Anda di halaman 1dari 15

PERBEDAAN TINGKAT ODOR YANG DIPERSEPSIKAN MAHASISWA

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS PADJADJARAN


ANGKATAN 2007 SAAT MERAWAT TIGA JENIS LUKA KRONIS
Dina Astrianai1Maria Komariah1Dian Adiningsih1
1
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat

ABSTRAK
Luka kronis adalah luka yang mengalami kegagalan dalam proses
penyembuhan. Luka kronis seperti ulkus diabetes, ulkus tekanan, dan luka kanker
dirasakan sangat tidak sedap dipandang dan bau/malodor. Bau atau odor yang
ditimbulkan mengganggu konsentrasi dan meningkatkan tanda-tanda vital seperti
respirasi rate, heart rate, meningkatkan produksi keringat dan membuat cemas dan
gelisah bagi yang merawat. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui perbedaan
tingkat odor yang dipersepsikan mahasiswa fakultas ilmu keperawatan Universitas
Padjadjaran angkatan 2007 saat merawat luka diabetes, luka dekubitus, dan luka
kanker. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif komparatif.
Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara purposive sampling dengan sampel
sebanyak 10 orang masing-masing merawat 3 jenis luka. Instrumen yang digunakan
dalam penelitian ini berupa skala odor dari rentang 0-6 yang akan dipersepsikan oleh
mahasiswa. Data dianalisis menggunakan uji kruskall wallis. Hasil uji dibuktikan
bahwa H1 diterima yaitu terdapat perbedaan odor pada ketiga luka kronis.
Berdasarkan uji kruskal wallis diketahui pula nilai rata-rata ranking odor pada setiap
luka kronis. Rata-rata ranking odor untuk luka diabetes paling tinggi yaitu 21.
Penurunan imunitas, abses, eksudat, jaringan nekrotik, bakteri yang lebih banyak
diketahui menjadi penyebab luka diabetes mendapatkan skala odor paling tinggi.
Oleh karena itu, informasi mengenai skala odor pada luka kronis perlu untuk
diketahui sebelumnya oleh mahasiswa.
Kata kunci : Odor, Bau, Luka kronis.
ABSTRACT
Chronic Wounds are wounds that fail to heal with ‘standard’ therapy.Some
chronic wounds such as diabetic ulcers, pressure ulcers, and fungating wounds are
felt unslightly and smelly/malodours. The odor decrease the concentration and
improve the vital signs such as respiration rate, heart rate, sweat production and also
make anxiety and restlessness for the people who take care of it. The purpose of this
research was to determine the level of odor an perceived by 2007th Nursing Faculty
Student of Padjadjaran University when treating diabetic ulcer, decubitus sores and
fungating wounds. This research uses comparative descriptive research method.
Sampling was purposive sampling study conducted with a sample of 10 respondents
for each wounds type. The Instrument used in this study is an odor scale (range 0-6)
that would be perceived by students. Data were analyzed using the formula of kruskal
wallis metho. Test result proved that H1 is accepted that there are differences in all
Dina Astriana, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21 Jatinangor-Sumedang)
Email : diinaastriana20@gmail.com
1
three chronics wound odor.Based on the kruskal wallis test is also known to the
average rank of each odor on chronic wounds.Average rank of odor to the highest
diabetic wounds compared with decubitus sores and cancer sores. Lowered
immunity, abscesses, exudates, necrotic tissue, bacteria are cause diabetic wounds
have the highest odor scale than any chronic wounds. Therefore, knowledge about
odor scale that perceived by student are important.

Keywords: Odor, malodours, Chronic wounds

PENDAHULUAN

Salah satu ruang lingkup garapan perawat adalah membantu proses penyembuhan

luka melalui perawatan luka. Terminologi luka yang dihubungkan dengan waktu

penyembuhan dapat dibagi menjadi dua, yaitu luka akut dan luka kronis. Luka akut

adalah luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang

telah disepakati.. Luka kronis adalah luka yang belum menunjukan kesembuhan yang

signifikan dalam empat minggu atau belum sepenuhnya sembuh dalam delapan

minggu (Jefferson, 2011).

