sebagai grand teori yang akan digunakan dalam menganalisis dan menjawab
kaidah hukum yang tidak berkaitan atau kaitannya sangat kecil dengan sektor
moral. Munir Fuadi menjelaskan bahwa paham yang sangat kuat tentang moral
adalah bahwa moralitas memiliki karakteristik berupa “nilai” yang suci yang
merupakan kebijakan yang abadi, yang bersumber pada akal pikiran manusia
(human reason),2 sehingga moral menjadi unsur yang penting didalam suatu
hukum.
dengan moral didalam hukum. Persoalan itu adalah apakah validitas hukum
positif harus didukung oleh kaidah-kaidah moral? Dari masalah tersebut menurut
tidak dapat dan tidak perlu digunakan untuk memberi validitas terhadap
1
moral adalah segala penilaian, ukuran, karakter, perilaku, kesadaran, yang berhubungan
dengan apa-apa yang baik dan apa-apa yang buruk, atau mana yang benar dan mana yang salah,
berdasarkan kepada prinsip-prinsip umum yang diberlakukan berdasarkan atas kesadaran manusia,
yang berasal dari perasaan dan perhitungan probabilitas (bukan berdasarkan kepada kategori
pembuktian ilmiah). Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Teory) Dalam Hukum, Kencana
Prenadamedia Group, Jakarta, 2013, hlm 72
2
Ibid.,
hukum positif.3 Hukum hanya ada didalam undang-undang (dan peraturan
Pandangan paham ini adalah bahwa faktor moral dapat (meskipun tidak
hukum positif.4 Artinya jika seandainya ada kaidah hukum positif yang
tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan moral, maka kaidah hukum
positivisme hukum itu dikaitkan dengan permasalahan didalam disertasi ini maka,
sistem pembuktian pidana yang bersifat negatif tersebut dapat dimaknai menganut
dibatasi oleh undang-undang yaitu Pasal 184 KUHAP tersebut bukan berarti
terlepas dari masalah-masalah moral, namun aturan ini bersifat kaku. Artinya
meskipun bersifat kaku dalam artian bahwa alat bukti yang sah tersebut hanyalah
ditujukan pada hakim dalam menafsirkan dan menilai alat bukti tersebut, apakah
alat bukti itu cukup bagi hakim untuk menyatakan seseorang bersalah atau tidak
bersalah.
3
Munir Fuadi, Op. Cit, hlm 73
4
Ibid.,
urgensi-urgensi dari unsur moral tersebut berada pada derajat tertentu sehingga
menjadi unsur yang juga harus diatur dan disediakan sanksinya oleh hukum.5
2016 tentang perubahan atas UU ITE, dimana lahirnya undang-undang itu berawal
dari kasus “Papa Minta Saham” yang melibatkan Ketua DPR RI periode 2016-
2019 Setya Novanto terkait perkara rekaman suaranya yang dijadikan sebagai
bukti (yang bisa sebagai alat bukti ataupun barang bukti). Kemudian Setya
ini sebagai mana telah dibahas dilatar belakang disertasi ini. Hasil dari Uji Materil
yang diajukan oleh Setya Novanto dikabulkan sebagian oleh MK. Kemudian MK
penyadapan harus sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu atas permintaan
penegak hukum. Maka dari itu alat bukti elektronik berupa penyadapan tersebut
pendapat tersebut adalah, bagaimana jika bukti elektronik dalam kasus itu
Menurut penulis, isi dari rekaman hasil penyadapan yang dijadikan alat bukti
kasus itu cukup membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran norma bahkan
5
Ibid., hlm 82
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Setya Novanto, jika dilihat dari sudut
pandang moral.
oleh Munir Fuadi, “apakah pelanggaran moral dapat diproses secara hukum dan
diberikan sanksi hukum?”6 Jika dikaitkan dengan kasus yang dibahas tadi, maka
hukum (dalam artian norma dan hukum) dan dapat dibuktikan dalam sebuah
bukti tersebut dinyatakan tidak sah oleh hakim karena bertentangan dengan isi
dari Putusan MK?” Teori ini menjelaskan bahwa terhadap unsur-unsur moral yang
sedimikian urgen, maka pelanggaran moral seperti itu dapat disebut sebagai
pelanggaran hukum.7 Artinya teori ini menyatakan bahwa seharusnya pada kasus
Setya Novanto, meskipun alat bukti tersebut tidak mampu memberikan kepastian
hukum bahwa yang berangkutan bersalah, namun dari sisi moral terlihat jelas
bersalah.
