Anda di halaman 1dari 84

Kumpulan Portofolio dan Presentasi Kasus

1. Resusitasi Neonatus
2. Tumbuh kembang anak (gagal)
3. Penatalaksanaan Antibiotik pada Anak
4. Pankreatitis
5. KET
6. Lapsus Nefropati Diabetik

1
RESUSITASI NEONATUS

2
Neonatus aterm yang cairan ketubannya jernih dan bersih dari mekonium, langsung
bernafas, menangis, dan tonus ototnya baik memerlukan perawatan rutin, seperti
mengeringkan, menghangatkan, dan membersihkan jalan nafas dengan balon penghisap atau
kateter penghisap. Sebaliknya, neonatus yang tidak memenuhi kriteria di atas memerlukan
langkah-langkah resusitasi. Nilai Apgar dapat digunakan untuk menentukan perlu tidaknya
resusitasi.

Langkah-langkah resusitasi neonatus antara lain:

1. Stabilisasi
2. Ventilasi
3. Kompresi dada
4. Penggunaan medikasi

Setiap langkah memerlukan waktu 30 detik untuk menuju ke langkah berikutnya. Untuk
menuju ke langkah berikutnya diperlukan penilaian terhadap respirasi, detak jantung, dan kulit
bayi. Contohnya, apnea dan gasping merupakan indikasi bantuan ventilasi. Peningkatan atau
penurunan detak jantung dapat menunjukkan kondisi perbaikan atau perburukan. Sianosis
sentral, penurunan cardiac output, hipotermia, asidosis, atau hipovolemia merupakan indikasi
dari resusitasi lebih lanjut.1,2

3
Sumber : E1029 : 2005 American Heart Association (AHA) Guidelines for
Cardiopulmonary and Neonatal Patients: Neonatal Resuscitation Guidelines

Resuscitation (CPR) and Emergency Cardiovascular Care (ECC) of Pediatric . Illinois:


American Academy of Pediatrics . 2006.

4
Langkah Awal Resusitasi1,2

Langkah awal untuk memulai resusitasi meliputi mengurangi pengeluaran panas,


memposisikan kepala pada sniffing position untuk membuka jalan nafas, membersihkan jalan
nafas, dan memberikan rangsangan.

1. Menghangatkan
Termoregulasi merupakan aspek penting dari langkah awal resusitasi. Hal ini dapat dilakukan
dengan meletakkan neonatus di bawah radiant warmer. Sebaiknya bayi yang diletakkan di
bawah radiant warmer dibiarkan tidak berpakaian agar dapat diobservasi dengan baik serta
mencegah terjadinya hipertermi. Bayi yang dengan berat kurang dari 1500 gram, mempunyai
risiko tinggi terjadinya hipotermi. Untuk itu, sebaiknya bayi tersebut dibungkus dengan
plastik, selain diletakkan di bawah radiant warmer. Tujuan dari resusitasi neonatus yaitu
untuk mencapai normotermi dengan cara memantau suhu, sehingga tidak terjadi hipertermi
iatrogenik.

2. Memposisikan Kepala dan Membersihkan Jalan Nafas


Setelah diletakkan di bawah radiant warmer, bayi sebaiknya diposisikan terlentang dengan
sedikit ekstensi pada leher pada posisi sniffing position. Kemudian jalan nafas harus
dibersihkan. Jika tidak ada mekonium, jalan nafas dapat dibersihkan dengan hanya menyeka
hidung dan mulut dengan handuk, atau dapat dilakukan suction dengan menggunakan bulb
syringe atau suction catheter jika diperlukan. Sebaiknya dilakukan suction terhadap mulut
lebih dahulu sebelum suction pada hidung, untuk memastikan tidak terdapat sesuatu di dalam
rongga mulut yang dapat menyebabkan aspirasi. Selain itu, perlu dihindari tindakan suction
yang terlalu kuat dan dalam karena dapat menyebabkan terjadinya refleks vagal yang
menyebabkan bradikardi dan apneu.

sniffing position

source : http://www.cgmh.org.tw/intr/intr5/c6700/N%20teaching/Neonatal%20Resuscitation%20Supplies%20and%20Equipment.html//

5
Jika terdapat mekonium tetapi bayinya bugar, yang ditandai dengan laju nadi lebih dari
100 kali per menit, usaha nafas dan tonus otot yang baik, lakukan suction pada mulut dan
hidung dengan bulb syringe ( balon penghisap ) atau kateter penghisap besar jika diperlukan.

Pneumonia aspirasi yang berat merupakan hasil dari aspirasi mekonium saat proses
persalinan atau saat dilakukan resusitasi. Oleh karena itu, jika bayi menunjukan usaha nafas
yang buruk, tonus otot yang melemah, dan laju nadi kurang dari 100 kali per menit, perlu
dilakukan suction langsung pada trachea dan harus dilakukan secepatnya setelah lahir. Hal ini
dapat dilakukan dengan laringoskopi langsung dan memasukan kateter penghisap ukuran 12
French (F) atau 14 F untuk membersihkan mulut dan faring posterior, dilanjutkan dengan
memasukkan endotracheal tube, kemudian dilakukan suction. Langkah ini diulangi hingga
keberadaan mekonium sangat minimal.2,3

Source : http://www.firstaidmonster.com/popup_image.php/pID/7122

sumber:

http://healthprofessions.missouri.edu/cpd/RT/CRCE/nrpinfo.php

6
Sumber : http://journal.medscape.com/content/1999/00/43/71/437101/437101_fig.html

3. Mengeringkan dan Memberi Rangsangan


Ketika jalan nafas sudah dibersihkan, bayi dikeringkan untuk mencegah terjadinya kehilangan
panas, kemudian diposisikan kembali. Jika usaha nafas bayi masih belum baik, dapat
diberikan rangsang taktil dengan memberikan tepukan secara lembut atau menyentil telapak
kaki, atau dapat juga dilakukan dengan menggosok-gosok tubuh dan ekstremitas bayi. 2,7

Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa pernapasan adalah tanda vital pertama yang
berhenti ketika bayi baru lahir kekurangan oksigen. Setelah periode awal pernapasan yang
cepat maka periode selanjutnya disebut apnu primer. Rangsangan seperti mengeringkan atau
menepuk telapak kaki akan menimbulkan pernapasan.7

Walaupun demikian bila kekurangan oksigen terus berlangsung, bayi akan melakukan
beberapa usaha bernapas megap – megap dan kemudian masuk ke dalam periode apnu
sekunder. Selama masa apnu sekunder, rangsangan saja tidak akan menimbulkan kembali
usaha pernapasan bayi baru lahir. Bantuan pernapasan dengan ventilasi tekanan positif harus
diberikan untuk mengatasi masalah akibat kekurangan oksigen. Frekuensi jantung akan mulai
menurun pada saat bayi mengalami apnu primer , tekanan darah akan tetap bertahan sampai
dimulainya apnu sekunder.4,5

sumber : http://www.fac.org.ar/scvc/llave/epi/niermeye/nierf3.gif
7
4. Evaluasi Pernafasan, Laju Nadi, dan Warna Kulit
Langkah terakhir dari langkah awal resusitasi yaitu evaluasi pernafasan, laju nadi dan warna
kulit. Pergerakan dada harus baik dan tidak ada megap megap (gasping ). Gasping
menunjukkan adanya usaha nafas yang tidak efektif dan memerlukan ventilasi tekanan
positif. Selain itu, laju nadi harus lebih dari 100 kali per menit, yang diukur dengan cara
melakukan palpasi tekanan nadi di daerah dasar umbilikus, atau dengan auskultasi dinding
dada sebelah kiri. Jika laju nadi kurang dari 100 kali per menit, segera lakukan ventilasi
tekanan positif.

sumber : http://healthprofessions.missouri.edu/cpd/RT/CRCE/nrpinfo.php

Penilaian warna kulit dapat dilakukan dengan memperhatikan bibir dan batang tubuh bayi
untuk menilai ada tidaknya sianosis sentral. Sianosis sentral menandakan terjadinya
hipoksemia, sehingga perlu diberikan oksigen tambahan. Jika masih terjadi sianosis setelah
diberikan oksigen tambahan, ventilasi tekanan positif perlu dilakukan, bahkan dengan laju
nadi lebih dari 100 kali per menit. Jika sianosis sentral masih terjadi dengan ventilasi tekanan
positif yang adekuat, perlu dipikirkan adanya penyakit jantung bawaan atau adanya hipertensi
pulmoner yang persisten.6,7,8

PENILAIAN DAN PENATALAKSANAAN JALAN NAFAS1,2

Penilaian Jalan Nafas

Seperti yang sudah disebutkan, penilaian dan penatalaksanaan dari jalan nafas dapat
dilakukan dengan cara pembersihan jalan nafas, memposisikan bayi pada sniffing position
untuk membuka jalan nafas. Selain itu, dapat pula dilakukan evaluasi terhadap laju nadi dan
warna kulit bayi. Evaluasi ini harus dilakukan dengan baik karena bila ada salah satu tanda
vital yang abnormal, akan segera membaik jika diberikan ventilasi. Jadi, di dalam resusitasi

8
neonatus, pemberian ventilasi yang adekuat merupakan langkah yang paling penting dan
paling efektif.

Pemberian Oksigen

Pemberian oksigen diperlukan apabila neonatus dapat bernafas, laju nadi lebih dari
100 kali per menit, tetapi masih terjadi sianosis sentral. Oksigen aliran bebas oksigen
diberikan dengan cara dialirkan ke hidung bayi secara pasif, dapat diberikan menggunakan
sungkup, T-piece resuscitator, atau selang oksigen (oxygen tubing) sesuai dengan cara yang
diperlukan. Untuk memastikan neonatus mendapatkan oksigen dengan konsentrasi tinggi,
sungkup harus diletakkan menempel pada wajah, agar menciptakan tekanan yang setara
dengan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) atau Positive End Expiratory Pressure
(PEEP). Jika menggunakan selang oksigen, posisi tangan harus dibentuk seperti mangkok di
ujung selang dan diletakkan di depan wajah bayi. Oksigen tidak boleh diberikan lebih dari 10
liter per menit (LPM) untuk waktu yang lama. Oksigen cukup diberikan dengan aliran 5 LPM
dalam resusitasi.

Standar oksigen yang digunakan dalam resusitasi neonatus yaitu oksigen 100%.
Terdapat penelitian yang meneliti penggunaan udara ruangan (oksigen 21%) dan oksigen
100% untuk resusitasi neonatus. Disebutkan bahwa penggunaan oksigen 100% dapat
merugikan selama masa post asfiksia, hal ini berdasarkan teori :

1. Pada observasi in vitro , produksi oksigen radikal saat reoksigenasi hipoksia


bergantung pada konsentrasi oksigen

2. peningkatan konsentrasi hipoxantine di plasma selama hipoksia mencapai level


lebih tinggi pada saat resusitasi. Karena hipoxantine terakumulasi pada neonatus yang asfiksia
, maka dapat kita artikan bahwa limitasi oksigen pada masa post asfiksi secara potensial dapat
mengurangi luka akibat akumulasi dari oksigen radikal.

3. Selain itu hiperoksia memperlambat aliran darah pada bayi aterm maupun preterm
dan pemberian oksigen 100% saat persalinan dapat menyebabkan penurunan aliran darah
jangka panjang pada bayi preterm.

Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa mortalitas neonatus lebih rendah pada
penggunaan oksigen 21% daripada oksigen 100% ( 5,8 % dan 9,5% ) dan pada neonatus
preterm juga berlaku hal yang sama yaitu mortalitas pada penggunaan oksigen 21% lebih
rendah daripada oksigen 100% ( 21 % dan 35 % ). Hal ini menunjukkan resusitasi
menggunakan oksigen 21% ( udara ruangan) tampaknya potensial sebagai strategi untuk
menurunkan mortalitas neonatus bahkan pada neonatus preterm. Ini dapat berimplikasi
terhadap aturan di negara berkembang yang masih mencari cara lebih murah namun dapat
menurunkan angka kematian pada neonatus maupun bayi.

9
Penggunaan oksigen memiliki efek samping seperti dapat merusak paru-paru dan
jaringan, terutama pada bayi prematur. Hal ini menyebabkan direkomendasikannya
penggunaan oksigen dengan konsentrasi kurang dari 100%, yang dapat diperoleh dengan
menggunakan oxygen blender yang dapat mencampur oksigen dan udara untuk menghasilkan
konsentrasi udara yang diinginkan. Pada bayi yang menderita penyakit jantung bawaan,
penggunaan oksigen 100% dapat mengganggu perfusi jaringan. Secara umum, saturasi
oksigen harus dijaga antara 85-95%, dimana 70-80% didapatkan pada menit awal kehidupan.
7,8

Pemberian oksigen tambahan juga diberikan pada bayi yang memerlukan ventilasi
tekanan positif. Indikasi dari ventilasi tekanan positif dengan oksigen tambahan antara lain:

1. Bayi yang apnea


2. Laju nadi kurang dari 100 kali per menit setelah 30 detik
3. Terjadi sianosis sentral setelah diberikan oksigen tambahan

10
sumber :
http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u04/u04b_p0 sumber :
1.html// www.emergent.in/images/Neopuff.gif
Ventilasi Tekanan Positif pada Bayi Aterm

Beberapa penelitian menunjukkan pada bayi yang mengalami apnea atau gasping
(megap megap), pemberian ventilasi tekanan positif dengan kecepatan 40-60 kali per menit
dengan oksigen 100% merupakan cara yang efektif untuk memcapai laju nadi lebih dari 100
kali per menit. Tekanan yang diperlukan untuk dapat melakukan ventilasi tekanan positif pada
bayi aterm dan preterm dengan efektif yaitu antara 30-40 cm H2O, walaupun dengan tekanan
20 cm H2O sudah cukup efektif. Tanda dari ventilasi yang adekuat yaitu adanya peningkatan
dari laju nadi. Apabila tidak terjadi peningkatan laju nadi, reposisi ulang kepala dan sungkup,
serta bersihkan kembali jalan nafas atau lakukan suction lagi. Bila masih gagal dengan
ventilasi yang non-invasif, perlu dilakukan intubasi.

Ventilasi Tekanan Positif pada Bayi Preterm

Paru-paru pada bayi preterm lebih mudah terluka oleh volume inflasi yang besar,
sehingga lebih sulit untuk dilakukan ventilasi. Tekanan sebesar 20-25 cm H2O sudah cukup
adekuat dalam ventilasi pada bayi preterm. Pada bayi yang menunjukkan tanda-tanda
pernapasan yang buruk dan/atau sianosis dapat digunakan Continuous Positive Airway
Pressure (CPAP) sekitar 4-6 cm H2O. Sama seperti bayi aterm, jika masih gagal, perlu
dilakukan intubasi.

Alat-alat Ventilasi

Ventilasi pada neonatus dapat menggunakan beberapa macam alat seperti:

1. Self-inflating bags

11
2. Flow-inflating bag
3. T-piece resuscitator
4. Laryngeal mask airways
5. Endotracheal tube
Self-inflating bags merupakan alat yang paling banyak dipakai dalam ventilasi manual. Alat
ini memiliki katup pengaman yang menjaga tekanan inflasi sebesar 35 cm H2O. Namun katup
pengaman ini kurang efektif bila digunakan terlalu kuat. Positive End-Expiratory Pressure
(PEEP) dapat diberikan apabila katup PEEP disambungkan. Tetapi self-inflating bags tidak
dapat menggunakan CPAP. Selain itu, self-inflating bags tidak dapat digunakan untuk
mengalirkan oksigen aliran bebas (free-flow oxygen).

Sumber : http://www.nzdl.org/gsdl/collect/who/archives/HASH0176.dir/p05.gif

Flow-inflating bags atau balon tidak mengembang sendiri dapat mengembang apabila ada
sumber gas. Alat ini tidak memiliki katup pengaman, namun dengan alat ini dapat dilakukan
PEEP atau CPAP karena adanya katup yang dapat mengatur aliran udara. Selain itu, dengan
alat ini dapat dialirkan oksigen aliran bebas dan lebih baik dalam resusitasi neonatus.

T-piece resuscitator merupakan alat yang dapat mengatur aliran udara serta juga dapat
membatasi tekanan yang diberikan. Tekanan inflasi yang diinginkan dan waktu inspirasi lebih
stabil dengan alat ini dibandingkan dengan self-inflating bags dan flow-inflating bags. Selain
itu, dengan alat ini dapat dilakukan PEEP dan dapat mengalirkan oksigen aliran bebas.

Laryngeal mask airway (LMA) merupakan alat yang dapat digunakan apabila penggunaan
sungkup sudah tidak efektif. Ukuran yang biasa digunakan yaitu 1.2,7

12
Sumber : http://www.hospitalmanagement.net/contractor_images/intersurgical_2/5_solus.jpg

Indikasi penggunaan endotracheal tube antara lain:

1. Penghisapan mekonium dari trakea


2. Saat ventilasi menggunakan sungkup sudah tidak efektif
3. Koordinasi dengan kompresi dada
4. Penggunaan Epinefrin
5. Keadaan resusitasi khusus (seperti hernia diafragma kongenital)
Untuk mengurangi terjadinya hipoksia saat melakukan intubasi, sebaiknya dilakukan pre-
oksigenasi, dengan cara memberikan oksigen aliran bebas selama 20 detik. Biasanya
digunakan blade yang lurus pada tindakan ini. Blade no.1 digunakan untuk bayi aterm, no.0
untuk bayi preterm, dan no.00 untuk bayi yang sangat preterm. Ukuran dari endotracheal tube
dipilih berdasarkan berat dari neonatus.

Posisi dari endotracheal tube yang benar dapat ditandai dengan peningkatan laju nadi, adanya
pengeluaran CO2, terdengarnya suara nafas, pergerakan dinding dada, adanya embun pada
selang, dan tidak ada distensi abdomen saat ventilasi. Apabila tidak ada peningkatan dari laju
nadi dan tidak ada pengeluaran CO2, posisi dari endotracheal tube harus diperiksa dengan
laringoskop.

