Anda di halaman 1dari 15

Diagnosis Okupasi terkait Penyakit Infeksi Hepatitis B pada Tenaga Kesehatan

Maria Agustina Dee


102013075
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jln. Arjuna Utara no.6 Jakarta Barat
email : deemaria195@gmail.com

Pendahuluan
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B
(HBV) yang dapa menyebabkan peradangan hati akut atau menahun yang pada
sebagian kecil kasus dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Hepatitis B
dapat ditularkan secara vertikal maupun secara horisontal. Secara vertikal yaitu dari
ibu yang menderita Hepatitis B kepada bayi yang dilahirkan yaitu pada saat persalinan
atau sebelum persalinan. Sementara itu, secara horisontal dapat terjadi akibat terpajan
dengan darah, semen, cairan otak, dan saliva penderita yang terinfeksi.1 Oleh karena
penularan Hepatitis B melalui cairan tubuh dan produk darah penderita, maka
beberapa pekerjaan memiliki risiko besar untuk tertular Hepatitis B. Pekerjaan yang
dimaksudkan antara lain perawat (di RS maupun di luar RS), tenaga laboratorium,
tenaga kebersihan RS, dokter dan dokter gigi (di RS maupun di luar RS), perawat
gigi, tenaga medis bagian gawat darurat, dan pekerja pengolah limbah.1
Hepatitis menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting tidak hanya di
Indonesia tetapi juga diseluruh Dunia. Penyakit ini menduduki peringkat ketiga
diantara semua penyakit menular yang dapat dilaporkan di Amerika Serikat (hanya
dibawah penyakit kelamin dan cacar air dan merupakan penyakit epidemi di
kebanyakan negara-negara. Sekitar 60.000 kasus telah dilaporkan ke Center for
Disease Control di Amerika Serikat setiap tahun, tetapi jumlah yang sebenarnya dari
penyakit ini diduga beberapa kali lebih banyak. Walaupun mortalitas akibat hepatitis
virus ini rendah, tetapi penyakit ini sering dikaitkan dengan angka morbiditas dan
kerugian ekonomi yang besar.1

Pembahasan
Penyakit Akibat Kerja
Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang timbul akibat terpajan faktor fisik,
kimiawi, biologis, atau psikososial di tempat kerja. Faktor tersebut di dalam

1
lingkungan kerja merupakan penyebab yang pokok dan menentukan terjadinya
penyakit akibat kerja, misalnya terpajan timah hitam di tempat kerja merupakan faktor
utama terjadinya keracunan timah hitam. Namun, perlu diketahui bahwa faktor lain
serperti kerentanan individual dapat berperan berbeda-beda terhadap pekermbangan
penyakit di antara para pekerja yang terpajan. Pada akhirnya, penyakit akibat kerja
memiliki penyebab spesifik.2
Penyakit akibat kerja menurut Keppres No 22 Tahun 1993 antara lain:
pnemokoniosis yang disebabkan debu mineral pembentuk jaringan parut (silikosis,
antrakosilikosis, asbestosis) dan silikotuberkulosis yang silikosisnya merupakan
faktor utama penyebab cacat atau kematian, penyakit paru dan saluran pernapasan
(bronkopulmoner) yang disebabkan oleh debu logam keras, penyakit paru dan saluran
pernapasan (bronkopulmoner) yang disebabkan oleh debu kapas; vlas; henep; dan
sisal (bisinosis). Asma akibat kerja yang disebabkan oleh penyebab sentisisasi dan zat
perangsang yang dikenal yang berada dalam proses pekerjaan, alveloliis allergika
yang disebabkan oleh faktor luar sebagai akibat penghirupan debu organik, dan
sebagainya.2

