Anda di halaman 1dari 21

IKTERUS

NEONATORUM

Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Anak


Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala BLU /
RSU Dr Zainoel Abidin
Banda Aceh
PENDAHULUAN

Angka kejadian Ikterus pada bayi sangat bervariasi di RSCM persentase


ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan sebesar 32,1% dan pada bayi kurang
bulan sebesar 42,9%, sedangkan di Amerika Serikat sekitar 60% bayi menderita
ikterus baru lahir menderita ikterus, lebih dari 50%. Bayi-bayi yang mengalami
ikterus itu mencapai kadar bilirubin yang melebihi 10 mg.
Ikterus terjadi apabila terdapat bililirubin dalam darah. Pada sebagian
besar neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama dalam
kehidupannya. Dikemukakan bahwa kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi
cukup bulan dan pada bayi 80% bayi kurang bulan. Di Jakarta dilaporkan 32,19 %
menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi bersifat patologik yang dapat
menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian. Karena setiap
bayi dengan ikterus harus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau
bila kadar bilirubuin meningkat lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam.
Proses hemolisis darah, infeksi berat ikterus yang berlangsung lebih dari 1
mg/dl juga merupakan keadaan kemungkinan adanya ikterus patologi. Dalam
keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat
buruk ikterus dapat dihindarkan.
Ikterus yang ditemukan pada bayi baru lahir dapat merupakan suatu gejala
fisiologis (terdapat pada 25-50% nonatus cukup bulan dan lebih tinggi lagi pada
neonates kurang bulan) atau dapat merupakan hal yang patologis misalnya pada
inkompatibilitas Rhesus dan ABO, sepsis, galaktosemia, penyumbatan saluran
empadu dan sebagainya.1

2
BAB II
IKTERUS NEONATORUM

2.1 Definisi
Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat
penimbunan bilirubin dalam tubuh atau akumulasi bilirubin dalam darah lebih dari
5 mg/dl dalam 24 jam, yang menandakan terjadinya gangguan fungsional dari
hepar, sistem biliary, atau sistem hematologi. Ikterus dapat terjadi baik karena
peningkatan bilirubin indirek (unconjugated) dan direk (conjugated).1
Ikterus pada neonatus dapat bersifat fisiologis dan patologis. Ikterus
fisiologis adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak
mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan
atau mempunyai potensi menjadi kernicterus dan tidak menyebabkan suatu
morbiditas pada bayi. Ikterus patologis ialah ikterus yang mempunyai dasar
patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut
hiperbilirubinemia.2

Ikterus Fisiologis
Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat
adalah sebesar 1-3 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5
mg/dl/24 jam; dengan demikian ikterus baru terlihat pada hari ke 2-3, biasanya
mencapai puncaknya antara hari ke 2-4, dengan kadar 5-6 mg/dl untuk selanjutnya
menurun sampai kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl antara lain ke 5-7 kehidupan.
Ikterus akibat perubahan ini dinamakan ikterus “fisiologis” dan diduga sebagai
akibat hancurnya sel darah merah janin yang disertai pembatasan sementara pada
konjugasi dan ekskresi bilirubin oleh hati.
Diantara bayi-bayi prematur, kenaikan bilirubin serum cenderung sama
atau sedikit lebih lambat daripada pada bayi aterm, tetapi berlangsung lebih lama,
pada umumnya mengakibatkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai antara
hari ke 4-7, pola yang akan diperlihatkan bergantung pada waktu yang diperlukan
oleh bayi preterm mencapai pematangan mekanisme metabolisme ekskresi

3
bilirubin. Kadar puncak sebesar 8-12 mg/dl tidak dicapai sebelum hari ke 5-7 dan
kadang-kadang ikterus ditemukan setelah hari ke-10.
Diagnosis ikterus fisiologik pada bayi aterm atau preterm, dapat
ditegakkan dengan menyingkirkan penyebab ikterus berdasarkan anamnesis dan
penemuan klinik dan laboratorium. Pada umumnya untuk menentukan penyebab
ikterus jika:
1. Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
2. Bilirubin serum meningkat dengan kecepatan lebih besar dari 5 mg/dl/24 jam.
3. Kadar bilirubin serum lebih besar dari 12 mg/dl pada bayi aterm dan lebih
besar dari 14 mg/dl pada bayi preterm.
4. Ikterus persisten sampai melewati minggu pertama kehidupan, atau
5. Bilirubin direk lebih besar dari 1 mg/dl.

