Anda di halaman 1dari 4

Ksatria Penjemur Suara

Oleh: Reri Nandar Munazat

Tak terasa, setahun hampir berlalu semenjak surat-surat kabar dalam negeri sempat
dipadati oleh berita tentang insiden perang-perangan antar lembaga negara. Kabar “baik”-
nya, DPR-RI pun turut ambil bagian dalam peristiwa itu. Entah berdampak langsung atau
tidak, kinerja DPR-RI sebagai penampung aspirasi rakyat pun menjadi kurang optimal seiring
bergulirnya kasus tersebut. Lagi-lagi kepentingan rakyat terkubur oleh kepentingan pribadi
anggota dewan. Maka tak heran jika seorang musisi legendaris Nusantara, Iwan Fals pernah
berdeklarasi, “Jika kata tak lagi bermakna, lebih baik diam saja!”

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana sengitnya pertikaian antara ketua DPR-RI,
menteri BUMN, dan pimpinan PT Freeport Indonesia yang sempat mewarnai panggung
perpolitikan Indonesia pada November 2015 lalu. Pelaksanaan demokrasi ala trias politica
saat itu seolah hanya menjadi arena gulat antara dua kubu koalisi partai-partai politik.
Ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pun sulit untuk diraih.

Sesungguhnya lembaga yang menjadi fokus perhatian masyarakat pada kasus ini ialah
DPR. Sebagai pengemban amanat dan suara rakyat, DPR belum bisa menunjukkan
keseriusan dalam kinerjanya. Bagaimana tidak, selain namanya ikut terdaftar sebagai peserta
dalam kasus tersebut, hingga saat ini sebagian dari kursi-kursi dewan juga sering terlihat
tidak berpenghuni dalam berbagai agenda sidang. Data yang diperoleh dari Wikidpr.org
menunjukkan bahwa rata-rata kehadiran anggota DPR pada masa sidang 11 Januari 2016
hingga 28 Juli 2016 hanya mencapai 51%. Angka ini terbilang cukup rendah jika
dibandingkan dengan tanggung jawab anggota dewan dalam menyalurkan aspirasi rakyat.

Di samping itu, gaya hidup dan fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh para anggota
dewan menjadi sasaran empuk bagi serangan pena para penyair dalam puisinya. Alih-alih
diberikan sebagai upah dalam memikirkan nasib bangsa, fasilitas dan tunjangan yang didapat
anggota dewan justru menjadi garis batas kasta sosial yang tegas antara dewan dan rakyat.
Padahal bila dikaji lebih dalam, masih banyak orang-orang kecil yang makan nasi aking
manakala anggota dewan hidup dalam kedigjayaan harta dan pangkat di Senayan.

Akibatnya, mayoritas masyarakat merasa tidak puas terhadap kinerja dewan.


Berdasarkan survei yang dilaksanakan Poltracking Indonesia pada 25-31 Maret 2015 lalu,
DPR menempati posisi teratas dalam peringkat lembaga negara dengan ketidakpuasan
masyarakat dalam kinerjanya, dengan respons tidak puas sebanyak 65%. Senada dengan
Poltracking Indonesia, CSIS juga merilis hasil survei yang serupa pada Oktober 2015. CSIS
menyatakan bahwa DPR menempati posisi paling bontot dalam hal tingkat kepercayaan
masyarakat, dengan persentase sebesar 53%. Philip J. Vermonthe, peneliti CSIS berkata
bahwa fungsi DPR dalam program legislasi nasional dianggap buruk oleh masyarakat selaku
responden dalam survei ini. Kenyataan ini menjadi indikator yang kuat bahwa DPR masih
belum mampu menyalurkan aspirasi rakyat dengan baik.
Lantas apa yang menyebabkan masyarakat tidak percaya terhadap kinerja parlemen?
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan penulis, ada empat faktor utama yang mendasari
krisis kepercayaan ini. Pertama, komunikasi antara anggota dewan dan masyarakat yang
kurang baik. Sebagai wujud konkret dari adanya demokrasi yang berlandaskan nilai-nilai
Pancasila, DPR perlu memperhatikan asas musyawarah dalam perumusan berbagai kebijakan
publik. Tidak hanya musyawarah antar anggota melalui sidang di Senayan, tetapi juga
musyawarah antara anggota dewan dengan masyarakat luas agar tercipta kesesuaian persepsi
antara DPR dan rakyat dalam memandang sebuah kebijakan. Tanpa adanya musyawarah,
maka sulit untuk mencari titik temu antara kebijakan dewan dan keinginaan masyarakat

Kedua, masih kentalnya nuansa kepartaian dalam tubuh DPR. Keberhasilan calon
anggota dewan menuju ke kursi Senayan tentunya tidak lepas dari jasa partai politik yang
mengusungnya. Selanjutnya anggota dewan yang bersangkutan harus bekerja dengan
memperhatikan keinginan partai dalam mengemban tugasnya. Hal ini terkadang
menimbulkan paradigma negatif di lingkungan masyarakat, bahwa anggota dewan lebih
mengedepankan kepentingan partai daripada membela kepentingan rakyat. Akibatnya
masyarakat menilai bahwa kinerja wakil-wakil rakyat tak lagi kredibel karena aspirasi
masyarakat sulit untuk tersampaikan.