Penyakit yang Berhubungan dengan Pekerjaan3


WHO menggolongkan penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan bersifat
“multifaktorial”. Penyakit ini adalah penyakit dengan faktor tempat kerja yang dapat
dikaitkan sebagai penyebab timbulnya penyakit namun tidak merupakan faktor resiko
setiap kasus. Penyakit ini sering ditemukan di masyarakat umum. Penyakit
berhubungan dengan pekerjaan semacam itu antara lain tekanan darah tinggi, penyakit
jantung koroner, penyakit psikosomatik, kelainan muskuloskeletal, penyakit
pernapasan kronis tidak spesifk/bronquitis kronik. Pada penyakit ini, pekerjaan dapat
merupakan penyebab atau bisa memperberat kondisi penyakit yang telah ada.3
Identifikasi Penyakit Akibat Kerja
Untuk dapat mendiagnosis Penyakit Akibat Kerja pada individu perlu
dilakukan suatu pendekatan sistematis untuk mendapatkan informasi yang diperlukan
dan menginterpretasinya secara tepat. Berupa pendekatan epidemiologis yang
mencakup identifikasi hubungan kausal antara pajanan dan penyakit. Kemuadian
pendekatan klinis, pendekatan tersebut dapat disusun menjadi 7 langkah yang dapat
digunakan sebagai pedoman. 7 langkah tersebut meliputi: diganosis klinis, pajanan
yang dialami, hubungan pajanan dengan penyakit, pajanan yang dialami cukup besar,
peranan faktor individu, peranan faktor lain di luar pekerjaan, dan terakhir adalah

2
diagosis okupasi (penyakit akibat kerja/PAK, bukan PAK, diperberat pekerjaan, atau
butuh informasi lebih lanjut).2,3
Diagnosis Klinis
Dalam hal ini seorang dokter menentukan diagnosis klinis yang ditegakan
dengan cara melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik terkait dan pemeriksaan
penunjang yang diperlukan.4
1. Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan dapat berupa autoanamnesis maupun
alloanamnesis dimana dengan anamnesis 80% seorang dokter dapat menegakan
diagnosis. Pertanyaan mencakup identitas pasien, keluhan utama, keluhan penyerta,
riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga,
riwayat penggunaan obat, riwayat sosial, faktor resiko mencakup riwayat pekerjaan.
Identitas pasien penting ditanyakan secara lengkap dari nama, usia, jenis kelamin,
alamat, suku bangsa, agama, status perkawinan, pendidikan terakhir, dan pekerjaan.4
Pada kasus diketahui pasien adalah perempuan berusia 25 tahun yang bekerja
sebagai perawat RS (bagian IGD). Pasien telah bekerja selama 3 tahun dengan jam
kerja yaitu 8 jam/hari.
Keluhan utama adalah alasan utama yang menyebabkan pasien memeriksakan
diri atau dibawa keluarganya ke dokter atau rumah sakit. Keluhan utama merupakan
titik tolak penelusuran informasi mengenai penyakit yang diderita pasien. Riwayat
penyakit sekarang adalah perjalanan penyakit sangat penting diketahui. Ditentukan
kapan dimulainya perjalanan penyakit yang dimulai dari kapan saat terakhir pasien
merasa sehat.4
Berdasarkan pada kasus, tanyakan: apakah ada nyeri perut kanan atas, mual
dan muntah, air seni seperti teh, mata kuning, riwayat kontak penyakit kuning
(keluarga, lingkungan), riwayat sakit serupa, riwayat obat-obatan, riwayat
alkoholisme, riwayat minum jamu, riwayat suntik ataupun tertusuk jarum suntik, dan
riwayat transfusi. Pasien dalam kasus datang dengan keluhan lemas yang dirasakan
sejak 5 hari yang lalu. Keluhan disertai dengan nafsu makan yang berkurang, mual
dan kembung sejak 2 minggu sebelumnya. Pasien juga mengungkapkan bahwa warna
air seninya kecoklatan seperti teh. Pasien sudah meminum obat antacid tapi belum ada
perubahan. Didalam keluarga tidak ada yang mempunyai penyakit serupa. Pasien
tidak merasa pernah mengalami kecelakaan seperti tertusuk jarum suntik. Kontak
dengan penderita Hepatits B mungkin saja terjadi karena pasien bekerja di RS.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien adalah pemeriksaan keadaan
umum, kesadaran, sclera dan konjungtiva, tanda-tanda vital yang meliputi tekanan
3
darah, frekuensi napas, suhu, dan nadi, juga melakukan pemeriksaan rongga abdomen
berupa inspeksi, palpasi, dan auskultasi.5
Pada pemeriksaan fisik didapati :
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 120/75 mmHg, frekuensi nadi 70x/menit, pernapasan 22x/menit,
suhu 37,8⁰C, konjungtiva tidak anemis, sklera ikterik di kedua mata, hepar teraba satu
jari di bawah arcus costa, lien tidak teraba dan akral tidak dingin. Pemerikasaan fisik
lainnya dalam batas normal.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk penyakit akibat kerja dapat dibagi menjadi
pemeriksaan laboratorium umum dan khusus. Pemeriksaan laboratorium umum
adalah: pemeriksaan lab rutin (misalnya pemeriksaan darah rutin, urin rutin, foto
rontgen toraks, EKG) dan pemeriksaan labarotorium non spesifik akibat pemajanan
misalnya: pemeriksaan fungsi hati sebagai indikasi pajanan terhadap zat hepatotoksik.
Pemeriksaan laboratorium khusus meliputi pemeriksaan laboratorium spesifik akibat
pajanan, tes untuk suatu kelainan genetika dapat dilakukan dengan tes sensitivitas,
perubahan kromosom.4,5
Pemeriksaan serologi
1. HBsAg
Diagnosis infeksi hepatitis B terutama dengan mendeteksi hepatitis B surface
antigen (HBsAg) dalam darah. Kehadiran HBsAg berarti bahwa ada infeksi virus
hepatitis B aktif. Menyusul suatu paparan pada virus hepatitis B, HBsAg menjadi
terdeteksi dalam darah dalam waktu empat minggu. Pada individu-individu yang
sembuh dari infeksi virus hepatitis B akut, eliminasi atau pembersihan dari HBsAg
terjadi dalam waktu empat bulan setelah timbulnya gejala-gejala.Infeksi virus.
Hepatitis B kronis didefinisikan sebagai HBsAg yang menetap lebih dari 6 bulan.5