Ikterus Patologis
Ikterus patologis mungkin merupakan petunjuk penting untuk diagnosis
awal dari banyak penyakit neonatus. Ikterus patologis dalam 36 jam pertama
kehidupan biasanya disebabkan oleh kelebihan produksi bilirubin, karena klirens
bilirubin yang lambat jarang menyebabkan peningkatan konsentrasi diatas 10
mg/dl pada umur ini. Jadi, ikterus neonatorum dini biasanya disebabkan oleh
penyakit hemolitik.
Ada beberapa keadaan ikterus yang cenderung menjadi patologik:
1. Ikterus klinis terjadi pada 24 jam pertama kehidupan
2. Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5mg/dL atau lebih setiap 24 jam
3. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi
G6PD, atau sepsis)
4. Ikterus yang disertai oleh:
o Berat lahir <2000 gram
o Masa gestasi 36 minggu
o Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada neonates (SGNN)
o Infeksi
o Trauma lahir pada kepala

4
o Hipoglikemia, hiperkarbia
o Hiperosmolaritas darah
5. Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada NCB) atau >14
hari (pada NKB).3

Kernicterus
Bahaya hiperbilirubinemia adalah kernikterus, yaitu suatu kerusakan otak
akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum,
talamus, nukleus subtalamus hipokampus, nukleus merah dan nukleus di dasar
ventrikel IV. Secara klinis pada awalnya tidak jelas, dapat berupa mata berputar,
letargi, kejang, tak mau menghisap, malas minum, tonus otot meningkat, leher
kaku, dan opistotonus. Bila berlanjut dapat terjadi spasme otot, opistotonus,
kejang, atetosis yang disertai ketegangan otot. Dapat ditemukan ketulian pada
nada tinggi, gangguan bicara dan retardasi mental.

2.2 Metabolisme bilirubin


Untuk mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah ikterus pada
neonatus, perlu diketahui tentang metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus.
Perbedaan utama metabolisme adalah bahwa pada janin melalui plasenta dalam
bentuk bilirubin indirek.
Metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai berikut :
1. Produksi
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degradasi hemoglobin
pada sistem retikuloendotelial (RES). Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada
neonatus lebih tinggi dari pada bayi yang lebih tua. Satu gram hemoglobin dapat
menghasilkan 35 mg bilirubin indirek. Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang
bereaksi tidak langsung dengan zat warna diazo (reaksi hymans van den bergh),
yang bersifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak.1,2

2. Transportasi

5
Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin sel parenkim hepar
mempunyai cara yang selektif dan efektif mengambil bilirubin dari plasma.
Bilirubin ditransfer melalui membran sel ke dalam hepatosit sedangkan albumin
tidak. Didalam sel bilirubin akan terikat terutama pada ligandin , glutation S-
transferase B) dan sebagian kecil pada(protein glutation S-transferase lain dan
protein Z. Proses ini merupakan proses dua arah, tergantung dari konsentrasi dan
afinitas albumin dalam plasma dan ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar
bilirubin yang masuk hepatosit di konjugasi dan di ekskresi ke dalam empedu.
Dengan adanya sitosol hepar, ligadin mengikat bilirubin sedangkan albumin tidak
Pemberian fenobarbital mempertinggi konsentrasi ligadin dan memberi tempat
pengikatan yang lebih banyak untuk bilirubin.

3. Konjugasi
Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin
diglukosonide. Walaupun ada sebagian kecil dalam bentuk monoglukoronide.
Glukoronil transferase merubah bentuk monoglukoronide menjadi diglukoronide.
Pertama-tama yaitu uridin di fosfat glukoronide transferase (UDPG : T) yang
mengkatalisasi pembentukan bilirubin monoglukoronide.
Sintesis dan ekskresi diglokoronode terjadi di membran kanilikulus.
Isomer bilirubin yang dapat membentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural
IX dapat diekskresikan langsung kedalam empedu tanpa konjugasi. Misalnya
isomer yang terjadi sesudah terapi sinar (isomer foto).

