Anda di halaman 1dari 19

1.

Teori Moralitas Hukum

Pada penelitian disertasi ini, penulis akan menggunakan teori moralitas

sebagai grand teori yang akan digunakan dalam menganalisis dan menjawab

pertanyaan penelitian. Moral1 merupakan basis bagi hukum untuk menetapkan

dan menjalankan kaidah-kaidahnya, meskipun terdapat juga di sana-sini kaidah-

kaidah hukum yang tidak berkaitan atau kaitannya sangat kecil dengan sektor

moral. Munir Fuadi menjelaskan bahwa paham yang sangat kuat tentang moral

adalah bahwa moralitas memiliki karakteristik berupa “nilai” yang suci yang

merupakan kebijakan yang abadi, yang bersumber pada akal pikiran manusia

(human reason),2 sehingga moral menjadi unsur yang penting didalam suatu

hukum.

Teori moralitas ini erat kaitannya dengan penganut paham positivisme

hukum, sehingga melahirkan persoalan yang paling fundamental yang berkaitan

dengan moral didalam hukum. Persoalan itu adalah apakah validitas hukum

positif harus didukung oleh kaidah-kaidah moral? Dari masalah tersebut menurut

paham positivisme terdapat dua kubu, yaitu:

a. Positivisme hukum yang ekslusif

Paham ini berpendapat bahwa validitas hukum positif disuatu Negara

sama sekali terlepas dari masalah-masalah moral, sehingga faktor moral

tidak dapat dan tidak perlu digunakan untuk memberi validitas terhadap

1
moral adalah segala penilaian, ukuran, karakter, perilaku, kesadaran, yang berhubungan
dengan apa-apa yang baik dan apa-apa yang buruk, atau mana yang benar dan mana yang salah,
berdasarkan kepada prinsip-prinsip umum yang diberlakukan berdasarkan atas kesadaran manusia,
yang berasal dari perasaan dan perhitungan probabilitas (bukan berdasarkan kepada kategori
pembuktian ilmiah). Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Teory) Dalam Hukum, Kencana
Prenadamedia Group, Jakarta, 2013, hlm 72
2
Ibid.,
hukum positif.3 Hukum hanya ada didalam undang-undang (dan peraturan

pelaksananya), diluar undang-undang tidak ada hukum.

b. Positivisme hukum yang inklusif.

Pandangan paham ini adalah bahwa faktor moral dapat (meskipun tidak

selamanya) menjadi faktor yang menentukan valid atau tidaknya suatu

hukum positif.4 Artinya jika seandainya ada kaidah hukum positif yang

tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan moral, maka kaidah hukum

positif tersebut tidak valid.

Jika kedua paham mengenai moralitas yang terdapat pada kubu

positivisme hukum itu dikaitkan dengan permasalahan didalam disertasi ini maka,

sistem pembuktian pidana yang bersifat negatif tersebut dapat dimaknai menganut

paham positivisme yang ekslusif. Pembatasan pembuktian hukum pidana yang

dibatasi oleh undang-undang yaitu Pasal 184 KUHAP tersebut bukan berarti

terlepas dari masalah-masalah moral, namun aturan ini bersifat kaku. Artinya

meskipun bersifat kaku dalam artian bahwa alat bukti yang sah tersebut hanyalah

alat bukti yang ditetapkan didalam undnag-undang, unsur moralitasnya justru

ditujukan pada hakim dalam menafsirkan dan menilai alat bukti tersebut, apakah

alat bukti itu cukup bagi hakim untuk menyatakan seseorang bersalah atau tidak

bersalah.

Teori moral ini juga mempersoalkan apakah hukum terbuka terhadap

kritikan atau pengujian-pengujian yang bersifat moral, sampai batas-batas tertentu

memang hukum terbuka terhadap kritikan-kritikan moral, yakni dalam hal

3
Munir Fuadi, Op. Cit, hlm 73
4
Ibid.,
urgensi-urgensi dari unsur moral tersebut berada pada derajat tertentu sehingga

menjadi unsur yang juga harus diatur dan disediakan sanksinya oleh hukum.5

Jika kita kaitkan dengan sejarah lahirnya undang-undang No 19 tahun

2016 tentang perubahan atas UU ITE, dimana lahirnya undang-undang itu berawal

dari kasus “Papa Minta Saham” yang melibatkan Ketua DPR RI periode 2016-

2019 Setya Novanto terkait perkara rekaman suaranya yang dijadikan sebagai

bukti (yang bisa sebagai alat bukti ataupun barang bukti). Kemudian Setya

Novanto mengajukan uji materi atas Undang-Undang ITE karena merasa

dirugikan dengan ketentuan beberapa pasal yang terdapat dalam undang-undang

ini sebagai mana telah dibahas dilatar belakang disertasi ini. Hasil dari Uji Materil

