan

9. Membedakan tafsīr ‘ilmī dan I’jaz ‘ilmī, baik dalam Alquran maupun Sunnah. Dalam tafsīr
‘ilmī ada beberapa kasus yang belum bisa dipastikan hasilnya oleh ilmu-ilmu manusia,
sehingga sah-sah saja menggunakan teori ilmiah untuk menjelaskan ayat-ayat atau hadis-
hadis tertentu, misalnya tentang alam semesta. Jika teori tersebut belakangan diketahui
kesalahannya, kesalahan dilimpahkan kepada penafsir, bukan kepada Alquran. Namun, dalam
I’jaz ‘ilmī, seorang penafsir harus menggunakan fakta-fakta ilmiah yang telah benar-benar
mapan saja, sehingga ia tidak bisa mengklaim mukjizat Alquran atau kenabian mendahului
pernyataanpernyataan yang kelak bisa jadi akan dianggap salah.

10. Menghormati upaya-upaya ulama sebelumnya dalam segala hal yang terkait.

Jika diamati, sebagian besar pedoman di atas tampaknya agak trivial, tidak fundamental, dan
terlalu terpaku pada aturan-aturan metodologis akademik yang umumnya diajarkan di depan
mahasiswa untuk dipatuhi. Namun, seperti yang kita akan lihat di sepanjang tulisan ini, masalah
utamanya adalah bahwa beberapa praktisi bidang I’jaz justu jarang sekali -bahkan hampir tidak
pernah- berpegang pada metodologi di atas.

Penting dicatat di sini bahwa pedoman nomor 8 dan 9 di atas mempakan kaidah yang baru dan
kontroversial. Dalam beberapa hal, pedoman nomor 9 dapat diterima dengan dalih ‘usaha
intelektual manusia’ dan ‘dorongan melakukan ijtihād’ (upaya intelektual untuk menghasilkan
pandangan baru yang mungkin lebih berguna dibandingkan pandangan lama). Saya pun yakin
bahwa segelintir ulama ortodoks akan membolehkan ‘para ahli’ untuk memproyeksikan
pemahaman ilmiahnya dalam penafsiran teks-teks suci. Di sisi lain, pedoman nomor 8 adalah
proposisi yang menakjubkan: Profesor An-Najjar bersedia membiarkan -dan bahkan mendorong-
para peneliti menggunakan ayat-ayat Alquran untuk ‘mengunggulkan’ sebuah teori (katakanlah
teori alam semesta tertutup/closed universe) daripada teori lain (misalnya teori alam semesta
terbuka/open universe), sebagaimana (kesalahan) yang ia lakukan!
Saat ini, salah satu isu yang juga krusial dalam teori ini adalah keutamaan Alquran di atas
pengetahuan ilmiah versus kemandirian sains dalam berbagai metode dan hasil temuannya. Dua
pandangan tersebut sama-sama dapat ditemukan di kalangan para pendukung teori ini dengan
asumsi berikut:

1. Seseorang tidak perlu terburu-buru mencari referensi Alquran untuk menguatkan


penemuan ilmiah, sebab penemuan ilmiah bersifat sementara dan terbatas, sedangkan
Alquran bersifat abadi dan mutlak, atau

2. Seseorang dapat menemukan berbagai kebenaran definitif dalam sains, dan hanya itu
sajalah yang bisa dicari pembenarannya dalam Alquran.

Contoh dari sudut pandang pertama adalah artikel berjudul “Scientific I’jaz: Regulations and
Limits” yang ditulis Fahd Al-Yahya (anggota terkemuka komisi internasional mukjizat ilmiah
Alquran dan Sunnah). Dalam artikel tersebut, penulis memperingatkan orang-orang yang,
misalnya, mencoba menemukan ayat-ayat seputar penaklukan ruang angkasa dalam Alquran,
seraya menegaskan :

keraguan dan penolakan dari para ilmuwan-termasuk seorang ilmuwan Amerika-terhadap klaim
NASA mengenai perjalanan pesawat berawak ke bulan sementara itu. kaum Muslim mengetahui
bahwa bulan terbelah ketika masa hidup Nabi (hanya terjadi beberapa abad yang lalu), namun
tidak ada teori ilmiah yang mampu membuktikan atau menjelaskannya. Karena itulah, klaim
mengenai peristiwa tersebut masih selalu merujuk kepada kepercayaan ribuan tahun yang lalu
[sic].

Sementara itu, sudut pandang kedua bisa diwakili oleh Abdellah Al-Mosleh (sekretaris jenderal
komisi tersebut), yang dalam artikelnya “Regulations of Research in the Field of the Scientific
Miraculousness of the Quran and the Sunnah“, mendaftar kriteria-kriteria berikut ini sebagai
ukuran ‘validitas’ kesesuaian antara temuan ilmiah dengan ayat Alquran maupun hadis Nabi:

1. Memastikan bahwa sebuah temuan ilmiah tertentu telah ditetapkan sebagai temuan
yang ‘permanen dan bertahan lama’ oleh para ahli.

2. Memastikan ketepatan makna teks-teks (Alquran atau Nabi) mengenai suatu fakta ilmiah
tertentu tanpa istilah “kadaluarsa” dalam penafsiran teks sembari tetap menunjukkan bahwa
pengetahuan tentang fakta tersebut mustahil telah ada ketika zaman Nabi.
3. Menunjukkaan adanya bukti kesesuaian antara dua hal di atas yang harus didapatkan
melalui langkah berikut:

4. Membuktikan adanya fakta ilmiah dalam teks agama.

5. Dalam hal Sunnah, membuktikan bahwa pernyataan Nabi itu sahih dan berasal dari
ucapan Nabi sendiri.

6. Membuktikan ‘validitas’ ilmiah sebuah fakta tertentu.

7. Membuktikan bahwa pengetahuan tentang sebuah fakta muncul belakangan dan


mustahil telah muncul selama masa pewahyuan.

8. Membuktikan kesesuaian antara fakta ilmiah dan pernyataan agama.

Berbekal tinjauan mengenai sains, metode-metode, dan filsafatnya, serta Alquran dan prinsip-
prinsip penafsirannya, kita tentu tidak sulit menyadari bahwa terpenuhinya semua ‘kriteria’ di
atas merupakan hal mustahil. Contohnya sederhana saja. Apakah pendukung I’jaz menganggap
gravitasi sebagai fakta alam yang sudah mapan dan teori Newton (hukum tarik-menarik antara
massa) juga sebagai teori yang sudah mapan? Bukankah teori Einstein (relativitas umum) yang
menjelaskan gravitasi sebagai kelengkungan ruang dan menggantikan teori Newton yang juga
dianggap sebagai teori yang mapan? Apakah teori Einsteinlah yang akan dipilih dalam hal ini?
Pada titik apakah kita bisa menyatakan bahwa sebuah gagasan tertentu merupakan fakta atau
teori yang sudah ‘mapan’?

Para pendukung teori ini -An-Najjar, At-Taftanazi, dan lain-lain- juga mengusulkan adanya
pedoman dan kriteria validasi ‘penelitian’ jenis ini. Gagasan keduanya bisa dikatakan sangat
mirip, karena itu saya lebih ingin membahas gagasan menarik lain yang disampaikan tokoh lain
aliran I’jaz ini, yakni Abdulmajid Az-Zindani dengan kerangka teoretisnya yang terdiri dari dua
metode berikut:

1. Kebenaran kosmik sudah dinyatakan dalam Alquran namun tidak dipahami oleh umat
Muslim, hingga kemudian ditemukan oleh sains. Kebenaran kosmik ini lalu menjadi akhir
berbagai penafsiran ayat atau potongan ayat tertentu, kecuali jika ada pertentangan antara
kesimpulan ilmiah dan makna yang jelas dalam sebuah ayat,
2. Ilmuwan Muslim mengambil ‘petunjuk’ dari ayat-ayat Alquran dan melanjutkan penelitian
ilmiah sampai dihasilkan penemuan baru yang menguatkan teks Alquran. Perhatikan bahwa
Az-Zindani, dengan gaya khasnya sebagai seorang pemimpin konservatif, memberikan
prioritas dan hak veto kepada Alquran atas berbagai penemuan dan kebenaran ilmiah.