4. Ekskresi
Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam
air dan di ekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Dalam usus
bilirubin direk ini tidak diabsorpsi; sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis
menjadi bilirubin indirek dan direabsorpsi. Siklus ini disebut siklus enterohepatis.
Pada neonatus karena aktivitas enzim B glukoronidase yang meningkat, bilirubin
direk banyak yang tidak dirubah menjadi urobilin. Jumlah bilirubin yang

6
terhidrolisa menjadi bilirubin indirek meningkat dan tereabsorpsi sehingga siklus
enterohepatis pun meningkat.

5. Metabolisme bilirubin pada janin dan neonates


Pada likuor amnion yang normal dapat ditemukan bilirubin pada
kehamilan 12 minggu, kemudian menghilang pada kehamilan 36-37 minggu. Pada
inkompatibilitas darah Rh, kadar bilirubin dalam cairan amnion dapat dipakai
untuk menduga beratnya hemolisis. Peningkatan bilirubin amnion juga terdapat
pada obstruksi usus fetus. Bagaimana bilirubin sampai ke likuor amnion belum
diketahui dengan jelas, tetapi kemungkinan besar melalui mukosa saluran nafas
dan saluran cerna. Produksi bilirubin pada fetus dan neonatus diduga sama
besarnya tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat
terbatas. Demikian pula kesanggupannya untuk mengkonjugasi. Dengan demikian
hampir semua bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah
melalui plasenta ke sirkulasi ibu dan diekskresi oleh hepar ibunya. Dalam keadaan
fisiologis tanpa gejala pada hampir semua neonatus dapat terjadi akumulasi
bilirubin indirek sampai 2 mg%. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan
fetus mengolah bilirubin berlanjut pada masa neonatus. Pada masa janin hal ini
diselesaikan oleh hepar ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini berakibat
penumpukan bilirubin dan disertai gejala ikterus. Pada bayi baru lahir karena
fungsi hepar belum matang atau bila terdapat gangguan dalam fungsi hepar akibat
hipoksia, asidosis atau bila terdapat kekurangan enzim glukoronil transferase atau
kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat meninggi.
Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada kadar albumin
dalam serum. Pada bayi kurang bulan biasanya kadar albuminnya rendah sehingga
dapat dimengerti bila kadar bilirubin indek yang bebas itu dapat meningkat dan
sangat berbahaya karena bilirubin indirek yang bebas inilah yang dapat melekat
pada sel otak. Inilah yang menjadi dasar pencegahan ‘kernicterus’ dengan
pemberian albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin indirek mencapai 20 mg%
pada umumnya kapasitas maksimal pengikatan bilirubin oleh neonatus yang
mempunyai kadar albumin normal telah tercapai.

7
2.3 Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum
dapat dibagi :
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada
hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah
lain, defisiensi enzim G-6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.

2. Gangguan dalam proses “uptake” dan konjugasi hepar


Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar,
akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil
transferase (sindrom criggler-Najjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein.
Protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke sel
hepar.
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar.
Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya
bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.

4. Gangguan dalam ekskresi


Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar.
Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi
dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

Ikterus yang berhubungan dengan pemberian air susu ibu.


Diperkirakan 1 dari setiap 200 bayi aterm, yang menyusu, memperlihatkan
peningkatan bilirubin tak terkonjugasi yang cukup berarti antara hari ke 4-7

8
kehidupan, mencapai konsentrasi maksimal sebesar 10-27 mg/dl, selama minggu
ke 3. Jika mereka terus disusui, hiperbilirubinemia secara berangsur-angsur akan
menurun dan kemudian akan menetap selama 3-10 minggu dengan kadar yang
lebih rendah. Jika mereka dihentikan menyusu, kadar bilirubin serum akan
menurun dengan cepat, biasanya kadar normal dicapai dalam beberapa hari.
Penghentian menyusu selama 2-4 hari, bilirubin serum akan menurun dengan
cepat, setelah itu mereka dapat menyusu kembali, tanpa disertai timbulnya
kembali hiperbilirubinemia dengan kadar tinggi, seperti sebelumnya. Bayi ini
tidak memperlihatkan tanda kesakitan lain dan kernikterus tidak pernah
dilaporkan. Susu yang berasal dari beberapa ibu mengandung 5 -diol dan asam
lemak rantai panjang,, 2-pregnan-3  tak-teresterifikasi, yang secara
kompetitif menghambat aktivitas konjugasi glukoronil transferase, pada kira-kira
70% bayi yang disusuinya. Pada ibu lainnya, susu yang mereka hasilkan
mengandung lipase yang mungkin bertanggung jawab atas terjadinya ikterus.
Sindroma ini harus dibedakan dari hubungan yang sering diakui, tetapi kurang
didokumentasikan, antara hiperbilirubinemia tak-terkonjugasi, yang diperberat
yang terdapat dalam minggu pertama kehidupan dan menyusu pada ibu.