1. Anti-HBs
Setelah HBsAg dieliminasi dari tubuh, antibodi-antibodi terhadap HBsAg
(anti-HBs) biasanya timbul. Anti-HBs ini menyediakan kekebalan pada infeksi virus
hepatitis B yang berikutnya. Sama seperti individu-individu yang telah berhasil
divaksinasi terhadap virus hepatitis B mempunyai anti-HBs yang dapat diukur dalam
darah.5
2. Anti-HBc

4
HBc hanya dapat ditemukan dalam hati dan tidak dapat terdeteksi dalam
darah. Kehadiran dari jumlah-jumlah yang besar dari hepatitis B core antigen dalam
hati mengindikasikan suatu reproduksi virus yang sedang berlangsung. Ini berarti
bahwa virus aktif. Antibodi terhadap hepatitis B core antigen, dikenal sebagai
antibody hepatitis B core (anti-HBc) yang terdeteksi dalam darah ada dua macam
yakni IgM dan IgG.5
3. HBeAg, anti-HBe
HBeAg dan antibodi-antibodinya, anti-HBe, adalah penanda-penanda
(markers) yang bermanfaat untuk menentukan kemungkinan penularan virus oleh
seseorang yang menderita infeksi virus hepatitis B kronis. Mendeteksi keduanya
HBeAg dan anti-HBe dalam darah biasanya adalah eksklusif satu sama lain. Sesuai
dengan itu, kehadiran HBeAg berarti aktivitas virus yang sedang berlangsung dan
kemampuan menularkan pada yang lainnya, sedangkan kehadiran anti HBe
menandakan keadaan yang lebih tidak aktif dari virus dan risiko penularan yang lebih
kecil.4,5
4. HBV DNA
Penanda yang paling spesifik dari replikasi dan aktivitas virus hepatitis B.
Metode yang digunakan adalah PCR. Tujuan mengukur hepatitis B virus DNA
biasanya adalah untuk menentukan apakah infeksi virus hepatitis B aktif atau tidak
aktif (diam). Perbedaan ini dapat dibuat berdasarkan jumlah hepatitis B virus DNA
dalam darah. Tingkat-tingkat yang tinggi dari DNA mengindikasikan suatu infeksi
yang aktif, dimana tingkat-tingkat yang rendah mengindikasikan suatu infeksi yang
tidak aktif (tidur).5

Tabel 1. Virologi Hepatitis B

HBsAg Anti- Anti- IgM anti HBeAg HBV-


HBs HBc HBc DNA
Hep B Akut + - + + + +
Hep B + - + - +/- +
Kronis
Carrier + - + - - -