yang diajukan oleh Setya Novanto dikabulkan sebagian oleh MK. Kemudian MK

mengeluarkan Putusan MK Nomor : 20/PUU-XIV/2016 dan menyatakan bahwa

sesuai dengan Pasal 5 Putusan MK tersebut menyatakan bahwa pemberlakuan

penyadapan harus sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu atas permintaan

penegak hukum. Maka dari itu alat bukti elektronik berupa penyadapan tersebut

tidaklah sah dan tidak memiliki kekuatan pembuktian. Penulis berpendapat,

bahwa putusan MK tersebut mengenyampingkan persoalan moral. Alasan dari

pendapat tersebut adalah, bagaimana jika bukti elektronik dalam kasus itu

merupakan satu-satunya bukti kuat yang menunjukkan adanya tindak pidana?

Menurut penulis, isi dari rekaman hasil penyadapan yang dijadikan alat bukti

elektronik dan kemudian dibatalkan oleh hakim berdasarkan Putusan MK pada

kasus itu cukup membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran norma bahkan

5
Ibid., hlm 82
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Setya Novanto, jika dilihat dari sudut

pandang moral.

Kemudian terkait dengan pelanggaran moral, seperti yang pertanyakan

oleh Munir Fuadi, “apakah pelanggaran moral dapat diproses secara hukum dan

diberikan sanksi hukum?”6 Jika dikaitkan dengan kasus yang dibahas tadi, maka

pertanyaannya adalah “apakah Setya Novanto yang jelas melakukan pelanggaran

hukum (dalam artian norma dan hukum) dan dapat dibuktikan dalam sebuah

rekaman percakapan hasil penyadapan dapat dinyatakan bersalah, meskipun alat

bukti tersebut dinyatakan tidak sah oleh hakim karena bertentangan dengan isi

dari Putusan MK?” Teori ini menjelaskan bahwa terhadap unsur-unsur moral yang

sedimikian urgen, maka pelanggaran moral seperti itu dapat disebut sebagai

pelanggaran hukum.7 Artinya teori ini menyatakan bahwa seharusnya pada kasus

Setya Novanto, meskipun alat bukti tersebut tidak mampu memberikan kepastian

hukum bahwa yang berangkutan bersalah, namun dari sisi moral terlihat jelas

bahwa yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran dan harus dinyatakan

bersalah.

Dari kasus diatas, sebenarnya yang terjadi adalah overlaping mengenai

istilah moral dan hukum. Banyak pelanggaran hukum juga merupakan

pelanggaran moral atau sebaliknya banyak juga pelanggaran moral yang juga

merupakan pelanggaran hukum. Akan tetapi tidak selamanya demikian, karena

sebenarnya ada banyak perbedaan antara moral dan hukum/keadilan tersebut,

yang jelas tidak semua yang bertentangan dengan hukum/keadilan tesebut

6
Ibid., hlm 82
7
Ibid., hlm 83
bertentangan dengan moral begitupun sebaliknya. Dalam hal ini, menurut HLA

Hart, keadilan hanya merupakan salah satu segmen dari moral. Yakni segmen dari

moral yang banyak berbincang bukan terhadap sikap tindakan manusia individu,

melainkan berbincang terhadap sikap tindakan individual dalam kelas/kelompok

masyarakat.8

Perbedaan antara hukum dan moral adalah ketika dilihat dari asal muasal

suatu kewajiban, jika kewajiban hukum, maka kewajiban itu berasal dari eksternal

pelakunya. Karena itu, ketika dianggap adanya kewajiban hukum, maka

kewajiban tersebut ada, tanpa perlu memperhitungkan faktor internal seperti

motif, maksud dan lainnya. Berbeda dengan itu, kewajiban moral justru

digerakkan oleh faktor internal manusia, tanpa perlu memperhitungkan faktor

eksternalnya.9

Faktor moral dan faktor hukum terdapat suatu hubungan fungsional antara

lain:10

a. Moral diperlukan ketika hukum menjadi sempit dan kaku


b. Moral merupakan dasar dari otoritas hukum
c. Moral menyediakan kaidahnya dalam penciptaan hukum
d. Moral mengisi kekosongan hukum dan membantu penafsiran hukum
e. Moral mengarahkan hukum ketika hukum mengalami kontradiksi internal,
dogmatisme, dan irasionalitas.
f. Pemenuhan unsur moral merupakan kriteria bagi suatu kaidah hukum yang
bagus.
Dikatakan bahwa moral merupakan dasar dari suatu otiritas hukum, karena