2.4. Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila
terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur
eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya
peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan
kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang atau
pada keadaan proten Y dan protein Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi
dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan
peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar
(defisiensi enzim glukoranil transferase) atau bayi yang menderita gangguan

9
ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu
intra/ekstra hepatik.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang
bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini
memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat
menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut
kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan
pada susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin
indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak
ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung
pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar
daerah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat lahir rendah,
hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang terjadi
karena trauma atau infeksi.

2.5 Manifestasi Klinis


Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar matahari.
Bayi baru lahir (BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6
mg/dl atau 100 mikro mol/L (1 mg mg/dl = 17,1 mikro mol/L). salah satu cara
pemeriksaan derajat kuning pada BBL secara klinis, sederhana dan mudah adalah
dengan penilaian menurut Kramer (1969). Caranya dengan jari telunjuk
ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung,
dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning.
Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan
tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya.

10
Gejala utamanya adalah kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa.
Disamping itu dapat pula disertai dengan gejala-gejala:
1. Dehidrasi
-
Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntah-muntah)
2. Pucat
-
Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. Ketidakcocokan golongan
darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau kehilangan darah
ekstravaskular.
3. Trauma lahir
-
Bruising, sefalhematom (peradarahn kepala), perdarahan tertutup lainnya.
4. Pletorik (penumpukan darah)
-
Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh keterlambatan memotong tali
pusat, bayi KMK
5. Letargik dan gejala sepsis lainnya
6. Petekiae (bintik merah di kulit)
-
Sering dikaitkan dengan infeksi congenital, sepsis atau eritroblastosis
7. Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal)
-
Sering berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit
hati
8. Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa)
9. Omfalitis (peradangan umbilikus)
10. Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)
11. Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus koledokus)
12. Feses dempul disertai urin warna coklat
-
Pikirkan ke arah ikterus obstruktif, selanjutnya konsultasikan ke bagian
hepatologi.3

11
2.6. Diagnosis
Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu
dalam menegakkan diagnosis hiperbilirubinemia pada bayi. Termasuk dalam hal
ini anamnesis mengenai riwayat inkompatabilitas darah, riwayat transfusi tukar
atau terapi sinar pada bayi sebelumnya. Disamping itu faktor risiko kehamilan dan
persalinan juga berperan dalam diagnosis dini ikterus/hiperbilirubinemia pada
bayi. Faktor risiko tersebut antara lain adalah kehamilan dengan komplikasi,
persalinan dengan tindakan/komplikasi, obat yang diberikan pada ibu selama
hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes melitus, gawat janin, malnutrisi
intrauterin, infeksi intranatal, dan lain-lain.
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
beberapa hari kemudian. Ikterus yang tampak pun sangat tergantung kepada
penyebab ikterus itu sendiri. Pada bayi dengan peninggian bilirubin indirek, kulit
tampak berwarna kuning terang sampai jingga, sedangkan pada penderita dengan
gangguan obstruksi empedu warna kuning kulit terlihat agak kehijauan. Perbedaan
ini dapat terlihat pada penderita ikterus berat, tetapi hal ini kadang-kadang sulit
dipastikan secara klinis karena sangat dipengaruhi warna kulit. Penilaian akan
lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar. Selain kuning,
penderita sering hanya memperlihatkan gejala minimal misalnya tampak lemah
dan nafsu minum berkurang. Keadaan lain yang mungkin menyertai ikterus
adalah anemia, petekie, pembesaran lien dan hepar, perdarahan tertutup, gangguan
nafas, gangguan sirkulasi, atau gangguan syaraf. Keadaan tadi biasanya
ditemukan pada ikterus berat atau hiperbilirubinemia berat.
Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti yang penting pula dalam
diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus
mempunyai kaitan yang erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.
Ikterus yang timbul hari pertama sesudah lahir, kemungkinan besar disebabkan
oleh inkompatibilitas golongan darah (ABO, Rh atau golongan darah lain). Infeksi
intra uterin seperti rubela, penyakit sitomegali, toksoplasmosis, atau sepsis
bakterial dapat pula memperlihatkan ikterus pada hari pertama. Pada hari kedua
dan ketiga ikterus yang terjadi biasanya merupakan ikterus fisiologik, tetapi harus