5
Vaksinasi - + - - - -
Sembuh - + + - - -

4. Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis yang didapatkan yaitu pasien menderita Hepatitis B. Hepatitis
B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B (HBV) yang
dapat menyebabkan peradangan hati akut atau menahun yang pada sebagian kecil
kasus dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Hepatitis B dapat
ditularkan secara vertikal maupun secara horisontal. Secara vertikal yaitu dari ibu
yang menderita Hepatitis B kepada bayi yang dilahirkan yaitu pada saat persalinan
atau sebelum persalinan. Sementara itu, secara horisontal dapat terjadi akibat terpajan
dengan darah, semen, cairan otak, dan saliva penderita yang terinfeksi. Sebelum
timbulnya ikterus biasanya gambaran klinisnya ditandai dengan suatu masa
prodormal, seperti malaise, anoreksia, dan sering gejala gastroinstestinalis disertai
nyeri perut atas. Pemeriksaan laboratorium menunjukan hiperbilirubinemia, kenaikan
kadar transaminase serum. Pada tes serologis didapatkan HBsAg (+).1
Diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya antigen dan atau antibodi spesifik
pada serum. Ada tiga bentuk sistem antigen-antibodi yang sangat bermanfaat secara
klinis yang ditemukan pada infeksi hepatitis B yaitu :1
1. Antigen permukaan hepatitis B (HBsAg) dan antibodi terhadap HbsAg
(antiHBs).
2. Antigen core hepatitis B (HBcAg) dan antibodi terhadap HBcAg (anti-HBc)
3. Antigen e hepatitis B (HBeAg) dan antibodi terhadap HBeAg (anti-HBe)
HBsAg muncul dalam serum selama infeksi akut dan tetap ditemukan selama
infeksi kronis. Ditemukannya HBsAg dalam darah menunjukkan bahwa orang
tersebut potensial untuk menularkan. Ditemukannya HBeAg artinya orang tersebut
sangat menular.1,3
Oleh karena penularan Hepatitis B melalui cairan tubuh dan produk darah
penderita, maka beberapa pekerjaan memiliki risiko besar untuk tertular Hepatitis B.
Pekerjaan yang dimaksudkan antara lain perawat (di RS maupun di luar RS), tenaga
laboratorium, tenaga kebersihan RS, dokter dan dokter gigi (di RS maupun di luar
RS), perawat gigi, tenaga medis bagian gawat darurat, dan pekerja pengolah limbah.2

Diagnosis Banding

6
1. Hepatitis A
Virus hepatitis A (HAV) terdiri dari RNA berbentuk bulat tidak berselubung
berukuran 27 nm. Ditularkan melalui jalur fekal oral, sanitasi yang jelek, kontak
antara manusia, dibawah oleh air dan makanan. Masa inkubasinya 15–45 hari dengan
rata–rata 30 hari. Infeksi ini mudah terjadi didalam lingkungan dengan higiene dan
sanitasi yang buruk dengan penduduk yang sangat padat.1
2. Hepatitis C (HCV)
Virus hepatitis C (HCV) merupakan virus RNA kecil, terbungkus lemak
yang,diameternya 30–60 nm. Ditularkan melalui jalur parenteral dan kemungkinan
juga disebabkan juga oleh kontak seksual. Masa inkubasi virus ini 15–60 hari dengan
rata-rata 50 hari. Faktor resiko hampir sama dengan hepetitis B.1
3. Hepatitis D (HDV)
Virus hepatitis B (HDV) merupakan virus RNA berukuran 35 nm.
Penularannya terutama melalui serum dan menyerang orang yang memiliki kebiasaan
memakai obat terlarang dan penderita hemovilia. Masa inkubasi dari virus ini 30-60
hari dengan rata – rata 35 hari. Faktor resiko hepatitis D hampir sama dengan hepatitis
B.1
4. Hepattitis E (HEV)
Virus hepatitis E (HEV) merupakan virus RNA kecil yang diameternya 32-
36nm. Penularan virus ini melalui jalur fekal-oral, kontak antara manusia
dimungkinkan meskipun resikonya rendah. Masa inkubasi 15–60 hari dengan rata–
rata 40 hari. Faktor resiko perjalanan kenegara dengan insiden tinggi hepatitis E dan
makan–makanan, minum–minuman yang terkontaminasi.1

