NEONATORUM
2
BAB II
IKTERUS NEONATORUM
2.1 Definisi
Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat
penimbunan bilirubin dalam tubuh atau akumulasi bilirubin dalam darah lebih dari
5 mg/dl dalam 24 jam, yang menandakan terjadinya gangguan fungsional dari
hepar, sistem biliary, atau sistem hematologi. Ikterus dapat terjadi baik karena
peningkatan bilirubin indirek (unconjugated) dan direk (conjugated).1
Ikterus pada neonatus dapat bersifat fisiologis dan patologis. Ikterus
fisiologis adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak
mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan
atau mempunyai potensi menjadi kernicterus dan tidak menyebabkan suatu
morbiditas pada bayi. Ikterus patologis ialah ikterus yang mempunyai dasar
patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut
hiperbilirubinemia.2
Ikterus Fisiologis
Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat
adalah sebesar 1-3 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5
mg/dl/24 jam; dengan demikian ikterus baru terlihat pada hari ke 2-3, biasanya
mencapai puncaknya antara hari ke 2-4, dengan kadar 5-6 mg/dl untuk selanjutnya
menurun sampai kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl antara lain ke 5-7 kehidupan.
Ikterus akibat perubahan ini dinamakan ikterus “fisiologis” dan diduga sebagai
akibat hancurnya sel darah merah janin yang disertai pembatasan sementara pada
konjugasi dan ekskresi bilirubin oleh hati.
Diantara bayi-bayi prematur, kenaikan bilirubin serum cenderung sama
atau sedikit lebih lambat daripada pada bayi aterm, tetapi berlangsung lebih lama,
pada umumnya mengakibatkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai antara
hari ke 4-7, pola yang akan diperlihatkan bergantung pada waktu yang diperlukan
oleh bayi preterm mencapai pematangan mekanisme metabolisme ekskresi
3
bilirubin. Kadar puncak sebesar 8-12 mg/dl tidak dicapai sebelum hari ke 5-7 dan
kadang-kadang ikterus ditemukan setelah hari ke-10.
Diagnosis ikterus fisiologik pada bayi aterm atau preterm, dapat
ditegakkan dengan menyingkirkan penyebab ikterus berdasarkan anamnesis dan
penemuan klinik dan laboratorium. Pada umumnya untuk menentukan penyebab
ikterus jika:
1. Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
2. Bilirubin serum meningkat dengan kecepatan lebih besar dari 5 mg/dl/24 jam.
3. Kadar bilirubin serum lebih besar dari 12 mg/dl pada bayi aterm dan lebih
besar dari 14 mg/dl pada bayi preterm.
4. Ikterus persisten sampai melewati minggu pertama kehidupan, atau
5. Bilirubin direk lebih besar dari 1 mg/dl.
Ikterus Patologis
Ikterus patologis mungkin merupakan petunjuk penting untuk diagnosis
awal dari banyak penyakit neonatus. Ikterus patologis dalam 36 jam pertama
kehidupan biasanya disebabkan oleh kelebihan produksi bilirubin, karena klirens
bilirubin yang lambat jarang menyebabkan peningkatan konsentrasi diatas 10
mg/dl pada umur ini. Jadi, ikterus neonatorum dini biasanya disebabkan oleh
penyakit hemolitik.
Ada beberapa keadaan ikterus yang cenderung menjadi patologik:
1. Ikterus klinis terjadi pada 24 jam pertama kehidupan
2. Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5mg/dL atau lebih setiap 24 jam
3. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi
G6PD, atau sepsis)
4. Ikterus yang disertai oleh:
o Berat lahir <2000 gram
o Masa gestasi 36 minggu
o Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada neonates (SGNN)
o Infeksi
o Trauma lahir pada kepala
4
o Hipoglikemia, hiperkarbia
o Hiperosmolaritas darah
5. Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada NCB) atau >14
hari (pada NKB).3
Kernicterus
Bahaya hiperbilirubinemia adalah kernikterus, yaitu suatu kerusakan otak
akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum,
talamus, nukleus subtalamus hipokampus, nukleus merah dan nukleus di dasar
ventrikel IV. Secara klinis pada awalnya tidak jelas, dapat berupa mata berputar,
letargi, kejang, tak mau menghisap, malas minum, tonus otot meningkat, leher
kaku, dan opistotonus. Bila berlanjut dapat terjadi spasme otot, opistotonus,
kejang, atetosis yang disertai ketegangan otot. Dapat ditemukan ketulian pada
nada tinggi, gangguan bicara dan retardasi mental.
2. Transportasi
5
Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin sel parenkim hepar
mempunyai cara yang selektif dan efektif mengambil bilirubin dari plasma.