Ukuran ET Berat (gram) Usia gestasi (minggu)

2,5 <1000 <28

3,0 1000-2000 28-34

3,5 2000-3000 34-38

3,5-4,0 >3000 > 38

13
Kompresi Dada2,7

Kompresi dada harus dilakukan apabila laju nadi kurang dari 60 kali per menit
walaupun sudah dilakukan ventilasi secara adekuat dengan pemberian oksigen tambahan
selama 30 detik. Kompresi dada harus dilukan dengan kecepatan 90 kali per menit dengan
perbandingan kompresi dengan ventilasi 3:1 (90:30). Kompresi dilakukan di bawah sela iga
ketiga dengan kedalaman sepertiga dari diameter anterior dan posterior. Ada 2 cara yang dapat
digunakan, yaitu dengan metode 2 jari (2 finger method) dan metode ibu jari ( thumb method).

Metode ibu jari lebih direkomendasikan karena tidak cepat lelah dan dapat mengatur
kedalaman tekanan dengan baik. Selain itu, menurut beberapa penelitian, metode tangan
melingkari dada menghasilkan tekanan sistolik, diastolik, mean arterial pressure, dan perfusi
jaringan yang lebih baik daripada metode 2 jari. Metode 2 jari digunakan apabila dibutuhkan
akses ke umbilikus untuk memasang umbilical catheter.

Setelah dilakukan kompresi dada selama 30 detik, lakukan penilaian kembali terhadap
laju nadi, laju pernafasan, dan warna kulit. Kompresi dada harus dilakukan sampai laju nadi
lebih dari atau sama dengan 60 kali per menit secara spontan.

14
Penghentian Resusitasi1,2

Di dalam persalinan, ada kondisi dimana tidak dilakukan resusitasi, antara lain bayi
dengan masa gestasi kurang dari 23 minggu, bayi dengan berat lahir kurang dari 400 gram,
anencephaly, dan bayi yang dipastikan menderita trisomi 13 dan 18. Sedangkan penghentian
resusitasi dapat dilakukan apabila tidak terjadi sirkulasi spontan dalam waktu 15 menit.

15
Medikasi2,3

1. Epinefrin
Epinefrin sangat penting penggunaannya dalam resusitasi, terutama saat oksigenasi dengan
ventilasi dan kompresi dada tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Epinefrin dapat
menyebabkan vasokontriksi perifer, meningkatkan kontraktilitas jantung, dan meningkatkan
frekuensi jantung. Dosis yang digunakan 0.01-0.03 mg/kg yang dapat diberikan IV atau dosis
yang lebih tinggi 0.03 sampai 0.1 mg/kg melalui pipa endotrakeal. Pemberian ini dapat
diulang setiap 3-5 menit sekali.

2. Volume expanders
pada neonatus yang membutuhkan resusitasi, harus dipikirkan kemungkinan terjadinya
hipovolemia terutama pada neonatus dengan respons yang tidak adekuat terhadap resusitasi
yang diberikan. Volume expanders yang dapat digunakan whole blood O-rh negative 10ml/kg,
atau Ringer Lactate 10ml/kg, dan normal saline 10 ml/kg. Semuanya ini dapat diberikan
secara intra vena selama 5-10 menit.

3. Naloxone hydrochloride
Merupakan antagonis opioid yang sebaiknya diberikan pada neonatus dengan depresi nafas
yang tidak responsif terhadap resusitasi ventilasi yang sebelumnya lahir dari ibu dengan
mendapatkan narkotik 4 jam sebelum kelahiran. Dosis yang diberikan 0.1 mg/kg secara IV
ataupun melalui pipa endotrakeal. Dosis ini dapat diulangi setiap 5 menit apabila dibutuhkan.

4. Dextrose
Glukosa darah sewaktu harus diperiksa setidaknya 30 menit setelah lahir pada neonatus yang
mengalami asfiksia, neonatus yang lahir dari ibu dengan diabetes, atau prematur. Bolus
dextrosa 10% diberikan dengan dosis 1-2 ml/kg IV dan selanjutnya dapat diberikan dextrosa
10% dengan laju 4-6ml/kg/menit (80-100ml/kg/hari)

16
KESIMPULAN

Neonatus aterm yang cairan ketubannya jernih dan bersih dari mekonium, langsung
bernafas, menangis, dan tonus ototnya baik memerlukan perawatan rutin, seperti
mengeringkan, menghangatkan, dan membersihkan jalan nafas dengan balon penghisap atau
kateter penghisap. Sebaliknya, neonatus yang tidak memenuhi kriteria di atas memerlukan
langkah-langkah resusitasi.

Langkah-langkah resusitasi neonatus antara lain:

1. Stabilisasi
2. Ventilasi
3. Kompresi dada
4. Penggunakan medikasi

Menghangatkan; Termoregulasi merupakan aspek penting dari langkah awal resusitasi. Hal
ini dapat dilakukan dengan meletakkan neonatus di bawah radiant warmer dan dibiarkan tidak
berpakaian agar dapat diobservasi dengan baik serta mencegah terjadinya hipertermi.

Memposisikan Kepala dan Membersihkan Jalan Nafas ; bayi sebaiknya diposisikan


terlentang dengan sedikit ekstensi pada leher pada posisi sniffing position. Kemudian jalan
nafas harus dibersihkan. terhadap mulut lebih dahulu sebelum suction pada hidung, untuk
memastikan tidak terdapat sesuatu di dalam rongga mulut yang dapat menyebabkan aspirasi.
Hindari tindakan suction yang terlalu kuat dan dalam karena dapat menyebabkan terjadinya
refleks vagal yang menyebabkan bradikardi dan apneu.

Mengeringkan dan Memberi Rangsangan; bayi dikeringkan untuk mencegah terjadinya


kehilangan panas, kemudian diposisikan kembali. Rangsang taktil dapat diberikan dengan cara
tepukan secara lembut atau menyentil telapak kaki, atau dapat juga dilakukan dengan
menggosok-gosok tubuh dan ekstremitas bayi.

Evaluasi Pernafasan, Laju Nadi, dan Warna Kulit; Langkah terakhir dari langkah awal
resusitasi, Pergerakan dada harus baik dan tidak ada megap megap (gasping ). Jika laju nadi
kurang dari 100 kali per menit, segera lakukan ventilasi tekanan positif. warna kulit dapat
dilakukan dengan memperhatikan bibir dan batang tubuh bayi untuk menilai ada tidaknya
sianosis sentral sedangkan Sianosis perifer (akrosianosis) merupakan hal yang normal pada
neonatus.

Di dalam resusitasi neonatus, pemberian ventilasi yang adekuat merupakan langkah


yang paling penting dan paling efektif. Pemberian oksigen diperlukan apabila neonatus dapat
bernafas, laju nadi lebih dari 100 kali per menit, tetapi masih terjadi sianosis sentral. Standar
oksigen yang digunakan dalam resusitasi neonatus yaitu oksigen 100%. Namun pada

17
penelitian menunjukkan resusitasi menggunakan oksigen 21% ( udara ruangan) tampaknya
potensial sebagai strategi untuk menurunkan mortalitas neonatus bahkan pada neonatus
preterm.

Kompresi dada harus dilakukan apabila laju nadi kurang dari 60 kali per menit
walaupun sudah dilakukan ventilasi secara adekuat dengan pemberian oksigen tambahan
selama 30 detik. Metode ibu jari lebih direkomendasikan karena tidak cepat lelah dan dapat
mengatur kedalaman tekanan dengan baik. Kompresi dada harus dilakukan sampai laju nadi
lebih dari atau sama dengan 60 kali per menit secara spontan. Penghentian resusitasi dapat
dilakukan apabila tidak terjadi sirkulasi spontan dalam waktu 15 menit.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman Richard, Kliegman Roberts, Jenson Hal. Nelson Textbook of Pediatric.17th


ed. Pennsylvania : An Imprint of Elsevier Science. 2004
2. Kaye D Alan, pickney LM, Hall M. Stan, Baluch R.Amir, Frost Elizabeth,
Ramadhyani Usha. Update On Neonatal Resuscitation [serial online]. 2009. available
from URL : http://staff.aub.edu.lb/~webmeja/20_1.html//
3. Gomella TL. Neonatology: Management, Procedures, On-call Problems, Diseases, and
Drugs. 5th ed. Baltimore: the McGraw-Hill Companies. 2004
4. E 45 : Wu TJ, Carlo W A.. Pulmonary Physiology of Neonatal Resuscitation. Illinois:
American Academy of Pediatrics . 2001.
5. Meconium aspiration : Carbine D N. , Serwint Janet R.. Meconium Aspiration .
Illinois: American Academy of Pediatrics . 2008
6. Buku resusitasi : Kattwinkel J. Buku Panduan Resusitasi Neonatus. 5th ed. USA:
American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. 2006
7. 182 : Raupp P, Reynolds G. Intubation and Suction for Meconium Stained Amniotic
Fluid According to the Neonatal Resuscitation Program. Illinois: American Academy
of Pediatrics.2004.
8. E 16 : O'Donnell C, Kamlin O, Davis P, Morley C J. .Endotracheal Intubation
Attempts During Neonatal Resuscitation: Success Rates, Duration, and Adverse
Effects. Illinois: American Academy of Pediatrics.2006.

19
GAGAL TUMBUH KEMBANG ANAK

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertumbuhan merupakan salah satu ciri khas pada masa anak. Mengenal masalah
pertumbuhan pada bayi dan anak merupakan tantangan bagi semua dokter, terutama dokter
anak. Gagal tumbuh merupakan suatu kondisi dengan etiologi yang bervariasi dan
berhubungan dengan komplikasi di kemudian hari, oleh karenanya setiap dokter harus dapat
mengenal dan menangani gagal tumbuh secara tepat untuk menurunkan risiko atau komplikasi
jangka panjang.

Sampai saat ini, gagal tumbuh sering ditemukan pada anak, namun belum ada satu
antropometrik yang spesifik untuk mendefinisikan gagal tumbuh. Adanya gagal tumbuh
merupakan pertanda bahwa anak tidak tumbuh dengan baik. Gagal tumbuh bukanlah suatu
penyakit tertentu tetapi dapat merupakan bagian dari suatu penyakit tertentu sehingga perlu
dicari penyebab gagal tumbuh, baik yang terkait dengan masalah medis, psikososial, maupun
lingkungan. Penyebab gagal tumbuh dibagi atas sebab organik dan non organik. Gagal
tumbuh non organik didefinisikan sebagai gagal tumbh bukan akibat disebabkan oleh masalah
medis, sedangkan gagal tumbuh organik didefinisikan sebagai gagal tumbuh bukan akibat
disebabkan masalah medis, sedangkan gagal tumbuh organik didefinisikan sebagai gagalnya
pertumbuhan akibat suatu penyakit spesifik.

Prevalensi gagal tumbuh berkisar antara 1,3 – 20,9 %, tergantung definisi dan kondisi
demografis populasi sampel. Delapan puluh persen anak dengan gagal tumbuh berusia kurang
dari 18 bulan. Prevalensi anak gagal tumbuh yang harus dirawat di rumah sakit mencapai 1-5
% kasus.

Gagal tumbuh paling sering didiagnotis 18 bulan pertama kehidupan karena


penambahan berat badan maupun panjang badan yang tidak sesuai dengan potensi genetiknya.
Pada 18 bulan pertama kehidupan, tinggi badan anak masih boleh memotong garis persentil
untuk mencari potensi genetiknya, atau yang lebih sering disebut dengan kanalisasi. Jika
20
terdapat pergeseran persentil yang tidak sesuai dengan faktor potensi genetiknya atau menetap
setelah usia 18 bulan, maka perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut untuk mengetahi
penyebabnya.1

Tujuan Penulisan

 Tujuan Umum

Untuk memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti program studi


kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di departemen Kesehatan Anak Rumah Sakit
Kepolisian Pusat Raden Said Sukanto Jakarta.

 Tujuan Khusus

Untuk mengetahui, mengerti, memahami definisi, etiologi, klasifikasi, gejala


klinis, serta penatalaksanaan pada anak dengan gagal tumbuh

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Gagal tumbuh bukan merupakan suatu diagnosis tersendiri, akan tetapi


menggambarkan bahwa seorang anak yang tidak dapat mencapai potensi pertumbuhan sesuai
usianya. Meskipun sering ditemukan pada usia dibawah 2 tahun, tetapi gagal tumbuh dapat
terjadi kapan saja pada masa anak – anak.

Berbagai rekomendasi telah dikemukakan oleh para ahli untuk mendefinisikan seorang
anak dengan gagal tumbuh. Ada tiga kriteria umum untuk menentukan gagal tumbuh dengan
menggunakan kurva pertumbuhan NCHS / CDC-2000 :

1. Anak umur kurang dari 2 tahun dengan berat badan di bawah persentil ke-3 sesuai
usianya pada lebih dari satu kali pengukuran.

21
2. Anak umur kurang dari 2 tahun dengan berat badan per umur (WFA) kurang dari 80
%.
3. Anak umur kurang dari 2 tahun dengan penurunan berat badan memotong 2 persentil
mayor atau lebih pada kurva pertumbuhan
Kita harus berhati-hati untuk mengaplikasikan definisi tersebut tanpa data-data
longitudinal karena pertumbuhan adalah sesuatu peristiwa yang berlangsung secara dinamis
dan kontinu. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan kriteria tersebut
diatas, antara lain anak dengan perawakan pendek, bayi kecil masa kehamilan, dan bayi
prematur. Selama pertumbuhan anak mengikuti/pararel garis kurva pertumbuhan normal maka
1
tidak dapat disebut sebagai gagal tumbuh

Prevalensi

Prevalensi gagal tumbuh berkisar antara 1,3 – 20,9 %, tergantung definisi dan kondisi
demografis populasi sampel. Delapan puluh persen anak dengan gagal tumbuh berusia kurang
dari 18 bulan. Prevalens anak gagal tumbuh yang harus dirawat di rumah sakit mencapai 1-5
% kasus.1

Etiologi

Gagal tumbuh disebabkan oleh faktor non organik ( Nonorganik Failure to


Thrive,NOFTT)
Gagal tumbuh dapat disebabkan oleh berbagai faktor, non organik maupun organik. Gagal
tumbuh karena faktor non organik umumnya terjadi akibat faktor lingkungan dan psikososial
dan sering dihubungkan dengan interaksi yang buruk antara ibu dan bayi, baik selama dalam
kandungan maupun setelah lahir. Keadaan ini menyebabkan asupan makanan yang tidak
adekuat.

Gagal tumbuh akibat faktor organik umumnya disebabkan oleh masalah medis. Gagal
tumbuh juga dapat disebabkan oleh kombinasi factor organik dan non organik. Sekitar separuh
kasus gagal tumbuh dengan penyebab organik memiliki latar belakang faktor psikososial yang
dapat mempereart faktor organik tersebut. 1

22
Masalah non-organik mencakup faktor psikososial dan nutrisi, berbagai masalah
psikososial yang melatarbelakangi antara lain:

 Berasal dari keluarga miskin.


 Kehamilan yang tidak direncanakan (contoh : gagal KB, kehamilan diluar nikah)
 Jarak dengan saudara kandung kurang dari 18 bulan.
 Berasal dari ibu yang terlalu muda, lahir tanpa ayah (single-mother), atau ibu
mengalami depresi.
 Komplikasi saat kehamilan (namun ini sangat jarang)
 Tidak adanya ikatan kasih sayang yang kuat antara ibu dan anak.
 Anak diberi makan susu formula yang tidak disiapkan dengan baik (kebersihan
botolnya, jumlah susu, frekuensi pemberian tidak diperhatikan).
 Anak sering mengalami infeksi-infeksi ringan.
 Anak mengalami kekerasan dalam rumah
Penatalaksanaan yang berkaitan dengan sosial ekonomi ini sangat rumit dan memerlukan
campur tangan pihak ketiga seperti tempat penitipan anak, rumah sakit dan lembaga sosial
lainnya. Perbaikan pertumbuhan yang signifikan terjadi saat anak diberikan pengasuhan dan
nutrisi yang baik.

Faktor pemberian nutrisi seperti :

- Kandungan nutrisi yang diberikan kurang

- Perilaku anak yang suka memilih makanan

Diagnosis gagal tumbuh non-organik bisa ditegakkan dengan mengevaluasi seluruh


faktor psikososial dan tetap dilakukan pemeriksaan penunjang sederhana seperti pemeriksaan
darah rutin, foto rontgen dada dan urinalisa.

NOFTT terutama terjadi bila anak, biasanya tidak diberi makan cukup kalori. Ibu
mungkin mengabaikan pemberian makan yang pantas karena ia dilibatkan dengan kebutuhan
eksternal dan perawatan yang lain, dipenuhi dengan masalah-masalah dalam, ketidaktahuan
mengenai pemberian makan yang tepat, penyalahgunaan bahan, atau tidak menyukai bayinya.