jika otoritas hukum atau kekuasaan negara hanya didasari paksaan atau undang-

undang yang dogmatis saja, maka hukum yang demikian sulit bertahan lama. Agar

lebih dipatuhi oleh masyarakat dan bertahan lama, maka hukum dapat

8
Lihat HLA Hart, The Concept of Law, At the Clarendon Press, Oxford, 1981, hlm 163
9
Munir Fuadi, Ibid., hlm 84
10
Ibid.,
bersandarkan pada unsur moral, selain undang-undang yang mengandung unsur

paksaan. Ketika suatu undang-undang atau peraturan lainnya dibuat, atau ketika

hakim membuat keputusan, maka banyak sumber digunakan oleh para pembuat

hukum itu, salah satunya adalah unsur moral.11 Kutipan ini jika dikaitkan dengan

kasus yang dibahas tadi, maka Mahkamah Konstitusi dalam menjawab

permohonan uji materil yang diajukan oleh Setya Novanto sehingga melahirkan

Putusan MK Nomor : 20/PUU-XIV/2016 yang kemudian menjadi Undang-

Undang No. 19 tahun 2016, yang juga disebut oleh Nudirman Munir sebagai

putusan yang kentang dengan kepentingan politik12 terlihat seperti

mengenyampingkan nilai moral. Selain itu putusan hakim yang menganulir alat

bukti elektronik berupa rekaman suara pada kasus itu yang berdasarkan Putusan

MK Nomor : 20/PUU-XIV/2016 menurut penulis juga mengenyampingkan nilai

moral jika mengacu pada hubungan fungsionalitas antara moral dengan hukum.

Disamping itu, ketika terjadi penafsiran hukum oleh hakim, maka ketika

11
Ibid., hlm 85
12
Nudirman Munir dalam bukunya Pengantar Hukum Siber Indonesia yang menyatakan
bahwa khusus menyangkut UU ITE terjadi tambal sulam undang-undang yang didasari
kepentingan sesaat, terutama hadirnya Undang-undang No. 19 tahun 2016 tentang perubahan atas
UU ITE yang lahir melalui permintaan uji materil oleh Setya Novanto pada kasus “papa minta
saham” lebih memiliki muatan politis. Lihat Nudirman Munir, Pengantar Hukum Siber Indonesia
Edisi Ketiga, Rajawali Press, Jakarata, 2018, hlm. 28. Dalam teori “hukum kepentingan orang
berkuasa” yang dipelopori oleh Ralf Dahrendrof. Teori ini menyebutkan bahwa hukum dikuasai
oleh mereka yang memegang atau memiliki kuasa. Karena yang memproduksi hukum adalah
mereka yang ada dalam struktur kekuasaan, tidak mengherankan jika hukum cenderung memihak
dan melayani kaum pemegang otoritas. Lihat dan bandingkan dengan Ralf Dahrendorf, Class And
Class Conflict in Social Industry, Calif: Standford University Press Stanford, 1959 dan Bernald L.
Tanya dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2003, hlm 156. Penulis menganaligokan bahwa pendapat dari Nudirman Munir
tersebut apabila disesuaikan dengan dengan teori Dahrendorf, bahwasanya Undang-Undang No.
19 tahun 2016 tersebut dibentuk semata-mata untuk kepentingan politik, mengingat kronoligis
pada kasus “papa minta saham” yang telah penulis jelaskan pada latar belakang memuat
kepentingan penguasa yang syarat dengan kepentingan politik.
penafsiran hukum itu terjadi hakim harus menggunakan berbagai sumber hukum

salah satunya adalah moral.13

Jika hal diatas kita korelasikan dengan hubungan interpretasi moral dengan

hukum menurut Hart yang menyatakan bahwa penerapan hukum pada kasus yang

samar-samar akan melibatkan pertimbangan tertentu, pertimbangan yang

menunjukkan bagaimana hukum seharusnya. Keputusan yang diberikan hakim

pada kasus tertentu, menurut Hart, tidak semata berdasarkan pada kesewenang-

wenangan, melainkan dibimbing oleh prinsip-prinsip, kebijakan sosial, dan

kepercayaan moral.14 Seharusnya hakim dan hakim Mahkamah Konstitusi pada

kasus yang “papa minta saham” dibahas diatas tetap mempertimbangankan unsur

moral, dengan mempertimbangkan hukum yang ada dan hukum yang seharusnya

berkelindan dalam penafsiran hukum. Ketika menginterpretasi undang-undang

dan preseden, para hakim tidak dibatasi oleh alternatif-alternatif yang ada dan

kehendak pribadi, atau deduksi “mekanis” dari peraturan-peraturan yang

maknanya telah tertentukan secara definitif.15 Sehingga penulis menilai pilihan

hakim pada kasus itu seharusnya dituntun oleh asumsi bahwa tujuan dari

peraturan yang tengah mereka interpretasi adalah tujuan yang masuk akal,

sehingga peraturan itu tidak dimaksudkan untuk menghasilkan ketidakadilan atau

melanggar prinsip-prinsip moral yang mapan.