pelanggaran moral atau sebaliknya banyak juga pelanggaran moral yang juga
6
Ibid., hlm 82
7
Ibid., hlm 83
bertentangan dengan moral begitupun sebaliknya. Dalam hal ini, menurut HLA
Hart, keadilan hanya merupakan salah satu segmen dari moral. Yakni segmen dari
moral yang banyak berbincang bukan terhadap sikap tindakan manusia individu,
masyarakat.8
Perbedaan antara hukum dan moral adalah ketika dilihat dari asal muasal
suatu kewajiban, jika kewajiban hukum, maka kewajiban itu berasal dari eksternal
motif, maksud dan lainnya. Berbeda dengan itu, kewajiban moral justru
eksternalnya.9
Faktor moral dan faktor hukum terdapat suatu hubungan fungsional antara
lain:10
jika otoritas hukum atau kekuasaan negara hanya didasari paksaan atau undang-
undang yang dogmatis saja, maka hukum yang demikian sulit bertahan lama. Agar
lebih dipatuhi oleh masyarakat dan bertahan lama, maka hukum dapat
8
Lihat HLA Hart, The Concept of Law, At the Clarendon Press, Oxford, 1981, hlm 163
9
Munir Fuadi, Ibid., hlm 84
10
Ibid.,
bersandarkan pada unsur moral, selain undang-undang yang mengandung unsur
paksaan. Ketika suatu undang-undang atau peraturan lainnya dibuat, atau ketika
hakim membuat keputusan, maka banyak sumber digunakan oleh para pembuat
hukum itu, salah satunya adalah unsur moral.11 Kutipan ini jika dikaitkan dengan
permohonan uji materil yang diajukan oleh Setya Novanto sehingga melahirkan
Undang No. 19 tahun 2016, yang juga disebut oleh Nudirman Munir sebagai
mengenyampingkan nilai moral. Selain itu putusan hakim yang menganulir alat
bukti elektronik berupa rekaman suara pada kasus itu yang berdasarkan Putusan
moral jika mengacu pada hubungan fungsionalitas antara moral dengan hukum.
Disamping itu, ketika terjadi penafsiran hukum oleh hakim, maka ketika
11
Ibid., hlm 85
12
Nudirman Munir dalam bukunya Pengantar Hukum Siber Indonesia yang menyatakan
bahwa khusus menyangkut UU ITE terjadi tambal sulam undang-undang yang didasari
kepentingan sesaat, terutama hadirnya Undang-undang No. 19 tahun 2016 tentang perubahan atas
UU ITE yang lahir melalui permintaan uji materil oleh Setya Novanto pada kasus “papa minta
saham” lebih memiliki muatan politis. Lihat Nudirman Munir, Pengantar Hukum Siber Indonesia
Edisi Ketiga, Rajawali Press, Jakarata, 2018, hlm. 28. Dalam teori “hukum kepentingan orang
berkuasa” yang dipelopori oleh Ralf Dahrendrof. Teori ini menyebutkan bahwa hukum dikuasai
oleh mereka yang memegang atau memiliki kuasa. Karena yang memproduksi hukum adalah
mereka yang ada dalam struktur kekuasaan, tidak mengherankan jika hukum cenderung memihak
dan melayani kaum pemegang otoritas. Lihat dan bandingkan dengan Ralf Dahrendorf, Class And
Class Conflict in Social Industry, Calif: Standford University Press Stanford, 1959 dan Bernald L.
Tanya dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2003, hlm 156. Penulis menganaligokan bahwa pendapat dari Nudirman Munir
tersebut apabila disesuaikan dengan dengan teori Dahrendorf, bahwasanya Undang-Undang No.
