Anda di halaman 1dari 11

Mata Ujian : ILMU PENYAKIT DALAM

Hari/ Tanggal Ujian: 20 Juni 2015


Rumah Sakit Imanuel Way Halim Bandar Lampung

Nama : Olivia Tanda Tangan


NIM : 112014300
Dr. Pembimbing/ Penguji: dr. Haryono, SpPD ………………………………

1. Acantosis nigricans merupakan salah satu lesi kulit non-spesifik pada diabetes melitus
yang ditandai dengan daerah hiperpigmentasi (gelap/kehitaman) serta tekstur seperti beludru
(hyperkeratosis) pada daerah lipatan tubuh, biasanya terdapat di sekitar ketiak, lipat paha, leher
bagian belakang dan umbilicus. Perubahan kulit timbul secara perlahan-lahan, kadang-kadang
selama beberapa bulan atau tahun. Hiperpigmentasi terjadi karena adanya penebalan keratin
kulit yang mengandung epitel superfisial. Tingginya kadar plasma insulin diperkirakan
untuk berkontribusi pada pengembangan acanthosis nigricans. Hal ini terjadi karena
meningkatnya jumlah insulin yang tidak berikatan dengan reseptor insulin, sehingga insulin
banyak berikatan dengan reseptor yang mirip reseptor insulin sehingga terjadi resistensi insulin.
Pengobatan yang paling efektif adalah perubahan gaya hidup. Penurunan berat badan dan
olahraga dapat mengurangi resistensi insulin. Acanthosis nigricans adalah reversibel dengan
penurunan berat badan jika dilihat sebagai komplikasi dari obesitas. Jika lesi tidak menunjukkan
gejala, mereka tidak memerlukan pengobatan. Salep yang mengandung asam salisilat atau
retinoat dapat digunakan untuk mengurangi lesi di daerah maserasi ataupun dapat dilakukan
tindakan laser. Acantosis Nigricans dapat juga timbul sebagai akibat efek samping obat tertentu
(asam nikotinat dan kortikosteroid), masalah endocrinopathies (akromegali, sindrom Cushing,
leprechaunism), dan juga sebagai tanda keganasan (terutama pada kanker lambung).

Gambar1. Acantosis Nigricans di paha, ketiak, dan sekitar leher


2. Ankle Brachial Index
Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk mendiagnosis pasien penyakit arteri
perifer, salah satunya adalah Ankle Brachial Index (ABI). ABI merupakan metode yang
sederhana, murah, dan noninvasive untuk mendiagnosis penyakit ini. Selain itu, ABI juga dapat
memprediksikan resiko kardiovaskular. Pemeriksaan ini menggunakan Doppler USG untuk
mengukur tekanan darah sistolik pada kaki dan lengan atas. Normalnya tekanan darah sistolik
pada kaki sedikit lebih tinggi dibanding lengan atas. Pemeriksaan tekanan darah di kaki dapat
dilakukan pada arteri dorsalis pedis dan arteri tibia posterior. Perbandingan antara arteri brakialis
dengan arteri dorsalis pedis atau arteri tibia posterior normalnya >0.9.

Gambar2. Pengukuran Ankle Brachial Index

Contoh aplikasi perhitungan ankle-brachial index


Tingkat keparahan penyakit arteri perifer berdasarkan nilai ABI
Keparahan penyakit ABI
Istirahat Latihan
Normal >0.9 >0.9
Ringan 0.8-0.9 0.5-0.9
Sedang 0.5-0.79 0.15-0.49
Berat <0.5 <0.15

Kriteria diagnostik PAD berdasarkan pengukuran ABI


Range Diagnosis

> 1.30 Gangguan kompresi


0.91-1.30 Normal
0.70-0.90 Obstruksi ringan
0.40-0.69 Obstruksi sedang
<0,4 Obstruksi berat
>