Sebagian besar luka kronis dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu

ulkus diabetes, ulkus tekanan, dan ulkus vena (Posnett et al, 2008). Ulkus kaki

diabetes merupakan suatu komplikasi yang umum bagi pasien dengan diabetes

mellitus (Robertson et al, 1986). Ulkus kaki diabetes biasa terjadi karena neuropati

perifer, iskemia vaskuler, dan infeksi. Klasifikasi ulkus kaki diabetes menurut

Wagner 1987, yaitu grade 0 tidak ada ulkus, grade 1 ulkus superficial yang mengenai

seluruh lapisan kulit tetapi tidak mengenai jaringan dibawahnya, grade 2 ulkus dalam

yang menembus sampai otot dan ligamentum tanpa melibatkan otot dan abses, grade

Dina Astriana, S.Kep


Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21 Jatinangor-Sumedang)
Email : diinaastriana20@gmail.com
2
3 ulkus dalam dengan selulitis disertai abses, grade 4 gangren terlokalisasi, dan grade

5 gangren luas yang mengenai seluruh bagian region tubuh misalnya pada kaki.

Ulkus tekanan atau luka dekubitus merupakan suatu daerah kerusakan seluler

yang terlokalisasi, baik akibat tekanan langsung pada kulit sehingga mengakibatkan

iskemia tekanan maupun akibat kekuatan gesekan sehingga menyebabkan stress

mekanik terhadap jaringan (Chapman dan Chapman, 1986). Luka dekubitus dapat

dibagi menjadi 4 tingkatan, yaitu : tingkat 1 adanya eritema pada kulit setempat yang

menetap, tingkat 2 adanya kerusakan pada epidermis dan dermis ditandai dengan luka

lecet atau melepuh, tingkat 3 kerusakan semua lapisan kulit atau sampai jaringan

subkutan dan mengalami nekrosis dengan kapasitas yang dalam, dan tingkat 4 adanya

kerusakan pada ketebalan kulit dan nekrosis sampai ke jaringan otot bahkan tulang

atau tendon (Suriadi, 2004)

Selain luka kronis diatas, luka kanker dikatakan pula sebagai luka kronis dilihat

dari karakteristiknya yaitu sulit sembuh, sangat menyakitkan, tidak sedap dipandang,

bau/malodor, dan sangat banyak memproduksi eksudat (Dennis et al, 2010). Di

Indonesia prevalensi angka kanker dikatakan cukup tinggi. Menurut Dowsett (2002)

memyatakan perkiraannya antara 5-10% pada pasien yang mengalami metastase

kanker akan mengalami luka kanker.

Luka kronis ditandai dengan terganggunya pasokan oksigen, terganggunya

pengiriman nutrisi, pengeluaran protease dan regulasi protein yang abnormal, fase

proliferasi yang terlalu dini, dan 80% kasus luka kronis menunjukan perkembangan

bakteri (Casey, 2012).


Dina Astriana, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21 Jatinangor-Sumedang)
Email : diinaastriana20@gmail.com
3
Teknik perawatan luka oleh perawat juga dapat meningkatkan resiko infeksi

silang, seperti infeksi bakteri streptokokus β-hemolitikus, pseudomonas, dan bakteri

lainnya yang memungkinkan berkembangnya bakteri yang dapat menghasilkan bau.

Invasi bakteri sebenarnya dapat ditangani oleh komponen sistemik tubuh tetapi

kolonisasi bakteri tidak sampai melebihi batas normal, maka dari itu teknik pencucian

dan perawatan yang tepat sangat dibutuhkan. Teknik perawatan sebaiknya aseptik dan

membutuhkan perhatian yang seksama saat melakukan perawatan luka (Gitarja,

2008).

Bau yang dipersepsikan perawat dari luka kronis secara fisiologis dapat

menurunkan konsentrasi perawat dan membuat perasaan terburu-buru saat merawat

luka. Bau yang ditimbulkan dari luka kronis dapat dipersepsikan dengan pengukuran

skala malodor. Skala malodor itu sendiri mempunyai rentang dari 0-6. Skala 1

menunjukan bau sangat lemah, skala 2 bau lemah, skala 3 sedang, skala 4 bau terasa

kuat, skala 5 sangat bau, skala 6 sangat sangat bau.