12
pula dipikirkan penyebab lain seperti inkompatibilitas golongan darah, infeksi
kuman, polisitemia, hemolisis karena perdarahan tertutup, kelainan morfologi
eritrosit (misalnya sferositosis), sindrom gawat nafas, toksositosis obat, defisiensi
G-6-PD, dan lain-lain. Ikterus yang timbul pada hari ke 4 dan ke 5 mungkin
merupakan kuning karena ASI atau terjadi pada bayi yang menderita Gilbert, bayi
dari ibu penderita diabetes melitus, dan lain-lain. Selanjutnya ikterus setelah
minggu pertama biasanya terjadi pada atresia duktus koledokus, hepatitis
neonatal, stenosis pilorus, hipotiroidisme, galaktosemia, infeksi post natal, dan
lain-lain.

2.7. Diagnosis Banding


Ikterus yang terjadi pada saat lahir atau dalam waktu 24 jam pertama
kehidupan mungkin sebagai akibat eritroblastosis foetalis, sepsis, penyakit inklusi
sitomegalik, rubela atau toksoplasmosis kongenital. Ikterus pada bayi yang
mendapatkan tranfusi selama dalam uterus, mungkin ditandai oleh proporsi
bilirubin bereaksi-langsung yang luar biasa tingginya. Ikterus yang baru timbul
pada hari ke 2 atau hari ke 3, biasanya bersifat “fisiologik”, tetapi dapat pula
merupakan manifestasi ikterus yang lebih parah yang dinamakan
hiperbilirubinemia neonatus. Ikterus nonhemolitik familial (sindroma Criggler-
Najjar) pada permulaannya juga terlihat pada hari ke-2 atau hari ke-3. Ikterus
yang timbul setelah hari ke 3, dan dalam minggu pertama, harus dipikirkan
kemungkinan septikemia sebagai penyebabnya; keadaan ini dapat disebabkan oleh
infeksi-infeksi lain terutama sifilis, toksoplasmosis dan penyakit inklusi
sitomegalik. Ikterus yang timbul sekunder akibat ekimosis atau hematoma
ekstensif dapat terjadi selama hari pertama kelahiran atau sesudahnya, terutama
pada bayi prematur. Polisitemia dapat menimbulkan ikterus dini.
Ikterus yang permulaannya ditemukan setelah minggu pertama kehidupan,
memberi petunjuk adanya, septikemia, atresia kongenital saluran empedu,
hepatitis serum homolog, rubela, hepatitis herpetika, pelebaran idiopatik duktus
koledoskus, galaktosemia, anemia hemolitik kongenital (sferositosis) atau
mungkin krisis anemia hemolitik lain, seperti defisiensi enzim piruvat kinase dan

13
enzim glikolitik lain, talasemia, penyakit sel sabit, anemia non-sperosit herediter),
atau anemia hemolitik yang disebabkan oleh obat-obatan (seperti pada defisiensi
kongenital enzim-enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase, glutation sintetase,
glutation reduktase atau glutation peroksidase) atau akibat terpapar oleh bahan-
bahan lain.
Ikterus persisten selama bulan pertama kehidupan, memberi petunjuk
adanya apa yang dinamakan “inspissated bile syndrome” (yang terjadi menyertai
penyakit hemolitik pada bayi neonatus), hepatitis, penyakit inklusi sitomegalik,
sifilis, toksoplasmosis, ikterus nonhemolitik familial, atresia kongenital saluran
empedu, pelebaran idiopatik duktus koledoskus atau galaktosemia. Ikterus ini
dapat dihubungkan dengan nutrisi perenteral total. Kadang-kadang ikterus
fisiologik dapat berlangsung berkepanjangan sampai beberapa minggu, seperti
pada bayi yang menderita penyakit hipotiroidisme atau stenosis pilorus.
Tanpa mempersoalkan usia kehamilan atau saat timbulnya ikterus,
hiperbilirubinemia yang cukup berarti memerlukan penilaian diagnostik yang
lengkap, yang mencakup penentuan fraksi bilirubin langsung (direk) dan tidak
langsung (indirek) hemoglobin, hitung leukosit, golongan darah, tes Coombs dan
pemeriksaan sediaan apus darah tepi. Bilirubinemia indirek, retikulositosis dan
sediaan apus yang memperlihatkan bukti adanya penghancuran eritrosit, memberi
petunjuk adanya hemolisis; bila tidak terdapat ketidakcocokan golongan darah,
maka harus dipertimbangkan kemungkinan adanya hemolisis akibat
nonimunologik. Jika terdapat hiperbilirubinemia direk, adanya hepatitis, kelainan
metabolisme bawaan, fibrosis kistik dan sepsis, harus dipikirkan sebagai suatu
kemungkinan diagnosis. Jika hitung retikulosit, tes Coombs dan bilirubin direk
normal, maka mungkin terdapat hiperbilirubinemia indirek fisiologik atau
patologik.

