Anda di halaman 1dari 66

PRESENTASI KASUS

LUKA BAKAR

Pembimbing:

dr. B.J. Bismedi, SpBP-RE

Disusun Oleh:

Yofara Maulidiah Muslihah

1111103000047

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2016

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Obstetrik | 1
KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirahim.

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah


melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya serta shalawat dan salam Kepada
Nabi Muhammad SAW, sehingga penyusun dapat menyelesaikan Makalah
Laporan Presentasi Kasus Luka Bakar ini dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah di
RSUP Fatmawati.

Tak lupa kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya


kepada para pengajar, fasilitator, dan narasumber SMF Ilmu Bedah RSUP
Fatmawati, khususnya dr. Bismedi, SpBP selaku pembimbing.

Penyusun menyadari bahwa penyusunan Makalah Presentasi Kasus


Luka Bakar ini masih jauh dari sempurna, serta banyak terdapat kesalahan
maupun kekurangan. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan
saran yang membangun demi kesempurnaan Makalah Presentasi Kasus Luka
Bakar ini. Semoga Makalah Presentasi Kasus Luka Bakar ini bermanfaat.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jakarta, 7 Juni 2016

Penyusun

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Obstetrik | 2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................2


DAFTAR ISI ............................................................................................................................3
BAB I ILUSTRASI KASUS DEWASA .............................................................................. 4
BAB II ILUSTRASI KASUS ANAK ...................................................................................14
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................................22
3.1. Definisi dan Etiologi Luka Bakar ......................................................................22
3.2. Klasifikasi Luka Bakar ..........................................................................................24
3.3. Berat dan Luas Luka Bakar ................................................................................26
3.4. Pembagian Luka Bakar ........................................................................................29
3.5. Patofisiologi Luka Bakar .....................................................................................30
3.6. Fase Pada Luka Bakar ..........................................................................................34
3.7. Indikasi Rawat Inap Pasien Luka Bakar ........................................................35
3.8. Pemeriksaan Penunjang ......................................................................................36
3.9. Penatalaksanaan Luka Bakar ............................................................................36
3.10. Prognosis ................................................................................................................44
3.11. Komplikasi .............................................................................................................45
BAB IV ANALISA KASUS ..................................................................................................52
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................66

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 3
BAB I

ILUSTRASI KASUS DEWASA

1.1 Identitas Pasien

Nama : Sapriliyanto Hermawarn


Nomor RM : 01443330
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat/ Tanggal Lahir : Surabaya, 7 April 1979 (37 tahun)
Alamat : Kampung Jati Parung
RT 002/007 Bogor – Jawab Barat
Agama : Islam
Pendidikan : Tamat SMP
Masuk Rawat Inap RSF : Rabu, 15 Juni 2016

1.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 15 Juni 2016 pukul 06.00 secara
aloanamnesis terhadap ibu pasien di IGD Bedah RSUP Fatmawati.

Keluhan Utama:
Pasien tersiram air kuah bakso mendidih 2 hari sebelum masuk rumah
sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien tersiram air kuah bakso mendidih dagangannya pasca-
gerobaknya tertabrak motor dari belakang. Pasien sempat terpental dan
terjatuh di jalanan beraspal. Punggung, leher, serta kedua lengan
belakang pasien tersiram air kuah. Pasien tidak mengalami benturan
pada kepala dan tidak mengalami penurunan kesadaran.
Pasien kemudian dibawa ke Rumah Sakit PMI Bogor dan
mendapatkan penatalaksanaan hingga pagi hari sebelum masuk RS
Fatmawati Jakarta.

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 4
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien belum pernah mengalami kejadian serupa sebelumnya. Tidak ada
riwayat alergi makanan ataupun obat, tidak ada alergi sebelumnya.
Pasien belum pernah dioperasi atau dirawat di rumah sakit sebelumnya.
Pasien juga menyangkal adanya riwayat pernah didiagnosis memiliki
darah tinggi ataupun kencing manis.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Tidak ada riwayat alergi makanan ataupun obat, riwayat asma, riwayat
kencing manis, dan darah tinggi pada keluarga pasien.

Riwayat Keadaan Sosial / Kebiasaan:


Sehari-hari pasien bekerja sebagai pedagang bakso keliling. Pasien
merokok, namun tidak konsumsi alkohol maupun narkotika. Pasien
mendaftarkan diri sebagai pasien non-BPJS/ pasien tunai.

1.3 Pemeriksaan Fisik


Kesadaran : Compos Mentis

Primary Survey
A : Bebas
B : Spontan, frekuensi nafas 24x/menit, reguler
C : Akral hangat, CRT < 2 detik, frekuensi nadi 97x/menit, suhu 36,8°C

Secondary Survey
BB 67 kg

Kepala : Tidak tampak deformitas atau jejas


Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat
isokor diameter 3mm/3mm, RCL +/+, RCTL +/+,
gerakan mata ke segala arah, edema palpebra -/-
Hidung : Septum deviasi (-), konka edema (-), mukosa
hiperemis (-), sekret -/-, napas cuping hidung -/-
Mulut : Mukosa bibir basah, gigi karies (-)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang, arcus faring

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 5
simetris, uvula terletak ditengah
Leher : Tampak luka bakar berwarna merah hampir di
keseluruhan lingkar leher dengan satu buah bullae di
leher bagian belakang, trakea terletak ditengah, tidak
tampak dan tidak teraba pembesaran KGB ataupun
kelenjar tiroid
Thorax : Anterior:
Tampak luka bakar berwarna merah sedikit
perpanjangan dari leher disertai satu buah
bullae
Lateral:
Kanan - tampak luka bakar berwarna merah hingga
linea axillaris anterior disertai dengan
beberapa bullae
Kiri – tampak luka bakar berwarna merah hingga
linea axillaris media disertai dengan beberapa
bullae
Posterior:
Tampak luka bakar berwarna merah hingga putih di
seluruh lapang thorax posterior disertai
dengan beberapa bullae
Paru :  Inspeksi
Pergerakan dada simetris saat statis dan dinamis,
retraksi iga (-)
 Palpasi
Vokal fremitus simetris kiri dan kanan
 Perkusi
Sonor pada paru kiri dan kanan
 Auskultasi
Suara napas vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung :  Inspeksi
Ictus kordia tidak terlihat
 Palpasi
Ictuc kordis teraba ICS V
 Perkusi
Batas jantung kiri ICS V sisi medial MCLS, batas
jantung kanan ICS V PSL dektra
 Auskultasi

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 6
S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :  Inspeksi
Anterior:
Tidak tampak adanya luka bakar.
Lateral:
Kanan - tampak luka bakar berwarna merah
hingga linea axillaris anterior disertai
dengan beberapa bullae
Kiri – tampak luka bakar berwarna merah hingga
linea axillaris media disertai dengan
beberapa bullae
Posterior:
Tampak luka bakar berwarna merah hingga putih
di seluruh lapang abdomen posterior
disertai dengan beberapa bullae

 Palpasi
Lemas, Nyeri tekan (-), hepar/lien tak teraba,
ballotement -/-
 Perkusi
Timpani
 Auskultasi
Bising usus positif normal

Ekstremitas : Akral hangat, edema (-/-), CRT < 3 detik, tampak


Atas beberapa garis luka bakar berwarna merah hingga
merah gelap pada lengan serta paha kanan atas serta
jari-jemari kaki kanan
Genital : Orificium uretra eksternum tidak hiperemis,
terpasang folley catheter yang terhubung dengan
urine bag
Kulit : Lembab, petechiae (-), ikterik (-), sianosis (-), tampak
luka bakar sesuai dengan penjelasan per-regio
sebelumnya

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 7
Status Lokalis:
Berdasarkan Wallace Rule of Nines dan permukaan palmar pasien.
Anggota Tubuh IIa Grade IIb Grade III
Kepala 0% 0,50% 0%
Leher 0% 3,00% 0%
Trunkus anterior 0% 0,75% 0%
Trunkus posterior 2,25% 9,25% 5,00%
Ekstremitas atas kanan 1,00% 7,25% 0%
Ekstremitas atas kiri 0,75% 0% 0%
Ekstremitas bawah kanan 0% 0,25% 0%
Ekstremitas bawah kiri 0% 0% 0%
Bokong 0% 1,50% 0%
Genitalia 0% 0% 0%
Sub-Total 4,00% 22,50% 5,00%
Total 31,50%

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 8
1.4 Pemeriksaan Penunjang
Hasil Pemeriksaan Laboratorium (15 Juni 2016)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


HEMATOLOGI
Hemoglobin 16.5 13,2-17,3
Hematokrit 49 33-45
Leukosit 10.2 5.0-10,0
Trombosit 187 150-440
Eritrosit 5.71 4,40-5,90
VER/HER/KHER/RDW
VER 85.4 80,0-100,0
HER 29.0 26,0-34,0
KHER 33.9 32,0-36,0
RDW 13.4 11,5-14,5
FUNGSI HATI
SGOT 31 0-34
SGPT 18 0-40
Albumin 3.00 3.40-4.80
FUNGSI GINJAL
Ureum 24 20-40
Kreatinin 1,0 0,6-1,5
DIABETES
Gula Darah Sewaktu 106 80-140
ELEKTROLIT DARAH
Natrium 134 135-147
Kalium 3,56 3,10-5,10
Klorida 103 95-106

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 9
1.5 Diagnosis
Combustio Grade IIb-III 30,75% Regio Kepala, Leher, Dada, Punggung,
Lengan Kanan dan Kiri e.c. Air Panas

1.6 .Tatalaksana
Penatalaksanaan saat penerimaan di IGD Fatmawati Jakarta:
 Rawat inap di unit luka bakar
 IVFD RL 1500 cc/ 24 jam
 Medikamentosa:
o Injeksi Ceftriaxon 2 x 1 gr IV
o Tramadol 1 x 100 mg IV
o Omeprazole 2 x 40 mg IV
 Non-medikamentosa:
o Debridement di ruang operasi
o Diet bebas
o Rawat luka dengan Burnazin (Silver Sulfadiazin)

Adapun, penatalaksaan di unit luka bakar pada pukul 14.00 WIB di hari
yang sama diperbaiki menjadi:

 Program Cairan:
o IVFD ± 2500 cc/ 24 jam berupa RL : Kaen 3B sebanyak 3 :
1 dengan laju 35-40 tpm
o Monitor produksi urin dengan target balans sebanyak 40 –
70 cc/ jam
 Medikamentosa:
o Ceftriaxon 2 x 1 gr IV
o Tramadol 1 x 100 mg IV
o Omeprazole 2 x 40 mg IV
 Non-medikamentosa:
o Luka dibersihkan dengan NaCl 0,9% dan Chlorhexidine
dengan menggunakan kassa
o Perawatan luka:
 Luka bakar dibalut dengan cling wrap
 Luka-luka yang tidak terbalut oleh wrap dibalut
dengan Kemicetin zalf 2-4 x/ hari
o Diet bebas
o Mobilisasi miring kanan-kiri

1.7 Prognosis
Ad vitam : Bonam

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 10
Ad fungsionam : Dubia Ad Bonam
Ad sanasionam : Bonam

1.8 Dokumentasi
Sebelum Dilakukan Debridement (16 Juni 2016)

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 11
Yofara M. Muslihah (1111103000047)
PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 12
Setelah Dilakukan Debridement (27 Juni 2016)
Perawatan Hari Ke-13

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 13
BAB II

ILUSTRASI KASUS ANAK

2. 1. Identitas Pasien

Nama : An. Azmi Shafwan


Tanggal lahir : 11 Mei 2015
Usia : 1 tahun 1 bulan (13 bulan)
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jalan Perkapuran nomor 60 RT 02/06, Cimanggis,
Depok
Agama : Islam
Status : Anak kedua dari 2 bersaudara

2. 2. Anamnesis

Anamnesis dilakukan pada tanggal 16 Juni 2016 pukul 17.00 WIB secara
alloanamnesis terhadap ibu dan bapak pasien di IGD bagian Unit Luka
Bakar.

