Anda di halaman 1dari 14

Laporan Pendahuluan ‘Obstruksi Jaundice’

A. Definisi
Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis ‘jaune’ yang berarti kuning.
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membrane
mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat
kadarnya dalam sirkulasi darah. Jaringan permukaan yang kaya elastin seperti
sklera dan permukaan bawah lidah biasanya pertama kali menjadi kuning. Ikterus yang
ringan dapat dilihat paling awal di sklera mata, dan bila ini terjadi kadar bilirubin
sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl (34-43 umol/L). Kadar bilirubin serum normal adalah
bilirubin direk : 0-0.3 mg/dL, dan total bilirubin: 0.3-1.9 mg/dL. (5)

B. Anatomi Sistem Hepatobilier


Pengetahuan yang akurat akan anatomi hati dan traktus biliaris, dan hubungannya
dengan pembuluh darah penting untuk kinerja pembedahan hepatobilier karena biasanya
terdapat variasi anatomi yang luas. Deskripsi anatomi klasik pada traktus biliaris hanya
muncul pada 58% populasi.(6)
Hepar, kandung empedu, dan percabangan bilier muncul dari tunas ventral
(divertikulum hepatikum) dari bagian paling kaudal foregut diawal minggu keempat
kehidupan. Bagian ini terbagi menjadi dua bagian sebagaimana bagian tersebut tumbuh
diantara lapisan mesenterik ventral: bagian kranial lebih besar (pars hepatika) merupakan
asal mula hati/hepar, dan bagian kaudal yang lebih kecil (pars sistika) meluas membentuk
kandung empedu, tangkainya menjadi duktus sistikus. Hubungan awal antara
divertikulum hepatikum dan penyempitan foregut, nantinya membentuk duktus biliaris.
Sebagai akibat perubahan posisi duodenum, jalan masuk duktus biliaris berada disekitar
aspek dorsal duodenum.(5,6)
Sistem biliaris secara luas dibagi menjadi dua komponen, jalur intra-hepatik dan
ekstra-hepatik. Unit sekresi hati (hepatosit dan sel epitel bilier, termasuk kelenjar
peribilier), kanalikuli empedu, duktulus empedu (kanal Hearing), dan duktus biliaris
intrahepatik membentuk saluran intrahepatik dimana duktus biliaris ekstrahepatik (kanan
dan kiri), duktus hepatikus komunis, duktus sistikus, kandung empedu, dan duktus biliaris
komunis merupakan komponen ekstrahepatik percabangan biliaris.(3,5,6)
Duktus sistikus dan hepatikus komunis bergabung membentuk duktus biliaris.
Duktus biliaris komunis kira-kira panjangnya 8-10 cm dan diameter 0,4-0,8 cm. Duktus
biliaris dapat dibagi menjadi tiga segmen anatomi: supraduodenal, retroduodenal, dan
intrapankreatik. Duktus biliaris komunis kemudian memasuki dinding medial duodenum,
mengalir secara tangensial melalui lapisan submukosa 1-2 cm, dan memotong papila
mayor pada bagian kedua duodenum. Bagian distal duktus dikelilingi oleh otot polos
yang membentuk sfingter Oddi. Duktus biliaris komunis dapat masuk ke duodenum
secara langsung (25%) atau bergabung bersama duktus pankreatikus (75%) untuk
membentuk kanal biasa, yang disebut ampula Vater.(4,5)
Traktus biliaris dialiri vaskular kompleks pembuluh darah disebut pleksus vaskular
peribilier. Pembuluh aferen pleksus ini berasal dari cabang arteri hepatika, dan pleksus ini
mengalir kedalam sistem vena porta atau langsung kedalam sinusoid hepatikum.(6)