Pikiran atau intepretasi dari luka kronis yang ditangani perawat dapat pula

menentukan respon emosi perawat. Salah satu respon nya adalah respon fight or

flight. Respon ini terletak di batang otak. Kalau seseorang berada dalam keadaan

tidak nyaman, hemisfer medialis hipotalamus segera mensekresikan pesan-pesan

biokimiawi (katekolamin) ke dalam sirkulasi darah. Pelepasan katekolamin yang

merupakan hormon pencentus stress dapat dilihat melalui tanda-tanda vital seperti

peningkatan heart rate, peningkatan respirasi rate, cemas, gelisah, peningkatan

produksi keringat (Atkinson, 2003).


Dina Astriana, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21 Jatinangor-Sumedang)
Email : diinaastriana20@gmail.com
4
Setelah melakukan study pendahuluan kepada mahasiswa Fakultas Ilmu

Keperawatan UNPAD Angkatan 2007 yang sedang melakukan kegiatan profesi di

RSUP Hasan Sadikin muncul fenomena bahwa 10 dari 10 mahasiswa yang merawat

luka kronis mengaku merasa bau saat merawat pasien dengan luka kronis. Dan 7 dari

10 mahasiswa mengatakan bau yang timbul itu mengganggu konsentrasi. Dan hal

tersebut berdampak ke kinerja saat bertugas, cemas, gelisah, terdapat perasaan ingin

buru-buru dalam melakukan perawatan dan kadang tidak maksimal dalam merawat

luka dan rasa mual yang luar biasa tak terhindarkan.

Berdasarkan fenomena di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai “Perbedaan Tingkat Odor yang Dipersepsikan Mahasiswa Fakultas

Keperawatan Universitas Padjadjaran Angkatan 2007 saat Merawat Tiga Jenis Luka

Kronis”.

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif

komparatif. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa angkatan A 2007

Fakultas Ilmu Keperawatan UNPAD yang sedang melakukan kegiatan profesi di

Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung yang merawat luka kronis berjumlah ± 60

orang.

Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini berjumlah 10 orang. Cara

pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik

purposive sampling.

Dina Astriana, S.Kep


Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21 Jatinangor-Sumedang)
Email : diinaastriana20@gmail.com
5
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :

• Mahasiswa angkatan A 2007 Fakultas Ilmu Keperawatan UNPAD yang

melakukan perawatan luka diabetes grade 3, luka dekubitus grade 3 dan luka

kanker stadium lanjut

Adapun kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah :

• Mahasiswa angkatan A 2007 Fakultas Ilmu Keperawatan UNPAD yang sedang

sakit flu.

Variabel dalam penelitian ini adalah tingkat odor yang dipersepsikan mahasiswa

saat merawat luka kronis. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah

menggunakan odor scale. Skala odor itu sendiri mempunyai rentang dari 0-6. Skala 1

menunjukan bau sangat lemah, skala 2 bau lemah, skala 3 sedang, skala 4 bau terasa

kuat, skala 5 sangat bau, skala 6 sangat sangat bau. Skala ini memiliki nilai reabilitas

r = 0,97 (Sucker, K,et al, 2007).

Setelah data diperoleh maka dilakukan uji Kruskal Wallis. Uji Kruskal Wallis

adalah uji non-parametrik yang digunakan untuk membandingkan tiga atau lebih

kelompok data sampel. Dalam uji ini akan diketahui nilai rata-rata ranking odor pada

setiap jenis luka kronis.

Penyusunan hipotesis dalam Uji Kruskal Wallis adalah sebagai berikut :

Ho : µ1 = µ2 = µ3, Rata-rata bau pada ketiga luka sama

H1 : Paling sedikit satu bau berbeda, rata-rata ketiga bau pada luka tidak sama

Dina Astriana, S.Kep


Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21 Jatinangor-Sumedang)
Email : diinaastriana20@gmail.com
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel Perhitungan Uji Kruskal Wallis

Nilai
Luka Ranking Luka Ranking
Luka
Ranking Chi-
DM DM Kanker Kanker
DKDK Kuadrat
4 14,5 22 3 6
4 14,5 22 3 6
4 14,5 22 4 14,5
4 14,5 63 4 14,5
5 24,5 63 4 14,5
115,3
5 24,5 63 4 14,5
5 24,5 4
14,5 5 24,5
5 24,5 4
14,5 5 24,5
5 24,5 4
14,5 5 24,5
6 29,5 4
14,5 6 29,5
Total 210 82 173
Rata-rata 21 8,2 17,3
Berdasarkan tabel diatas maka diketahui nilai chi-kuadrat setelah dihitung

menggunakan rumus kruskal wallis adalah 115,3 yang artinya lebih besar

dibandingkan t-tabel yaitu 18,307 sehingga Ho ditolak, yang berarti H1 diterima yaitu

paling sedikit satu bau berbeda, rata-rata ketiga bau pada luka tidak sama.