3. Bagaimana terjadinya angiopati pada penderita DM?


Komplikasi angiopati pada penderita DM terdiri dari 2 jenis, yaitu makroangiopati
(pembuluh darah jantung dan otak, serta pembuluh darah tepi) dan mikroangiopati (retinopati,
nefropati, dan neuropati).
Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes. Biasanya dengan gejala
tipikal claudication intermittent, meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki
merupakan kelainan yang pertama muncul. Pada pembuluh darah terjadi ketidakrataan
permukaan lumen arteri sehingga aliran lamellar berubah menjadi turbulen yang
mengakibatkan mudah terbentuknya thrombus yang menyumbat di pembuluh darah.
Selanjutnya, seluruh lumen arteri akan menyempit dan membuat aliran kolateral tidak
cukup, sehingga menimbulkan iskhemia organ atau jaringan yang bersangkutan lalu
timbul ulkus yang dapat berkembang menjadi nekrosis/ganggren yang luas. Pada penderita
muda, pembuluh darah yang paling awal mengalami angiopati adalah arteri tibialis. Kelainan
arteri akibat diabetes juga sering mengenai bagian distal dari arteri Femoralis Profunda, arteri
Poplitea, arteri Tibialis dan arteri Digitalis Pedis.

4. Faktor apa saja yang mempengaruhi luka sulit sembuh?


Cepat atau lambatnya penyembuhan luka tergantung dari derajat keparahan luka (daerah
luka, ukuran dan kedalaman luka, dan vaskularisasi apakah ada neuropati, infeksi atau iskemia),
perawatan luka dan kebersihan luka, serta pengendalian kadar gula darah.
Dasar dari perawatan ulkus diabetes meliputi 3 hal yaitu debridement, offloading dan
kontrol infeksi dengan antibiotik. Ulkus kaki pada pasien diabetes harus mendapatkan perawatan
karena ada beberapa alasan, misalnya unfuk mengurangi resiko infeksi dan amputasi,
memperbaiki fungsi dan kualitas hidup, dan mengurangi biaya pemeliharaan kesehatan. Tujuan
utama perawatan ulkus diabetes sesegera mungkin didapatkan kesembuhan dan pencegahan
kekambuhan setelah proses penyembuhan.
5. Patofisiologi ulkus diabetikum
Banyak penyebab terjadinya ulkus diabetikum, yang sering terjadi antara lain penyakit
arteri perifer, neuropati, dan infeksi. Berikut ini adalah penjelasan mengenai masing-masing
penyebab:
Pertama, berkurangnya sensasi rasa nyeri setempat (neuropati) membuat pasien tidak
menyadari bahkan sering mengabaikan luka yang terjadi karena tidak dirasakannya. Luka timbul
spontan sering disebabkan karena trauma, misalnya kemasukan pasir, tertusuk duri, lecet akibat
pemakaian sepatu/sandal yang sempit dan bahan yang keras. Mulanya hanya kecil, kemudian
meluas dalam waktu yang tidak begitu lama. Luka akan menjadi borok dan menimbulkan bau
yang disebut gas gangren. Jika tidak dilakukan perawatan akan sampai ke tulang yang
mengakibatkan infeksi tulang (osteomylitis). Upaya yang dilakukan untuk mencegah perluasan
infeksi terpaksa harus dilakukan amputasi (pemotongan tulang).
Kedua, sirkulasi darah dan tungkai yang menurun dan kerusakan endotel pembuluh
darah. Manifestasi angiopati pada pembuluh darah penderita DM, antara lain berupa
penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer. Sering terjadi pada tungkai bawah.
Akibatnya, perfusi jaringan bagian distal dari tungkai menjadi kurang baik dan timbul ulkus yang
kemudian dapat berkembang menjadi nekrosi/gangren yang sangat sulit diatasi dan tidak jarang
memerlukan tindakan amputasi.
Gangguan mikrosirkulasi akan menyebabkan berkurangnya aliran darah dan hantaran
oksigen pada serabut saraf yang kemudian menyebabkan degenerasi dari serabut saraf. Keadaan
ini akan mengakibatkan neuropati. Di samping itu, dari kasus ulkus/gangren diabetes, kaki DM
50% akan mengalami infeksi akibat munculnya lingkungan gula darah tinggi yang membuat
bakteri patogen dapat berkembang subur diantaranya bakteri anaerob, karena kurangnya suplai
oksigen. Hal ini karena plasma darah penderita diabetes yang tidak terkontrol baik mempunyai
kekentalan (viskositas) yang tinggi. Sehingga aliran darah menjadi melambat. Akibatnya, nutrisi
dan oksigen jaringan tidak cukup. Ini menyebabkan luka sukar sembuh dan kuman anaerob
berkembang biak.
Ketiga, berkurangnya daya tahan tubuh terhadap infeksi. Secara umum, penderita
diabetes lebih rentan terhadap infeksi. Hal ini dikarenakan kemampuan sel darah putih untuk
fagositosis dan membunuh kuman berkurang pada kondisi kadar gula darah (KGD) diatas 200
mg/dl. Kemampuan ini pulih kembali bila KGD menjadi normal dan terkontrol baik. Infeksi ini
harus dianggap serius karena penyebaran kuman akan menambah persoalan baru pada borok.
Kuman pada borok akan berkembang cepat ke seluruh tubuh melalui aliran darah yang bisa
berakibat fatal, ini yang disebut sepsis (kondisi gawat darurat).
Sejumlah peristiwa yang dapat mengawali kerusakan kaki pada penderita diabetes
sehingga meningkatkan risiko kerusakan jaringan antara lain: luka kecelakaan, trauma sepatu,
stress berulang, trauma panas, iatrogenik, oklusi vaskular, kondisi kulit atau kuku.