C. Metabolime Normal Bilirubin


Bilirubin berasal dari hasil pemecahan hemoglobin oleh sel retikuloendotelial, cincin
heme setelah dibebaskan dari besi dan globin diubah menjadi biliverdin yang berwarna hijau.
Biliverdin berubah menjadi bilirubin yang berwarna kuning. Bilirubin ini dikombinasikan
dengan albumin membentuk kompleks protein-pigmen dan ditransportasikan ke dalam sel
hati. Bentuk bilirubin ini sebagai bilirubin yang belum dikonjugasi atau bilirubin indirek
berdasar reaksi diazo dari Van den Berg, tidak larut dalam air dan tidak dikeluarkan melalui
urin. Didalam sel inti hati albumin dipisahkan, bilirubin dikonjugasikan dengan asam
glukoronik yang larut dalam air dan dikeluarkan ke saluran empedu. Pada reaksi diazo Van
den Berg memberikan reaksi langsung sehingga disebut bilirubin direk. Bilirubin indirek
yang berlebihan akibat pemecahan sel darah merah yang terlalu banyak, kekurang mampuan
sel hati untuk melakukan konjugasi akibat penyakit hati, terjadinya refluks bilirubin direk
dari saluran empedu ke dalam darah karena adanya hambatan aliran empedu menyebabkan
tingginya kadar bilirubin didalam darah. Keadaan ini disebut hiperbilirubinemia dengan
manifestasi klinis berupa ikterus.(5)

D. Klasifikasi
Klasifikasi umum jaundice: pre-hepatik, hepatik dan post-hepatik. Jaundice obstruktif
selalu ditunjuk sebagai post-hepatik sejak defeknya terletak pada jalur metabolisme bilirubin
melewati hepatosit. Bentuk lain jaundice ditunjuk sebagai jaundice non-obstruktif. Bentuk ini
akibat defek hepatosit (jaundice hepatik) atau sebuah kondisi pre-hepatik.

E. Patofisiologi
Metabolisme bilirubin terjadi dalam tiga fase antara lain fase prehepatik, intrahepatik
dan posthepatik. Disfungsi pada salah satu atau lebih dari fase ini dapat menimbulkan
jaundice.
1) Fase Prehepatik
Tubuh manusia memproduksi kurang lebih 4 mg/kg BB bilirubin perhari dari
metabolisme heme.Sekitar 80% dari heme merupakan hasil dari katabolisme eritrosit, dengan
20% sisanya dihasilkan dari erithropoiesis yang tidak efektif serta perombakan mioglobin
otot dan sitokrom. Bilirubin yang terbentuk akan ditransportasi dari plasma menuju hepar
untuk dikonjugasikan dan diekskresi.
2) Fase Intahepatik
Bilirubin tak terkonjugasi bersifat larut lemak dan tidak larut air, dan karena itu dapat
dengan mudah melewati blood-brain barrier atau melewati plasenta. Di dalam hepatosit,
bilirubin tak terkonjugasi akan dikonjugasi dengan gula yang dikatalis enzim glucoronosyl
transferase dan akhirnya larut dalam cairan empedu.
3) Fase Pascahepatik
Setelah larut dalam empedu, bilirubin ditransportasikan melalui duktus biliaris dan
duktus cystic untuk disimpan sementara dalam kandung empedu, atau melewati ampula Vater
dan masuk keduodenum. Di dalam usus, sejumlah bilirubin akan diekskresikan di dalam
tinja, sementarasisanya dimetabolisme oleh flora normal usus menjadi urobilinogen dan
kemudian akan direabsorbsi. Sebagian besar urobilinogen akan difiltrasi dari darah oleh
ginjal dan diekskresikan di dalam urin. Sebagian kecil urobilinogen diabsorbsi di dalam usus
dan direekskresi ke dalam empedu.
F. Gangguan Metabolisme Bilirubin

1. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi / indirek.


1.1. Over produksi

Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah yang sudah tua
atau yang mengalami hemolisis akan meningkatkan produksi bilirubin. Penghancuran
eritrosit yang menimbulkan hiperbilirubinemia paling sering akibat hemolisis intravaskular
(kelainan autoimun, mikroangiopati atau hemoglobinopati) atau akibat resorbsi hematom
yang besar. Ikterus yang timbul sering disebut ikterus hemolitik.(3,5)
Konjugasi dan transfer bilirubin berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin
tak terkonjugasi/indirek melampaui kemampuan sel hati. Akibatnya bilirubin indirek
meningkat dalam darah. Karena bilirubin indirek tidak larut dalam air maka tidak dapat
diekskresikan ke dalam urine dan tidak terjadi bilirubinuria. Tetapi pembentukkan
urobilinogen meningkat yang mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam urine (warna
gelap). Beberapa penyebab ikterus hemolitik : hemoglobin abnormal (anemia sel
sickle), kelainan eritrosit (sferositosis heriditer), antibodi serum (Rhesus Inkompatibilitas
transfusi) dan malaria tropika berat.(3,5)

