Anda di halaman 1dari 18

Analisis Kasus Kekerasan Seksual pada Anak Dibawah Umur

Maria Agustina Dee


102013075
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara, No. 6 Jakarta Barat
deemaria195@gmail.com

Skenario 4
Seorang ibu muda bersama dengan seorang anak perempuannya yang baru berusia 11
tahun datang ke poliklinik anak di sebuah Rumah Sakit. Setelah berada di dalam ruang periksa
Dokter, si ibu menjelaskan bahwa anaknya mengeluh sakit bila ingin kencing sejak dua hari
lalu. Dalam wawancara berikutnya dokter tidak memperoleh keterangan lain, maka dokter pun
memulai melakukan pemeriksaan fisik pada si anak.
Pada pemeriksan fisik dokter menemukan robekan lama selaput dara disertai dengan erosi
dan peradangan jaringan vulva sisi kanan. Dokter berkesimpulan bahwa sangat besar
kemungkinan telah terjadi “persetubuhan” beberapa hari sebelumnya. Dokterpun lebih intensif
mengorek keterangan dari si anak dan si ibu. Akhirnya terungkaplah fakta bahwa si anak telah
disetubuhi oleh seorang laki-laki yang telah lama dikenalnya sebagai pacar si ibu. Si ibu telah
bercerai 3 tahun dengan suaminya (ayah dari si anak) dan saat ini sedang menjalin hubungan
dengan laki-laki lain sebagai pacarnya. Si ibu meminta kepada dokter agar jangan membawa
kasus ini ke polisi karena ia akan malu dibuatnya. Ia berjanji untuk memutuskan hubungan
dengan laki-laki tersebut agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Dokter menilai bahwa pasien
perlu dikonsultasikan kepada ahlinya.

A. Pendahuluan
Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk dari kejahatan yang
menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia, mempunyai kaitan yang erat dengan Ilmu
Kedokteran Forensik; yaitu di dalam upaya pembuktian bahwasanya kejahatan tersebut memang
telah terjadi. Adanya kaitan antara Ilmu Kedokteran dengan kejahatan seksual dapat dipandang
sebagai konsekuensi dari pasal-pasal di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
serta Kitab Undang-Undang Acara Hukum Pidana (KUHAP), yang memuat ancaman hukuman
serta tatacara pembuktian pada setiap kasus yang termasuk di dalam pengertian kasus kejahatan
seksual. Di dalam upaya pembuktian secara kedokteran forensik, faktor keterbatasan di dalam
ilmu kedokteran itu sendiri dapat sangat berperan, demikian halnya dengan faktor waktu serta

1
faktor keaslian dari barang bukti (korban), maupun faktor-faktor dari pelaku kejahatan seksual
itu sendiri.
Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah
bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut.
Undang undang No. 8, tahun 1981 KUHAP pada pasal 184 ayat 1 yang menyebutkan bahwa alat
bukti yang sah ialah (a)keterangan saksi, (b)keterangan ahli, (c)surat, (d)petunjuk, dan
(e)keterangan terdakwa.
Suatu kasus yang dapat menunjukkan bahwa pihak kepolisian selaku aparat penyidik
membutuhkan keterangan ahli dalam tindakan penyidikan yang dilakukannya yaitu pada
pengungkapan kasus perkosaan. Kasus kejahatan kesusilaan yang menyerang kehormatan
seseorang dimana dilakukan tindakan seksual dalam bentuk persetubuhan dengan menggunakan
ancaman kekerasan atau kekerasan ini, membutuhkan bantuan keterangan ahli dalam
penyidikannya. Keterangan ahli yang dimaksud ini yaitu keterangan dari dokter yang dapat
membantu penyidik dalam memberikan bukti berupa keterangan medis yang sah dan dapat
dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban, terutama terkait dengan pembuktian adanya
tanda-tanda telah dilakukannya suatu persetubuhan yang dilakukan dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan.
Terkait dengan peranan dokter dalam membantu penyidik memberikan keterangan medis
mengenai keadaan korban perkosaan, hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan bukti atau
tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak pidana
perkosaan. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam
bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum. Peranan visum et
repertum dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan menunjukkan peran yang cukup penting
bagi tindakan pihak Kepolisian selaku aparat penyidik. Pembuktian terhadap unsur tindak pidana
perkosaan dari hasil pemeriksaan yang termuat dalam visum et repertum, menentukan langkah
yang diambil pihak Kepolisian dalam mengusut suatu kasus perkosaan.

