Anda di halaman 1dari 34

Status gizi dan IPM

Anak dengan status gizi kurang atau buruk mempunyai resiko memperoleh penyakit lebih tinggi bahkan
resiko kematian yang lebih tinggi dibanding anak normal. Seperti halnya yang dilaporkan oleh WHO
(2000) bahwa sebanyak 60% dari penyebab kematian pada anak balita disebabkan secara tidak langsung
oleh status gizi kurang. Bisa saja anak itu mengalami penyakit infeksi seperti diare, pneumonia, atau
morbili, tapi bila gizinya baik maka ada proteksi dalam tubuhnya sehingga penyakit yang dideritanya itu
tidak sampai menyebabkan kematian. Studi di beberapa negara memperlihatkan angka kematian anak
di daerah dengan jumlah anak kurus yang melebihi 10% tanpak lebih tinggi. Secara fisiologi, kondisi ini
dapat dijelaskan dengan sistem pertahanan tubuh yang lemah pada mereka yang kekurangan gizi
sehingga mudah memperoleh penyakit atau penyakitnya lebih parah dibanding anak yang normal.

Hubungan status gizi anak dengan kecerdasan telah banyak diteliti dalam 2 dekade terakhir ini. Para ahli
dapat menghitung besarnya kehilangan IQ sampai sebesar 15 point pada anak yang menderita gizi
buruk. Demikian pula pada mereka yang pendek, terdapat penurunan kecerdasan yang selama ini
dikaitkan dengan usia pertama kali masuk sekolah, tingginya angka drop-out, dan kesulitan
menyelesaikan sekolah pada waktunya. Pengaruh gizi terhadap kecerdasan secara sederhana dapat
dikaitkan dengan perkembangan otak anak yang dimulai sejak dalam kandungan sampai mencapai
maksimal sampai anak berusia 5 tahun. Digambarkan berat otak anak yang baru lahir hanya 25% berat
otak dewasa, pada saat anak berusia 2 tahun menjadi 70% berat otak dewasa, dan pada usia 5 tahun
sudah sampai sebesar 90% berat otak dewasa. Pertumbuhan otak yang luar biasa dalam 2-5 tahun
pertama ini memerlukan gizi yang sangat tinggi.

Disamping itu, otak merupakan organ yang dipakai berpikir dan pusat penerimaan rangsangan dari luar
di mana aktifitas ini memerlukan zat gizi dalam jumlah yang besar. Otak merupakan organ yang
membutuhkan sumber bahan bakar glukosa (monosakarida) dan secara proporsional mengkonsumsi
energi terbesar dibandingkan dengan organ tubuh lainnya. Otak juga membutuhkan protein, asam
lemak esensial, serta berbagai vitamin dan mineral. Zat gizi ini digunakan untuk memperbanyak sel
syaraf, memperlancar perjalanan syarat (neurotransmitter) dan berbagai aktifitas yang terkait dengan
fungsi otak lainnya.

Hubungan status gizi dengan produktifitas sangat jelas terlihat pada mereka dengan status gizi pendek
yang tidak dapat melakukan pekerjaan dengan intensitas yang berat. Selain status fisik (tinggi badan),
zat gizi mikro yang terkait dengan kapasitas otot, fungsi jantung dan peredaran darah seperti kurangnya
zat besi sangat terkait dengan tingkat produktifitas ini. Itulah sebabnya, kondisi status gizi yang normal
(tidak pendek) dan pemenuhan gizi optimal sangat diharapkan untuk memperoleh kapasitas produksi
yang maksimal dari setiap anggota masyarakat.

Pada bayi dan anak, kekurangan gizi akan menimbulkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan
yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Usia 0 – 24 bulan merupakan masa
pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas
sekaligus periode kritis. Periode emas dapat terwujudkan apabila pada masa ini bayi dan anak
memperoleh asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal. Sebaliknya apabila bayi dan anak
pada masa ini tidak memperoleh makanan sesuai kebutuhan gizinya, maka periode emas akan berubah
menjadi periode kritis yang akan mengganggu tumbuh kembang bayi dan anak, baik pada masa ini
maupun masa selanjutnya (Depkes RI, 2006).

kasus gizi buruk timbul karena adanya keengganan anggota masyarakat yang malas untuk datang
ke posyandu menimbangkan bayinya. Selain itu, kasus gizi buruk juga diakibatkan tidak
terpenuhinya kebutuhan gizi yang cukup pada balita, hal ini dikarenakan rendahnya pendapatan
masyarakat sehingga pola gizi makanan balita tidak terpenuhi dengan baik. “Penanganan kasus
gizi buruk tersebut, Dinas Kesehatan Pemkab Jember telah menganggarkan dana, sehingga
begitu ada kasus gizi buruk maka dinas kesehatan melakukan langkah-langkah untuk
memulihkan kondisi balita penderita gizi buruk tersebut”. Ungkapnya.

Gizi buruk biasanya terjadi diawali dengan kekurangan gizi yang tidak segera mendapat
penanganan dari orang tua, sehingga bila sudah terjadi gizi buruk maka yang balita tersebut
rentan akan penyakit lainnya seperti TBC, karena kondisi badan atau metabolism tubuh yang
lemah. sehingga bisa menyebabkan kematian pada penderita gizi buruk. Gejala awal dari gizi
buruk pada balita ditandai dengan diare dan tubuh yang membengkak, diikuti oleh kulit yang
mengelupas, bahkan wajah balita kelihatan keriput seperti orang yang sudah tua padahal masih
balita,” jelas Olong.

Lebih lanjut Olong juga menjelaskan, Kekurangan gizi merupakan penyebab utama pada tingkat
kecerdasan balita yang tidak maksimal, balita akan mengalami pertumbuhan yang sangat lambat
dibanding balita yang lainnya. Balita yang mengalami gizi buruk bisa mengakibatkan terjadi
ketidak seimbangan antara berat badan dan tinggi badan dengan umur, balita akan menjadi
gampang menangis atau rewel tanpa sebab yang jelas dan susah untuk tidur.

Oleh karena itu, kata Olong, jika ada orangtua yang memiliki balita dengan gejala-gejala serupa,
diharapkan orangtua harus cepat dan tanggap untuk memeriksakan anaknya ke posyandu, bidan
desa, puskesmas, maupun rumah sakit. Mengingat pemerintah telah menempatkan bidang
kesehatan sebagai salah satu dari empat prioritas pembangunan utama, termasuk salah satunya
memberi perhatian serius pada penanganan gizi buruk.

Sementara itu Kabag Humas Pemkab Jember Drs. Agus Slameto, MSi juga menjelaskan bahwa
upaya keseriusan Dinkes untuk menekan jumlah penderita gizi buruk melalui posyandu atau
bakhakn puskesman di Kabupaten Jember, merupakan langkah yang perlu dukungan semua
pihak, tidak hanya dukungan pemerintah melainkan dukungan masyarakat melelui kesdaran
masyarakat untuk setiap saat membawa balitanya ke posyandu-posyandu yang ada, sehingga
kedepan di Kab Jember tidak ada lagi penderita gizi buruk. Mengingat balita atau anak
merupakan aset bangsa yang harus diselamatkan dari gizi buruk, dengan terpenuhinya kebutuhan
gizi yang cukup setiap harinya maka balita tersebut akan tumbuh dengan memiliki kecerdasan
yang tinggi sehingga bisa menjadi generasi muda harapan bangsa kelak dikemudian hari.

Agoes juga mengingatkan pada masyarakat bahwa kesehatan juga merupakan salah satu program
yang saat ini di galakkan baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat untuk
meningkatkan Human Development Indexs (HDI) dalam rangka memenuhi target Mellenium
Developomen Golds (MDG’s) yang telah menjadi kesepakan bersama negara-negara
berkembang termasuk Indonesia, ungkapnya.(mc_humsd/jbr/jb 3)

PEMBAHASAN

Menurut (Santoso, Soegeng, Ranti, Anne Lies.2004) gizi adalah suatu proses organisme
menggunakan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi,
penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk
mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ serta
menghasilkan energi. Gizi buruk merupakan suatu gangguan pada tubuh yang diakibatkan
kekurangan asupan gizi atau kesalahan persepsi para orangtua akan kandungan gizi pada
makanan.
1. Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Gizi Buruk
Menurut (Arisman. 2004), anak mengalami gizi buruk karena disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya; (a) ekonomi yaitu masalah ekonomi yang rendah merupakan salah satu
faktor yang sangat dominan dialami oleh banyak keluarga. Dalam mencukupi kebutuhan gizi
anak banyak orangtua yang merasa kesulitan, penyebabnya adalah keadaan ekonomi yang lemah,
penghasilan dari pekerjaan kurang mencukupi dan harga dari bahan makanan yang mahal.
Padahal, masa kritis gizi buruk yang dialami anak terjadi pada usia antara 1 sampai 3 tahun.; (b)
sanitasi yaitu kondisi sanitasi yang kurang baik di rumah dapat berimbas pada kondisi kesehatan
anggota keluarga, terlebih anak-anak. Buruknya sanitasi juga dapat mencemari beberapa bahan
makanan yang akan diolah menjadi masakan.; (c) pendidikan orangtua yaitu orangtua seharusnya
mempunyai pengetahuan yang lebih mengenai pentingnya asupan gizi yang cukup bagi anak.
Rendahnya tingkat pendidikan orangtua sehingga mereka tidak mampu untuk menyediakan
jumlah gizi yang dibutuhkan anak. “Ibu merupakan kunci dari pemenuhan gizi anak-anak, dan
kunci untuk mengatasi gizi buruk,” ujar Saptawati. Orangtua yang tidak tahu mengenai
pentingnya asupan gizi bagi anak akan cenderung untuk acuh dan menganggapnya tidak
penting.; (d) perilaku orangtua yaitu banyak dari orangtua yang beranggapan bahwa dirinya
adalah yang paling tahu, sebenarnya mereka masih memerlukan bantuan bimbingan dari para
ahli gizi dan medis untuk mengatasi permasalahan kesehatan dan gizi yang dialaminya. “Ada
persepsi yang salah dari para orangtua ketika mereka datang ke posyandu. Seringkali mereka
malas datang karena takut diceramahi dan dimarahi dokter tentang masalah gizi,” kata Saptawati.
Perilaku dan pola pikir orang tua yang seperti itu menyebabkan anak selalu dalam kondisi gizi
buruk dan anak menjadi lebih rentan terhadap sakit.

2. Masalah pada Anak yang Mengalami Gizi Buruk

Menurut (Moehji, Sjahmien. 1999) penampilan anak-anak penderita gizi buruk umumnya
sangat khas, terutama bagianperut yang menonjol. Berat badannya jauh di bawah berat normal.
Edemastadium berat maupun ringan biasanya menyertai penderita ini. Beberapa ciri lain yang
menyertai di antaranya sebagai berikut a) perubahan mental menyolok yaitu banyak menangis
pada stadium lanjut anak terlihat sangat pasif, b) penderita nampak lemah dan ingin selalu
terbaring, c) anemia, d) diare dengan feses cair yang banyak mengandung asam lakat karena
berkurangnya produksi laktase dan enzim penting lainnya, e) kelainan kulit yang khas, dimulai
dengan titik merah menyerupai petechia (perdarahan kecil yang timbul sebagai titik berwarna
merah keunguan, padakulit maupun selaput lendir, Red.) yang lambat laun kemudian menghitam
setelah mengelupas terlihat kemerahan dengan batas menghitam yaitu kelainan inibiasanya
dijumpai di kulit sekitar punggung, pantat, dan sebagainya, f) pembesaran hati yaitu akan saat
rebahan, pembesaran ini dapat diraba dari luartubuh, terasa licin dan kenyal.