Bilirubin ditransfer melalui membran sel ke dalam hepatosit sedangkan albumin
tidak. Didalam sel bilirubin akan terikat terutama pada ligandin , glutation S-
transferase B) dan sebagian kecil pada(protein glutation S-transferase lain dan
protein Z. Proses ini merupakan proses dua arah, tergantung dari konsentrasi dan
afinitas albumin dalam plasma dan ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar
bilirubin yang masuk hepatosit di konjugasi dan di ekskresi ke dalam empedu.
Dengan adanya sitosol hepar, ligadin mengikat bilirubin sedangkan albumin tidak
Pemberian fenobarbital mempertinggi konsentrasi ligadin dan memberi tempat
pengikatan yang lebih banyak untuk bilirubin.
3. Konjugasi
Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin
diglukosonide. Walaupun ada sebagian kecil dalam bentuk monoglukoronide.
Glukoronil transferase merubah bentuk monoglukoronide menjadi diglukoronide.
Pertama-tama yaitu uridin di fosfat glukoronide transferase (UDPG : T) yang
mengkatalisasi pembentukan bilirubin monoglukoronide.
Sintesis dan ekskresi diglokoronode terjadi di membran kanilikulus.
Isomer bilirubin yang dapat membentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural
IX dapat diekskresikan langsung kedalam empedu tanpa konjugasi. Misalnya
isomer yang terjadi sesudah terapi sinar (isomer foto).
4. Ekskresi
Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam
air dan di ekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Dalam usus
bilirubin direk ini tidak diabsorpsi; sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis
menjadi bilirubin indirek dan direabsorpsi. Siklus ini disebut siklus enterohepatis.
Pada neonatus karena aktivitas enzim B glukoronidase yang meningkat, bilirubin
direk banyak yang tidak dirubah menjadi urobilin. Jumlah bilirubin yang
6
terhidrolisa menjadi bilirubin indirek meningkat dan tereabsorpsi sehingga siklus
enterohepatis pun meningkat.
7
2.3 Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum
dapat dibagi :
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada
hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah
lain, defisiensi enzim G-6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
8
kehidupan, mencapai konsentrasi maksimal sebesar 10-27 mg/dl, selama minggu
ke 3. Jika mereka terus disusui, hiperbilirubinemia secara berangsur-angsur akan
menurun dan kemudian akan menetap selama 3-10 minggu dengan kadar yang
lebih rendah. Jika mereka dihentikan menyusu, kadar bilirubin serum akan
menurun dengan cepat, biasanya kadar normal dicapai dalam beberapa hari.
Penghentian menyusu selama 2-4 hari, bilirubin serum akan menurun dengan
cepat, setelah itu mereka dapat menyusu kembali, tanpa disertai timbulnya
kembali hiperbilirubinemia dengan kadar tinggi, seperti sebelumnya. Bayi ini
tidak memperlihatkan tanda kesakitan lain dan kernikterus tidak pernah
dilaporkan. Susu yang berasal dari beberapa ibu mengandung 5 -diol dan asam
lemak rantai panjang,, 2-pregnan-3 tak-teresterifikasi, yang secara
kompetitif menghambat aktivitas konjugasi glukoronil transferase, pada kira-kira
70% bayi yang disusuinya. Pada ibu lainnya, susu yang mereka hasilkan
mengandung lipase yang mungkin bertanggung jawab atas terjadinya ikterus.
Sindroma ini harus dibedakan dari hubungan yang sering diakui, tetapi kurang
didokumentasikan, antara hiperbilirubinemia tak-terkonjugasi, yang diperberat
yang terdapat dalam minggu pertama kehidupan dan menyusu pada ibu.
2.4. Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila
terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur
eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya
peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan
kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang atau
pada keadaan proten Y dan protein Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi
dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan
peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar
(defisiensi enzim glukoranil transferase) atau bayi yang menderita gangguan
9
ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu
intra/ekstra hepatik.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang
bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini
memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat
menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut
kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan
pada susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin
indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak
ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung
pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar
daerah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat lahir rendah,
hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang terjadi
karena trauma atau infeksi.
10
Gejala utamanya adalah kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa.
Disamping itu dapat pula disertai dengan gejala-gejala:
1. Dehidrasi
-
Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntah-muntah)
2. Pucat
-
Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. Ketidakcocokan golongan
darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau kehilangan darah
ekstravaskular.
3. Trauma lahir
-
Bruising, sefalhematom (peradarahn kepala), perdarahan tertutup lainnya.