Untuk memberikan paparan yang adil dan berimbang, saya akan mengatakan bahwa bahwa teori
semacam itu -dengan berbagai metodologi dan klaimnya yang mengejutkan- tidak hanya
eksklusif untuk Dunia Muslim. Para pengamat telah menunjukkan bahwa wacana defensif dan
apologetik semacam ini juga telah muncul di kalangan kaum fundamentalis Kristen, kalangan
kreasionis, dan beberapa fundamentalis Hindu.

Sebuah cahaya harapan bersinar dari Makkah pada Desember 2007. Dalam sebuah artikel yang
sangat menarik terbitan jurnal Islamic Studies Universitas Umm Al-Qura (di Makkah), Saud bin
Abdelaziz AI-‘Arifi memberikan kritik yang langka seputar teori I’jaz dalam komunitas ilmiah
agama. Pertama dan terutama, ia mengkritik metodologi teori ini serta menyebutkan segelintir
contoh korpus I’jaz untuk menyoroti kesalahan faktual dan kegagalan mengikuti metodologi yang
dipuja-puji oleh para pembelanya ini. Jika diringkas, gagasan-gagasan utama dalam artikel
penting tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ada perbedaan mendasar dan besar antara pendekatan Alquran (yang menyatakan
keberadaan Allah, kekuatan kreatif, dan keberlangsungan alam semesta) dan teori I’jaz (yang
bertujuan membuktikan kebenaran Kitab Allah, yang setara dengan memperdebatkan
kenabian Muḥammad).

2. Ada suatu lompatan -kuantum konseptual yang besar antara menyajikan ‘argumen’ atau
beberapa bukti (sugestif), seperti gaya Alquran, dan mencoba ‘membuktikan’ ke-berasal-an
ilahi (alam semesta atau Kitab). Poin paling inti adalah bahwa pendukung I’jaz harus
menantang siapa pun untuk menemukan ayat Alquran yang bertentangan dengan penemuan
ilmiah atau pengetahuan yang sudah mapan;

3. Banyak ‘penemuan ilmiah’ yang oleh para pendukung I’jaz diklaim juga terdapat dalam
Alquran sebenarnya merupakan teori-teori yang sudah berkembang di kalangan fisikawan,
filsuf, dan ahli ilmu alam kuno; yang terbaru adalah tingkat kedalaman dan ketepatan
pengetahuan kita mengenai hal-hal tersebut.
Saya tidak sepakat dengan Al-‘Arifi hanya pada satu poin (penting): Ia percaya bahwa tidak ada
‘makna-makna ilmiah modern’ dalam semua ayat Alquran semata-mata karena Nabi dan para
sahabat memiliki pemahaman penuh terhadap semua arti yang dikandung setiap ayat.
Sebagaimana telah saya jelaskan, saya percaya bahwa Alquran memiliki beberapa tingkat
pembacaan, sehingga ada banyak makna yang dapat ditemukan dalam ayat-ayatnya, bergantung
pada pendidikan dan perkembangan zaman hidup seseorang. Seseorang bisa saja mampu
membaca beberapa fakta ilmiah dalam sebuah ayat tanpa menggiring kepada klaim
kemukjizatan (definitif). Begitu pula, meyakini bahwa membaca Alquran merupakan upaya yang
terbuka atas semua kemungkinan, jauh lebih progresif dibandingkan klaim bahwa Nabi dan para
sahabatnya mengerti semua makna ayat Alquran- dengan demikian, semua makna baru yang
tidak diketahui oleh para Nabi dan sahabatnya tidak bisa diterima.

Terlepas dari itu semua, saya sangat kagum atas keberanian Al-‘Arifi, argumennya yang
meyakinkan, dan usahanya yang kuat baik dalam melemahkan metodologi program I’jaz dengan
berbagai kekurangan di dalamnya ataupun dalam mengkritik batas-batas tertentu ketika teori
tersebut menjadi sejenis kebutuhan pokok kebudayaan Islam dewasa ini (penulis mengeluhkan
popularitas dan dukungan finansial yang ‘terlampau’ besar untuk program tersebut, dan
mengatakan bahwa mayoritas cendekiawan agama tidak menanggapi teori ini, tetapi hanya
menahan diri dari berbagai kritik, karena takut dianggap menyerang ‘gagasan-gagasan yang telah
kuat’).

METODOLOGI I’JAZ: DALAM PRAKTIK

Dalam bagian ini, saya akan mengupas bagaimana praktik I’jaz yang sebenarnya. Untuk itu, saya
akan menggunakan contoh-contoh dari beberapa buku yang ditulis oleh para tokoh penting di
bidang ini. Cacat-cacat metodologis yang dilakukan An-Najjar dan At-Taftanazi adalah sebagai
berikut:

1. Menegaskan bahwa sains merupakan sebuah ideologi, sehingga keduanya harus


mengabaikan hasil apa pun -termasuk juga teori sains- yang tidak sesuai dengan pandangan
‘mereka’ mengenai alam dan kosmos. An-Najjar menulis:

Ada banyak teori tentang penciptaan yang telah melahirkan aliran-aliran ideologis yang berbeda:
orang beriman, ateis, politeis, agnostik, rakyat yang bahagia, sengsara, dan stres, orang yang
lurus atau menyimpang, dan lain-lain. Akan tetapi, seorang Muslim mendapat cahaya dari Tuhan
yang ia peroleh melalui [pembacaan] ayat Alquran atau hadis Nabi. Cahaya tersebut akan
membantunya memilih teori-teori yang membingungkan, kemudian mengunggulkan satu teori
yang benar dan menjadikannya sebuah kebenaran yang mapan. Orang tersebut bisa melakukan
hal yang demikian bukan karena sains yang menyatakan hal tersebut, melainkan karena isyarat
yang ia peroleh dari teks-teks suci agamanya. Ia. berupaya membenarkan klaimnya dengan
mengacu kepada kasus kosmologi modern sebagaimana berikut: “Dengan menyangkal teori
penciptaan, para astronom modern menguatkan gagasan mengenai alam semesta terbuka
(open universe) yang akan meluas kepada konsep kekekalan. Hanya saja, perkiraan mengenai
massa yang hilang dalam perhitungan keseimbangan alam semesta justru membenarkan alam
semesta tertutup (closed universe)”. Sayangnya, penulis tersebut melakukan kesalahan dalam
paradigma kosmologis saat ini dan, tentu saja, juga melakukan kesalahan dengan mengklaim
bahwa model-model dan hasil-hasil ilmiah merupakan produk ideologis.

2. Mengklaim bahwa ketidakmampuan sains dalam memberi jawaban-jawaban definitif


pada sebuah topik tertentu berarti mengakui bahwa fenomena dalam topik tersebut
bersumber dari asal-usul ilahiah:

3. “Sains-sains eksperimental menegaskan bahwa organisme hidup menyimpan sebuah


rahasia sehingga alam semesta tampak sebagai sesuatu yang misterius bagi kita, karena kita
mengetahui bagian-bagian sel dan materi penyusun tubuh manusia, tetapi sains toh tidak
bisa membuat sebuah sel tunggal sekalipun.”

4. “Pandangan sekilas terhadap berbagai sudut alam semesta ini, beserta segala hal dan
makhluk di dalamnya, akan menegaskan kebutuhan adanya pengawasan dan pengamanan
dari Sang Pencipta atas keberadaan alam semesta sepanjang waktu; karena alam semesta
penuh dengan bahaya dan Bumi dikelilingi banyak ancaman dari segala sisi.”