13
Munir Fuadi mengatakan bahwa ketika ada penafsiran hukum, maka keitka penafsiran
hukum itu sendiri harus menggunakan berbagai sumber, salah satunya adalah moral. Akan tetapi,
ketika misalnya penafsiran hukum disadari dari faktor lain, seperti faktor pembuat hukum, maka
tentu tidak terbesit dalam pemikiran para pembuat hukum bahwa hukum dibuat secara
bertentangan dengan moral. Karena itu, penafsiran terhadap hukum tersebut selamanya tidak bileh
ada pertentangan dengan faktor moral. Lihat Munir Fuadi, Op. Cit, hlm 85
14
Hart, Essay in Jurisprudence and Philosophy, Oxford: Oxford University Press, 1983.,
hlm. 107.
15
H. L. A. Hart, Op. Cit., hlm. 204.
Untuk itu, dengan alasan yang dijabarkan diatas, maka penulis akan

menggunakan toeri moralitas hukum ini untuk mengenalisis permasalahan yang

ada didalam disertasi ini. Selain dari grand theory ini, penulis juga akan

menggunakan middle theory, yaitu teori hukum progresif yang juga berkaitan

dengan teori moralitas hukum. Untuk applied theory, penulis menggunakan teori

hukum pembuktian dan teori pembangunan hukum untuk menemukan novelty

dalam bidang alat bukti elektronik didalam hukum pidana Indonesia.

2. Teori Hukum Progresif

Teori hukum progresif merupakan gagasan dari Satjipto Rahardjo16 yang

“galau” dengan cara penyelenggaraan hukum di Indonesia. Menurut Raharjo,

pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk

manusia.17 Dengan ideologi manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum.

Mutu hukum, ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan

manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut ideologi hukum yang pro

keadilan dan hukum yang pro rakyat.18 Dengan ideologi ini, dedikasi para pelaku

hukum mendapat tempat yang utama untuk melakukan pemulihan. Para pelaku

hukum dituntut mengedepankan kejujuran dan ketulusan penegak hukum.19

16
Gagasan tersebut pertama kali dilontarkan pada tahun 2007 melalui sebuah artikel pada
harial KOMPAS dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15
Juni 2002
17
Satjipto Raharjo, Hukum Progresif (Penjelasan Suatu Gagasan), Makalah
Disampaikan pada acara jumpa alumni Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP Semarang, Tanggal
4 September 2004.
18
Satjipto Raharjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban (Bacaan Mahasiswa Program
Doktor Ilmu Hukum, UKI Press, Jakarta, 2006, hlm 172
19
Bernard L. Tanya, Op. Cit., hlm 190.
Menurut hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada

peraturan, tapi pada kreatifitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum dalam ruang

dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan

dengan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada tanpa harus

menunggu perubahan aturan (changing the law). Peraturan yang buruk tidak harus

menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadirkan

keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan

interpretasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan.20

Jika dikaitkan dengan penelitian disertasi ini, maka teori ini akan

dipergunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian ketiga, yaitu mengenai

kedudukan dan pengaturan alat bukti elektronik yang seharusnya didalam

pembuktian hukum pidana Indonesia. Jika dikaitkan dengan asal muasal

dikeluarkannya Undang-Undang no. 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU

ITE yang bermula dari gugatan uji materil yang di usulkan oleh Setya Novanto

terhadap Pasal 5 UU ITE pada kasus “papa minta saham”. Menurut penulis hakim

sebagai penegak hukum seharusnya mampu menerapkan teori hukum progresif

dalam memutus perkara. Memang didalam UU ITE terdapat banyak kekurangan

dan kekosongan hukum21 namun semestinya seorang hakim harus bersikap

progresif dalam menemukan hukum. Seperti yang dibahas diatas “Para pelaku

hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan pemaknaan yang kreatif

terhadap peraturan yang ada tanpa harus menunggu perubahan aturan (changing

20
Ibid.,hlm 191
21
Nudirman Munir, Op. Cit., hlm 213
the law)” dalam artian, penegak hukum perlu melakukan interpretasi hukum

dalam memutus perkara.