Keluhan Utama:
Pasien tersiram air panas mendidih 6 jam SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien tersiram air panas mendidih pada daerah wajah, leher, dada, bahu
kanan, dan lengan kiri. Air mendidih tersebut merupakah air yang baru
dimasak oleh ibunya yang diletakkan di atas meja. Pasien yang masih
belajar berjalan berusaha menggapai meja dan tanpa sengaja
menjatuhkan wadah berisi air panas tersebut ke tubuhnya. Pasca-
kejadian, pasien segera dibawa ke IGD Rumah Sakit UIN dalam kurun
waktu < 30 pasca-kejadian. Di rumah sakit, pasien dibersihkan lukanya,
diberi burnazin zalf, dan ditutup lukanya.
Yofara M. Muslihah (1111103000047)
PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 14
Riwayat Penyakit Dahulu:
Orang tua pasien menyangkal adanya alergi makanan ataupun obat.
Pasien belum pernah mengalami kejadian serupa sebelumnya. Pasien
belum pernah dioperasi sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Tidak ada riwayat alergi makanan ataupun obat pada keluarga pasien.
Keluarga pasien tidak tahu apakah ada riwayat keloid di keluarga.

Riwayat Kehamilan Ibu :


Ibu selalu melakukan kunjungan antenatal, tidak pernah demam, batuk
dan pilek selama hamil. Pasien rutin memeriksakan kehamilannya pada
bidan dan minum vitamin jika dianjurkan. Pasien makan teratur semasa
kehamilan

Riwayat Kelahiran:
Pasien lahir tanggal 11 Mei 2015 di bidan, proses kelahiran melalui
persalinan normal, ditolong oleh bidan, cukup bulan, dan langsung
menangis. Tidak ada kebiruan saat setelah kelahiran, tidak ada cacat
bawaan. Pasien lahir dengan BBL 2900 gram.

Pola Makan:
Pasien mendapatkan ASI ekslusif, makanan pendamping ASI bubur
diberikan mulai usia 6 bulan. Saat ini pasien sudah makan nasi, sayur, dan
buah. Selera makan pasien baik.

Riwayat Pemberian Imunisasi:


Pasien sudah diberikan imunisasi Hepatitis B 3x, Polio 4x, BCG 1x, DPT 3x
dan Campak 1x.

Riwayat Tumbuh Kembang:

Duduk: Umur 6 bulan

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 15
Berdiri: Umur 10bulan
Berjalan: Saat ini masih merambat
Saat ini BB pasien adalah 7 kg

Riwayat Keadaan Sosial / Kebiasaan:


Pasien makan teratur 3 kali sehari dengan menu berupa nasi, sayur dan
lauk. Minum susu 3 kali sehari. Dan rutin tidur siang sekitar jam 11
sampai jam 2 siang.

2. 3. Pemeriksaan Fisik

Kesadaran : Compos Mentis

Primary Survey
A : Bebas
B : Spontan, frekuensi nafas 30x/menit, reguler
C : Akral hangat, CRT < 2 detik, frekuensi nadi 130x/menit, tekanan cukup

Secondary Survey

Kepala : Ubun-ubun rata, rambut hitam tersebar rata, tampak


luka bakar pada seluruh bagian wajah, beberapa
bagian berwarna gelap, beberapa bagian berwarna
merah muda pucat, tampak beberapa vesikel belum
pecah
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat
isokor diameter 2mm/2mm, RCL +/+, RCTL +/+,
gerakan mata ke segala arah, edema palpebra +/+
Hidung : Septum deviasi (-), konka edema (-), mukosa
hiperemis (-), sekret -/-, napas cuping hidung -/-
Mulut : Mukosa bibir basah, gigi karies (-), tampak beberapa
bagian bibir terkelupas
Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang, arcus faring
simetris, uvula terletak ditengah
Leher : Tampak luka bakar berwarna merah pucat di
sebagian kecil leher sisi kiri depan, trakea terletak
ditengah, tidak tampak dan tidak teraba pembesaran
KGB ataupun kelenjar tiroid

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 16
Thorax : Anterior:
Tampak luka bakar berwarna merah pucat pada
hampir seluruh lapang disertai luka bakar
berwarna gelap beberapa
Lateral:
Kanan – tidak tampak luka bakar
Kiri – tampak luka bakar berwarna merah pucat dan
gelap hingga linea axillaris posterior
Posterior:
Tampak luka bakar berwarna merah dan gelap pada
sebagian atas lapang disertai dengan beberapa
bula yang belum pecah
Paru :  Inspeksi
Pergerakan dada simetris saat statis dan dinamis,
retraksi iga (-)
 Palpasi
Vokal fremitus simetris kiri dan kanan
 Perkusi
Sonor pada paru kiri dan kanan
 Auskultasi
Suara napas vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung :  Inspeksi
Ictus kordia tidak terlihat
 Palpasi
Tidak dilakukan
 Perkusi
Tidak dilakukan
 Auskultasi
S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :  Inspeksi
Anterior:
Tampak luka bakar berwarna merah pucat pada
setengah lapang disertai luka bakar berwarna
gelap beberapa
Lateral:
Kanan – tidak tampak luka bakar

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 17
Kiri – tidak tampak luka bakar
Posterior:
Tidak tampak luka bakar

 Palpasi
Lemas, Nyeri tekan (-), hepar/lien tak teraba,
ballotement -/-
 Perkusi
Timpani, pekak hepar (+)
 Auskultasi
Bising usus positif normal

Ekstremitas : Akral hangat, edema (-/-), CRT < 3 detik, tampak luka
Atas bakar berwarna merah mudah pucat hingga gelap
pada lengan kiri atas, tampak luka bakar berwarna
merah-gelap pada lengan kiri bawah
Genital : Orificium uretra eksternum tidak hiperemis
Kulit : Lembab, petechiae (-), ikterik (-), sianosis (-),tampak
luka bakar sesuai dengan penjelasan per-regio
sebelumnya

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 18
Status Lokalis:

Berdasarkan Wallace Rule of Nines dan permukaan palmar pasien.

Grade IIa Grade IIb


Kepala 5,25 % 4,00 %
Leher 0% 0,25 %
Trunkus anterior 1,00 % 8,00 %
Trunkus posterior 1,50 % 1,50 %
Ekstremitas atas kanan 0,25 % 0%
Ekstremitas atas kiri 0,50 % 1,00 %
Ekstremitas bawah kanan 0% 0%
Ekstremitas bawah kiri 0% 0%
Bokong 0% 0%
Genitalia 0% 0%
Sub-Total 8,5% 6,75%
Total 15,25%

2. 4. Pemeriksaan Penunjang (16 Juni 2016)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


HEMATOLOGI
Hemoglobin 13,8 13,2-17,3
Hematokrit 37 33-45
Leukosit 9,3 5.0-10,0
Trombosit 320 150-440
Eritrosit 4,92 4,40-5,90
VER/HER/KHER/RDW
VER 75,1 80,0-100,0
HER 28 26,0-34,0
KHER 37,3 32,0-36,0
RDW 12,3 11,5-14,5
FUNGSI HATI
SGOT 30 0-34

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 19
SGPT 16 0-40
FUNGSI GINJAL
Ureum 17 20-40
Kreatinin 0,2 0,6-1,5
DIABETES
GulaDarahSewaktu 131 80-140
ELEKTROLIT DARAH
Natrium 125 125-147
Kalium 3,56 3,10-5,10
Klorida 103 95-106

2. 5. Diagnosis

Combustio Grade IIa-IIb 15,25% Regio Kepala, Leher, Dada, Perut, dan
Lengan Kiri e.c. Air Panas

2. 6. Tata Laksana

Penatalaksanaan saat penerimaan di IGD Fatmawati Jakarta:


 Rawat inap di unit luka bakar
 IVFD RL 261 cc/ 8 jam pertama
 Medikamentosa:
o Injeksi Cefotaxime 2 x 180 mg IV
o Paracetamol 3 x 90 mg IV
o Rawat luka dengan Burnazin (Silver Sulfadiazin), untuk
wajah rawat dengan Chloramphenicol Zalf mata
 Non-medikamentosa: debridement di ruang operasi
 Diet bebas

2. 7. Prognosis

Ad vitam : Dubia Ad Bonam


Ad fungsionam : Bonam
Ad sanasionam : Bonam

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 20
2. 8. Dokumentasi

Sebelum Dilakukan Debridement (16 Juni 2016)

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 21
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3. 1. Definisi dan Etiologi

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan


yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas,
bahan kimia, listrik, dan radiasi. Luka bakar merupakan suatu jenis
trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan
penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut.

Luka bakar dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung
maupun tidak langsung, misal akibat tersiram air panas yang banyak
terjadi pada kecelakaan rumah tangga. Selain itu, pajanan suhu tinggi
dari matahari, listrik maupun bahan kimia juga dapat menyebabkan
luka bakar. Secara garis besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat
dibagi menjadi:

 Paparan api
Flame (kobaran api): Akibat kontak langsung antara jaringan
dengan api terbuka, dan menyebabkan cedera langsung ke
jaringan tersebut. Api dapat membakar pakaian terlebih
dahulu baru mengenai tubuh. Serat alami memiliki
kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat sintetik
cenderung meleleh atau menyala dan menimbulkan cedera
tambahan berupa cedera kontak.
Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan
benda panas. Luka bakar yang dihasilkan terbatas pada area
tubuh yang mengalami kontak. Contohnya antara lain adalah
luka bakar akibat rokok dan alat-alat seperti solder besi atau
peralatan masak.
 Scalds (air panas)

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 22
Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan
dan semakin lama waktu kontaknya, semakin besar kerusakan
yang akan ditimbulkan. Luka yang disengaja atau akibat
kecelakaan dapat dibedakan berdasarkan pola luka bakarnya.
Pada kasus kecelakaan, luka umumnya menunjukkan pola
percikan, yang satu sama lain dipisahkan oleh kulit sehat.
Sedangkan pada kasus yang disengaja, luka umumnya
melibatkan keseluruhan ekstremitas dalam pola
sirkumferensial dengan garis yang menandai permukaan
cairan.
 Uap panas
Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan
radiator mobil. Uap panas menimbulkan cedera luas akibat
kapasitas panas yang tinggi dari uap serta dispersi oleh uap
bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap panas dapat
menyebabkan cedera hingga ke saluran napas distal di paru.
 Gas panas
Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas
bagian atas dan oklusi jalan nafas akibat edema.
 Aliran listrik
Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus
jaringan tubuh. Umumnya luka bakar mencapai kulit bagian
dalam. Listrik yang menyebabkan percikan api dan membakar
pakaian dapat menyebabkan luka bakar tambahan.
 Zat kimia (asam atau basa)
 Radiasi
Sunburn sinar matahari, terapi radiasi.

