Anda di halaman 1dari 9

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

JOURNAL READING

Comparing Ceftriaxone and Cefazolin for Treatment of Adult


Acute Pyelonephritis: A Clinical Trial

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di


Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Diajukan Kepada:
Pembimbing : dr. B. Susanto Permadi, Sp.PD

Disusun Oleh :
Ramadhina Anggita Suci Aulia (1620221202)

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa
Periode 21 Mei 2018 – 04 Agustus 2018
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT DALAM

Journal Reading

Comparing Ceftriaxone and Cefazolin for Treatment of Adult


Acute Pyelonephritis: A Clinical Trial

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun Oleh :

Ramadhina Anggita Suci Aulia (1620221202)

Telah Disetujui oleh Pembimbing

Nama Pembimbing Tanda Tangan Tanggal

Dr. B. Susanto Permadi, Sp.PD ....................... ..................


Membandingkan Ceftriaxone dan Cefazolin sebagai Terapi pada
Pielonefritis Akut Dewasa : Sebuah Uji Klinis
Azadeh Ebrahimzadeh1, Sayed Alireza Saadatjoo2, Azadeh Alipoor Tabrizi1
1
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Ilmu Medis Birjand, Birjand, Iran
2
Fakultas Kebidanan dan Keperawatan, Universitas Ilmu Medis Birjand, Birjand, Iran

ABSTRAK

Latar Belakang : Penyakit infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit yang menjadi
perhatian di seluruh dunia. Studi ini bertujuan untuk membandingkan resistensi terhadap ceftriaxone
dan cefazolin pada pasien dewasa dengan pielonefritis akut.

Pasien dan Metode : Pada uji klinis ini, kami menyertakan pasien dengan demam disertai gejala lain
seperti disuria, anyang-anyangan, nyeri pinggang dan nyeri ketok sudut kostofrenikus. Dilakukan
pemeriksaan urinalisa, kultur urin, dan antibiogram, kemudian peserta uji klinis dibagi ke dalam dua
grup secara acak: ceftriaxone 1 gram dua kali sehari atau cefazoline tiga kali sehari. Tiga hari kemudian,
dilakukan re-evaluasi urin dan pasien dikategorikan menjadi responden klinis dan mikrobiologis.
Dilakukan uji Chi-square dan Fisher’s exact sesuai data. Didapatkan signifikansi statistik p<0.05.

Hasil : Studi populasi terdiri dari 59 wanita dan 27 pria. Escherichia coli merupakan bakteri pathogen
yang paling sering ditemukan pada isolate (86%). Disuria, nyeri pinggang dan nyeri ketok sudut
kostofrenikus sering ditemukan pada infeksi non-E.coli dibandingkan subjek yang terinfeksi E.coli,
meskipun demikian, gejala klinis berupa nyeri ketok sudut kostofrenikus tidak terlalu signifikan
(p=0.008). Respon klinis telah diobservasi pada 86.1%, 11.6%, dan 2.3% pada pasien di hari ke-3, 4
dan 5 pasca pemberian terapi, meskipun demikian, tidak ditemukan perbedaan berarti diantara grup
ceftriaxone dan cefazolin. Secara umum, 93% menunjukkan hasil kultur urin negatif. Respon
mikrobiologis rerata antar grup tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna.

Kesimpulan : Hasil menunjukkan bahwa antara respon klinis dan mikrobiologis pasien penderita
pielonefritis akut tidak selalu sesuai. Sementara itu, generasi pertama dan ketiga golongan sefalosporin
memiliki efikasi yang sama untuk terapi pasien tanpa komplikasi.

Kata Kunci : Pielonefritis, Ceftriaxone, Cefazolin

PENDAHULUAN

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit infeksi tersering dan
menyebabkan lebih dari 7 juta kunjungan medis di Amerika Serikat setiap tahunnya. Penyakit
infeksi ini didiagnosa 1-3% pada remaja wanita usia sekolah dan 2-8% pada wanita hamil.
Infeksi simtomatik pada traktus urinarius bagian atas jarang ditemukan pada saat kehamilan,
sementara 20-30% wanita hamil dengan bakteriuria asimtomatik memiliki komplikasi berupa
pielonefritis. Hamper seluruh dari wanita mengalami paling tidak satu episode ISK dalam
hidupnya, meskipun demikian, 25% wanita mengalami ISK simtomatik satu kali seumur hidup.
Lebih lanjut, 10% pria dan 30% wanita berusia > 60 tahun dengan bakteriuria, 30% diantaranya
mengalami pielonefritis. Komplikasi yang terjadi setelah mengalami pielonefritis antara lain :
jaringan parut renal, nekrosis papiler, stenosis urethra, abses inter-renal, abses perinefrik,
pielonefritis emfisematosa dan infeksi renal kronik.