5. Mengatakan bahwa wilayah-wilayah tertentu dalam pengetahuan akan terus bersifat


dugaan, tak peduli berapa banyak bukti material yang bisa dihasilkan: Tuhan dengan rahmat-
Nya telah meninggalkan bukti konkret pada kita dalam bentuk catatan langit dan bebatuan
bumi yang dapat membantu kita -dengan kemampuan kita yang terbatas- untuk mengetahui
proses penciptaan. Model pemahaman semacam ini akan tetap bersifat teoretis dan dugaan,
serta tidak pernah dapat mencapai status sebagai kebenaran, sebab kebenarankebenaran
ilmiah harus muncul dari indera dan persepsi manusia [apa pun itu maknanya]. An-Najjar
kemudian menggunakan pendekatan ini dan mengatakan bahwa alam semesta pastilah
tertutup (atas dasar Alquran, Surah al-Anbiyā’/2I:104) tanpa mempedulikan hasil temuan
penelitian kosmologis (yang sebenarnya).

6. Memiliki kesalahpahaman yang sangat simplistis -jika bukan sangat serius-terhadap


sains, khususnya fisika:

7. Melambatnya percepatan alam semesta [yang merupakan kebalikan dari temuan sains
mutakhir] menyiratkan bahwa gravitasi yang-pada suatu waktu hanya bisa diketahui Ailah
-akan mampu mencegah perluasan alam semesta, menuntun ke arah penyusunan ulang
semua materi dan energi dalam satu objek dengan kerapatan tinggi, yang akan meledak
sebagaimana pada big-bang pertama, sehingga bumi dan langit yang baru akan muncul,
sebagaimana yang tertera dalam ayat-ayat Alquran, Surah Al-Anbiyā’/21: 104 dan Ibrahim/14:
48: (Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit,
dan semua manusia akan berkumpul (di Padang Mahsyar) menghadap ke hadirat Allah yang
Maha Esa dan Mahaperkasa.

8. An-Najjar mencampuradukkan ‘materi gelap’ dengan ‘gas/asap primordial’. Tidak hanya


itu, ia juga menganggap bahwa satelit Cosmic Background Explorer (COBE) -yang
menghasilkan berbagai pengukuran akurat terhadap latar belakang radiasi gelombang mikro
kosmik (sisa Big Bang) pada tahun 1990-an-telah mengamati ‘asap primordial’ tersebut.

5. Meskipun ada daftar panjang referensi karya ilmiah yang dicantumkan di akhir buku An-
Najjar, kita perlu mengetahui beberapa hal berikut: (1) hanya ada satu buku (dari sekitar 60
buku yang disebutkan) yang berusia kurang dari 10 tahun, yakni Powers of Ten, a flipbook; (2)
karya-karya tersebut hampir tidak pernah benar-benar dikutip dan dirujuk oleh An-Najjar; (3)
daftar referensi yang panjang tampaknya hanya bertujuan menghibur pembaca dan
meyakinkan dirinya sendiri bahwa koleksi besar dari referensi Barat telah digunakan (bahkan
yang mutakhir) dalam buku tersebut.

6. Sebagian besar karya An-Najjar (dan At-Taftanazi) memiliki strategi dan gaya penulisan
berikut: memilih sebuah ‘ayat kosmik’ (pernyataan Alquran tentang berbagai fenomena alam),
menyajikan belasan halaman berisi informasi ilmiah yang dapat ditemukan di ensiklopedia
mana pun, barulah kemudian menyatakan bahwa benar-benar ada keajaiban (I’jaz) karena
ayat tersebut telah meramalkan semua fakta ilmiah sebagaimana tampak dalam beberapa
contoh berikut:
7. Sungguh, Aku bersumpah demi bintang-bintang/planetplanetyang beredar dan terbenam
(Alquran, Surah al-Kahfi/18: 15-16). Ayat-ayat tersebut dianggap merujuk kepada lubang
hitam sehingga ia menyediakan 20 halaman teks plus 20 gambar berwarna sebelum
berkesimpulan bahwa Alquran telah meramalkan eksistensi lubang hitam.

8. Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap
dan terang (Alquran, Surah al-An‘ām/6: 1). Ayat ini ditafsirkan dalam 13 halaman dari berbagai
referensi klasik kemudian diikuti dengan 8 halaman berisi deskripsi rinci mengenai skenario
Bang Big dengan berbagai tahapnya secara detail: usia quark dan gluon, usia nukleon dan
antinucleon, usia nukleosintesis, usia ion, usia atom, usia bintang, dan usia galaksi.
Penjelasan selanjutnya adalah deskripsi mengenai ‘kegelapan’: kegelapan primordial alam
semesta; kegelapan kosmos baru-baru ini; kegelapan di kedalaman laut dan samudra,
kegelapan di dalam rahim, dan kegelapan alam kubur. Benar-benar di luar jangkauan pikiran
saya, bagaimana semua ini disimpulkan dari ayat yang disebutkan di atas.

9. Dan matahari beredar di garis peredarannya/tempat beristirahat yang ditentukan untuknya.


Masing-masing (Matahari dan Bulan) beredar dalam orbitnya (masing–masing) (Alquran, Surah
Yā Sīn/36: 38 dan 40). Dalam pembahasan ayat-ayat ini, At-Taftanazi meluangkan 7 halaman
untuk memuat informasi rinci mengenai matahari (massa, temperatur, komposisi, dan lain-
lain) dan gerakannya (rotasi sekitar sumbu, revolusi di sekitar pusat Bima Sakti) kemudian
sampai pada sebuah kesimpulan bahwa ada kesesuaian ilmiah yang menakjubkan dengan
ayat-ayat Alquran mengenai gerak sejati (bukan gerak semu) Matahari di ruang angkasa
ataupun gerak revolusi orbital matahari di sekitar galaksi kita. Hal menakjubkan ini, tentang
pergerakan matahari yang berbeda-beda, pastilah mengejutkan mereka yang mendalami
sains/pengetahuan, dan pastilah akan menuntun para analis yang objektif untuk mengakui
kemuliaan kitab suci ini.

10. Dan telah Kami tetapkan manzilah-manzilah/tahapan-tahapan bagi bulan, sehingga


(setelah sampai ke manzilah yang terakhir), ia kembali ke bentuk awal layaknya tandan yang
tua (Alquran, Surah Yā Sīn/36: 39). Ayat ini, menurut At-Taftanazi, “jelas menyiratkan bahwa
bulan berputar mengelilingi bumi yang mempakan fakta yang belum terungkap ketika Alquran
diturunkan bahkan hingga berabad-abad setelahnya” (pernyataan ini dapat dengan mudah
disalahkan dengan hanya dibandingkan sekilas dengan sejarah singkat astronomi).
11. [Aku bersumpah] demi bulan ketika purnama, sesungguhnya kamu (bulan) melalui tingkat
demi tingkat (Alquran, Surah Al-Insyiqāq/84: 18-19). Di sini, seperti yang mudah ditebak,
perjalanan yang dimaksud adalah perjalanan menuju bulan yang (diklaim) sebagai rumah.

Demikianlah yang terjadi dalam wacana I’jaz, ‘metodologi’ yang digunakan selalu persis sama.
As-Syatibi -seorang teolog abad ke-14 dan ahli hukum yang telah disinggung sebelumnya-
mengantisipasi berbagai penyalahgunaan semacam itu dan memberikan kritik berikut:

“Banyak orang melampaui batas dengan membuat pernyataan-pernyataan yang tidak


semestinya mengenai Alquran ketika mereka menghubungkan Alquran dengan semua jenis
pengetahuan masa lalu dan masa kini, seperti ilmu pengetahuan alam, matematika, dan logika.
Sangat tidak dibenarkan menghubung-hubungkan sesuatu yang tidak berasal dari Alquran
sebagaimana juga mengabaikan sesuatu yang berasal dari Alquran”.