Luka DM

Dari hasil perhitungan uji statistik kruskal wallis, luka DM merupakan luka yang

mempunyai rata-rata ranking odor paling tinggi. Hal tersebut sesuai dengan data dari

Dutch Nursing Home Physician (2009) yang mengatakan bahwa resiko infeksi pada

luka diabetes mencapai angka 91,4%. Terdapat 5 tanda dan gejala infeksi yang

umum, yaitu pus/abses, bau, eritema, terlambatnya proses penyembuhan, dan nyeri.

Bau pada luka DM merupakan tanda gejala yang biasa timbul. Timbulnya bau

pada luka ini pun merupakan salah satu dari 5 tanda dan gejala terjadinya infeksi,
Dina Astriana, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21 Jatinangor-Sumedang)
Email : diinaastriana20@gmail.com
7
tingkat kejadiannya mencapai 14% (Rondas, 2009). Bau dari luka sebagian besar

disebabkan degradasi jaringan, nekrosis, atau invasi bakteri aerob dan anaerob.

Bau yang ditimbulkan oleh luka kronis seringkali bau itu tidak dapat hilang

dengan cepat seperti bau yang lainnya. Kontak yang berulang terhadap bau tetap

dapat menimbulkan gejala mual muntah (Fleck, 2006). Pada saat mahasiswa merawat

luka mahasiswa merasakan bau yang timbul menyebabkan rangsangan mual dan

muntah. Bau ini tidak dapat teridentifikasi berasal dari bakteri aerob atau bakteri

anaerob, karena untuk mengetahui lebih lanjut perlu dilakukan kultur jaringan dan

pemeriksaan laboratorium lebih lanjut.

Bau pada luka DM dapat pula disebabkan oleh timbulnya abses. Pada luka DM

diketahui bahwa kejadian timbulnya abses/pus mencapai angka 34,4% (Rondas,

2009). Pada saat mahasiswa merawat luka DM tersebut diketahui bahwa banyak luka

yang menimbulkan abses biasanya telah pecah dan terlihat cairan putih kekuningan

pada luka.

Selain bau, karakteristik khas lain dari luka DM adalah sukar sembuh.

Keterlambatan masa penyembuhan pada luka diabetes tingkat kejadiannya mencapai

14,2 % (Rondas, 2009). Keterlambatan penyembuhan luka disebabkan karena infeksi,

suplai darah yang buruk, nekrosis, eksudat dan adanya benda asing pada luka

(Suriadi, 2004). Luka diabetes memproduksi banyak eksudat akibat proses inflamasi

dan merupakan manifestasi dari gangren (World Union of Wound Healing Societies,

2007). Peningkatan eksudat tersebut membuat proses penyembuhan semakin lama

dan apabila tidak terkontrol dengan baik akan menyebabkan maserasi (Cutting and
Dina Astriana, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21 Jatinangor-Sumedang)
Email : diinaastriana20@gmail.com
8
White, 2002). Pada saat mahasiswa merawat luka DM ditemukan beberapa luka

dalam kondisi eksudat yang berlebih dan itu dirasakan menambah bau yang timbul

pada luka.

Selain eksudat, telah dikatakan diatas bahwa tempat hidup bagi bakteri yang

menyebabkan bau salah satunya adalah jaringan nekrotik. Menurut Jurnal of Wound

Care, 2011 angka kejadian nekrosis pada pasien dengan luka diabetes mencapai 27%,

dan nekrosis merupakan port the entry untuk bakteri yang dapat menyebabkan

berkembangnya bakteri anaerob yang menyebabkan bau. Bau yang kuat berhubungan

dengan jaringan nekrotik atau merupakan indikasi Clostridium dan gangren yang

basah(Fleck, 2006). Jaringan nekrotik dikatakan berkatian erat dengan infeksi bakteri

anaerob.

Kondisi di lapangan pada kasus-kasus yang ditangani mahasiswa, ada beberapa

luka yang sampai memerlukan tindakan debridement untuk meningkatkan potensi

penyembuhan jaringan yang masih sehat dan membuang jaringan nekrotik. Jaringan

nekrotik ini dapat dikatakan berhubungan erat dengan berkembangnya bakteri

anaerob. Hal ini dapat menjadi faktor penunjang bahwa luka yang dirawat mahasiswa

walaupun merupakan terbuka tetapi memungkinkan terdapat bakteri anaerob.