Secara keseluruhan, 80% infeksi akut pada pasien tanpa kateter, gangguan urologis dan
batu saluran kemih, disebabkan oleh E. coli. Proteus, Klebsiella dan Enterobacteria sering
ditemukan pada pasien dengan anomaly urologis, batu dan stasis. Serratia dan Pseudomonas
memiliki peran penting dalam infeksi nosokomial akibat penggunaan kateter. Bakteri Gram
positif, seperti Staphylococcus dan Enterococci jarang ditemukan. Generasi pertama dan ketiga
sefalosporin telah digunakan secara luas sebagai terapi untuk pielonefritis. Studi sebelumnya
telah melaporkan bahwa terdapat frekuensi yang berbeda untuk uropatogen yang berhasil
diisolasi serta memiliki sensitivitas dan resistensi yang berbeda. Bagaimanapun, E.coli
merupakan uropatogen yang paling sering ditemukan. Resistensi terhadap ceftriaxone berkisar
antara 1% sampai dengan 24% dan 27.6%.

PASIEN DAN METODE

Uji klinis dengan metode single-blind ini dilakukan di Rumah Sakit Vali-e-Asr di Birjand
antara September 2006 sampai dengan September 2008. Peserta uji klinis ini merupakan pasien
berusia diatas 14 tahun dengan demam disertai gejala lain seperti disuria, anyang-anyangan,
nyeri pinggang dan nyeri ketok sudut kostofrenikus. Kriteria eksklusi antara lain: syok sepsis
atau septikemia, penggunaan antibiotik selama 72 jam terakhir, abnormalitas struktural atau
fungsional traktus urinarius, penggunaan kateter Foley secara persisten, anafilaksis terhadap
sefalosporin dan penisilin, kehamilan dan status imunokompromais. Lebih lanjut, pasien
dengan kultur urin negative dieksklusikan.

Setelah menjelaskan tujuan penelitian, pasien diminta untuk mengisi formulir informed
consent, lalu sekitar 10 cc sampel urin tengah milik pasien dikirim ke laboratorium untuk
dilakukan urinalisa, kultur urin dan antibiogram pada suhu ruangan. Pemeriksaan urinalisa dan
kultur urin dilakukan oleh ahli mikrobiologi menggunakan agar dan media EMB. Hasil kultur
dikatakan positif apabila kuantitas isolat uropatogen > 105 unit satuan koloni (CFU). Piuria
adalah ditemukannya leukosit > 10 / mm3 pada urin.

Pasien secara acak dibagi ke dalam dua grup. Grup pertama mendapatkan terapi
ceftriaxone 1 gram intravena setiap 12 jam dan grup kedua mendapatkan terapi cefazoline 1
gram setiap 8 jam.

Pemeriksaan fisik dilakukan secara hati-hati. Suhu tubuh diukur secara sublingual dua
kali sehari sementara keluhan disuria, anyang-anyangan, nyeri pinggang dan nyeri ketok sudut
kostofrenikus dinilai satu hari sekali.

Urinalisa dan kultur urin di re-evaluasi setelah tiga hari terapi dan saat pasien menjadi
afebris. Sementara itu, saat pasien menjadi afebris antibiotic intravena diganti menjadi
cephalexin 500 mg 4 kali/hari atau cefixime 200 mg 2 kali/hari dan dilanjut sampai dengan hari
ke-14. Meskipun demikian, bila tanda dan gejala tidak membaik setelah pemberian terapi
selama 72 jam, pemberian antibiotik intravena dilanjut sampai pasien afebris kecuali apabila
hasil pemeriksaan antibiogram menunjukkan adanya resistensi antibiotik.

Pasien yang menjadi afebris 72 jam setelah terapi diklasifikasikan sebagai responden
klinis dan kelompok yang memiliki kultur urin negatif setelah 72 jam terapi dikategorikan
sebagai responden mikrobiologis.

Data dianalisa menggunakan perangkat lunak SPSS (versi 11.0, SPSS Inc., Chicago,
Amerika Serikat) dan Uji Chi-square, T-test serta Fisher’s exact, disesuaikan dengan data.
P<0.05 merupakan batas signifikansi.