B. Pengertian Anak, Konsep dan Batasan Anak di Bawah Umur


1) Pengertian Anak
Kelahiran anak (bayi) karena perkawinan mempunyai/menimbulkan akibat hukum. Dalam
lapangan hukum perdata akibat hukum ini berpokok kepada anak dan kewajiban seperti:
2
kekuasaan orang tua, pengakuan sahnya anak dan penyangkalan sahnya anak, perwalian,
pendewasaan, dan pengangkatan anak.
Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 Tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan. Sedangkan dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1979 pasal 1 ayat
2 dijelaskan tentang pengertian anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun atau
belum pernah kawin. Batasan 21 tahun ini ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan
kepentingan usaha sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental
seorang anak dicapai pada usia 21 tahun. Sedangkan pengertian anak menurut pasal 45 KUHP
adalah orang yang belum cukup umur, dengan belum cukup umur dimaksudkan adalah mereka
yang melakukan perbuatan sebelum umur 16 tahun.
Dalam konvensi hak anak menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang
yang belum mencapai usia 18 tahun, sedangkan dalam KUHP menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 17 tahun.
2) Konsep dan batasan anak dibawah umur
Konsep dan batasan anak di bawah umur bertolak pada KUHP dan konvensi Hak-Hak
Anak (KHA), dimana KUHP memberikan batasan anak di bawah umur adalah lima belas tahun,
sedangkan dalam KHA memberikan batasan anak di bawah umur adalah delapan belas tahun.
Secara fakta psikologi anak usia 17 tahun masih labil sehingga batasan umur dalam KHA dirasa
lebih tepat.
Dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak disebutkan bahwa
anak sampai batas usia sebelum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin masih
tergolong anak di bawah umur. sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan memberikan batasan usia anak di bawah kekuasaan orang tua atau dibawah
perwalian sebelum mencapai 18 tahun masih tergolong anak di bawah umur. dalam Undang-
Undang pemilu yang dikatakan anak di bawah umur adalah belum mencapai usia 17 tahun,
sedangkan dalam konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak memberikan batasan anak di bawah
umur adalah di bawah umur 18 tahun.

3
C. Kejahatan Asusila terhadap Anak di bawah Umur
Dari hasil penelitian oleh Lembaga Perlindunga Anak (LPA) jenis-jenis kekerasan yang
dialami oleh anak-anak dibedakan menjadi tiga, yakni kekerasan mental (mental abuse),
kekerasan fisik (physical abuse), dan kekerasan seksual (sexual abuse). Jenis kekerasan fisik atau
physical abuse adalah jenis kekerasan yang paling banyak dialami oleh anak-anak, disusul
kemudian dengan kekerasan mental dan kekerasan seksual, tetapi yang menjadi pokok
pembahasan penulis adalah kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Bentuk-bentuk kekerasan dan kejahatan yang terjadi pada anak-anak dan si pelaku banyak
tergantung pada latar belakang tempat yang memungkinkan terjadinya tindak kekerasan dan
kejahatan terhadap anak-anak di bawah umur.
Tindak kekerasan dan kejahatan yang dimaksud adalah setiap perilaku yang dapat
menyebabkan keadaan perasaan atau tubuh/fisik menjadi tidak nyaman. Perasaan tidak nyaman
ini biasanya berupa kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, ketersinggungan, kejengkelan, atau
kemarahan. Keadaan fisik tidak nyaman bisa berupa lecet, luka, memar, patah tulang, dan
sebagainya.
Setiap jenis kekerasan terdiri dari berbagai macam bentuk kekerasan dan kejahatan, dan
bentuk-bentuk kekerasan dan kejahatan yang pernah dialami oleh para korban berbeda-beda
seperti perlakuan tidak senonoh, perayuan, pencolekan, pemaksaan onani, oral seks, anal seks
dan pemerkosaan adalah bentuk kekerasan dan kejahatan yang sering dialami oleh anak-anak di
bawah umur.
Tindak kekerasan di sini diartikan sebagai setiap perilaku yang dapat menyebabkan keadaan
perasaan atau tubuh (fisik) menjadi tidak nyaman. Perasaan tidak nyaman ini bisa berupa:
kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, ketersinggungan, kejengkelan, atau kemarahan, sedangkan
keadaan fisik tidak nyaman bisa berupa: lecet, luka, memar, patah tulang, dan sebagainya.

D. Pemeriksaan pada Korban


Pemeriksaan secara medis pada korban kejahatan seksual, baik pada anak-anak maupun
dewasa pada dasarnya sama dengan pada pasien lain, yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang5:
1) Ambil data-data polisi, korban dokter dan perawat terkait.

4
2) Anamnesis :
 Umur.  Waktu kejadian.
 Status perkawinan.  Tempat kejadian.
 Haid: siklus, terakhir.  Apakah korban melawan?
 Penyakit kelamin dan kandungan.  Apakah korban pingsan?
 Penyakit lain seperti ayan dll.  Apakah terjadi penetrasi
 Pernah bersetubuh? Waktu persetubuhan
terakhir? Menggunakan kondom?
3) Apakah terjadi ejakulasi? Periksa
pakaian:
 Robekan
lama/baru/memanjang/melintang?
 Kancing putus.
 Bercak darah, sperma, lumpur, dll.
 Pakaian dalam rapih atau tidak?
4) Benda-benda yang menempel sebagai
 Perkembangan seks sekunder.
trace evidence. Pemeriksaan badan:
 Tinggi dan berat badan.
 Rambut/wajah rapi atau kusut.
 Pemeriksaan rutin lainnya.
 Emosi tenang atau gelisah.
 Tanda bekas pingsan, alkohol,
narkotik. Ambil contoh darah.
 Tanda kekerasan: Mulut, leher,
pergelangan tangan, lengan, paha
 Trace evidence yang menempel pada
tubuh.