Seperti halnya Syatibi, ulama dan sejarahwan abad ke-13 dan ke-14, Al-Żahabi, juga mencela
“inovasi-inovasi gila” seperti itu.

I’JAZ DALAM HADIS

Tidak terlalu mengejutkan jika baru-baru ini kita menjumpai sub-genre baru dalam literatur I’jaz
yang menganggap hadis Nabi juga memiliki mukjizat ilmiah. Melawan sub-genre baru ini
sebenarnya akan sia-sia meskipun ia memiliki cacat metodologis seperti yang disebutkan di atas
-atau bahkan lebih buruk. Namun, saya merasa masih harus membuat para pembaca
mengetahui dan menyadari sejauh mana kesalahan faktual dan metodologis -dalam karya-karya
subgenre tersebut.

An-Najjar menerbitkan sebuah buku dua volume berjudul The Scientific I’jaz in the Prophetic
Tradition (Sunna). Selama tahun pertama publikasinya (2004), dua volume tersebut masing-
masing telah dicetak hingga tujuh dan lima edisi yang menandai betapa menakjubkannya
popularitas buku-buku semacam itu di dunia Arab. Setelah memberi pengantar yang
membenarkan perlunya ‘perlakuan-perlakuan ilmiah’ semacam itu, An-Najjar mengupas rata-rata
25 sampai 28 hadis. Ia menghabiskan sekitar 5 halaman untuk menyajikan berbagai versi yang
berbeda dari sebuah hadis tertentu kemudian menghubungkannya dengan pengetahuan ilmiah
yang diduga reIevan, lalu menyimpulkan bahwa hadis merupakan “pengetahuan manusia yang
jauh ke depan, yang harus dipertimbangkan, selain mengimani kenabian Muḥammad .”
Sebelum menyajikan beberapa contoh khusus, saya akan menunjukkan masalah-masalah
mendasar dalam metodologi subgenre tersebut: (1) meskipun dalam pengantar bukunya An-
Najjar berusaha meyakinkan pembaca bahwa hadis yang dikutip adalah hadis yang sahih, asli
secara historis dan tepat redaksinya, ia sebenarnya mengetahui bahwa dari waktu ke waktu, ada
ribuan ‘hadis’ yang oleh para ulama Islam dianggap ‘dhaif’ atau ‘lemah’ serta sebagian besar
hadis sahih yang memiliki banyak versi; (2) ia tidak pernah-bahkan tidak sekali pun-
mencantumkan satu referensi atas klaim ilmiah besar yang ia kemukakan. Berikut ini adalah
beberapa contoh dari karyanya:

 ”Air sumur zam-zam (di Makkah) adalah obat untuk siapapun yang meminumnya”; An-
Najjar mencantumkan daftar kandungan mineral zam-zam (yang sangat banyak), kemudian
menyatakan bahwa air mineral tersebut baik untuk pengobatan berbagai macam penyakit
(maag, gangguan pencernaan, masalah pembuluh darah, dan lain-lain). Tidak ada satu pun
bukti atau referensi ilmiah yang ia berikan untuk mendukung pernyataannya tersebut.

 “Hari Pembalasan tidak akan datang sampai matahari terbit dari barat”; An-Najjar
menjelaskan bahwa bumi telah lama dan masih melambat dalam rotasinya (pada porosnya),
sehingga pada suatu hari, ia akan berhenti berputar dan mulai berputar ke arah sebaliknya!
Namun, ia buru-buru menambahkan bahwa ini tidak berarti kita tahu perhitungan tanggal Hari
Kiamat, karena hari tersebut akan terjadi “tanpa memandang hukum kosmik, perhitungan,
atau melambatnya gerak bumi”! Banyak orang akan gagal memahami logika ini, dan hal ini
setidak-tidaknya menunjukkan dua hal: (1) Profesor An-Najjar tidak mengerti tidal braking
yang menyebabkan sistem revolusi-rotasi terkunci (locking), bukan penghentian total; yang
pasti, tidak ada pemutarbalikan arah rotasi; (2) dia tidak mau repot-repot melakukan
penyelidikan ilmiah sistematis apa pun mengenai hal ini.

 “Bulan-bulan lunar (yang digunakan untuk peristiwa-peristiwa dalam Islam, seperti


Ramaḍan) terdiri dari 29 atau 30 hari”. Berdasarkan hadis ini, penulis mengklaim bahwa Nabi
tengah menyampaikan informasi yang hanya berlaku pada dua abad lalu (asumsi ini benar-
benar salah dan sangat mudah dipatahkan oleh siapa pun yang memiliki pengetahuan
astronomi dan sejarahnya). Ia juga mengemukakan bahwa pernyataan ini hanya mungkin
dibuat ketika seseorang memahami perputaran bulan mengelilingi bumi dan perputaran bumi
mengelilingi matahari; begitu juga rotasi bulan dan bumi pada sumbunya masing-masing-
klaim yang secara keseluruhan salah. ”Allah menciptakan Adam dengan wujud yang sama,
setinggi 60 hasta”. Di sini, si penulis mengatakan bahwa hadis tersebut adalah bukti lain
kepalsuan teori Darwin selain adanya bukti fosil yang menunjukkan bahwa makhluk semakin
mengecil seiring dengan berjalannya waktu.

MENUJU WACANA RASIONAL DAN KREDIBEL TENTANG ALQURAN DAN SAINS

Setelah mengupas semua pernyataan luar biasa dan metodologi-metodologi yang tidak
konsisten di atas, pertanyaan pertama yang harus kita ajukan adalah: Mengapa teori I’jaz begitu
popular? Menjawab pertanyaan ini secara meyakinkan bukanlah tugas yang mudah, sebab ia
berkaitan dengan beberapa faktor sosiologis dan historis. Pertanyaan tersebut bahkan juga
memunculkan pertanyaan-pertanyaan lain semisal: Seperti apakah pemahaman umat Muslim
saat ini terhadap sains? Seberapa tinggi level berpikir kritis dan analisis yang dimiliki oleh umat
Muslim dewasa ini? Seberapa besar hasrat umat Mulism mengubah kekalahan di segala bidang
menuju posisi yang terdepan dan unggul untuk meyakinkan diri sendiri bahwa agama dan
peradabannya memang benar-benar unggul-dalam arti yang sebenarnya?

Tanpa memberi jawaban yang jelas atas pertanyaan kami tersebut, penulis kontemporer Mustafa
Abu Sway melontarkan pernyataan menarik:

“Alih-alih mengejar sains dan mempertahankan statusnya yang tepat dalam perspektif Islam,
tampaknya “tafsir ilmiah” (tafsīr ‘ilmī) memberi dampak yang menenangkan. Sementara di luar
Dunia Muslim, siapa pun melakukan kerja sains, kita umat Muslim cukup menemukan kembali
sains di dalam Alquran!”
Penulis Sudan, Bustami Mohamed Khir, menekankan adanya hubungan khusus dan sikap umat
Muslim pada umumnya terkait dengan sains: “Pengalaman umat Muslim dengan sains berbeda
dalam banyak hal [dengan Barat]. Daripada terus menolak sains modern, umat Muslim lebih baik
berusaha menggunakan sains sebagai bukti baru untuk mendukung kebenaran Qurani.”