Menurut (Ibnu, dkk. 2001) akibat kekurangan gizi, maka simpanan zat gizi pada tubuh
digunakan untuk memenuhi kebutuhan apabila keadaan ini berlangsung lama maka simpanan zat
gizi akan habis dan akhirnya terjadi kemerosotan jaringan. Pada saat ini orang bias dikatakan
malnutrisi. Seseorang yang gizi buruk oleh rendahnya konsumsi energy dan protein dalam
makanan sehari-hari. Pada umumnya, penderita ini berasal dari keluarga yang berpenghasilan
rendah, tanda-tanda klinis gizi buruk dapat menjadi indicator yang sangat penting untuk
mengetahui seseorang menderita gizi buruk. Kebutuhan tubuh akan zat gizi ditentukan oleh
banyaknya faktor. Data komposisi gizi bahan makanan yang berhubungan dengan berbagai
proses belum cukup tersedia, pemeriksaan zat gizi spesifik bertujuan untuk menilai status gizi.
Zatgizi yang terdapat pada Angka Kecukupan Gizi (AKG) hanyalah gizi yang penting yaitu
energi, protein, vit A, C, B 12, Tiamin, Riboflavin, Niasin, Asam Folat, Kalsium, Fosfor,
ZatBesi, Zink, dan Yodium. Ada beberapa penyakit yang berhubungan dengan gizi
yaitupenyakit gizi lebih (obesitas), gizi buruk (malnutrisi), metabolic bawaan, keracunan
makanan, dan lain-lain. Gangguan gizi buruk menggambarkan suatu keadaan pathologis yang
terjadi akibat ketidaksesuaian/tidak terpenuhinya antara zat gizi yang masuk kedalam tubuh
dengan kebutuhan tubuh akan zat gizi dalam jangka waktu yang relatif lama. Ilmu giziadalah
suatu cabang ilmu pengetahuan yang khusus mempelajari hubungan antara makanan yang kita
makan dan kesehatan tubuh. Hubungan antara makanan dan kesehatan tubuh sudah diketahui
sejak berabad-abad yang lampau. Penyakit-penyakit yang timbul akibat makanan kurang baik
seperti makanan yang tidak cukup gizinya atau kadar zat gizinya tak seimbang disebut penyakit
gangguan gizi yang pertama kali dikenal adalah penyakit

3. Solusi untuk Menanggulangi Gizi Buruk pada Anak

Menurut (Moehji, Sjahmien. 1999) kasus gizi buruk dan gizi kurang ditengarai akibat
rendahnya pengetahuan orang tua mengenai gizi keluarga, faktor ekonomi keluarga yang tidak
memadai, faktor sosial budaya serta sanitasi rumah tangga yang buruk sehingga anak tidak
mendapat asupan gizi yang cukup dan mudah terkena penyakit infeksi.Masalah gizi di Indonesia
ini harus ditanggulangi dengan pendekatan multi dimensional yang komprehensif dan tidak
cukup hanya dengan memberikan makanan bergizi. Namun juga diperlukan usaha untuk
meningkatkan pengetahuan orang tua akan gizi. Seperti bagaimana memberdayakan ayah dan
ibunya agar mengetahui, mendapatkan dan mampu membudidayakan sumber pangan bergizi,
serta mengolahnya dengan memperkecil kerusakan kandungan gizi dan bagaimana memberi
makan pada anak. Hal ini termasuk menanamkan Perilaku Hidup Bersih Sehat dengan sanitasi
rumah tangga. Budidaya sumber pangan selain ditujukan untuk memenuhi kebutuhan gizi anak
juga ditujukan untuk meningkatkan pendapatan keluarga.Pemerintah dan sektor swasta berperan
penting dalam menciptakan suasana kondusif dan memfasilitasi edukasi serta pemberdayaan
masyarakat namun yang terpenting adalah kesadaran dan komitmen masyarakat itu sendiri untuk
meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan generasi muda anak-anak Indonesia yang sehat
dan berkualitas.
KESIMPULAN

Ada 4 faktor yang melatarbelakangi gizi buruk yaitu :ekonomi, sanitasi, pendidikan
orangtua, dan perilaku orangtua. Kemiskinan salah satu determinan social-ekonomi, merupakan
akar dariketiadaan pangan, tempat mukim yang berjejalan, dan tidak sehat serta
ketidakmampuanmengakses fasilitas kesehatan. Malnutrisi masih saja melatarbelakangi penyakit
dan kematiananak. Kurang kalori protein sesungguhnya berpeluang menyerap siapa saja,
terutama bayidan anak yang tengah tumbuh-kembang. Gizi buruk cenderung menyerang setelah
merekaberusia 18 bulan. Penilaian status gizi masyarakat memerlukan kebijakan yang
menjaminsetiap anggota masyarakat mendapatkan makanan yang cukup jumlah dan mutunya.
Giziyang diperoleh seorang anak melalui konsumsi makanan setiap hari. Kecukupan zat
giziberpengaruh pada kesehatan dan kecerdasan anak.Kasus gizi buruk bukanlah jenis
penyakityang datang tiba-tiba begitu saja. Tetapi karena proses yang menahun terus bertumpuk
danmenjadi kronik saat mencapai puncaknya. Masalah defisiensi gizi
khususnyamenjadiperhatian karena berbagai penelitian menunjukan adanya efek jangka panjang
terhadappertumbuhan dan perkembangan otak manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Arisman. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta: BukuKedokteran
EGC.Fajar,

Ibnu, dkk. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

Moehji, Sjahmien. 1999. Ilmu Gizi. Jakarta : Bhratara.


Santoso, Soegeng, Ranti, Anne Lies.2004. Kesehatan dan Gizi. Jakarta : Rineka Cipta.

ANALISIS FAKTOR PENYEBAB GIZI BURUK TERHADAP ANAK TIDAK MAMPU

ABSTRAK

Adapun faktor yangmendorong terjadinyagizi buruk terutama pada anak.Dengan


ketidaktahuan akan hubungan makanan dan kesehatan,prasangka buruk terhadap bahan makanan
tertentu, adanya kebiasaan/pantangan yangmerugikan, kesukaan berlebihan terhadap jenis
makanan tertentu,keterbatasan penghasilankeluarga, dan jarak kelahiran yang rapat. Kemiskinan
masih merupakan bencana bagi jutaan manusia. Sekelompokkecil penduduk dunia berpikir
“hendak makan dimana” sementara kelompok lainmasih berkutat memeras keringat untuk
memperoleh sesuap nasi. Dibandingkan orang dewasa, kebutuhan akan zatgizi bagi bayi, balita,
dan anak-anak boleh dibilang sangat kecil. Namun, jika diukurberdasarkan % (persen) berat
badan, kebutuhan akan zat gizi bagi bayi, balita, dan anak-anak ternyata melampaui orang
dewasa nyaris dua kali lipat.

KATA KUNCI (maksimal 5 kata kunci)

Gizi, Bayi, Balita, Anak-anak, keterbatasan

LATAR BELAKANG

Masalah gizi muncul akibat masalah ketahanan pangan ditingkat rumah tangga
(kemampuan memperoleh makanan untuk semua anggotanya), masalah kesehatan dan
kemiskinan. Indonesia mengalami masalah gizi ganda yang artinya sementara masalah gizi
kurang belum dapat diatasi secara menyeluruh sudah muncul masalah baru.Sekarang ini masalah
gizi mengalami perkembangan yang sangat pesat,Malnutrisi masih saja melatarbelakangi
penyakit dan kematian anak, meskipun sering luputdari perhatian.Gizi seseorang dapat
dipengaruhi terhadap prestasi kerja dan produktivitas. Pengaruh giziterhadap perkembangan
mental anak. Hal ini sehubungan dengan terhambatnya pertumbuhan sel otak yang terjadi pada
anak yang menderita gangguan gizi pada usia sangat muda bahkan dalam kandungan. Berbagai
faktor yang secara tidak langsung mendorong terjadinyagangguan gizi terutama pada balita.
Ketidaktahuan akan hubungan makanan dan kesehatan,prasangka buruk terhadap bahan makanan
tertentu, adanya kebiasaan/pantangan yangmerugikan, kesukaan berlebihan terhadap jenis
makanan tertentu, keterbatasan penghasilankeluarga, dan jarak kelahiran yang rapat.

METODE

Dari artikel ilmiah yang ditulis didapatkan sumber dan referensi penulisan dengan mencari
literatur dari berbagai buku tentang gizi buruk dan faktor yang menyebabkan terjadinya gizi
buruk. Dari referensi tersebut dapat disimpulkan dengan artikel ilmiah ini. Selain itu dapat
ditemukan berita dari internet tentang gizi buruk di zaman sekarang. Dan dapat dilihat dari
bertambahnya anak gizi buruk di Indonesia yang semakin tinggi.

PEMBAHASAN

Menurut (Santoso, Soegeng, Ranti, Anne Lies.2004) gizi adalah suatu proses organisme
menggunakan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi,
penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk
mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ serta
menghasilkan energi. Gizi buruk merupakan suatu gangguan pada tubuh yang diakibatkan
kekurangan asupan gizi atau kesalahan persepsi para orangtua akan kandungan gizi pada
makanan.
1. Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Gizi Buruk
Menurut (Arisman. 2004), anak mengalami gizi buruk karena disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya; (a) ekonomi yaitu masalah ekonomi yang rendah merupakan salah satu
faktor yang sangat dominan dialami oleh banyak keluarga. Dalam mencukupi kebutuhan gizi
anak banyak orangtua yang merasa kesulitan, penyebabnya adalah keadaan ekonomi yang lemah,
penghasilan dari pekerjaan kurang mencukupi dan harga dari bahan makanan yang mahal.
Padahal, masa kritis gizi buruk yang dialami anak terjadi pada usia antara 1 sampai 3 tahun.; (b)
sanitasi yaitu kondisi sanitasi yang kurang baik di rumah dapat berimbas pada kondisi kesehatan
anggota keluarga, terlebih anak-anak. Buruknya sanitasi juga dapat mencemari beberapa bahan
makanan yang akan diolah menjadi masakan.; (c) pendidikan orangtua yaitu orangtua seharusnya
mempunyai pengetahuan yang lebih mengenai pentingnya asupan gizi yang cukup bagi anak.
Rendahnya tingkat pendidikan orangtua sehingga mereka tidak mampu untuk menyediakan
jumlah gizi yang dibutuhkan anak. “Ibu merupakan kunci dari pemenuhan gizi anak-anak, dan
kunci untuk mengatasi gizi buruk,” ujar Saptawati. Orangtua yang tidak tahu mengenai
pentingnya asupan gizi bagi anak akan cenderung untuk acuh dan menganggapnya tidak
penting.; (d) perilaku orangtua yaitu banyak dari orangtua yang beranggapan bahwa dirinya
adalah yang paling tahu, sebenarnya mereka masih memerlukan bantuan bimbingan dari para
ahli gizi dan medis untuk mengatasi permasalahan kesehatan dan gizi yang dialaminya. “Ada
persepsi yang salah dari para orangtua ketika mereka datang ke posyandu. Seringkali mereka
malas datang karena takut diceramahi dan dimarahi dokter tentang masalah gizi,” kata Saptawati.
Perilaku dan pola pikir orang tua yang seperti itu menyebabkan anak selalu dalam kondisi gizi
buruk dan anak menjadi lebih rentan terhadap sakit.

2. Masalah pada Anak yang Mengalami Gizi Buruk

Menurut (Moehji, Sjahmien. 1999) penampilan anak-anak penderita gizi buruk umumnya
sangat khas, terutama bagianperut yang menonjol. Berat badannya jauh di bawah berat normal.
Edemastadium berat maupun ringan biasanya menyertai penderita ini. Beberapa ciri lain yang
menyertai di antaranya sebagai berikut a) perubahan mental menyolok yaitu banyak menangis
pada stadium lanjut anak terlihat sangat pasif, b) penderita nampak lemah dan ingin selalu
terbaring, c) anemia, d) diare dengan feses cair yang banyak mengandung asam lakat karena
berkurangnya produksi laktase dan enzim penting lainnya, e) kelainan kulit yang khas, dimulai
dengan titik merah menyerupai petechia (perdarahan kecil yang timbul sebagai titik berwarna
merah keunguan, padakulit maupun selaput lendir, Red.) yang lambat laun kemudian menghitam
setelah mengelupas terlihat kemerahan dengan batas menghitam yaitu kelainan inibiasanya
dijumpai di kulit sekitar punggung, pantat, dan sebagainya, f) pembesaran hati yaitu akan saat
rebahan, pembesaran ini dapat diraba dari luartubuh, terasa licin dan kenyal.

Menurut (Ibnu, dkk. 2001) akibat kekurangan gizi, maka simpanan zat gizi pada tubuh
digunakan untuk memenuhi kebutuhan apabila keadaan ini berlangsung lama maka simpanan zat
gizi akan habis dan akhirnya terjadi kemerosotan jaringan. Pada saat ini orang bias dikatakan
malnutrisi. Seseorang yang gizi buruk oleh rendahnya konsumsi energy dan protein dalam
makanan sehari-hari. Pada umumnya, penderita ini berasal dari keluarga yang berpenghasilan
rendah, tanda-tanda klinis gizi buruk dapat menjadi indicator yang sangat penting untuk
mengetahui seseorang menderita gizi buruk. Kebutuhan tubuh akan zat gizi ditentukan oleh
banyaknya faktor. Data komposisi gizi bahan makanan yang berhubungan dengan berbagai
proses belum cukup tersedia, pemeriksaan zat gizi spesifik bertujuan untuk menilai status gizi.
Zatgizi yang terdapat pada Angka Kecukupan Gizi (AKG) hanyalah gizi yang penting yaitu
energi, protein, vit A, C, B 12, Tiamin, Riboflavin, Niasin, Asam Folat, Kalsium, Fosfor,
ZatBesi, Zink, dan Yodium. Ada beberapa penyakit yang berhubungan dengan gizi
yaitupenyakit gizi lebih (obesitas), gizi buruk (malnutrisi), metabolic bawaan, keracunan
makanan, dan lain-lain. Gangguan gizi buruk menggambarkan suatu keadaan pathologis yang
terjadi akibat ketidaksesuaian/tidak terpenuhinya antara zat gizi yang masuk kedalam tubuh
dengan kebutuhan tubuh akan zat gizi dalam jangka waktu yang relatif lama. Ilmu giziadalah
suatu cabang ilmu pengetahuan yang khusus mempelajari hubungan antara makanan yang kita
makan dan kesehatan tubuh. Hubungan antara makanan dan kesehatan tubuh sudah diketahui
sejak berabad-abad yang lampau. Penyakit-penyakit yang timbul akibat makanan kurang baik
seperti makanan yang tidak cukup gizinya atau kadar zat gizinya tak seimbang disebut penyakit
gangguan gizi yang pertama kali dikenal adalah penyakit

3. Solusi untuk Menanggulangi Gizi Buruk pada Anak

Menurut (Moehji, Sjahmien. 1999) kasus gizi buruk dan gizi kurang ditengarai akibat
rendahnya pengetahuan orang tua mengenai gizi keluarga, faktor ekonomi keluarga yang tidak
memadai, faktor sosial budaya serta sanitasi rumah tangga yang buruk sehingga anak tidak
mendapat asupan gizi yang cukup dan mudah terkena penyakit infeksi.Masalah gizi di Indonesia
ini harus ditanggulangi dengan pendekatan multi dimensional yang komprehensif dan tidak
cukup hanya dengan memberikan makanan bergizi. Namun juga diperlukan usaha untuk
meningkatkan pengetahuan orang tua akan gizi. Seperti bagaimana memberdayakan ayah dan
ibunya agar mengetahui, mendapatkan dan mampu membudidayakan sumber pangan bergizi,
serta mengolahnya dengan memperkecil kerusakan kandungan gizi dan bagaimana memberi
makan pada anak. Hal ini termasuk menanamkan Perilaku Hidup Bersih Sehat dengan sanitasi
rumah tangga. Budidaya sumber pangan selain ditujukan untuk memenuhi kebutuhan gizi anak
juga ditujukan untuk meningkatkan pendapatan keluarga.Pemerintah dan sektor swasta berperan
penting dalam menciptakan suasana kondusif dan memfasilitasi edukasi serta pemberdayaan
masyarakat namun yang terpenting adalah kesadaran dan komitmen masyarakat itu sendiri untuk
meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan generasi muda anak-anak Indonesia yang sehat
dan berkualitas.