5
Genitalia:
Pada pemeriksaan fisik anak, temuan tidak spesifik yaitu temuan yang mungkin sebagai
akibat dari kekerasan seksual, tergantung pada jarak saat pemeriksaan dan saat terjadinya
kekerasan, tetapi mungkin juga akibat sebab lain atau merupakan varian yang normal.
 Eritema (kemerahan) vestibulum atau jaringan sekitar anus (dapat akibat zat iritan,
infeksi atau iritan)
 Adhesi labia (mungkin akibat iritasi atau rabaan)
 Friabilitas (retak) daerah posterior fourchette (akibat iritasi, infeksi atau karena
traksi labia mayor pada pemeriksaan)
 Penebalan selaput dara (mungkin akibat estrogen, terlipatnya tepi selaput,
bengkak karena infeksi ataun trauma)
 Kulit genital semu (mungkin jumbai kulit atau kulit bukan genital mungkin
Condyloma acuminata yang didapat bukan dari seksual)
 Fisura ani (biasanya akibat konstipasi atau iritasi perianal)
 Pendataran lipat anus (akibat relaksasi sfingter eksterna)
 Pelebaran anus dengan adanya tinja (refleks normal)
 Kongesti vena atau pooling vena (biasanya akibat posisi anak, juga ditemuka pada
konstipasi)
 Perdarahan pervaginam (mungkin berasal dari sumber lain, seperti uretra, atau
mungkin akibat infeksi vagina, benda asing atau trauma yang aksidental

 Dugaan kekerasan seksual (suggestive of sexual abuse):


Temuan pada anak yang telah memiliki riwayat abuse, mungkin ada abuse, tetapi tidak
cukup data yang menunjukkan bahwa abuse adalah satu-satunya penyebab.
Riwayat sangat krusial dalam menentukan makna keseluruhannya:
 Pelebaran anus (notch atau cleft) selaput dara di daerah posterior, mencapai dekat
dasar (sering merupakan artefak pada posisi pemeriksaan tertentu, tetapi bila
konsisten pada beberapa posisi, maka mungkin akibat kekerasan tumpul atau
penetrasi sebelumnya)
 Lecet akut, laserasi atau memar labia, jaringan sekitar selaput dara atau perineum
(mungkin akibat trauma aksidental, keadaan dermatologis seperti lichen sclerosus
atau hemangioma)

6
 Jejak gigitan atau hisapan di genitalia atau paha bagian dalam
 Jaringan parut atau laserasi baru daerah posterior fourchette tanpa mengenai
selaput dara (dapat akibat trauma aksidental)
 Jaringan parut perianal (jarang, mungkin akibat keadaan medis lain seperti chron’s
disease atau akibat tindakan medis sebelumnya)
Pemeriksaan ekstra genital
 Pemeriksaan terhadap pakaian dan benda-benda yang melekat pada tubuh
 Deskripsikan luka
 Pemeriksaan rongga mulut pada kasus oral sex
 Scrapping pada kulit yang memiliki noda sperma
 Pemeriksaan kuku jari korban untuk mencari material dari tubuh pelaku
 Pemeriksaan anal
Deskripsikan mengenai adanya robekan, iregularitas, keadaan fissura. Apabila terjadi
hubungan seksual secara anal, maka dapat terjadi perlukaan pada anus.
Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan seperti :
 Pemeriksaan darah
 Pemeriksaan cairan mani (semen)
 Pemeriksaan kehamilan
 Pemeriksaan VDRL
 Pemerikaan serologis Hepatitis
 Pemeriksaan Gonorrhea
 Pemeriksaan HIV
 Pemeriksaan rambut, air liur, dan pemeriksaan pria tersangka.

E. Pembuatan Visum et Repertum


Sebelum melakukan pemeriksaan, ada hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang dokter
1. Memiliki permintaan tertulis dari penyidik
Untuk dapat melakukan pemeriksaan yang berguna untuk peradilan, dokter harus
melakukannya berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik yang berwenang. Korban harus
diantar oleh polisi karena tubuh korban merupakan benda bukti. Apabila korban datang
sendiri dengan membawa surat permintaan dari polisi, korban jangan diperiksa dahulu tetapi
diminta untuk kembali kepada polisi dan datang bersama polisi.