23
Kehilangan emosional dan keibuan selalu terjadi bersama-sama dengan kehilangan
nutrisi. Ibu-ibu ini sering merasa kehilangan dan tidak mencintai dirinya sendiri dan mungkin
depresi secara akut atau kronik. Berkali-kali dan terus-menerus krisis, sering ditambah dengan
tidak adanya ayah secara fisik, mungkin meliputi ibu yang melalaikan bayinya. Orang tua
yang retardasi dan secara emosional terganggu mungkin tidak mmempunyai kemampuan
untuk memberikan perawatan yang benar.2

Gagal tumbuh disebabkan faktor organik2,3


1. Kesulitan makan :
o Cacat bawaan seperti bibir sumbing, micrognatia (rahang kecil).
o Sesak nafas seperti pada penyakit jantung bawaan, gagal jantung, asma yang
tidak tertangani dengan baik, cystic fibrosis yang tidak teratasi dengan baik.
o Kelainan saraf seperti cerebral palsy, kelainan koordinasi kerongkongan
(pharyngeal incoordination), kerusakan otak saat kelahiran.
o Kelainan saluran cerna seperti : stenosis pylorus (penyempitan ujung lambung),
GERD (penyakit refluks), kelainan struktur esophagus, sumbatan saluan cerna
(hirchsprung, malrotasi usus).
o Kelainan ginjal seperti gagal ginjal, infeksi saluran kemih,
2. Pengeluaran yang berlebihan:
o Muntah misalnya pada keracunan logam berat dalam waktu lama
o Buang air besar seperti diare kronik, steatorea (tinja berlemak).
o Pengeluaran melalui urin seperti pada diabetes mellitus, gagal ginjal kronik,
defek tubular ginjal.
3. Kegagalan pembangunan dalam tubuh
o Infeksi kronik seperti pada tuberculosis, HIV.
o Kelainan metabolisme seperti pada phenylketonuria, galactosemia, dll.
o Kelainan hormone seperti hypotiroid, defisiensi hormone pertumbuhan.
o Kelainan bawaan, seperti pertumbuhan janin terhambat selama kehamilan,
kelainan kromosom , seperti syndrome down, infeksi selama kehamilan,
kelainan pembentukan tulang (bone dysplasia).

24
Evaluasi laboratorium anak dengan FTT seringkali tidak terlalu membantu,dan
karenanya harus digunakan secara bijaksana. Penilaian hitung darah komplit, kadar timah
hitam, analisis urin, dan kelompok harga seperti, pemeriksaan fungsi tiroid, uji untuk refluks
gastroesofagus dan malabsorbsi, asam amino dan organik, atau uji keringat, harus dilakukan
jika terindikasi oleh riwayat dan/atau pemeriksaan fisik.

Manifestasi klinik

Manifestasi klinis gagal tumbuh berkisar dari:2

 kegagalan memenuhi norma tinggi badan dan berat badan menurut umur yang
diharapkan
 alopesia
 kehilangan lemak subkutan
 penurunan massa otot
 dermatitis
 infeksi berulang
 marasmus
 kwashiorkor
Di negara-negara maju tanda yang paling umum adalah pertumbuhan buruk yang
terdeteksi dalam kelompok rawat jalan.

Di negara-negara yang sedang berkembang lebih banyak ditemukan tanda infeksi


berulang, marasmus, dan kwashiorkor.

Diagnosis

Anamnesis

Dapat diketahui penyebab dari FTT pada masa neonatal, yaitu:

 manajemen ASI yang salah,


 cara pemberian susu formula yang salah,
 kelainan metabolik,
 kelainan kromosom dan kelainan anatomis.
25
 Pada usia 3-6 bulan terdapat kemungkinan penyebab antara lain underfeeding
(karena kemiskinan),
 intoleransi protein susu,
 disfungsi motorik oral,
 refluks gastroesofagus dan penyakit jantung bawaan.
 Pada usia 7-12 bulan, yaitu keterlambatan pemberian makanan padat,
 intoleransi makanan,
 dan orang tua yang overprotektif. Di atas usia 12 bulan yaitu masalah-masalah
di atas ditambah dengan masalah psikososial.
Diperlukan pula anamnesis mengenai faktor prenatal dan postnatal yang
mempengaruhi pertumbuhan, termasuk di antaranya perawatan ketika kehamilan,
penyakit ibu ketika kehamilan, adanya pertumbuhan janin yang kurang, prematuritas,
ukuran bayi. Diperlukan pula indikator dari penyakit-penyakit.5

Pendekatan dapat dilakukan untuk menilai :

 Menilai penanganan diet, pemberian makan atau kebiasaan makan, respon anak
terhadap pemberian makanan
 Riwayat kelahiran (berat badan, panjang badan, dan lingkar kepala saat lahir, data
riwayat kehamilan ibu)
 Data tinggi badan orangtua untuk menilai tinggi potensi genetic anak
 Data pertumbuhan sebelumnya, riwayat perkembangan, gambaran pola tidur anak,
riwayat kesehatan anak untuk mengetahui apakah terdapat penyakit kronis,
penyakit genetik, alergi atau adanya suatu sindrom atau adanya gangguan gizi
sebagai penyebab dari gagal tumbuh
 Riwayat pengobatan sebelumnya maupun pengobatan yang saat ini didapat
 Faktor sosial keluarga, interaksi ibu dan anak, serta lingkungan tempat anak
disebarkan.1

26
Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisis yang lengkap ditujukan untuk :

1. Mengidentifikasi adanya gambaran dismorfik untuk melihat kemungkinan adanya


kelainan bawaan, kelainan endoktrin, atau suatu sindrom tertentu.
Hal ini dilakukan dengan mengukur tinggi atau panjang badan, berat badan,
dan lingkar kepala. Pengukuran ini harus dilakukan 2-3 kali untuk meningkatkan
akurasi hasil pengukuran sebelumnya.
Untuk melihat proporsi tubuh dilakukan dengan inspeksi dan pengukuran
tentang lengan, segmen atas (SA) dan segmen bawah (SB) tubuh, serta rasio SA/SB.
Pada saat lahir rasio SA/SB sekitar 1,7 dan berkurang menjadi 1,0 pada umur 10 tahun
dan rasio ini menetap sampai dewasa. Bila hasil pemeriksaan ditemukan disproporsi
tubuh, maka dipikirkan suatu dysplasia skeletal. Status pubertas diperiksa dengan
menggunakan stadium Tanner. Disamping itu perlu dicari tanda-tanda spesifik suatu
sindrom seperti webbek neck, wide carrying angle (cubitus valgus), low posterior
hairline, high arched palate, short fourth metacarpal, multiple nevi.
Perlu dicari kelainan endoktrin yang menyebabkan gagal tumbuh seperti
hipotiroid, defisiensi growth hormone, dan insufiensi adrenal.
2. Deteksi adalah tanda-tanda penyakit kronik atau penyakit sistemik seperti :
o Penyakit susunan saraf pusat: mikrosefali, sindrom diensefali
o Penyakit jantung: sianosis, jari tabuh
o Gangguan gastrointestinal dan penyakit hati seperti colitis ulseratif, enteropati
gluten, atau penyakit Crohn.
o Gagal ginjal kronik, asidosis tubular renal
o Penyakit paru kronik, misalnya cystic fibrosis
o Penyakit jaringan ikat seperti dermatomiositis
3. Penilaian kemungkinan adanya tanda-tanda kekerasan pada anak
4. Penilaian tanda-tanda malnutrisi.1

Pengukuran secara tepat dengan memplot berat badan, tinggi badan, dan
lingkar kepala pada kurva pertumbuhan sesuai dengan usia dan jenis kelaminnya sangat
penting mengevaluasi kemunkinan terjadinya gagal tumbuh pada seorang anak. Jika hasil
27
pengukuran tersebut dibawah persentil ketiga maka harus dicari kemungkinan penyakit
organik yang mendasarinya. Jika berat badan per umur kurang dari tinggi badan per umur
maka anak tersebut kurang gizi.

Anak dengan constitutional delay umumnya pendek dan kurus, sedangkan jika
terdapat kelainan endoktrin maka anak tampak pendek dan gemuk.

Dari pemeriksaan fisik harus dilakukan pengukuran berat badan, tinggi badan, dan
lingkaran kepala, serta status gizi anak tersebut. Pada pasien yang gizinya masih cukup,
tidak ditemukan gejala yang khas, sedangkan anak dengan gizi kurang anak tampak kurus
tanpa disertai kelainan fisis lainnya. Pasien yang mengalami gizi buruk terlihat cengeng,
kurus sekali, ditemukan wasting, ekstremitas hipo/ atrofi, crazy pavement dermatosis.
Pada pasien FTT akibat kelainan kromosom atau genetik dapat terlihat dismorfik. Pada
anak juga harus diperhatikan kemungkinan adanya child abuse.

Pada pemeriksaan fisik juga dicari tanda-tanda penyakit yang dapat membuat anak
menjadi gagal tumbuh seperti tanda-tanda infeksi, kelainan kongenital, jantung, paru dan
sebagainya. Tingkat pertumbuhan biasanya diukur dengan cara menghitung parameter
pertumbuhan masing-masing,

Penilaian pertumbuhan dan perkembangan dapat dilakukan sedini mungkin sejak


anak dilahirkan. Deteksi dini merupakan upaya penjaringan yang dilaksanakan secara
komprehensif untuk menemukan penyimpangan tumbuh kembang dan mengetahui serta
mengenal faktor resiko pada balita, yang disebut juga anak usia dini.

Melalui deteksi dini dapat diketahui penyimpangan tumbuh kembang anak secara
dini, sehingga upaya pencegahan, stimulasi, penyembuhan serta pemulihan dapat
diberikan dengan indikasi yang jelas pada masa-masa kritis proses tumbuh kembang.
Upaya-upaya tersebut diberikan sesuai dengan umur perkembangan anak, dengan
demikian dapat tercapai kondisi tumbuh kembang yang optimal (Tim Dirjen Pembinaan
Kesmas, 1997).

Penilaian pertumbuhan dan perkembangan meliputi dua hal pokok, yaitu penilaian
pertumbuhan fisik dan penilaian perkembangan. Masing-masing penilaian tersebut
mempunyai parameter dan alat ukur tersendiri.

28
Dasar utama dalam menilai pertumbuhan fisik anak adalah penilaian
menggunakan alat baku (standar). Untuk menjamin ketepatan dan keakuratan penilaian
harus dilakukan dengan teliti dan rinci. Pengukuran perlu dilakukan dalam kurun waktu
tertentu untuk menilai kecepatan pertumbuhan.

Parameter ukuran antropometrik yang dipakai dalam penilaian pertumbuhan fisik


adalah tinggi badan, berat badan, lingkar kepala, lipatan kulit, lingkar lengan atas,
panjang lengan, proporsi tubuh, dan panjang tungkai. Menurut Pedoman Deteksi Dini
Tumbuh Kembang Balita (Tim Dirjen Pembinaan Kesmas, 1997) dan Narendra (2003)
macam-macam penilaian pertumbuhan

Pemeriksaan fisik yang dapat digunakan adalah:

1. Pengukuran Berat Badan (BB)


Pengukuran ini dilakukan secara teratur untuk memantau pertumbuhan dan
keadaan gizi balita. Balita ditimbang setiap bulan dan dicatat dalam Kartu Menuju
Sehat Balita (KMS Balita) sehingga dapat dilihat grafik pertumbuhannya dan
dilakukan interfensi jika terjadi penyimpangan.

2. Pengukuran Tinggi Badan (TB)

Pengukuran tinggi badan pada anak sampai usia 2 tahun dilakukan dengan
berbaring., sedangkan di atas umur 2 tahun dilakukan dengan berdiri. Hasil
pengukuran setiap bulan dapat dicatat pada dalam KMS yang mempunyai grafik
pertumbuhan tinggi badan.

3. Pengukuran Lingkar Kepala Anak (PLKA)

PLKA adalah cara yang biasa dipakai untuk mengetahui pertumbuhan dan
perkembangan otak anak. Biasanya ukuran pertumbuhan tengkorak mengikuti
perkembangan otak, sehingga bila ada hambatan pada pertumbuhan tengkorak
maka perkembangan otak anak juga terhambat. Pengukuran dilakukan pada
diameter occipitofrontal dengan mengambil rerata 3 kali pengukuran sebagai
standar. 5,7

29
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboraturium tidak digunakan untuk menentukan adanya gagal tumbuh


pada anak, akan tetapi digunakan untuk melakukan evaluasi kemungkinan penyebab
gagal tumbuh. Pemeriksaan laboraturium dibutuhkan untuk menunjang temuan klinis
yang didapat dari anamnesis dan pemeriksaan fisis

1. Darah lengkap serta laju endap darah


2. Urinalisis
3. Analisis feses rutin
4. Tes tuberculin
5. Analisis gas darah dan elektrolit serum
6. Fungsi ginjal
7. Fungsi hati
8. Scereening HIV
9. TSH dan T4 bebas untuk menyingkirkan hipotiroid dan panhipotuitarisme
sebagai penyebab dari perawakan pendek dan gagal tumbuh
10. Atas indikasi :
 Hormon gondatropin (FSH, LH, sex steroid), 17-OHP
 IGF -1 dan IGFP-3 GH
 Test metabolic
 Analisis kromosom
 Antiendomesial antibodies dan sweat chloride pada pasien yang
mempunyai riwayat steatore
Pemeriksaan pencitraan yang diperlukan dalam membantu menentukan etiologi gagal
tumbuh meliputi :

1. Bone Age
2. Bone Survey
3. Ultrasonografi, MRI, ekokardiografi (atas indikasi) 1

30
Diagnosis Banding

Parameter pertumbuhan anak merupakan dasar pendekatan sistematik untuk melakukan


diagnosis banding. Tiga kategori gambaran pertumbuhan digunakan untuk membantu klinisi
dalam memikirkan diagnosis banding.

1. Gagal tumbuh dengan mikrosefali. Anak dengan mikrosefali dibagi atas ada
tidaknya kelainan neurologis. Anak dengan mikrosefali tetapi tidak menunjukkan
kelainan neurolis, kemungkinan pertumbuhan kepala terhambat akibat malnutrisi
berat. Anak dengan mikrosefali dengan gejala neurolis yang menonjol perlu dicari
adanya infeksi TORCH, kondisi teratogenik, genetic, serta trauma otak.

2. Gagal tumbuh dengan perawakan pendek tanpa mikrosefali perlu diavaluasi apakah
perawakan pendek itu bersifat primer atau terjadi akibat pertambahan berat badan
yang tidak adekuat. Pada anak perawakan pendek primer perlu dievaluasi
kemungkinan adanya sindrom genetic yang berhubungan dengan perawakan pendek
demikian juga keadaan teratogenik dan endokrinologik.

3. Gagal tumbuh dengan tinggi badan terhadap umur dan lingkar kepala yang normal.
Evaluasi penyebab sebaiknya dimulai dari menilai apakah nutrisi yang masuk telah
adekuat. Jika nutrisinya belum adekuat, maka dokter harus menentukan apakah
keadaan ini karena kelalaian atau tidak sengaja. Sering ditemukan anak yang tidak
mampu atau tidak ingin menerima makanan yang diberikan. Pada kasus ini, anak
mempunyai selera makan yang kurang, malas, tidak menghendaki jenis makanan
tertentu, atau terdapat disfungsi oromotor (gangguan neurologis untuk menghisap,
mengunyah dan menelan).
Selera makan yang jelek menjadi kebiasaan pada anak yang pernah sakit atau
kurang gizi. Mereka terbiasa dengan masukan kalori yang tidak adekuat. Kondisi lain
yang perlu dipertimbangkan pada anak dengan berat badan rendah tetapi tinggi badan
dan lingkar kepalanyan normal adalah kehilangan kalori lewat muntah, malabsorpsi,
atau keadaan hipermetabolik. Suatu kondisi yang jarang tapi sangat penting adalah
sindrom Russel diensafalik yang dihubungkan dengan sindrom diensafalik (anak sangat
31
kurus, tinggi badan dan lingkar kepala normal, terjadi akibat tumor pada kiasma
optikum).

Tatalaksana

Tata laksana utama pada gagal tumbuh adalah mengetahui penyebab yang
mendasarinya dan memperbaiki keadaan tersebut. Hal ini membutuhkan pendekatan bertahap
sesuai klinis dan respon pengobatan sehingga diperlukan kerja sama yang komprehensif antara
dokter, perawat, ahli, pekerja sosial, dan ahli rehabilitasi medik. Sebagian besar kasus
membutuhkan intervensi nutrisi dan modifiadi perilaku yang bermakna. Edukasi keluarga
mengenai kebutuhan gizi dan cara pemberian makan pada anak sangat penting dalam tata
laksana anak dengan gagal tumbuh. Anak yang tidak respon terhadap modifikasi nutrisi dan
perilaku membutuhkan evaluasi lebih lanjut.

Ada dua hal utama yang dibutuhkan anak dengan gagal tumbuh yaitu kebutuhan akan
diet tinggi kalori untuk tumbuh kejar dan pemantauan minimal satu kali sebulan sampai
tercapai pertumbuhan yang normal. Perawatan di rumah sakit jarang dibutuhkan kecuali jika
gagal dengan tata laksana rawat jalan, pada gagal tumbuh yang berat atau gagal tumbuh yang
disertai penyakit berat yang membutuhkan perawatan di rumah sakit.

Gagal tumbuh pada bayi dan anak harus diintervensi sesegera mungkin terutama jika
kurva pertumbuhan berat badan berdasarkan panjang badan dibawah 70 %. Malnutrisi yang
terjadi pada usia yang lebih dini dapat berakibat buruk pada perkembangan otak. Setelah
diatasi kedaruratannya, prioritas penanganan selanjutnya adalah observasi selama beberapa
minggu untuk memonitor asupan, keluaran, pertumbuhan, pola makan, interaksi dan ciri bayi
dan anak. Dahulu observasi ini dilakukan di rumah sakit, tetapi saat ini akan lebih baik
dilakukan di lingkungannya sendiri (missal: Rumah) sampai penyebab gagal tumbuh dapat
diidentifikasikan.

Terapi ditujukan pada penyebab yang mendasari terjadinya gagal tumbuh dasar.
Terapi substitusi hormone tiroid perlu diberikan jika gagal tumbuh disebabkan oleh hipotiroid,
demikian juga apabila disebabkan karena penyakit sistemik maka diatasi penyakitnya tersebut.