KESIMPULAN

Ada 4 faktor yang melatarbelakangi gizi buruk yaitu :ekonomi, sanitasi, pendidikan
orangtua, dan perilaku orangtua. Kemiskinan salah satu determinan social-ekonomi, merupakan
akar dariketiadaan pangan, tempat mukim yang berjejalan, dan tidak sehat serta
ketidakmampuanmengakses fasilitas kesehatan. Malnutrisi masih saja melatarbelakangi penyakit
dan kematiananak. Kurang kalori protein sesungguhnya berpeluang menyerap siapa saja,
terutama bayidan anak yang tengah tumbuh-kembang. Gizi buruk cenderung menyerang setelah
merekaberusia 18 bulan. Penilaian status gizi masyarakat memerlukan kebijakan yang
menjaminsetiap anggota masyarakat mendapatkan makanan yang cukup jumlah dan mutunya.
Giziyang diperoleh seorang anak melalui konsumsi makanan setiap hari. Kecukupan zat
giziberpengaruh pada kesehatan dan kecerdasan anak.Kasus gizi buruk bukanlah jenis
penyakityang datang tiba-tiba begitu saja. Tetapi karena proses yang menahun terus bertumpuk
danmenjadi kronik saat mencapai puncaknya. Masalah defisiensi gizi
khususnyamenjadiperhatian karena berbagai penelitian menunjukan adanya efek jangka panjang
terhadappertumbuhan dan perkembangan otak manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Arisman. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta: BukuKedokteran
EGC.Fajar,

Ibnu, dkk. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

Moehji, Sjahmien. 1999. Ilmu Gizi. Jakarta : Bhratara.


Santoso, Soegeng, Ranti, Anne Lies.2004. Kesehatan dan Gizi. Jakarta : Rineka Cipta.

Menurut Soekirman (1999) dalam Made Amin et al. (2004) menyatakan bahwa penyebab dari tingginya
prevalensi gizi kurang secara langsung adalah adanya asupan gizi yang tidak sesuai antara yang
dikonsumsi dengan kebutuhan tubuh, dimana asupan gizi secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola
pengasuhan terhadap anak yang diberikan oleh ibu. Hal ini senada dengan pernyataan Irawan (2004)
yang menyebutkan bahwa gizi kurang dan gizi buruk adalah manifestasi karena kurangnya asupan dari
protein dan energi dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi AKG dan biasanya juga
terdapat kekurangan dari beberapa nutrisi lainnya. Konsumsi makanan yang tidak adekuat ini erat pula
kaitannya dengan keadaan infeksi pada anak balita. Anak yang tidak cukup mendapatkan makanan maka
daya tahannya akan melemah sehingga mudah diserang infeksi yang akan mengurangi nafsu makan
sehingga pada akhirnya dapat menderita gizi kurang (Proyek Perbaikan Gizi Masyarakat, 2001).

b. Konsumsi makanan PMT-P yang tidak adekuat

Salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi gizi buruk adalah dengan PMT-P. PMT-P bertujuan
memulihkan keadaan gizi anak balita gizi buruk melalui pemberian makanan dengan kandungan gizi
yang terukur sehingga kebutuhan gizi balita terpenuhi. Sasaran PMT-P adalah anak balita gizi buruk yang
dirawat di tingkat rumah tangga (Wonatorey et al., 2006). Terpenuhinya kebutuhan gizi anak balita
tergantung dari asupan zat gizi anak balita. Bagi anak balita gizi kurang ataupun gizi buruk yang
mendapat PMT-P, maka asupan zat gizi anak balita yang dimaksud adalah semua makanan dan
minuman yang dikonsumsi oleh anak balita dalam satu hari sebelumnya, terdiri dari makanan yang
berasal dari paket PMT-P dan makanan yang diberikan sehari-hari (Wonatorey et al., 2006). Dalam
penelitiannya, Made Amin et al. (2004) mengungkapkan bahwa semakin baik asupan gizi maka semakin
baik status gizi anak dan ditemukan adanya hubungan yang bermakna. Hal ini sejalan dengan yang
dikemukakan Soekirman (1999) bahwa asupan gizi berpengaruh pada status gizi yang baik akan tercipta
status gizi yang baik (Made Amin et al., 2004). Oleh karena itu, konsumsi makanan PMT-P yang tidak
adekuat juga akan berpengaruh terhadap status gizi anak balita.

c. Penyakit infeksi

WHO (1976) dalam Suryono dan Supardi (2004) mengidentifikasikan faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap status gizi adalah infeksi, distribusi zat gizi pada anggota keluarga, ketersediaan pangan serta
penghasilan rumah tangga. Anak-anak dengan gizi buruk daya tahannya menurun sehingga mudah
terserang infeksi. Penyakit infeksi yang sering diderita oleh anak dengan gizi buruk adalah diare dan ISPA
(United Nation, 1997 dalam Suryono dan Supardi, 2004). Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
anak gizi buruk dengan gejala klinis umumnya disertai dengan penyakit infeksi seperti diare, ISPA,
tuberkulosis (TB) serta penyakit infeksi lainnya (Direktorat Bina Gizi Masyarakat, 2007). Menurut
Scrimshaw et al. (1959) dalam Supariasa (2001) menyatakan bahwa ada hubungan yang sangat erat
antara infeksi (bakteri, virus, dan parasit) dengan malnutrisi. Mereka menekankan interaksi yang sinergis
antara malnutrisi dengan penyakit infeksi dan juga infeksi akan mempengaruhi status gizi dan
mempercepat malnutrisi. Mekanisme patologisnya dapat bermacam-macam, baik secara sendiri-sendiri
maupun bersamaan, yaitu:

1) Penurunan asupan zat gizi akibat kurangnya nafsu makan, menurunnya absorpsi, dan kebiasaan
mengurangi makan pada saat sakit;

2) Peningkatan kehilangan cairan atau zat gizi akibat penyakit diare, mual atau muntah dan perdarahan
yang terus-menerus;

3) Meningkatnya kebutuhan, baik dari peningkatan kebutuhan akibat sakit (human host) dan parasit
yang terdapat di dalam tubuh.

d. Penyakit bawaan

Penyebab Gizi buruk sangat banyak dan bervariatif. Beberapa faktor bisa berdiri sendiri atau terjadi
bersama-sama. Di Kabupaten Kulonprogo, Gizi Burukala Dinas Kesehatan Kulonprogo, dr.Lestaryono,
Mkes. mengungkapkan bahwa cukup banyak anak gizi buruk di Kabupaten Kulonprogo yang faktor
utama penyebabnya adalah penyertaan penyakit bawaan seperti hydrocephalus dan jantung bawaan
dimana tingkat keberhasilan penyembuhannya relatif kecil (Judarwanto, 2008).

e. Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)

Bayi baru lahir memerlukan kebutuhan yang sangat spesifik karena pada hari-hari pertama
kehidupannya memerlukan adaptasi fisiologis dan psikologis dari lingkungan intrauterin ke lingkungan
ekstrauterin. Perawatan yang dibutuhkan terutama berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan
nutrisi, kebersihan diri, perawatan tali pusat dan kebutuhan istirahat tidur (Sacharin, 1996 dalam
Rohmah et al., 2008). Pada bayi dengan berat lahir rendah maka perlu dilakukan perawatan yang lebih
ekstra terutama terkait dengan pemenuhan kebutuhan nutrisi bayi, karena akan berpengaruh terhadap
status gizinya. Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir kurang dari 2500 gram (2,5
kilogram). Bayi BBLR prematur atau kecil untuk umur kehamilannya (Moore dalam Melfiati, Ed., 1994).
Hadi (2005) menyebutkan bahwa keadaan risiko pada anak balita gizi kurang dimulai pada bayi dengan
BBLR yang mempunyai risiko lebih tinggi untuk meninggal dalam lima tahun pertama kehidupan. Bayi
non BBLR dengan asupan gizi kurang dari kebutuhan serta masa rentan terinfeksi kuman penyakit di
awal kehidupan dapat mengakibatkan penurunan status gizi. Angka teringgi yang menunjukkan adanya
penurunan status gizi anak balita lahir non BBLR di Indonesia terdapat pada kelompok umur 18–24
bulan (Hadi, 2001 dalam Hadi, 2005). Semakin kecil dan semakin prematur bayi maka semakin tinggi
risiko gizinya (Moore dalam Melfiati, Ed., 1994).

2.4.2 Faktor yang Secara Tidak Langsung Mempengaruhi Kejadian Gizi Buruk pada Anak Balita

a. Karakteristik Anak Balita

1) Umur

Anak balita (bawah lima tahun) atau berumur 0-59 bulan merupakan kelompok umur yang paling rentan
menderita KEP karena sedang dalam masa pertumbuhan sehingga memerlukan asupan gizi yang
memadai baik kualitas maupun kuantitasnya (Soeditama, 2004). Masa kanak-kanak 1-5 tahun
merupakan masa dimana kegiatan fisik anak meningkat. Menurut Muaris (2006), pertumbuhan seorang
anak pada usia balita sangat pesat sehingga memerlukan asupan gizi yang sesuai dengan kebutuhannya.
Berdasarkan hal tersebut, apabila asupan gizi pada masa balita tidak tercukupi maka akan mengarah
pada kondisi kenaikan berat badan yang tidak memadai sehingga anak balita menjadi BGM. Selain itu,
usia balita terutama pada usia 1-3 tahun merupakan masa pertumbuhan yang cepat (growth spurt), baik
fisik maupun otak sehingga memerlukan kebutuhan gizi yang paling banyak dibandingkan masa-masa
berikutnya. Pada masa ini anak sering mengalami kesulitan makan, apabila kebutuhan nutrisi tidak
ditangani dengan baik maka akan mudah terjadi kekurangan energi protein (Marizza, 2006).

2) Jenis Kelamin

Menurut Almatsier (2005), tingkat kebutuhan pada anak laki-laki lebih banyak jika dibandingkan dengan
perempuan. Begitu juga dengan kebutuhan energi, sehingga laki-laki mempunyai peluang untuk
menderita KEP ysng lebih tinggi daripada perempuan apabila kebutuhan akan protein dan energinya
tidak terpenuhi dengan baik. Kebutuhan yang tinggi ini disebabkan aktivitas anak laki-laki lebih tinggi
dibandingkan dengan anak perempuan sehingga membutuhkan gizi yang tinggi. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Suryono dan Supardi (2004), yang menyatakan bahwa jumlah anak balita yang
mengalami KEP maupun Non-KEP mayoritas perempuan (58,5%). Selain itu hasil penelitian yang
dilakukan oleh Dewi (2008), menunjukkan bahwa sebanyak 61,6% anak balita perempuan memiliki nafsu
makan yang kurang sehingga mempengaruhi pola konsumsi dan tingkat konsumsi yang akan
mempengaruhi status gizi pada anak balita.

3) Jarak Kelahiran
Jarak kelahiran anak yang terlalu dekat dan jumlah anak yang terlalu banyak akan mempengaruhi
asupan zat gizi dalam keluarga (Supariasa et al., 2001). Keluarga dengan banyak anak apalagi yang selalu
ribut akan berpengaruh pada ketenangan jiwa dan secara tidak langsung akan menurunkan nafsu makan
(Soetjiningsih, 1998). Sebuah keluarga yang memiliki jarak kelahiran yang terlalu dekat dengan anak
sebelumnya akan mengalami kerepotan untuk mengurusnya karena anak-anak tersebut masih belum
bisa mandiri mengurus dirinya sendiri.