6. Bagaimana menghitung diet pada penderita DM? (L 43 tahun, BB=82kg, TB=170cm)


Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang
diabetes. Diantaranya dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30
kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantug pada beberapa faktor seperti: jenis
kelamin, umur, aktivitas, dan berat badan.
IMT = 28,37  obesitas 1
Berat badan ideal = 90% X (TB-100cm)X1kg
= 90% X (170-100)
= 63 kg ±10% = 56,7-69,3

Berat badan pasien = 82 kg  lebih dari BBI 69,3kg  gemuk

Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori pada
perempuan 25kal/kgBB, sementara laki-laki 30kal/kgBB. Pasien ini laki-laki sehingga kebutuhan
kalorinya = 30x82 = 2460kalori.
Untuk pasien usia diatas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5%; untuk 40-59 tahun
dikurangi 10%; untuk 60-69 tahun dikurangi 20%. Usia pasien 43 tahun sehingga kebutuhan
kalori dikurangi 5% = 2460-123=2337 kalori.
Pada keadaan istirahat diperlukan penambahan 10% dari kebutuhan basal; aktivitas
ringan 20%, aktivitas sedang 30%, aktivitas berat 50%. Pasien ini sedang beristirahat sehingga
penambahan kalori cukup 10% = 2337+233,7=2570,7 kalori.
Bila kegemukan kalori dikurangi sekitar 20-30%, bila terlalu kurus ditambah sekitar 20-
30% sesuai berat-badan. Pasien tergolong gemuk sehingga kalori perlu dikurangi sebesar 20-
30% = 1798,79-2056,56 kalori/hari.
Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200
kkal perhari untuk perempuan dan 1200-1600kkal perhari untuk laki-laki. Makanan sejumlah
kalori terhitung dengan komposisi tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%),
siang 30%, dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) diantaranya.