32
Tetapi gagal tumbuh bersifat multifaktorial dan secara umum dibagi menjadi
pengobatan jangka panjang dan jangka pendek, melibatkan ibu dan lingkungan serta interaksi
ibu dan bayi. Pengobatan pada bayi termasuk nutrisi, terapi perkembangandan tingkah laku,
serta mengatasi komplikasi yang terjadi. Pendekatan tata laksana pada ibu dan lingkungan
memrlukan identifikadi dan modifikasi stressor lingkungan dan perbaikan system
perlindungan. Perbaikan interaksi ibu – anak dibutuhkan jika keberhasilan perawatan di RS
akan dilanjutkan di rumah.1

Prognosis

Untuk mencapai pertumbuhan dewasa yang normal, maka prognosis gagal tumbuh
tergantung dari penyebab gagal tumbuh itu sendiri. Intervensi dini sangat penting untuk
mengurangi risiko gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang berkelanjutan atau
mengurangi resiko gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang berkelanjutan atau
menetap.

Gangguan pertumbuhan dalam 6 bulan pertama berhubungan dengan gangguan mental


dan psikomotor pada tahun kedua. Makin cepat timbulnya gangguan tumbuh dan makin berat
penyakit yang mendasarinya maka prognosisnya makin yang kurang baik, gagal tumbuh
jangka panjang sering disertai penyakit kronik yang berat atau malnutrisi sejak dini.

Banyak anak, terutama di Negara berkembang yang menderita malnutrisi ringan atau
sedang dan anak-anak cenderung memiliki prognosis yang lebih baik, terutama jika dilakukan
intervensi sejak dini. Terdapat kondisi spesifik mempengaruhi hasil keluaran intervensi yang
dilakukan pada anak-anak cenderung memiliki prognosis yang lebih baik, terutama jika
dilakukan pada anak dengan gagal tumbuh.

Sebagai contoh, bayi prematur atau bayi yang mengalami pertumbuhan janin
terhambat asimetris sering memperlihatkan pacu tumbuh yang lebih baik dibandingkan
dengan bayi yang mengalami pertumbuhan janin terhambat simetris. Perlu diingat bahwa
faktor genetik juga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan seorang canak.

Dampak terhambatnya pertumbuhan terhadap perkembangan intelektual dan tingkah


laku tergantung dari penyebabnya. Malnutrisi berat yang lama dan timbul dini berhubungan
33
dengan gangguan perkembangan system saraf, cenderung bersifat permanen. Defisiensi
mikronutrien (contohnya, anemia defisiensi besi) berhubungan dengan gangguan tingkah laku.
Gangguan pertumbuhan selama bayi dan anak merupakan faktor risiko potensial untuk
pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya. Prognosisnya baik jika kebutuhan medis, nutrisi
dan psikososial anak dan keluarga tercukupi.1

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Ranuh, IGNG, penyunting. Tumbuh kembang anak. Edisi pertama. Jakarta: EGC;
1995.
2. Matondang CS, Wahidiyat I, Sastroasmoro S, penyunting. Diagnosis fisis pada anak.
Edisi kedua. Jakarta: Sagung Seto; 2003.
3. Narendra MB, Sularyo TS, Soetjiningsih, dkk, penyunting. Buku ajar 1: tumbuh
kembang anak dan remaja. Edisi pertama. Jakarta: Sagung Seto, IDAI; 2002.
4. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, dkk, penyunting. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi kedelapan belas.Philadelphia: Saunders Elsevier; 2004.
5. Kamus Kedokteran Dorlan Ed 29. Jakarta : EGC
6. Tumbuh kembang anak dan remaja [diunduh 19 januari 2011]; Tersedia di:
http://www.scribd.com/doc/31719019/tumbuh-kembang-anak-scribd
7. Denver Development Materials Inc. [Online]. 2010 [diunduh 20 januari 2011];
Tersedia di: URL: http://www.denverii.com/DenverII.html

35
Tatalaksana Antibiotik pada Anak

Pendahuluan
Penggunaan antibiotika yang tidak tepat terhadap infeksi virus sering ditemukan. Sebuah
penelitian di Manitoba (Kanada) menunjukkan bahwa peresepan antibiotika mencapai
45% kunjungan akibat infeksi saluran napas karena virus. Hal ini berkaitan dengan
peningkatan risiko terjadinya resistensi antibiotika. Resistensi antibiotika seakin
mempersulit pengobatan infeksi dan meningkatkan risiko kesakitan dan kematian.1
Keputusan memulai terapi antibiotika dan memilih antibiotika yang sesuai
merupakan tantangan bagi dokter anak.2,3 Pemilihan antibiotika tidak cukup hanya
didasarkan pada kemungkinan patogen penyebab dan keberhasilan antibiotika
sebelumnya di masa lampau. Pengetahuan mengenai pola resistensi kuman juga penting.
Selain itu penentuan dosis antibiotika yang tepat pada anak juga sulit. Uji klinis neonatus,
bayi, dan anak jauh lebih sedikit dari pada pada dewasa. Dosis sering merupakan hasil
ektrapolasi dari penelitian pada dewasa. Demikian juga data mengenai efektivitas dan
keamanan.2 Tulisan ini bertujuan untuk membahas faktor-faktor penting yang menjadi
dasar pertimbangan pengguanaan dan pemilihan antibiotika.

Indikasi Pemberian Antibiotik


Indikasi pemberian antibiotik adalah pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri.
Identifikasi infeksi bakteri secara dini dapat memandu terapi, mengurangi penggunaan
antibiotik yang tidak tepat dan memperbaiki luaran pasien. Identifikasi infeksi bakteri
secara dini masih merupakan tantangan dalam praktek sehari-hari. Cara yang paling tepat
untuk mendiagnosis infeksi bakteri adalah dengan melakukan biakan. Namun, biakan
bakteri memerlukan waktu yang dapat menunda pemberian antibiotik pada pasien yang
membutuhkan antibiotik. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu petanda yang spesifik
terhadap infeksi bakteri.4

36
Petanda infeksi yang sering digunakan adalah hitung leukosit, hitung jenis,
prokalsitonin,dan protein C-reaktif. Peningkatan jumlah leukosit merupakan indikator
yang tidak sensitif maupun spesifik terhadap infeksi bakteri. Peningkatan sel
polimorfonuklear (PMN) lebih akurat dalam menentukan adanya infeksi bakteri
dibandingkan peningkatan leukosit.5 Prokalsitonin memiliki sensitivitas 92% dan
spesifisitas 73%, sedangkan protein C-reaktif memiliki sensitivitas 86% dan spesifisitas
70% yang artinya prokalsitonin merupakan petanda yang lebih akurat dibanding protein
C-reaktif dalam membedakan infeksi bakteri dan infeksi virus serta membedakan infeksi
bakteri dan penyebab inflamasi non-infeksi.4 Kadar protein C-reaktif lebih dari 20 mg/L
dan prokalsitonin > 2 ng/ml menandakan suatu infeksi bakteri dan atau infeksi berat. Jika
protein C-reaktif lebih rendah dari 8 mg/ml dan prokalsitonin lebih rendah dari 0,5 ng/ml,
maka kemungkinan infeksi bakteri hanya sebesar 2%.6
Demam pada anak 90-95% disebabkan oleh virus, hanya 5-10% yang disebabkan
oleh bakteri. Karakterisitik demam dapat membantu membedakan infeksi bakteri dengan
virus. Demam dengan suhu tinggi dan durasi yang lama umumnya disebabkan oleh
bakteri dibandingkan oleh virus. Pasien immunocompromised yang demam harus
dianggap sebagai infeksi bakteri sampai terbukti bukan. Beberapa tanda yang dapat
membantu membedakan demam yang disebabkan oleh infeksi bakteri dengan infeksi
virus antara lain:7

Curiga Infeksi Virus Curiga Infeksi Bakteri

Banyak organ yang terlibat pada saat Terlokalisasi pada satu organ
bersamaan, umumnya mengenai saluran
napas atas
Terdapat riwayat kontak dengan orang
Demam tinggi (>39oC), durasi > 3 hari
yang memiliki keluhan yang sama
Tidak terlihat sakit berat, masih dapat Irritable, letargis, tampak sakit berat,
bermain dan berinteraksi dengan baik menangis lemah dan tidak tertarik dengan
dengan orang tuanya lingkungan sekitar
Protein C-reaktif dan hitung leukosit Protein C-reaktif, laju endap darah (LED),
normal. leukopenia, limfositosis (atau hitung leukosit dan hitung netrofil yang

37
limfositopenia) dan trombositopenia tinggi
Prokalsitonin dalam batas normal. Kadar Prokalsitonin >1,2 ng/ml atau >5 ng/ml
sitokin yang rendah, kecuali IFN-α. pada infeksi bakteri yang berat.

Antibiotik dapat diberikan pada anak dengan demam yang memenuhi salah satu
kriteria berikut:7
 Anak dengan fokus infeksi yang sugestif disebabkan oleh bakteri
 Semua anak dan neonatus yang tampak sakit berat
 Anak dengan suhu demam >40o C dan usia kurang dari 36 bulan tanpa fokus
infeksi yang jelas
 Anak tanpa fokus infeksi yang jelas dengan hasil tes penyaring (darah perifer
lengkap, protein C-reaktif, urinalisis) yang abnormal.
Pemberian antibiotik yang tepat adalah bila sesuai dengan organisme patogen yang
ditemukan pada bagian tubuh yang seharusnya steril dan sesuai dengan hasil resistensi
antibiotik.8 Pemberian antibiotik yang tidak tepat merupakan penyebab utama resistensi
antibiotik.9

Jenis-jenis Antibiotik
Antibiotika yang digunakan dalam mengatasi infeksi bakteri pada bayi dan anak dapat
dikelompokkan menjadi 5 golongan:10
1. β-laktam
Antibiotika golongan ini bekerja dengan cara menghambat sistesis dinding bakteri
melalui ikatannya dengan transpeptidase. Enzim tersebut berperan dalam sistesis
lapisan peptidoglikan dinding sel bakteri. Aktivitas bakterisid antibiotika golongan ini
ditentukan oleh lamanya kadar optimal antibiotika bertahan dalam darah (time-
dependent). Yang termasuk dalam golongan ini adalah penisilin alami (Penisilin V
dan G), aminopenisilin (ampisilin dan amoksisilin), penisilin resisten penisilase
(metisilin), extended spectrum penicillin (piperasilin), sefalosporin (sefadroksil,
sefepim), monobaktam (aztreonam), karbasepem (lorakarbef), dan karbapenem
(meropenem).
38
2. Glikopeptida
Yang termasuk dalam golongan ini adalah vankomisin. Cara kerjanya adalah dengan
mengganggu sintesis dinding sel, mengubah permeabilitas membran sitoplasma, dan
mengganggu sintesis asamribonukleat. Vankomisin mengganggu sintesis dinding sel
tahap dua dengan cara membentuk kompleks dengan peptida prekursor sehingga
membentuk ikatan silang dengan peptidoglikan (lapisan struktural dinding sel).
Golongan ini termasuk time-dependent antibiotic.
3. Aminoglikosida
Aminoglikosida merupakan antibiotika yang memiliki peranan pentinga dalam
pengobatan infeksi berat oleh basil gram negatif aerob dan enterokokus. Antibiotika
golongan ini menunjukkan aktivitas bakterisid yang cepat dan tergantung
konsentrasinya pada lokasi infeksi (dose-dependent). Cara kerjanya adalah dengan
membentuk ikatan ireversibel dengan ribosom subunit 30 S yang menyebabkan
inhibisi sintesis protein dan kesalahan translasi protein. Terdapat 8 jenis
aminoglikosida yang disetujui di Amerika Serikat, yakni streptomisin, kanamisin,
amikasin, tobramisin, gentamisin, netilmisin, neomisin, dan paromomisin.
4. Makrolid
Makrolid yang digunakan pada anak adalah eritromisin, azitromisin, dan
klartitromisin. Cara kerjanya adalah dengan membentuk ikatan reversibel dengan
ribosom subunit 50 S dan menghambat sisntesis protein. Aktivitas antibakterialnya
berupa bakteriostatik, namun pada konsentrasi yang tinggi dapat menjadi bakterisid
terhadap bakteri yang aktif membelah.
5. Lain-lain
- Kloramfenikol, bekerja dengan cara membentuk ikatan reversibel dengan ribosom
subunit 50 S (menghambat sintesis protein) dan menghambat enzim peptidil
transferase sehingga bakteri tidak dapat memperpanjang peptidanya.
Kloramfenikol bersifat bakteriostatik, namun dapat bersifat bakterisid pada
konsentrasi tinggi (terhadap meningokokus dan H influenza).
- Kolistin (sodium kolestimetat, polimiksin E), bekerja dengan cara merusak
membrane sitoplasma dengan cara menggeser kalsium dan magnesium serta

39
berikatan dnegan molekul lipopolisakarida. Yang terjadi selanjutnya adalah
gangguan permeabilitas membran sel.
- Fluorokuinolon, bekerja menghambat sintesis asamdeoksirubonukleat (AND)
dengan cara berikatan dengan girase ADN dan topoisomerase IV. Penggunannya
pada anak terbatas karena kemungkinan menginduksi kerusakan tulang rawan
yang menyebabkan artropati.
- Linkosamid, memiliki cara kerja yang sama dengan eritromisisn dan
kloramfenikol. Antibiotika ini bersifat bakteriosatatik, namun pada konsentrasi
tinggi bersifat bakterisid terhadap bakteri tertentu yang rentan. Contoh golongan
antibiotika ini adalah klindamisin.
- Linezolid, merupakan generasi pertama oksazolidinon yang bekerja dengan cara
menghambat sistesis ribosom melalui ikatannnya dengan ribosom ARN 23 S pada
domain V.
- Rifamisin, terdiri dari rifampisin dan rifabutin. Cara kerjanya adalah dengan
membentuk ikatan yang kuat denagn DNA-dependent RNA polymerase.
- Tetrasiklin, bersifat bakteriostatik dengan cara membentuk ikatan reversible
dengan ribosom subunit 30 S dan menghambat sintesis protein. Antibiotika
golongan ini terdiri dari tetrasiklin, oksitetrasiklin, dimeklosiklin, doksisiklin, dan
minosiklin.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Antibiotika


Hal berikut ini merupakan faktor-faktor penting yang memepengaruhi pemilihan
antibiotika:

Adakah indikasi pemberian antibiotik?


Indikasi pemberian antibiotik adalah kecurigaan kuat terdapatnya infeksi bakterial. Hal
ini harus didasarkan atas tanda dan gejala infeksi yang jelas, usia pasien, riwayat penyakit
pasien, serta ada atau tidaknya penyulit pada pasien.11

Apa organisme penyebab tersering dan resistensinya?

40
Secara umum, bakteri terbanyak penyebab infeksi pada komunitas adalah bagian dari
flora normal anak. Bakteri tersebut didapat dari paparan oleh anak lain di komunitas.
Infeksi kulit dan jaringan lunak umumnya disebabkan oleh S aureus atau streptokokus
beta hemolitikus, sementara infeksi saluran napas atas dan bawah umumnya disebabkan
oleh S pneumonia dan H influenza. Resistensi terhadap antibiotika dapat terjadi pada
berbagai bakteri. Data epidemiologi lokal merupakan kunci untuk menilai pola prevalens
dan resistensi di komunitas.2
Kerentanan patogen spesifik terhadap antibiotika spesifik dapat diukur dengan cara
menilai konsentrasi antibiotika terendah yang dapat menghambat pertumbuhan patogen.
Inilah yang kita kenal sebagai minimum inhibitory concentration (MIC). Pola kerentanan
ini tidak sama pada satu jenis patogen tertentu, tetapi dipengaruhi oleh wilayah, periode
waktu, dan lokasi isolasi bakteri (darah, cairan telinga tengah, cairan serebrospinal).2,3
Metode lain untuk menilai kerentanan bakteri terhadap antibiotika adalah minimum
bactericidal concentration (MBC), yakni konsentrasi antibiotika yang dibutuhkan yang
dibutuhkan untuk membunuh 99,9% bakteri setelah inkubasi 24 jam. Biasanya nilai MBC
sama atau kebanyakan 2 kali nilai MIC.3
Pola resistensi berubah dari waktu ke waktu. Selama lebih dari 5 tahun terdapat
peningkatan community acquired methicillin resistance Staphylococcus aureus. Bakteri
ini resisten terhadap meticilin dan antibiotika beta laktam lain karena terdapat perubahan
pada penicillin-binding protein 2a yang dihasilkan oleh gen mecA. Munculnya pola
resistensi seperti ini, menekankan pentingnya mengambil biakan dan resistensi
antibiotika terutama pada kasus yang tidak menunjukkan respon terhadap antibiotika
yang sebelumnya dianggap efektif.2 Sebuah penelitian menunjukkan bahwa resistensi
(pneumokokus terhadap β-laktam) di komunitas dapat dikurangi dengan membatasi
penggunaan β-laktam serta menggunakan dosis yang lebih besar.10

Bagaimana farmakodinamik antibiotik yang dipilih?


Farmakodinamik merupakan konsep penting dalam memprediksi keberhasilan klinis dan
mikrobiologis terapi antibiotika. Keberhasilan antibiotika menghambat atau membunuh
bakteri tergantung jenis antibiotika dan patogen penyebab. Secara umum, efek antibiotika
berhubungan langsung dengan konsentrasi yang dicapai pada lokasi infeksi (dose-

41
dependent) dan lamanya kadar antibiotika efektif bertahan pada lokasi infeksi (time-
dependent). Pada aminoglikosida dan fluorokuinolon, konsentrasi dan paparan antibiotika
yang lebih tinggi menghasilkan daya bunuh yang lebih cepat. Paparan antibiotika
berhubungan dengan total area di bawah kurva yang didapat dengan membuat kurva
kadar obat dalam darah sejak awal pemberian hingga eliminasi. Pada β-laktam, makrolid,
klindamisin, vankomisin, dan linezolid, aktivitas optimal berhubungan dengan persentase
lamanya kadar antibiotika di atas MIC bertahan pada lokasi infeksi terhadap interval
dosis. Hal ini dikenal dengan percent-time-above-MIC. Aktivitas inhibisi dapat
dioptimalkan jika konsentrasi antibiotika di atas MIC pada lokasi infeksi dapat bertahan
lebih dari 40% interval dosis (contohnya untuk interval 12 jam, kadar antibiotika harus
bertahan lebih dari 4,8 jam).2

Bagaimana farmakokinetik antibiotik yang dipilih?