7
Visum et Repertum dibuat hanya berdasarkan atas keadaan yang didapatkan pada tubuh
korban pada saat permintaan Visum et Repertum diterima oleh dokter. Jika dokter telah
memeriksa korban yang datang di rumah sakit, atau di tempat praktek atas inisiatif korban
sendiri tanpa permintaan polisi, lalu beberapa waktu kemudian polisi mengajukan permintaan
untuk dibuatkan Visum et Repertum, maka hasil pemeriksaan sebelumnya tidak boleh
dicantumkan dalam Visum et Repertum karena segala sesuatu yang diketahui dokter tentang
diri korban sebelum ada pemintaan untuk dibuatkan Visum et Repertum merupakan rahasia
kedokteran yang wajib disimpannya (KUHP pasal 322).
Dalam hal demikian, korban harus dibawa kembali untuk diperiksa dan Visum et
Repertum dibuat berdasarkan keadaan yang ditemukan pada waktu permintaan diajukan.
Hasil pemeriksaan yang lalu tidak dicantumkan dalam bentuk Visum et Repertum, tetapi
dalam bentuk surat keterangan.
2. Informed Consent
Sebelum memeriksa, dokter harus mendapatkan surat ijin terlebih dahulu dari pihak
korban, karena meskipun sudah ada surat permintaan dari polisi, belum tentu korban
menyetujui dilakukannya pemeriksaan atas dirinya. Selain itu, bagian yang akan diperiksa
meliputi daerah yang bersifat pribadi. Jika korban sudah dewasa dan tidak ada gangguan
jiwa, maka dia berhak memberi persetujuan, saudaranya atau pihak keluarga tidak berhak
memberikan persetujuan. Sedangkan jika korban anak kecil dan/atau jiwanya terganggu,
maka persetujuan diberikan oleh orang tua atau saudara terdekatnya, atau walinya.
Dalam melakukan pemeriksaan, tempat yang digunakan sebaiknya tenang dan dapat
memberikan rasa nyaman bagi korban. Oleh karena itu, perlu dibatasi jumlah orang yang
berada dalam kamar pemeriksaan, hanya dokter, perawat, korban, dan keluarga atau teman
korban apabila korban menghendakinya. Pada saat memeriksa, dokter harus didampingi oleh
seorang perawat atau bidan.
3. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan secepat mungkin
Korban sebaiknya tidak dibiarkan menunggu dengan perasaan was-was dan cemas di
kamar periksa. Pemeriksa harus menjelaskan terlebih dahulu tindakan-tindakan yang akan
dilakukan pada korban dan hasil pemeriksaan akan disampaikan ke pengadilan.Visum et
Repertum diselesaikan secepat mungkin agar perkara dapat cepat diselesaikan.
Sebagai dokter klinis, pemeriksa bertugas menegakkan diagnosis dan melakukan
pengobatan. Adanya kemungkinan terjadinya kehamilan atau penyakit akibat hubungan
seksual (PHS) harus diantisipasi dan dicegah dengan pemberian obat-obatan. Pengobatan

8
terhadap luka dan keracunan harus dilakukan seperti biasanya. Pengobatan secara psikiatris
untuk penanggulangan trauma pasca perkosaan juga sangat diperlukan untuk mengurangi
penderitaan korban. Sebagai dokter forensik pemeriksa bertugas mengumpulkan berbagai.
bukti yang berkaitan dengan pemenuhan unsur-unsur delik seperti yang dinyatakan oleh
undang-undang, dan menyusun laporan visum et repertum.
Secara umum dokter bertugas mengumpulkan bukti adanya kekerasan, keracunan, tanda
persetubuhan, penentuan usia korban dan pelacakan benda bukti yang berasal dari pelaku.
Pencarian benda-benda bukti yang berasal dari pelaku pada tubuh atau pakaian korban dan
tempat kejadian perkara merupakan hal penting yang paling sering dilupakan oleh dokter.
Pada kasus perkosaan dan delik susila lainnya perlu dikumpulkan informasi-informasi
sebagai berikut :
1. Umur korban
Umur korban amat perlu ditentukan pada pemeriksaan medis, karena hal itu menentukan
jenis delik (delik aduan atau bukan), jenis pasal yang dilanggar dan jumlah hukuman yang
dapat dijatuhkan.
Dalam hal korban mengetahui secara pasti tanggal lahirnya/umurnya, apalagi jika
dikuatkan oleh bukti diri (KTP, SIM dsb) , maka umur dapat langsung disimpulkan dari hal
tersebut. Akan tetapi jika korban tak mengetahui umurnya secara pasti maka perlu diperiksa
erupsi gigi molar II dan molar III. Gigi molar II mengalami erupsi pada usia kurang lebih 12
tahun, sedang gigi molar III pada usia 17 sampai 21 tahun. Untuk wanita yang telah tumbuh
molar IInya, perlu dilakukan foto ronsen gigi. Jika setengah sampai seluruh mahkota molar
III sudah mengalami mineralisasi (terbentuk) , tapi akarnya belum maka usianya kurang dari
15 tahun.
Kriteria sudah tidaknya wanita mengalami haid pertama atau menarche tak dapat dipakai
untuk menentukan umur karena usia menarch saat ini tidak lagi pada usia 15 tahun tetapi
seringkali jauh lebih muda dari itu.
2. Tanda kekerasan
Yang dimaksud dengan kekerasan pada delik susila adalah kekerasan yang menunjukkan
adanya unsur pemaksaan, seperti jejas bekapan pada hidung, mulut dan bibir, jejas cekik pada
leher, kekerasan pada kepala, luka lecet pada punggung atau bokong akibat penekanan,
memar pada lengan atas dan paha akibat pembukaan secara paksa, luka lecet pada
pergelangan tangan akibat pencekalan dsb.