7
Pajanan yang Dialami
Pengetahuan mengenai pajanan yang dialami oleh seorang tenaga kerja adalah
esensial untuk dapat menghubungkan suatu penyakit dengan pekerjaannya. Untuk ini
perlu dilakukan anamnesis mengenai riwayat pekerjaannya secara cermat dan teliti,
yang mencakup penjelasan mengenai semua pekerjaan yang telah dilakukan oleh
penderita secara kronologis, lama menekuni pekerjaan tersebut, bahan yang
diproduksi, materi (bahan baku) yang digunakan, jumlah pajanannya, pemakaian alat
perlindungan diri, pola waktu terjadinya gejala, informasi mengenai tenaga kerja lain
(apakah ada yang mengalami gejala serupa), informasi tertulis yang ada mengenai
bahan-bahan yang digunakan (Material Safety Data Sheet/MSDS), label, dan
sebagainya.3
Pada umunya, pajanan bisa didapat dari lingkungan terdiri dari 5 golongan,
yaitu golongan fisik, golongan kimiawi, golongan biologis, golongan fisiologis, dan
golongan psikososial. Golongan fisik meliputi: suara (bising), radiasi, suhu
(panas/dingin), tekanan yang sangat tinggi, vibrasi, penerangan lampu yang kurang
baik. Golongan kimiawi meliputi bahan kimiawi yang digunakan dalam proses
kerja,maupun yang terdapat dalam lingkungan kerja, dapat berbentuk debu, uap, gas,
larutan, awan atau kabut. Golongan biologis seperti bakteri, virus atau jamur (infeksi).
Golongan fisiologis biasanya disebabkan oleh penataan tempat kerja dan cara kerja.
Golongan psikososial meliputi lingkungan kerja yang mengakibatkan stress.3
Dari kasus pekerjaan pasien adalah sebagai perawat di sebuah RS, terkhusus di
bagian IGD. Pasien telah bekerja selama 3 tahun dengan jam kerja yaitu 8 jam/hari.
Sehari-harinya pasien menangani banyak pasien dengan berbagai keluhan dan

8
penyakit. Orang-orang yang bekerja di Rumah Sakit dapat terpajan kelima kategori
pajanan. Pada kategori fisik, orang yang bekerja di RS dapat terpapar panas seperti
saat berada di dalam terowongan bawah tanah untuk pemasangan pipa kabel rumah
sakit, atau mereka yang bekerja di bagian binatu dan dapur. Kebisingan mungkin
sangat tinggi di bengkel rumah sakit. Selain itu, perlu diperhatikan juga bahwa
timbulnya tinitus dan efek pendengaran dapat terjadi pada mereka yang tetapar
ultrasound pada pemecahan batu ginjal. Pajanan terhada sinar-X dan radio isotop di
bagian rotgen, klinik gigi, farmasi, dan laboratorium juga perlu di perhatikan. Laser
juga merupakan pajanan yang dapat menyebabkan kerusakan mata jika tidak
digunakan sebagaimana mestinya.6
Dari kategori kimia, pekerja dapat terpapar xylen yang merupakan pelarut
tersering dipakai di bagian binatu rumah sakit. Pajanan terhadap formaldehid di kamar
mayat dan glutaraldehid di runag endoskopi dapat menimbulkan masalah pernapasan
dan kulit. Pajanan terhadap merkuri di klinik gigi dan perbaikan tensimeter dapat
meningkatkan kadar merkuri di udara dan dapat menigkatkan kadar merkuri urin pada
orang yang terpajan. Obat sitotoksik dan bahan farmasi lain memerlukan prosedur
penangan yang baik untuk menghindari pemajanan yang tidak perlu pada staf apotek
dan perawat.6
Pajanan biologik adalah yang pajanan yang paling sering menyebabkan PAK.
Pajanan biologik yang paling sering adalah mikroorganisme yang dapat menyebabkan
tuberkulosis, hepatitis B, HIV, dan meningitis meningokokus. Pekerja layanan
kesehatan yang mempunyi risiko berkontak secara teratur dengan darah dan cairan
tubuh harus dianjurkan untuk mendapatkan immuniasi hepatits B, sebab mereka
termasuk dalam kelompok rawan. Kelompok rawan yang dimakasud contohnya
adalah: dokter bedah, perawat, dan pekerja pendukung pada tindakan invasif, pekerja
laboratorium, pekerja pada ruangan cacat mental, dan ambulans.6
Hubungan Pajanan dengan Penyakit
Dalam hal ini kita menentukan apakah pajanan-pajanan yang dalam
pekerjaannya memang dapat menyebabkan penyakit tersebut. Mulai dari pajanan
fisik, kimia, biologi, ergonomic/fisiologis, hingga psikososial. Dilihat pada hasil
anamnesis pajanan yang bisa saja menyebabkan pasien mengeluhkan lemas dan
demam, serta dari hasil pemeriksaan fisik dan penunjang, adalah faktor pajanan
biologis. Orang yang bekerja di fasilitas kesehatan memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami infeksi mikroorganisme dibandingkan mereka yang bekerja di luar
fasilitas kesehatan.7