19 tahun 2016 tersebut dibentuk semata-mata untuk kepentingan politik, mengingat kronoligis
pada kasus “papa minta saham” yang telah penulis jelaskan pada latar belakang memuat
kepentingan penguasa yang syarat dengan kepentingan politik.
penafsiran hukum itu terjadi hakim harus menggunakan berbagai sumber hukum
Jika hal diatas kita korelasikan dengan hubungan interpretasi moral dengan
hukum menurut Hart yang menyatakan bahwa penerapan hukum pada kasus yang
pada kasus tertentu, menurut Hart, tidak semata berdasarkan pada kesewenang-
kasus yang “papa minta saham” dibahas diatas tetap mempertimbangankan unsur
moral, dengan mempertimbangkan hukum yang ada dan hukum yang seharusnya
dan preseden, para hakim tidak dibatasi oleh alternatif-alternatif yang ada dan
hakim pada kasus itu seharusnya dituntun oleh asumsi bahwa tujuan dari
peraturan yang tengah mereka interpretasi adalah tujuan yang masuk akal,
13
Munir Fuadi mengatakan bahwa ketika ada penafsiran hukum, maka keitka penafsiran
hukum itu sendiri harus menggunakan berbagai sumber, salah satunya adalah moral. Akan tetapi,
ketika misalnya penafsiran hukum disadari dari faktor lain, seperti faktor pembuat hukum, maka
tentu tidak terbesit dalam pemikiran para pembuat hukum bahwa hukum dibuat secara
bertentangan dengan moral. Karena itu, penafsiran terhadap hukum tersebut selamanya tidak bileh
ada pertentangan dengan faktor moral. Lihat Munir Fuadi, Op. Cit, hlm 85
14
Hart, Essay in Jurisprudence and Philosophy, Oxford: Oxford University Press, 1983.,
hlm. 107.
15
H. L. A. Hart, Op. Cit., hlm. 204.
Untuk itu, dengan alasan yang dijabarkan diatas, maka penulis akan
ada didalam disertasi ini. Selain dari grand theory ini, penulis juga akan
menggunakan middle theory, yaitu teori hukum progresif yang juga berkaitan
dengan teori moralitas hukum. Untuk applied theory, penulis menggunakan teori
pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk
manusia.17 Dengan ideologi manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum.
manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut ideologi hukum yang pro
keadilan dan hukum yang pro rakyat.18 Dengan ideologi ini, dedikasi para pelaku
hukum mendapat tempat yang utama untuk melakukan pemulihan. Para pelaku
16
Gagasan tersebut pertama kali dilontarkan pada tahun 2007 melalui sebuah artikel pada
harial KOMPAS dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15
Juni 2002
17
Satjipto Raharjo, Hukum Progresif (Penjelasan Suatu Gagasan), Makalah
Disampaikan pada acara jumpa alumni Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP Semarang, Tanggal
4 September 2004.
18
Satjipto Raharjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban (Bacaan Mahasiswa Program
Doktor Ilmu Hukum, UKI Press, Jakarta, 2006, hlm 172
19
Bernard L. Tanya, Op. Cit., hlm 190.
Menurut hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada
peraturan, tapi pada kreatifitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum dalam ruang
dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan
dengan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada tanpa harus
menunggu perubahan aturan (changing the law). Peraturan yang buruk tidak harus
keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan
Jika dikaitkan dengan penelitian disertasi ini, maka teori ini akan
ITE yang bermula dari gugatan uji materil yang di usulkan oleh Setya Novanto
terhadap Pasal 5 UU ITE pada kasus “papa minta saham”. Menurut penulis hakim
progresif dalam menemukan hukum. Seperti yang dibahas diatas “Para pelaku
terhadap peraturan yang ada tanpa harus menunggu perubahan aturan (changing
20
Ibid.,hlm 191
21
Nudirman Munir, Op. Cit., hlm 213
the law)” dalam artian, penegak hukum perlu melakukan interpretasi hukum
Selain itu uji materil yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi tersebut
Raharjo. Penjelasan Pasal 5 ayat (2) dan beberapa pasal lainnya23 bertentangan
dengan filosofi “hukum untuk manusia”. Hal ini dikarenakan konsep “hukum
untuk manusia” yang dijelaskan oleh Raharjo mengacu pada hukum progresif
dijelaskan pada latar belakang disertasi ini. Penulis beranggapan dengan konsep
22
Terdapat beberapa pengaturan yang didefinisikan oleh Nudirman Munir sebagai
kemunduran hukum, salah satunya mengenai alat bukti elektronik pada penjelasan Pasal 5 ayat 2
yang menyatakan sah apa bila dimintakan oleh aparat penegak hukum seperti hakim, kepolisian
dan kejaksaan. Lihat Nudirman Munir, Op. Cit., hlm 165
23
Penjalasan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas
UU ITE berbunyi “Khusus informasi elektroni dan/atau Dokumen Elektronik berupa hasil
intersepsi atau penyadapan atau perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan harus
dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/ atau
institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang”.