9
Adanya luka-luka ini harus dibedakan dengan luka-luka akibat "foreplay" pada
persetubuhan yang "biasa" seperti luka isap (cupang) pada leher, daerah payudara atau sekitar
kemaluan, cakaran pada punggung (yang sering -terjadi saat orgasme) dsb.
Luka-luka yang terakhir ini memang merupakan kekerasan tetapi bukan kekerasan yang
dimaksud pada delik perkosaan. Adanya luka-luka jenis ini harus dinyatakan secara jelas
dalam kesimpulan visum et repertum untuk menghindari kesalahan interpretasi oleh aparat
penegak hukum.
Tanpa adanya kejelasan ini suatu kasus persetubuhan biasa bisa disalahtafsirkan sebagai
perkosaan yang berakibat hukumannya menjadi lebih berat.
Pemeriksaan toksikologi untuk beberapa jenis obat-obatan yang umum digunakan untuk
membuat orang mabuk atau pingsan perlu pula dilakukan, karena tindakan membuat orang
mabuk atau pingsan secara sengaja dikategorikan juga sebagai kekerasan. Obat-obatan yang
perlu diperiksa adalah obat penenang, alkohol, obat tidur, obat perangsang (termasuk ecstasy)
dsb.
3. Tanda persetubuhan
Tanda persetubuhan secara garis besar dapat dibagi dalam tanda penetrasi dan tanda
ejakulasi.
Tanda penetrasi biasanya hanya jelas ditemukan pada korban yang masih kecil atau
belum pernah melahirkan atau nullipara. Pada korban-korban ini penetrasi dapat
menyebabkan terjadinya robekan selaput dara sampai ke dasar pada lokasi pukul 5 sampai 7,
luka lecet, memar sampai luka robek baik di daerah liang vagina, bibir kemaluan maupun
daerah perineum. Adanya penyakit keputihan akibat jamur Candida misalnya dapat
menunjukkan adanya erosi yang dapat disalah artikan sebagai luka lecet oleh pemeriksa yang
kurang berpengalaman. Tidak ditemukannya luka-luka tersebut pada korban yang bukan
nulipara tidak menyingkirkan kemungkinan adanya penetrasi.
Tanda ejakulasi bukanlah tanda yang harus ditemukan pada persetubuhan, meskipun
adanya ejakulasi memudahkan kita secara pasti menyatakan bahwa telah terjadi
persetubuhan. Ejakulasi dibuktikan dengan pemeriksaan ada tidaknya sperma dan komponen
cairan mani. Untuk uji penyaring cairan mani dilakukan pemeriksaan fosfatase asam. Jika uji
ini negatif, kemungkinan adanya ejakulasi dapat disingkirkan. Sebaliknya jika uji ini positif,
maka perlu dilakukan uji pemastian ada tidak sel sperma dan cairan mani.

10
Usapan lidi kapas diambil dari daerah labia minora, liang vagina dan kulit yang
menunjukkan adanya kerak. Adanya rambut kemaluan yang menggumpal harus diambil
dengan cara digunting, karena umumnya merupakan akibat ejakulasi di daerah luar vagina.
Untuk mendeteksi ada tidaknya sel mani dari bahan swab dapat dilakukan pemeriksaan
mikroskopik secara langsung terhadap ekstrak atau dengan Pembuatan preparat tipis yang
diwarnai dengan pewarnaan malachite green atau christmas tree.
Jika yang akan diperiksa sampel berupa bercak peda pakaian dapat dilakukan
pemeriksaan Baechi, dimana adanya sperma akan tampak berupa sel sperma yang terjebak
diantara serat pakaian. Sel sperma positip merupakan tanda pasti adanya ejakulasi. Kendala
utama pada pemeriksaan ini adalah jika sel sperma telah hancur bagian ekor dan lehernya
sehingga hanya tampak kepalanya saja. Untuk mendeteksi kepala sperma semacam ini harus
diyakini bahwa memang kepala tersebut masih memiliki topi (akrosom).
Adanya cairan mani dicari dengan pemeriksaan terhadap beberapa komponen sekret
kelenjar kelamin pria (khususnya kelenjar prostat) yaitu spermin (dengan uji Florence),
cholin (dengan uji Berberio) dan zink (dengan uji PAN) . Suatu temuan berupa sel sperma
negatif tapi komponen cairan mani positip menunjukkan kemungkinan ejakulasi oleh pria
yang tak memiliki sel sperma (azoospermi) atau telah menjalani sterilisasi atau vasektomi.