1.2 Penurunan pengambilan hepatik


Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi dilakukan dengan memisahkannya dari
albumin dan berikatan dengan protein penerima. Beberapa obat-obatan seperti asam
flavaspidat, novobiosin dapat mempengaruhi uptake inI. (3)

1.3. Penurunan konjugasi hepatik


Terjadi gangguan konjugasi bilirubin sehingga terjadi peningkatan bilirubin
tak terkonjugasi. Hal ini disebabkan karena defisiensi enzim glukoronil transferase. Terjadi
pada :
1. Sindroma Gilberth, Sindroma Crigler Najjar I.
2. Sindroma Crigler Najjar II (3)

2. Hiperbilirubinemia konjugasi/direk
Hiperbilirubinemia konjugasi / direk dapat terjadi akibat penurunan eksresi bilirubin
ke dalam empedu. Gangguan ekskresi bilirubin dapat disebabkan oleh kelainan intrahepatik
dan ekstrahepatik, tergantung ekskresi bilirubin terkonjugasi oleh hepatosit akan
menimbulkan masuknya kembali bilirubin ke dalam sirkulasi sistemik sehingga timbul
hiperbilirubinemia. Kelainan hepatoseluler dapat berkaitan dengan : Hepatitis, sirosis
hepatis, alkohol, leptospirosis, kolestatis obat (CPZ), zat yang.meracuni hati fosfor,
klroform, obat anestesi dan tumor hati multipel. Ikterus pada trimester terakhir kehamilan
hepatitis virus, sindroma Dubin Johnson dan Rotor, ikterus pasca bedah. Obstruksi saluran
bilier ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang disertai
bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial.(5)
Obstruksi total dapat disertai tinja yang akolik. Penyebab tersering obstruksi
bilier ekstrahepatik adalah :
 Obstruksi saluran empedu didalam hepar. Contohnya pada kasus Sirosis hepatis,
abses hati, hepatokolangitis, tumor maligna primer dan sekunder.
 Obstruksi di dalam lumen saluran empedu : batu empedu, askaris.
 Kelainan di dinding saluran empedu : atresia bawaan, striktur traumatik, tumor
saluran empedu.
 Tekanan dari luar saluran empedu : tumor caput pancreas, tumor Ampula Vatery,
pancreatitis, metastasis tumor di ligamentum hepatoduodenale (2,3)

G. Manifestasi Kinis Jaundice


Pasien dengan jaundice mungkin hadir tanpa gejala sama sekali atau bahkan hadir
dengan kondisi yang mengancam jiwa. Pasien yang hadir dengan penyakit akut, yang
biasanya karenainfeksi, mungkin datang karena demam, menggigil, nyeri abdomen, dan flu-
like symptom. Pada pasien ini, perubahan warna kulit mungkin bukan menjadi keluhan utama
mereka. (8)
Pasien dengan jaundice non infeksi mungkin mengeluh penurunan berat badan atau
pruritus. Nyeri abdomen adalah gejala yang biasanya muncul pada carsinoma pankreas atau
tractus biliaris. Kadang-kadang pasien hadir dengan jaundice dan disertai manifestasi
ekstrahepatik dari penyakit hati.