4) Nomor Urut Anak

Dalam acara makan bersama seringkali anak-anak yang lebih kecil mendapatkan jatah yang kurang
mencukupi (Apriadji, 1986). Jumlah anak yang banyak pada keluarga yang keadaan sosial ekonominya
cukup akan mengakibatkan berkurangnya perhatian dan kasih sayang yang diterima anak. Sedangkan
pada keluargha dengan keadaan sosial ekonomi yang kurang, jumlah anak yang banyak akan
mengakibatkan selain kurangnya kasih sayang dan perhatian pada anak juga kebutuhan primer seperti
makanan, sandang, dan perumahan pun tidak terpenuhi (Soetjiningsih, 1998). Terkait dengan kejadian
kurang energi protein, nomor urut anak berhubungan dengan prioritas gizi dalam keluarga. Prioritas gizi
yang salah pada keluarga menunjuk pada kondisi yang biasanya lebih memprioritaskan makanan untuk
anggota keluarga yang lebih besar (sepertia ayah atau kakak tertua) dibandingkan anak balita (terutama
yang berusia dibawah dua tahun) sehingga apabila makan bersama-sama maka anak balita akan kalah
(Rasni, 2009).

b. Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga

1) Jumlah Anggota Keluarga

Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan. Menurut Suhardjo (dalam Wahid,
2007) mengatakan bahwa hubungan sangat nyata antara besar keluarga dan kurang gizi pada masing-
masing keluarga. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya
pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata. Pangan
yang tersedia untuk suatu keluarga besar mungkn hanya cukup untuk mencegah timbulnya gangguan
gizi pada keluarga besar. Seperti juga yang dikemukakan Berg dan Sayogyo (1986), bahwa jumlah anak
yang menderita kelaparan pada keluarga besar, empat kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga
kecil. Anak-anak yang mengalami gizi kurang pada keluarga beranggota banyak, lima kali lebih besar
dibandingkan dengan keluarga beranggota sedikit. Hal ini didukung oleh pendapat Apriadi (1986) bahwa
semakin besar jumlah anggota keluarga maka pengeluaran untuk makan besar pula dan proporsi makan
setiap individu keluarga akan berkurang sehingga mereka memperoleh makanan dengan kuantitas dan
kualitas yang rendah. Hasil penelitian yang dilakukan Alam (2002), juga menyatakan bahwa anak dalam
keluarga kecil memiliki pola dan tingkat konsumsi makanan yang lebih baik jika dibandingkan dengan
anak dalam keluarga besar.

2) Tingkat Pendidikan Ibu


Ibu merupakan pendidikan pertama dalam keluarga, untuk itu ibu perlu menguasai berbagai
pengetahuan dan keterampilan. Pendidikan ibu disamping merupakan modal utama dalam menunjang
perekonomian rumah tangga juga berperan dalam pola penyusunan makanan untuk rumah tangga.
Sanjur (dalam Wahid, 2002) menyatakan bahwa tingkat pendidikan formal ibu rumah tangga
berhubungan positif dengan perbaikan dalam pola konsumsi pangan keluarga dan pola pemberian
makanan pada bayi dan anak. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi melalui pemilihan
bahan pangan. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik
dalam jumlah dan mutunya dibandingkan mereka yang berpendidikan lebih rendah (Moehdji, 2002). Hal
ini diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Suryono dan Supardi (2004), yang menyebutkan
bahwa faktor pendidikan ibu yang kurang dari SMA memiliki kemungkinan 1,3 kali lebih banyak
terjadinya status gizi kurang pada anak batita dibandingkan ibu yang berpendidikan lebih dari SMA.

Menurut Nency dan Arifin (dalam Wahid, 2007) dari studi yang telah dilakukan, pola pengasuhan anak
berpengaruh terhadap timbulnya gizi buruk. Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan kasih sayang,
apalagi ibunya berpendidikan, mengerti soal kecukupan gizi untuk anak meskipun dalam keadaan miskin
ternyata anaknya lebih baik. Unsur pendidikan perempuan berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak.

Kurangnya pendidikan, pengetahuan, dan ketrampilan keluarga untuk dapat memecahkan masalah gizi
keluarga dan masyarakat sangat berpengaruh terhadap kondisi keluarga tersebut terutama tentang pola
asuh anak. Kurangnya pendidikan dan pengetahuan tentang pola asuh anak dapat menyebabkan pola
asuh anak yang tidak memadai sehingga mengakibatkan anak tidak suka makan atau tidak diberikan
makanan seimbang dan juga dapat memudahkan terjadinya infeksi yang berakhir dengan kondisi KEP
(Soekirman, 2000).

3) Status Pekerjaan Ibu

Menurut Siswono (dalam Adhawiyah, 2005) kehidupan ekonomi keluarga akan lebih baik pada keluarga
dengan ibu bekerja jika dibandingkan dengan kelurga yang hanya menggantungkan kehidupan ekonomi
pada kepala keluarga atau ayah. Kehidupan ekonomi keluarga yang lebih baik akan memungkinkan
keluarga mampu memberikan perhatian yang layak bagi asupan gizi balita. Irawan (dalam Adhawiyah,
2005) seorang ibu bekerja adalah ibu yang tiga hari atau lebih dalam seminggu meninggalkan bayinya 4
jam/hari atau lebih dalam satu waktu. Padahal disis lain menurut Handayani (dalam Adhawiyah, 2005)
seorang anak usia 0-5 tahun masih sangat tergantung dengan ibunya. Balita masih perlu bantuan dari
orang tua untuk melakukan tugas pribadinya dan mereka akan belajar dari hal-hal yang dilakukan oleh
orang-orang disekitarnya. Ibu yang bekerja akan mengurangi kuantitas untuk menemani anaknya
dirumah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari (2005), menyatakan bahwa anak yang memiliki ibu
tidak bekerja memiliki status gizi yang lebih baik dibandingkan anak balita yang memiliki ibu yang
bekerja.

4) Pendapatan Keluarga
Pendapatan keluarga adalah jumlah semua hasil perolehan yang didapat oleh anggota keluarga dalam
bentuk uang sebagai hasil pekerjaannya. Menurut Sayogjo (dalam Wahid, 2007) menyatakan bahwa
pendapatan keluarga meliputi penghasilan ditambah dengan hasil-hasil lain. Pendapatan keluarga
mempunyai peranan penting terutama dalam memberikan efek terhadap taraf hidup mereka. Efek disini
lebih berorientasi pada kesejahteraan dan kesehatan, dimana perbaikan pendapatan akan
meningkatkan tingkat gizi masyarakat. Pendapatan akan menentukan daya beli terhadap pangan dan
fasilitas lain (pendidikan, perumahan, kesehatan) yang dapat mempengaruhi status gizi. Adanya
hubungan antara pendapatan dan status gizi telah banyak dikemukan para ahli.

Pertambahan pendapatan tidak selalu membawa perbaikan pada konsumsi pangan, karena waluapun
banyak pengeluaran uang untuk pangan, mungkin akan makan lebih banyak, tetapi belum tentu kualitas
pangan yang dibeli lebih baik. Terdapat hubungan antara pendapatan dan keadaan status gizi (Berg dan
Sayogyo, 1986). Hal itu karena tongkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan
kualitas makanan yang dikonsumsi. Sejak lama telah disepakati bahwa pendapatan merupakan hal
utama yang berpengaruh terhadap kualitas menu.

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa antara pendapatan dan gizi, jelas ada hubungan yang
menguntungkan. Berlaku hampir universal, peningkatan pendapatan akan berpengaruh terhadap
perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga dan selanjutnya berhubungan dengan status gizi. Namun
peningkatan pendapatan atau daya beli seringkali tidak dapat mengalahkan pengaruh kebiasaan makan
terhadap perbaikan gizi yang efektif (Wahid, 2007).

5) Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu

Tingkat pengetahuan gizi ibu yang baik dan dilakukan secara terus menerus dapat mengatasi
kesalahpahaman yang terjadi tentang pantangan konsumsi makanan tertentu menurut adat atau
kebiasaan yang merupakan tradisi turun temurun. Pantangan untuk menggunakan bahan makanan
tertentu yang sudah turun temurun dapat mempengaruhi KEP (Pudjiadi, 2001). Menurut Notoatmodjo
(2003), menyatakan bahwa terdapat tiga tahapan perilaku yaitu tahu, sikap, dan perilaku itu sendiri.
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap
suatu objek tertentu, sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap
suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan
predisposisi tindakan suatu perilaku. Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata
diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan. Menurut Gerungan (2004), sikap
memiliki segi motivasi untuk bertindak, yaitu segi dinamis menuju ke suatu tujuan. Sikap yang tidak
disertai oleh kesediaan dan kecenderungan bertindak sesuai dengan pengetahuan merupakan sikap
yang berbeda dari kebiasaan tingkah laku. Dalam penelitian Sitorini (2006), menyatakan bahwa sikap
responden yang baik belum tentu mendukung praktek yang baik pula. Menurut hasil penelitian oleh
Nugrahani (2005), terdapat hubungan yang bermakna mengenai pengetahuan ibu tentang pola
pemberian dan jenis makanan pendamping ASI dengan pola pemberian makanan pendamping ASI pada
bayi. Dimana semakin tinggi pengetahuan ibu maka ibu akan memberikan makanan pendamping ASI
dengan pola yang benar dan sebaliknya ibu yang mempunyai pengetahuan yang rendah maka akan
memberikan makanan pendamping ASI yang salah.

c. Peran keluarga

Keluarga adalah kumpulan orang yang tinggal bersama pada satu tempat tinggal yang disatukan dengan
ikatan perkawinan dan/ darah dan/ adopsi pada dua generasi (keluarga inti) (BKKBN Jember, 2008
dalam Rasni, 2009). Lima fungsi dasar keluarga adalah fungsi afektif, fungsi sosialisasi, fungsi asuhan
kesehatan, fungsi reproduksi dan fungsi ekonomi (Friedman et al., 2003 dalam Rasni, 2009). Terkait
dengan fungsi asuhan kesehatan tersebut, keluarga yang berperan baik akan dapat melakukan
pemberian asupan makanan anak balita sesuai kebutuhannya, terutama orang tua khususnya ibu
mempunyai andil yang besar dalam pemberian asupan makanan atau nutrisi pada anak balita (Rasni,
2009).

Peran ibu dalam keluarga khususnya dalam rangka pemenuhan asupan nutrisi pada anak balita
berhubungan dengan tingkat pendidikan ibu, jenis pekerjaan ibu dan tingkat pengetahuan ibu tentang
gizi. Wanita yang berpendidikan lebih rendah atau tidak berpendidikan biasanya mempunyai anak lebih
banyak dibandingkan yang berpendidikan lebih tinggi. Mereka yang berpendidikan rendah umumnya
tidak dapat/sulit diajak memahami dampak negatif dari mempunyai banyak anak (Khomsan dan
Kusharto dalam Khomsan et al., 2004). Pendidikan yang rendah, terutama pada perempuan yang
umumnya berperan di sektor domestik atau menjadi pengasuh dari anggota keluarga akan
menyebabkan anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang, tidak mendapat ASI Eksklusif,
tidak mendapat MP-ASI yang tepat serta kurang mendapat zat gizi makro dan mikro dalam kuantitas dan
kualitas yang cukup (Soekirman, 2001 dalam Rasni, 2009).

Selain itu, tingkat pendidikan berhubungan dengan status gizi karena dengan meningkatnya pendidikan,
kemungkinan akan meningkatkan pendapatan sehingga dapat meningkatkan daya beli makanan
(Hartriyanti dan Triyanti dalam Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM-UI, 2007). Terkait
dengan pekerjaan ibu, dalam penelitian Suryono dan Supardi (2004) disebutkan bahwa pekerjaan ibu
secara statistik tidak berhubungan dengan status gizi anak batita, namun pekerjaan memiliki OR 5.26
yang berarti jika ibu bekerja maka kemungkinan 5.26 kali lebih banyak pengaruhnya terhadap terjadinya
gizi buruk dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Keterbatasan pengetahuan ibu tentang gizi merupakan
faktor penyebab tidak langsung timbulnya masalah gizi buruk. Pengetahuan gizi ibu adalah tingkat
pemahaman ibu tentang pertumbuhan anak balita, perawatan dan pemberian makan anak balita gizi
buruk dan pemilihan serta pengolahan makanan anak balita gizi buruk.

Dalam penelitian Wonatorey et al. (2006) disebutkan bahwa peningkatan status gizi anak balita gizi
buruk kemungkinan dipengaruhi oleh meningkatnya pengetahuan gizi ibu dalam pengolahan dan
perawatan anak balita gizi buruk melalui konseling gizi. Peningkatan pengetahuan gizi ibu ini
mempengaruhi praktek pemberian makanan Gizi Burukada anak balita terutama Gizi Burukatuhan ibu
dalam memberikan intervensi PMT-P yang diberikan Gizi Burukada anak balita. Hal ini sejalan dengan
hasil penelitian Susie et al. (2002) dalam Wonatorey et al. (2006) menyatakan bahwa penanggulangan
gizi buruk, menunjukkan perubahan status gizi baru bisa dilihat setelah anak yang menderita gizi buruk
mengikuti program rehabilitasi atau pemulihan selama 6 bulan mencakup aspek media, dietetik dan
edukatif.

d. Pola asuh

Menurut Marian Zeitien (2000), pola asuh gizi adalah praktek di rumah tangga yang diwujudkan dengan
tersedianya pangan dan Perawatan kesehatan serta sumber lainnya untuk kelangsungan hidup,
pertumbuhan dan perkembangan anak. Sedangkan menurut Soekirman (2000), pola asuh adalah berupa
sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal memberi makan, kebersihan, memberi kasih sayang
dan sebagainya kesemuanya berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan (fisik dan mental).

Menurut Satoto (1990), peranan sosial ekonomi keluarga ternyata tidak konsisten sebagai determinan
pertumbuhan dan perkembangan anak, karena yang penting bukan keadaan sosial ekonomi itu sendiri,
melainkan bagaimana interaksi antara ibu dan anak serta lingkungan dalam mempengaruhi
pertumbuhan anak.