F. Dampak perkosaan
Dampak perkosaan berupa terjadinya gangguan jiwa, kehamilan atau timbulnya penyakit
kelamin harus dapat dideteksi secara dini. Khusus untuk dua hal terakhir, pencegahan dengan
memberikan pil kontrasepsi serta antibiotic lebih bijaksana dilakukan ketimbang menunggu
sampai komplikasi tersebut muncul.
1. Pelaku perkosaan
Aspek pelaku perkosaan merupakan merupakan aspek yang paling sering dilupakan oleh
dokter. Padahal tanpa adanya pemeriksaan ke arah ini, walaupun telah terbukti adanya
kemungkinan perkosaan. amatlah sulit menuduh seseorang sebagai pelaku pemerkosaan.
Untuk mendapatkan informasi ini dapat dilakukan pemeriksaan kutikula rambut dan
pemeriksaan golongan darah dan pemeriksaan DNA dari sampel yang positip
sperma/maninya.
2. Dampak Bagi Korban
Dampak secara fisik yang dapat terjadi pada anak korban kekerasan seksual adalah
mengalami infeksi di saluran reproduksinya. Misalnya, mengalami keputihan dan memar di

11
bagian kelamin. Selain itu mereka juga sangat beresiko terhadap penyakit menular seksual
dan mengalami kehamilan. Padahal, kehamilan di usia dini bisa membahayakan bagi yang
mengandung maupun janin yang dikandung. Dengan demikian anak korban yang mengalami
kehamilan membutuhkan pengawasan medis secara intensif.
Akibat lain dari kasus kekerasan seksual adalah dampak psikologis berupa trauma yang
dialami sebagian besar korban. Bentuk trauma berbeda antara satu korban dengan korban
lainnya. Trauma ini tergantung dari usia korban serta bentuk kekerasan yang dialami korban.
Trauma dapat berupa ketakutan bertemu dengan orang lain, mimpi buruk atau ketakutan saat
sendiri.
3. Dampak pada lingkungan sekitar korban
Dampak lebih besar terjadi apabila lingkungan korban tidak mendukung korban.
Akibatnya, korban menjadi malu dan rendah diri. Banyak korban yang akhirnya harus pindah
dari sekolah karena selalu menjadi bahan perbincangan guru dan teman di sekolahnya.
Bahkan ada keluarga korban yang harus pindah tempat tinggal karena dianggap telah
membuat cemar lingkungan tempat tinggalnya.
Banyak hal yang dapat dilakukan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan seksual.
Pendampingan psikologis dapat dilakukan melalui dukungan kepada korban dan keluarga
korban. Dukungan ini akan menjadi kekuatan tersendiri bagi korban dan keluarga ketika
menghadapi kasus tersebut. Anak-anak korban ini rentan terhadap infeksi dan harus
mendapatkan perawatan agar tidak mengganggu kesehatan reproduksi mereka di masa yang
akan datang. Karena itulah, pelayanan medis secara intensif sangat diperlukan bagi korban.
Selain dukungan medis dan psikologis, korban juga membutuhkan pendampingan di
bidang hukum, mulai dari pendampingan di kepolisian sampai dengan proses di pengadilan.
Selama mendampingi proses hukum, pengawalan terhadap proses hukum yang terjadi dalam
setiap tahapnya sangatlah penting. Hal yang perlu ‘dikawal’ antara lain, apakah semua proses
sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; apakah dalam penyidikan polisi
sudah memperhatikan hak-hak anak; apakah hakim mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
lebih berperspektif pada korban; apakah jaksa yang merupakan wakil korban di pengadilan
juga sudah berperspektif pada korban.

G. Peranan LSM
Untuk menangani kasus kekerasan seksual, diperlukan kerjasama antara beberapa
lembaga yang memiliki kepedulian terhadap korban. Dengan berjaringan, kerja yang

12
dilakukan diharapkan akan lebih bersinergi. Jaringan yang bisa dibangun misalnya antara
rumah sakit, LSM, kepolisian, pemerintah melalui dinas terkait seperti Dinas Kesejahteraan
Rakyat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (DKRPP-KB), Dinas Kesehatan,
Bappeda dan Masyarakat.
Pusat krisis terpadu (PKT) bertujuan untuk memberikan pelayanan menyeluruh bagi
parakorban kekerasan terhadap perempuan (KTP) dan anak (KTA), baik dibidang klinik,
medikolegal dan psikososial ; dengan tujuan akhir adalah pemberdayaan perempuan, dalam
mencapai derajat kesehatan secara optimal.
Sasaran :
1. Korban kekerasan seksual pada perempuan dewasa.
2. Korban kekerasan seksual pada anak.
3. Korban kekerasan dalam rumahtangga.
4. Korban penganiayaan dan penelantaran anak.
Peran Pekerja Sosial
 Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban;
 Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari
kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
 Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan
 Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan
pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga social yang dibutuhkan korban.
Pelayanan pekerja sosial dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah,
atau masyarakat.
Peran Relawan Pendamping : Relawan Pendamping adalah orang yang mempunyai
keahlian untuk melakukan konseling, terapi, dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri
korban kekerasan.
Bentuk pelayanannya adalah:
 Menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau
beberapa orang pendamping;
 Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan
pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan
kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya;
 Mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman
didampingi oleh pendamping; dan

13
 Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.