Oksigenasi dan perfusi jaringan yang buruk selain menimbulkan jaringan nekrotik,

dapat pula menyebabkan terjadinya hipoksia yang dapat menghalangi mitosis dalam

sel-sel epitel dan fibroblast yang bermigrasi, sintesa kolagen dan makrofag untuk

menghancurkan bakteri. Selain faktor oksigenasi dan perfusi jaringan, faktor

penurunan daya imunitas yang biasa diderita pasien diabetes menyebabkan penurunan
Dina Astriana, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21 Jatinangor-Sumedang)
Email : diinaastriana20@gmail.com
9
kemampuan leukosit dalam menghancurkan bakteri (Morison, 2003). Hal-hal tersebut

merupakan resiko tinggi invasi bakteri yang melebihi kadar normal dan dapat

menyebabkan infeksi dan keterlambatan proses penyembuhan. Hal ini pula yang

dapat menyebabkan pada saat mahasiswa merawat luka DM dirasakan lebih bau

dibandingkan saat merawat luka DK atau luka kanker.

Bau yang dihirup oleh perawat selanjutnya akan diproses oleh otak dan

diintepretasikan yang kemudian akan menentukan respon emosi perawat. Salah satu

respon nya adalah respon fight or flight. Respon ini terletak di batang otak. Kalau

seseorang berada dalam keadaan tidak nyaman, hemisfer medialis hipotalamus segera

mensekresikan pesan-pesan biokimiawi (katekolamin) ke dalam sirkulasi darah dan

pesan-pesan ini bersama dengan aktivasi sistem saraf simpatik (Price, 1997).

Aktifasi saraf simpatis ini sebenarnya dapat ditekan dengan cara melatih diri untuk

keluar dari emosi negatif karena emosi ini mengaktifkan saraf simpatis, lakukan tarik

nafas dalam-dalam karena ini adalah salah satu cara untuk mengontrol sistem saraf

otonom dan pernafasan (Wilson,L, 2008). Stress dalam tubuh dapat timbul karena

ketegangan otot, maka dapat dilakukan sedikit peregangan otot saat merawat luka

untuk relaksasi otot dan menurunkan kerja saraf simpatis.

Pengendalian bau ini harus direncanakan secara komprehensif oleh perawat. Selain

mengobati infeksi penyebab bau, hendaknya tindakan-tindakan sederhana tidak

dilupakan seperti mengganti linen tempat tidur sesegera mungkin begitu linen

tersebut terkontaminasi eksudat yang merembes, segera mengganti balutan bila

terdapat eksudat, menyediakan udara yang segar, perhatikan ventilasi, menggunakan


Dina Astriana, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21 Jatinangor-Sumedang)
Email : diinaastriana20@gmail.com
10
parfum atau aromaterapi, serta mendorong keluarga untuk membawa tanaman yang

berbau harum. Lingkungan yang ideal dirasakan lebih efektif dibandingkan hanya

memilih balutan luka yang sesuai (Morison, 2003).

Luka DK

Dari hasil perhitungan uji statistik kruskal wallis, luka DK merupakan luka yang

mempunyai rata-rata ranking odor yang terkecil. Pada luka dekubitus ini terdapat

mahasiswa yang mempersepsikan skala odor hanya pada skala 2 yaitu baunya

slemah. Dan skala odor yang paling tinggi yang dirasakan hanya sampai skala 4 yaitu

bau kuat, tidak ada yang mempersepsikan luka ini pada skala odor 5 dan 6.

Berdasarkan Dutch Nursing Home Physician (2009) resiko infeksi pada luka

dekubitus mencapai angka 53%. Pada luka dekubitus diketahui bahwa kejadian

timbulnya pus/abses mencapai 44%. Pus atau abses pada luka dekubitus yang dirawat

mahasiswa tidak selalu timbul. Oleh karena itu pus yang merupakan tempat hidup

bakteri diperkirakan jumlahnya masih sedikit, karena pus yang timbul pada luka DK

juga cenderung sedikit.