H. Diagnosis
Riwayat penyakit yang rinci dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk menegakkan
diagnosis penyakit dengan keluhan ikterus. Tahap awal ketika akan mengadakan penilaian
klinis seorang pasien dengan ikterus adalah tergantung kepada apakah hiperbilirubinemia
bersifat konjugasi atau tak terkonjugasi. Jika ikterus ringan tanpa warna air seni yang gelap
harus dipikirkan kemungkinan adanya hiperbilirubinemia indirect yang mungkin
disebabkan oleh hemolisis, sindroma Gilbert atau sindroma Crigler Najjar dan bukan
karena penyakit hepatobilier. Keadaan ikterus yang lebih berat dengan disertai warna urin
yang gelap menandakan penyakit hati atau bilier. Jika ikterus berjalan sangat progresif perlu
dipikirkan segera bahwa kolestasis lebih bersifat ke arah sumbatan ekstrahepatik (batu
saluran empedu atau keganasan kaput pankreas) (8)
Kolestasis ekstrahepatik dapat diduga dengan adanya keluhan sakit bilier atau kandung
empedu yang teraba. Jika sumbatan karena keganasan pankreas (bagian kepala/kaput) sering
timbul kuning yang tidak disertai gajala keluhan sakit perut (painless jaundice).
Kadang-kadang bila bilirubin telah mencapai kadar yang lebih tinggi, warna kuning pada
sklera mata sering memberi kesan yang berbeda dimana ikterus lebih memberi kesan
kehijauan (greenish jaundice) pada kolestasis ekstrahepatik dan kekuningan
(yellowish jaundice) pada kolestasis intrahepatik (8)
Diagnosis yang akurat untuk suatu gejala ikterus dapat ditegakkan melalui
penggabungan dari gejala-gajala lain yang timbul dan hasil pemeriksaan fungsi hepar
serta beberapa prosedur diagnostik khusus. Sebagai contoh, ikterus yang disertai demam dan
terdapat fase prodromal seperti anoreksia, malaise dan nyeri tekan hepar menandakan
hepatitis. Ikterus yang disertai rasa gatal menandakan kemungkinan adanya suatu
penyakit xanthomatous atau suatu sirosis biliary primer. Ikterus dan anemia menandakan
adanya suatu anemia hemolitik (3)
Langkah pertama pendekatan diagnosis pasien dengan ikterus ialah melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik yang teliti serta pemeriksaan faal hati.
Anamnesis ditujukan pada riwayat timbulnya ikterus, warna urin dan feses, rasa gatal,
keluhan saluran cerna, nyeri perut, nafsu makan berkurang, pekerjaan, adanya kontak
dengan pasien ikterus lain, alkoholisme, riwayat transfusi, obat-obatan, suntikan atau
tindakan pembedahan.(8)
Penyakit yang menyebabkan jaundice dapat dibagi menjadi penyakit yang
menyebabkan jaundice ‘medis’ seperti peningkatan produksi, menurunnya transpor atau
konjugasi hepatosit, atau kegagalan ekskresi bilirubin; dan ada penyakit yang menyebabkan
jaundice ‘surgical’ melalui kegagalan transpor bilirubin kedalam usus. Penyebab umum
meningkatnya produksi bilirubin termasuk anemia hemolitik, penyebab dapatan hemolisis
termasuk sepsis, luka bakar, dan reaksi transfusi. Ambilan dan konjugasi bilirubin dapat
dipengaruhi oleh obat-obatan, sepsis dan akibat hepatitis virus. Kegagalan ekskresi bilirubin
menyebabkan kolestasis intrahepatik dan hiperbilirubinemia terkonjugasi. Penyebab umum
kegagalan ekskresi termasuk hepatitis viral atau alkoholik, sirosis, kolestasis induksi-obat.
Obstruksi bilier ekstrahepatik dapat disebabkan oleh beragam gangguan termasuk
koledokolitiasis, striktur bilier benigna, kanker periampular, kolangiokarsinoma, atau
kolangitis sklerosing primer. Ketika mendiagnosa jaundice, dokter harus mampu
membedakan antara kerusakan pada ambilan bilirubin, konjugasi, atau ekskresi yang
biasanya diatur secara medis dari obstruksi bilier ekstrahepatik, yang biasanya ditangani oleh
ahli bedah, ahli radiologi intervensional, atau ahli endoskopi. Pada kebanyakan kasus,
anamnesis menyeluruh, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan pencitraan radiologis
non-invasif membedakan obstruksi bilier ekstrahepatik dari penyebab jaundice lainnya.
Kolelitiasis selalu berhubungan dengan nyeri kuadran atas kanan dan gangguan pencernaan.
Jaundice dari batu duktus biliaris umum. Biasanya sementara dan berhubungan dengan nyeri
dan demam (kolangitis). Serangan jaundice tak-nyeri bertingkat sehubungan dengan
hilangnya berat badan diduga sebuah keganasan/malignansi. Jika jaundice terjadi setelah
kolesistektomi, batu kandung empedu menetap atau cedera kandung empedu harus
diperkirakan.(5,6,8)

I. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi perabaan hati, kandung empedu, limpa, mencari tanda-tanda
stigmata sirosis hepatis, seperti spider naevi, palmar eritema bekas garukan di kulit karena
pruritus, tanda-tanda asites. Anemi dan limpa yang membesar dapat dijumpai pada pasien
dengan anemia hemolitik. Kandung empedu yang membesar menunjukkan adanya sumbatan
pada saluran empedu bagian distal yang lebih sering disebabkan oleh tumor (dikenal
Courvoisier). Hukum Courvoisier “Kandung empedu yang teraba pada ikterus tidak mungkin
disebabkan oleh batu kandung empedu”. Hal ini biasanya menunjukkan adanya striktur
neoplastik tumor (tumor, ampula, duodenum, CBD), striktur kronis, atau limfadenopati
portal.(8)

J. Pemeriksaan Penunjang
Tes ini biasanya berisi beberapa tes yang dilakukan bersamaan pada contoh darah
yang diambil menurut Davey 2006 yaitu:
1) Alanine Aminotransferase (ALT) — suatu enzim yang utamanya ditemukan di
hati, paling baik untuk memeriksa hepatitis. Dulu disebut sebagai SGPT (Serum
Glutamic Pyruvate Transaminase). 8apilla8i berada di dalam sel hati/hepatosit. Jika
sel rusak, maka enzim ini akan dilepaskan ke dalam aliran darah.
2) Alkaline Phosphatase (ALP) – suatu enzim yang terkait dengan saluran
empedu seringkali meningkat jika terjadi sumbatan.
3) Aspartate Aminotransferase (AST) – enzim ditemukan di hati dan di beberapa
tempat lain di tubuh seperti jantung dan otot. Dulu disebut sebagai SGOT (Serum
Glutamic Oxoloacetic Transaminase), dilepaskan pada kerusakan sel-sel parenkim
hati, umumnya meningkat pada infeksi akut.
4) Bilirubin – biasanya dua tes bilirubin digunakan bersamaan (apalagi pada
jaundice): Bilirubin total mengukur semua kadar bilirubin dalam darah; Bilirubin
direk untuk mengukur bentuk yang terkonjugasi.
5) Albumin – mengukur protein yang dibuat oleh hati dan memberitahukan apakah
hati membuat protein ini dalam jumlah cukup atau tidak
6) Protein total – mengukur semua protein (termasuk albumin) dalam darah,
termasuk berfungsi memerangi infeksi.
7) Darah Rutin
Pemeriksaan darah dilakukan untuk mengetahui adanya suatu anemia dan juga
keadaan infeksi.(2,3)
8) Pemeriksaan Urin
Tes yang sederhana yang dapat kita lakukan adalah melihat warna urin dan melihat
apakah terdapat bilirubin di dalam urin atau tidak.(2,3)
9) Pemeriksaan Serologi Virus
IgM epatitis A adalah pemeriksaan untuk hepatitis A akut. Hepatitis Bakut
ditandai oleh adanya HBSAg dan deteksi DNA hepatitis B.(2,3)
10) Biopsi hati
Histologi hati tetap merupakan pemeriksaan untuk ikterus hepatoseluler dan
beberapa kasus ikterus kolestatik (sirosis biliaris primer, kolestasis intrahepatik
akibat obat-obatan (drug induced).(2,3)

1. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)


Pemeriksaan pencitraan pada masa kini dengan sonografi sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis dan dianjurkan merupakan pemeriksaan penunjang pencitraan yang
pertama dilakukan sebelum pemeriksaan pencitraan lainnya. Dengan sonografi dapat
ditentukan kelainan parenkim hati, duktus yang melebar, adanya batu atau massa tumor.
Ketepatan diagnosis pemeriksaan sonografi pada hepatobilier untuk deteksi batu empedu,
pembesaran kandung empedu, pelebaran saluran empedu dan massa tumor tinggi sekali.
Tidak ditemukannya tanda-tanda pelebaran saluran empedu dapat diperkirakan penyebab
ikterus bukan oleh sumbatan saluran empedu, sedangkan pelebaran saluran empedu
memperkuat diagnosis ikterus obstruktif. Keuntungan lain yang diperoleh pada penggunaan
sonografi ialah sekaligus kita dapat menilai kelainan organ yang berdekatan dengan
hepatobilier antara lain ginjal. (7)