14
2.8. Penatalaksanaan
I. Pendekatan menentukan kemungkinan penyebab
Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan membutuhkan
pemeriksaan yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan
khusus untuk dapat memperkirakan penyebabnya. Pendekatan yang dapat
memenuhi kebutuhan itu yaitu menggunakan saat timbulnya ikterus seperti yang
dikemukakan oleh Harper dan Yoon 1974, yaitu :
A. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama
Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya
kemungkinan dapat disusun sebagai berikut :
- Inkompatibilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
- Infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang-kadang bakteri).
- Kadang-kadang oleh defisiensi G-6-PD.

Pemeriksaan yang perlu diperhatikan yaitu :


 Kadar bilirubin serum berkala
 Darah tepi lengkap
 Golongan darah ibu dan bayi
 Uji coombs
 Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G-6-PD, biakan darah atau biopsi
hepar bila perlu.

B. Ikterus yang timbul 24- 72 jam sesudah lahir


 Biasanya ikterus fisiologis
 Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh atau golongan
lain. Hal ini dapat diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya
melebihi 5 mg%/24 jam.
 Defisiensi enzim G-6-PD juga mungkin
 Polisitemia

15
 Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis, perdarahan hepar
subkapsuler dan lain-lain).
 Hipoksia.
 Sferositosis, eliptositosis dan lain-lain.
 Dehidrasi asidosis.
 Defisiensi enzim eritrosit lainnya.

Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah bila keadaan bayi baik dan
peningkatan ikterus tidak cepat, dapat dilakukan pemeriksaan daerah tepi,
pemeriksaan kadar bilirubin berkala, pemeriksaan penyaring enzim G-6-PD dan
pemeriksaan lainnya bila perlu.

C. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama
- Biasanya karena infeksi (sepsis).
- Dehidrasi asidosis.
- Difisiensi enzim G-6-PD.
- Pengaruh obat.
- Sindrom Criggler-Najjar.
- Sindrom Gilbert.

D. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya


- Biasanya karena obstruksi.
- Hipotiroidisme.
- “breast milk jaundice”
- Infeksi.
- Neonatal hepatitis.
- Galaktosemia.
- Lain-lain.

Pemeriksaan yang perlu dilakukan :


- Pemeriksaan bilirubin (direk dan indirek) berkala.

16
- Pemeriksaan darah tepi.
- Pemeriksaan penyaring G-6-PD.
- Biakan darah, biopsi hepar bila ada indikasi.
- Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab.

Penyinaran dapat dilakukan dengan:


1. Pertimbangkan terapi sinar pada:
- NCB (neonatus cukup bulan) – SMK (sesuai masa kehamilan) sehat :
kadar bilirubin total > 12 mg/dL
- NKB (neonatus kurang bulan) sehat : kadar bilirubin total > 10 mg/dL
2. Pertimbangkan tranfusi tukar bila kadar bilirubin indirek > 20 mg/dL
3. Terapi sinar intensif
-
Terapi sinar intensif dianggap berhasil, bila setelah ujian penyinaran kadar
bilirubin minimal turun 1 mg/dL.2

Dapat diambil kesimpulan bahwa ikterus baru dapat dikatakan fisiologis


sesudah observasi dan pemeriksaan selanjutnya tidak menunjukkan dasar
patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi ‘kernicterus’. Ikterus
yang kemungkinan besar menjadi patologis yaitu :
1. Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama.
2. Ikterus dengan kadar bilirubin melebihi 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan
dan 10 mg% pada neonatus kurang bulan.
3. Ikterus dengan peningkatan bilirubin-lebih dari 5 mg%/hari.
4. Ikterus yang menetap sesudah 2 minggu pertama.
5. Ikterus yang mempunyai hubungan dengan proses hemolitik, infeksi atau
keadaan patologis lain yang telah diketahui.
6. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.