H. Aspek Hukum
KUHP pasal 291
1. Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286, 287, 288 dan 290 itu
berakibat luka berat, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun.
2. Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam apsal 285, 286, 287, 289 dan 290
itu berakibat matinya orang, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun.
KUHP pasal 294
Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya atau anak
piaraannya, anak yang di bawah pengawasannya, orang dibawah umur yang diserahkan
kepadanya untuk dipelihara, dididiknya atau dijaganya, atau bujangnya atau orang yang
dibawah umur, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 7 tahun.
Dengan itu dihukum juga:
1. Pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dibawahnya/
orang yang dipercayakan/ diserahkan kepadanya untuk dijaga.
2. Pengurus, dokter, guru, pejabat, pengurus atau bujang di penjara, di tempat bekerja
kepunyaan negeri, tempat pendidikan, rumah piatu, RS gila atau lembaga semua yang
melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan kesitu.
 Penentuan Jenis Delik
Suatu laporan tentang seorang yang disetubuhi atau dilecehkan secara seksual oleh
seseorang lainnya tidak selalu berarti kasusnya adalah perkosaan. Untuk kasus-kasus
semacam ini kita harus memilah termasuk kategori delik yang manakah kasus tersebut, yang
masing masing mempunyai kriteria dan hukuman yang berbeda satu sama lain.
 Perkosaan
Menurut KUHP pasal 285 perkosaan adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
menyetubuhi seorang wanita di luar perkawinan. Termasuk dalam kategori kekerasan disini
adalah dengan sengaja membuat orang pingsan atau tidak berdaya (pasal 89 KUHP).
Hukuman maksimal untuk delik perkosaan ini adalah 12 tahun penjara.
 Persetubuhan diluar perkawinan
Persetubuhan diluar perkawinan antara pria dan wanita yang berusia diatas 15 tahun
tidak dapat dihukum kecuali jika perbuatan tersebut dilakukan terhadap wanita yang dalam
keadaan pingsan atau tidak berdaya.

14
Untuk perbuatan yang terakhir ini pelakunya dapat dihukum maksimal 9 tahun penjara
(pasal 286 KUHP) jika persetubuhan dilakukan terhadap wanita yang diketahui atau
sepatutnya dapat diduga berusia dibawah 15 tahun atau belum pantas dikawin maka
pelakunya dapat diancam hukuman penjara maksimal 9 tahun.
Untuk penuntutan ini harus ada pengaduan dari korban atau keluarganya (pasal 287
KUHP) . Khusus untuk yang usianya dibawah 12 tahun maka untuk penuntutan tidak
diperlukan adanya pengaduan.
 Perzinahan
Perzinahan adalah persetubuhan antara pria dan wanita diluar perkawinan, dimana salah
satu diantaranya telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya. Khusus untuk delik ini
penuntutan dilakukan oleh pasangan dari yang telah kawin tadi yang diajukan dalam 3 bulan
disertai gugatan cerai/pisah kamar/pisah ranjang. Perzinahan ini diancam dengan hukuman
pen]ara selama maksimal 9 bulan.
 Perbuatan cabul
Seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, maka ia diancam dengan hukuman
penjara maksimal 9 tahun (pasal 289 KUHP).
Hukuman perbuatan cabul lebih ringan, yaitu 7 tahun saja jika perbuatan cabul ini
dilakukan terhadap orang yang sedang pingsan, tidak berdaya. berumur dibawah 15 tahun
atau belum pantas dikawin dengan atau tanpa bujukan (pasal 290 KUHP). Perbuatan cabul
yang dilakukan terhadap orang yang belum dewasa oleh sesama jenis diancam hukuman
penjara maksimal 5 tahun (pasal 291 KUHP).
Perbuatan cabul yang dilakukan dengan cara pemberian, menjanjikan uang atau barang,
menyalahgunakan wibawa atau penyesatan terhadap orang yang belum dewasa diancam
dengan hukuman penjara maksimal 5 tahun (pasal 293 KUHP) .
Perbuatan cabul yang dilakukan terhadap anak, anak tiri, anak angkat, anak yang belum
dewasa yang pengawasan, pemeliharaan, pendidikan atau penjagaannya diserahkan
kepadanya, dengan bujang atau bawahan yang belum dewasa diancam dengan hukuman
penjara maksimal 7 tahun.
Orang yang dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan, menjadi penghubung bagi
perbuatan cabul terhadap korban yang belum cukup umur diancam dengan hukuman penjara
maksimal 5 tahun (pasal 295 KUHP).