Pemasalahan yang sering timbul pada anak dengan gizi kurang pada keluarga sejahtera sebenarnya
disebabkan karena anak tersebut selalu menolak makanannya. Kadang-kadang anak menolak maka
karena ibunya memberi terlalu banyak perhatian. Anak senang mendapat perhatian sehingga cepat
mengetahui bahwa untuk memperolehnya ia menolak makan. Jika dalam keadaan ini anak kemudian
dipaksa makan maka akan menimbulkan emosi padanya. Emosi dapat menurunkan produksi cairan
lambung hingga menghambat fungsi pencernaanya (Solihin, 1990).

Penolakan makan pada anak kadang juga terjadi karena taste/rasa makanan yang diberikan tidak disukai
anak. Namun hal ini tidak disadari oleh para ibu karena menganggap makanan yang diberikan sudah
sesuai dengan kondisi anak. Hal ini terutama terjadi pada makanan yang berasal dari produk pabrik.
Seharusnya sebelum makanan diberikan pada anak, setidaknya ibu mencicipi makanan tersebut untuk
mengetahui taste yang paling disukai anak. Secara psikologis ibu sering kali terpengaruh oleh tekstur
makanan yang berbentuk halus sehingga enggan untuk mencicipi (Pattinama, 2000).

Berdasarkan penelitian LIPI (1990), anak-anak yang selalu mendapat tanggapan, respond dan pujian dari
ibunya menunjukkan keadaan gizi yang lebih baik. Anak membutuhkan sentuhan ibunya secara merasa
dilindungi, Karena pada dasarnya seorang anak sangat membutuhkan kehadiran ibu yang merupakan
nuansa yang sulit dapat digantikan orang lain (Utoyo, 2000). Menurut Pattinama (2000), seorang ibu
yang bekerja diluar rumah mempunyai kesulitan dalam memenuhi kebutuhan anak, baik fisik maupun
psikis, terutama kebutuhan akan perawatan yang baik, rangsangan yang memadai sehingga anak
memperoleh aspan gizi yang seimbang. Sebenarnya hal ini dapat teratasi jika ibu dapat melakukan hal
sederhana yang dapat menyenangkan anak, misalnya dengan meluangkan sedikit waktu bersama anak.

Penelitian yang dilakukan Made Amin et al. (2004) menunjukkan adanya hasil uji statistik yang bermakna
antara pola asuh dengan status gizi yang artinya semakin baik pola asuh semakin baik status gizi. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bibi (2001) dalam Made Amin et al. (2004) bahwa dengan
adanya pola asuh yang baik utamanya asuhan gizi maka status gizi akan semakin baik. Pola asuh yang
kurang baik berhubungan dengan pola pemberian ASI dan MP-ASI yang kurang baik serta prioritas gizi
yang salah dalam keluarga. Adapun aspek kunci pola asuh gizi adalah :

1) Perawatan dan Perlindungan Bagi Anak

Setiap orang tua berkewajiban uintuk memberikan Perawatan dan perlindungan bagi anaknya. Masa
lima tahun pertama merupakan masa yang akan menentukan pembentukan fisik, psikis, maupun
intelengensinya sehingga masa ini mendapatkan Perawatan dan perlindungan yang intensif (Dina Agoes
dan Maria Poppy, 2001).

Bentuk Perawatan bagi anak dimulai sejak bayi lahir sampai dewasa misal sejak bayi lahir yaitu
memotong pusar bayi, pemberian makan dan sebagainya. Perlindungan bagi anak berupa pengawasan
waktu bermain dan pengaturan tidur.

2) Pemberian ASI

Menyusui adalah proses memberikan ASI pada bayi. Pemberian ASI berarti menumbuhkan kasih sayang
antara ibu dan bayinya yang akan sangat mempengaruhi tumbuh kembang dan kecerdasan anak
dikemudian hari. ASI diberikan setelah lahir biasanya 30 menit setelah lahir. Kolostrum merupakan salah
satu kandungan ASI yang sangat penting yang keluar 4 -6 hari pertama. Kolostrum berupa cairan yang
agak kemtal dan kasar serta berwarna kekuning-kuningan terdiri dari banyak mineral (natrium, kalium,
dan klorida) vitamin A, serta zat-zat anti infeksi penyakit diare, pertusis, difteri, dan tetanus. Sampai bayi
berumur 6 bulan hanya diberi ASI saja tanpa tambahan bahan makanan dan minuman lain.

Dalam penelitian Suryono dan Supardi (2004) disebutkan bahwa jika tidak diberi ASI eksklusif akan
terjadi 2,86 kali kemungkinan batita mengalami Gizi Buruk dan hal tersebut bermakna secara statistik.
Menurut Azwar (2000), masih banyak ibu yang tidak memberikan kolostrum pada bayinya. Selain itu,
pemberian ASI terhenti karena ibu kembali bekerja. Di daerah kota dan semi perkotaan ada
kecenderungan rendahnya frekuensi menyusui dan ASI dihentikan terlalu dini pada ibu-ibu yang bekerja
(Soekirman, 2001 dalam Rasni, 2009). Disebutkan pula adanya mitos ataupun Gizi Burukercayaan/ adat-
istiadat masyarakat tertentu yang tidak benar dalam pemberian makanan sebelum ASI, yaitu pemberian
air kelapa, air tajin, air teh, madu dan pisang. Makanan yang diberikan pada bayi baru lahir sebelum ASI
keluar sangat berbahaya bagi kesehatan bayi dan mengganggu keberhasilan menyusui (Azwar, 2000).

3) Pemberian MP-ASI

Pemberian makanan pendamping ASI harus disesuaikan dengan usia balita. Pengaturan makanan baik
untuk pemeliharaan, pemulihan, pertumbuhan, serta aktifitas fisik. Makanan pendamping ASI adalah
makanan yang diberikan pada bayi yang telah berusia 6 bulan atau lebih karena ASI tidak lagi memenuhi
kebutuhan gizi bayi. Pemberian makanan pendamping ASI harus bertahap dan bervariasi dari mulai
bentuk bubur kental, sari buah, buah segar, makanan lumat, makanan lembek dan akhirnya makanan
padat. Makanan pendamping ASI diberikan pada bayi di samping ASI. Untuk memenuhi kebutuhan gizi
anak balita mulai umur 6 bulan sampai umur 24 bulan (Irianton Aritonang, 1994). Azwar (2000)
mengungkapkan pemberian MP-ASI yang kurang baik meliputi:

a) Pemberian MP-ASI yang terlalu dini atau terlambat, dimana pemberian MP-ASI sebelum bayi berumur
6 bulan dapat menurunkan konsumsi ASI dan gangguan pencernaan/diare dan jika pemberian MP-ASI
terlambat (bayi sudah lewat usia 6 bulan) dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan anak;

b) Pemberian MP-ASI pada periode umur 6 – 24 bulan sering tidak tepat dan tidak cukup baik kualitas
maupun kuantitasnya. Frekuensi pemberian MP-ASI dalam sehari yang kurang akan berakibat
kebutuhan gizi anak tidak terpenuhi;

c) Pemberian MP-ASI sebelum ASI pada usia 6 bulan, dimana pada periode ini zat-zat yang diperlukan
bayi terutama diperoleh dari ASI. Memberikan MP-ASI terlebih dahulu berarti kemampuan bayi untuk
mengkonsumsi ASI berkurang yang berakibat menurunnya produksi ASI, hal ini dapat berakibat anak
menderita kurang gizi.

4) Penyiapan Makanan

Makanan akan mempengaruhi pertumbuhan serta perkembangan fisik dan mental anak. Oleh karena itu
makanan harus dapat memenuhi kebutuhan gizi anak. Penyiapan makanan harus dapat mencukupi
kebutuhan gizi balita. Pengaturan makanan yaitu pengaturan makanan harus dapat disesuaikan dengan
usia balita selain untuk mendapatkan gizi pengaturan makanan juga baik untuk pemeliharaan,
pemulihan, pertumbuhan, perkembangan serta aktifitas fisiknya (Dina Agoes dan Maria Popy H, 2001)

Makin bertambah usia anak makin bertambah pula kebutuhan makanannya, secara kuantitas maupun
kualitas. Untuk memenuhi kebutuhannya tidak cukup dari susu saja. Saat berumur 1-2 tahun perlu
diperkenalkan pola makanan dewasa secara bertahap, disamping itu anak usia 1-2 tahun sudah
menjalani masa penyapihan. Adapun pola makan orang dewasa yang diperkenalkan pada balita adalah
hidangan serba-serbi dengan menu seimbang yang terdiri dari: (Dina Agoes dan Mary Poppy , 2001)

a) Sumber zat tenaga misalkan roti, nasi, mie, dan tepung-tepungan;

b) Sumber zat pembangun misalkan susu, daging, ikan, tempe, tahu dan kacang- kacangan;

c) Sumber zat pengatur misalkan sayur-sayuran dan buah-buahan.

Masa balita merupakan awal pertumbuhan dan perkembangan yang membutuhkan zat gizi terutama
pada masa balita. Kecukupan energi bayi dan balita yaitu 0-1 tahun membutuhkan energi 110-120
Kkal/Kg BB, umur 1-3 tahun membutuhkan energi 100 Kkal/Kg BB, dan umur 4-6 tahun memerlukan 90
Kkal 90 Kkal/kg BB (tabel 2.1).
Pola makanan yang diberikan yaitu menu seimbang sehari-hari, sumber zat tenaga, sumber zat
pembangun, dan sunber zat pengatur. Jadwal pemberian makanan bagi bayi dan balita adalah: (Dina
Agoes Sulistijani dan Maria Poppy Herlianty, 2003)

a) Tiga kali makanan utama (pagi, siang, malam);

b) Dua kali makanan selingan (diantara dua kali makanan utama).

e. Pengasuhan Psiko-Sosial

Manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya tidak hidup sendiri-sendiri tetapi saling membutuhkan
antar sesama dalam kehidupan sehari-hari. Pengasuhan psiko-sosial terwujud dalam pola interaksi
dengan anak. Interaksi timbal balik antara anak dan orang tua akan menimbulkan keakraban dalam
keluarga.

Pengasuhan psiko-sosial ini antara lain terdiri dari cinta dan kasih sayang serta interaksi antara ibu dan
anak. Salah satu hak anak adalah untuk dicintai dan dilindungi. Anak memerlukan kasih sayang dan
perlakuan yang adil dari orang tuanya. Pengasuhan psiko-sosial ini didasarkan pada frekuensi interaksi
antara ibu dan anak. Meningkatkan kedekatan ibu dan anak ditentukan dengan frekuensi interaksi dan
sikap sayang selalu senyum dengan anak (Marian Zeitien, 2001).

f. Kebersihan Diri dan Sanitasi Lingkungan.

Lingkungan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi proses tumbuh kembang anak. Peran orang
tua dalam membantu proses pertumbuhan dan perkembangan anak adalah dengan membentuk
kebersihan diri dan sanitasi lingkungan yang sehat. Hal ini menyangkut dengan keadaan bersih, rapi, dan
teratur. Oleh karena itu anak perlu dilatih untuk mengembangkan sifat-sifat sehat seperti berikut ini:
(Dina Agoes Sulistijani dan Maria Poppy Herlianty, 2001)

1) Mandi dua kali sehari;

2) Cuci tangan sebelum dan sesudah tidur;

3) Menyikat gigi sebelum tidur;

4) Membuang sampah pada tempatnya;

5) Buang air kecil pada tempatnya atau WC.

Lingkungan yang buruk dapat menyebabkan penyebaran kuman penyakit. Penyebaran kuman ini akan
mengarah pada adanya kontribusi infeksi, dimana infeksi dapat menyebabkan kurangnya nafsu makan
sehingga menyebabkan asupan makanan menjadi rendah yang akhirnya menyebabkan kurang gizi
(Hartriyanti dan Triyanti dalam Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM-UI, 2007). Dalam
penelitian Suryono dan Supardi (2004) disebutkan bahwa kesehatan lingkungan rumah bermakna secara
statistik dan memiliki OR 1.8, artinya lingkungan rumah yang tidak baik kemungkinannya 1.8 kali lebih
banyak pengaruhnya terhadap terjadinya gizi buruk dibandingkan dengan lingkungan rumah yang baik.
Satoto (1990) dalam Made Amin et al. (2004) juga mengungkapkan bahwa hygiene perorangan dan
sanitasi lingkungan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap status gizi anak.

g. Praktek Kesehatan di Rumah dan Pola Pencarian Pelayanan Kesehatan.

Bayi dan anak perlu diperiksa kesehatannya oleh bidan atau dokter bila sakit sebab mereka masih
memiliki resiko tinggi untuk terserang penyakit. Adapun praktek kesehatan yang dapat dilakukan dalam
rangka pemeriksaan pemantauan kesehatan adalah:

1) Imunisasi

Imunisasi merupakan pemberian kekebalan agar bayi tidak mudah terserang atau tertular penyakit
seperti hepatitis B (HB), tuberkulosis, difteri, batuk rejan, tetanus, folio dan campak. Pemberian
imunisasi harus sedini mungkin dan lengkap. BCG diberikan pada usia 2 bulan, DPT 1-3 diberikan pada
usia 2-5 bulan, HB 1-3 diberikan pada usia 3-5 bulan dan campak diberikan pada usia 6 bulan (tabel 4).