9
Di Amerika Serikat, penularan lewat jarum suntik akibat kecelakaan kerja di
sarana kesehatan, masih menjadi penyebab tersering timbulnya kasus Hepatitis B.
Jumlah infeksi HBV akibat cedera per tahun adalah 56-96 untuk profesi perawat yang
bekerja di RS dan 23-91 untuk mereka yang berprofesi sebagai tenaga kebersihan di
RS. Sementara itu angka yang lebih kecil dialami oleh mereka yang berprofesi
sebagai tenaga laboratorium, dokter, dokter gigi, dan pekerja pengolahan limbah
RS.1,2
Berdasarkan hasil penelitian di Jepang ditemukan bahwa, pekerja di sarana
kesehatan, terutama mereka yang sering melakukan tindakan-tindakan invasif atau
terpapar dengan darah atau cairan tubuh, memiliki risiko hingga 3% untuk mengalami
infeksi Hepatitis B.2 Resiko transmisi HBV lewat jarum suntik kira-kira mencapai
angka 30%.9 Hal ini terkait cara penularan Hepatits B yang dapat melalui darah
maupun cairan tubuh dari penderita Hepatits B.1
Besarnya Jumlah Pajanan
Jika penyakit yang diderita hanya dapat terjadi pada keadaan pajanan tertentu,
maka pajanan yang dialami pasien di tempat kerja menjadi penting untuk diteliti lebih
lanjut dan membandingkannya dengan kepustakaan yang ada untuk dapat menentukan
diagnosis penyakit akibat kerja. Perlu diketahui patofisiologi dari penyakit dan bukti
epidemiologi yang terkait. Dapat dengan kualitatif dilihat bagaimana cara kerja,
proses kerja, dan bagaimana lingkungan kerja serta pemakaian alat pelindung diri
yang tepat.7
Untuk memastikan seberapa terpapar pasien dengan pajanan biologis
dipastikan dengan mengukur kadar pajanan tersebut dalam darah, dimana pada
pajanan biologis tidak memiliki NAB/nilai ambang batas sebagaimana ada pada
pajanan kimia. Pada pajanan biologi ditentukan oleh daya tahan atau virulensi dari
mikroorganisme tersebut.7

10
Gambar 1. Intepretasi Pajanan Virus Hepatitis dalam Darah1

Dari kasus ditemukan bahwa besarnya pajanan cukup besar dikarenakan


pasien setiap hari bekerja di Rumah Sakit, terkhusus di bagian IGD dimana sering
kontak dengan darah dan cairan tubuh. Selain itu juga pasien sering melakukan
tindakan-tindakan invasif dan menggunakan jarum suntik. Pasien juga mengakui
bahwa dirinya sering tidak menggunakan APD seperti sarung tangan saat sedang
melakukan pekerjaan karena terburu-buru.

Peranan Faktor Individu


Langkah kelima dalam diagnosis okupasi adalah mencari tahu apakah ada
kaitannya dengan peranan faktor individu itu sendiri seperti status kesehatan fisik,
kesehatan mental, dan hygene perseorangan. Status kesehatan fisik misalnya apakah
ada riwayat penyakit keturunan dikeluarga, alergi, ataupun atopi. Apakah ada
keterangan dari riwayat penyakit maupun riwayat pekerjaannya, yang dapat
mengubah keadaan pajanannya, misalnya penggunaan APD, riwayat adanya pajanan
serupa sebelumnya sehingga risikonya meningkat. Apakah pasien mempunyai riwayat
kesehatan (riwayat keluarga) yang mengakibatkan penderita lebih rentan/lebih sensitif
terhadap pajanan yang dialami.8.9
Pada kasus, diketahui bahwa dalam keluarga tidak ada yang menderita
penyakit kronis ataupun penyakit serupa. Jadi penyakit yang di derita pasien ini
kemungkinan besar tidak ada kontribusi genetik. Riwayat alergi tidak dimilikinya,
pasien juga tidak pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya. Dari hasil
anamensis didapatkan keterangan bahwa dalam bekerja, pasien kadang tidak
menggunakan APD.