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 23
3.2. Klasifikasi Luka Bakar

Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan


suhu tinggi, adekuasi resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Selain api
yang langsung menjilat tubuh, baju yang ikut terbakar juga
memperdalam luka bakar. Bahan baju yang paling aman adalah yang
terbuat dari bulu domba (wol). Bahan sintetis seperti nilon dan dakron,
selain mudah terbakar juga mudah meleleh oleh suhu tinggi, lalu menjadi
lengket sehingga memperberat kedalaman luka bakar.
Kedalaman luka bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar, yaitu
luka bakar derajat I, II, atau III:

 Derajat I
Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan
banyak jaringan untuk dapat melakukan regenerasi. Luka bakar
derajat I biasanya sembuh dalam 5-7 hari dan dapat sembuh secara
sempurna. Luka biasanya tampak sebagai eritema dan timbul dengan
keluhan nyeri dan atau hipersensitivitas lokal. Contoh luka bakar
derajat I adalah sunburn.

 Derajat II
Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun
masih terdapat epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 24
epitelisasi. Jaringan tersebut misalnya sel epitel basal, kelenjar
sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal rambut. Dengan adanya
jaringan yang masih “sehat” tersebut, luka dapat sembuh dalam 2-3
minggu. Gambaran luka bakar berupa gelembung atau bula yang
berisi cairan eksudat dari pembuluh darah karena perubahan
permeabilitas dindingnya, disertai rasa nyeri. Apabila luka bakar
derajat II yang dalam tidak ditangani dengan baik, dapat timbul edema
dan penurunan aliran darah di jaringan, sehingga cedera berkembang
menjadi full-thickness burn atau luka bakar derajat III.

 Derajat III
Mengenai seluruh lapisan kulit, dari subkutis hingga mungkin organ
atau jaringan yang lebih dalam. Pada keadaan ini tidak tersisa jaringan
epitel yang dapat menjadi dasar regenerasi sel spontan, sehingga
untuk menumbuhkan kembali jaringan kulit harus dilakukan cangkok
kulit. Gejala yang menyertai justru tanpa nyeri maupun bula, karena
pada dasarnya seluruh jaringan kulit yang memiliki persarafan sudah
tidak intak.

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 25
3.3. Berat dan Luas Luka Bakar

Berat luka bakar bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Usia
dan kesehatan pasien sebelumnya akan sangat mempengaruhi
prognosis. Adanya trauma inhalasi juga akan mempengaruhi berat luka
bakar.
Jaringan lunak tubuh akan terbakar bila terpapar pada suhu di atas
46oC. Luasnya kerusakan akan ditentukan oleh suhu permukaan dan
lamanya kontak. Luka bakar menyebabkan koagulasi jaringan lunak.
Seiring dengan peningkatan suhu jaringan lunak, permeabilitas kapiler
juga meningkat, terjadi kehilangan cairan, dan viskositas plasma
meningkat dengan resultan pembentukan mikrotrombus. Hilangnya
cairan dapat menyebabkan hipovolemi dan syok, tergantung banyaknya
cairan yang hilang dan respon terhadap resusitasi. Luka bakar juga
menyebabkan peningkatan laju metabolik dan energi metabolisme.
Semakin luas permukaan tubuh yang terlibat, morbiditas dan
mortalitasnya meningkat, dan penanganannya juga akan semakin
kompleks. Luas luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas
seluruh tubuh. Ada beberapa metode cepat untuk menentukan luas luka
bakar, yaitu:

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 26
 Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar
pasien. Luas telapak tangan individu mewakili 1% luas permukaan
tubuh. Luas luka bakar hanya dihitung pada pasien dengan derajat
luka II atau III.
 Rumus 9 atau rule of nine untuk orang dewasa
Pada dewasa digunakan ‘rumus 9’, yaitu luas kepala dan leher,
dada, punggung, pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan,
ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki
kanan, serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%. Sisanya 1%
adalah daerah genitalia. Rumus ini membantu menaksir luasnya
permukaan tubuh yang terbakar pada orang dewasa.

Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif
permukaan kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif
permukaan kaki lebih kecil. Karena perbandingan luas permukaan
bagian tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi,
dan rumus 10-15-20 untuk anak.

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 27
 Metode Lund dan Browder
Metode yang diperkenalkan untuk kompensasi besarnya porsi
massa tubuh di kepala pada anak. Metode ini digunakan untuk
estimasi besarnya luas permukaan pada anak. Apabila tidak
tersedia tabel tersebut, perkiraan luas permukaan tubuh pada
anak dapat menggunakan ‘Rumus 9’ dan disesuaikan dengan
usia:
 Pada anak di bawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap
tungkai 14%. Torso dan lengan persentasenya sama
dengan dewasa.
 Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5%
untuk tiap tungkai dan turunkan persentasi kepala
sebesar 1% hingga tercapai nilai dewasa.

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 28
Lund and Browder chart illustrating the method for calculating the percentage
of body surface area affected by burns in children.

3.4. Pembagian Luka Bakar

1. Luka Bakar Berat (major burn)

a. Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau


di atas usia 50 tahun
b. Derajat II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan pada
butir pertama
c. Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum
d. Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa
memperhitungkan luas luka bakar
e. Luka bakar listrik tegangan tinggi
f. Disertai trauma lainnya

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 29
Pasien-pasien dengan resiko tinggi

2. Luka bakar sedang (moderate burn)

a. Luka bakar dengan luas 15 – 25 % pada dewasa, dengan luka


bakar derajat III kurang dari 10 %

b. Luka bakar dengan luas 10 – 20 % pada anak usia < 10 tahun atau
dewasa > 40 tahun, dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %

c. Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa
yang tidak mengenai muka, tangan, kaki, dan perineum

3. Luka bakar ringan

a. Luka bakar dengan luas < 15 % pada dewasa

b. Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut

c. Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai
muka, tangan, kaki, dan perineum

3.5. Patofisiologi Luka Bakar

Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan.
Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas
meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat
terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan edema dan
menimbulkan bula yang mengandung banyak elektrolit. Hal itu
menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskuler. Kerusakan
kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan akibat
penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk
pada luka bakar derajat II, dan pengeluaran cairan dari keropeng luka
bakar derajat III.

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 30
Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme
kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%,
akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala yang khas, seperti gelisah,
pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun
dan produksi urin yang berkurang. Pembengkakan terjadi pelan-pelan,
maksimal terjadi setelah delapan jam. Pada kebakaran ruang tertutup
atau bila luka terjadi di wajah, dapat terjadi kerusakan mukosa jalan
napas karena gas, asap atau uap panas yang terisap. Edema laring yang
ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan napas dengan
gejala sesak napas, takipnea, stridor, suara serak dan dahak berwarna
gelap akibat jelaga.

Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya. CO


akan mengikat hemoglobin dengan kuat sehingga hemoglobin tak
mampu lagi mengikat oksigen. Tanda keracunan ringan adalah lemas,
bingung, pusing, mual dan muntah. Pada keracunan yang berat terjadi
koma. Bila lebih dari 60% hemoglobin terikat CO, penderita dapat
meninggal.

Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi


mobilisasi serta penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah.
Ini ditandai dengan meningkatnya diuresis.

Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati, yang
merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan
mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena daerahnya tidak
tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami trombosis. Padahal,
pembuluh ini membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotik.
Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain berasal dari dari kulit
penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran napas atas dan
kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial ini
biasanya sangat berbahaya karena kumannya banyak yang sudah
resisten terhadap berbagai antibiotik.

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 31
Pada awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kokus Gram positif
yang berasal dari kulit sendiri atau dari saluran napas, tetapi kemudian
dapat terjadi invasi kuman Gram negatif, Pseudomonas aeruginosa yang
dapat menghasilkan eksotoksin protease dari toksin lain yang
berbahaya, terkenal sangat agresif dalam invasinya pada luka bakar.
Infeksi pseudomonas dapat dilihat dari warna hijau pada kasa penutup
luka bakar. Kuman memproduksi enzim penghancur keropeng yang
bersama dengan eksudasi oleh jaringan granulasi membentuk nanah.

Infeksi ringan dan noninvasif ditandai dengan keropeng yang mudah


terlepas dengan nanah yang banyak. Infeksi yang invasif ditandai
dengan keropeng yang kering dengan perubahan jaringan di tepi
keropeng yang mula-mula sehat menadi nekrotik; akibatnya, luka bakar
yang mula-mula derajat II menjadi derajat III. Infeksi kuman
menimbulkan vaskulitis pada pembuluh kapiler di jaringan yang
terbakar dan menimbulkan trombosis sehingga jaringan yang
didarahinya nanti.

Bila luka bakar dibiopsi dan eksudatnya dibiak, biasanya ditemukan


kuman dan terlihat invasi kuman tersebut ke jaringan sekelilingnya.
Luka bakar demikian disebut luka bakar septik. Bila penyebabnya
kuman Gram positif, seperti stafilokokus atau basil Gram negatif
lainnya, dapat terjadi penyebaran kuman lewat darah (bakteremia)
yang dapat menimbulkan fokus infeksi di usus. Syok sepsis dan
kematian dapat terjadi karena toksin kuman yang menyebar di darah.

Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II dapat


sembuh dengan meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini
dimulai dari sisa elemen epitel yang masih vital, misalnya sel kelenjar
sebasea, sel basal, sel kelenjar keringat, atau sel pangkal rambut. Luka
bakar derajat II yang dalam mungkin meninggalkan parut hipertrofik
yang nyeri, gatal, kaku dan secara estetik jelek. Luka bakar derajat III

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 32
yang dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami kontraktur. Bila terjadi
di persendian, fungsi sendi dapat berkurang atau hilang.

Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik. Pada fase
akut, peristalsis usus menurun atau berhenti karena syok, sedangkan
pada fase mobilisasi, peristalsis dapat menurun karena kekurangan ion
kalium.

Stres atau badan faali yang terjadi pada penderita luka bakar berat
dapat menyebabkan terjadinya tukak di mukosa lambung atau
duodenum dengan gejala yang sama dengan gejala tukak peptik.
Kelainan ini dikenal sebagai tukak Curling.

Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga


keseimbangan protein menjadi negatif. Protein tubuh banyak hilang
karena eksudasi, metabolisme tinggi dan infeksi. Penguapan berlebihan
dari kulit yang rusak juga memerluka kalori tambahan. Tenaga yang
diperlukan tubuh pada fase ini terutama didapat dari pembakaran
protein dari otot skelet. Oleh karena itu, penderita menjadi sangat
kurus, otot mengecil, dan berat badan menurun. Dengan demikian,
korban luka bakar menderita penyakit berat yang disebut penyakit luka
bakar. Bila luka bakar menyebabkan cacat, terutama bila luka mengenai
wajah sehingga rusak berat, penderita mungkin mengalami beban
kejiwaan berat. Jadi prognosis luka bakar ditentukan oleh luasnya luka
bakar.

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 33
3.6. Fase pada Luka Bakar

Dalam perjalanan penyakit, dapat dibedakan menjadi tiga fase pada


luka bakar, yaitu:

1. Fase awal, fase akut, fase syok


Pada fase ini, masalah utama berkisar pada gangguan yang
terjadi pada saluran nafas yaitu gangguan mekanisme bernafas,
hal ini dikarenakan adanya eskar melingkar di dada atau
trauma multipel di rongga toraks; dan gangguan sirkulasi
seperti keseimbangan cairan elektrolit, syok hipovolemia.