Timbulnya bau itu sendiri pada luka dekubitus angka kejadiannya mencapai 12,2%

(Rondas, 2009). Skala odor pada luka dekubitus dapat dikatakan berada di rentang 2

sampai 4. Mahasiswa menyatakan bau pada luka dekubitus masih dapat ditahan

dibandingkan dengan bau yang ditimbulkan oleh luka lainnya.Keadaan luka yang

masih dirasakan cukup baik dengan sedikit pus, sedikit eksudat dirasakan

berpengaruh dalam menimbulkan bau.

Dina Astriana, S.Kep


Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21 Jatinangor-Sumedang)
Email : diinaastriana20@gmail.com
11
Skala odor paling tinggi dirasakan pada saat mahasiswa merawat dekubitus di

daerah sacrum, hal ini dapat terjadi salah satunya dapat terjadi karena terpajan bakteri

dari kontaminasi fekal yang berdekatan dengan sacrum. Bila bakteri E.coli dijumpai

pada tempat infeksi, E.coli akan memakai semua oksigen yang ada dan menghasilkan

lingkungan yang sesuai bagi bakteri anaerob (Muliawan, 2007).

Luka Kanker

Luka kanker atau biasa disebut luka Fungating adalah tanda keganasan metastatis.

Luka malignan ini berpotensi besar lebih eksudatif, hemoragik dan berbau busuk

(Alvares, et al, 2007). Pasien dengan luka kanker stadium lanjut menimbulkan

banyak jaringan mati, eksudat dan tentunya menimbulkan bau tak sedap (Dowsett,

2002).

Bau tidak sedap disebabkan oleh produksi asam lemak yang mudah menguap

(proprionic, isobutyc, butirat, isovaleric, dan valeric). Selain itu bau tidak sedap pun

dapat disebabkan oleh jaringan nekrotik dan eksudat berlebih. Luka kanker

menimbulkan peningkatan eksudat dan peningkatan jaringan mati dan hal itu

meningkatkan resiko infeksi (Young, 2000).

Seiring dengan peningkatan masa pada sel kanker, maka akan terjadi kehilangan

vaskularisasi, pecah pembuluh darah kapiler, dan perkembangan jaringan nekrosis.

Pertumbuhan sel-sel malignan mendesak pembuluh darah di sekitarnya dan membuat

aliran darah terhambat sehingga terjadi hipoksia yang menyebabkan jaringan nekrotik

yang retan terpajan bakteri pathogen.Keadaan seperti ini sangat memungkinkan luka

Dina Astriana, S.Kep


Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21 Jatinangor-Sumedang)
Email : diinaastriana20@gmail.com
12
terpapar infeksi (McDonald, 2006).Keadaan seperti ini merupakan tempat hidup yang

sangat digemari oleh bakteri.

Pada saat mahasiswa merawat luka kanker diketahui bahwa terdapat banyak

jaringan mati terdapat pada luka kanker.Jaringan mati ini lebih banyak ditemukan

dibandingkan saat merawat luka DM dan luka DK. Bakteri anaerob yang terkenal

gemar hidup di jaringan mati adalah penyebab timbulnya bau pada luka. Bau yang

dihasilkan bakteri Anaerob dikenal berbau tajam dan busuk.

Bau atau odor dirasakan oleh reseptor penciuman ini yang terletak di belakang

hidung (Van Toller, 1994) dan diproses baik di tingkat sadar dan bawah sadar. Bau

itu sendiri mempunyai kemampuan adaptasi. Secara umum diketahui bahwa apabila

seseorang secara terus-menerus terpajan bau tertentu (bahkan bau yang paling tidak

mengenakan), persepsi bau akan menurun dan akhirnya berhenti.

Pengendalian bau oleh perawat seperti pemilihan dressing dan memberikan

lingkungan yang menunjang mengurangi bau sangatlah penting terutama untuk

pasien paliatif karena secara signifikan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.

Peningkatan kualitas hidup ini meliputi dalam hal menghadapi masalah yang terkait

dengan penyakit yang mengancam jiwa, melalui pencegahan dan menghilangkan

penderitaan melalui identifikasi awal dan penilaian sempurna dan pengobatan rasa

sakit dan masalah lain, fisik, psikososial, dan spiritual (WHO, 2012).

