Anda di halaman 1dari 5

Perjanjian Kerja Menurut Undang-undang No.

13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (UUTK)

Pengertian Perjanjian Kerja


Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUTK) pada prinsipnya
telah memberikan defenisi normative mengenai perjanjian kerja. Pasal 1 angka 14 UUTK
mendefenisikan perjanjian kerja sebagai perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha
atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak, Atas
pengertian tersebut, maka dapat dijelaskan beberapa unsur penting perjanjian kerja sebagai
berikut:
a. Adanya perbuatan hokum/peristiwa hokum berupa perjanjian
b. Adanya subjek atau pelaku yakni pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja yang
masing-masing membawa kepentingan;
c. Memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak
Peristiwa hokum perjanjian merupakan tindakan yang dilakukan oleh pekerja/buruh dan
pengusaha/pemberi kerja untuk saling mengikatkan diri dalam suatu hubungan yang bersifat
normative atau saling mengikat. Dalam berbagai teori ilmu hokum perikatan, perjanjian
merupakan bentuk dari perikatan dimana 2 (dua) pihak mengikatkan diri untuk berbuat,
memberikan sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu yang dituangkan dalam suatu
perjanjian baik secara lisan maupun secara tertulis. Perjanjian selalu menimbulkan hak dan
kewajiban bagi para pelaku yang terlibat di dalamnya. Konsekuensi dari tidak terpenuhinya hak
dan kewajiban tersebut dapat berupa batal atau kebatalan terhadap perjanjian tersebut dan
bahkan memungkinkan menimbulkan konsekuensi penggantian kerugian atas segala bentuk
kerugian yang timbul akibat tidak terpenuhinya prestasi yang diperjanjikan.
Dalam UUTK hubungan kerja baru dapat timbul setelah pekerja/buruh dan
pengusaha/pemberi kerja mengikatkan diri dalam suatu perjanjian kerja. Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 50 UUTK yang menyatakan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya
perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Dengan demikian tidak ada keterkaitan
apapun yang menyangkut pekerjaan antara pekerja/buruh dan pengusaha tertentu apabila
sebelumnya tidak ada perjanjian yang mengikat keduanya.
Pelaku atau merupakan syarat subjektif untuk pemenuhan keabsahan suatu perjanjian.
Dalam konteks ketenagakerjaan, pelaku berkedudukan sebagai pewujud perjanjian kerja.
Tanpa pelaku, maka tentunya tidak akan ada perjanjian yang terjadi. Karena secara prinsip
pelakulah yang berinisiatif, bertindak dan bertanggungjawab atas dimulainya keterikatan
sampai pada berakhirnya keterikatan.
Dalam perjanjian kerja, pelaku dibatasi pada pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja.
Demikianlah UUTK menentukan para pihak yang terlibat dalam perjanjian kerja. Para pihak
disyaratkan harus memenuhi syarat untuk dapat bertindak sebagai pelaku dalam perjanjian.
Berdasarkan ketentuan Pasal 52 UUTK maka kemampuan dan kecakapan melakukan
perbuatan hokum menjadi syarat dan dasar dibuatnya perjanjian kerja. Lebih lanjut mengenai
apa yang dimaksudkan dengan “cakap” tidak dijelaskan secara detail dalam UUTK, akan tetapi
pada beberapa pasal tertentu terdapat pengaturan yang sangat terkait dengan subjektifitas
pelaku perjanjian kerja terkait. Sebagai contoh ketentuan UUTK Pasal 68 dan 69 yang
substansinya berbicara mengenai larangan terhadap pengusaha untuk mempekerjakan anak
kecuali bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) sampai dengan 15 (lima belas) tahun
dan itupun terbatas pada pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan
kesehatan fisik, mental, social dari anak tersebut. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi
untuk mempekerjakan anak dimaksud yakni:
a. izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku
Dari uraian contoh penegasan yang tercantum dalam Pasal 68 – 69 tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa anak selalu dianggap belum cakap untuk bertindak sebagai pihak dalam
suatu perjanjian.
Pasal 1322 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) membatasi pengertian
cakap sebagai berikut:
a. orang-orang yang belum dewasa menurut undang-undang;
b. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (pengawasan)
c. perempuan-perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-
undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu
Hal-hal yang diuraikan diatas merupakan kemutlakan atas suatu perjanjian kerja.
Pemenuhan unsure-unsur tersebut dapat sangat berpengaruh secara normative terhadap
keabsahan suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pekerja/buruh dan pengusaha