Panduan dosis antibiotika biasanya berdasarkan atas uji klinis pada anak normal yang
sehat atau merupakan ekstrapolasi dari data pada dewasa. Absorpsi, konsentrasi,
distribusi, metabolisme, dan ekskresi antibiotika pada anak sakit yang mungkin
mengalami gangguan fungsi organ tidak dapat sepenuhnya diprediksi secara tepat.
Varibilitas farmokinetik antarpasien harus diantisipasi. Pemilihan bentuk dan dosis obat
harus mempertimbangkan bioavailabilitas, kepatuhan, rasa, dan komplikasi yang
mungkin menyertai pemberian obat.2
Sebagian besar antibiotika β-laktam yang diberikan secara oral memiliki
bioavailabilitas yang kurang baik, hanya sekitar 5-10% bioavailabilitas jika diberikan
secara parenteral. Sebaliknya kuinolon dan oksazolidinon secara oral memiliki
bioavailibalilitas yang mendekati pemberian parenteral. Pemberian secara parenteral
tidak dipengaruhi oleh kepatuhan pasien, namun penggunaan kateter intravena dapat
menimbulkan komplikasi. Sementara itu terapi oral memiliki komplikasi yang lebih kecil,
namun sangat dipengaruhi kepatuhan, absorpsi dan rasa.2

Adakah keadaan pejamu yang mempengaruhi terapi?

42
Faktor pejamu mempengaruhi kemungkinan jenis bakteri yang menjadi patogen,
farmakokinetik, dan efek samping berbagai antibiotika. Neonatus, terutama prematur,
memiliki imunitas yang belum matur dan kerusakan sawar mukosa dan kulit akibat
penggunaan ventilator dan kateter intravena. Penggunaan dosis menjadi kompleks karena
profil farmakokinetik neonatus sangat berbeda dengan anak. Dosis per kilogram berat
badan yang digunakan pada neonatus lebih besar untuk menkompensasi volume distribusi
yang lebih luas, serta frekuensi yang lebih jarang untuk mengkompensasi eksresi renal
yang lebih lambat.2

Bagaimana spektrum antibiotik yang dipilih?


Terapi antibiotik de-eskalasi adalah pemberian antibiotik spektrum luas dalam jangka
waktu pendek, kemudian diikuti oleh pemberian antibiotik dengan spektrum sempit yang
disesuaikan dengan hasil kultur. Pemberian antibiotik dengan cara ini tidak menyebabkan
pasien terkena efek samping dari infeksi serius yang tidak tertangani atau komplikasi
yang berhubungan dengan penggunaan antibiotik spektrum luas jangka panjang, yaitu
berupa kemunculan organisme yang resisten terhadap efek antibiotik atau infeksi baru.
Pendekatan ini biasanya digunakan saat menghadapi kondisi yang membahayakan nyawa
pasien , terutama pada infeksi yang terjadi pada pasien-pasien yang dirawat dalam
kondisi kritis, pasien immunocompromised, dan pasien dengan risiko infeksi nosokomial.
Pemilihan antibiotik awal harus berdasarkan data pola kuman dan resistensi setempat.11

Monoterapi atau kombinasi?


Terapi kombinasi yaitu penggunaan dua atau lebih antibiotik diindikasikan pada
pengobatan awal infeksi berat yang penyebabnya belum diketahui, dicurigai terdapat
beberapa bakteria sebagai penyebab serta untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
resistensi dan toksisitas.

Apa risiko efek samping?


Keamanan merupakan pertimbangan utama dalam pemilihan antibiotika pada anak.
Semua antibiotika memiliki efek samping yang potensial dan klinisi harus mewaspadai
hal ini. Antibiotika β-laktam terbukti paling aman pada anak. Makrolid, aminoglikosida,

43
glikopeptida, sulfonamide, dan kuinolon memiliki toksisitas bahkan beberapa dapat
mempengaruhi metabolisme obat lain.2 Antibiotika yang memiliki efek samping yang
lebih sering akan dikonsumsi lebih jarang dengan durasi yang lebih pendek oleh pasien.
Oleh karena itu pemilihan antibiotika dengan efek samping terkecil merupakan pilihan
terbaik apabila efikasinya sama.3

Apakah cost effective?

Penggunaan antibiotik yang rasional tidak saja memiliki keuntungan secara klinis bagi
pasien, namun jiuga memiliki keuntungan secara ekonomis. Pemilihan terapi antibiotik
yang tidak sesuai akan menyebabkan kegagalan terapi dan efek samping, sehingga akan
memperpanjang lama rawat di rumah sakit serta meningkatkan biaya perawatan.11

Simulasi Monte Carlo


Klinisi harus bisa memprediksi kemungkinan suatu antibiotika mengatasi infeksi. Tingkat
kepastian prediksi ini bervariasi pada berbagai kondisi klinis. Tingkat kepastian dapat
tinggi pada infeksi yang ringan seperti sistitis pada anak sehat, namun sebaliknya dapat
rendah pada pneumonia karena P aeruginosa pada demam netropenia. Dosis yang sesuai
yang dibutuhkan untuk memperoleh target terapi yang diharapkan pada dua kasus di atas
dapat diprediksi dengan simulasi Monte Carlo. Simulasi ini menggunakan program
komputer yang mempertimbangkan distribusi MIC antibiotika tertentu terhadap
kemungkinan patogen tertentu, kisaran kadar antibiotika pada lokasi infeksi pada
berbagai dosis, dan karakteristik farmakodinamik antibiotika. Hasil simulasi ini berupa
persentase anak yang mencapai kesembuhan pada setiap dosis antibiotika yang kita
pertimbangkan. Akan tetapi akses terhadap simulasi komputer ini terbatas pada para ahli
yang membuat rekomendasi terapi antibiotika.2

Pemantauan terapi antibiotik


Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan setelah antibiotik diberikan: berapa lama
antibiotik akan diberikan serta parameter klinis dan laboratorium apa yang akan
digunakan untuk memantau efektivitas antibiotik.12

44
Lama pengobatan antibiotika disesuaikan dengan guidelines terapi masing-masing
penyakit. Masing-masing penyakit memiliki durasi pemberian antibiotik yang berbeda-
beda, meskipun menggunakan antibiotik yang sama.12 Misal: Kotrimoksazol pada diare
enterotoksigenik diberikan selama 5-7 hari, sedangkan pada sistitis akut diberikan selama
7-10 hari.2
Parameter terbaik mengenai efektifitas antibiotik adalah dengan mengukur kadar
antibiotik pada lokasi infeksi. Hal ini sulit untuk dilakukan sehingga digunakan parameter
lain yang dianggap dapat mewakili yaitu kadar obat dalam serum.13 Obat-obatan yang
perlu dipantau adalah golongan aminoglikosida, vankomisin dan kloramfenikol. Terdapat
empat hal yang mendukung untuk memantau konsentrasi obat dalam serum, yaitu:12
 Indeks terapeutik obat yang sempit
 Variasi pasien yang luas
 Tidak mudah menetukan keberhasilan pengobatan secara farmakologik
 Terdapat hubungan antara kadar obat dalam serum dengan efek samping.
Selama terapi antibiotik selain respon klinis pasien, perlu diperhatikan juga
parameter laboratorium antara lain hitung leukosit, urinalisis, prokalsitonin dan protein
C-reaktif. penurunan salah satu marker (prokalsitonin atau protein C-reaktif) tersebut
menunjukkan adekuat atau tidaknya terapi antimikroba serta keluaran pasien yang lebih
baik.14 Suatu penelitian multisenter pada orang dewasa menghasilkan suatu rekomendasi
penggunaan prokalsitonin sebagai parameter untuk memulai atau meneruskan terapi
antibiotik, yaitu:15
Procalcitonin (ug/l) Rekomendasi
< 0,25 Pemberian antibiotik sangat tidak disarankan atau

penghentian antibiotik sangat disarankan


0,25-0,5 Pemberian antibiotik tidak disarankan atau
penghentian antibiotik disarankan
0,5-1 Pemberian antibiotik atau meneruskan antibiotik

disarankan

>1 Pemberian antibiotik sangat disarankan atau


mengganti antibiotik sangat disarankan

45
Ada atau tidaknya efek samping antibiotik pada pasien turut menentukan apakah
terapi akan dilanjutkan atau tidak. Setiap golongan antibiotik memiliki efek samping.16
Efek samping yang dapat terjadi antara lain reaksi anafilaktik, kelainan darah (anemia
hemolitik, leukopenia, neutropenia, trombositopenia, hipereosinofilia, dll), gangguan
kardiovaskular (aritmia, hipertensi, gangguan konduksi jantung, dll), gangguan kulit dan
mukosa, gangguan sistem saraf, gangguan metabolik, gangguan ginjal dan hati.
Golongan beta lactam terbukti aman untuk anak-anak. Golongan makrolida,
aminoglikosida, glikopeptida, sulfinamid dan kuinolon memliki efek samping yang
cukup banyak, beberapa diantaranya dapat mempengaruhi metabolisme obat-obat lain.17

Kesimpulan
Keputusan memulai terapi antibiotika harus didasarkan pada kecurigaan infeksi bakteri
yang dibuktikan dengan biakan. Secara klinis infeksi bakteri umumnya berupa demam
tinggi lebih dari 3 hari disertai tampilan anak yang tampak sakit berat ditunjang dengan
penanda infeksi bakteri seperti hitung jenis leukosit, protein C-reaktif, atau prokalsitonin.
Pemilihan antibitika harus mempertimbangkan aspek mikrobiologi, farmakodinamik,
farmakokinetik, pejamu, dan efek samping.

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Kozyrskyj AL, Dahl ME, Chateau DG, Mazowita GB, Klassen TP, Law BJ.
Evidence-based prescribing of antibiotics for children: role of socioeconomic status
and physician characteristics. CMAJ. 2004;171:139-45.
2. Pong AL, Bradley JS. Guidelines for the selection of antibacterial therapy in children.
Pediatr Clin N Am. 2005;52:869– 894
3. Pichichero ME. Evaluating the need, timing and best choice of antibiotic therapy for
acute otitis media and tonsillopharyngitis infections in children . Pediatr Infect Dis J,
2000;19:S131-40
4. Simon L, Gauvin F, Amre DK, dkk. Serum Procalcitonin and C-Reactive Protein
Levels as Markers of Bacterial Infection: A Systematic Review and Meta-analysis.
Clinical Infectious Disease. 39:206-17, 2004.
5. Kofteridis DP, Samonis G, Karatzanis AD, dkk. C-Reactive Protein and Serum
Procalcitonin Levels as Markers of Bacterial Upper Respiratory Tract Infections. Am.
J. Infect. Dis., 2009 5(4): 282-287.
6. Jimenez AJ, Reyes MJ, Miguel RO, dkk. Utility of Procalcitonin and C-Reactive
Protein in The Septic Patient in The Emergency Departement. Emergencias. 2009;
21:23-7.
7. El-Radhi A.S, Caroll J, Klein N, Walsh A. Management of Fever. Dalam: El-Radhi
A.S, Caroll J, Klein N, penyunting. Clinical Manual of Fever in Children. Berlin:
Springer. 2009. h.223-48.
8. Schleiss MR. Principles of Antibacterial Therapy. Dalam: Kliegman RM, Behrman
RE, Jenson HB, stanton BF, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics, Edisi ke 18.
Philadelphia: Elsevier. 2007. h.1110-22.
9. Feverish Illness in Children, assessment and initial management in children younger
than 5 years. National Institute for Health and Clinical Excelence. Mei 2007.
10. Michelow IC,McCracken Jr GH. Antibacterial therapeutic agents. Dalam: Feigin R,
Cherry J, Demmler-Harrison G, Kaplan S, editor. Textbook of pediatric infectious
disease. Edisi 6. Philadelphia;Saunders Elsevier:2009.
11. National Antibiotic Guidelines. Ministry of Health Malaysia. 2008.
12. Opatowski L, Mandel J, Varon E, Boëlle PY, Temime L, Guillemot D. Antibiotic
dose impact on resistance selection in the community: a mathematical model of β-
lactams and Streptococcus pneumoniae dynamics. Antimicrobial Agents and
Chemotherapy. 2010;54:2330-7
13. Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri
Tropis, Edisi kedua. Jakarta: IDAI. 2008. H.66-82.
14. Schleiss MR. Principles of Antibacterial Therapy. Dalam: Kliegman RM, Behrman
RE, Jenson HB, stanton BF, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics, Edisi ke 18.
Philadelphia: Elsevier. 2007. h.1110-22.
15. Seligman R, Meisner M, Lisboa TC, Hertz FT, Filippin TB. Decreases in
Procalcitonin and C-Reactive Protein are Strong Predictors of Survival in Ventilator-
Associated Pneumonia. Critical Care, 2006: 125.
47
PANKREATITIS

BAB I

PENDAHULUAN

Pankreas merupakan suatu organ yang mempunyai fungsi endokrin dan eksokrin, dan
kedua fungsi ini saling berhubungan. Fungsi eksokrin yang utama adalah untuk memfasilitasi
proses pencernaan melalui sekresi enzim-enzim ke dalam duodenum proksimal. Sekretin dan
kolesistokinin-pankreozimin (CCC-PZ) merupakan hormon traktus gastrointestinal yang
membantu dalam mencerna zat-zat makanan dengan mengendalikan sekret pankreas. Sekresi
enzim pankreas yang normal berkisar dari 1500-2500 mm/hari.

Pankreatitis (inflamasi pankreas) merupakan penyakit yang serius pada pankreas dengan
intensitas yang dapat berkisar mulai dari kelainan yang relatif ringan dan sembuh sendiri
hingga penyakit yang berjalan dengan cepat dan fatal yang tidak bereaksi terhadap berbagai
pengobatan. (Brunner & Suddart, 2001; 1338)

Pankreatitis Akut adalah peradangan pankreas yang terjadi secara tiba-tiba, bisa bersifat
ringan atau berakibat fatal. Pankreatitis akut sering merupakan penyakit gastroenterology yang
mengancam nyawa. Dengan demikian diagnose awal dan penilaian beratnya kasus pancreatitis
akut sangat diperlukan sehingga penatalaksanaannya dapat cepat diberikan dan hal ini akan
berpengaruh terhadap prognosis.

Pankreatitis akut adalah inflamasi pankreas yang biasanya terjadi akibat alkoholisme
dan penyakit saluran empedu seperti kolelitiasis dan kolesistisis. (Sandra M. Nettina, 2001)

Pankreatitis akut adalah suatu reaksi peradangan akut pada pankreas, yang menurut Scientific
American Inc 1994 , 60-80% pankreatitis akut berhubungan dengan pemakaian alkohol yang
1
berlebihan dan batu saluran empedu.
Selain alkohol dan batu empedu, pancreatitis akut bisa dihubungkan dengan beberapa
kelainan lain yang secara keseluruhan frekuensinya kurang dari 10% yaitu dengan adanya
trauma pancreas, beberapa infeksi, tumor pancreas, obat- obatan pankreatotoksik,
hiperlipoproteinemi, keadaan – keadaan postoperative atau hiperparatiroid.

48
Alkohol baru dapat memberikan gejala – gejala awal dari suatu pancreatitis akut setelah
mengkonsumsi alkohol selala beberapa tahun dalam jumlah cukup banyak. Untuk kebanyakan
kasus pada penderita – penderita ini telah terjadi fibrosis pancreas dan defek dari fungsi
pancreas. Dengan demikian serangan akut pada kasus ini sebenarnya merupakan manifestasi
pancreatitis kronik. Kejadian pancreatitis akut sesungguhnya seperti inflamasi akut pancreas
yang reversible pada organ yang normal yang dipicu oleh alkohol, tidak diketahui. Dengan
demikian secara umum pancreatitis akut dapat dikaitkan dengan batu empedu atau dianggap
idiopatik bila faktor pemicunya tidak diketahui.
Frekuensi penyakit pankreatitis akut di negara Barat adalah 0,14-1% atau antara 10-15
pasien per 100.000 penduduk pertahun. Di Indonesia, pada penelitian yang dilakukan oleh
Nurman pada tahun 1990 mengatakan bahwa hampir 1 dari 3 pasien dengan sakit perut bagian
atas yang hebat adalah pasien pankreatitis akut. Hampir 300.000 kasus terjadi di Amerika
Serikat setiap tahunnya dengan 10 – 20 % nya merupakan pancreatitis akut berat yang
menyebabkan 3000 kasus kematian.2
Berdasarkan The Second International Symposium in the Classification of Pancreatitis yang
diadakan di Marseilles pada tahun 1984 , pankreatitis dibagi atas pankreatitis akut dan
pankreatitis kronik. Pankreatitis akut sendiri terbagi menjadi dua, yaitu mild acute pancreatitis
dan severe acute pancreatitis. Keduanya dibedakan secara umum berdasarkan ada tidaknya
nekrosis jaringan serta adanya disfungsi multiorgan.

49
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pankreas merupakan suatu organ yang mempunyai fungsi endokrin dan eksokrin, dan
kedua fungsi ini saling berhubungan. Fungsi eksokrin yang utama adalah untuk memfasilitasi
proses pencernaan melalui sekresi enzim-enzim ke dalam duodenum proksimal. Sekretin dan
kolesistokinin-pankreozimin (CCC-PZ) merupakan hormon traktus gastrointestinal yang
membantu dalam mencerna zat-zat makanan dengan mengendalikan sekret pankreas. Sekresi
enzim pankreas yang normal berkisar dari 1500-2500 mm/hari.