Selain itu uji materil yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi tersebut

kemudian dikabulkan dengan dikeluarkannya Putusan MK Nomor : 20/PUU-

XIV/2016 yang kemudian menjadi UU No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas

Undang-Undang ITE22 bertentangan dengan filosofi hukum yang dikemukakan

Raharjo. Penjelasan Pasal 5 ayat (2) dan beberapa pasal lainnya23 bertentangan

dengan filosofi “hukum untuk manusia”. Hal ini dikarenakan konsep “hukum

untuk manusia” yang dijelaskan oleh Raharjo mengacu pada hukum progresif

yang dekat dengan interessejurisprudence.24

Aliran interessejurisprudence ini berangkat dari keraguan tentang

kesempurnaan logika yuridis dalam merespon kebutuhan atau kepentingan sosial

dalam masyarakat. Artinya Undang-Undang No 19 tahun 2016 tersebut gagal

dalam merespon kepentingan sosial dalam masyarakat sebagaimana yang telah

dijelaskan pada latar belakang disertasi ini. Penulis beranggapan dengan konsep

interessejurisprudence Hakim Mahkamah Konstitusi dianggap gagal dalam

22
Terdapat beberapa pengaturan yang didefinisikan oleh Nudirman Munir sebagai
kemunduran hukum, salah satunya mengenai alat bukti elektronik pada penjelasan Pasal 5 ayat 2
yang menyatakan sah apa bila dimintakan oleh aparat penegak hukum seperti hakim, kepolisian
dan kejaksaan. Lihat Nudirman Munir, Op. Cit., hlm 165
23
Penjalasan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas
UU ITE berbunyi “Khusus informasi elektroni dan/atau Dokumen Elektronik berupa hasil
intersepsi atau penyadapan atau perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan harus
dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/ atau
institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang”.
24
Aliran interessejurisprudence adalah aliran yang muncul di Jerman sekitar dekade awal
abad XX. Memang mengandalkan pemeriksaan yang cermat dan serius atas kepentingan-
kepentingan yang dipertaruhkan, dalam suatu kasus konkret berikut konteksnya yang relevan.
Kemudian dengan menimbang bobot kepentingan yang dianggap lebih utama. Kemudian dengan
menimbang bobot kepentingan yang dianggap lebih utama, diambilah bobot.
Interessejurisprudence jelas-jelas menolak pertimbangan yuridis yang legalistik. Lihat Bernard L.
Tanya, Hukum, Politik, dan KKN, Srikandi, Surabaya, 2006, hlm 45
menimbang menimbang bobot kepentingan, antara kepentingan politik atau

kepentingan sosial/masyarakat yang merupakan kepentingan utama. Alasan

penulis menyatakan demikian adalah, bahwa alat bukti rekaman penyadapan yang

dijadikan alat bukti pada kasus tersebut seharusnya bisa membuktikan bahwa

terdakwa bersalah, namun Putusan MK berkata sebaliknya. Penjelasan Pasal 5

ayat (2) menganulir kebenaran yang dari sudut padang sosial masyarakat dianggap

adil. Satu-satunya alat bukti yang membuktikan terdakwa bersalah dibatalkan oleh

Hakim yang mengacu pada Putusan MK.

Jika didalami Interessejurisprudence, Raharjo menjelaskan bahwa jelas-

jelas menolak pertimbangan yuridis yang legalistik yang dilakukan dengan pasang

jarak dan in abstracto. Ia tidak memulai pemeriksaan dari bangunan peraturan

secara hitam putih, melainkan dari konteks dan kasus khusus diluar narasi tekstual

aturan itu sendiri. Sebab keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan lewat

proses logis-formal. Keadilan justru diperoleh lewat intuisi. Karenanya, argumen-

argumen logis-formal “dicari” sesudah keadilan ditemukan untuk membingkai

secara yuridis-formal keputusan yang diyakini adil tersebut.25

Raharjo mengatakan, bagu konsep hukum yang progresif, hukum tidak

mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berbeda diluar

dirinya.26 Oleh karena itu, hukum progresif meninggalkan tradisi analytical

yurisprudence atau rechtsdogmatiek yang cenderung menepis dunia diluar dirinya,

seperti manusia, masyarakat, kesejahteraannya27

25
Satjipto Raharjo, Op. Cit
26
Ibid.,
27
Ibid.,
Hukum progresif menempatkan kepentingan dan kebutuhan

manusia/rakyat sebagai titik orientasinya, maka ia harus memiliki kepekaan dan

persoalan-persoalan yang timbul dalam hubungan-hubungan manusia. Salah satu

persoalan krusial dalam hubungan sosial adalah keterbelengguan manusia dalam

struktur yang menindas, baik, politik, ekonomi, maupun sosial budaya. 28 Sehingga

karakter hukum progresif yang menghendaki kehadiran hukum dikaitkan dengan

perberdayaan sebagai tujuan sosialnya, menyebabkan hukum progresif juga dekat

dengan social engineering dari Rescoe Pound.29 Teori ini menghendaki usaha

social engineering dianggap sebagai kewajiban untuk menentukan cara-cara yang

paling baik memajukan atau mengarahkan masyarakat.