HASIL

Sejumlah 93 pasien peserta uji klinis dengan eksklusi 7 pasien akibat batu saluran kemih
(3 kasus), hiperplasia prostat (2 kasus) dan infeksi nosokomial (2 kasus). Dari total 86 pasien,
27 pasien (31.4%) adalah pria dan 59 pasien (68.6%) adalah wanita. Setiap peserta uji klinis
memiliki kesempatan yang sama untuk mendapat terapi ceftriaxone maupun cefazolin
(38.9+14.3 vs 37.5+13.9 tahun, p=0.63). Sejumlah 74 pasien (86.0%) terinfeksi Escherichia
coli, meskipun demikian, terdapat 12 pasien terinfeksi Klebsiella (n=9), dan Enterococcus
(n=3). Dari 74 pasien yang terinfeksi E.coli, 37 (50%) diantaranya mendapat terapi ceftriaxone.

Disuria, anyang-anyangan, nyeri pinggang dan nyeri ketok sudut kostofrenikus


merupakan gejala yang sering muncul pada infeksi non-E.coli dibandingkan dengan pasien
yang terinfeksi E.coli, meskipun demikian, perbedaan diantara keduanya tidak signifikan
terutama untuk nyeri sudut kostofrenikus (p=0.008). Tabel 1 membandingkan temuan klinis
dan paraklinis antara penyakit infeksi akibat E.coli dan non-E.coli.

Tabel 1. Perbandingan Temuan Klinis dan Paraklinis antara Infeksi akibat E.coli
dan non-E.coli.

Temuan Infeksi E.coli Infeksi non-E.coli Nilai P


(n=74) (n=12)
Demam 34 (45.9) 5 (41.7) 0.78
Nyeri Pinggang 36 (48.6) 8 (66.7) 0.25
Nyeri Sudut 16 (21.6) 7 (58.3) 0.008
Kostofrenikus
Disuria 32 (43.2) 6 (50.0) 0.66
Anyang-anyangan 23 (31.1) 4 (33.3) 0.88
Bakteriuria 59 (79.7) 11 (91.7) 0.29
Sedimen Leukosit 15 (20.3) 5 (41.7) 0.11
Nitrit 20 (27.0) 7 (58.3) 0.03

Secara keseluruhan, hasil observasi menunjukkan adanya respon klinis pada 86.1%
pasien, meskipun demikian, 11.6% dan 2.3% pasien menjadi afebris pada terapi hari ke-4 dan
5. Rerata pasien yang mendapatkan terapi ceftriaxone menjadi afebris setelah 2.36+0.95 hari
dibandingkan dengan kelompok yang mendapatkan terapi cefazolin 2.77+0.81 hari terapi
(p=0.47). secara umum, 93% subjek merupakan responden mikrobiologis. Terdapat tiga pasien
yang tidak berespon terhadap pemberian ceftriaxone, dua orang terinfeksi Klebsiella
pneumoniae dan satu orang terinfeksi Enterococcus sp.

Sekitar 89.2% (n=33) pasien yang terinfeksi E.coli dan 100% (n=6) pasien yang
terinfeksi non-E.coli menunjukkan respon klinis terhadap ceftriaxone, dibandingkan dengan
grup cefazoline, yakni 86.5% (n=32) dan 50% (n=3) (Tabel 2).

Tabel 2. Perbandingan Respon Klinis dan Mikrobiologis terhadap Ceftriaxone


dan Cefazolin

Ceftriaxone Cefazolin Nilai P


(n=43) (n=43)
Respon Klinis 39 (90.7) 35 (81.4) 0.21
Infeksi E.coli (n=37) 33 (89.7) 32 (86.5) 0.2
Infeksi Non-E.coli (n=6) 6 (100) 3 (50.0) 0.18
Respon Mikrobiologis 40 (93.0) 40 (93.0) 1

Tabel 3. Perbandingan Sensitivitas In Vitro terhadap Cefazolin dan Ceftriaxone

Ceftriaxone Cefazolin Nilai P


(n=86) (n=86)
Total (n=86) 60 (69.8) 52 (60.5) 0.20
Infeksi E.coli (n=74) 51 (68.9) 41 (55.4) 0.009
Infeksi Non-E.coli (n=12) 9 (75) 11 (91.7) 0.59

Hubungan antara respon klinis dan sensitivitas in vitro adalah 51.2% pada kedua grup
terapi. Akan tetapi, 9.3% pasien yang tidak menunjukkan respon klinis terhadap ceftriaxone
dan diteliti lebih lanjut secara in vitro menunjukkan angka resistensi terhadap antibiotik sebesar
39.5%. sekitar 11.6% pasien yang tidak menunjukkan respon klinis terhadap cefazoline dan
diteliti lebih lanjut secara in vitro menunjukkan angka resistensi terhadap antibiotik sebesar
30.2%. Maka dari itu, didapatkan angka resistensi terhadap ceftriaxone dan cefazolin sebesar
51.2% dan 58.2%.