2. Fase setelah syok berakhir, fase sub akut


Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory
Response Syndrome (SIRS) dan Multi-system Organ Dysfunction
Syndrome (MODS) dan sepsis. Hal ini merupakan dampak dan
atau perkembangan masalah yang timbul pada fase pertama
dan masalah yang bermula dari kerusakan jaringan (luka dan
sepsis luka)

3. Fase lanjut
Fase ini berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya
maturasi jaringan. Masalah yang dihadapi adalah penyulit dari
luka bakar seperti parut hipertrofik, kontraktur dan deformitas
lain yang terjadi akibat kerapuhan jaringan atau struktur
tertentu akibat proses inflamasi yang hebat dan berlangsung
lama

Pembagian zona kerusakan jaringan:

1. Zona koagulasi, zona nekrosis

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 34
Merupakan daerah yang langsung mengalami kerusakan
(koagulasi protein) akibat pengaruh cedera termis, hampir
dapat dipastikan jaringan ini mengalami nekrosis beberapa
saat setelah kontak. Oleh karena itulah disebut juga sebagai
zona nekrosis.
2. Zona statis
Merupakan daerah yang langsung berada di luar/di sekitar
zona koagulasi. Di daerah ini terjadi kerusakan endotel
pembuluh darah disertai kerusakan trombosit dan leukosit,
sehingga terjadi gangguam perfusi (no flow phenomena),
diikuti perubahan permeabilitas kapilar dan respon inflamasi
lokal. Proses ini berlangsung selama 12-24 jam pasca cedera
dan mungkin berakhir dengan nekrosis jaringan.
3. Zona hiperemi
Merupakan daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi
berupa vasodilatasi tanpa banyak melibatkan reaksi selular.
Tergantung keadaan umum dan terapi yang diberikan, zona
ketiga dapat mengalami penyembuhan spontan, atau berubah
menjadi zona kedua bahkan zona pertama.

3.7. Indikasi Rawat Inap Pasien Luka Bakar

Menurut American Burn Association, seorang pasien diindikasikan untuk


dirawat inap bila:

1. Luka bakar derajat III > 5%


2. Luka bakar derajat II > 10%
3. Luka bakar derajat II atau III yang melibatkan area kritis (wajah,
tangan, kaki, genitalia, perineum, kulit di atas sendi utama) 
risiko signifikan untuk masalah kosmetik dan kecacatan fungsi
4. Luka bakar sirkumferensial di thoraks atau ekstremitas

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 35
5. Luka bakar signifikan akibat bahan kimia, listrik, petir, adanya
trauma mayor lainnya, atau adanya kondisi medik signifikan
yang telah ada sebelumnya
6. Adanya trauma inhalasi

3.8. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan:

1. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah

2. Urinalisis

3. Pemeriksaan keseimbangan elektrolit

4. Analisis gas darah

5. Radiologi – jika ada indikasi ARDS

6. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis


SIRS dan MODS

3.9. Penatalaksanaan Luka Bakar

Pasien luka bakar harus dievaluasi secara sistematik. Prioritas


utama adalah mempertahankan jalan nafas tetap paten, ventilasi yang
efektif dan mendukung sirkulasi sistemik. Intubasi endotrakea
dilakukan pada pasien yang menderita luka bakar berat atau kecurigaan
adanya jejas inhalasi atau luka bakar di jalan nafas atas. Intubasi dapat
tidak dilakukan bila telah terjadi edema luka bakar atau pemberian
cairan resusitasi yang terlampau banyak. Pada pasien luka bakar,
intubasi orotrakea dan nasotrakea lebih dipilih daripada trakeostomi.

Pasien dengan luka bakar saja biasanya hipertensi. Adanya hipotensi


awal yang tidak dapat dijelaskan atau adanya tanda-tanda hipovolemia

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 36
sistemik pada pasien luka bakar menimbulkan kecurigaan adanya jejas
‘tersembunyi’. Oleh karena itu, setelah mempertahankan ABC, prioritas
berikutnya adalah mendiagnosis dan menata laksana jejas lain (trauma
tumpul atau tajam) yang mengancam nyawa. Riwayat terjadinya luka
bermanfaat untuk mencari trauma terkait dan kemungkinan adanya
jejas inhalasi. Informasi riwayat penyakit dahulu, penggunaan obat, dan
alergi juga penting dalam evaluasi awal.

Pakaian pasien dibuka semua, semua permukaan tubuh dinilai.


Pemeriksaan radiologik pada tulang belakang servikal, pelvis, dan torak
dapat membantu mengevaluasi adanya kemungkinan trauma tumpul.

Setelah mengeksklusi jejas signifikan lainnya, luka bakar dievaluasi.


Terlepas dari luasnya area jejas, dua hal yang harus dilakukan sebelum
dilakukan transfer pasien adalah mempertahankan ventilasi adekuat,
dan jika diindikasikan, melepas dari eskar yang mengkonstriksi.

Tatalaksana Resusitasi Luka Bakar

a. Tatalaksana resusitasi jalan nafas:

1. Intubasi
Tindakan intubasi dikerjakan sebelum edema mukosa
menimbulkan manifestasi obstruksi. Tujuan intubasi
mempertahankan jalan nafas dan sebagai fasilitas pemelliharaan
jalan nafas.

2. Krikotiroidotomi
Bertujuan sama dengan intubasi hanya saja dianggap terlalu
agresif dan menimbulkan morbiditas lebih besar dibanding
intubasi. Krikotiroidotomi memperkecil dead space, memperbesar
tidal volume, lebih mudah mengerjakan bilasan bronkoalveolar
dan pasien dapat berbicara jika dibanding dengan intubasi.

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 37
3. Pemberian oksigen 100%
Bertujuan untuk menyediakan kebutuhan oksigen jika terdapat
patologi jalan nafas yang menghalangi suplai oksigen. Hati-hati
dalam pemberian oksigen dosis besar karena dapat menimbulkan
stress oksidatif, sehingga akan terbentuk radikal bebas yang
bersifat vasodilator dan modulator sepsis.

4. Perawatan jalan nafas


5. Penghisapan sekret (secara berkala)
6. Pemberian terapi inhalasi
Bertujuan mengupayakan suasana udara yang lebih baik
didalam lumen jalan nafas dan mencairkan sekret kental
sehingga mudah dikeluarkan. Terapi inhalasi umumnya
menggunakan cairan dasar natrium klorida 0,9% ditambah
dengan bronkodilator bila perlu. Selain itu bias ditambahkan
zat-zat dengan khasiat tertentu seperti atropin sulfat
(menurunkan produksi sekret), natrium bikarbonat (mengatasi
asidosis seluler) dan steroid (masih kontroversial)

7. Bilasan bronkoalveolar
8. Perawatan rehabilitatif untuk respirasi
9. Eskarotomi pada dinding torak yang bertujuan untuk
memperbaiki kompliansi paru

b. Tatalaksana resusitasi cairan

Resusitasi cairan diberikan dengan tujuan preservasi perfusi


yang adekuat dan seimbang di seluruh pembuluh darah vaskular
regional, sehingga iskemia jaringan tidak terjadi pada setiap organ
sistemik. Selain itu cairan diberikan agar dapat meminimalisasi dan
eliminasi cairan bebas yang tidak diperlukan, optimalisasi status
volume dan komposisi intravaskular untuk menjamin
survival/maksimal dari seluruh sel, serta meminimalisasi respons

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 38
inflamasi dan hipermetabolik dengan menggunakan kelebihan dan
keuntungan dari berbagai macam cairan seperti kristaloid,
hipertonik, koloid, dan sebagainya pada waktu yang tepat. Dengan
adanya resusitasi cairan yang tepat, kita dapat mengupayakan
stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologik
dalam persiapan menghadapi intervensi bedah seawal mungkin.

Resusitasi cairan dilakukan dengan memberikan cairan pengganti.


Ada beberapa cara untuk menghitung kebutuhan cairan ini:

 Cara Evans
1. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL NaCl per 24 jam
2. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL plasma per 24
jam
3. 2.000 cc glukosa 5% per 24 jam
Separuh dari jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama.
Sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua
diberikan setengah jumlah cairan hari pertama. Pada hari
ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.

 Cara Baxter
Luas luka bakar (%) x BB (kg) x 4 mL

Separuh dari jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama.


Sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua
diberikan setengah jumlah cairan hari pertama. Pada hari
ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.

c. Resusitasi nutrisi

Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral


sebaiknya dilakukan sejak dini dan pasien tidak perlu dipuasakan.
Bila pasien tidak sadar, maka pemberian nutrisi dapat melalui naso-

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 39
gastric tube (NGT). Nutrisi yang diberikan sebaiknya mengandung
10-15% protein, 50-60% karbohidrat dan 25-30% lemak.
Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat meningkatkan fungsi
kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili usus. Dengan
demikian diharapkan pemberian nutrisi sejak awal dapat membantu
mencegah terjadinya SIRS dan MODS.

Perawatan Luka Bakar

Umumnya untuk menghilangkan rasa nyeri dari luka bakar


digunakan morfin dalam dosis kecil secara intravena (dosis dewasa
awal : 0,1-0,2 mg/kg dan ‘maintenance’ 5-20 mg/70 kg setiap 4 jam,
sedangkan dosis anak-anak 0,05-0,2 mg/kg setiap 4 jam). Tetapi ada
juga yang menyatakan pemberian methadone (5-10 mg dosis dewasa)
setiap 8 jam merupakan terapi penghilang nyeri kronik yang bagus
untuk semua pasien luka bakar dewasa. Jika pasien masih merasakan
nyeri walau dengan pemberian morfin atau methadone, dapat juga
diberikan benzodiazepine sebagai tambahan.

Terapi Pembedahan pada Luka Bakar

1. Eksisi dini
Eksisi dini adalah tindakan pembuangan jaringan nekrosis dan
debris (debridement) yang dilakukan dalam waktu kurang dari 7
hari (biasanya hari ke 5-7) pasca cedera termis. Dasar dari
tindakan ini adalah:

a. Mengupayakan proses penyembuhan berlangsung lebih


cepat. Dengan dibuangnya jaringan nekrosis, debris dan
eskar, proses inflamasi tidak akan berlangsung lebih lama
dan segera dilanjutkan proses fibroplasia. Pada daerah
sekitar luka bakar umumnya terjadi edema, hal ini akan
menghambat aliran darah dari arteri yang dapat

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 40
mengakibatkan terjadinya iskemi pada jaringan tersebut
ataupun menghambat proses penyembuhan dari luka
tersebut. Dengan semakin lama waktu terlepasnya eskar,
semakin lama juga waktu yang diperlukan untuk
penyembuhan.
b. Memutus rantai proses inflamasi yang dapat berlanjut
menjadi komplikasi – komplikasi luka bakar (seperti SIRS).
Hal ini didasarkan atas jaringan nekrosis yang melepaskan
“burn toxic” (lipid protein complex) yang menginduksi
dilepasnya mediator-mediator inflamasi.
c. Semakin lama penundaan tindakan eksisi, semakin
banyaknya proses angiogenesis yang terjadi dan vasodilatasi
di sekitar luka. Hal ini mengakibatkan banyaknya darah
keluar saat dilakukan tindakan operasi. Selain itu, penundaan
eksisi akan meningkatkan resiko kolonisasi mikro –
organisme patogen yang akan menghambat pemulihan graft
dan juga eskar yang melembut membuat tindakan eksisi
semakin sulit.
Tindakan ini disertai anestesi baik lokal maupun general dan
pemberian cairan melalui infus. Tindakan ini digunakan untuk
mengatasi kasus luka bakar derajat II dalam dan derajat III.
Tindakan ini diikuti tindakan hemostasis dan juga “skin grafting”
(dianjurkan “split thickness skin grafting”). Tindakan ini juga
tidak akan mengurangi mortalitas pada pasien luka bakar yang
luas. Kriteria penatalaksanaan eksisi dini ditentukan oleh
beberapa faktor, yaitu:

 Kasus luka bakar dalam yang diperkirakan mengalami


penyembuhan lebih dari 3 minggu.
 Kondisi fisik yang memungkinkan untuk menjalani operasi
besar.
 Tidak ada masalah dengan proses pembekuan darah.