Novelty yang diharapkan dari permasalahan nomor tiga pada penelitian

disertasi ini merujuk pada cara-cara teori hukum progresif dan social engineering

Rescue Pound. Seharusnya hukum itu dibentuk untuk melayani manusia, jika

ketentuan hukum tersebut belum sempurna untuk melayani manusia maka tugas

penegak ukum seperti hakim lah yang harus melakukan penafsiran dan penemuan

hukum. Penemuan hukum tersebut bertujuan untuk memajukan dan mengarahkan

masayrakat kearah yang lebih baik.

3. Teori Pembuktian

Sebagai applied theory dalam disertasi ini penulis menggunakan teori

hukum pembuktian untuk mengenalisis dan menjawab pertanyaan penelitian.

28
Bernard L. Tanya, Teori Hukum, Loc. Cit, hlm 193
29
Ibid.,
Teori pembuktian ini erat kaitannya dengan sistem pembuktian30 dalam hukum

pidana. Sistem pembuktian merupakan sistem yang berisi terutama tentang alat-

alat bukti apa yang boleh digunakan untuk membuktian, cara bagaimana alat bukti

itu boleh dipergunakan, dan nilai kekuatan dari alat-alat bukti tersebut serta

standar/kriteria yang menjadi ukuran dalam mengambil kesimpulan tentang

terbuktinya sesuatu (objek) yang dibuktikan. Sistem pembuktian merupakan suatu

kebulatan atau keseluruhan dari berbagai ketentuan perihal kegiatan pembuktian

yang saling berkaitan dan berhubungan satu dengan yang lain yang tidak

terpisahkan dan menjadi satu kesatuan yang utuh.31

Dalam hukum pidana, terdapat beberapa teori pembuktian yang menjadi

pegangan bagi hakim dalam melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa di sidang

pengadilan. Pertama, teori conviction intime32 atau teori pembuktian berdasarkan

keyakinan hakim semata-mata. Teori ini hanya mengandalkan keyakinan hakim

dalam membuat keputusan. Kekurangan pada teori ini adalah tidaka adanya

kejelasan patokan dan ukuran dari suatu keyakinan hakim.33 Selain itu, hakim juga

manusia biasa dan bisa saja salah, berhubung tidak ada kriteria, alat-alat bukti

30
Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh
dipergunakan, penguraian alat bukti, dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu
dipergunakan serta dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya di depan sidang
pengadilan, Lihat Alfitra, Op. Cit., hlm 28
31
Adhami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung : Alumni,
2008, hlm 24.
32
Conviction intime diartikan sebagai pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka.
Teori pembuktian ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan suatu
putusan berdasarkan keyakinan hakim, artinya bahwa jika dalam pertimbangan putusan hakim
telah menganggap terbukti suatu perbuata sesuai dengan keyakinan yang timbul dari hati nurani,
terdakwa yang diajukan kepadanya dapat dijatuhkan putusan. Keyakinan hakim pada teori ini
adalah menetukan dan mengabaikan hal-hal lainnya jika sekiranya tidak sesuai atau bertentangan
dengan keyakinan hakim tersebut. Lihat Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer,
Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007, hlm 186-187.
33
Hendar Soetarna, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, Bandung : Alumni, 2011,
hlm 39-40
tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim dalam

membentuk keyakinannya itu. Disamping itu pada sistem ini terbuka peluang

yang besar untuk terjadi praktik penegakan hukum yang sewenang-wenang,

dengan bertumpa pada alasan keyakinan hakim.34 Praktik dari teori ini tidak lagi

dipergunakan oleh hakim di Indonesia, karena dibatasi oleh ketentuan Pasal 183-

189 KUHAP.

Kedua, teori conviction rasionnee35 atau Teori pembuktian berdasarkan

keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis. Pada teori ini

tetap menggunakan keyakinan hakim, namun dibatasi dengan alasan-alasan yang

rasional. Pada dasarnya keyakinan hakim tersebut didasrkan pada dasar-dasr

pembuktian dengan menciotakan suatu kesimpulan yang berlandaskan pada

ketentuan pembuktian tertentu.36

Ketiga, Positif Wettelijk Bewijstheorie atau Teori Pembuktian yang hanya

berdasarkan kepada alat-alat pembuktian yang disebut oleh undang-undang secara

positif. Teori ini merupakan pembuktian berdasarkan alat bukti menurut undang-

undang secara positif atau pembuktian dengan menggunakan alat-alat bukti yang

sebelumnya telah ditentukan dalam undang-undang. jika alat-alat bukti tersebut

telah terpenuhi, hakim sudah cukup beralasan untuk menjatuhkan putusannya

tanpa harus timbul keyakinan terlebih dahulu atas kebenaran alat-alat bukti yang

34
Adhami Chazawi, Op. cit, hlm 25.
35
Sistem pembuktian conviction rasionnee adalah sistem pembuktian yang tetap
menggunakan keyakinan hakim, tetapi keyakinan hakim didasarkan pada alasan-alasan (reasoning)
yang rasional. Dalam sistem ini hakim tidak dapat lagi memiliki kebebasan untuk menentukan
keyakinannya, tetapi keyakinannya harus diikuti dengan alasan-alasan yang reasonable yakni
alasan yang dapat diterima oleh akal pikiran yang menjadi dasar keyakinannya itu. Lihat Rusli
Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm 187
36
Hendar Soetarna, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, Bandung : Alumni, 2011,
hlm 40
ada. Dengan kata lain, keyakinan hakim tidak diberi kesempatan dalam