2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto polos abdomen kurang bermanfaat karena sebagian besar batu
empedu radiolusen. Kolesistografi tidak dapat digunakan pada pasien ikterus karena zat
kontras tidak diekskresikan oleh sel hati yang sakit.(7)
Pemeriksaan endoskopi yang banyak manfaat diagnostiknya saat ini adalah
pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancre atography). Dengan bantuan
endoskopi melalui muara ampula Vater kontras dimasukkan kedalam saluran empedu.
Keuntungan lain pada pemeriksaan ini ialah sekaligus dapat menilai apakah ada kelainan
pada muara Vater, tumor misalnya atau adanya penyempitan. Keterbatasan yang mungkin
timbul pada pemeriksaan ini ialah bila muara vater tidak dapat dimasuki kanul.(6,7)
Adanya sumbatan di saluran empedu bagian distal, gambaran saluran proksimalnya
dapat divisualisasikan dengan pemeriksaan Percutaneus Transhepatic
Cholangiography (PTC). Pemeriksaan ini dilakukan dengan penyuntikan kontras melalui
jarum yang ditusukkan ke hilus hati dan sisi kanan pasien. Kontras disuntikkan bila ujung
jarum sudah diyakini berada di dalam saluran empedu. Computed Tomography (CT) adalah
pemeriksaan radiologi yang dapat memperlihatkan serial irisan-irisan hati. Adanya kelainan
hati dapat diperlihatkan lokasinya dengan tepat.(6,7)
Untuk diagnosis kelainan primer dari hati dan kepastian adanya keganasan dilakukan
biopsi jarum untuk pemeriksaan histopatologi. Biopsi jarum tidak dianjurkan bila ada tanda-
tanda obstruksi saluran empedu karena dapat menimbulkan penyulit kebocoran saluran
empedu.(8)

K. Pengobatan
Pengobatan jaundice sangat tergantung penyakit dasar penyebabnya. Jika
penyebabnya adalah penyakit hati (misalnya hepatitis virus), biasanya jaundice akan
menghilang sejalan dengan perbaikan penyakitnya. Beberapa gejala yang cukup
mengganggu misalnya gatal (pruritus) pada keadaan kolestasis intrahepatik, pengobatan
penyebab dasarnya sudah mencukupi. (3)

Jika penyebabnya adalah sumbatan bilier ekstra-hepatik biasanya membutuhkan


tindakan pembedahan, ekstraksi batu empedu di duktus, atau insersi stent, dan drainase
via kateter untuk striktura (sering keganasan) atau daerah penyempitan sebagian. Untuk
membantu pengeluaran batu disaluran empedu sumbatan maligna yang non-operabel,
drainase bilier paliatif dapat dilakukan melalui stent yang ditempatkan melalui hati
(transhepatik) atau secara endoskopik (ERCP). Pada sejumlah pasien ikterus bedah yang
mempunyai risiko tinggi dapat dilakukan “ERCP terapeutik”. Prinsip dari ERCP
terapeutik adalah memotong sfingter papilla Vateri dengan kawat yang dialiri arus
listrik sehingga muara menjadi besar (spingterotomi endoskopik). Papilotomi
endoskopik dengan pengeluaran batu telah menggantikan laparatomi pada pasien dengan
batu di duktus kholedokus. (2,3)