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 41
 Tersedia donor yang cukup untuk menutupi permukaan
terbuka yang timbul.
Eksisi dini diutamakan dilakukan pada daerah luka sekitar
batang tubuh posterior. Eksisi dini terdiri dari eksisi tangensial
dan eksisi fasial.

Eksisi tangensial adalah suatu teknik yang mengeksisi jaringan


yang terluka lapis demi lapis sampai dijumpai permukaan yang
mengeluarkan darah (endpoint). Adapun alat-alat yang
digunakan dapat bermacam-macam, yaitu pisau Goulian atau
Humbly yang digunakan pada luka bakar dengan luas
permukaan luka yang kecil, sedangkan pisau Watson maupun
mesin yang dapat memotong jaringan kulit perlapis (dermatom)
digunakan untuk luka bakar yang luas. Permukaan kulit yang
dilakukan tindakan ini tidak boleh melebihi 25% dari seluruh
luas permukaan tubuh. Untuk memperkecil perdarahan dapat
dilakukan hemostasis, yaitu dengan tourniquet sebelum
dilakukan eksisi atau pemberian larutan epinephrine 1:100.000
pada daerah yang dieksisi. Setelah dilakukan hal-hal tersebut,
baru dilakukan “skin graft”. Keuntungan dari teknik ini adalah
didapatnya fungsi optimal dari kulit dan keuntungan dari segi
kosmetik. Kerugian dari teknik adalah perdarahan dengan
jumlah yang banyak dan endpoint bedah yang sulit ditentukan.

Eksisi fasial adalah teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka


sampai lapisan fascia. Teknik ini digunakan pada kasus luka
bakar dengan ketebalan penuh (full thickness) yang sangat luas
atau luka bakar yang sangat dalam. Alat yang digunakan pada
teknik ini adalah pisau scalpel, mesin pemotong “electrocautery”.
Adapun keuntungan dan kerugian dari teknik ini adalah:

 Keuntungan: lebih mudah dikerjakan, cepat, perdarahan


tidak banyak, endpoint yang lebih mudah ditentukan

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 42
 Kerugian: kerugian bidang kosmetik, peningkatan resiko
cedera pada saraf-saraf superfisial dan tendon sekitar, edema
pada bagian distal dari eksisi

2. Skin grafting
Skin grafting adalah metode penutupan luka sederhana. Tujuan
dari metode ini adalah:

 Menghentikan evaporate heat loss


 Mengupayakan agar proses penyembuhan terjadi sesuai
dengan waktu
 Melindungi jaringan yang terbuka

Skin grafting harus dilakukan secepatnya setelah dilakukan


eksisi pada luka bakar pasien. Kulit yang digunakan dapat
berupa kulit produk sintesis, kulit manusia yang berasal dari
tubuh manusia lain yang telah diproses maupun berasal dari
permukaan tubuh lain dari pasien (autograft). Daerah tubuh
yang biasa digunakan sebagai daerah donor autograft adalah
paha, bokong dan perut. Teknik mendapatkan kulit pasien secara
autograft dapat dilakukan secara split thickness skin graft atau
full thickness skin graft. Bedanya dari teknik – teknik tersebut
adalah lapisan-lapisan kulit yang diambil sebagai donor. Untuk
memaksimalkan penggunaan kulit donor tersebut, kulit donor
tersebut dapat direnggangkan dan dibuat lubang – lubang pada
kulit donor (seperti jaring-jaring dengan perbandingan tertentu,
sekitar 1 : 1 sampai 1 : 6) dengan mesin. Metode ini disebut mess
grafting. Ketebalan dari kulit donor tergantung dari lokasi luka
yang akan dilakukan grafting, usia pasien, keparahan luka dan
telah dilakukannya pengambilan kulit donor sebelumnya.
Pengambilan kulit donor ini dapat dilakukan dengan mesin
‘dermatome’ ataupun dengan manual dengan pisau Humbly atau

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 43
Goulian. Sebelum dilakukan pengambilan donor diberikan juga
vasokonstriktor (larutan epinefrin) dan juga anestesi.

Prosedur operasi skin grafting sering menjumpai masalah yang


dihasilkan dari eksisi luka bakar pasien, dimana terdapat
perdarahan dan hematom setelah dilakukan eksisi, sehingga
pelekatan kulit donor juga terhambat. Oleh karenanya,
pengendalian perdarahan sangat diperlukan. Adapun beberapa
faktor yang mempengaruhi keberhasilan penyatuan kulit donor
dengan jaringan yang mau dilakukan grafting adalah:

 Kulit donor setipis mungkin


 Pastikan kontak antara kulit donor dengan bed (jaringan
yang dilakukan grafting), hal ini dapat dilakukan dengan
cara:
 Cegah gerakan geser, baik dengan pembalut elastik (balut
tekan)
 Drainase yang baik
 Gunakan kasa adsorben

2.10. Prognosis

Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung


pada dalam dan luasnya permukaan luka bakar, dan penanganan sejak
awal hingga penyembuhan. Selain itu faktor letak daerah yang
terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita juga turut
menentukan kecepatan penyembuhan.

Penyulit juga mempengaruhi progonosis pasien. Penyulit yang


timbul pada luka bakar antara lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS,
infeksi dan sepsis, serta parut hipertrofik dan kontraktur.

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 44
2.11. Komplikasi

Sistemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), Multi-system


Organ Dysfunction Syndrome (MODS),dan Sepsis

SIRS adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik


terhadap berbagai stimulus klinik berat akibat infeksi ataupun
noninfeksi seperti trauma, luka bakar, reaksi autoimun, sirosis,
pankreatitis, dll.

Respon ini merupakan dampak dari pelepasan mediator-mediator


inflamasi (proinflamasi) yang mulanya bersifat fisiologik dalam proses
penyembuhan luka, namun oleh karena pengaruh beberapa faktor
predisposisi dan faktor pencetus, respon ini berubah secara berlebihan
(mengalami eksagregasi) dan menyebabkan kerusakan pada organ-
organ sistemik, menyebabkan disfungsi dan berakhir dengan
kegagalan organ terkena menjalankan fungsinya; MODS (Multi-system
Organ Disfunction Syndrome) bahkan sampai kegagalan berbagai organ
(Multi-system Organ Failure/MOF).

SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka


mortalitas pada pasien luka bakar maupun trauma berat lainnya.
Dalam penelitian dilaporkan SIRS dan MODS keduanya menjadi
penyebab 81% kematian pasca trauma; dan dapat dibuktikan pula
bahwa SIRS sendiri mengantarkan pasien pada MODS.

Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu


infection, injury, inflamation, inadequate blood flow, dan ischemia-
reperfusion injury. Kriteria klinik yang digunakan, mengikuti hasil
konsensus American College of Chest phycisians dan the Society of
Critical Care Medicine tahun 1991, yaitu bila dijumpai 2 atau lebih
menifestasi berikut selama beberapa hari, yaitu:

 Hipertermia (suhu > 38°C) atau hipotermia (suhu < 36°C)


 Takikardi (frekuensi nadi > 90x/menit)

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 45
 Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan parsial
CO2 rendah (PaCO2< 32 mmHg)
 Leukositosis (jumlah lekosit > 12.000 sel/mm3), leukopeni (<
4000 sel/mm3) atau dijumpai > 10% netrofil dalam bentuk
imatur (band).
Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil
kultur darah/bakteremia), maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan
selalu berkaitan dengan MODS karena MODS merupakan akhir dari
SIRS.

Pada dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya


gangguan fungsi organ pada pasien akut sedemikian rupa, sehingga
homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi. Bila
ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu proses yang
berkesinambungan sehingga dapat dimengerti bahwa MODS
menggambarkan kondisi lebih berat dan merupakan bagian akhir dari
spektrum keadaan yang berawal dari SIRS.

Patofisiologi

Perjalanan SIRS dijelaskan menurut teori yang dikembangkan oleh


Bone dalam beberapa tahap.

Tahap I

Respon inflamasi sistemik didahului oleh suatu penyebab,


misalnya luka bakar atau trauma berat lainnya. Kerusakan lokal
merangsang pelepasan berbagai mediator pro-inflamasi seperti
sitokin; yang selain membangkitkan respon inflamasi juga
berperan pada proses penyembuhan luka dan mengerahkan sel-
sel retikuloendotelial. Sitokin adalah pembawa pesan fisiologik
dari respon inflamasi. Molekul utamanya meliputi Tumor
Necrotizing Factor (TNFα), interleukin (IL1, IL6), interferon, Colony
Stimulating Factor (CSF), dan lain-lain. Efektor selular respon

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 46
inflamasi adalah sel-sel PMN, monosit, makrofag, dan sel-sel
endotel. Sel-sel untuk sitokin dan mediator inflamasi sekunder
seperti prostaglandin, leukotrien, thromboxane, Platelet Activating
Factor (PAF), radikal bebas, oksida nitrit, dan protease. Endotel
teraktivasi dan lingkungan yang kaya sitokin mengaktifkan
kaskade koagulasi sehingga terjadi trombosis lokal. Hal ini
mengurangi kehilangan darah melalui luka, namun disamping itu
timbul efek pembatasan (walling off) jaringan cedera sehingga
secara fisiologik daerah inflamasi terisolasi.

Tahap II

Sejumlah kecil sitokin yang dilepaskan ke dalam sirkulasi justru


meningkatkan respon lokal. Terjadi pergerakan makrofag,
trombosit dan stimulasi produksi faktor pertumbuhan (Growth
Factor/GF). Selanjutnya dimulailah respon fase akut yang
terkontrol secara simultan melalui penurunan kadar mediator
proinflamasi dan pelepasan antagonis endogen (antagonis
reseptor IL1 dan mediator-mediator anti-inflamasi lain seperti IL4,
IL10, IL11, reseptor terlarut TNF (Transforming Growth
Factor/TGF). Dengan demikian mediator-mediator tersebut
menjaga respon inflamasi awal yang dikendalikan dengan baik
oleh down regulating cytokine production dan efek antagonis
terhadap sitokin yang telah dilepaskan. Keadaan ini berlangsung
hingga homeostasis terjaga.

Tahap III

Jika homeostasis tidak dapat dikembalikan, berkembang tahap III


(SIRS); terjadi reaksi sistemik masif. Efek predominan dari sitokin
berubah menjadi destruktif. Sirkulasi dibanjiri mediator-mediator
inflamasi sehingga integritas dinding kapiler rusak. Sitokin
merambah ke dalam berbagai organ dan mengakibatkan
kerusakan. Respon destruktif regional dan sistemik (terjadi

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 47
peningkatan vasodilatasi perifer, gangguan permeabilitas
mikrovaskular, akselerasi trombosis mikrovaskular, aktivasi sel
leukosit-endotel) yang mengakibatkan perubahan-perubahan
patologik di berbagai organ. Jika reaksi inflamasi tidak dapat
dikendalikan, terjadi syok septik, Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC), ARDS, MODS, dan kematian.

MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinis SIRS. Pada pasien
luka bakar dapat dijumpai secara kasar 30% kasus mengalami MODS.
Ada 3 teori yang menjelaskan timbulnya SIRS, MODS dan sepsis; yang
mana ketiganya terjadi secara simultan.