Sebagaimana telah saya tunjukkan, teori I’jaz Qurani berpijak pada prinsip-prinsip yang keliru, dan
dua di antaranya yang harus diketahui adalah sebagai berikut:

 (hasil) penafsiran ayat-ayat Alquran bisa jadi tunggal dan pasti, sehingga sangat mungkin
dibandingkan dengan hasil dan pernyataan ilmiah,

 sains bersifat sederhana dan jelas. Ia mengandung fakta-fakta definitif yang bisa dengan
mudah dibedakan dari ‘teori-teori’.
Saya juga telah menegaskan bahwa teori ini merupakan produk dari rasa kebingungan yang
awalnya muncul bertahap, tetapi saat ini sudah mengglobal. Yakni, kebingungan antara upaya
yang sah untuk memadukan penafsiran teks dengan pengetahuan manusia yang baru ditemukan
(tentu saja termasuk temuan dan wawasan ilmiah modern) dan prinsip bahwa hasil, hukum, dan
penemuan ilmiah -mulai dari yang paling umum hingga paling khusus, bahkan misterius
sekalipun- dapat ditemukan dalam Alquran dan bahkan dalam hadis jika dilakukan upaya
pencarian ulang terhadap ayat-ayat tersebut dengan cara ‘ilmiah’. Teori I’jaz adalah bola salju
yang dimulai dari bola kecil dan putih, tetapi 289 kemudian bergulung dan mengumpulkan
kotoran (klaim yang sebenarnya menggelikan berdasarkan metodologi yang cacat). Teori
tersebut juga bisa dianalogikan dengan segumpalan es kotor yang mudah meleleh di bawah
cahaya -terang pengawasan metodis dan objektif.

Selain itu, saya juga menganggap pendekatan I’jaz berbahaya karena mengklaim bahwa
seseorang dapat mengidentifikasi ‘fakta-fakta’ ilmiah dan membandingkannya dengan
‘pernyataan-pernyataan yang jelas dalam Alquran’ yang menunjukkan kesalahpahaman nyata
terhadap sifat ilmu pengetahuan- Poincare mengatakan bahwa “sains bukanlah sekumpulan
fakta seperti halnya sebuah rumah bukanlah sekadar sekumpulan batu bata”. Selain itu, teori
tersebut juga mendistorsi pemikiran kaum muda Muslim dengan menunjukkan bahwa semua
sifat sains dan pendekatannya harus diarahkan kepada Alquran.

Jika pada awalnya teori ini lahir dari sebuah gagasan menarik dan berharga (memanfaatkan
sains untuk memahami Alquran dengan lebih baik), bisakah ia diselamatkan, dibersihkan, dan
diarahkan -setidak-tidaknya untuk masyarakat umum-dengan cara merumuskan ulang teori
tersebut agar bisa memunculkan pembacaan baru terhadap Alquran dalam konteks wacana
hubungan antara Islam (teks-teks dasarnya dan warisan manusia yang dibangun berdasarkan
teks-teks tersebut) dan sains? Saya rasa ini sangat mungkin, karena itulah di sini saya mencoba
mengkritik sedikit demi sedikit pendekatan semacam itu.

Saya meyakini bahwa harus ada penggantian terhadap prinsip-prinsip keliru di atas dengan dua
hal yang lebih tepat berikut ini:

 teks Alquran memungkinkan beberapa level pembacaan

 sains dan filosofinya harus dipahami sepenuhnya sebelum mengedepankan penafsiran


teks agama yang mungkin memiliki relasi dengan sains.
Prinsip kedua sudah jelas: Seseorang harus mempelajari sains, khususnya metodologi dan
filsafatnya dengan sangat baik dan tidak menggunakan sembarang pemahaman yang dangkal.
Sementara itu, prinsip pertama jauh lebih penting bagi umat Muslim dalam pengembangan
keagamaannya. Prinsip tersebut sangat mungkin menutupi berbagai kekurangan, mulai teori I’jaz
hingga fundamentalisme (klaim monopoli kebenaran oleh beberapa pemimpin, ulama, atau aliran
saja).

Prinsip pembacaan-bertingkat Alquran bukanlah isu yang baru, sebagaimana aspek-aspeknya


yang telah kami singgung sebelumnya. Prinsip tersebut bisa jadi berakar pada zaman klasik
Islam, khususnya Averroes dalam sebagian besar tesisnya, yang sering membahas kesepadanan
antara filsafat dan agama, sehingga baginya, pembacaan Alquran dan penafsiran terhadap
Hukum memungkinkan setidak-tidaknya dua tingkat pembacaan:

Pertama, pembacaan yang mendasar, umum, dan dapat diakses oleh sejumlah masyarakat;
Kedua, pembacaan yang lebih mendalam, canggih, dan hanya bisa diakses oleh (kalangan) elite
dan terpelajar.

Baiklah, sebelum saya menjelaskan bagaimana pendekatan ini digunakan untuk memahami
Alquran dan sains, saya harus menjelaskan satu masalah terlebih dahulu: gagasan pembacaan
bertingkat terhadap ayat-ayat Alquran mencakup -meski tidak terbatas pada- penafsiran
metaforis yang harus digunakan dalam kasus-kasus tertentu. Secara luas memang diakui bahwa
beberapa pernyataan kitab suci tidak dapat diartikan sangat harfiah, semisal deskripsi
antropomorfik mengenai Tuhan, meskipun beberapa penafsir konservatif menghindari
pembahasan mengenai hal ini. Kita akan melihat dalam bab-bab selanjutnya bahwa ayat-ayat
yang berhubungan dengan fenomena kosmik dan alam -termasuk penciptaan bumi, langit,
kehidupan, dan manusia- juga akan membutuhkan penafsiran level tertentu.

Namun, gagasan mengenai pembacaan multi-level ini sebenarnya juga melampaui pendekatan
metaforis. Hal ini terkait erat dengan prinsip lain tentang bagaimana Alquran menyikapi pelbagai
jenis orang dengan kemampuan yang sangat bervariasi dalam memahami berbagai gagasan,
utamanya gagasan mengenai kosmik dan aspek spiritual serta sosial. Karena itulah, bahasa
Alquran harus mengakomodasi berbagai pikiran, kecerdasan, gaya belajar, dan zaman yang
berbeda-beda tersebut. Karena alasan inilah, Alquran menggunakan berbagai frasa, pernyataan,
dan cerita yang dapat dipahami dengan cara yang berbeda-beda. Penafsiran yang beragam
tersebut belum tentu semuanya ‘benar’, sebab tujuan penafsiran bukanlah untuk mencapai level
akurat secara sempurna, melainkan untuk meyakinkan pembaca atau pendengar.

Pertanyaan seputar kebenaran tafsir mempakan isu krusial sekaligus sensitif, sebab sebagian
orang akan keberatan dengan implikasi implisit dari gagasan bahwa beberapa pernyataan
Alquran barangkali tidak ‘benar-benar mutlak’. Untuk mengatasi hal ini, saya perlu menjelaskan
terlebih dahulu bahwa ‘kebenaran’ dan ‘akurasi’ hanya dapat dicapai dalam cara asimtotik. Hanya
pencarian dan kemampuan untuk mencapai pemahamanlah yang memungkinkan kita mendekati
kebenaran. Kita mungkin tidak pernah benar-benar mencapai kebenaran secara utuh, sehingga
setiap kali menafsirkan sebuah ayat, kita mungkin hanya mencapai derajat keyakinan tertentu
dari pemahaman yang ‘benar’ terhadap ayat tersebut. Yang terpenting adalah membaiknya
pemahaman kita secara terus-menerus seiring dengan berjalannya waktu dan usaha yang tak
henti dilakukan.

Saya akan memberi beberapa contoh untuk menggambarkan gagasan ini. Alquran menyebutkan
bahwa Nuh tinggal di tengah-tengah umatnya selama seribu tahun kurang lima puluh sebelum
banjir datang (Alquran, Surah Al-‘Ankabūt/29: 14). Pada zaman dahulu, banyak orang
beranggapan bahwa Nuh benar-benar tinggal di situ selama 950 tahun (arti harfiah), meskipun
para mufasir klasik sering hanya menafsirkan bilangan tersebut dengan ‘waktu yang lama’ (Tafsīr
Ibn Katsīr, misalnya). Namun, para cendekiawan belakangan (misalnya, Muḥammad Asad
dengan tafsirnya) menunjukkan bahwa angka 950 juga disebutkan dalam Injil, dan Alquran
menggunakan “unsur legenda yang berasal dari Alkitab tersebut” (menurut Asad) untuk
menekankan (kepada Nabi Muḥammad dan kaum Muslim awal) bahwa durasi tinggalnya
seorang utusan di tengah-tengah umatnya tidak pernah menjamin penerimaan umat terhadap
ajaran utusan tersebut. Selain itu, harus diingat bahwa istilah ribuan bermakna ‘sangat lama atau
panjang’ pada masa lalu.