ANATOMI PANKREAS

PAN = seluruh

CREAS = daging

Gambar 1. Anatomi Pankreas.

50
Bentuk seperti huruf “J” tengkurap dengan arah ekor yang sedikit naik. Panjang 12-15
cm, berat 170 gr (dewasa). Penampang bentuk segitiga.

Bagian-bagian pancreas:

1. Caput  L2
2. Collum
3. Corpus  L1
4. Cauda  Th 12

Pankreas sebagai kelenjar endokrin dan eksokrin. Mempunyai saluran keluar disebut :

1. Ductus pancreaticus wirsungi (mayor).


2. Ductus pancreaticus acesorius santorini (minor).

1. CAPUT PANCREAS
Bentuk gepeng, terletak diantara kecekungan duodenum. Segi atas caput pancreas
tertutup disebelah depannya oleh pars superior duodeni. Segi bawah menutupi pars horizontal
duodeni. Segi bawah bagian kiri dari caput pancreas, bentuknya agak menonjol kearah bawah
disebut processus uncinatus. Didalam sulcus yang dibentuk oleh duodenum dengan segi
lateral kanan dan kiri segi bawah dari caput pancreas terdapat arteri pancreatico duodenalis
superior dan inferior yang saling beranastomose.

2. COLLUM PANCREAS
Panjang + 2 cm. Menghadap atas depan, menghubungkan caput dengan corpus
pancreas. Dataran depan ditutupi oleh peritoneum dan duodenum. Dataran belakang
berhubungan dengan Vena Mesenterica superior dan permulaan Vena Porta.

3. CORPUS PANCREAS
Penampangnya berbentuk segitiga. Facies anterior bentuknya sedikit konkaf dan
menghadap ke omentum mayus. Facies inferior tertutup oleh peritoneum. Ujung kiri corpus
pancreas menumpang pada flexura lienalis. Ujung kanan corpus pancreas terletak pada flexura
duodenojejunalis. Facies posterior tidak tertutup oleh peritoneum dan langsung berhubungan
dengan :

a. Vena lienalis
b. Vena renalis kiri
c. Aorta
d. Kelenjar supraren dan ren kiri
e. Vassa mesenterica inferior.

51
Pada pangkal corpus pancreas terdapat tuber omentale (menghadap keatas, sedikit
kedepan, berhubungan langsung dengan omentum minus (Ligamentum hepato duodenale)).

4. CAUDA PANCREAS
Terletak intraperitoneum, masuk hilus lienalis di dalam ligamentum phrenicolienale
MARGO SUPERIOR. Dibentuk oelh facies posterior dan facies anterior. Mulai dari tuber
omentale kearah kiri. Terletak setinggi curvatura minor gaster. Berhubungan dengan omentum
minus (lembar belakang). Diatas, margo ini berhubungan arteri coelica dan arteri hepatica
communis.

Tabel 1. Vaskularisasi dan Persarafan pankreas

Inferior pancreaticoduodenal artery, Superior


Artery
pancreaticoduodenal artery

Vein Pancreaticoduodenal veins

Nerve Pancreatic plexus, celiac ganglia, vagus

FISIOLOGI PANKREAS

Pankreas merupakan suatu organ yang mempunyai fungsi endokrin dan eksokrin, dan
kedua fungsi ini saling berhubungan. Getah pankreas mengandung enzim-enzim untuk
pencernaan ketiga jenis makanan utama : protein, karbohidrat, dan lemak.

Tabel 2. Fungsi endokrin pankreas

Name of cells Endocrine product % of islet cells Representative function

beta cells Insulin and Amylin 50-80% lower blood sugar

alpha cells Glucagon 15-20% raise blood sugar

delta cells Somatostatin 3-10% inhibit endocrine pancreas

PP cells Pancreatic polypeptide 1% inhibit exocrine pancreas

52
Tabel 3. Fungsi eksokrin pankreas

Name of cells Exocrine secretion Primary signal

Centroacinar cells bicarbonate ions Secretin

digestive enzymes

Basophilic cells (pancreatic amylase, Pancreatic lipase, CCK

trypsinogen, chymotrypsinogen, etc.)

Gamabar 2. (a) struktur dari pankreas, (b) atas, sel-sel pankreas yang terdiri dari sel pulau-
pulau Langerhans (Fotomikrograf 75 x) dan bawah sel asinus pankreas (Fotomikrograf 200x).

53
Enzim proteolitik adalah tripsin, kimotrimsin, karboksipolipetidase, ribonuklease, dan
deoksiribonuklease. Tiga enzim pertama mencernakan protein secara keseluruhan dan parsial,
sedangkan nuklease memecahkan dua jenis asam nukleat (asam ribonukleat dan
deoksiriboneukleat).

Enzim pencernaan untuk karbohidrat adalah amilase pankreas, yang menghidrolisi


pati, glikogen dan sebagian besar karbohidrat lain secuali selulosa untuk membentuk
disakaridan.

Enzim-enzim untuk pencernaan lemak adalah lipase pankreas, yang sanggup


menghidrolisis lemak netral menjadi gliserol, asam lemak, serta kolesterol esterase, yang
menyebabkan hidrolisis ester-ester kolesterol.

Enzim-enzim proteolitik waktu disintesi dalam sel-sel pankreas berada dalam bentuk:
tripsinogen, kimotripsinogen, dan prokarboksipeptidase yang tidak aktif. Zat-zat ini hanya
diaktivasi setelah mereka disekresi ke dalam saluran pencernaan. Tripsinogen diaktifkan olehs
suatu enzim yang dinamakan enterokinase, yang disekresi oleh mukosa usus waktu kimus
berontak dengan mukosa. Tripsinogen juga dapat diaktifkan oleh tripsin menjadi kimotripsin,
dan prokarboksipeptidase diaktifkan dengan cara yang sama.

Sekresi ion Bikarobonat. Enzim-enzim getah pankreas seluruhnya disekresi oleh


asinus kelenjar pankreas. Sebaliknya, dua unsur penting getah pankreas lainnya, air dan ion
bikarbonat, terutama disekresi oleh sel-sel epitel duktulus-duktulus kecil yang berasal dari
asinus. Konsentrasi ion bikarbonat  145 mEq/liter menyediakan ion alkali dalam jumlah
besar dalam getah pankreas yang berperanan menetralkan asam dalam kimus yang
dimasukkan ke dalam duodenum dari lambung.

PANKREATITIS

Pankreatitis adalah reaksi pradangan pankreas (inflamasi pankreas). Pankreatitis


merupakan penyakit yang serius pada pankreas dengan intensitas yang dapat berkisar mulai
dari kelainan yang relatif ringan dan sembuh sendiri hingga penyakit yang berjalan dengna
cepat dan fatal yang tidak bereaksi terhadap berbagai pengobatan.

54
Terdapat beberapa teori tentang penyebab dan mekanisme terjadinya pankreatitis yang
umumnya dinyatakan sebagai otodigesti pankreas.

Terdapat 3 teori yang berusaha menjelaskan hubungan antara batu empedu dengan
kejadian pankreatitis akut, yaitu:

1. Teori common channel yang dikemukakan oleh Opie (1901).


Pada teori ini dijelaskan bahwa kejadian pankreatitis akut diakibatkan oleh adanya
impaksi batu empedu di terminal duktus kholedokus. Hal ini diduga mengakibatkan
terbentuknya biliopnacreatic common channel yang memungkinkan terjadinya refluks
cairan empedu ke dalam duktus pankreatikus.
Namun tedapat beberapa hal yang menyangkal pendapat ini, yaitu:
 Bahwa tekanan sekresi pankreas lebih tinggi daripada tekanan sekresi bilier
yang memudahkan terjadinya refluks cairan pankreas ke sistem bilier daripada
hal sebaliknya.
 Banyak penderita pankreatitis akut yang memiliki common channel yang
sangat pendek yang tidak memungkinkan terjadinya refluks bila terjadi
obstruksi.
 Robinson dan Dunphy menunjukkan dalam penelitiannya bahwa terdapat
perfusi empedu ke duktus pankreatikus tanpa tercetusnya suatu pankreatitis
akut.
2. Teori duodenal reflux
Menurut teori ini, batu empedu dapat melalui sfingter Oddi dan menyebabkan
peregangan otot sehingga menyebabkan sfingter yang inkompeten dan
memungkinkan terjadinya refluks cairan duodenum yang mengandung enzim
pancreas yang sudah aktif ke dalam duktus pankreatikus dan mencetuskan terjadinya
inflamasi pada pancreas.

Namun teori ini juga disangkal oleh kenyataan bahwa pada penderita – penderita yang
dilakukan sfingterotomi secara endoskopik tidak secara rutin timbul pancreatitis akut.

3. Teori pancreatic ductal obstruction


Dari kedua teori lain, teori inilah yang mungkin paling dapat diterima. Para ahli
menyatakan bahwa batu pada saluran empedu yang mencetuskan atau adanya edema
55
dan inflamasi oleh karena lewatnya batu dapat menyebabkan obstruksi pada duktus
pankreatikus dan menimbulkan hipertensi pada duktus dan mencetuskan terjadinya
kerusakan pada pancreas.
Untuk mendukung hal ini, telah dilakukan percobaan dengan menggunakan American
opossum yang dianggap sangat menyerupai manusia. Pada percobaan ini dibagi 4
kelompok yaitu:
 Kelompok 1 dengan perlakuan ligasi pada duktus biliopankreatikus tepat pada
lokasi menempelnya pada duodenum, sehinga terjadi obstruksi pada kedua
duktus dan dapat terjadi refluks cairan empedu ke duktus pankreatikus.
 Kelompok 2 dengan perlakuan ligasi pada kedua duktus masing – masing
secara terpisah.
 Kelompok 3 dengan perlakuan ligasi pada duktus pankreatikus saja.
 Kelompok 4 sebagai control hanya dilakukan ligasi pada duktus bilier saja.
Pada ketiga kelompok pertama terjadi pancreatitis akut dengan derajat beratnya
penyakit yang sama, sedangkan pada kelompok 4 tidak terjadi pancreatitis akut. Hal
ini membawa pada kesimpulan bahwa untuk terjadinya pancreatitis akut tidak
diperlukan adanya refluks cairan empedu ke duktus pankreatikus dan adanya refluks
empedu ini tidak memperberat gejala pancreatitis akut.

Umumnya semua teori menyatakan bahwa duktus pankreatikus tersumbat, disertai oleh
hipersekresi enzim-enzim eksokrin dari pankreas tersebut. Enzim-enzim ini memasuki saluran
empedu dan diaktifkan di sana dan kemudian bersama-sama getah empedu mengalir balik
(refluks) ke dalam duktus pankreatikus sehingga terjadi pankreatitis.

Klasifikasi

Berdasarkan The Second International Symposium on the Classification of Pancreatitis


(Marseilles, 1980), pankreatitis dibagi atas:

a. Pankreatitis akut (fungsi pankreas kembali normal lagi).


b. Pankreatitis kronik (terdapat sisa-sisa kerusakan yang permanen).
56
Atlanta International Symposium (1992).
Penyempurnaan klasifikasi dilakukan tahun 1992 dengan sistem klasifikasi yang lebih
berorientasi klinis; antara lain diputuskan bahwa indikator beratnya pankreatitis akut yang
terpenting adalah adanya gagal organ yakni adanya renjatan, insufisiensi paru (PaO2 = 60
mmHg), gangguan ginjal (kreatinin > 2 mg/dl) dan perdarahan saluran makan bagian atas (>
500 ml/24 jam). Adanya penyulit lokal seperti nekrosis, pseudokista atau abses harus
dimasukkan sebagai komponen sekunder dalam penentuan beratnya pankreatitis. Berdasarkan
data klinis, terbagi atas:
a. Pancreatitis akut ringan
b. Pancreatitis akut berat, berupa :
i. Acute fluid collections
ii. Pancreatic necrosis
iii. Acute pseudocyst
iv. Pancreatic abscess

PANKREATITIS AKUT

Pankreatitis akut adalah suatu proses peradangan akut yang mengenai pankreas dan
ditandai oleh berbagai derajat edema, perdarahan dan nekrosis pada sel-sel asinus dan
pembuluh darah. Mortalitas dan gejala klinis bervariasi sesuai derajat proses patologi. Bila
hanya terdapat edema pankreas, mortalitas mungkin berkisar dari 5% sampai 10%, sedangkan
perdarahan masif nekrotik mempunyai mortalitas 50% sampai 80%.

Klasifikasi Pankreatitis Akut

Pankreatis akut memiliki keparahan yang berkisar dari kelainan yang relatif ringan dan
sembuh dengan sendirinya hingga penyakit yang dengan cepat menjadi fatal serta tidak
responsif terhadap berbagai terapi. Berdasarkan pada beratnya proses peradangan dan luasnya
nekrosis parenkim dapat dibedakan:

a. Pankreatitis akut tipe intersitial

57
Secara makroskopik, pankreas membengkak secara difus dan tampak pucat.
Tidak didapatkan nekrosis atau perdarahan, atau bila ada, minimal sekali. Secara
mikroskopik, daerah intersitial melebar karena adanya edema ekstraselular, disertai
sebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear (PMN). Saluran pankreas dapat terisi dengan
bahan-bahan purulen. Tidak didapatkan destruksi asinus. Meskipun bentuk ini
dianggap sebagai bentuk pankreatitis yang lebih ringan, namun pasien berada dalam
keadaan sakit yang akut dan berisiko mengalami syok, gangguan keseimbangan cairan
serta elektrolit dan sepsis.

b. Pankreatitis akut tipe nekrosis hemoragik,


Secara makroskopik tampak nekrosis jaringan pankreas disertai dengan
perdarahan dan inflamasi. Tanda utama adalah adanya nekrosis lemak pada jaringan-
jaringan di tepi pankreas, nekrosis parenkim dan pembuluh-pembuluh darah sehingga
mengakibatkan perdarahan dan dapat mengisi ruangan retroperitoneal. Bila penyakit
berlanjut, dapat timbul abses atau daerah-daerah nekrosis yang berdinding, yang subur
untuk timbulnya bakteri sehingga dapat menimbulkan abses yang purulen. Gambaran
mikroskopis adalah adanya nekrosis lemak dan jaringan pankreas, kantong-kantong
infiltrat yang meradang dan berdarah ditemukan tersebar pada jaringan yang rusak dan
mati. Pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di sekitar daerah yang nekrotik
menunjukkan kerusakan mulai dari inflamasi peri vaskular, vaskulitis yang nyata
sampai nekrosis dan trombosis pembuluh-pembuluh darah.

Etiologi

Pankreatitis akut terjadi akibat proses tercernanya organ ini oleh enzim-enzimnya
sendiri, khususnya oleh tripsin. Delapan puluh persen penderita pankreatitis akut mengalami
penyakit pada duktus billiaris; meskipun demikian, hanya 5% penderita batu empedu yang
kemudian mengalami nekrosis. Batu empedu memasuki duktus koledokus dan terperangkap
dalam saluran ini pada daerah ampula Vateri, menyumbat aliran getah pankreas atau
menyebabkan aliran balik (refluks) getah empedu dari duktus koledokus ke dalam duktus
pankreastikus dan dengan demikian akan mengaktifkan enzim-enzim yang kuat dalam

58
pankreas. Spasme dan edema pada ampula Vateri yang terjadi akibat duodenitis kemungkinan
dapat menimbulkan pankreatitis.

Tabel 4. Etiologi pankreatitis akut

a. Alkohol
b. Batu empedu
c. Pasca bedah
d. Pasca ERCP (endoscopic retrograde cholangiopancreatography)
e. Trauma terutama trauma tumpul
f. Metobolik (hipertrigliseridemia, hiperkalsemia, gagal ginjal)
g. Infeksi (virus parotitis, hepatitis, koksaki, askaris, mikoplasma)
h. Berhubungan dengan obat-obatan (azatioprin, 6 merkaptopurin, sulfonamid,
tiazid, furosemid, tetrasiklin)
i. Penyakit jaringan ikat (lupus eritematosus sistemik)
j. Lain-lain, seperti gangguan sirkulasi, stimulasi vagal

Patofisiologi

Pankreatitis akut merupakan penyakit seistemik yang terdiri dari dua fase. Pertama,
fase awal yang disebabkan efek sistemik pelepasan mediator inflamasi, disebut sindrom
respons inflamasi sistemik atau systemic inflamatory response syndrome (SIRS) yang
berlangsung sekitar 72 jam. Gambaran klinisnya menyerupai sepsis, tetapi tidak ada bukti-
bukti infeksi. Kedua, fase lanjut merupakan kegagalan sistem pertahanan tubuh alami yang
menyebabkan keterlibatan sampai kegagalan multiorgan, yang biasanya dimulai pada awal
minggu kedua. Kegagalan fungsi salah satu organ merupakan penanda beratnya penyakit dan
buruknya faktor prognosis.

59
Patogenesis

Sebagai kontras adanya berbagai fakror etiologi yang menyertai pankreatitis akut,
terdapat rangkaian kejadian patofisiologis yang uniform yang terjadi pada timbulnya penyakit
ini. Kejadian ini didasarkan pada aktivasi enzim di dalam pankreas yang kemudian
mengakibatkan autodigesti organ.

Dalam keadaan normal pankreas pankreas terlindung dari efek enzimatik enzim
digestinya sendiri. Enzim ini disintesis sebagai zimogen yang inaktif dan diaktivasi dengan
pemecahan rantai peptid secara enzimatik.

Selain itu terdapat inhibitor di dalam jaringan pankreas, cairan pankreas dan serum
sehingga dapat menginaktivasi protease yang diaktivasi terlalu dini. Dalam proses aktivasi di
dalam pankreas, peran penting terletak pada tripsin yang mengaktivasi semua zimogen
pankreas yang terlihat dapam proses autodigesti (kimotripsin, proelastase, fosfolipase A).