Bentuk dan Syarat Sahnya Perjanjian Kerja


Pada prinsipnya perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis maupun lisan. Berdasarkan
ketentuan Pasal 51 angka 1 UUTK maka bentuk tertulis maupun lisan dari suatu perjanjian
kerja dimungkinkan untuk dilakukan oleh para pihak yang menjadi pelaku. Meskipun demikian
terdapat batasan-batasan yang harus terpenuhi dalam pembuatan perjanjian kerja baik lisan
maupun tertulis tersebut.
Perjanjian Kerja pada prinsipnya dapat dibuat secara lisan dan tertulis dengan syarat
terpenuhinya syarat-syarat keabsahan perjanjian kerja sebagaimana dicantumkan dalam
UUTK. Pasal 53 mensyaratkan beberapa hal untuk absahnya suatu perjanjian kerja sebagai
berikut:
a. Kesepakatan kedua belah pihak ;
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum ;
c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan ; dan
d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan,
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Kesepakatan diartikan sebagai bentuk persetujuan para pihak atas apa yang diperjanjikan
dan hal-hal yang termuat dalam perjanjian. Apabila perjanjian itu dibuat dalam bentuk tertulis
seperti kontrak, maka tentunya dinyatakan dalam draft kontrak tersebut. Namun apabila dibuat
secara lisan, maka cukup dengan pernyataan yang secara bersama disetujui oleh kedua belah
pihak dan sebaiknya disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi. Sepakat
(konsensualitas) dalam teori hokum perjanjian merupakan azas yang sangat penting
existensinya. Sebab suatu perjanjian belum dapat dikatakan utuh sebagai suatu perjanjian
apabila tidak disepakati oleh pihak lainnya. Dengan kata lain subjektifitas perjanjian tersebut
belum terpenuhi seutuhnya dan tentunya belum dapat diimplementasikan dan belum
berkekuatan hokum. Oleh karena itu perjanjian tersebut belum dapat dianggap sebagai suatu
peristiwa hokum yang secara otomatis belum menimbulkan hak dan kewajiban antara satu
pihak dengan pihak lainnya.
Syarat kedua yakni kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hokum
memberikan batasan terhadap orang-orang yang belum dapat mengemban tanggungjawab.
Sebagai contoh adalah anak-anak atau orang yang belum dewasa dan masih dalam
pengawasan atau pengampuan.
Dalam UUTK anak didefenisikan sebagai setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan
belas) tahun (Pasal 1 angka 26). Lebih lanjut ditegaskan larangan untuk mempekerjakan anak
ditegaskan dalam Pasal 68 UUTK. Namun terdapat pengecualian untuk anak yang berumur
antara 13 (tiga belas) sampai 15 (lima belas) tahun dalam hal melakukan pekerjaan ringan
sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial dari anak
tersebut (Pasal 69 ayat 1). Untuk mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud pengusaha
diwajibkan untuk memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dilakukan dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Selain itu cakap dijabarkan dalam ketentuan KUHPerdata Pasal 1322 sebagaimana
dijelaskan pada uraian awal. Kecakapan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum
sangat dilatarbelakangi oleh kemampuan pemenuhan hak dan kewajiban yang disepakati.
Terkait dengan kecakapan dalam melakuan perjanjian atau perikatan, dikenal istilah schuld
dan haftung. Sebagai 2 (dua) unsur pembentuk kecakapan seseorang, schuld dikenal sebagai
tanggung jawab hukum atas pelaksanaan suatu prestasi oleh pihak yang berkewajiban
sedangkan haftung didefenisikan sebagai tanggung jawab atas penuntutan prestasi oleh pihak
yang berhak.
Anak sebagai subjek tentunya memiliki berbagai keterbatasan dalam bertindak. Selain dari
faktor umur yang mewakili berbagai prediksi atas ketidakmampuannya, disisi lain undang-
undang keperdataan pada umumnya memang telah menentukan anak sebagai subjek yang
tidak cakap dalam melakukan berbagai perbuatan hukum termasuk dalam hukum
ketenagakerjaan.
Selanjutnya mengenai keharusan adanya objek yang diperjanjikan. Secara logis kita dapat
menyimpulkan bahwa tidak mungkin akan ada kesepakatan apabila tidak ada hal yang
disepakati. Dalam perjanjian kerja, yang menjadi substansi kesepakatan adalah pekerjaan dan
berbagai hal yang terkait dengannya. Apabila substansi tersebut tidak dikemukakan maka
tentunya tidak dapat dikatakan sebagai perjanjian kerja.
Pasal 54 UUTK mensyaratkan pemenuhan hal-hal sebagai berikut untuk terpenuhinya
keabsahan suatu perjanjian kerja:
a. Nama, alamat perusahaan, dan jenis perusahaan ;
b. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh ;
c. Jabatan atau jenis pekerjaan ;
d. Tempat pekerjaan ;
e. Besarnya upah dan cara pembayarannya ;
f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh ;
g. Memulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja ;
h. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Dalam ketentuan tersebut sekurang-kurangnya dapat memberikan interpretasi terhadap
setiap orang mengenai objek perjanjian yang dibicarakan.
Syarat terakhir sahnya suatu perjanjian menurut UUTK adalah menyangkut legalitas dari
substansi yang diperjanjikan. Legalitas atau keabsahan hal yang diperjanjikan sangat terkait
dengan eksistensi perjanjian tersebut. Perjanjian yang substansinya legal, tentunya tidak akan
dipersoalkan oleh hukum. Namun bila substansinya ilegal, maka akan dipersoalkan oleh
hukum setiap saat. Demikianlah 4 (empat) syarat keabsahan perjanjian kerja yang juga dikenal
dalam hukum perjanjian dan perikatan pada umumnya.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa perjanjian kerja dapat buat dalam bentuk
tertulis dan lisan. UUTK memberikan batasan-batasan tertentu mengenai pelaksanaan bentuk-
bentuk perjanjian kerja sebagai bentuk perlindungan hokum terhadap para pihak dalam
perjanjian.
Berdasarkan waktu berlakunya perjanjian, UUTK mengenal perjanjian kerja waktu tertentu
(PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). PKWT dan PKWTT diatur dalam
Pasal 56 UUTK dan secara terperinci pelaksanaannya diatur dalam Kepmenakertrans No. 100
Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah bentuk perjanjian kerja antara
pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu
atau untuk pekerja tertentu. UUTK maupun Kepmenakertrans memberikan batasan tertentu
terhadap pelaksanaan bentuk perjanjian kerja ini. Pasal 59 UUTK membatasi hal-hal tertentu
yang dapat diberlakukan dengan PKWT sebagai berikut:
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya ;
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan
paling lama 3 (tiga) tahun ;
c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan
yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Pengaturan lebih lanjut mengenai PKWT dijabarkan lebih lanjut dalam Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