Tabel 2.4 Jadwal Imunisasi Berdasarkan Standart Nasional

UMUR (Bulan) JENIS IMUNISASI

2 BCG,DPT 1, Polio 1

3 HB 1*, DPT 2, Polio 2

4 HB 2*, DPT 3, Polio 3

5 HB 3*, Polio 3

6 Campak

Sumber: Dina Agoes dan Maria Poppy, (2001)

2) Pemantauan Pertumbuhan anak


Hal ini dapat dilakukan dengan aktif mendatangi kegiatan pemeliharaan gizi, misalkan posyandu.
Sebagian aktif mengikuti pemeliharaan gizi maka orang tua dapat melihat pertumbuhan anak melalui
penimbangan balita, pemberian vitamin A pada bulan februari dan Agustus serta pemberian makanan
tambahan (Dina Agoes dan Maria Poppy, 2001).

h. Prioritas gizi yang salah dalam keluarga

Prioritas gizi yang salah pada keluarga, dimana banyak keluarga yang memprioritaskan makanan untuk
anggota keluarga yang lebih besar (seperti ayah atau kakak tertua) dibandingkan anak balita (terutama
yang berusia dibawah dua tahun) sehingga apabila makan bersama-sama maka anak yang berusia balita
akan kalah (Rasni, 2009).

i. Pelayanan kesehatan

Pelayanan kesehatan terhadap anak balita dapat meliputi pelayanan kesehatan di tingkat Posyandu,
Puskesmas dan pelayanan kesehatan lainnya serta terkait pula dengan peran tenaga kesehatan dalam
memberikan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan yang kurang menjangkau masyarakat atau
kurang handalnya pemberi pelayanan kesehatan merupakan satu faktor kemungkinan penyebab
masalah gizi kurang (Atmarita dan Fallah, 2004). Dalam penelitian Suryono dan Supardi (2004)
disebutkan bahwa penimbangan anak batita secara teratur setiap bulan memiliki OR 3.1, artinya
walaupun secara statistik tidak bermakna, secara realita dengan adanya penimbangan maka akan
terdapat kontrol terhadap kondisi anak batitanya. Faktanya secara statistik, terdapat kemungkinan 3.1
kali lebih banyak terjadinya gizi buruk pada anak batita yang jarang ditimbang dibandingkan anak batita
yang rutin ditimbang setiap bulan di Posyandu.

Penelitian yang dilakukan Made Amin et al. (2004) menunjukkan bahwa perawatan dasar memberikan
kontribusi yang lebih besar terhadap status gizi. Hal ini sejalan dengan penelitian Husaini (1996) dalam
Made Amin et al. (2004) yang mengemukakan bahwa dalam upaya memperbaiki status gizi anak,
dilakukan upaya pencegahan penyakit menyangkut perawatan dasar terhadap anak yaitu dengan
pemberian imunisasi secara lengkap, pemberian vitamin A secara berkala (mengikuti bulan pemberian
vitamin A) dan upaya perbaikan sanitasi terhadap anak, ibu dan lingkungan.

j. Sosio–budaya dan religi

Kebudayaan suatu masyarakat mempunyai kekuatan yang berpengaruh terhadap pemilihan bahan
makanan yang digunakan untuk dikonsumsi. Aspek sosio-budaya pangan adalah fungsi pangan dalam
masyarakat yang berkembang sesuai dengan keadaan lingkungan, agama, adat, kebiasaan dan
pendidikan masyarakat tersebut. Kebudayaan juga menentukan kapan seseorang boleh atau tidak boleh
memakan suatu makanan (tabu), walaupun tidak semua tabu rasional bahkan banyak jenis tabu yang
tidak masuk akal. Oleh karena itu, kebudayaan mempengaruhi seseorang dalam konsumsi pangan yang
menyangkut pemilihan jenis pangan, pengolahan serta persiapan dan penyajiannya (Mudanijah dalam
Khomsan et al., 2004). Suatu pantangan yang berdasarkan agama (Islam) disebut haram hukumnya dan
individu yang melanggar pantangan tersebut berdosa. Hal ini disebabkan makanan dan minuman yang
dipantangkan mengganggu kesehatan dan jasmani atau rohani bagi pemakannya atau peminumnya.
Sementara, pantangan atau larangan yang berdasarkan Gizi Burukercayaan umumnya mengandung
perlambang atau nasihat-nasihat yang dianggap baik dan tidak baik yang lambat-laun menjadi kebiasaan
(adat), terlebih dalam suatu masyarakat yang masih sederhana. Tiga kelompok masyarakat yang
biasanya mempunyai pantangan makan yaitu anak kecil, ibu hamil dan ibu menyusui (Mudanijah dalam
Khomsan et al., 2004).

Pangan yang menjadi pantangan (tabu) bagi anak kecil adalah ikan, terutama ikan asin karena dapat
menyebabkan cacingan, sakit mata atau sakit kulit. Kacang-kacangan juga tidak diberikan pada anak-
anak karena khawatir perut anak akan kembung (Mudanijah dalam Khomsan et al., 2004). Bayi diberikan
minum hanya dengan air putih, memberikan makanan padat terlalu dini, berpantang pada makanan
tertentu (misalnya tidak memberikan pada anak makanan dari daging, telur dan santan) dapat
menghilangkan kesempatan anak untuk mendapat asupan lemak, protein maupun kalori yang cukup
(Soekirman, 2001 dalam Rasni, 2009).

2.4.3 Pendapatan keluarga

Usaha yang dilakukan untuk meningkatkan mutu gizi masyarakat miskin dengan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi karena dengan pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan pendapatan keluarga.
Peningkatan pendapatan keluarga akan mempunyai efek pada makanan (Alan Berg, 1985).

Rendahnya pendapatan merupakan rintanga lain yang menyebabkan orang-orang tidak mampu
membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan (Sajogyam dkk, 1993). Selain itu keanekaragaman bahan
pangan kurang terjamin, karena dengan uang yang terbatas itu tidak akan banyak pilihan (Wied Harry
Apriadji, 1986). Akan tetapi, menurut Suhardjo (1985), naiknya pendapatan pada umumnya cenderung
meningkatkan jumlah jenis makanan, namun pengeluaran yang lebih banyak untuk pangan tidak
menjamin beragamnya konsumsi pangan. Perubahan utama terjadi dalam kebiasaan makanan akibat
pengeluaran uang yang lebih banyak ialah pangan yang dimakan itu lebih mahal.

Daya beli keluarga sangat ditentukan oleh tingkat pendapatan keluarga. Orang miskin biasanya akan
membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk makanan. Rendahnya pendapatan merupakan
rintangan yang menyebabkan orang¬orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang
dibutuhkan. Ada pula keluarga yang sebenarnya mempunyai penghasilan cukup namun sebagian
anaknya berstatus kurang gizi. (Sajogyo, 1994)

Pada umumnya tingkat pendapatan naik jumlah dan jenis makanan cenderung untuk membaik tetapi
mutu makanan tidak selalu membaik (Suharjo dkk, 1986). Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga
miskin paling rentan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil
biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Jumlah keluarga juga mempengaruhi keadaan gizi
(Suhardjo, 2003).
2.5 Status Ekonomi Keluarga

2.5.1 Keluarga Miskin

Kriteria kemiskinan yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yaitu:

a. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2 per orang;

b. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/ bambu/ kayu murahan;

c. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/ rumbia/ kayu berkualitas rendah/ tembok tanpa
diplester;

d. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah tangga lain;

e. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik;

f. Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/sungai/air hujan;

g. Bahan bakar untuk masak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/ minyak tanah;

h. Hanya mengkonsumsi daging/ susu sapi/ ayam potong satu kali dalam seminggu;

i. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun;

j. Hanya sanggup makan sebanyak satu/ dua kali dalam sehari;

k. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di Puskesmas/poliklinik;

l. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 0,5ha, buruh tani, nelayan,
buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp.
600.000,00 per bulan;

m. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/ tidak tamat SD/ hanya SD;

n. Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500.000,00, seperti sepeda
motor (kredit/ non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

Dalam menentukan status kemiskinan seseorang yaitu dengan melakukan penilaian kondisi sosial
ekonomi seseorang dengan 14 (empat belas) kriteria kemiskinan BPS tersebut, dengan ketentuan pokok
bahwa seseorang disebut miskin bila memenuhi minimal 10 (sepuluh) kriteria kemiskinan BPS tersebut,
dengan 5 (lima) diantara 10 (sepuluh) kriteria kemiskinan yang secara mutlak harus dipenuhi, yaitu:

a. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari;

b. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di Puskesmas/ poliklinik;

c. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/ tidak tamat SD/ hanya SD;

d. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani,
nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp.
600.000,00 per bulan;

e. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah tangga lain;

f. Memiliki Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) atau Jaminan Kesehatan Daerah
(Jamkesda).

2.5.2 Keluarga Non Miskin

Untuk Keluarga non miskin adalah kelurga yang tidak termasuk dalam kriteria di atas. Pada Dinas
Kesehatan Kabupaten Lumajang selain tidak memenuhi 14 kriteria tersebut diatas juga tidak mempunyai
kartu jamkesmas ataupaun jamkesda.

Jumat, 15 Juli 2011


KURANG ENERGI KRONIS (KEK) PADA IBU HAMIL

Dr. Suparyanto, M.Kes

KURANG ENERGI KRONIS (KEK) PADA IBU HAMIL

PENGERTIAN

 Menurut Depkes RI (1994) pengukuran LILA pada kelompok wanita usia subur adalah
salah satu cara untuk mendeteksi dini yang mudah dan dapat dilaksanakan oleh
masyarakat awam, untuk mengetahui kelompok berisiko Kekurangan Energi Kronis
(KEK). Kurang Energi Kronis (KEK) pada ibu hamil adalah kekurangan gizi pada ibu
hamil yang berlangsung lama (beberapa bulan atau tahun) (DepKes RI, 1999).

 Risiko Kekurangan Energi Kronis (KEK) adalah keadaan dimana remaja putri/wanita
mempunyai kecenderungan menderita KEK ( Arismas,2009).
 Ibu KEK adalah ibu yang ukuran LILAnya < 23,5 cm dan dengan salah satu atau
beberapa kriteria sebagai berikut : a.Berat badan ibu sebelum hamil < 42 kg. b.Tinggi
badan ibu < 145 cm. c.Berat badan ibu pada kehamilan trimester III < 45 kg. d.Indeks
masa tubuh (IMT) sebelum hamil < 17,00 e.Ibu menderita anemia (Hb < 11 gr %) (Weni,
2010).

PENGUKURAN STATUS GIZI

1.Pengukuran LILA

 Ada beberapa cara untuk dapat digunakan untuk mengetahui status gizi ibu hamil antara
lain memantau pertambahan berat badan selama hamil, mengukur LILA, mengukur kadar
Hb. Bentuk adan ukuran masa jaringan adala masa tubuh. Contoh ukuran masa jaringan
adala LILA, berat badan, dan tebal lemak. Apabila ukuran ini rendah atau kecil,
menunjukan keadaan gizi kurang akibat kekurangan energi dan protein yang diderita
pada waktu pengukuran dilakukan. Pertambahan otot dan lemak di lengan berlangsung
cepat selama tahun pertama kehidupan (Arisman,2009).
 Lingkaran Lengan Atas (LILA) mencerminkan tumbuh kembang jaringan lemak dan otot
yang tidak berpengaruh banyak oleh cairan tubuh. Pengukuran ini berguna untuk skrining
malnutrisi protein yang biasanya digunakan oleh DepKes untuk mendeteksi ibu hamil
dengan resiko melahirkan BBLR bila LILA < 23,5 cm (Wirjatmadi B, 2007). Pengukuran
LILA dimaksudkan untuk mengetahui apakah seseorang menderita Kurang Energi
Kronis. Ambang batas LILA WUS dengan risiko KEK di Indonesia adalah 23.5 cm.
Apabila ukuran kurang dari 23.5 cm atau dibagian merah pita LILA, artinya wanita
tersebut mempunyai risiko KEK, dan diperkirakan akan melahirkan berat bayi lahir
rendah ( Arisman, 2007)
 a.Hal-hal yang perlu diperhatikan dalan pengukuran LILA

1. Pengukuran dilakukan dibagian tengah antara bahu dan siku lengan kiri.
2. Lengan harus dalam posisi bebas.
3. Lengan baju dan otot lengan dalam keadaan tidak tegang atau kencang.
4. Alat pengukur dalam keadaan baik dalam arti tidak kusut atau sudah dilipat-lipat
sehingga permukaannya tidak rata (Arisman, 2007).

 b.Cara Mengukur LILA

1. Tetapkan posisi bahu dan siku


2. Letakkan pita antara bahu dan siku.
3. Tentukan titik tengah lengan.
4. Lingkaran pita LILA pada tengah lengan.
5. Pita jangan telalu ketat.
6. Pita jangan terlalu longgar.
7. Cara pembacaan skala yang benar. (Arisman, 2007)

2.Pengukuran Berat Badan


 Berat badan merupakan ukuran antropometris yang paling banyak digunakan karena
parameter ini mudah dimengerti sekalipun oleh mereka yang buta huruf ( Arisma, 2009).
 Berat badan adalah satu parameter yang memberikan gambaran masa tubuh. Masa tubuh
sangat sensitive terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena
terserang penyakit infeksi, menurunya nafsu makan atau menurunnya jumlah makan yang
dikonsumsi.
 Pada prinsipnya ada dua macam timbangan yaitu beam (lever)balance scales dan spring
scale. Contoh beam balance ialah dancing, dan spring scale adalah timbangan pegas.
Karena pegas mudah melar timbangan jenis spring scsle tidak dianjurkan untuk
digunakan berulang kali, apalagi pada lingkungan yang bersuhu panas.
 Berat badan ideal ibu hamil sebenarnya tidak ada rumusnya, tetapi rumusannya bisa
dibuat yaitu dengan dasar penambahan berat ibu hamil tiap minggunya yang
dikemukakan oleh para ahli berkisar antara 350-400 gram, kemudian berat badan yang
ideal untuk seseorang agar dapat menopang beraktifitas normal yaitu dengan melihat
berat badan yang sesuai dengan tinggi badan sebelum hamil, serta umur kehamilan
sehingga rumusnya dapat dibuat.
 Dengan berbekal beberapa rumus ideal tentang berat badan, saya (penulis) dapat
kembangkan menjadi rumus berat badan ideal untuk ibu hamil yaitu sebagai berikut :
Dimana penjelasannya adalah BBIH adalah Berat Badan Ideal Ibu Hamil yang akan
dicari. BBI = ( TB – 110) jika TB diatas 160 cm (TB – 105 ) jika TB dibawah 160 cm.
Berat badan ideal ini merupakan pengembangan dari (TB-100) oleh Broca untuk orang
Eropa dan disesuaikan oleh Katsura untuk orang Indonesia. UH adalah Umur kehamilan
dalam minggu. Diambil perminggu agar kontrol faktor resiko penambahan berat badan
dapat dengan dini diketahui. 0.35 adalah Tambahan berat badan kg per minggunya 350-
400 gram diambil nilai terendah 350 gram atau 0.35 kg . Dasarnya diambil nilai terendah
adalah penambahan berat badan lebih ditekankan pada kualitas (mutu) bukan pada
kuantitas (banyaknya) (Supriasa, 2002).