JAUNDICE OBSTRUKTIF
Hambatan aliran empedu yang disebabkan oleh sumbatan mekanik menyebabkan
terjadinya kolestasis yang disebut sebagai ikterus obstruktif saluran empedu, sebelum
sumbatan melebar. Aktifitas enzim alkalifosfatase akan meningkat dan ini merupakan tanda
adanya kolestasis. Infeksi bakteri dengan kolangitis dan kemudian pembentukan abses
menyertai demam dan septisemia yang tidak jarang dijumpai sebagai penyulit ikterus
obstruktif. (2,3)
Patogenesis dan Tipe Batu
Menurut gambaran makroskopik dan komposisi kimianya dapat diklasifikasikan
menjadi 3 kategori mayor:
1. Batu kolesterol
2. Batu pigmen coklat atau batu kalsium bilirubin
3. Batu pigmen hitam yang kaya aka residu hitam yang tidak terekstraksi.
Gambaran klinis Batu Kandung Empedu
Pasien dengan batu empedu dibagi menjadi 3 kelompok :
1. pasien dengan batu asimptomatik
2. pasien dengan batu empedu simptomatik
3. pasien dengan komplikasi batu empedu seperti : kolesistitis akut, ikterus, kolangitis
dan pangkreatitis.
Gejala batu empedu yang paling sering adalah kolik bilier, keluhan ini didefinisikan
sebagai nyeri perut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang 12 jam dengan lokasi
nyer perut di atas atau epigastrium tetapi bisa juga di kiri atau perikondrial.
Komplikasi Batu Empedu
1. Kolesisititis akut
Gejala klinis meliputi nyeri perut kanan atas dengan mual muntah dan demam, dan
kurang lebih 15 % pasien mengalami kolesistitis akut. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
nyeri tekan perut kanan atas dan sering teraba empedu yang membesar disertai dengan tanda-
tanda peritonitis. Pemeriksaan labaratorium menunjukkan leukositosis dan juga didapatkan
kenaikan ringan billirubin dan faal hati akibat kompresi local pada saluran empedu.
Patogenesis kolesistitis akut akibat tertutupnya duktus sistikus oleh batu terjepit. Kemudian
terjadi hidrop dari kandung empedu. Penambahan kandung empedu dan edema kandung
empedu menyebabkan iskemia dari dinding kandung empedu yang berkembang ke proses
nekrosis dan perforasi. Jadi permulaanya terjadi peradangan steril dan pada tahap kemudian
terjadi super infeksi bakteri dapat juga disebabkan oleh lumbur batu empedu. Kompllikasi
lain seperti ikterus, kolangitis, dan pancreatitis.
Penegakkan diagnosis penyakit batu empedu:
1. USG (Ultrasonography)
2. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography)
3. EUS (Endoscopic Ultrasonography)
4. MRCP (Magnetic Resonant Cholangio Pancreatgraphic)
Penangganan Batu Kandung Empedu
Untuk batu kandung empedu simtomatik dilakukan kolestitektomi terbuka apabila
kolesistektomi laparaskopi gagal atau tidak memungkinkan. Koletitektomi laparoskopi telah
menjadi prosedur baku untuk pengangkatan batu empedu simtomatik. Untuk penanggana
profilaksis batu empedu asimtomatik tidak dianjurkan karena sebahagian pasien dengan batu
asimtomatik tidak mengalami keluhan. Penatalaksanaan batu saluran empedu dengan
menggunakan ERCP Teurapeutik.
Choledokholitiasis
Choledokholitiasis adalah batu pada duktus kholedukus. Efek patofisiologi
mencermnkan efek backup konstitue kegagalannya untuk masuk ke usus halus untuk
diekskresi sehingga terjadi retensi bilirubin yang menghasilkan campuran hiperbilirubinemia
dengan kelebihan billirubin konjugasi yang masuk kedalam urin sehingga manifestasinya
adalah :
1. Tinja sering berwarna pucat karena lebih sedikit yang bisa masuk kedalam saluran
cerna usus halus.
2. Pruritus disebabkan karena peningkatan garam empedu dalam sirkulasi
3. Ostheoporosis
4. Hiperlipidemia
Pengobatan :
1. Kolestiramin anti pruritus diberikan 4-16 mg perhari dibagi 2 dosis.
2. Pemberian suplemen kalsium,vitamin D dan A
3. Pembedahan, ekstraksi batu empedu di duktus, insersi sten, dan drainase via kateter.
PATHWAYS
DAFTAR PUSTAKA
1. Davey P. At a Glance Medicine. Ikterus.Jakarta :Erlangga Medical Series.2006
2. Silbernagl S. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Ikterus. Jakarta: EGC.
2007.hal 168
3. Sulaiman. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: FKUI. 2006.
4. Grace PA. At a Glance Ilmu Bedah . Jakarta: Erlangga Medical Series. 2007
5. Price JA. Patofisiologi Konsep Klinis Proses proses Penyakit. Jakarta:EGC. 2006.
Hal 472.
6. Sherwood L. Fisiologi Manusia. Jakarta: EGC. 2011. Hal 641.
7. Sudoyo AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: FKUI. 2006. Hal 422-425
8. Swarts, M. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: EGC. 2004. Hal 238.
9. Norton JG, Gustav P. Disease of the Gallbladder and Bile Duct. In Horrison
Principle of Medicine. Dennis K. 2015 : 18 th edition

Anda mungkin juga menyukai