Teori pertama menyebutkan bahwa syok yang terjadi


menyebabkan penurunan penurunan sirkulasi di daerah splangnikus,
perfusi ke jaringan usus terganggu menyebabkan disrupsi mukosa
saluran cerna. Disrupsi mukosa menyebakan fungsi mukosa sebagai
barrier berkurang/hilang, dan mempermudah terjadinya translokasi
bakteri. Bakteri yang mengalami translokasi umumnya flora normal
usus yang bersifat komensal, berubah menjadi oportunistik; khususnya
akibat perubahan suasana di dalam lumen usus (puasa, pemberian
antasida dan beberapa jenis antibiotika). Selain kehilangan fungsi
sebagai barrier terhadap kuman, daya imunitas juga berkurang (kulit,
mukosa), sehingga mudah dirusak oleh toksin yang berasal dari kuman
(endo atau enterotoksin). Pada kondisi disrupsi, bila pasien
dipuasakan, maka proses degenerasi mukosa justru berlanjut menjadi
atrofi mukosa usus yang dapat memperberat keadaan.

Gangguan sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan kondisi-


kondisi yang memicu SIRS. Gangguan sirkulasi serebral menyebabkan
disfungsi karena gangguan sistem autoregulasi serebral yang memberi
dampak sistemik (ensefelopati). Gangguan sirkulasi ke ginjal
menyebabkan iskemi ginjal khususnya tubulus berlanjut dengan Acute
Tubular Necrosis (ATN) yang berakhir dengan gagal ginjal (Acute Renal

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 48
Failure/ARF). Gangguan sirkulasi perifer menyebabkan iskemi otot-
otot dengan dampak pemecahan glikoprotein yang meningkatkan
produksi Nitric Oxide (NO); NO ini berperan sebagai modulator sepsis.
Gangguan sirkulasi ke kulit dan sitem integumen menyebabkan
terutama gangguan sistim imun; karena penurunan produksi limfosit
dan penurunan fungsi barrier kulit.

Teori kedua menjelaskan pelepasan Lipid Protein Complex (LPC)


yang sebelumnya dikenal dengan burn toxin dari jaringan nekrosis
akibat cedera termis. LPC memiliki toksisitas ribuan kali di atas
endotoksin dalam merangsang pelepasan mediator pro-inflamasi;
namun pelepasan LPC ini tidak ada hubungannya dengan infeksi.
Respon yang timbul mulanya bersifat lokal, terbatas pada daerah
cedera; kemudian berkembang menjadi suatu bentuk respon sistemik.

Teori ketiga menjelaskan kekacauan sistem metabolisme


(hipometabolik pada fase akut dilanjutkan hipermetabolik pada fase
selanjutnya) yang menguras seluruh modalitas tubuh khususnya sistim
imunologi. Mediator-mediator pro-inflamasi yang dilepas ke sirkulasi
sebagai respon terhadap suatu cedera tidak hanya menyerang benda
asing atau toksin yang ada; tetapi juga menimbulkan kerusakan pada
jaringan organ sistemik. Kondisi ini dimungkinkan karena luka bakar
merupakan suatu bentuk trauma yang bersifat imunosupresif.

Tatalaksana

Penatalaksanaan luka bakar bersifat lebih agresif dan bertujuan


mencegah perkembangan SIRS, MODS, dan sepsis.

Pemberian Nutrisi Enteral Dini (NED) melalui pipa nasogastrik dalam 8


jam pertama pasca cedera. Selain bertujuan mencegah terjadinya atrofi
mukosa usus, pemberian NED ini bertitik tolak mencegah dan
mengatasi kondisi hipometabolik pada fase akut / syok dan

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 49
mengendalikan status hiperkatabolisme yang terjadi pada fase flow.
Pemberian antasida dan antibiotika tidak dibenarkan karena akan
merubah pola / habitat kuman yang mengganggu keseimbangan flora
usus.

Jaringan nekrosis maupun jaringan non vital lainnya yang disebabkan


cedera termis harus segera dilakukan nekrotomi dan debridement, dan
dilakukan sedini mungkin (eksisi dini, hari ketiga-keempat pasca
cedera luka bakar sedang, hari ketujuh-kedelapan pada luka bakar
berat), bahkan bila memungkinkan dilakukan penutupan segera
(immediate skin grafting) untuk mengatasi berbagai masalah akibat
kehilangan kulit sebagai penutup (mencegah evaporative heat loss yang
menimbulkan gangguan metabolisme), barrier terhadap kuman dan
proses inflamasi berkepanjangan yang mempengaruhi proses
penyembuhan, tidak menunggu jaringan granulasi yang dalam hal ini
mengulur waktu dan memperberat stres metabolisme.

Pemberian obat-obatan yang bersifat anti inflamasi seperti


antihistamin dianggap tidak bermanfaat. Pemberian steroid
sebelumnya dianggap bermanfaat namun harus diingat saat pemberian
serta efek sampingnya.

Pemberian zat yang meningkatkan imunologik seperti Omega-3 akan


menjinakkan leukotrien (LTB4 yang bersifat maligna) dengan cara
mempengaruhi lypoxygenase pathway pada metabolisme asam
arakhidonat, sehingga menghasilkan leukotrien yang lebih benigna.
Pemberian Omega-6 memiliki efek pada cyclo-oxygenase pathway asam
arakhidonat, sehingga menghasilkan tromboksan yang lebih benigna
menggantikan tromboksan (ThromboxaneA2) yang bersifat maligna.

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 50
Komplikasi

Komplikasi SIRS bervariasi tergantung etiologi. Komplikasi yang


mungkin terjadi pada SIRS adalah gagal napas, Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS), dan pneumonia nosokomial, gagal ginjal,
perdarahan saluran cerna dan stres gastritis, anemia, Trombosis vena
dalam (Deep Vein Thrombosis/DVT), hiperglikemia, dan Disseminated
intravascular coagulation (DIC)

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 51
BAB III

PEMBAHASAN KASUS

3. 1. Pembahasan Kasus Dewasa

Tn. SH, 37 tahun, datang ke RSUP Fatmawati pasca-tersiram air kuah


bakso mendidih 2 hari SMRS. Punggung, leher, serta kedua lengan
pasien tersiram. Jarak waktu sejak ia tersiram hingga ia mendapat
pertolongan pertama di rumah sakit adalah sekitar 30 menit. Pasien
sudah terlebih dahulu mendapat pertolongan pertama serta perawatan
di RS PMI Bogor selama 2 hari sebelum akhirnya dirujuk ke RSUP
Fatmawati. Luka bakar yang dialami merupakan luka bakar derajat IIb-
III berdasarkan efloresensi berupa:

Kepala Tampak luka bakar berwarna merah gelap pada


(IIb) sedikit kepala bagian bawah-tengkuk serta belakang
telinga
Pada bagian ini, sensasi sudah mulai berkurang, tidak
seperih bagian lain.
Leher Tampak luka bakar berwarna merah gelap hampir di
(IIb) keseluruhan lingkar leher dengan satu buah bullae di
leher bagian belakang
Thorax Anterior:
Tampak luka bakar berwarna merah gelap sedikit
(IIa-III)
perpanjangan dari leher disertai satu buah
bullae
Lateral:
Kanan - tampak luka bakar berwarna merah gelap
hingga linea axillaris anterior disertai dengan
beberapa bullae
Kiri – tampak luka bakar berwarna merah gelap
hingga linea axillaris media disertai dengan
beberapa bullae
Posterior:
Tampak luka bakar berwarna merah, merah gelap,

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 52
hingga putih di seluruh lapang thorax posterior
disertai dengan beberapa bullae
Pada luka bakar berwarna merah, pasien mengaku
terasa lebih perih dibanding daerah lain. Sementara
itu, pada luka bakar berwarna putih, sensasi nyeri
tidak terasa.
Abdomen Kanan - tampak luka bakar berwarna merah
gelap hingga linea axillaris anterior
(IIb-III)
disertai dengan beberapa bullae
Kiri – tampak luka bakar berwarna merah gelap
hingga linea axillaris media disertai
dengan beberapa bullae
Posterior:
Tampak luka bakar berwarna merah hingga
putih di seluruh lapang abdomen
posterior disertai dengan beberapa bullae

Ekstremitas Tampak beberapa garis luka bakar berwarna


merah hingga merah gelap pada lengan
(IIa-b)
serta paha kanan atas serta jari-jemari
kaki kanan

Luka bakar pada pasien ini digolongkan derajat II sebab


kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis yang terlihat dari
reaksi inflamasi akut dan proses eksudasi, ditemukan bula, dasar luka
berwarna merah dan nyeri akibat iritasi ujung saraf sensorik. Luka
bakar juga digolongkan dalam derajat III, pada trunkus posterior pasien,
sebab pada luka bakar derajat III dijumpai kulit terbakar berwarna
pucat, letaknya lebih rendah (cekung) dibandingkan kulit sekitar dan
tidak dijumpai rasa nyeri/hilang sensasi akibat kerusakan total ujung
serabut saraf sensoris. Luka bakar pada pasien tidak digolongkan dalam
derajat I sebab pada luka bakar derajat I kelainannya hanya berupa
eritema, kulit kering, nyeri tanpa disertai eksudasi.

Sehingga, diagnosis yang tepat untuk pasien ini adalah


Combustio Grade IIb-III 30,75% Regio Kepala, Leher, Dada, Punggung,
Lengan Kanan dan Kiri e.c. Air Panas. Persentase luas tersebut

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 53
berdasarkan gabungan ketentuan Rule of Nines dari Wallace,
dikombinasikan dengan perhitungan berdasarkan luas palmar pasien.

Dari hasil pemeriksaan penunjang berupa lab darah pasien,


didapatkan hematokrit meningkat (49), leukosit meningkat sedikit
(10,200), serta albumin menurun (3,00). Kemungkinan peningkatan
hematokrit disebabkan oleh kurangnya pemberian cairan pada pasien,
sementara peningkatan leukosit disebabkan oleh reaksi inflamasi pada
fase akut luka bakar. Albumin yang menurun disebabkan oleh
banyaknya eksudat yang keluar oleh karena lapisan kulit tidak lengkap.

Setelah perhitungan, ternyata pasien belum benar-benar melalui 2


hari pasca-tersiram air panas. Pasien mengalami kejadian sekitar pukul
19.00 WIB pada 13 Juni 2106. Sementara itu, pasien tiba di RSUP sekitar
pukul 02.00 WIB pada 15 Juni 2016. Sehingga, pasien masih masuk
dalam fase akut luka bakar dan sudah sepatutnya dilakukan pengkajian
primer (primary survey) berupa ABC (Airway, Breathing, dan
Circulation).

Mengingat airway serta breathing pasien ini masih dalam batas


normal, maka penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien ini
terutama adalah terkait program cairan. Terlebih mengingat bahwa
telah terjadi pengingkatan hematokrit pada pasien ini.