Ketiga, tidak terealisasinya janji para anggota dewan yang disampaikan dalam
kampanye. Setelah bertengger di kursi DPR, kebanyakan anggota dewan kehilangan sifatnya
yang merakyat. Padahal, anggota dewan perlu bertatap muka dengan masyarakat untuk
mempertanggungjawabkan perkataannya yang disampaikan ketika kampanye. Masyarakat
akan kecewa jika anggota dewan yang terpilih tiba-tiba menghilang dari hadapan masyarakat
apabila janji kampanyenya belum juga terlaksana, mengingat masyarakat memilih anggota
dewan yang bersangkutan berdasarkan apa yang ia sampaikan ketika kampanye.

Keempat, sikap wakil rakyat yang tidak mencerminkan posisinya sebagai seorang
dewan. Praktik korupsi di kalangan para pejabat telah menjadi pemberitaan yang biasa
didengar oleh masyarakat. Tak hanya itu, masyarakat juga sempat dihebohkan dengan berita
mengenai seorang anggota dewan yang tertangkap kamera sedang membuka sebuah situs
pornografi di dalam gedung DPR-MPR. Sebab nila setitik, rusak susu sebelanga. Meskipun
yang terjerat kasus hanya seorang saja, namun kasus itu menimbulkan citra buruk bagi DPR-
RI. Masyarakat membutuhkan seseorang yang pantas dijadikan panutan dalam mengemban
amanat yang mereka titipkan, bukan bandit-bandit berpeci yang hanya bekerja demi kepuasan
pribadi.

Keempat poin tersebut bermuara pada satu makna, yaitu kurang berhasilnya
keberfungsian DPR sebagai garda terdepan penampung aspirasi rakyat. Setelah masa transisi
kepemimpinan pada Januari lalu, DPR harus terus berbenah diri dalam menindaklanjuti
aspirasi rakyat. Masyarakat masih menanti sosok wakil rakyat yang mampu bertindak sebagai
ksatria piningit bagi kaum marginal, bukan para penjemur suara rakyat yang membiarkan
suara itu menguap lalu kering dalam panasnya atmosfer politik. Sudah saatnya masyarakat
memantau kinerja DPR dengan lebih cermat dan jeli demi terciptanya kehidupan yang lebih
demokratis.
Ini bukanlah zaman revolusi kemerdekaan, di mana anggota parlemen harus duduk
bersidang di tengah-tengah bunyi peluru pasukan kolonial. Ini bukan pula zaman reformasi
’98, di mana 100% anggota DPR hadir dalam sidang istimewa di bawah kawalan aparat
keamanan. Tetapi ini adalah era politik yang jauh lebih bebas, di mana demokrasi dapat
diterapkan dalam skala yang seluas-luasnya. Namun untuk mengundang seluruh anggota
DPR agar mau menempati kursi duduk di kursi Senayan dalam membicarakan keinginan
rakyat, haruskah situasi politik dibuat sedemikian bergejolak sebagaimana dua era yang
tersebut sebelumnya?

Untuk menjamin agar fungsi DPR sebagai rumah aspirasi bagi rakyat dapat terealisasi
secara maksimal, maka rakyat sendiri harus ikut bersikap proaktif dalam menyampaikan
gagasan-gagasannya terhadap anggota dewan. Masyarakat perlu memanfaatkan media
internet sebagai salah satu sarana dalam menyampaikan pendapat kepada wakil rakyat
sekaligus memantau perkembangan kegiatan DPR, misalnya melalui situs resmi DPR-RI.

Tidak hanya itu, agar setiap komponen pemerintahan mampu memberikan pelayanan
yang memuaskan bagi masyarakat, maka lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif perlu
meningkatkan koordinasi satu sama lain yang dilaksanakan berdasarkan prinsip check and
balance. Di samping itu, mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) pun perlu menetapkan
kebijakan terkait pelaksanaan aspirasi rakyat oleh DPR yang disertai sanksi tegas bagi
anggota dewan yang melakukan pelanggaran terhadapnya. Apabila cara-cara ini dilaksanakan
dengan baik, maka jalan menuju pelaksanaan demokrasi yang lebih terorganisir serta
dilandasi semangat Pancasila dapat terbuka dengan lebar.

DPR selaku wakil rakyat dalam menghadapi wajah pemerintah merupakan bagian
yang tak terpisahkan dalam sistem pemerintahan di negeri ini. Kita semua perlu menyadari
bahwa anggota dewan bukanlah dewa. Mereka memerlukan bimbingan dari masyarakat agar
mampu mengemban amanat dan aspirasi sesuai dengan keinginan masyarakat. Apabila
hubungan antara DPR dan rakyat terjalin secara harmonis, maka keduanya akan bergabung
membentuk sebuah resimen sosial yang mampu mempertahankan pelaksanaan demokrasi
dalam situasi apapun, hingga pada akhirnya aspirasi rakyat tak lagi terjemur di atas panji-
panji partai politik.
IDENTITAS PENULIS

 Nama : Reri Nandar Munazat

 Alamat/HP : Kp. Malingping, RT 03, RW 07, Desa Cimacan, Kec.


Cipanas, kab. Cianjur, Jawa Barat
085846489663

 Ponpes/Sekolah : SMA Negeri 1 Cianjur

 Judul : Ksatria Penjemur Suara

Anda mungkin juga menyukai