Secara garis besarnya terdapat beberapa jenis PKWT yang dapat diuraikan sebagai berikut:
Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya
Pasal 3 Kepmenakertrans No. 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu membatasi jenis pekerjaan dimaksud yang didasarkan atas selesainya
pekerjaan tertentu yang lamanya tidak melebihi masa 3 (tiga) tahun dengan pengecualian
tertentu. Sebagai contoh adalah proyek pekerjaan tertentu yang masa penyelesaiannya
dibatasi oleh waktu tertentu dan tidak melebihi 3 (tiga) tahun. Dalam jenis perjanjian kerja jenis
ini, pengusaha diwajibkan untuk mencantumkan syarat formil perjanjian kerja tertulis (Pasal 54
UUTK) dan batasan/indikator selesainya pekerjaan yang diperjanjikan. Jenis perjanjian kerja ini
dapat diperpanjang dan apabila pekerjaan yang diperjanjikan tidak dapat terselesaikan dalam
waktu yang telah disepakati, maka dimungkinkan untuk dilakukan pembaharuan PKWT.
Pembaharuan sebagaimana dimaksud dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu 30
(tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja. Selama tenggang waktu 30 (tiga puluh)
hari tidak ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha. Dalam hal pekerjaan
tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan
maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan.

PKWT untuk pekerjaan yang bersifat musiman


Jenis pekerjaan ini sangat tergantung pada musim dan atau cuaca. PKWT yang dilakukan
untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan
pada musim tertentu. Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan
atau target tertentu dapat dilakukan dengan PKWT sebagai pekerjaan musiman. PKWT yang
dilakukan untuk pekerjaan dimaksud hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan
pekerjaan tambahan. Pengusaha diwajibkan untuk membuat daftar nama-nama pekerja/buruh
yang melakukan pekerjaan tambahan. Jenis PKWT ini tidak dapat diperbaharui.
PKWT untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru
Untuk jenis PKWT ini disyaratkan penerapannya pada pekerjaan yang berhubungan dengan
produk baru, kegiatan baru dan atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau
penjajakan. Jenis PKWT ini hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua)
tahun dengan kemungkinan dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali selama 1 (satu) tahun.

Perjanjian kerja harian lepas


Jenis perjanjian kerja ini dapat diterapkan untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-
ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran.
Perjanjian kerja jenis ini mensyaratkan waktu bekerja yang kurang dari 21 (dua puluh satu)
hari dalam sebulan. Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih
selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah
menjadi PKWTT. Dalam perjanjian kerja ini pengusaha diwajibkan untuk membuat perjanjian
tertulis harian lepas dengan para pekerja/buruh dengan sekurang-kurangnya memuat hal-hal
sebagai berikut:
a. nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja.
b. nama/alamat pekerja/buruh.
c. jenis pekerjaan yang dilakukan.
d. besarnya upah dan/atau imbalan lainnya.
Sebagaimana jenis PKWT pertama, maka pengusaha diwajibkan membuat daftar yang
kemudian disampaikan kepada instansi yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan

Anda mungkin juga menyukai