SIMPULAN

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada mahasiswa Fakultas Ilmu

Keperawatan Universitas Padjadjaran dengan responden sebanyak 10 orang, dapat


Dina Astriana, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21 Jatinangor-Sumedang)
Email : diinaastriana20@gmail.com
13
disimpulkan bahwa berdasarkan uji statistik kruskal wallis dapat dibuktikan H1

diterima yaitu terdapat perbedaan bau pada ketiga jenis luka. Berdasarkan uji kruskal

wallis diketahui pula rata-rata ranking odor pada ketiga luka kronis. Luka kronis yang

mempunyai rata-rata ranking odor paling tinggi yaitu 21 adalah luka DM. Hal

tersebut dikarenakan luka DM beresiko infeksius lebih tinggi dibandingkan luka

kronis lainnya, selain itu faktor sulit sembuh pada luka DM menjadi pemicu utama

berkembangnya bakteri pada luka yang kesulitan memfagosit bakteri.

SARAN

1. Bagi mahasiswa disarankan mempersiapkan diri baik mental maupun fisik

sebelum merawat luka kronis. Selain itu manfaatkan fungsi fisiologis sistem

penghiduan, reseptor hidung akan kelelahan bila terus distimulus bau yang sama

dalam jangka waktu tertentu. Penurunan aktivasi saraf simpatis seperti tarik nafas

dalam, kurangi tingkat stress pada saat merawat luka, dan melakukan sedikit

peregangan otot dapat dilakukan untuk mengurangi dampak aktivasi saraf

simpatis akibat bau.

2. Bagi Fakultas Ilmu Keperawatan dapat menyampaikan informasi ini sebagai

pengetahuan baru untuk mahasiswa yang akan terjun ke dunia Rumah Sakit.

Pengetahuan tentang palliative care pun penting untuk membangun landasan

bertindak dan berfikir.

3. Untuk Rumah Sakit diharapkan dapat memfasilitasi dengan memperhatikan

ventilasi ruangan, sediakan udara segar dalam ruangan, gunakan parfum atau

aromaterapi bila perlu, sediakan tanaman yang dapat mengharumkan ruangan


Dina Astriana, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21 Jatinangor-Sumedang)
Email : diinaastriana20@gmail.com
14
4. Bagi dunia kesehatan disarankan hal ini dapat menjadi perhatian baru untuk

diatasi.Penemuan baru mengenai dressing, obat, dan terapi alternatif diperlukan

untuk mengatasi hal ini.

5. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan penelitian ini dapat disempurnakan dengan

melibatkan pemantauan kultur jaringan untuk memastikan bakteri pada luka,

pemantauan dressing dan obat-obatan yang dikonsumsi pasien, dan perluasan

sampel dapat dilakukan untuk menyempurnakan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, R, et al . 2003. Pengantar Psikologi edisi delapan jilid 2.Jakarta : Penerbit


Erlangga
Casey, G.2012. Chronic Wound Healing :Leg Ulcer.
Dowsett, C.2002.Malignant Fungating Wounds : Asessment and Management.British
Journal of Community Nursing.
Fleck,C.2006.Palliative Dilemmas Wound Odour.Wound Care Canada
McDonald, A, Lesage, P.2006.Palliative Management of Pressure Ulcer and
Malignant Wound Patients with Advanced Illness.Journal of Palliative
Medicine.
Morison MJ.2003.Manajemen Luka.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Muliawan, S.2007.Bakteri Anaerob yang Erat Kaitannya dengan Problem Klinik.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Posnett, J., Franks, P.J. 2008.The Burden of Chronic Wounds in the UK. Available
online at http://www.nursingtimes.net/nursing-practice/clinical-
specialisms/wound-care/the-burden-of-chronic-wounds-in-the-
uk/527138.article . (Diakses Maret 2012)
Price, S, et al. 1997. Aromaterapi bagi Profesi Kesehatan.Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Rondas, A, et al.2009.Definition of infection in Chronic Wounds by Dutch Nursing
Home Physicians.
Setiadi. 2007 . Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Sugiyono. 2006 . Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif Dan R&D. Bandung :
Alfabeta.
Suriadi.2004.Perawatan Luka Edisi 1.Jakarta:Agung Setyo.
Sucker, K; Both,R; Bischoff, RG; Winneke, G.2007. Odor Frequency and Odor
Annoyance.Part I :Assesment of Frequency, Intensity and Hedonic Tone of
Environmental Odors In The Field.
Dina Astriana, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21 Jatinangor-Sumedang)
Email : diinaastriana20@gmail.com
15

Anda mungkin juga menyukai