PEMBAHASAN

Di dalam studi kami, E.coli berhasil diisolasi dari 86% sampel urin pasien, penemuan ini
sejalan dengan studi lainnya. Marcus, Ghiro dan Wells melaporkan E.coli sebagai agen
etiologic pada 60%, 89.9% dan 67.7% sampel mereka. Sebuah studi yang dilakukan oleh
Arrieta pada 204 pasien dengan infeksi saluran kemih, 80% disebabkan oleh E.coli dan
Klebsiella, meskipun demikian, Talan dan Wing melaporkan terdapat E.coli pada 90% dan
79.5% pasien mereka.
Pada studi kami, respon klinis ditemukan pada 86.1% pasien, meskipun demikian, 11.6%
dan 2.3% menjadi afebris pada hari ke- 4 dan 5. Pasien yang mendapatkan ceftriaxone menjadi
afebris setelah 2.63+0.95 hari dibandingkan dengan 2.77+0.81 pada kelompok yang
mendapatkan cefazolin. Data menunjukkan bahwa sekitar 89.2% (n=33) pasien yang terinfeksi
E.coli dan 100% (n=6) pasien yang terinfeksi non-E.coli menunjukkan respon klinis terhadap
ceftriaxone, dibandingkan dengan grup cefazoline, yakni 86.5% (n=32) dan 50% (n=3). Serupa
dengan penelitian yang dilakukan Wing et al dan Sanchez-Ramos et al, hasil studi mereka
menyimpulkan bahwa tidak didapatkan perbedaan yang signifikan antara kelompok terapi
ceftriaxone dan cefazolin didasarkan pada lamanya waktu terapi hingga pasien menjadi afebris.
Pasien yang menjadi afebris setelah 72 jam terapi mencapai 7.3% pada studi oleh Bogdanov
dan 15% pada studi oleh Ghiro dan mencapai 85% pada studi yang dilakukan oleh Marcus.

Lebih lanjut, 93% pasien studi kami merupakan responden mikrobiologis. Terdapat tiga
pasien yang tidak berespon terhadap pemberian ceftriaxone, dua orang terinfeksi Klebsiella
pneumoniae dan satu orang terinfeksi Enterococcus sp. Pernyataan ini sejalan dengan temuan
studi lainnya.

Sejumlah 60 (69.8%) dan 52 (60.5%) pasien secara in vitro sensitive terhadap ceftriaxone
dan cefazolin. Penyalahgunaan dan penggunaan antibiotik yang salah merupakan penyebab
tingginya angka resistensi terhadap golongan ini. Sebuah studi yang dilakukan oleh Marcus
menunjukkan bahwa 15% strain Klebsiella resisten terhadap cefazolin, meskipun demikian,
Ramson et al tidak melaporkan adanya perbedaan kegagalan terapi yang signifikan diantara
kelompok yang mendapatkan terapi ceftriaxone dan cefazolin.

Carrie et al menunjukkan bahwa sekitar 22.6% in vitro dan 7.5% in vivo resisten terhadap
golongan sefalosporin.

Sebagai kesimpulan, respon klinis dan mikrobiologis pasien dengan pielonefritis akut
tidak selalu sesuai. Sementara, sefalosporin generasi pertama dan ketiga memiliki efikasi yang
serupa sebagai terapi pasien tanpa komplikasi.

TAMBAHAN

Peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada para ahli mikrobiologi dan personil
laboratorium pusat Rumah Sakit Vali-Asr serta para pasien yag telah berpartisipasi di dalam
studi ini.
DAFTAR PUSTAKA