3.Pengukuran Tinggi Badan

 Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang telah lalu dan
keadaan sekarang, jika umur tidak diketahui dengan tepat. Disamping itu tinggi badan
merupakan ukuran kedua yang penting, karena dengan menghubungkan berat badan
terhadap tinggi badan , factor umur dapat dikesampingkan. Ibu hamil pertama sangat
membutuhkan perhatian khusus.
 Pengukuran tinggi badan bermaksud untuk menjadikanya sebagai bahan menentukan
status gizi. Status gizi yang ditentukan dengan tinggi badan tergolong untuk mengukur
pertumbuhan linier. Pertumbuhan linier adalah pertumbuhan tulang rangka, terutama
rangka extrimitas (tungai dan lengan). Untuk tinggi badan peranan tungkai yang
dominan.
 Pengukuran tinggu badan orang dewasa, atau yang sudah bisa berdiri digunakan alat
microtoise (baca: mikrotoa) dengan skala maksimal 2 meter dengan ketelitian 0,1 cm.
Apabila tidak tersedia mikrotoise dapat digunakan pita fibreglas (pita tukang jahit
pakaian) dengan bantuan papan data dan tegak lurus dengan lantai. Pengukuran dengan
pita fibreglass seperti ini harus menggukan alat bantu siku-siku. Persyaratan tempat
pemasangan alat adalah didinding harus datar dan rata dan tegak lurus dengan lantai.
Dinding yang memiliki banduk di bagian bawah (bisanya pada lantai keramik) tidak bisa
digunakan. Hal yang harus diperhatikan saat pemasangan mikrotoise adalah saat sudah
terpasang dan direntang maksimal ke lantai harus terbaca pada skala 0 cm.
 A.Cara Pengukuran Berdiri membelakangi dinding dimana microtoie terpasang dengan
posisi siap santai (bukan siap militer), tangan disamping badan terkulai lemas, tumit,
betis, pantat, tulang belikat dan kepala menempel di dinding. Pandangan lurus ke depan.
Sebagai pegukur harus diperiksa ketentuan ini sebelum membaca hasil pengukuran. Tarik
microtiose ke bawah sampai menempel ke kepala. Bagi terukur yang berjilbab agak
sedikit ditekan agar pengaruh jilbab bisa diminimalisir. Untuk terukur yang memakai
sanggul harus ditanggalkan lebih dahulu atau digeser ke bagia kiri kepala. Saat
pengkuran, sandal, dan topi harus dilepas. Baca hasil ukur pada posisi tegak lurus dengan
mata (sudut pandang mata dan skala microtoise harus sudut 90 derajat). Pada gambar di
atas, apabila terukur lebuh tinggi dai Pengukur, maka pengukur harus menggunakan alat
peningi agar posisi baca tegak lurus. Bacaan pada ketelitian 0,1 cm, artinya apabila tinggi
terukur 160 cm, harus ditulis 160,0 cm (koma nol harus ditulis). Tinggi badan kurang dari
145 cm atau kurang merupakan salah satu risti pada ibu hamil. Luas panggul ibu dan
besar kepala janin mungkin tidak proporsional, dalam hal ini ada dua kemungkinan yang
terjadi: a.Panggul ibu sebagai jalan lahir ternyata sempit dengan janin/kepala tidak besar.
b.Panggul ukuran normal tetapi anaknya besar/kepala besar. Pada kedua kemungkinan
itu, bayi tidak dapat lahir melalui jalan lahir biasa, dan membutuhkan operasi Sesar.

4.Indeks Masa Tumbuh

 Masalah kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa (usia 18 tahun keatas)
merupakan masalah penting, karena selain mempunyai resiko penyakit-penyakit tertentu,
juga dapat mempengarui produktif kerja. Laporan FAO /WHO/UNU tahun 1985
menyatakan bahwa batasan berat badan normal orang dewasa ditentukan oleh Body Mass
Index (BMI).
 Di Indonesia istila Body Mass Index diterjemahkan menjadi Indekx Masa Tubuh (IMT)
merupakan alat yang sederhana untu memantau status gizi orang dewasa khusunya yang
berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat
badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih
panjang. Berat badan dilihat dari Quatelet atau body mass Index (IMT).
 Ibu hamil dengan berat badan dibawah normal sering dihubungkan dengan abnormalitas
kehamilan, berat badan lahir rendah. Sedangkan berat badan overweight meningkatkan
resiko atau terjadi kesulitan dalam persalinan. Indeks massa tubuh (IMT) merupakan
rumus matematis yang berkaitan dengan lemak tubuh orang dewasa (Arisman, 2009).
 Penilaian Indeks Masa Tumbuh diperoleh dengan memperhitungkan berat badan sebelum
hamil dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat (Yuni, 2009).
 Rumus ini hanya cocok diterapkan pada mereka yang berusia antara 19-70 tahun,
berstruktur tulang belakang normal, bukan atlet atau binaragawan.

Tabel 2.2 Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan IMT


Status Gizi

1. IMT KKP I < 16


2. KKP II 16,0 -16,9
3. KKP III 17,0 - 18,4
4. Normal ≤18,5 - < 25
5. Obesitas I 25 - 29,9
6. Obesitas II 30 – 40
7. Obesitas III >40

Sumber: Arisman, 2009

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KURANG ENERGI KRONIS PADA IBU


HAMIL

1. Faktor Sosial Ekonomi

 Faktor yang berperan dalam menentukan status kesehatan seseorang adalah tingkat sosial
ekonomi (FKM UI, 2007). Ekonomi seseorang mempengaruhi dalam pemilihan makanan
yang akan dikonsumsi sehari-harinya. Seseorang dengan ekonomi yang tinggi kemudian
hamil maka kemungkinan besar sekali gzi yang dibutuhan tercukupi ditambah lagi
adanya pemeriksaan membuat gizi ibu hamil semakin terpantau (Weni,2010). Sosial
ekonomi merupakan gambaran tingkat kehidupan seseorang dalam masyarakat yang
ditentukan dengan variabel pendapatan, pendidikan dan pekerjaan, karena ini dapat
mempengaruhi aspek kehidupan termasuk pemeliharaan kesehatan (Notoatmodjo, 2006).

a.Pendidikan

 Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagai suatu


kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta
didik (Umar, 2005). Faktor pendidikan mempengaruhi pola makan ibu hamil, tingkat
pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang
dimiliki lebih baik sehingga bisa memenuhi asupan gizinya (FKM UI, 2007).

 Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang
dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Pendidikan ibu adalah pendidikan formal ibu yang terakhir yang ditamatkan dan
mempunyai ijazah dengan klasifikasi tamat SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi dengan
diukur dengan cara dikelompokkan dan dipresentasikan dalam masing-masing klasifikasi
(Depdikbud, 1997).

b.Pekerjaan

 Pekerjaan adalah sesuatu perbuatan atau melakukan sesuatu yang dilakukan untuk
mencari nafkah guna untuk kehidupan (Kamus Besar Indonesia, 2008). Ibu yang sedang
hamil harus mengurangi beban kerja yang terlalu berat karena akan memberikan dampak
kurang baik terhadap kehamilannya (FKM UI, 2007). Kemampuan bekerja selama hamil
dapat dipengaruhi oleh peningkatan berat badan dan perubahan sikap (Benson Ralph C,
2008). Resiko-resiko yang berhubungan dengan pekerjaan selama kehamilan termasuk :
1. Berdiri lebih dari 3 jam sehari.
2. Bekerja pada mesin pabrik terutama jika terjadi banyak getaran atau membutuhkan upaya
yang besar untuk mengoperasikannya.
3. Tugas-tugas fisik yang melelahkan seperti mengangkat, mendorong dan membersihkan.
4. Jam kerja yang panjang (Curtis Glade B, 1999 ).

 Kriteria pekerjaan dapat dibedakan menjadi buruh/pegawai tidak tetap, swasta,


PNS/ABRI, tidak bekerja/ibu rumah tangga (Nursalam, 2001).

c.Pendapatan

 Penerimaan baik berupa uang maupun barang, baik dari pihak lain maupun pihak sendiri
dari pekerjan atau aktivitas yang kita lakukan dan dengan dinilai sebuah uang atas harga
yang berlaku pada saat ini. Pendapatan seorang dapat dikatakan meningkat apabila
kebutuhan pokok seorangpun akan meningkat. Suatu kegiatan yang dilakukan untuk
menafkahi diri dan keluarganya dimana pekerjaan tersebut tidak ada yang mengatur dan
dia bebas karena tidak ada etika yang mengatur.

 Kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan antara lain tergantung pada besar
kecilnya pendapatan keluarga, harga bahan makanan itu sendiri, serta tingkat
penggelolaan sumber daya lahan dan pekarangan. Keluarga dengan pendapatan terbatas
kemungkinan besar akan kurang dapat memenuhi kebutuhan akan makanannya terutama
untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya. Tingkat pendapatan dapat
menentukan pola makan. Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas
dan kuantitas hidangan. Semakin banyak mempunyai uang berarti semakin baik makanan
yang diperoleh dengan kata lain semakin tinggi penghasilan, semakin besar pula
prosentase dari penghasilan tersebut untuk membeli buah, sayuran dan beberapa jenis
bahan makanan lainnya (FKM UI, 2007).

 Berdasarkan survei pendapatan dan pengeluaran rumah tangga tahun 2010 oleh Badan
Pusat Statistik, pendapatan untuk pedesaan dibedakan menjadi 3 golongan yaitu :

1. Pendapatan rendah di bawah Rp. 790.000,-


2. Pendapatan sedang Rp.790.000,- sampai. Rp.1.270.000,-
3. Pendapatan tinggi di atas Rp. 1.270.000,-

(www.Informasi Upah Minimum Regional (UMR) Jombang Tahun 2010, 2011)

2.Faktor Jarak Kelahiran

 Ibu dikatakan terlalu sering melahirkan bila jaraknya kurang dari 2 tahun. Penelitian
menunjukkan bahwa apabila keluarga dapat mengatur jarak antara kelahiran anaknya
lebih dari 2 tahun maka anak akan memiliki probabilitas hidup lebih tinggi dan kondisi
anaknya lebih sehat dibanding anak dengan jarak kelahiran dibawah 2 tahun. Jarak
melahirkan yang terlalu dekat akan menyebabkan kualitas janin/anak yang rendah dan
juga akan merugikan kesehatan ibu. Ibu tidak memperoleh kesempatan untuk
memperbaiki tubuhnya sendiri (ibu memerlukan energi yang cukup untuk memulihkan
keadaan setelah melahirkan anaknya). Dengan mengandung kembali maka akan
menimbulkan masalah gizi ibu dan janin/bayi berikut yang dikandung (Baliwati, 2006).
Berbagai penelitian membuktikan bahwa status gizi ibu hamil belum pulih sebelum 2
tahun pasca persalinan sebelumnya, oleh karena itu belum siap untuk kehamilan
berikutnya (FKM UI, 2007). Selain itu kesehatan fisik dan rahim ibu yang masih
menyusui sehingga dapat mempengaruhi KEK pada ibu hamil. Ibu hamil dengan
persalinan terakhir ≥ 10 tahun yang lalu seolah-olah menghadapi kehamilan atau
persalinan yang pertama lagi. Umur ibu biasanya lebih bertambah tua. Apabila asupan
gizi ibu tidak terpenuhi maka dapat mempengaruhi KEK pada ibu hamil.