Cara Evans
1. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL kristaloid per 24 jam
30,75% x 67 kg = 2060,25 cc kristaloid/ 24 jam
2. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL koloid per 24 jam
30,75% x 67 kg = 2060,25 cc koloid/ 24 jam
3. 2.000 cc glukosa 5% per 24 jam
Separuh dari total cairan tersebut (6120,5 cc/ 2 = 3060,25 cc) diberikan
pada 8 jam pertama. Sementara sisanya diberikan dalam 16 jam
berikutnya. Jika menggunakan cara ini, maka cairan yang diberikan

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 54
pada pasien hendaknya sebanyak 3060 cc/ 24 jam oleh karena pasien
sudah memasuki hari kedua. Pada cara Evans, banyak cairan yang
diberikan pada hari kedua merupakan setengah dari banyaknya cairan
yang diberikan pada hari pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah
jumlah cairan hari kedua.
Cara Baxter/ Modified Parkland
Luas luka bakar (%) x BB (kg) x 4 mL
30,75% x 67 kg x 4 = 8241 cc cairan
Separuh (4120 cc) diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan
dalam 16 jam berikutnya. Jika menggunakan cara ini, maka pemberian
cairan pasien di hari kedua ini adalah setengah total cairan yang
diberikan di hari pertama, yakni sebanyak 4210 cc. Pada hari ketiga
diberikan setengah jumlah cairan hari kedua. Pada hari kedua, albumin
5% mulai dapat diberikan sebanyak 0,3-1 ml/ kg/% luas luka bakar/ 16
jam. Berdasarkan perhitungan tersebut, jika ingin diberikan, hendaknya
jumlah albumin yang diberikan pada pasien ini adalah sebanyak 1030
cc/ 16 jam.

Sebenarnya, masih terdapat beberapa rumus lagi yang bisa


digunakan untuk menentukan banyaknya cairan yang dibutuhkan untuk
resusitasi pasien dengan luka bakar – selain Evans dan Baxter/
Parkland (seperti Brooke dan Monafo). Di anatara rumus-rumus
tersebut, yang paling sering digunakan adalah Baxter/ Modified
Parkland Formula. Rumus-rumus ini lebih kurang sama, di mana
mereka memperhitungkan berat badan pasien dan total luas luka bakar
pada pasien. Walau rumus-rumus ini sama-sama memperhitungkan dua
komponen penting dalam resusitasi cairan pada luka bakar tadi (yakni
TBSA/ Total Body Surface Area pasien dan berat badan pasien), namun
seperti yang dapat dilihat di perhitungan di atas, perbedaan rumus
menghasilkan jumlah kebutuhan cairan yang secara signifikan berbeda.
Adapun, menurut American Burn Association Practice Guidelines Burn

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 55
Shock Resuscitation (2008), terlepas dari berapapun jumlah cairan yang
diberikan (apapun rumus resusitasi yang kita gunakan), yang
terpenting adalah untuk tetap melakukan titrasi untuk
mempertahankan agar urine output pasien berkisar antara 0,5 – 1,0 cc/
kgBB/ jam di dewasa. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
under- serta over- resuscitation. Lebih lanjut lagi, ABA menyatakan
bahwa hendaknya dari pilihan hasil perhitungan jumlah cairan yang
dibutuhkan, yang dipilih adalah jumlah minimal yang dibutuhkan untuk
menjaga perfusi organ yang adekuat.

Resusitasi luka bakar yang ideal adalah dengan menggunakan cairan


yang dengan efektif dapat mengembalikan volume plasma tanpa
menyebabkan efek merugikan. Kristaloid isotonis, larutan hipertonik,
dan koloid sudah sering digunakan untuk tujuan ini. Namun, yang patut
diingat adalah setiap larutan memiliki keuntungan serta kerugiannya
masing-masing. Kristaloid, seperti RL, NaCl 0,9%, atau larutan
Hartmann, dapat dengan mudah ditemukan dan lebih murah
dibandingkan alternatif lainnya. Adapun, terdapat beberapa efek
merugikan dari kristaloid, yakni (1) volume pemberian NaCl 0,9% yang
besar dapat menyebabkan asidosis hiperkloremik, (2) RL dapat
meningkatkan aktivasi neutrofil pasca-resusitasi perdarahan atau
pasca-pemberian tanpa perdarahan, (3) senyawa d-lactate yang
terdapat dalam larutan RL dapat meningkatkan produksi ROS (Reactive
Oxygen Species), dan (4) kristaloid dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya hypercoagulale state. Walau begitu, kristaloid tetap menjadi
pilihan di berbagai negara yang sudah berkembang seperti Inggris
(menggunakan larutan Hartmann) serta Amerika dan Kanada
(menggunakan RL - yang mengandung 130 mEq/ L natrium/ sodium)
pada resusitasi 24 jam pertama pasca-luka bakar oleh karena jenis
cairan ini mampu memperbaiki hipovolemi dan defisit sodium
ekstraseluler yang disebabkan oleh luka bakar. Larutan hipertonis
pernah dicobakan dengan mempertimbangkan peran yang dipegang

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 56
oleh ion sedum dalam patofisiologi terjadinya syok luka bakar. Sodium
shift ke dalam sel menyebabkan edema sel dan volume intravascular
yang cenderung bersifat hipo-osmilar. Pemberian larutan sodium/
natrium hipertonis secara cepat telah terbukti dapat meningkatkan
osmolalitas plasma dan meminimalisitr terjadinya edema sel. Dnegan
menggunakan larutan berkonsentrasi 250 mEq/l, menurut Moyer et al,
dapat mencapai resusitasi fisiologis yang efektif dengan total volume
resusitasi cairan yang rendah dibandingkan dengan larutan isotonic
pada resusitasi cairan dalam 24 jam pertama. Namun, penelitian oleh
Huang et al, menemukan bahwa loading cairan kumulatif dalam 48 jam
pertama, pada grup yang diberikan larutan hipertonik dibandingkan
dengan yang diberikan RL, sama. Selain itu, mereka juga menemukan
bahwa larutan hipertonik yang digunakan dalam resusitasi berkaitan
dengan peningkatan insidensi dari gagal ginjal dan kematian. Sehingga,
patut dilakukan monitoring ketat untuk kemungkinan terjadinya risiko
hipernatremia dan gagal ginjal jika ingin menggunakan jenis cairan ini.
Sementara itu, koloid diberikan dengan pertimbangan adanya
kebocoran dan akumulasi protein plasma di luar kompartemen vaskular
yang dapat berkontribusi secara signifikan terhadap terjadinya edema
pada pasien luka bakar. Berbagai literatur memiliki versinya sendiri
terkait kapan berhentinya proses kebocoran ini. Di awal-awal, Baxter
menemukan bahwa capillary leak mungkin terjadi hingga 24 jam
pertama pasca-thermal injury. Sementara itu, Carvajal – dalam Cocks et
al – menemukan bahwa ekstravasasi albumin berhenti 8 jam setelah
burn injury. Vlachou et al, baru-baru ini menemukan bahwa disfungsi
endotel dan capillary leakage ditemukan dalam 2 jam pasca-burn injury
dan bertahan hingga (median) 5 jam kemudian, lebih pendek dari
penemuan-penemuan selanjutnya. Koloid, sebagai larutan
hiperosmotik, diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan
osmolalitas intravaskular dan untuk menghentikan extravasasi dari
kritaloid. Sehingga, menjadi kontroversi mengenai perlunya pemberian
protein-based koloid pada kasus luka bakar (selain juga, secara lebih

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 57
lanjut, patut ditentukan larutan apa yang hendaknya diberikan dan
kapan dimulainya, jika jawabannya adalah iya). Beberapa studi
menunjukkan bahwa koloid memberikan keuntungan klinis yang sedikit
jika diberikan dalam 24 jam pertama pasca-burn injurburn injury dan
mungkin memiliki efek merusak pada fungsi pernafasan, sehingga
banyak klinisi yang menghindari penggunaan koloid pada periode awal
pasca-burn injury. Walau begitu, Cohrane et al, baru-baru ini
menunjukkan adanya penurunan tingkat mortalitas pada pasien yang
mendapatkan albumin. Selain itu, beberapa klinisi melaporkan
suksesnya resusitasi dengan menggunakan albumin dengan
berkurangnya kebutuhan cairan resusitasi dan penurunan weight gain,
dibandingkan jika hanya menggunakan kristaloid saja. O’Mara et al juga
menunjukkan kurangnya kebutuhan cairan dan rendahnya tekanan
intraabdomen dengan penggunaan FFP/ fresh frozen plasma dalam 48
jam pasca-resusitasi luka bakar luas (> 50%). Penelitian terbaru adalah
penelitian oleh Lawrence et al yang menemukan bahwa penambahan
koloid pada rumus Parkland (Modified Parkland)/ Baxter dapat dengan
cepat menurunkan kebutuhan cairan perjam, mengembalikan rasio
resusitasi normal, dan menghilangkan kejadian fluid creep. Sehingga,
penentuan pemberian albumin yang ideal pada pasien hendaknya
memperhitungkan ada/ tidaknya edema, urine output pasien, tekanan
vena sentral, pulse rate, dan pulse oximetry.

Sebuah studi berjudul Saline versus Albumin Fluid Evaluation yang


mengikutsertakan 7000 pasien untuk mengevaluasi kegunaan 4%
albumin pada resusitasi menunjukkan bahwa, walau grup dengan
albumin dapat diresusitasi dengan baik dengan volume resusitasi cairan
yang lebih rendah, tidak terdapat adanya perbedaan dari outcome
berupa ada/ tidaknya kegagalan organ, periode penggunaan ventilator,
periode rawat, atau mortalitas. Selain itu, Demling et al menunjukkan
bahwa pembentukan edema terjadi secara maksimal pada 8 – 12 jam
pasca-burn injury. Selain trainsient loss dari integritas kapiler,

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 58
kemampuan jaringan yang tidak mengalami luka bakar untuk
menyaring plasma protein dapat dengan segera pulih. Secara umum,
semua penelitian dengan menggunakan maromolekul untuk
meningkatkan tekanan onkotik menunjukkan adanya pengurangan
pembentukan edema pada jaringan yang tidak terkena luka bakar,
namun tidak pada jaringan yang terkena luka bakar itu sendiri.
Sehingga, beberapa klinisi kemudian mengadopsi pendekatan “middle-
of-the-road”, di mana koloid diberikan setelah 12 jam pertama pasca-
burn injury. Cara ini merupakan cara yang paling sering
diimplementasikan di Amerika (pada 78% burn centers).

Berdasarkan penjabaran sebelumnya, secara teoritis, pilihan terbaik


adalah dengan menggunakan Modified Parkland/ Baxter formula.
Namun, mengingat bahwa pasien ini merupakan pasien non-BPJS dan
albumin tidak ditanggung oleh BPJS, maka ada tempatnya penggunaan
rumus Evans (hari kedua: kristaloid 0,5 ml/kg/% luas luka bakar,
koloid 0,5 ml/kg/% luka bakar, dan 2000 cc glukosa dalam air atau
masing-masing kristaloid dan koloid diberikan sebanyak 1022 cc/ 24
jam ditambah dengan 2000 cc glukosa dalam air).

Yang harus kemudian diperhatikan saat memberikan cairan


sebelum ditransfer ke unit luka bakar adalah:

 Tentukan jumlah tetes cairan


Sehingga, pada pasien ini, jumlah tetes cairan di hari
keduanya adalah masing-masing kristaloid-koloid 42 tpm
dan glukosa 83 tpm.
 Pantau urine output (UO) setiap 1-2 jam dengan pemasangan
urine catheter dan urine bag dengan target pada pasien ini
adalah 33,5 – 67 cc/ jam. Cairan kemudian dititrasi
berdasarkan urine output pasien.