Faktor Lain Diluar Pekerjaan


Bila pasien mengalami pajanan lain diluar pekerjaan perlu ditanyakan untuk
dapat mengetahui hubungan dengan penyakit. Meskipun demikian, adanya penyebab
lain tidak selalu dapat digunakan untuk menyingkirkan penyebab di tempat kerja.
Pada kasus ini, bisa tanyakan kepada pekerja apakah hobinya sehari-hari. Selain itu
ditanyakan apakah dia mempunyai kebiasaan merokok. ditanyakan juga keadaan di
rumahnya itu bagaimana. Adakah higienenya baik atau pun tidak. Kemudian perlu
ditanyakan pajanan psikososial di lingkungan seperti hubungan dengan keluarga ada
masalah atau tidak, atau dengan komunitas lain di luar pekerjaan.8,9

11
Pada kasus ini tidak didapati adanya faktor lain diluar dari pekerjaan yang
mungkin dapat menyebabkan penyakit seperti yang diderita oleh pasien.
Diagnosis Okupasi
Sesudah menerapkan ke enam langkah di atas perlu dibuat suatu keputusan
berdasarkan informasi yang telah didapat yang memiliki bukti dan referensi. Maka
akan hasil yang didapat berupa empat pilihan yaitu pertama penyakit akibat kerja atau
penyakit akibat hubungan kerja, kedua yaitu penyakit yang diperberat pajanan di
tempat kerja, ketiga belum dapat ditegakkan dan masih membutuhkan informasi
tambahan, kemudian yang terakhir bukan penyakit akibat kerja.9
Suatu pekerjaan/pajanan dinyatakan sebagai penyebab suatu penyakit apabila
tanpa melakukan pekerjaan atau tanpa adanya pajanan tertentu, pasien tidak akan
menderita penyakit tersebut pada saat ini. Sedangkan pekerjaan dinyatakan
memperberat suatu keadaan apabila penyakit telah ada atau timbul pada waktu yang
sama tanpa tergantung pekerjaannya, tetapi pekerjaannya/pajanannya memperberat
atau mempercepat timbulnya penyakit. Pada kasus ini diagnosis lebih mengarah
kepada penyakit yang diperberat pajanan ditempat kerja.9
Siklus Penularan Hepatitis B pada Petugas Kesehatan
Penyebaran infeksi virus hepatitis B dan virus AIDS yang dapat terjadi dari
penderita ke tenaga kesehatan yang sehat (dokter bedah, perawat, dan petugas
kebersihan) pemaparannya terjadi melalui darah atau cairan tubuh dari orang yang
terinfeksi. Misalnya jarum suntik bekas penderita tersebut secara tidak sengaja
tertusuk pada kulit yang sehat.10

Penatalaksanaan
Tidak ada terapi spesifik untuk hepatitis virus akut. Pengobatan hepatitis pada
umumnya dilakukan untuk menjaga fungsi vital tubuh, meringankan gejala penyakit
dan menghilangkan penyebab penyakit yaitu virus.. Meskipun diperlukan perawatan
rumah sakit untuk penyakit yang secara klinis berat, hampir semua pasien tidak
memerlukan perawatan di rumah sakit. Pemeriksaan anti-HbsAg setelah 6 bulan
sangat penting untuk melihat perkembangan penyakit.1
Tirah baring yang dipaksakan dan berkepanjangan tidak penting untuk
penyembuhan total, tetapi banyak pasien akan merasa lebih baik dengan pembatasan
aktivitas fisis. Diperlukan diet tinggi kalori, dan karena banyak pasien dapat
mengalami nausea malam hari, asupan kalori utama hendaknya diberikan pada pagi
hari. Pemberian makan secara intravena diperlukan pada stadium akut bila pasien

12
tersebut mengalami muntah yang berkepanjangan dan tidak dapat mempertahankan
asupan per oral.1
Pada umumnya pasien dengan hepatitis akut tidak membutuhkan obat-obatan.
Namun pada pasien yang mengalami gagal hati akut dapat diberikan lamivudin. Bila
terdapat pruritus berat, pemakaian kolestiramin resin pengikat garam empedu
biasanya akan menghilangkan gejala. Terapi glukokortikoid tidak bermanfaat pada
hepatitis virus akut.10