24
Aliran interessejurisprudence adalah aliran yang muncul di Jerman sekitar dekade awal
abad XX. Memang mengandalkan pemeriksaan yang cermat dan serius atas kepentingan-
kepentingan yang dipertaruhkan, dalam suatu kasus konkret berikut konteksnya yang relevan.
Kemudian dengan menimbang bobot kepentingan yang dianggap lebih utama. Kemudian dengan
menimbang bobot kepentingan yang dianggap lebih utama, diambilah bobot.
Interessejurisprudence jelas-jelas menolak pertimbangan yuridis yang legalistik. Lihat Bernard L.
Tanya, Hukum, Politik, dan KKN, Srikandi, Surabaya, 2006, hlm 45
menimbang menimbang bobot kepentingan, antara kepentingan politik atau
penulis menyatakan demikian adalah, bahwa alat bukti rekaman penyadapan yang
dijadikan alat bukti pada kasus tersebut seharusnya bisa membuktikan bahwa
ayat (2) menganulir kebenaran yang dari sudut padang sosial masyarakat dianggap
adil. Satu-satunya alat bukti yang membuktikan terdakwa bersalah dibatalkan oleh
jelas menolak pertimbangan yuridis yang legalistik yang dilakukan dengan pasang
secara hitam putih, melainkan dari konteks dan kasus khusus diluar narasi tekstual
aturan itu sendiri. Sebab keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan lewat
mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berbeda diluar
25
Satjipto Raharjo, Op. Cit
26
Ibid.,
27
Ibid.,
Hukum progresif menempatkan kepentingan dan kebutuhan
struktur yang menindas, baik, politik, ekonomi, maupun sosial budaya. 28 Sehingga
dengan social engineering dari Rescoe Pound.29 Teori ini menghendaki usaha
disertasi ini merujuk pada cara-cara teori hukum progresif dan social engineering
Rescue Pound. Seharusnya hukum itu dibentuk untuk melayani manusia, jika
ketentuan hukum tersebut belum sempurna untuk melayani manusia maka tugas
penegak ukum seperti hakim lah yang harus melakukan penafsiran dan penemuan
3. Teori Pembuktian
28
Bernard L. Tanya, Teori Hukum, Loc. Cit, hlm 193
29
Ibid.,
Teori pembuktian ini erat kaitannya dengan sistem pembuktian30 dalam hukum
pidana. Sistem pembuktian merupakan sistem yang berisi terutama tentang alat-
alat bukti apa yang boleh digunakan untuk membuktian, cara bagaimana alat bukti
itu boleh dipergunakan, dan nilai kekuatan dari alat-alat bukti tersebut serta
yang saling berkaitan dan berhubungan satu dengan yang lain yang tidak
dalam membuat keputusan. Kekurangan pada teori ini adalah tidaka adanya
kejelasan patokan dan ukuran dari suatu keyakinan hakim.33 Selain itu, hakim juga
manusia biasa dan bisa saja salah, berhubung tidak ada kriteria, alat-alat bukti
30
Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh
dipergunakan, penguraian alat bukti, dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu
dipergunakan serta dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya di depan sidang
pengadilan, Lihat Alfitra, Op. Cit., hlm 28
31
Adhami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung : Alumni,
2008, hlm 24.
32
Conviction intime diartikan sebagai pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka.