Hanya lipase yang aktif yang tidak terganting pada tripsin. Aktivasi zimogen secara
normal dimulai oleh enterokinase di duodenum. Ini mengakibatkan mulanya aktivasi tripsin
yang kemudian mengaktivasi zimogen yang lain. Jadi diduga bahwa aktivasi dini tripsinogen
menjadi tripsin adalah pemicu bagi kaskade enzim dan autodigesti pankreas.

Faktor etiologik (penyakit billier, alkoholisme, tak diketahui, dll)

Proses yang memulai (refluks empedu, refluks duodenum, dll)

Kerusakan permulaan pankreas (edema, kerusakan vaskular, pecahnya saluran pankreas


asinar)

60
Aktivasi enzim digestif

Tripsin

Fosfolipase A Lipase

Elastase

Kimotripsin

Kalikrein

Autodigesti

Nekrosis pankreas

Gambar 3. Faktor etiologik dan patologik pada pankreatitis akut (dari Creutzfeid &
Lankisch)

Adapun mekanisme yang memulai aktivasi enzim antara lain adalah refluks isi
duodenum dan refluks cairan empedu, akticasi sistem komplemen, stimulasi, sekresi enzim
yang berlebihan. Isis duodenum merupakan campuran enzim pankreas yang aktif, asam

61
empedu, lisolesitin dan lemak yang telah mengalami emulsifikasi; semuanya ini mampu
manginduksi pankreatitis akut. Asam empedu mempunyai efek detergen pada sel pankreas,
meningkatkan aktivasi lipase dan fosfolipase A, memecah lesitin menjadi lisolesitin dan asam
lemak dan menginduksi spontan sejumlah kecil proenzim pankreas yang lain. Selanjutnya
perfusi asam empedu ke dalam duktus pankreatikus yang utama menambah permeabilitas
sehingga mengakibatkan perubahan struktural yang jelas. Perfusi 16,16 dimetil prostaglandin
E2 mengubah penemuan histologik pankrataitis tipe edema ke tipe hemoragik.

CAIRAN EMPEDU

Asam empedu lesitin

Aktivasi fosfolipase

Substrat untuk pembentukan

Lisolesitin oleh fosfolipase A

Efek detergen

Proses koagulasi penglepasan sejumlah kecil

sel-sel asini tripsin aktif

aktivasi proenzim pankreas

62
Gambar 4. Efek Cairan Empedu pada Pankreas

Kelainan histologis utama yang ditemukan pada pankreatitis akut adalah nekrosis
keoagulasi parenkim dan poknosis inti atau kariolisis yang cepat diikut oleh degradasi asini
yang nekrotik dan absopsi debris yang timbul. Adanya edema, perdarahan dan trombosis
menunjukkan kerusakan vaskular yang terjadi bersamaan.

Diagnosis Pankreatitis Akut

Diagnosa pancreatitis akut dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa terhadap manifestasi


klinik, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Manifestasi klinis

1. nyeri

Hampir setiap penderita mengalami nyeri yang hebat di perut atas bagian tengah,
dibawah tulang dada (sternum).

Nyeri sering menjalar ke punggung. Kadang nyeri pertama bisa dirasakan di perut
bagian bawah. Nyeri ini biasanya timbul secara tiba-tiba dan mencapai intensitas
maksimumnya dalam beberapa menit. Nyeri biasanya berat dan menetap selama
berhari-hari. Bahkan dosis besar dari suntikan narkotikpun sering tidak dapat
mengurangi rasa nyeri ini. Batuk, gerakan yang kasar dan pernafasan yang dalam, bisa
membuat nyeri semakin memburuk. Duduk tegak dan bersandar ke depan bisa
membantu meringankan rasa nyeri.

2. mual dan muntah

Sebagian besar penderita merasakan mual dan ingin muntah. Penderita pankreatitis
akut karena alkoholisme, bisa tidak menunjukkan gejala lainnya, selain nyeri yang
tidak terlalu hebat.

3. Sedangkan penderita lainnya akan terlihat sangat sakit, berkeringat

4. denyut nadinya cepat (100-140 denyut per menit) dan

5. pernafasannya cepat dan dangkal.

63
6. Pada awalnya, suhu tubuh bisa normal, namun meningkat dalam beberapa jam
sampai 37,8-38,8? Celsius.

7. Tekanan darah bisa tinggi atau rendah, namun cenderung turun jika orang tersebut
berdiri dan bisa menyebabkan pingsan.

8. Kadang-kadang bagian putih mata (sklera) tampak kekuningan.

9. 20% penderita pankreatitis akut mengalami beberapa pembengkakan pada perut


bagian atas. Pembengkakan ini bisa terjadi karena terhentinya pergerakan isi lambung
dan usus (keadaan yang disebut ileus gastrointestina atau karena pankreas yang
meradang tersebut membesar dan mendorong lambung ke depan.

10. Bisa juga terjadi pengumpulan cairan dalam rongga perut (asites). Pada pankreatitis
akut yang berat (pankreatitis nekrotisasi), tekanan darah bisa turun, mungkin
menyebabkan syok. Pankreatitis akut yang berat bisa berakibat fatal.

Tanda – tanda pankreatitis akut berat

1. Tanda kehilangan cairan yang berlebihan (‘Third space losses’) dan compromised
end organ perfusion.
a. Secara klinis dehidrasi
b. Kebingungan
c. Ascites
d. Hemokonsentrasi (hematokrit meningkat > 10%)
e. Peningkatan urea/creatinin
f. Asidosis metabolic
2. Tanda kegagalan organ
a. Koagulopati (DIC screen posistif)
b. Gagal ginjal (peningfkatan kreatinin, asidosis metabolic, hiperkalemia)
c. Distress respiratori dan hipoksia (PaO2 dan SaO2 rendah)

3. Tanda sepsis
a. komplikasi septic local (abses pankreatik, atau nekrosis pankreatik
terinfeksi) tidak terjadi awal, namun setelah 1 minggu kemudian, disertai
tanda sepsis (demam tinggi dan peningkatan TWC).
b. Jika demam tinggi terjadi pada awal prankreatitis, pertimbangkan penyebab
sepsis non pankreatik. Penyebab umum adalah kolangitis sekunder
obstruksi bilier. Cari gambaran kolestatik pada hasil LFT.
4. Tanda lain dari pancreatitis berat
a. ekimosis abdomen. Mungkin di daerah flank (tanda Grey-Turner) atau area
periumbilikal (tanda Cullen’s)
b. tanda hipokalsemi, contoh spasme karpopedal dan tetanus.
c. Glukosa darah > 10mmol/l (180 mg/dl)
64
Pemeriksaan penunjang

1. CT-Scan : menentukan luasnya edema dan nekrosis

2. Ultrasound abdomen: dapat digunakan untuk mengidentifikasi inflamasi pankreas,


abses, pseudositis, karsinoma dan obstruksi traktus bilier.

3. Endoskopi : penggambaran duktus pankreas berguna untuk diagnosa fistula,


penyakit obstruksi bilier dan striktur/anomali duktus pankreas. Catatan : prosedur ini
dikontra indikasikan pada fase akut.

4. Aspirasi jarum penunjuk CT : dilakukan untuk menentukan adanya infeksi.

5. Foto abdomen : dapat menunjukkan dilatasi lubang usus besar berbatasan dengan
pankreas atau faktor pencetus intra abdomen yang lain, adanya udara bebas intra
peritoneal disebabkan oleh perforasi atau pembekuan abses, kalsifikasi pankreas.

6. Pemeriksaan seri GI atas : sering menunjukkan bukti pembesaran


pankreas/inflamasi.

7. Amilase serum : meningkat karena obstruksi aliran normal enzim pankreas (kadar
normal tidak menyingkirkan penyakit).

8. Amilase urine : meningkat dalam 2-3 hari setelah serangan.

9. Lipase serum : biasanya meningkat bersama amilase, tetapi tetap tinggi lebih lama.

10. Bilirubin serum : terjadi pengikatan umum (mungkin disebabkan oleh penyakit hati
alkoholik atau penekanan duktus koledokus).

11. Fosfatase Alkaline : biasanya meningkat bila pankreatitis disertai oleh penyakit
bilier.

12. Albumin dan protein serum dapat meningkat (meningkatkan permeabilitas kapiler
dan transudasi cairan kearea ekstrasel).

65
13. Kalsium serum : hipokalsemi dapat terlihat dalam 2-3 hari setelah timbul penyakit
(biasanya menunjukkan nekrosis lemak dan dapat disertai nekrosis pankreas).

14. Kalium : hipokalemia dapat terjadi karena kehilangan dari gaster; hiperkalemia dapat
terjadi sekunder terhadap nekrosis jaringan, asidosis, insufisiensi ginjal.

15. Trigliserida : kadar dapat melebihi 1700 mg/dl dan mungkin agen penyebab
pankreatitis akut.

16. LDH/AST (SGOT) : mungkin meningkat lebih dari 15x normal karena gangguan
bilier dalam hati.

17. Darah lengkap : SDM 10.000-25.000 terjadi pada 80% pasien. Hb mungkin menurun
karena perdarahan. Ht biasanya meningkat (hemokonsentrasi) sehubungan dengan
muntah atau dari efusi cairan kedalam pankreas atau area retroperitoneal.

18. Glukosa serum : meningkat sementara umum terjadi khususnya selama serangan
awal atau akut. Hiperglikemi lanjut menunjukkan adanya kerusakan sel beta dan
nekrosis pankreas dan tanda aprognosis buruk. Urine analisa; amilase, mioglobin,
hematuria dan proteinuria mungkin ada (kerusakan glomerolus).

19. Feses : peningkatan kandungan lemak (seatoreal) menunjukkan gagal pencernaan


lemak dan protein (Dongoes, 2000).

Diagnosis pankreatitis akut pada umumnya dapat ditegakkan bilamana pada pasien dengan
nyeri perut bagian atas yang timbul tiba-tiba didapatkan :

1. Kenaikan amilase serum atau urine ataupun nilai lipase dalam serum sedikitnya tiga
kali harga normal tertinggi.
2. Atau penemuan utrasonografi yang sesuai dengan pankreatitis akut.
3. Atau dengan penemuan operasi/autopsi yang sesuai dengan pankretitis akut.

66
Kriteria lain, yang bersifat klinis praktis yang terutama diperlukan di tempat dengan
sarana diagnostik terbatas dirancang oleh subbagian Gastroenterologi RSUPNCM.

Tabel 7. Kriteria penilaian pankreatitis akut

Gejala Skor

Nyeri epigastrium menetap > 5 jam 1

Mual, muntah 1

Nyeri peri umbilikal 2

Keadaan umum sedang-berat 1

Nadi > 90 x/menit 1

Suhu aksila > 37,5ºC 1

Nyeri hipogastrium kiri/kanan 1

Leukositosis > 10.000/ul 1

Penialaian : Bila skor > 9, diagnosis klinis pankreatitis akut dapat ditegakkan dengan
sensitivitas 92,3%, spesifitas 64%, nilai prediktif positif 36%, dan nilai prediktif
negatif 7,7%.

Diagnosa Banding Pankreatitis

Yang sering disebutkan adalah Kolik batu empedu, kolesistitis akut, kolangitis, gastritis akut.
Berikut table diagnose banding pancreatitis.

67
Tabel Diagnosa Banding Pankreatitis

Lokasi patologi Contoh

Abdomen Perforasi Ulkus peptikum

Eksaserbasi akut dyspepsia ulkus peptikum

Kolik bilier

Kolangitis

Iskemik bowel

Aneurisme aorta abdominal

Diseksi aorta abdominal

Supradiafragmatika Pneumonia basalis

Acute coronary syndrome

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pankreatitis akut bersifat simtomatik dan ditujukan untuk mencegah


atau mengatasi komplikasi. Semua asupan per oral harus dihentikan untuk menghambat
stimulasi dan sekresi pankreas. Pelaksanaan TPN (total parental nutrition) pada pankreatitis
akut biasanya menjadi bagian terapi yang penting, khusus pada pasien dengan keadaan umum
yang buruk, sebagai akibat dari stres metabolik yang menyertai pankreatitis akut. Pemasangan
NGT dengan pengisapan (suction) isi lambung dapat dilakukan untuk meredakan gejala mual
dan muntah, mengurangi distensi abdomen yang nyeri dan ileus paralitik serta untuk
mengeluarkan asam klorida.

1. Penanganan Nyeri. Pemberian obat pereda nyeri yang adekuat merupakan tindakan
yang esensial dalam perjalanan penyakit pankreatitis akut karena akan mengurangi
rasa nyeri dan kegelisahan yang dapat menstimulasi sekresi pankreas.
2. Perawatan Intensif. Koreksi terhadap kehilangan cairan serta darah dan kadar
albumin yang rendah diperlukan untuk mempertahankan volume cairan serta
mencegah gagal ginjal akut.

68
3. Perawatan Respiratorius. Perawatan respiratorius yang agresif diperlukan karena
risiko untuk terjadinya elevasi diafragma, infiltrasi serta efusi dalam paru dan
atelektasis cenderung tinggi.
4. Drainase Bilier. Pemasangan drainase bilier dalam duktus pankreatikus melalui
endoskopi telah dilakukan dengan keberhasilan yang terbatas. Terapi ini akan
membentuk kembali aliran pankreas dan akibatnya, akan mengurangi rasa sakit serta
menaikkan berat badan.
5. Penatalaksanaan Pasca-akut. Antasid dapat diberikan ketika gejala akut pankreatitis
mulai menghilang. Pemberian makanan makanan per oral yang rendah lemak dan
protein dimulai secara bertahap. Kafein dan alkohol tidak boleh terdapat dalam
makanan pasien.
6. Pertimbangan Geriatri. Pankreatitis akut dapat mengenai segala usia; meskipun
demikian, angka mortalitas pankreatitis akut meningkat bersamaan dengan
pertambahan usia.

TINDAKAN BEDAH

Tindakan segera untuk eksplorasi bedah pada umumnya tidak dilakukan, kecuali pada
kasus-kasus berat di mana terdapat:

1. Perburukan sirkulasi dan fungsi paru sesudah beberapa hari terapi intensif.
2. Pada kasus pankreatitis hemoragik nekrosis yang disertai dengan rejatan yang sukar
diatasi.
3. Timbulnya sepsis.
4. Gangguan fungsi ginjal yang progresif.
5. Tanda-tanda peritonitis.
6. Bendungan dari infeksi saluran empedu.
7. Perdarahan intestinal yang berat.
Tindakan bedah juga dapat dilakukan sesudah penyakit berjalan beberapa waktu
(kebanyakan sesudah 2-3 minggu perawatan intensif) bilamana timbul penyulit seperti
pembentukan pseudokista atau abses, pembentukan fistel, ileus karena obstruksi pada
duodenum atau kolon, pada perdarahan hebat retroperitoneal atau intestinal.

69
KOMPLIKASI

1. Timbulnya Diabetes Mellitus

2. Tetani hebat

3. Efusi pleura (khususnya pada hemitoraks kiri)

4. Abses pankreas atau psedokista

Akibat lanut pankreatitis akut adalah di pankreas terbentuk pseudokista, yang terisi
dengan enzim pankreas, cairan dan jaringan sisa, yang membesar seperti balon. Bila
pesudokista berkembang menjadi lebih besar dan menyebabkan nyeri atau gejala lain,
dilakukan dekompresi

5. Demam Typoid

6. Deman berdarah dengue

7. Gagal Ginjal Akut

8. Gagal Nafas Akut

Prognosis Pankreatitis Akut

Kriteria yang dipakai untuk menegakkan prognosis secara klinis praktis, salah satunya adalah
kriteria Ranson.

Tabel 5. Kriteria Ranson

Awal Dalam waktu 48 jam

Umur > 55 tahun Ht menurun > 10%

Leukosit > 16.000/mm3 BUN naik > 5 mg/dl

Glukosa > 200 mg/dl Ca2+ < 8 mg/dl

LDH > 350 IU/L PaO2 < 60 mmHg


70
SGOT > 250 UI/L Base deficit > 4 mEq/L

Interpretasi klinik kriteria Ranson

Kriteria awal menggambarkan beratnya proses inflamasi. Sedangkan kriteria akhir


waktu 48 jam menggambarkan efek sistemik aktivitas enzim terhadap organ target, seperti
paru dan ginjal.

Tabel 6. Penilaian kriteria Ranson

Skor Mortalitas

>3 0%

3-5 10-20%

>5 > 50%, biasanya sesuai dengan pankreatitis nekrotikans

Pada skor APACHE II, dinilai dari 12 parameter, dengan masing – masing parameter
memiliki rentang nilai 0-4, sebagai berikut:

TABLE 7
APACHE II Scoring System

Feature Acute physiology score (APS)

Variable +4 +3 +2 +1 0 +1 +2 +3 +4

Temperature ≥41 30 - 38.5 36 to 34 32 30 to ≤29.9


40.9 to 38.4 to t 31.9

71
38.9 35.9 33.9

Mean arterial ≥160 130 to 110 70 to 50 to <49


BP 159 to 109 69
129

Heart rate ≥180 140 to 110 70 to 55 to 40 to ≤39


179 to 109 69 54
139

Respiratory ≥50 35 to 49 25 to 12 to 10 6 to <5


rate 34 24 to 9
11

A-aPo2* ≥500 350 o 200 <100 61 55 to <55


499 to to 60
349 70

Pao2§ >70

Arterial pH ≥7.7 7.6 to 7.5 7.33 7.25 7.15 <7.15


7.69 to to to to
7.59 7.49 7.32 7.24

Serum ≥52 41 to 32 to 23 to 18 to 15 to <15


bicarbonate¥ 51.9 40.9 31.9 21.9 17.9

Serum ≥180 160 to 155 150 130 120 111 ≤110


sodium 179 to to to to to
159 154 149 129 119

Serum ≥7 6 to 6.9 5.5 3.5 to 3 to 2.5 <2.5


to to

72
potassium 5.9 5.4 3.4 2.9

Serum ≥3.5 2 to 3.4 1.5 0.6 to <0.6


creatinine to 1.4
1.9

Hematocrit ≥60 50 46 to 30 to 20 to <20


to 49.9 4 .9 29.9
59.9

WBC count ≥40 20 15 to 3 to 1 to <1


to 19.9 14.9 2.9
39.9

BP = blood pressure; A-aPo2 = alveolar-arterial oxygen pressure; Pao2 = partial pressure of


oxygen in arterial blood; WBC = white blood cell.