1. Stamn WE. Urinary tract infections, pyelonephritis and prostatitis. In: Kasper DL,
Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrison’s
principles of internal medicine. 17th edition. New York, McGraw-Hill, 2008;p:1820-
27.
2. Norrby SR. Approach to the patient with urinary tract infection. Goldman L, Ausiello
D, editors. Cecil medicine. 23rd edition. Philadelphia, WB Saunders Company.
2008;p:2137-42.
3. Jack D, Sobel L, Donald Kaye. Urinary tract infections. In: Mandell GL, Bennet JE,
Dolin R, eds. Mandell, Douglas, and Bennet’s principles and practice of infectious
diseases. 7th edition. Philadelphia: Churchill Livingstone. 2010;p:957-80.
4. Ozumba UC, Dosunmi Ogunbi O, Onile B. Urinary tract infections with Proteus species
in a teaching hospital. East Afr Med J. 1995;72(1):72-4.
5. Wells WG, Woods GL, Jiang Q, Gesser RM. Treatment of complicated urinary tract
infection in adults: combined analysis of two randomized, doubleblind, multicentre
trials comparing ertapenem and ceftriaxone followed by appropriate oral therapy. J
Antimicrob Chemother. 2004;53 Suppl 2:ii67-74.
6. Somech R, Belson A, Assia A, Jurgenson U, Spirer Z, Reif S. First generation
cephalosporins as therapy for uncomplicated pyelonephritis in children. A retrospective
analysis. J Med. 2000;31(3-4):195-203.
7. Bogdanov MB, Chernen'kaia TV. Microbiological evaluation of differences between
cephalosporins of second and third generations in general hospital. Antibiot Khimioter.
2003;48(1):27-30.
8. Schaeffer AJ. Infections of the urinary tract. In: Wein AJ, Kavoussi LR, Novick AC,
Partin AW, Peters CA, editors. Campbell-Walsh Urology. 9th edition. Philadelphia:
WB Saunders Company. 2007;p:518-30.
9. Zareh Bidaki M, Rashed T, Behzadian Nejad JH. Bacterial etiology in asymptomatic
and symptomatic urinary tract infections in pediatrics referred to Mashhad selected
hospitals and orphan ages. 2nd Congress of Microbiologic. Tehran, Iran. 1996.
10. Hotton J, Hughes M, Raymon D-CH. Management of bacterial urinary tract infections
in adults. Ann Pharmacother. 1994;26(11):1264-72.
11. Korman TM, Grayson ML. Treatment of urinary tract infections? Aust Fam Physician.
1995;24(12):220511.
12. McRea SN, Dairiki Shortlifle LM. Bacterial infections of the genitourinary tract. In:
Tanaqho EA, McAninch JW, editors. Smith’s general urology. 17th edition. New York:
Mc Grow Hill. 2008;p:237-65.
13. Sanchez M, Collvinent B, Miró O, Horcajada JP, Moreno A, Marco F, et al. Short-term
effectiveness of ceftriaxone single dose in the initial treatment of acute uncomplicated
pyelonephritis in women. A randomized controlled trial. Emerg Med J. 2002;19(1):19-
22.
14. Marcus N, Ashkenazi S, Yaari A, Samra Z, Livni G. Non-Escherichia coli versus
Escherichia coli community-acquired urinary tract infections in children hospitalized
in a tertiary center: relative frequency, risk factors, antimicrobial resistance and
outcome. Pediatr Infect Dis J. 2005;24(7):581-85.
15. Ghiro L, Cracco AT, Sartor M, Comacchio S, Zacchello G, Dall'Amico R, and Veneto
Urinary Tract Infection Study Group. Retrospective study of children with acute
pyelonephritis. Evaluation of bacterial etiology, antimicrobial susceptibility, drug
management and imaging studies. Nephron. 2002;90(1):8-15.
16. Arrieta AC, Bradley JS. Empiric use of cefepime in the treatment of serious urinary
tract infections in children. Pediatr Infect Dis J. 2001;20(3):350-5.
17. Talan DA, Stamm WE, Hooton TM, Moran GJ, Burke T, Iravani A, et al. Comparison
of ciprofloxacin (7 days) and trimethoprim-sulfamethoxazole (14 days) for acute
uncomplicated pyelonephritis pyelonephritis in women: a randomized trial. JAMA.
2000; 283(12):158390.
18. Wing DA, Hendershott CM, Debuque L, Millar LK. A randomized trial of three
antibiotic regimens for the treatment of pyelonephritis in pregnancy. Obstet Gynecol.
1998;92(2):249-53.
19. Sanchez-Ramos L, McAlpine KJ, Adair CD, Kaunitz AM, Delke I, Briones DK.
Pyelonephritis in pregnancy: once-a-day ceftriaxone versus multiple doses of cefazolin.
A randomized, double-blind trial. Am J Obstet Gynecol. 1995;172(1 Pt 1):129-33.
20. Carrie AG, Metge CJ, Collins DM, Harding GK, Zhanel GG. Predictors of receipt of a
fluoroquinolone versus trimethoprim-sulfamethoxazole for treatment of acute
pyelonephritis in women in Manitoba, Canada. Pharmacoepidemiol Drug Saf.
2004;13(12):863-70.

Anda mungkin juga menyukai