II. Pencegahan
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan :
1. Pengawasan antenatal yang baik.

17
2. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi pada masa
kehamilan dan kelahiran, misalnya sulfafurazole, novobiosin, oksitosin dan
lain-lain.
3. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus.
4. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus.
5. Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir.
6. Pemberian makanan yang dini.
7. Pencegahan infeksi.

III. Mengatasi hiperbilirubinemia


Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital.
Obat ini bekerja sebagai ‘enzyme inducer’ sehingga konjugasi dapat dipercepat.
Pengobatan dengan cara ini tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48 jam
baru terjadi penurunan bilirubin yang berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila
diberikan pada ibu kira-kira 2 hari sebelum melahirkan.
Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi.
Contohnya yaitu pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas.
Albumin dapat diganti dengan plasma dengan dosis 15-20 ml/kgBB. Albumin
biasanya diberikan sebelum tranfusi tukar dikerjakan oleh karena albumin akan
mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga
bilirubin yang diikatnya lebih mudah dikeluarkan dengan tranfusi tukar.
Pemberian glukosa perlu untuk konjugasi hepar sebagai sumber energi.
Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi. Walaupun fototerapi
dapat menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak dapat
menggantikan tranfusi tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat
digunakan untuk pra dan pasca-tranfusi tukar.

Tranfusi tukar
Pada umumnya tranfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut :
 Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek 20 mg%
 Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat, yaitu 0,3-1 mg%/jam.

18
 Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung.
 Bayi dengan kadar hemoglobin talipusat < 14 mg% dan uji Coombs direk
positif.
Sesudah tranfusi tukar harus diberi fototerapi. Bila terdapat keadaan
seperti asfiksia perinatal, distres pernafasan, asidosis metabolik, hipotermia, kadar
protein serum kurang atau sama dengan 5 g%, berat badan lahir kurang dari 1.500
gr dan tanda-tanda gangguan susunan saraf pusat, penderita harus diobati seperti
pada kadar bilirubin yang lebih tinggi berikutnya.

IV. Pengobatan umum


Bila mungkin pengobatan terhadap etiologi atau faktor penyebab dan
perawatan yang baik. Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu pemberian makanan
yang dini dengan cairan dan kalori cukup dan iluminasi kamar bersalin dan
bangsal bayi yang baik.

V. Tindak lanjut
Bahaya hiperbilirubinemia yaitu ‘kernicterus’. Oleh karena itu terhadap
bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak lanjut sebagai
berikut :
1. Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan
2. Penilaian berkala pendengaran
3. Fisioterapi dan rehabilitasi bila terdapat gejala sisa

2.9. Prognosis
Hiperbilirubinemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek
telah melalui sawar darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin menderita
kernikterus atau ensefalopati biliaris. Gejala ensefalopati biliaris ini dapat segera
terlihat pada masa neonatus atau baru tampak setelah beberapa lama kemudian.
Pada masa neonatus gejala mungkin sangat ringan dan hanya memperlihatkan
gangguan minum, latergi dan hipotonia. Selanjutnya bayi mungkin kejang, spastik
dan ditemukan epistotonus. Pada stadium lanjut mungkin didapatkan adanya

19
atetosis disertai gangguan pendengaran dan retardasi mental di hari kemudian.
Dengan memperhatikan hal di atas, maka sebaiknya pada semua penderita
hiperbilirubinemia dilakukan pemeriksaan berkala, baik dalam hal pertumbuhan
fisis dan motorik, ataupun perkembangan mental serta ketajaman
pendengarannya.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonymous, Ikterus pada Anak, available at: http://medlinux.blogspot.com/


2007/09/ikterus-pada-anak.html.
2. Buku anak
3. Drakeiron, Info Ikterus Neonatorum, available at: http://drakeiron.
wordpress.com/2008/12/03/info-ikterus-neonatorum/.
4. Klik Dokter, Ikterus Neonatorum, available at: http://www.klikdokter.com/
illness/detail/212.
5. Glaser, K.L., Jaundice and Hyperbilirubinemia in the Newborn, available at:
http://www.medstudents.com.br/pedia/pedia3.html.

21

Anda mungkin juga menyukai