*--Use if percentage of inspired oxygen (Fio2) >50 percent.

§--Use if Fio2 <50 percent.

¥--Use only if no arterial blood gas measurements are available.

APACHE menunjukkan prognosis yang buruk jika bernilai >8.

Age points (AP) Chronic health problems (CHP) Scoring

Age Points For patients with history of severe organ system APS + AP +
insufficiency or immunocompromise, assign points CHP = total

73
≤44 0 as follows: score

Nonoperative or emergency postoperative: 5


45 to 2 points
54
Elective postoperative: 2 points

55 to 3
64

65 to 5
74

Scores indicating abnormal reading: on admission, >9; after 24 hours, >10; after 48 hours, >9.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

 Pankreatitis Akut adalah peradangan pankreas yang terjadi secara tiba-tiba, bisa
bersifat ringan atau berakibat fatal.
 Pankreatitis akut dapat berupa ringan sampai mengancam nyawa.
 Insiden terus meningkat Amerika mencatat 80% penyebab batuempedu dan konsumsi
alkohol Angka mortalitas 5-10%
 Diperlukan diagnosis cepat dan tepat :anamnesis, pemeriksaan fisik,laboratorium, pencitraan
(USG/ CT SCAN)
 Tidak ada pengobatan spesifik. Hanya berupa perawatan suportif seperti pemberian cairan intravena,
analgesic, tunjangan nutrisi, pencegahan, dan pengobatan komplikasi.

74
DAFTAR PUSTAKA

Bradley EL. Acute pancreatitis diagnosis and therapy. Edisi pertama. Raven Press. New York.
USA. 1994

Pancreas. Dalam: Brunicardi FC, Andersen DK, Biliar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE.
Schwartz’s Principles of Surgery. Edisi ke delapan. McGraw-Hill. New York. USA.
2005. Hal 1221-73.

Lankisch PG. Buchler M, Mossner J, Lissner SM. A primer of pancreatitis. Edisi pertama.
Springer-Verlag Berlin Heidelberg Germany: 1997. Hal. 1 -33.

Delmann, H.D. 1993. Textbook of Veterinary Histology. Lea and Fiebiger: Philadelphia

Faiz, Omar, dkk. 2004. At a Glance Anatomi. Erlangga: Jakarta

Getty, R. 1975. Sisson and Grossman's The Anatomy of the Domestic Animals. Vol.1. W.B.
Saunders Company: Philadelphia. London. Toronto.

75
KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang berbahaya bagi seorang wanita yang dapat
menyebabkan kondisi yang gawat bagi wanita tersebut. Keadaan gawat ini dapat menyebabkan suatu
kehamilan ektopik terganggu. Kehamilan ektopik terganggu merupakan peristiwa yang sering dihadapi
oleh setiap dokter, dengan gambaran klinik yang sangat beragam. Hal yang perlu diingat adalah bahwa
pada setiap wanita dalam masa reproduksi dengan gangguan atau keterlambatan haid yang disertai
dengan nyeri perut bagian bawah dapat mengalami kehamilan ektopik terganggu.

Berbagai macam kesulitan dalam proses kehamilan dapat dialami para wanita yang telah
menikah. Namun, dengan proses pengobatan yang dilakukan oleh dokter saat ini bisa meminimalisir
berbagai macam penyakit tersebut. Kehamilan ektopik diartikan sebagai kehamilan di luar rongga
rahim atau kehamilan di dalam rahim yang bukan pada tempat seharusnya, juga dimasukkan dalam
kriteria kehamilan ektopik, misalnya kehamilan yang terjadi pada cornu uteri. Jika dibiarkan,
kehamilan ektopik dapat menyebabkan berbagai komplikasi yang dapat berakhir dengan kematian.

Istilah kehamilan ektopik lebih tepat daripada istilah ekstrauterin yang sekarang masih banyak
dipakai. Diantara kehamilan-kehamilan ektopik, yang terbanyak terjadi di daerah tuba, khususnya di
ampulla dan isthmus. Pada kasus yang jarang, kehamilan ektopik disebabkan oleh terjadinya
perpindahan sel telur dari indung telur sisi yang satu, masuk ke saluran telur sisi seberangnya.

76
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFENISI

Istilah ektopik berasal dari bahasa Inggris, ectopic, dengan akar kata dari bahasa Yunani, topos
yang berarti tempat. Jadi istilah ektopik dapat diartikan “berada di luar tempat yang semestinya”.
Apabila pada kehamilan ektopik terjadi abortus atau pecah, dalam hal ini dapat berbahaya bagi wanita
hamil tersebut maka kehamilan ini disebut kehamilan ektopik terganggu.

Menurut Taber (1994), kehamilan ektopik adalah gestasi diluar kavum uteri. Kehamilan
ektopik merupakan istilah yang lebih luas daripada kehamilan ekstrauterin, karena istilah ini mencakup
gestasi pada pars interstisialis tuba, kehamila kornu (gestasi pada kornu uteri yang rudimenter), dan
kehamilan servikalis (gestasi dalam kanalis servikalis) dan juga kehamilan abdominal, kehamilan
ovarial dan kehamilan tuba.
Menurut Mansjoer (1999), kehamilan ektopik adalah implanttasi dan pertumbuhan hasil
konsepsi diluar endometrium kavum uteri.
Menurut Manuaba (1998), terdapat dua pengertian yang perlu mendapat perhatian, yaitu
kehamilan ektopik adalah kehamilan yan berimplantasi diluar endometrium normal dan kehamilan
ekstrauterin adalah kehamilan yang berimplantasi diluar uterus. Dengan pengertian ini maka
kehamilan pada pars interstitial tuba dan kehamilan pada servikal termasuk kehamilan ekstrauterin,
tetapi mempunyai sifat kehamilan ektopik yang sangat berbahaya.
Menurut Winkjosastro (2002), kehamilan ektopik terjadi bila telur yang dibuahi
berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium kavum uteri. Kehamilan ekstrauterin tidak sinonim
dengan kehamilan ektopik karena kehamilan pada pars interstisialis tuba dan kanalis servikalis masih
termasuk dalam uterus, tetapi jelas bersifat ektopik.
Menurut Saifuddin (2000), kehamilan ektopik adalah kehamilan dimana setelah fertilisasi,
implantasi terjadi diluar endometrium kavum uteri. Sedangkan kehamilan ektopik tergangguialah
kehamilan ektopik yang mengalami abortus atau rupture apabila masa kehamilan berkembang melebihi
kapasitas ruang implantasi (misalnya : Tuba).

77
2.2. INSIDEN

Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berumur antara 20 – 40 tahun
dengan umur rata-rata 30 tahun. Namun, frekuensi kehamilan ektopik yang sebenarnya sukar
ditentukan. Gejala kehamilan ektopik terganggu yang dini tidak selalu jelas.

2.3. ETIOLOGI

Kehamilan ektopik terjadi karena hambatan pada perjalanan sel telur dari indung telur
(ovarium) ke rahim (uterus). Dari beberapa studi faktor resiko yang diperkirakan sebagai penyebabnya
adalah Infeksi saluran telur (salpingitis), dapat menimbulkan gangguan pada motilitas saluran telur.

a. Riwayat operasi tuba.


b. Cacat bawaan pada tuba, seperti tuba sangat panjang.
c. Kehamilan ektopik sebelumnya.
d. Aborsi tuba dan pemakaian IUD.
e. Kelainan zigot, yaitu kelainan kromosom.
f. Bekas radang pada tuba; disini radang menyebabkan perubahan-perubahan pada endosalping,
sehingga walaupun fertilisasi dapat terjadi, gerakan ovum ke uterus terlambat.
g. Operasi plastik pada tuba.
h. Abortus buatan.

2.4. PATOFISIOLOGI

Prinsip patofisiologi yakni terdapat gangguan mekanik terhadap ovum yang telah dibuahi
dalam perjalanannya menuju kavum uteri. Pada suatu saat kebutuhan embrio dalam tuba tidak dapat
terpenuhi lagi oleh suplai darah dari vaskularisasi tuba itu. Ada beberapa kemungkinan akibat dari hal
ini yaitu :

1. Kemungkinan “tubal abortion”, lepas dan keluarnya darah dan jaringan ke ujung distal
(fimbria) dan ke rongga abdomen. Abortus tuba biasanya terjadi pada kehamilan ampulla,
darah yang keluar dan kemudian masuk ke rongga peritoneum biasanya tidak begitu banyak
karena dibatasi oleh tekanan dari dinding tuba.
2. Kemungkinan ruptur dinding tuba ke dalam rongga peritoneum, sebagai akibat dari distensi
berlebihan tuba.

78
3. Faktor abortus ke dalam lumen tuba. Ruptur dinding tuba sering terjadi bila ovum
berimplantasi pada ismus dan biasanya pada kehamilan muda. Ruptur dapat terjadi secara
spontan atau karena trauma koitus dan pemeriksaan vaginal. Dalam hal ini akan terjadi
perdarahan dalam rongga perut, kadang-kadang sedikit hingga banyak, sampai menimbulkan
syok dan kematian.

2.5. MANIFESTASI KLINIK

Gejala dan tanda kehamilan ektopik terganggu sangat berbeda-beda; dari perdarahan yang
banyak yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya gejala yang tidak jelas sehingga sukar
membuat diagnosanya. Gejala dan tanda tergantung pada lamanya kehamilan ektopik terganggu,
abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang terjadi dan keadaan umum
penderita sebelum hamil. Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan
ektopik terganggu.

Hal ini menunjukkan kematian janin. Kehamilan ektopik terganggu sangat bervariasi, dari
yang klasik dengan gejala perdarahan mendadak dalam rongga perut dan ditandai oleh abdomen akut
sampai gejala-gejala yang samar-samar sehingga sulit untuk membuat diagnosanya.

2.6. DIAGNOSIS

Walaupun diagnosanya agak sulit dilakukan, namun beberapa cara ditegakkan, antara lain
dengan melihat :

1. Anamnesis dan gejala klinis


Riwayat terlambat haid, gejala dan tanda kehamilan muda, dapat ada atau tidak ada perdarahan
per vaginam, ada nyeri perut kanan / kiri bawah. Berat atau ringannya nyeri tergantung pada
banyaknya darah yang terkumpul dalam peritoneum.

2. Pemeriksaan fisis
a) Didapatkan rahim yang juga membesar, adanya tumor di daerah adneksa.
b) Adanya tanda-tanda syok hipovolemik, yaitu hipotensi, pucat dan ekstremitas dingin,
adanya tanda-tanda abdomen akut, yaitu perut tegang bagian bawah, nyeri tekan dan
nyeri lepas dinding abdomen.
c) Pemeriksaan ginekologis

79
3. Pemeriksaan dalam: seviks teraba lunak, nyeri tekan, nyeri pada uteris kanan dan kiri.
4. Pemeriksaan Penunjang
a) Laboratorium : Hb, Leukosit, urine B-hCG (+). Hemoglobin menurun setelah 24 jam
dan jumlah sel darah merah dapat meningkat.
b) b) USG : - Tidak ada kantung kehamilan dalam kavum uteri
- Adanya kantung kehamilan di luar kavum uteri
- Adanya massa komplek di rongga panggul
5. Kuldosentesis : suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam kavum Douglas ada
darah.
6. Diagnosis pasti hanya ditegakkan dengan laparotomi.
7. Ultrasonografi berguna pada 5 – 10% kasus bila ditemukan kantong gestasi di luar uterus.

2.7. PENANGANAN

Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi. Pada laparotomi perdarahan
selekas mungkin dihentikan dengan menjepit bagian dari adneksa yang menjadi sumber perdarahan.
Keadaan umum penderita terus diperbaiki dan darah dalam rongga perut sebanyak mungkin
dikeluarkan. Dalam tindakan demikian, beberapa hal yang harus dipertimbangkan yaitu: kondisi
penderita pada saat itu, keinginan penderita akan fungsi reproduksinya, lokasi kehamilan ektopik.
Hasil ini menentukan apakah perlu dilakukan salpingektomi (pemotongan bagian tuba yang terganggu)
pada kehamilan tuba. Dilakukan pemantauan terhadap kadar HCG (kuantitatif). Peninggian kadar
HCG yang berlangsung terus menandakan masih adanya jaringan ektopik yang belum terangkat.

Penanganan pada kehamilan ektopik dapat pula dengan transfusi, infus, oksigen, atau kalau
dicurigai ada infeksi diberikan juga antibiotika dan antiinflamasi. Sisa-sisa darah dikeluarkan dan
dibersihkan sedapat mungkin supaya penyembuhan lebih cepat dan harus dirawat inap di rumah sakit.

2.8 KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi yaitu :

 Pada pengobatan konservatif, yaitu bila kehamilan ektopik terganggu telah lama berlangsung
(4-6 minggu), terjadi perdarahan ulang, Ini merupakan indikasi operasi.
 Infeksi
 Sterilitas
80
 Pecahnya tuba falopii
 Komplikasi juga tergantung dari lokasi tumbuh berkembangnya embrio

2.9. PROGNOSIS

Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan diagnosis dini dengan
persediaan darah yang cukup. Hellman dkk., (1971) melaporkan 1 kematian dari 826 kasus, dan
Willson dkk (1971) 1 diantara 591 kasus. Tetapi bila pertolongan terlambat, angka kematian dapat
tinggi. Sjahid dan Martohoesodo (1970) mendapatkan angka kematian 2 dari 120 kasus. Penderita
mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami kehamilan ektopik kembali. Selain itu,
kemungkinan untuk hamil akan menurun. Hanya 60% wanita yang pernah mengalami kehamilan
ektopik terganggu dapat hamil lagi, walaupun angka kemandulannya akan jadi lebih tinggi. Angka
kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan berkisar antara 0 – 14,6%. Kemungkinan melahirkan bayi
cukup bulan adalah sekitar 50% (1,2,7).

2.10. DIAGNOSA BANDING

Diagnosa bandingnya adalah :

 Infeksi pelvic
 Kista folikel
 Abortus biasa
 Radang panggul,
 Torsi kita ovarium,
 Endometriosis

81
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang berbahaya bagi seorang wanita yang
dapat menyebabkan kondisi yang gawat bagi wanita tersebut. Keadaan gawat ini dapat
menyebabkan suatu kehamilan ektopik terganggu.

Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang berbahaya bagi wanita yang
bersangkutan berhubungan dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan yang gawat
keadaan yang gawat ini dapat terjadi apabila kehamalan ektopik terganggu. macam-
macam kehamilan ektopik berdasarkan tempat implantasinya antara lain :

1. Kehamilan Abdominal
Kehamilan/gestasi yang terjadi dalam kavum peritoneum (sinonim : kehamilan
intraperitoneal)

2. Kehamilan Ampula
Kehamilan ektopik pada pars ampularis tuba fallopii. Umumnya berakhir sebagai
abortus tuba.

3. Kehamilan Servikal
Gestasi yang berkembang bila ovum yang telah dibuahi berimplantasi dalam
kanalis servikalis uteri.

4. Kehamilan Heterotopik Kombinasi


Kehamilan bersamaan intrauterine dan ekstrauterin.

5. Kehamilan Kornu
Gestasi yang berkembang dalam kornu uteri.

6. Kehmailan Interstisial
Kehamilan pada pars interstisialis tuba fallopii.

82
7. Kehamilan Intraligamenter
Pertumbuhan janin dan plasenta diantara lipatan ligamentum latum, setelah
rupturnya kehamilan tuba melalui dasar dari tuba fallopii.

8. Kehamilan Ismik
Gestasi pada pars ismikus tuba fallopii.

9. Kehamilan Ovarial
Bentuk yang jarang dari kehamilan ektopik dimana blastolisis berimplantasi pada
permukaan ovarium.

10. Kehamilan Tuba


Kehamilan ektopik pada setiap bagian dari tuba fallopii.

83
DAFTAR PUSTAKA

 Prof. dr. Hanifa W, dkk. 1992. IlmuKebidanan, Edisi kedua, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo : Jakarta. Hal. 323-334.

 Prof. dr. Hanifa W. DSOG, dkk, Ilmu Kandungan,Edisi kedua, Yayasan Bina

 Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1999, Hal 250-255.

 www.medica store.com/kehamilan ektopik/page:1-4

 M. Anthonius Budi. 2001. Kehamilan Ektopik, Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia : Jakarta,.

 Arif M. dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, Jakarta 2001. Hal. 267-271.

 Prof. Dr. Rustam. M, MPH, Sinopsis Obstetri, Jilid 1, Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Hal.226-235.

 Dr. I. M. S. Murah Manoe, SpOG, dkk, Pedoman Diagnosa Dan Terapi Obstetri dan
Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, 1999. Hal. 104-105.

 Cunningham, F. Gary, M.D.: Obstetri Williams E/18. Jakarta, EGC, 1995.

 Prawirohardjo, Sarwono. 1989. Ilmu Kandungan, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.

 Prawirohardjo, Sarwono, 1976, Ilmu Kebidanan, Jakarta: Yayasan Binapustaka.

 Sujiyati,dkk,2009, Asuhan Patologi Kebidanan. Jogjakarta:Nuhamedika

 Supriyadi Teddy,2005, Kegawat Daruratan Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Buku


Kedokteran EGC

84

Anda mungkin juga menyukai