menentukan ada tidaknya kesalahan seseorang, keyakinan hakim harus dihindari

dan tidak dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam menentukan kesalahan

seseorang.37

Teori ini hanya bertumpu pada alat bukti sebagaimana yang telah

ditetapkan didalam undang-undang tanpa melibatkan keyakinan hakim. Menurut

Adhami Cghazawi38, teori ini sama sekali mengabaikan perasaan hati nurani

hakim, di mana hakim bekerja menyidangkan terdakwa seperti robot yang tingkah

lakunya sudah diprogram melalui undang-undang. Alat bukti memeliki peran

penting didalam membuktikan kesalahan terdakwa didalam teori ini, namun

bagaimana jika alat bukti yang dinilai oleh hakim tersebut adalah alat bukti/barang

bukti palsu. Hal ini seharusnya dapat menjadi sebuah pertimbangan bagi hakim

dalam menilai alat bukti untuk mendapatkan keyakinan didalam persidangan.

Akan tetapi berdasarkan teori ini, keyakinan seperti itu tidak bisa dipergunakan.

Keempat, teori negatief wettelijk bewijstheorie atau teori pembuktian

berdasarkan keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-

undang secara negatif. Maksud dari teori ini adalah, hakim dalam membuktikan

sebuah perkara, selain mengguakan alat bukti yang dicantumkan didalam undang-

undang juga dapat mempergunakan keyakinan. Keyakinan tersebut hanya terbatas

pada penilaian terhadap alat bukti yang ditetapkan sesuai dengan undang-undang

tadi. Sistem pembuktian ini menggabungkan antara sistem pembuktian menurut

undang-undang secara positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim

37
Rusli Muhammad, Op. Cit., Hlm 190.
38
Adhami Chazawi, Op. Cit., hlm 27-28.
sehingga sistem pembuktian ini disebut pembuktian berganda (doubelen

grondslag).39 Atau artinya bahwa salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan

oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti

yang sah menurut undang-undang.40

Teori ini memadukan dua unsur mengenai pembuktian, yaitu pembujtain

berdasarkan undang-undang dan unsur keyakinan hakim menjadi satu unsur yang

tidak dapat terpisahkan. Keyakinan hakim dipandang tidak ada apabila keyakinan

tersebut tidak diperoleh dari sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan dua

alat bukti yang sah dipandang nihil bila tidak dapat menciptakan keyakinan

hakim.41

Sistem pembuktian negatief wettelijk bewijstheorie mempunyai persamaan

dan perbedaan dengan sistem conviction rasionalee. Persamaannya adalah kedua

teori tersebut sama-sama menggunakan keyakinan hakim dan kedua-duanya

sama-sama membatasi keyakinan hakim. Sedangkan perbedaannya bahwa sistem

conviction rasionalee berpangkal tolak pada keyakinan hakim yang didasarkan

pada suatu kesimpulan atau alasan-alasan yang logis yang diterima oleh akal

pikiran yang tidak didasarkan pada ungna-undang, sedangkan pembuktian

negatief wettelijk bewijstheorie berpangkal tolak pada alat-alat bukti yang

ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang dan harus mendapat keyakinan

hakim.42

39
Rusli Muhammad, Op. Cit., hlm 187
40
M. Yahya Harahap, Pembahasan... Loc. Cit., hlm 277
41
Hendar Soetarna, Op. Cit., Hlm 41.
42
Rusli Muhammad, Op. Cit., hlm 190-191
Jika kita kaitkan dengan sistem pembuktian negatif (wettelijk43 negatief44)

yang terdapat didalam KUHAP, maka dapat dilihat pada Pasal 183 KUHAP45

memadukan unsur-unsur objektif dan subjektif dalam menentukan salah tidaknya

terdakwa, artinya dari kedua unsur tersebut tidak ada hal yang saling

mendominasi namun saling berkaitan. Jika suatu perkara terbukti secara sah (sah

dalam arti alat-alat bukti menurut undang-undang), akan tetapi tidak meyakinkan

hakim akan adanya kesalahan tersebut, maka hakim tidak dapat menjatuhkan

putusan pidana pemidanaan terhadap terdakwa.46

Pada disertasi ini, teori pembuktian yang akan penulis gunakan adalah

mengenai teori negatief wettelijk bewijstheorie yang juga diantu oleh sistem

pembuktian didalam KUHAP. Berdasarkan hal ini, terdapat pertanyaan yang

mengemuka didalam disertasi ini, yaitu: bagaimana jika dalam sebuah perkara

terdapat dua alat bukti namun salah satunya dianulir/dibatalkan oleh hakim karena

ketentuan undang-undang diluar dari KUHAP, namun dari perkara tersebut

berdasarkan alat bukti yang dibatalkan tadi sebenarnya terdapat satu-satunya bukti