Teori pembuktian ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan suatu
putusan berdasarkan keyakinan hakim, artinya bahwa jika dalam pertimbangan putusan hakim
telah menganggap terbukti suatu perbuata sesuai dengan keyakinan yang timbul dari hati nurani,
terdakwa yang diajukan kepadanya dapat dijatuhkan putusan. Keyakinan hakim pada teori ini
adalah menetukan dan mengabaikan hal-hal lainnya jika sekiranya tidak sesuai atau bertentangan
dengan keyakinan hakim tersebut. Lihat Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer,
Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007, hlm 186-187.
33
Hendar Soetarna, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, Bandung : Alumni, 2011,
hlm 39-40
tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim dalam
membentuk keyakinannya itu. Disamping itu pada sistem ini terbuka peluang
dengan bertumpa pada alasan keyakinan hakim.34 Praktik dari teori ini tidak lagi
dipergunakan oleh hakim di Indonesia, karena dibatasi oleh ketentuan Pasal 183-
189 KUHAP.
keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis. Pada teori ini
positif. Teori ini merupakan pembuktian berdasarkan alat bukti menurut undang-
undang secara positif atau pembuktian dengan menggunakan alat-alat bukti yang
tanpa harus timbul keyakinan terlebih dahulu atas kebenaran alat-alat bukti yang
34
Adhami Chazawi, Op. cit, hlm 25.
35
Sistem pembuktian conviction rasionnee adalah sistem pembuktian yang tetap
menggunakan keyakinan hakim, tetapi keyakinan hakim didasarkan pada alasan-alasan (reasoning)
yang rasional. Dalam sistem ini hakim tidak dapat lagi memiliki kebebasan untuk menentukan
keyakinannya, tetapi keyakinannya harus diikuti dengan alasan-alasan yang reasonable yakni
alasan yang dapat diterima oleh akal pikiran yang menjadi dasar keyakinannya itu. Lihat Rusli
Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm 187
36
Hendar Soetarna, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, Bandung : Alumni, 2011,
hlm 40
ada. Dengan kata lain, keyakinan hakim tidak diberi kesempatan dalam
seseorang.37
Teori ini hanya bertumpu pada alat bukti sebagaimana yang telah
Adhami Cghazawi38, teori ini sama sekali mengabaikan perasaan hati nurani
hakim, di mana hakim bekerja menyidangkan terdakwa seperti robot yang tingkah
bagaimana jika alat bukti yang dinilai oleh hakim tersebut adalah alat bukti/barang
bukti palsu. Hal ini seharusnya dapat menjadi sebuah pertimbangan bagi hakim
Akan tetapi berdasarkan teori ini, keyakinan seperti itu tidak bisa dipergunakan.
berdasarkan keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-
undang secara negatif. Maksud dari teori ini adalah, hakim dalam membuktikan
sebuah perkara, selain mengguakan alat bukti yang dicantumkan didalam undang-
pada penilaian terhadap alat bukti yang ditetapkan sesuai dengan undang-undang
37
Rusli Muhammad, Op. Cit., Hlm 190.
38
Adhami Chazawi, Op. Cit., hlm 27-28.
sehingga sistem pembuktian ini disebut pembuktian berganda (doubelen
oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti
berdasarkan undang-undang dan unsur keyakinan hakim menjadi satu unsur yang
tidak dapat terpisahkan. Keyakinan hakim dipandang tidak ada apabila keyakinan
tersebut tidak diperoleh dari sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan dua
alat bukti yang sah dipandang nihil bila tidak dapat menciptakan keyakinan
hakim.41
pada suatu kesimpulan atau alasan-alasan yang logis yang diterima oleh akal
hakim.42
39
Rusli Muhammad, Op. Cit., hlm 187
40
M. Yahya Harahap, Pembahasan... Loc. Cit., hlm 277
41
Hendar Soetarna, Op. Cit., Hlm 41.