 Kriteria jarak kelahiran dibagi menjadi 2, yaitu :

1. Resiko rendah (≥ 2 tahun sampai < 10 tahun).


2. Resiko tinggi (< 2 tahun atau ≥ 10 tahun) (Rochjati P, 2003).

3. Faktor Paritas

 Paritas (jumlah anak) merupakan keadaan wanita yang berkaitan dengan jumlah anak
yang dilahirkan. Paritas juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi
ibu hamil. Paritas merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap hasil konsepsi.
Perlu diwaspadai karena ibu pernah hamil atau melahirkan anak 4 kali atau lebih, maka
kemungkinan banyak akan ditemui keadaan :

1. Kesehatan terganggu : anemia, kurang gizi.


2. Kekendoran pada dinding perut dan dinding rahim.

 Kriteria paritas (jumlah anak) dibagi menjadi 2, yaitu :

1. Partas rendah (< 4x kelahiran).


2. Paritas tinggi (≥ 4x kelahiran).

 Paritas (jumlah anak) merupakan keadaan wanita yang berkaitan dengan jumlah anak
yang dilahirkan. Paritas juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi
ibu hamil. Paritas merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap hasil konsepsi.
Perlu diwaspadai karena ibu pernah hamil atau melahirkan anak 4 kali atau lebih, maka
kemungkinan banyak akan ditemui keadaan :

1. Kesehatan terganggu : anemia, kurang gizi.


2. Kekendoran pada dinding perut dan dinding rahim.

 Kriteria paritas (jumlah anak) dibagi menjadi 2, yaitu :

1. Partas rendah (< 4x kelahiran).


2. Paritas tinggi (≥ 4x kelahiran) (Roechjati P, 2003).
DAFTAR PUSTAKA

1. Alimul, A.H. 2008. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba
Medika
2. Alimul, A.H. 2009. Metode Penelitian Kebidanan Teknnik Analisis Data. Jakarta:
Salemba Medika
3. Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka
Cipta
4. Depdikbud. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka
5. Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta
6. Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika
7. Prawirohardjo,Sarwono. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono
8. Rukiyah. 2009. Asuhan Kebidanan I (Kehamilan). Jakarta: TIM
9. Suyanto. 2009. Riset Kebidanan Metodologi dan Aplikasi. Jogjakarta: Mitra Cendikia
Press
10. Yuni. 2009. Perawatan Ibu Hamil. Jogyakarta : Fitramaya
11. Weni. 2010. Gizi Ibu Hamil. Jogyakarta : Muha Medika
12. Depkes RI. 1996. Pedoman Penaggulangan Ibu Hamil Kekurangan Energi Kronis.
Jakarta : Direktorat Pembinaan Kesehatan Masyarakat
13. Arisman. 2007. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta : EGC
14. Proverawati. 2009. Buku Ajar Gizi Untuk Kebidanan. Jogyakarta : Muha Medika
15. Anonym. 2011. Upah Minimum Regional (http://Informasi Upah Minimum Regional
(UMR) Jombang Tahun 2010,2011.com/)
16. Rochjati,Poedji. 2003. Skrining Antenatal Pada Ibu Hamil. Surabaya : FK UNAIR
17. Arisman. 2009. Gizi Dalam Daur Keidupan. Jogyakarta : Muha Medika

“Kekurangan gizi merupakan sebuah masalah multifaktorial yang terkait dengan pola makan
buruk dan praktek kebersihan, infeksi pada masa kanak-kanak dan perawatan yang tidak
memadai. Kekurangan gizi juga erat kaitannya dengan kemiskinan sehingga dalam menanggapi
ini diperlukan pendekatan multi-sektoral yang terkoordinir,” kata Dra. Nina Sarjunani, Deputi
Menteri Negara Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan di Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/ BAPPENAS, salah satu anggota dari Kelompok Pemimpin Global
SUN.

Angela Kearney, Perwakilan UNICEF di Indonesia mengatakan bahwa asupan gizi yang optimal
selama masa 1000 hari kehamilan, kelahiran dan awal masa kanak-kanak penting bagi kehidupan
dewasa yang sehat dan untuk memastikan dapat belajar dengan optimal dan mencapai potensi
penuh manusia. “Anak-anak yang tidak menerima asupan gizi yang memadai dalam jenjang
waktu ini dapat menderita kerusakan tetap yang akan mempengaruhi produktivitas dan
pembangunan sebuah negara,” kata Ms. Kearney. Dia menambahkan “langkah-langkah yang
efektif didokumentasikan dengan baik. Diantaranya termasuk asupan gizi yang baik untuk ibu
selama masa kehamilan, pemberian ASI eksklusif untuk bayi selama enam bulan pertama diikuti
oleh asupan pelengkap yang sesuai dan pemberian ASI hingga anak berusia dua tahun sekaligus
praktek-praktek kebersihan.”

“Akses terhadap pola makan yang bergizi dan sesuai umur untuk anak dibawah 2 tahun serta ibu
hamil dan menyusui – khususnya di wilayah paling rentan pangan di negara ini – merupakan hal
yang sangat penting,” kata Coco Ushiyama, Perwakilan – Badan Pangan Dunia (The United
Nations World Food Programme – WFP) di Indonesia, yang menekankan bahwa akses tersebut
dapat dijamin hanya dengan dukungan kerjasama para mitra baik dari sektor publik maupun
swasta. “Memastikan asupan makanan yang benar pada waktu yang tepat khususnya pada 1000
hari pertama dalam kehidupan seorang anak merupakan hal yang terpenting,” ucap Ms.
Ushiyama. Memperkaya makanan pokok dan makanan khusus untuk anak dan perempuan
dengan vitamin dan mineral akan membantu menjamin semua gizi dapat tercukupi dan
dikonsumsi oleh masyarakat umum – dan khususnya bagi kelompok-kelompok yang paling
rentan.

Sejak tahun 2010, Indonesia dilaporkan berada di jalur yang benar dalam mencapai tujuan
pertama dari Tujuan Pembangunan Millennium (MDG) tentang pengurangan jumlah anak yang
kekurangan berat badan dibawah usia lima tahun. Namun, survey yang sama juga menunjukkan
sebuah peningkatan yang mengkhawatirkan sebesar 36 persen kekurangan gizi kronik pada anak
dibawah usia lima tahun. Hal ini berarti satu di antara tiga anak pada kelompok usia ini memiliki
ukuran badan yang lebih pendek dari standar tinggi badan yang diharapkan untuk usia mereka.
Di beberapa provinsi seperti Nusa Tenggara Timur, 6 dari 10 anak terhambat pertumbuhannya.

Kekurangan gizi kronik (stunting) memiliki dampak permanen pada pertumbuhan dan
perkembangan tubuh seorang anak. Asupan gizi buruk memiliki biaya ekonomi, mengurangi
Produk Domestik Bruto yang diperkirakan sebesar 2 hingga 3 persen.

Laporan global UNICEF tentang Perkembangan Asupan Gizi Ibu dan Anak menyatakan bahwa
Indonesia memiliki jumlah anak dengan keterhambatan pertumbuhan terbanyak kelima di dunia.
Diperkirakan sekitar 7.8 juta anak dibawah usia lima tahun di Indonesia terhambat
pertumbuhannya.

Tanda Kurang Gizi Pada Anak dan Penyebabnya

Share Artikel ini melalui:


Diterbitkan pada tanggal 3 - 01 - 2010 | 11 komentar

DokterSehat.com – GIZI merupakan unsur yang sangat penting di dalam tubuh. Dengan gizi
yang baik, tubuh akan segar dan kita dapat melakukan aktivitas dengan baik. Gizi harus dipenuhi
justru sejak masih anak-anak, karena gizi selain penting untuk pertumbuhan badan, juga penting
untuk perkembangan otak. Untuk itu, orang tua harus mengerti dengan baik kebutuhan gizi si
anak agar anak tidak mengalami kurang gizi. Selain itu, orang tua juga harus mengetahui apa dan
bagaimana kurang gizi itu.

Tanda kurang gizi

Menurut Dr. Sri Kurniati M.S., Dokter Ahli Gizi Medik Rumah Sakit Anak dan Bersalin
Harapan Kita, kurang gizi pada anak terbagi menjadi tiga.

Pertama, disebut sebagai Kurang Energi Protein Ringan. Pada tahap ini, Sri menjelaskan bahwa
belum ada tanda-tanda khusus yang dapat dilihat dengan jelas. Hanya saja, berat badan si anak
hanya mencapai 80 persen dari berat badan normal.

Sedangkan yang kedua, disebut sebagai Kurang Energi Protein Sedang. Pada tahap ini, berat
badan si anak hanya mencapai 70 persen dari berat badan normal. Selain itu, ada tanda yang bisa
dilihat dengan jelas adalah wajah menjadi pucat, dan warna rambut berubah agak kemerahan.

Ketiga, disebut sebagai Kurang Energi Protein Berat. Pada bagian ini terbagi lagi menjadi dua,
yaitu kurang sekali, biasa disebut Marasmus. Tanda pada marasmus ini adalah berat badan si
anak hanya mencapai 60 persen atau kurang dari berat badan normal. Selain marasmus, ada lagi
yang disebut sebagai Kwashiorkor. Pada kwashiorkor, selain berat badan, ada beberapa tanda
lainnya yang bisa secara langsung terlihat. Antara lain adalah kaki mengalami pembengkakan,
rambut berwarna merah dan mudah dicabut, kemudian karena kekurangan vitamin A, mata
menjadi rabun, kornea mengalami kekeringan, dan terkadang terjadi borok pada kornea,
sehingga mata bisa pecah. Selain tanda-tanda atau gejala-gejala tersebut, ada juga tanda lainnya,
seperti penyakit penyertanya. Penyakit-penyakit penyerta tersebut misalnya adalah anemia atau
kurang darah, infeksi, diare yang sering terjadi, kulit mengerak dan pecah sehingga keluar cairan,
serta pecah-pecah di sudut mulut.

Faktor penyebab

Kurang gizi pada anak, bisa terjadi di usia Balita (Bawah Lima Tahun). “Pedoman untuk
mengetahui anak kurang gizi adalah dengan melihat berat dan tinggi badan yang kurang dari
normal,” kata Sri. Sri menambahkan, jika tinggi badan si anak tidak terus bertambah atau kurang
dari normal, itu menandakan bahwa kurang gizi pada anak tersebut sudah berlangsung lama.

Faktor Penyebab Kurang Gizi

Sri menjelaskan, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab kurang gizi pada anak.

Pertama, jarak antara usia kakak dan adik yang terlalu dekat ikut mempengruhi. Dengan
demikian, perhatian si ibu untuk si kakak sudah tersita dengan keberadaan adiknya, sehingga
kakak cenderung tidak terurus dan tidak diperhatikan makanannya. Oleh karena itu akhirnya si
kakak menjadi kurang gizi. “Balita itu konsumen pasif, belum bisa mengurus dirinya sendiri,
terutama ntuk makan,” tutur Sri.
Kedua, anak yang mulai bisa berjalan mudah terkena infeksi atau juga tertular oleh penyakit-
penyakit lain.

Selain itu, yang ketiga adalah karena lingkungan yang kurang bersih, sehingga anak mudah
sakit-sakitan. Karena sakit-sakitan tersebut, anak menjadi kurang gizi.

Keempat, kurangnya pengetahuan orang tua terutama ibu mengenai gizi. “Kurang gizi yang
murni adalah karena makanan,” kata Sri. Menurut Sri, si Ibu harus dapat memberikan makanan
yang kandungan gizinya cukup. “Tidak harus mahal, bisa juga diberikan makanan yang murah,
asal kualitasnya baik,” lanjut Sri. Oleh karena itulah si Ibu harus pintar-pintar memilihkan
makanan untuk anak.

Kelima, kondisi sosial ekonomi keluarga yang sulit. Faktor ini cukup banyak mempengaruhi,
karena jika anak sudah jarang makan, maka otomatis mereka akan kekurangan gizi. Keenam,
selain karena makanan, anak kurang gizi bisa juga karena adanya penyakit bawaan yang
memaksa anak harus dirawat. Misalnya penyakit jantung dan paru-paru bawaan.

Upaya yang harus dilakukan

Bila kekuangan gizi, anak akan mudah sekali terkena berbagai macam penyakit, anak yang
kurang gizi tersebut, akan sembuh dalam waktu yang lama. Dengan demikian kondisi ini juga
akan mempengaruhi perkembangan intelegensi anak. Untuk itu, bagi anak yang mengalami
kurang gizi, harus dilakukan upaya untuk memperbaiki gizinya.

Upaya-upaya yang dilakukan tersebut antara lain adalah meningkatkan pengetahuan orang tua
mengenai gizi, melakukan pengobatan kepada si anak dengan memberikan makanan yang dapat
menjadikan status gizi si anak menjadi lebih baik. Dengan demikian, harus dilakukan pemilihan
makanan yang baik untuk si anak. Menurut Sri, makanan yang baik adalah makanan yang
kuantitas dan kualitasnya baik.

Makanan dengan kuantitas yang baik adalah makanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan si
anak. Misalnya, memberi makanan si anak berapa piring sehari adalah sesuai kebutuhannya. Dan
akan lebih baik jika memberikan vitamin dan protein melalui susu. Bagi keluarga yang tidak
mampu, bisa menyiasatinya, misalnya mengganti susu dengan telur. Kemudian, makanan yang
kualitasnya baik adalah makanan yang mengandung semua zat gizi, antara lain protein,
karbohidrat, zat besi, dan mineral. Upaya yang terakhi adalah dengan mengobati penyakit-
penyakit penyerta. (m-4)

sumber: gizi.net

Read more: http://doktersehat.com/kurang-gizi-anak-faktor-seba/#ixzz2IP9wBuFV

Anda mungkin juga menyukai