43
Wettelijk atau menurut undang-undang karena untuk pembuktian undang-undanglah
yang menentukan tentang jenis dan banyaknya alat bukti yang harus ada. Lihat Rusli Muhammad,
Op. Cit., hlm 192
44
Negatief, karena adanya jenis-jenis dan banyaknya alat-alat bukti yang ditentukan oleh
undang-undang itu belum dapat membuat hakim harus menjatuhkan putusan pidana bagi seorang
terdakwa apabila jenis-jenis dan banyaknya alat-alat bukti itu belum dapat menimbulkan
keyakinan pada dirinya bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan bahwa
terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Lihat Ibid.,
45
Pada Pasal 83 KUHAP, mempunyai pokok-pokok sebagai berikut :
1. Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika memenuhi syarat
pembuktian dapat menjatuhkan pidana. Dengan kata lain bahwa pembuktian ditujukan untuk
memutus perkara pidana, dan bukan semata-mata untuk menjatuhkan pidana.
2. Standar/syarat tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana dengan dua syarat yang
saling berhubungan dan tidak terpisahkan, yaitu :
a. Harus menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
b. Dengan menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti hakim memperoleh keyakinan.
46
Tolib Efendi, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana ; Perkembangan Dan
Pembaharuanya di Indonesia, Setara Press, Malang, 2014, hlm 172
yang dapat membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan

oleh terdakwa? Hal ini menjadi rumit karena KUHAP pada Pasal 193 bahwa :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali bila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah..”

4. Teori Hukum Pembangunan

Terori hukum pembangunan karya Mochtar Kusumaatmadja juga penulis

posisikan sebagai applied theory. Teori ini akan dipergunakan untuk menyusun

kerangka baru sebagai novelty mengenai topik permasalahan disertasi ini yaitu

alat bukti elektronik. Jika ditilik, teori ini bersumber dari sejarah perkembangan

hukum di Indonesia. Secara dimensional Teori Hukum Pembangunan memakai

kerangka acuan pada pandangan hidup (way of live) masyarakat serta bangsa

Indonesia berdasarkan asas Pancasila yang bersifat kekeluargaan maka terhadap

norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalam Teori Hukum

Pembangunan tersebut relatif sudah merupakan dimensi yang meliputi structure

(struktur), culture (kultur) dan substance (substansi) sebagaimana dikatakan oleh

Lawrence W. Friedman.47 Teori Hukum Pembangunan memberikan dasar fungsi

47
struktur adalah, “The structure of a system is its skeleton framework; it is the
permanent shape, the institutional body of the system, the though rigid nones that keep the process
flowing within bounds..”, kemudian substansi dirumuskan sebagai, “The substance is composed
of substantive rules and rules about how institutions should behave,” dan budaya hukum
dirumuskan sebagai, “The legal culture, system their beliefs, values, ideas and expectation. Legal
culture refers, then, to those ports of general culture customs, opinions ways of doing and thinking
that bend social forces toward from the law and in particular ways.” Lihat Lawrence W.
Friedman, American Law: An invaluable guide to the many faces of the law, and how it affects our
daily our daily lives, W.W. Norton & Company, New York, 1984, hlm. 1-8. dan pada Legal
Culture and Social Development, Stanford Law Review, New York, hlm. 1002-1010 serta dalam
Law in America: a Short History, Modern Library Chronicles Book, New York, 2002, hlm. 4-7
hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat”48 (law as a tool social

engeneering) dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa

Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang.49

48
fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (law as a tool of social engeneering)
relatif masih sesuai dengan pembangunan hukum nasional saat ini, namun perlu juga dilengkapi
dengan pemberdayaan birokrasi (beureucratic engineering) yang mengedepankan konsep
panutan atau kepemimpinan, sehingga fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan dapat
menciptakan harmonisasi antara elemen birokrasi dan masyarakat dalam satu wadah yang
disebut “beureucratic and social engineering” (BSE). Lihat Romli Atmasasmita, Menata Kembali
Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional, Makalah disampaikan dalam “Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VIII” di Denpasar, 14-18 Juli 2003, hlm. 7
49
Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Penerbit: CV. Mandar
Maju, Bandung, 2003, hlm. 5

Anda mungkin juga menyukai