Pertanyaan penting lain berkenaan dengan pembacaan metaforis/bertingkat terhadap ayat-ayat


Alquran adalah perihal mukjizat. Seperti yang akan kita bahas pada tulisan selanjutnya, sejumlah
besar mukjizat ‘fisik’ para nabi sebelumnya, misalnya Musa dan Isa, dewasa ini dapat dipahami
secara lebih naturalistik. Misalnya saja, penyembuhan Isa terhadap orang buta dapat
dihubungkan dengan efek plasebo (yang dipengaruhi pikiran), sedangkan terbelahnya Laut
Merah oleh Musa dianggap sebagai kejadian meteorologis yang tiba-tiba. Sekarang, hal penting
untuk dicatat di sini adalah bahwa pemahaman naturalistik yang demikian masih menyisakan
ruang pemahaman yang terbuka, termasuk campur tangan ilahi yang menakjubkan. Dalam dua
kasus tersebut, bisa saja muncul klaim bahwa efek plasebo (pikiran) dipicu oleh campur tangan
ilahi pada tingkat kuantum, sedangkan kondisi meteorologis yang menyebabkan angin bertiup
hingga air Laut Merah terpisah juga djsebabkan oleh intervensi ilahi pada tingkat mikroskopis
yang kemudian menyebabkan butterfly effect/’efek kupu-kupu’ (sejenis chaos yang non-linear)
dalam skala yang luas. Ada yang mungkin suka/yakin atau tidak suka/ meragukan penjelasan
tersebut, tetapi saya pikir penjelasan yang demikian dapat menggambarkan pembacaan
bertingkat terhadap ayat Alquran. Namun, ada juga beberapa mukjizat lain yang tidak dapat
dipahami secara naturalistik, seperti transformasi ajaib tongkat menjadi ular yang mengharuskan
seseorang menggunakan pembacaan level lain, yakni penafsiran metaforis. Untuk mendukung
pendekatan ini, harus saya tambahkan bahwa dalam kisah Musa, Alquran terlebih dahulu
menjelaskan bahwa ketika tongkat dan tali berubah menjadi ular, kejadian tersebut digambarkan
dengan redaksi “tampak di mata Musa” (juga di mata orang lain), tetapi hal tersebut hanyalah
tipuan pesulap, sehingga Tuhan menyuruh Musa melakukan tipu daya yang sama (bukan
mukjizat apa pun) untuk mengalahkan para penyihir.

Pendekatan serupa dapat digunakan dalam membaca ayat-ayat Alquran yang tampak
menyiratkan beberapa peristiwa ajaib dalam kehidupan Muḥammad, misalnya pernyataan bahwa
selama perang Badar, seribu malaikat datang berturut-turut (Alquran, Surah al-Anfāl/8: 9) dikirim
Tuhan untuk mendukung orang-orang beriman (yang kalah jumlah, dengan rasio 3:1). Inilah
contoh lain dari aplikasi pembacaan multilevel: Para ahli tafsir klasik (misalnya Ibn Katsir )
sangat memperhitungkan cerita seorang sahabat yang mendatangi Nabi dan memberitahu
bahwa beberapa orang kafir tampaknya meninggal karena pukulan aneh di kepala, kemudian
Nabi mengatakan bahwa ‘itu adalah bala bantuan dari langit ketiga’. Sementara itu, para penafsir
yang lebih modern (misalnya, Muḥammad Asad) menekankan aspek metafora terhadap
penafsiran ayat tersebut dengan pernyataannya berikut ini: “Tentang janji bantuan ribuan
malaikat, bantuan malaikat yang bersifat rohani tersebut jelas terungkap dalam kata-kata, ‘dan
Tuhan telah menetapkan peristiwa ini sebagai sebuah kabar yang menyenangkan’.”

Contoh lain dalam pembahasan ini adalah kisah Isra’ Mi’raj Nabi, yakni perjalanan malam dari
Makkah ke Yerussalem atau kenaikannya ke langit dan kembalinya (dalam satu malam) ke
Makkah, sebab cerita ini tidak hanya sering dipahami secara harfiah, tetapi juga kadang-kadang
digunakan untuk menghitung jarak bumi ke langit dan lain sebagainya. Mengenai peristiwa ini,
penafsir klasik seperti Ibn Katsir menghubungkannya dengan belasan kisah, termasuk cerita
Pendeta Yerussalem yang dipercaya menemukan bukti tentang “Nabi pernah melakukan shalat
pada malam terakhir di biara kami” dan tentang “seekor binatang yang ditambatkan” di sudut
tempat tersebut. Sementara itu, Asad melakukan pembacaan ‘mistis’ terhadap peristiwa tersebut
dengan mengkhususkan seluruh bagian lampiran bukunya untuk menulis penafsirannya atas
ayat Alquran seputar peristiwa ini.

Kemudian, bagaimana pendekatan hermeneutik multilevel ini diterapkan dalam wacana Alquran
dan sains? Campanini memberi penjelasan berikut:

Kitab suci tidak mengandung pernyataan ilmiah maupun hukum alam secara eksplisit, sebab
kebenaran-kebenaran yang diungkap Kitab suci disampaikan dalam bahasa yang sederhana, bisa
dipahami masyarakat umum, dan juga terdiri dari kebenaran-kebenaran dasar yang dikemukakan
sains dan filsafat dalam bahasa demonstratif yang tinggi dan indah. Karena itulah, menjadi hal
yang absurd jika mencari pernyataan ilmiah tentang usia alam semesta dari Alquran, termasuk
juga wacana apakah alam semesta diciptakan atau [kekal], terbatas atau tak terbatas.

Baiklah, mari kita gunakan pendekatan hermeneutik multilevel ini pada beberapa contoh yang
paling sering dikutip dan menjadi favorit para penulis I’jaz. An-Najjar gemar mengutip ayat Dan
Kami turunkan besi yang mengandung kekuatan hebat untuk berperang (Alquran, Surah aI-
Hadīd/57: 25) dan mengklaim bahwa besi diciptakan di dalam bintang. Pernyataan ini benar
adanya. Akan tetapi, penciptaan yang demikian juga terjadi pada hampir semua unsur alam
semesta selain empat atau lima unsur dalam tabel periodik, dan-An-Najjar mengatakan -pada
saat itulah besi tersebut ‘diturunkan’. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa informasi mengenai
evolusi-bintang yang baru dikenal 50 tahun lalu jelas-jelas merupakan I’jaz. Namun, pada
hakikatnya meteorit-meteorit pada zaman kuno telah sering ditemukan di gurun atau kadang-
kadang terlihat jatuh dari langit dan diketahui mengandung banyak unsur besi (atau unsur logam
lain), dan itulah bahan utama pembuat pedang. Karena itu, istilah besi ‘diturunkan’ dapat dengan
mudah dipahami (seperti yang terjadi pada masa silam) sebagai unsur-unsur yang terkandung di
dalam meteorit. Dewasa ini, beberapa orang mungkin lebih memilih penafsiran An-Najjar ini yang
mungkin terlihat konservatif dalam pembacaan multilevel, tetapi bisa diamati bahwa besi
merupakan bagian materi yang ada pada saat pembentukan tata surya, sehingga besi tidaklah
‘turun’ ke bumi (setelah pembentukannya). Itulah sebabnya, saya lebih memilih penafsiran besi
sebagai meteor-yang menurut saya tidak ada unsur I’jaz sama sekali di dalamnya.
Ayat lain yang sering dikutip adalah langit yang berfungsi sebagai pelindung: Dan Kami telah
menciptakan langit-langit sebagai atap yang terpelihara dengan baik (“saqfan mahfūżan”) (Alquran,
Surah al-Anbiyā’/21: 32). Ayat ini biasanya dipahami secara berbeda dengan arti ayat-ayat
Alquran, Surah Aj-Jinn/72: 8 dan as-Sāffāt/37: 7 yang bermakna perlindungan dari setan karena
lebih diartikan perlindungan dalam arti ‘atmosfer, ozon, magnetosfer, dan lain-lain’. Dalam satu
atau dua abad mendatang, siapa yang bisa menduga ayat tersebut akan ditafsirkan seperti apa.
Yang jelas, jika dibaca dengan pikiran terbuka dan perspektif netral, sangat sulit melihat isi ilmiah
di dalamnya.

