Indonesia beruntung memiliki dua penulis hebat, yang karena kehebatan
karyanya diangkat ke layar lebar. Dari dua penulis unggulan ini muncul karya-karya yang telah memberikan kontribusi besar bagi bangsa dengan concern-nya masing- masing. Kang Abik (sapaan akrab Habiburrahman) dalam bidang dakwahnya dan Andrea Hirata yang menyoroti pendidikan di Indonesia. Karya-karya dari dua penulis ini dianggap sebagai oase di tengah terik padang pasir karena mampu melepas dahaga masyarakat yang selama ini hanya disuguhkan dengan novel-novel kacangan yang hanya menonjolkan sisi romantisme dan vulgaritas. Dua penulis ini menjawabnya dan hasilnya, laris manis bak jualan kacang di alun-alun. Diangkatnya beberapa karya dari mereka ke layar lebar memang tidak lepas dari kemajuan per-filman di Indonesia. Namun, perlu diketahui bahwa kesuksesan telah mereka raih dalam versi novelnya. Adanya penerjemahan ke dalam bahasa film, lebih merupakan upaya untuk memperkenalkan lebih luas karya-karya bermutu tersebut, mengingat budaya baca di Indonesia belum mengakar. Dan jika ditelisik lebih lanjut, upaya tersebut memperluas kontribusi keduanya di tanah air. Bahkan, penyanyi atau group band yang mengisi soundtrack film-film tersebut ikut mendulang sukses. Harus diyakini bahwa kedua penulis itu menelurkan sebuah karya yang mesti muncul dari kegelisahan akan keadaan tanah air tercinta mereka. Terlepas dari aspek mana sorotan mereka. Tulisan ini mencoba menelisik lebih lanjut benih-benih kontribusi itu. Kang Abik adalah penulis produktif yang menyelesaikan program Strata satu dan Magisternya di Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar Kairo. Di Indonesia ia juga aktif dalam FLP (Forum Lingkar Pena). Sedangkan, Andrea merupakan pegawai telkom lulusan Magister Ekonomi, Universitas Sorbonne Paris, Perancis. Ia mengakui bahwa dirinya lebih merupakan pecinta sastra dan sang petualang. Sebelum menelurkan Ayat-ayat Cinta yang meraih sukses besar, Kang Abik telah banyak menulis baik berupa karya cerpen, puisi atau menerjemahkan kitab. Kumpulan cerpen Di Atas Sajadah Cinta berhasil diangkat ke layar sinetron pada sebuah stasiun Televisi Nasional. Berbeda dengan Andrea, Tetralogi Laskar Pelangi merupakan karya publikasi pertamanya dalam bidang sastra. Seri Laskar Pelangi merupakan kisah pergulatan kehidupan penulis di masa kecil sampai akhirnya berhasil menempuh pendidikan di Paris, yang tentunya dengan pendekatan sastra yang apik. Konsentrasinya dalam bidang dakwah memikat sutradara Hanung Bramantio mengangkat novel AAC menjadi film layar lebar bernuansa religi dan berhasil tayang pada tahun 2007. Meski film ini menuai banyak kritik, toh film ini tetap meraih respon luar biasa dari masyarakat. Di tahun 2008 giliran Andrea dengan Laskar Pelangi-nya, sebuah film besutan Sutradara Riri Reza. Film ini tak pelak menuai sukses besar, bahkan mampu menarik para Negarawan untuk menontonnya, sekaligus sebagai kritik atas sistem pendidikan di Indonesia yang cenderung masih materialistis.Satu tahun berselang, tepatnya tahun ini, Dwilogi yang berjudul Ketika Cinta Bertasbih juga di-filmkan oleh sutradara Zainal Arifin, masing-masing pada bulan Juni dan September. Kali ini Habiburrahman mencoba lebih ikut andil karena menghendaki film ini digarap lebih idealis. Film ini dibuat dua seri sesuai dengan novelnya. Seakan tidak mau kalah, Sang Pemimpi yang merupakan Novel kedua dari Tetralogi Laskar Pelangi tayang perdana dalam versi film pada 17 Desember dengan sutradara yang sama. Film ini diyakini oleh penulisnya sendiri akan lebih punya greget. Tidak habis sampai di sini, film selanjutnya Edensor yang merupakan Novel ketiga dari tetralogi tersebut sedang dalam proses penulisan skenario. Kang Abik yang nota bene-nya telah menghadirkan tiga film juga tengah mempersiapkan penerbitan Novel kelanjutan dari KCB yang berjudul Dari Sujud ke Sujud. Jaminan mutu dari tangan dingin Kang Abik tentu akan memberikan kontribusi anyar bagi masyarakat Indonesia. Dari sedikit gambaran di atas, kita akan memperoleh kesimpulan bahwa latar belakang mereka berbeda. Kang Abik merupakan sarjanawan Timur Tengah dan Andrea sarjanawan Barat. Keduanya bukan sarjanawan sastra, meski sama-sama menuangkan ide-idenya dalam karya sastra. Pun, tidak dipungkiri bahwa pandangan mereka terhadap Indonesia adalah hasil dari renungan yang renungan itu muncul dari arus peradaban di mana mereka tinggali selama menempuh pendidikan. Oleh karenanya, objek sorotan mereka berbeda meski sama-sama mengusung tema perjuangan. Selain mereka berdua banyak juga tokoh besar yang lahir dari dua peradaban besar tersebut. Sebut saja Nurkhalis Madjid alumnus Chicago, yang menyumbangkan pembaharuan pemikiran keislaman di Indonesia, B.J. Habibi dalam bidang Teknologi yang merupakan hasil didikan Jerman, Amin Rais yang satu almamater dengan Nurkhalis dalam pemikiran Politiknya, atau Gus Dur yang melanglang buana di Timur Tengah dengan banyak ide kreatifnya membangun bangsa. Dalam konsentrasi keislaman, Indonesia juga punya Quraish Shihab, satu almamater dengan Kang Abik, yang memperkenalkan banyak Khazanah ketimuran Islam, terutama dalam bidang Tafsir, bersama asistennya Mukhlis M Hanafi. Di Yogyakarya sebagai basis Pelajar, dapat ditemukan Profesor lulusan Harvard, Yudian Wahyudi, Nur Khalis Setiawan lulusan Bonn dan Sahiron Syamsudin dari Bamberg Jerman dengan banyak karya progresifnya dalam wacana ke-Islaman kontemporer. Sependapat atau tidak, harus diakui bahwa Indonesia memang belum bisa lepas sepenuhnya dari dua kutub peradaban tersebut. Bahkan banyak dari beberapa pemikiran tokoh-tokoh lulusan Barat atau Timur yang hanya mengadopsi pemikiran luar dan mengadaptasikannya di ranah Indonesia. Pengaruh peradaban yang meresap kepada sarjanawan tersebut tidaklah menjadi masalah selama menjadi kontribusi yang baik bagi kemajuan bangsa ini. Bahkan, mereka akan menjadi mutiara bagi bangsanya. *) Penulis adalah Aktifis Muda NU yang saat ini sedang menyelesaikan penelitian akhir pada Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. No Rek Bank BNI. 0025132462 a.n Siti Khaeriyah No HP. 0274 9302331