Gambar 2. Terapi Hepatitis B

Pencegahan
Untuk mencegah infeksi Hepatitis B di sarana kesehatan, maka harus ada
edukasi yang jelas mengenai Hepatitis B dan bagaimana cara penularannya. Himbau
agar pekerja di rumah sakit menerima vaksinasi Hepatitis B. Selain itu, selalu berikan
anjuran bagi perawat, dokter, maupun pekerja lainnya di RS untuk menggenakan APD
(Alat Pelindung Diri) seperti mengenakan sarung tangan.10
Latih pekerja kesehatan untuk dapat menggunakan peralatan rumah sakit
dengan hati-hati dan sesuai dengan prosedur. Bukan hanya saat menggunakan
peralatan, namun juga setelah selesai menggunakan, himbau agar limbah medis diolah
seperti yang seharusnya. Misalnya untuk jarum suntik ditutup kembali dan jarum
dapat dihancurkan dengan alat yang telah ada atau dibuang ke tempat yang telah
disediakan. Menjaga kebersihan diri dengan rajin mencuci tangan dan membalut luka
di tubuh dengan baik, dapat mengurangi risiko terkena infeksi di Rumah Sakit. Jika
terjadi kecelakaan kerja yang berisiko menyebabkan tertular suatu penyakit, seperti
tertusuk jarum suntik, segera melapor agar dapat ditangani segera. Selain itu dapat

13
mengupayakan ketersediaan sarana agar dapat selalu menerapkan pengendalian
infeksi secara standar, meskipun dalam keterbatasan sumber daya. Mematuhi
kebijakan dan pedoman yang sesuai tentang penggunaan bahan dan alat secara baik
dan benar, pedoman pendidikan dan pelatihan serta supervisi.10

Vaksinasi Hepatitis B
Menurut WHO bahwa pemberian vaksin hepatitis B tidak akan
menyembuhkan pembawa kuman (carier) yang kronis, tetapi diyakini 95 % efektif
mencegah berkembangnya penyakit menjadi carier. Dengan ditemukannya vaksin
hepatitis B, maka program pencegahan infeksi terhadap HBV dapat dilaksanakan
dengan lebih efektif. Vaksinasi dengan HBV dapat diberikan dengan 3 cara, yaitu10 :
 Imunisasi pasif, dengan menggunakan vaksin “Hepatitis B Immunoglobulin”
(HBIG) yang mempunyai daya lindung pendek.
 Imunisasi aktif, dengan menggunakan vaksin hepatitis B yang mempunyai
daya lindung lebih lama.
 Imunisasi gabungan antara pasif dan aktif, yaitu pemberian HBIG, kemudian
dilanjutkan dengan vaksin hepatitis B.

Kesimpulan
Setiap pekerjaan memiliki risiko di bidang kesehatan, seperti pekerjaan di
Rumah Sakit yang memiliki risiko besar terkena infeksi, salah satunya adalah infeksi
virus Hepatitis B. Namun, tidak selalu Hepatitis B disebabkan karena faktor
pekerjaan. Untuk itulah dibutukan kemampuan diagnosa okupasi yang baik untuk
menentukan apakah suatu penyakit merupakan Penyakit Akibat Kerja (PAK), bukan
PAK, diperberat oleh pekerjaan, atau masih membutuhkan informasi lebih lanjut.
Melalui tujuh langkah yang telah dijabarkan di atas, dokter pada akhirnya dapat
membuat diganosis okupasi. Berdasarkan kasus yang ada, pasien yang bekerja sebagai
perawat di rumah sakit, menderita Hepatitis B yang diperberat oleh pekerjaannya.

Daftar Pustaka
1. Chayono JBSB. Hepatitis b. Yogyakarta: Kanisius;2010.
2. Jeyaratnam J, Koh D. Buku ajar praktik kedokteran kerja. Jakarta: EGC; 2010.
3. Pruss A, Giroult E, Rushbrook P. Pengelolaan aman limbah layanan kesehatan.
Jakarta: EGC;2005.
4. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2007.

14
5. Bickley L.S. Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. Edisi 5. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006. h.155-75.
6. Efendi F, Makhfudli. Keperawatan kesehatan komunitas: teori dan praktik dalam
keperawatan. Jakarta: Salemba Medika; 2009.
7. Marrington JM, Gill FS. Kesehatan kerja. Jakarta: EGC; 2005.
8. Shanahan JF, Barahona M, Boyle PJ. Current occupational and environment
medicine. America; McGraw-Hill Companies Inc. p. 266-7.
9. Harrianto R. Buku ajar kesehatan kerja. Jakarta : EGC; 2008.h.2, 16-7,246.
10. Gish RG, Locarnini S. Chronic hepatitis b viral infection. In: Yamada T. 5th ed.
Oxford: Blackwell Publishing; 2009.p. 2112-38.

15

Anda mungkin juga menyukai