Dengan menjadikan prinsip-prinsip dan aplikasi-aplikasi (atau contoh-contoh) ini sebagai dasar
pembacaan terhadap Alquran dan sains, sangat jelas bahwa seseorang tidak bisa bersikeras
pada satu penjelasan saja terhadap ayat-ayat tertentu, apalagi menyatakan bahwa ayat-ayat
tersebut mengandung kebenaran ilmiah. Namun, sebuah tafsir ilmiah Alquran bisa
memungkinkan sebuah pembacaan tekstual berdasarkan informasi dan petunjuk dari
pengetahuan penulisnya serta teori-teori sains yang ‘sesuai dengan pemahamannya’. Tafsir yang
demikian adalah sebuah pembacaan di antara pembacaan-pembacaan yang lain, dan merupakan
penafsiran yang setingkat lebih tinggi dibandingkan pengetahuan dan teori-teori sains. Tafsir
yang seperti ini bukan lagi suatu I’jaz, melainkan -tidak kurang dan tidak lebih- merupakan
kumpulan penafsiran-penafsiran pribadi yang beberapa di antaranya lebih meyakinkan (bagi
sebagian orang) dibandingkan sebagian yang lain.

Sejumlah besar ayat Alquran -yang memuat ‘kiasan’ alam sebagaimana Alquran, Surah Āli
‘Imrān/3: 7 disebut sebagai ‘frase kunci dari semua frase kunci Alquran’ -‘menawarkan’ diri untuk
(memperkuat) pendekatan ini. Di antara ayat-ayat tersebut, ada beberapa ayat yang begitu
mengesankan para pendukung teori I’jaz, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan kosmos
(Alquran, Surah Fuṣṣilāt/41: 11 dan lain-lain) atau perkembangan embrio manusia (Alquran,
Surah Al-Mu’minūn/23: 13-14, az-Zumar/39: 6, dan lain-lain). Tujuh langit kemudian bisa
dipahami sebagai orbit dari tujuh planet purba, atau beberapa galaksi yang saat ini kita kenaI
sebagai kosmos -jika menggunakan teori multi-ayat- atau ‘dunia’ metafisik di balik alam semesta.
Pembacaan-pembacan seperti ini akan menjadi urusan/opini pribadi yang bergantung pada
pengetahuan dan wawasan masing-masing orang. Beberapa pembacaan akan tampak lebih
‘benar’ dibandingkan yang lain menurut kecanggihan pikiran tertentu, tetapi tidak ada dari
pembacaan tersebut yang akan dianggap sebagai pernyataan ajaib karena mengandung
pengetahuan ilmiah yang mendahului temuan manusia selama berabad-abad.
Singkatnya, saya ingin menekankan bahwa berdasarkan temuan kami, keseluruhan teori I’jaz
mengandung cacat metodologis yang merupakan bagian dari teori itu sendiri, khususnya dalam
praktik metode-metodenya serta dalam contoh-contoh yang telah saya kutip dari para penulis
terkemuka di bidang kajian ini. Saya juga mencoba membuat perbedaan konstruktif antara tafsir
‘ilmi -yang berusaha menggunakan pengetahuan ilmiah untuk memunculkan penafsiran baru
terhadap beberapa ayat yang menggambarkan alam semesta- dan I’jaz ‘ilmi yang mengklaim
adanya fakta-fakta ilmiah yang baru ditemukan akhir-akhir ini dalam ayat-ayat tertentu. Gagasan
ini saya gambarkan sebagai program utopis, baik dalam teori maupun praktiknya. Oleh karena
itu, sebagai penutup, saya mengusulkan sebuah paradigma baru yang secara potensial dapat
memperbaiki semua kekurangan konseptual teori tersebut dengan menggunakan pendekatan
baru dalam pembacaan Alquran yang saya sebut pembacaan multi-level. Asumsi sederhananya
adalah bahwa makna yang dapat diungkap dari ayat-ayat tertentu bergantung pada tingkat
pengetahuan/pendidikan dan perkembangan zaman hidup seseorang, sehingga mungkin saja
ada seseorang yang masih membaca beberapa fakta alam semesta dalam suatu ayat tanpa
mengklaim adanya mulgizat apa pun.

RINGKASAN DAN KESIMPULAN BAGIAN I

Dua gagasan besar yang saya tekankan dalam lima tulisan sebelumnya, terutama untuk
pembaca Barat, adalah: (1) konsep Tuhan dalam Islam (dan bagaimana hubungannya dengan
sains) dan (2) posisi dan pengaruh Alquran yang merasuk dalam kehidupan dan pikiran umat
Muslim. Penekanan ini ditujukan untuk: (a) menjelaskan mengapa wacana sains dan agama (dan
isu-isu sosial dan politik) di kalangan umat Muslim cenderung dipenuhi oleh berbagai referensi
ayat Alquran; (b) menjelaskan bagaimana penekanan yang berlebihan terhadap ayat-ayat Alquran
dapat menyebabkan distorsi berbahaya dan bergesernya wacana kepada persoalan ‘mukjizat
ilmiah Alquran’; (c) menunjukkan bahwa agar wacana sains dan Islam yang rasional dan kredibel
bisa diterima dengan baik oleh masyarakat umum maupun elite, maka perlu dipastikan adanya
penerimaan terhadap Alquran (atau tiadanya penolakan) -jika bukan keselarasan penuh dengan
ide-ide yang dibahas; dan (d) menekankan fakta bahwa Alquran dapat dibaca dan ditafsirkan
secara rasional, setidak-tidaknya dengan satu di antara beberapa pendekatan yang bisa
menyajikan sudut pandang yang juga rasional.

Memang diakui bahwa Kitab Suci berulang-ulang memancing perhatian pembacanya kepada
‘prediksi umum mengenai fenomena dunia fisik’, seperti dalam ayat: Matahari dan bulan beredar
(secara tepat) menurut perhitungan, sedangkan bintangbintang maupun pepohonan juga tunduk
kepada-Nya, dan Allah telah meninggikan langit dan menjadikannya seimbang (Alquran, Surah ar-
Raḥmān/55: 5-7). Itulah alasan mengapa Alquran terus menerus mendorong manusia untuk
mengamati, merenungkan, dan mencari.

Gagasan penting kedua yang muncul dari investigasi kami adalah bahwa meskipun Alquran
memuat banyak perintah kepada manusia untuk mengamati dan merefleksikan fenomena alam
dan hubungannya dengan Sang Pencipta, banyak orang masih kesulitan saat menghubungkan
konsep sains (dalam pengertian modern) dengan wacana Qurani. Memang, konsep sains dalam
pengertian modern tidak bisa ditemukan secara mudah di dalam Alquran atau bahkan di
sebagian besar warisan klasik Muslim, sebab konsep pengetahuan sudah begitu berkembang.
Perbedaan yang sebenarnya tampak subtil ini tidak menjadi bahan kajian bagi sejumlah besar
pemikir dan pemerhati Muslim; bahkan kata ‘ilm saat ini sering digunakan untuk merujuk ‘sains’
meskipun cukup jelas bahwa kata tersebut pada awalnya lebih bermakna ‘pengetahuan’ dalam
arti yang lebih luas. Hal inilah yang kemudian menyebabkan perbedaan pendapat yang tajam
antara kaum tradisionalis dan reformis mengenai kemungkinan (atau ketidakmungkinan) melihat
kasus-kasus dalam Alquran dari kacamata sains dengan berbagai definisi sains yang ada, mulai
dari ‘sains yang sakral’ (sacred science) hingga ‘sains Islami’ (Islamic science), dan bahkan ‘I’jaz
ilmiah’ (scientific I’jaz).