42
Rusli Muhammad, Op. Cit., hlm 190-191
Jika kita kaitkan dengan sistem pembuktian negatif (wettelijk43 negatief44)
yang terdapat didalam KUHAP, maka dapat dilihat pada Pasal 183 KUHAP45
terdakwa, artinya dari kedua unsur tersebut tidak ada hal yang saling
mendominasi namun saling berkaitan. Jika suatu perkara terbukti secara sah (sah
dalam arti alat-alat bukti menurut undang-undang), akan tetapi tidak meyakinkan
hakim akan adanya kesalahan tersebut, maka hakim tidak dapat menjatuhkan
Pada disertasi ini, teori pembuktian yang akan penulis gunakan adalah
mengenai teori negatief wettelijk bewijstheorie yang juga diantu oleh sistem
mengemuka didalam disertasi ini, yaitu: bagaimana jika dalam sebuah perkara
terdapat dua alat bukti namun salah satunya dianulir/dibatalkan oleh hakim karena
berdasarkan alat bukti yang dibatalkan tadi sebenarnya terdapat satu-satunya bukti
43
Wettelijk atau menurut undang-undang karena untuk pembuktian undang-undanglah
yang menentukan tentang jenis dan banyaknya alat bukti yang harus ada. Lihat Rusli Muhammad,
Op. Cit., hlm 192
44
Negatief, karena adanya jenis-jenis dan banyaknya alat-alat bukti yang ditentukan oleh
undang-undang itu belum dapat membuat hakim harus menjatuhkan putusan pidana bagi seorang
terdakwa apabila jenis-jenis dan banyaknya alat-alat bukti itu belum dapat menimbulkan
keyakinan pada dirinya bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan bahwa
terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Lihat Ibid.,
45
Pada Pasal 83 KUHAP, mempunyai pokok-pokok sebagai berikut :
1. Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika memenuhi syarat
pembuktian dapat menjatuhkan pidana. Dengan kata lain bahwa pembuktian ditujukan untuk
memutus perkara pidana, dan bukan semata-mata untuk menjatuhkan pidana.
2. Standar/syarat tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana dengan dua syarat yang
saling berhubungan dan tidak terpisahkan, yaitu :
a. Harus menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
b. Dengan menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti hakim memperoleh keyakinan.
46
Tolib Efendi, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana ; Perkembangan Dan
Pembaharuanya di Indonesia, Setara Press, Malang, 2014, hlm 172
yang dapat membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan
oleh terdakwa? Hal ini menjadi rumit karena KUHAP pada Pasal 193 bahwa :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali bila dengan
posisikan sebagai applied theory. Teori ini akan dipergunakan untuk menyusun
kerangka baru sebagai novelty mengenai topik permasalahan disertasi ini yaitu
alat bukti elektronik. Jika ditilik, teori ini bersumber dari sejarah perkembangan
kerangka acuan pada pandangan hidup (way of live) masyarakat serta bangsa
norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalam Teori Hukum
47
struktur adalah, “The structure of a system is its skeleton framework; it is the
permanent shape, the institutional body of the system, the though rigid nones that keep the process
flowing within bounds..”, kemudian substansi dirumuskan sebagai, “The substance is composed
of substantive rules and rules about how institutions should behave,” dan budaya hukum
dirumuskan sebagai, “The legal culture, system their beliefs, values, ideas and expectation. Legal
culture refers, then, to those ports of general culture customs, opinions ways of doing and thinking
that bend social forces toward from the law and in particular ways.” Lihat Lawrence W.
Friedman, American Law: An invaluable guide to the many faces of the law, and how it affects our
daily our daily lives, W.W. Norton & Company, New York, 1984, hlm. 1-8. dan pada Legal
Culture and Social Development, Stanford Law Review, New York, hlm. 1002-1010 serta dalam
Law in America: a Short History, Modern Library Chronicles Book, New York, 2002, hlm. 4-7
hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat”48 (law as a tool social
engeneering) dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa
48
fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (law as a tool of social engeneering)
relatif masih sesuai dengan pembangunan hukum nasional saat ini, namun perlu juga dilengkapi
dengan pemberdayaan birokrasi (beureucratic engineering) yang mengedepankan konsep
panutan atau kepemimpinan, sehingga fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan dapat
menciptakan harmonisasi antara elemen birokrasi dan masyarakat dalam satu wadah yang
disebut “beureucratic and social engineering” (BSE). Lihat Romli Atmasasmita, Menata Kembali
Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional, Makalah disampaikan dalam “Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VIII” di Denpasar, 14-18 Juli 2003, hlm. 7
49
Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Penerbit: CV. Mandar
Maju, Bandung, 2003, hlm. 5