Tata laksana lain yang patut dipertimbangkan untuk memastikan


resusitasi efektif pada pasien adalah

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 59
 Terapi Antioksidan
Terapi ini dipertimbangkan oleh karena preoksidasi
membran lipid dan ROS merupakan komponen penting
dalam patofisiologi syok luka bakar. Terjadi peningkatan
peroksidasi lipid di hepar dan penurunan kapasitas
atioksidan di hepar. Penelitian di anjing dan guinea pigs oleh
Matsuda et al menunjukkan adanya pengurangan
pembentukan edema yang pengurangan kebutuhan cairan
(pengurangan sebanyak 45% dibandingkan perhitungan)
pada resusitasi dengan pemberian asam askorbat yang tinggi.
Mengingat bahwa tidak terdapat adanya efek merugikan dari
pemberian terapi ini, maka pemberian vitamin C dapat
dipertimbangkan pada pasien ini.
 Manajemen Nyeri
Nyeri yang terjadi segera setelah terjadinya burn injury
disebabkan oleh stimulasi langsung dan injury pada
nociceptors yang ada pada epidermis dan dermis. Intensitas
nyeri bervariasi bergantung pada respons inflamasi yang
terjadi (berkaitan juga dengan luas permukaan luka bakar).
Pada daerah-daerah yang kehilangan struktur ini, maka akan
terjadi regenerasi dari jaringan saraf yang dapat
menyebabkan terjadinya nyeri neuropati yang bersifat
kronik. Di antara yang paling sering digunakan adalah
golongan opioid mengingat bahwa jenis nyeri yang terjadi
adalah nyeri neuropati yang bersifat kronis. Adapun opioid
yang digunakan adalah opioid dengan potensi moderat.
Penggunaan opioid juga berkaitan dengan penurunan
tekanan darah pasien. Sejauh ini, belum ada litertatur yang
dapat menentukan opioid mana yang lebih superior
dibandingkan lainnya dalam penanganan nyeri pada pasien
luka bakar. NSAID (Non-Steroid Anti-inflammation Drugs)
dapat diberikan karena bersifat sinergistik dengan

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 60
pemberian opioid (mengurangi kebutuhan opioid sebesar 20-
30%, sehingga mampu mengurangi efek merugikan dari
opioid secara signifikan). NSAID yang dapat diberikan adalah
parasetamol, dipiron, dan COX-2 inhibitor.

Pasien ini memang sudah sepatutnya dirawat inap mengingat luka


luka bakar derajat II yang dialami adalah seluas > 10% luas tubuhnya
(pada pasien IIb seluas 25,75%).

Perawatan luka bakar yang tepat ditentukan terutama berdasarkan


kedalaman dari luka bakar itu sendiri. Pada pasien, mengingat bahwa
pasien mengalami luka bakar derajat IIa-III (superficial partial thickness
burns – full thickness burns), maka yang sebaiknya dilakukan adalah:

 Superficial Partial Thickness Burns


Jenis kedalaman luka ini sebaiknya ditangani dengan agen
antimicrobial topical atau dengan absorptive occlusive
dressing. Prinsip utama dari manahemen luka dengan
dressings di antaranya adalah:
 Untuk memperbaiki dan mencegah infeksi
(mengurangi kolonisasi mikroorganisme)
 Membersihkan luka untuk menghilangkan debris dan
memfasilitasi proses perbaikan tubuh
 Menghilangkan jaringan nekrotik atau benda asing
pada luka
 Meciptakan kondisi optimal pada luka untuk
memastikan adanya kelembaban yang optimal pada
permukaan luka, dan
 Mengurangi nyeri serta rasa tidak nyaman

Terdapat banyak pilihan produk balutan yang dapat


dilakukan menurut Australian & New Zealand Burn
Association. Namun, di antara pilihan-pilihan tersebut yang
dapat ditemukan di Indonesia di antaranya adalah:

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 61
 Silikon/ hidrofilik foam + lapisan silicon lembut +
lapisan luar waterproof untuk luka bakar superfisial
yang bersifat non-adherent dan nyaman. Jenis balutan
ini digunakan setelah wound bed dan tutup dengan
fiksasi. Adapun, pembalut ini tidak dapat digunakan
jika ada infeksi.
 Hidrokoloid digunakan pada luka bakar superfisial
dan mid-dermal, serta luka dengan eksudat rendah
hingga moderat. Jenis balutan ini membantu autolisis,
memberikan kelembaban luka, dan menyerap
eksudat. Caranya adalah dengan menutup 2-5 cm dari
margin luka dan dapat bertahan hingga 2-3 hari dari 5
hari jika tidak ada tanda eksudat. Namun, pembalut ini
tidak dapat digunakan jika ada infeksi. Contohnya
adalah Duoderm©.
 Deep Dermal/ Full Thickness Burns
Pada pasien ini, hendaknya eksisi tangensial dan split skin
grafting diperlukan oleh karena lukanya yang sudah
mencapai derajat III. Eksisi dari eschar menghilangkan
jaringan nekrotik dan terinflamasi yang jika tidak dilakukan
dapat menjadi nidus untuk infeksi dan menghambat proses
perbaikan. Grafting meminimalisis kehilangan cairan dan
menjaga luka dari infeksi.

Prognosis ad vitam pada pasien ini adalah bonam karena penyakit


ini sudah didiagnosis dan saat ini tidak mengancam nyawa. Prognosis
ad functionam pada pasien ini adalah dubia ad bonam karena terdapat
luka derajat III pada pasien ini, selain juga mempertimbangkan bahwa
sedikitnya 12 jam penatalaksanaan awal pasien dilakukan di RS lain,
tanpa diketahui apakah penanganan tersebut sudah cukup adekuat/
tidak. Prognosis ad sanationam pada pasien ini adalah bonam karena
faktor penyebab dapat dihindari dan tidak ada angka rekurensi.

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 62
3. 2. Pembahasan Kasus Pediatrik

An. AS, 13 bulan, datang pasca-tersiram air panas mendidih 6 jam


SMRS di daerah wajah, leher, dada, bahu kanan, dan lengan kiri. Pasien
dalam < 30 menit langsung mendapat perawatan pertama luka bakar di
IGD RS UIN. Pasien kemudian dirujuk ke RSUP Fatmawati untuk
mendapatkan perawatan lanjut oleh spesialis bedah plastik. Luka bakar
yang dialami merupakan luka bakar derajat IIa-IIb berdasarkan
efloresensi berupa:

Kepala Tampak luka bakar pada seluruh bagian wajah,


(IIa-b) beberapa bagian berwarna gelap, beberapa bagian
berwarna merah muda pucat, tampak beberapa
vesikel belum pecah. Tampak beberapa bagian bibir
terkelupas.
Leher Tampak luka bakar berwarna merah pucat di
(IIb) sebagian kecil leher sisi kiri depan
Thorax Anterior:
Tampak luka bakar berwarna merah pucat pada
(IIa-b)
hampir seluruh lapang disertai luka bakar
berwarna gelap beberapa
Lateral:
Kanan – tidak tampak luka bakar
Kiri – tampak luka bakar berwarna merah pucat dan
gelap hingga linea axillaris posterior
Posterior:
Tampak luka bakar berwarna merah dan gelap pada
sebagian atas lapang disertai dengan beberapa bula
yang belum pecah
Abdomen Anterior:
Tampak luka bakar berwarna merah pucat pada
(IIa-b)
setengah lapang disertai luka bakar berwarna
gelap beberapa
Lateral:
Kanan – tidak tampak luka bakar
Kiri – tidak tampak luka bakar
Posterior:
Tidak tampak luka bakar

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 63
Ekstremitas Tampak luka bakar berwarna merah mudah pucat
hingga gelap pada lengan kiri atas, tampak luka
(IIa-b)
bakar berwarna merah-gelap pada lengan kiri bawah

Luka bakar pada pasien ini digolongkan derajat II sebab kerusakan


meliputi epidermis dan sebagian dermis yang terlihat dari reaksi
inflamasi akut dan proses eksudasi, ditemukan bula, dasar luka
berwarna merah dan nyeri akibat iritasi ujung saraf sensorik. Sehingga,
diagnosis yang tepat untuk pasien ini adalah Combustio Grade IIa-IIb
15,25% Regio Kepala, Leher, Dada, Perut, dan Lengan Kiri e.c. Air Panas.

Prinsip penatalaksanaan awal pasien luka bakar pediatrik pada


dasarnya sama dengan dewasa. Yang membedakan adalah rumus
pemberian cairan. Untuk pediatrik, rumus-rumus yang dapat digunakan
di antaranya adalah Formula Parkland/ Baxter (khusus pediatrik),
Shriner’s Cincinnati, atau Galveston.

Parkland/ Baxter (Pediatrik)


3 ml/ kgBB/ % luas luka bakar ditambah dengan
4 ml/ kgBB/ jam untuk anak dengan berat 0 – 10 kg
ATAU
320,25 cc/ 24 jam pertama ditambah dengan
28 cc/ jam; sehingga, kebutuhan perjam pasien ini adalah 13 + 28 cc
= 41 cc/ jam ~ 60 tpm

Prognosis ad vitam pada pasien ini adalah dubia ad bonam karena


walau primary survey pasien menunjukkan kondisi yang stabil,
capillary leakage masih mungkin terjadi dalam setidaknya 12 jam
pertama (pasien masih dalam 6 jam pertama) dan masih terdapat
kemungkinan adanya under- ataupun over- resuscitation pada pasien.
Prognosis ad functionam pada pasien ini adalah bonam karena sesuai
dengan luas dan kedalaman luka, penyembuhan dapat terjadi secara
spontan dan telah dilakukan terapi pengobatan yang adekuat terhadap

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 64
luka bakar. Prognosis ad sanationam pada pasien ini adalah bonam
karena faktor penyebab dapat dihindari dan tidak ada angka rekurensi.

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 65
DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmadsyah I, Prasetyono TOH. Luka. Dalam: Sjamsuhidajat R, de Jong W,


editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2005. h. 73-5.
2. Moenadjat Y. Luka bakar. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003.
3. Heimbach DM, Holmes JH. Burns. In: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar
TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE, editors. Schwartz’s principal surgery.
8th ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 2007.
4. Naradzay JFX, Alson R. Thermal burns. Dalam: Slapper D, Talavera F,
Hirshon JM, Halamka J, Adler J, editors. Diunduh dari:
http://www.emedicinehealth.com. 28 Agusuts 2009.
5. Split & Full Thickness Skin Grafting. Diunduh dari
http://www.burnsurvivorsttw.org/burns/grafts.html. 30 Agustus 2009.
6. Heberal M, Abali AES, Karakayali H. Floid Management in Major Burn
Injuries. 2010. Indian Journal of Plastic Surgery; 43 (Suppl): S29-S36
7. Pham TN, Cancio LC, Gibran NS. American Burn Association Practice
Guidelines Burn Shock Resuscitation: Summary Article. 2008. Journal of
Burn Care and Research, p257-266
8. Cameron AM, Ruzehaji N, Cowin AJ. Burn Wound Management: A Surgical
Perspective. 2010. Wound Practice and Research, p35-40
9. Hettiaratchy S, Dziebulwski P. ABC of Burns Pathophysiology and Types
of Burns: Clinical Review. 2004. BMJ Volume 328, p1427-1429
10. Evers LH, Bhasvar D, Mailander P. The Biology of Burn Injury: Review
Article. 2010. In: Experimental Dermatology. John Wiley and Sons, p-777-
783
11. Singh V, Devgan L, Bhat S, Milner SM. The Pathogenesis of Burn Wound
Conversion: Review Article. 2007. Annals of Plastic Surgery Vol 59, p109-
115
12. Moritz AR. Studies of Thermal Injury: The Pathology and Pethogenesis of
Cutaneous Burns and Experimental Study. 1947. The American Journal of
Pathology Vol XXIII, p915-941

Yofara M. Muslihah (1111103000047)


PSPD UIN – Presentasi Kasus Bedah | 66

Anda mungkin juga menyukai