15
I. Interpretasi Kasus dan Kesimpulan
Pada skenario ditulis bahwa keluhan utama si ibu membawa anak perempuannya yang
berusia 11 tahun ke poliklinik anak adalah karena anaknya mengeluh sakit bila ingin kencing
sejak 2 hari yang lalu. Setelah dokter memeriksa si anak ternyata ditemukan adanya robekan
lama selaput dara disertai dengan adanya erosi dan peradangan jaringan vulva sisi kanan.
Dokter berkesimpulan bahwa sangat besar kemungkinan telah terjadi “persetubuhan”.
 Robekan lama selaput dara disertai adanya erosi dan peradangan jaringan vulva
merupakan tanda-tanda persetubuhan. Sedangkan, keluhan sakit bila kencing
kemungkinan merupakan sexual transmitted disease.
 Pada pemeriksaan fisik lain kemungkinan ditemukan tanda kekerasan berupa memar,
bekas gigitan, tanda kuku dan lain-lain.
 Pada pemeriksaan lab bisa saja ditemukan sisa sperma atau cairan mani pada usap vagina
di fornix posterior ataupun pada pakaian dalam korban.

Bila terjadi kasus seperti ini, sebagai dokter kita harus mengetahui bahwa persetubuhan
di luar perkawinan dengan anak di bawah umur 12 tahun adalah tindak pidana sesuai pasal
287 ayat 1 dan 2 KUHP. Hukum dalam kasus ini menyebutkan bahwa tiap orang dengan
umur di bawah 18 tahun yang belum menikah sebagai orang yang belum mampu membuat
pertimbangan dan keputusan untuk suatu perbuatan hukum. Dalam kasus ini, bila terjadi
persetubuhan, tanpa memandang si anak menyetujui atau tidak persetubuhan itu, maka
dianggap persetubuhan tadi terjadi tanpa persetujuan (consent) si anak.
Dokter juga harus menjelaskan pada ibu si anak bahwa kasus ini adalah tindak pidana
yang harus dilaporkan pada polisi, dan menjelaskan bahwa dengan menyembunyikan suatu
tindak pidana dia sendiri bisa dihukum, dan dengan memudahkan terjadinya persetubuhan
dan atau percabulan pada anaknya, ia dapat dituntut dengan delik pidana pasal 295 KUHP
dengan ancaman penjara 5 tahun.
Dokter juga bisa merujuk pada ahli obgyn dan dokter ahli forensik atau ahli jiwa ataupun
pada psikolog.
Dokter spesialis obgyn akan memeriksa lebih teliti tentang adanya tanda-tanda
persetubuhan baik dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dengan memperhatikan
perkembangan tanda seks sekunder, pemeriksaan genitalia, serta pemeriksaan lab yang
menunjang misalnya swab vagina, dan swab oral.

16
Dokter spesialis forensik akan mengumpulkan semua barang bukti yang mungkin
tertinggal (pakaian korban, bite mark, kerokan kuku jika korban mengaku mencakar pelaku)
sesuai prosedur, dan memuatnya dalam bentuk Visum et Repertum.
Seorang psikolog bisa membantu gangguan yang mungkin timbul pada mental korban
dan bisa mengusulkan cara yang terbaik yang dapat ditempuh sebagai penyelesaian tindak
pidana.
Pengkategorian KDRTA sebagai kejahatan menjadi penting, disamping lebih penting
adanya aturan untuk menjamin agar korban memperoleh kepastian dan prosedur hukum,
medis, psikologis, rehabilitasi baik selama proses hukum dan sesudahnya serta reintegrasi
agar korban diterima sebagai manusia dengan hak-haknya yang harus dipenuhi di masyarakat
baik oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah. Disinilah pentingnya UU Perlindungan Anak
dan UU KDRT harus diterapkan oleh aparat penegak hukum, jadi bukan menggunakan
KUHP saja

Daftar Pustaka

17
1. Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik. Ilmu Kedokteran Forensik. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Cetakan ke-2.1997.

2. Sulaiman Zuhdi Manik .Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Anak dalam Rumah
Tangga. Diunduh dari www.kabarindonesia.com 2007
3. Syaiful Saanin. IRD RS Dr. M. Djamil, Padang. Aspek-Aspek Fisik/ Medis serta Peran
Pusat Krisis dan Trauma dalam Penanganan Jirban Tindak Kekerasan. 2008.

4. Infeksi Saluran Kemih diunduh dari www.pediatrik.com Bag/ SMF Ilmu Kesehatan
Anak, Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya. 2007

5. Surja Atmadja, Djaja. Pemeriksaan Forensik pada Kasus Perkosaan dan Delik Aduan
Lainnya. Diunduh dari http://reproduksiumj.blogspot.com 2009

6. Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga. http://focalpointgender.kejaksaan.go.id


2008

7. Pelecehan Seksual pada Anak. Diunduh dari www.scribd.com, pada tanggal

8. Psikososial. Di unduh dari www.library.usu.co.id .

18

Anda mungkin juga menyukai