Sikap pertama yang saya tunjukkan adalah penolakan terhadap semua perspektif yang ekstrem.
Yang jelas, klaim seputar ‘pengetahuan ilmiah’ (mukjizat ilmiah) dalam Alquran itu harus ditolak
karena berbagai alasan yang telah saya kemukakan sebelumnya. Sebaliknya, saya menekankan
dan mempromosikan pembacaan berlapis (dengan nuansa dan petunjuk multilevel) terhadap
sebagian besar-jika tidak semua-bagian Alquran. Pembacaan ini, bagi saya, dapat mencerahkan
penafsiran seseorang terhadap ayat-ayat Alquran dengan menggunakan berbagai perangkat,
termasuk pengetahuan ilmiah yang dimilikinya. Saya berpendapat bahwa pendekatan ini
merupakan kombinasi yang tepat dari gagasan beberapa cendekiawan Muslim yang paling
cerdas, mulai dari Ibn Rusyd (Averroes) hingga Muḥammad TaIbi.

Kami juga melihat bagaimana Muḥammad Syahrur melanggar aturan-aturan penafsiran


tradisional bukan hanya dengan membangun sesuatu yang sangat orisinal dan pendekatan baru
yang radikal terhadap Kitab Suci, melainkan juga dengan membuka gerbang penafsiran bagi
siapa saja yang memiliki kapasitas intelektual untuk melakukannya, termasuk bagi non-Muslim
dan para pengguna bahasa non-Arab. Lebih lanjut, ia juga memandang integrasi pengetahuan
modern dalam proses pembacaan Alquran sebagai salah satu upaya memperluas potensi-
potensi Alquran, membantu menyatukan masyarakat, dan mengharmonisasi pengetahuan
masyarakat tersebut dengan kebenaran ilahiah.

Singkatnya, meskipun Alquran tidak dapat diubah menjadi sebuah ensiklopedi apa pun, termasuk
ensiklopedi semua jenis sains, harus diingat bahwa jika Alquran dibaca dan dikaji dengan serius
dan penuh hormat, maka resep hermeneutika dan prinsip Rusydian (Averroes) mengenai
ketidakmungkinan pertentangan (antara firman Tuhan dan karya Tuhan) haruslah dijunjung
tinggi. Dalam praktiknya, prinsip ini dapat diubah menjadi pendekatan tanpa-keberatan atau
tanpa-oposisi yang memungkinkan kita meyakinkan masyarakat Muslim mengenai gagasan
tertentu (katakanlah misalnya, teori evolusi biologi) bukan dengan membuktikan bahwa teori
tersebut dapat ditemukan dalam Alquran, melainkan dengan mengajak mereka melakukan
pembacaan dan penafsiran yang cerdas terhadap beberapa bagian Alquran yang benar-benar
konsisten dengan teori tersebut.

Sejalan dengan upaya mengembangkan pendekatan rasional terhadap Alquran (pendekatan


yang begitu menghormati sains dan pengetahuan/penafsiran manusia), saya juga telah bekerja
keras memberikan pemahaman yang jelas mengenai sains dan filosofinya. Dari pengalaman
saya bergaul dengan para mahasiswa dan profesor di Arab atau Dunia Muslim, saya
menyimpulkan adanya kebutuhan yang kuat untuk menekankan berbagai aspek kerja ilmiah,
khususnya kriteria falsifiabilitas. Sains bukanlah sebuah proses mekanis, sebab ia dimulai dari
prinsip-prinsip yang terkadang belum terbukti dan sering tidak bisa dibuktikan, bahkan cenderung
bergantung pada insting pribadi, kecenderungan personal, konsensus bersama, dan mengikuti
berbagai paradigma serta peristiwa-peristiwa ‘revolusi’ yang aktual. Saat ini, konsep dasar-dasar
metafisik sains juga menjadi wacana umum. Dengan pemahaman yang demikian, menjadi
semakin jelas bahwa sifat materialistik sains modern merupakan sebuah pilihan metafisik yang
telah dibuat, tetapi bukan merupakan bagian dari proses ilmiah. Budaya-budaya masa lalu -tentu
saja termasuk peradaban Islam pada masa ‘keemasan’ klasik-memang telah melakukan
berbagai kegiatan ilmiah yang ketat dan sistematis, tetapi usaha-usaha tersebut masih
bernuansa teistik dalam hal pandangan dan dasar-dasarnya. Mengembangkan sains dengan
jubah teistik tidak selalu akan menghancurkan pilar, konstruksi, dan prestasi tinggi nan indah
yang telah dicapai apabila seseorang melakukannya berdasarkan pemahaman penuh mengenai
berbagai aspeknya, seperti membedakan aspek metafisik dari aspek metodologis. Itulah yang
ingin saya coba tunjukkan dan kemukakan dalam tulisanselanjutnya.

Dalam tulisan selanjutnya, saya meneliti usaha-usaha yang pernah dilakukan para pemikir dalam
membangun sebuah sains Islami, suatu kombinasi ganda (‘kuantum’) antara prinsip-prinsip
Islam dan metode/hasil sains modern. Ada beberapa aliran pemikiran yang malang-melintang
dalam wacana ini: mulai dari aliran yang sangat mistis (pendekatan sakral Nasr terhadap
pengetahuan dan sains) hingga yang universalis dan konvensionalis (Abdus Salam) dan sekular
(Hoodbhoy). Saya juga sempat mengulas singkat program Islamisasi pengetahuan/sains ala Al-
Fāruqī dan Al-‘Alwānī dan menemukan kelemahan di dalamnya. Kemudian, saya membahas
aliran Sardar (ijmali) mengenai sains Islami yang mengumbar janji-janji pada satu atau dua
dekade lalu, tetapi belakangan kehilangan momentumnya -karena kelompok ini telah bubar.
Meskipun menyatakan bahwa aliran ini paling dekat dengan posisi saya, saya menemukan
banyak kritik terhadap gagasan Sardar, khususnya kecaman Sardar yang berlebihan terhadap
sains modern, penekanannya yang berlebihan pada etika dan fungsi utilitarian sains, dan
terutama gagasannya tentang ‘demokratisasi’ sains yang membolehkan setiap warga
masyarakat berpartisipasi dalam proses ilmiah (misalnya, mengumpulkan data) dan perdebatan
seputar wacana sains.

Pada akhirnya, posisi yang barangkali paling masuk akal dan moderat mengenai reposisi sains
dan Islam adalah pandangan Golshani yang membela sains teistik, dengan kesadaran penuh
akan (keberadaan) Tuhan, menjunjung tinggi tujuan-tujuan-Nya (sebagaimana disebutkan dalam
kitab suci Alquran dan lainnya), namun tetap bersikap seteliti mungkin. Gagasan Golshani ini,
meskipun tidak begitu terperinci dan jelas langkah-Iangkahnya, cukup berjasa karena
menyatukan upaya Muslim dengan para filsuf teistik dari budaya-budaya lain. Berbekal prinsip-
prinsip ini dan pemahaman umum tentang Islam dan sains, saat ini kita telah siap membahas
topik utama (kosmologi, desain, prinsip antropik, dan evolusi) secara panjang lebar dan topik-
topik lain! (mukjizat dan tindakan ilahi) dalam bentuk semacam wacana pengantar.

Anda mungkin juga menyukai