4. Pletorik (penumpukan darah)
-
Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh keterlambatan memotong tali
pusat, bayi KMK
5. Letargik dan gejala sepsis lainnya
6. Petekiae (bintik merah di kulit)
-
Sering dikaitkan dengan infeksi congenital, sepsis atau eritroblastosis
7. Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal)
-
Sering berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit
hati
8. Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa)
9. Omfalitis (peradangan umbilikus)
10. Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)
11. Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus koledokus)
12. Feses dempul disertai urin warna coklat
-
Pikirkan ke arah ikterus obstruktif, selanjutnya konsultasikan ke bagian
hepatologi.3
11
2.6. Diagnosis
Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu
dalam menegakkan diagnosis hiperbilirubinemia pada bayi. Termasuk dalam hal
ini anamnesis mengenai riwayat inkompatabilitas darah, riwayat transfusi tukar
atau terapi sinar pada bayi sebelumnya. Disamping itu faktor risiko kehamilan dan
persalinan juga berperan dalam diagnosis dini ikterus/hiperbilirubinemia pada
bayi. Faktor risiko tersebut antara lain adalah kehamilan dengan komplikasi,
persalinan dengan tindakan/komplikasi, obat yang diberikan pada ibu selama
hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes melitus, gawat janin, malnutrisi
intrauterin, infeksi intranatal, dan lain-lain.
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
beberapa hari kemudian. Ikterus yang tampak pun sangat tergantung kepada
penyebab ikterus itu sendiri. Pada bayi dengan peninggian bilirubin indirek, kulit
tampak berwarna kuning terang sampai jingga, sedangkan pada penderita dengan
gangguan obstruksi empedu warna kuning kulit terlihat agak kehijauan. Perbedaan
ini dapat terlihat pada penderita ikterus berat, tetapi hal ini kadang-kadang sulit
dipastikan secara klinis karena sangat dipengaruhi warna kulit. Penilaian akan
lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar. Selain kuning,
penderita sering hanya memperlihatkan gejala minimal misalnya tampak lemah
dan nafsu minum berkurang. Keadaan lain yang mungkin menyertai ikterus
adalah anemia, petekie, pembesaran lien dan hepar, perdarahan tertutup, gangguan
nafas, gangguan sirkulasi, atau gangguan syaraf. Keadaan tadi biasanya
ditemukan pada ikterus berat atau hiperbilirubinemia berat.
Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti yang penting pula dalam
diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus
mempunyai kaitan yang erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.
Ikterus yang timbul hari pertama sesudah lahir, kemungkinan besar disebabkan
oleh inkompatibilitas golongan darah (ABO, Rh atau golongan darah lain). Infeksi
intra uterin seperti rubela, penyakit sitomegali, toksoplasmosis, atau sepsis
bakterial dapat pula memperlihatkan ikterus pada hari pertama. Pada hari kedua
dan ketiga ikterus yang terjadi biasanya merupakan ikterus fisiologik, tetapi harus
12
pula dipikirkan penyebab lain seperti inkompatibilitas golongan darah, infeksi
kuman, polisitemia, hemolisis karena perdarahan tertutup, kelainan morfologi
eritrosit (misalnya sferositosis), sindrom gawat nafas, toksositosis obat, defisiensi
G-6-PD, dan lain-lain. Ikterus yang timbul pada hari ke 4 dan ke 5 mungkin
merupakan kuning karena ASI atau terjadi pada bayi yang menderita Gilbert, bayi
dari ibu penderita diabetes melitus, dan lain-lain. Selanjutnya ikterus setelah
minggu pertama biasanya terjadi pada atresia duktus koledokus, hepatitis
neonatal, stenosis pilorus, hipotiroidisme, galaktosemia, infeksi post natal, dan
lain-lain.
13
enzim glikolitik lain, talasemia, penyakit sel sabit, anemia non-sperosit herediter),
atau anemia hemolitik yang disebabkan oleh obat-obatan (seperti pada defisiensi
kongenital enzim-enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase, glutation sintetase,
glutation reduktase atau glutation peroksidase) atau akibat terpapar oleh bahan-
bahan lain.
Ikterus persisten selama bulan pertama kehidupan, memberi petunjuk
adanya apa yang dinamakan “inspissated bile syndrome” (yang terjadi menyertai
penyakit hemolitik pada bayi neonatus), hepatitis, penyakit inklusi sitomegalik,
sifilis, toksoplasmosis, ikterus nonhemolitik familial, atresia kongenital saluran
empedu, pelebaran idiopatik duktus koledoskus atau galaktosemia. Ikterus ini
dapat dihubungkan dengan nutrisi perenteral total. Kadang-kadang ikterus
fisiologik dapat berlangsung berkepanjangan sampai beberapa minggu, seperti
pada bayi yang menderita penyakit hipotiroidisme atau stenosis pilorus.
Tanpa mempersoalkan usia kehamilan atau saat timbulnya ikterus,
hiperbilirubinemia yang cukup berarti memerlukan penilaian diagnostik yang
lengkap, yang mencakup penentuan fraksi bilirubin langsung (direk) dan tidak
langsung (indirek) hemoglobin, hitung leukosit, golongan darah, tes Coombs dan
pemeriksaan sediaan apus darah tepi. Bilirubinemia indirek, retikulositosis dan
sediaan apus yang memperlihatkan bukti adanya penghancuran eritrosit, memberi
petunjuk adanya hemolisis; bila tidak terdapat ketidakcocokan golongan darah,
maka harus dipertimbangkan kemungkinan adanya hemolisis akibat
nonimunologik. Jika terdapat hiperbilirubinemia direk, adanya hepatitis, kelainan
metabolisme bawaan, fibrosis kistik dan sepsis, harus dipikirkan sebagai suatu
kemungkinan diagnosis. Jika hitung retikulosit, tes Coombs dan bilirubin direk
normal, maka mungkin terdapat hiperbilirubinemia indirek fisiologik atau
patologik.
14
2.8. Penatalaksanaan
I. Pendekatan menentukan kemungkinan penyebab
Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan membutuhkan
pemeriksaan yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan
khusus untuk dapat memperkirakan penyebabnya. Pendekatan yang dapat
memenuhi kebutuhan itu yaitu menggunakan saat timbulnya ikterus seperti yang
dikemukakan oleh Harper dan Yoon 1974, yaitu :
A. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama
Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya
kemungkinan dapat disusun sebagai berikut :
- Inkompatibilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
- Infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang-kadang bakteri).
- Kadang-kadang oleh defisiensi G-6-PD.
15
Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis, perdarahan hepar
subkapsuler dan lain-lain).
Hipoksia.
Sferositosis, eliptositosis dan lain-lain.
Dehidrasi asidosis.
Defisiensi enzim eritrosit lainnya.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah bila keadaan bayi baik dan
peningkatan ikterus tidak cepat, dapat dilakukan pemeriksaan daerah tepi,
pemeriksaan kadar bilirubin berkala, pemeriksaan penyaring enzim G-6-PD dan
pemeriksaan lainnya bila perlu.
C. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama
- Biasanya karena infeksi (sepsis).
- Dehidrasi asidosis.
- Difisiensi enzim G-6-PD.
- Pengaruh obat.
- Sindrom Criggler-Najjar.
- Sindrom Gilbert.
16
- Pemeriksaan darah tepi.
- Pemeriksaan penyaring G-6-PD.
- Biakan darah, biopsi hepar bila ada indikasi.
- Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab.
II. Pencegahan
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan :
1. Pengawasan antenatal yang baik.
17
2. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi pada masa
kehamilan dan kelahiran, misalnya sulfafurazole, novobiosin, oksitosin dan
lain-lain.
3. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus.
4. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus.
5. Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir.
6. Pemberian makanan yang dini.
7. Pencegahan infeksi.
Tranfusi tukar
Pada umumnya tranfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut :
Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek 20 mg%
Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat, yaitu 0,3-1 mg%/jam.
18
Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung.
Bayi dengan kadar hemoglobin talipusat < 14 mg% dan uji Coombs direk
positif.
Sesudah tranfusi tukar harus diberi fototerapi. Bila terdapat keadaan
seperti asfiksia perinatal, distres pernafasan, asidosis metabolik, hipotermia, kadar
protein serum kurang atau sama dengan 5 g%, berat badan lahir kurang dari 1.500
gr dan tanda-tanda gangguan susunan saraf pusat, penderita harus diobati seperti
pada kadar bilirubin yang lebih tinggi berikutnya.
V. Tindak lanjut
Bahaya hiperbilirubinemia yaitu ‘kernicterus’. Oleh karena itu terhadap
bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak lanjut sebagai
berikut :
1. Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan
2. Penilaian berkala pendengaran
3. Fisioterapi dan rehabilitasi bila terdapat gejala sisa
2.9. Prognosis
Hiperbilirubinemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek
telah melalui sawar darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin menderita
kernikterus atau ensefalopati biliaris. Gejala ensefalopati biliaris ini dapat segera
terlihat pada masa neonatus atau baru tampak setelah beberapa lama kemudian.
Pada masa neonatus gejala mungkin sangat ringan dan hanya memperlihatkan
gangguan minum, latergi dan hipotonia. Selanjutnya bayi mungkin kejang, spastik
dan ditemukan epistotonus. Pada stadium lanjut mungkin didapatkan adanya
19
atetosis disertai gangguan pendengaran dan retardasi mental di hari kemudian.
Dengan memperhatikan hal di atas, maka sebaiknya pada semua penderita
hiperbilirubinemia dilakukan pemeriksaan berkala, baik dalam hal pertumbuhan
fisis dan motorik, ataupun perkembangan mental serta ketajaman
pendengarannya.
20
DAFTAR PUSTAKA
21