7. Indikasi dan kontraindikasi insulin, Jenis insulin, Dosis insulin


Dasar pemikiran terapi insulin adalah sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal
dan sekresi pranadial. Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang
fisiologis. Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal yang menyebabkan
timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa, insulin pranadial yang menimbulkan hiperglikemia
setelah makan atau keduanya. Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi
terhadap defisiensi yang terjadi.
Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah basal (puasa,
sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun insulin. Insulin yang
dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal adalah insulin basal (insulin
kerja sedang atau panjang). Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat
dilakukan dengan menambahakan 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai.
Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan A1C belum
mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah pranadial (meal-related)
dengan insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin kerja pendek.
Kombinasi insulin basal dengan insulin pranadial dapat diberikan subkutan dalam bentuk
1 kali insulin basal + 1 kali insulin pranadial (basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali pranadial
(basal 2plus), atau 1 kali basal + 3 kali pranadial (basal bolus). Insulin basal juga dapat
dikombinasikam dengan OHO untuk menurunkan glukosa darah pranadial seperti golongan obat
peningkat sekresi insulin kerja pendek (golongan glinid) atau penghambat penyerapan kabohidrat
dari lumen usus (acarbose). Terapi insulim tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan
kebutuhan pasien dan respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
harian.
Indikasi Kontraindikasi
1. Semua diabetes tipe 1 memerlukan Makan kurang dari diet kalori
insulin eksogen karena produksi insulin
oleh sel beta pada kalenjar pankreas
tidak ada ataupun hampir tidak ada.
2. Penurunan berat badan cepat Aktivitas berlebihan
3. Hiperglikemia berat yang disertai
ketosis
4. Ketoasidosis diabetic (KAD)
5. Hipergikemia hiperosmolar non ketotik
(HONK)
6. Hiperglikemia dengan asidosis laktat
7. Gagal dengan kombinasi OHO dosis
minimal
8. Stres berat (infeksi sistemik, operasi
besar, miokard infark, dan stroke)
9. Kehamilan dengan DM atau diabetes
gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makanan
10. Gangguan fungsi hati atau ginjal yang
berat
11. Kontraindikasi atau alergi terhadap
OHO

Jenis, lama kerja, dan dosis insulin


Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yaitu:
a. Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
Bentuknya berupa larutan jernih, mempunyai onset cepat dan durasi pendek. Yang
termasuk di sini adalah insulin regular (Crystal Zinc Insulin / CZI ). Saat ini dikenal 2 macam
insulin CZI, yaitu dalam bentuk asam dan netral. Preparat yang ada antara lain : Actrapid,
Velosulin, Semilente. Insulin jenis ini diberikan 30 menit sebelum makan, mencapai puncak
setelah 1– 3 macam dan efeknya dapat bertahan samapai 8 jam.
b. Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
Bentuknya terlihat keruh karena berbentuk hablur-hablur kecil, dibuat dengan
menambahkan bahan yang dapat memperlama kerja obat dengan cara memperlambat penyerapan
insulin kedalam darah. Yang dipakai saat ini adalah Netral Protamine Hegedorn ( NPH
),MonotardÒ, InsulatardÒ. Jenis ini awal kerjanya adalah 1.5 – 2.5 jam. Puncaknya tercapai
dalam 4 – 15 jam dan efeknya dapat bertahan sampai dengan 24 jam.
c. Insulin kerja panjang (long acting insulin)
Merupakan campuran dari insulin dan protamine, diabsorsi dengan lambat dari tempat
penyuntikan sehingga efek yang dirasakan cukup lam, yaitu sekitar 24 – 36 jam. Preparat:
Protamine Zinc Insulin ( PZI ), Ultratard
d. Insulin kerja pendek (short acting insulin)

Dosis pemberian insulin tergantung pada kadar gula darah, yaitu :


< 60 mg % = 0 unit
< 200 mg % = 5 – 8 unit
200 – 250 mg% = 10 – 12 unit
250 - 300 mg% = 15 – 16 unit
300 – 350 mg% = 20 unit
> 350 mg% = 20 – 24 unit

Efek samping utama insulin adalah terjadinya hipoglikemia, yaitu menurunnya kadar
glukosa darah <60mg/dl. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonil urea
dan insulin. Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat
dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan
kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih
lama. Gejala hipoglikemik terdiri dari geala adrenergic (berebar-debar, banyak keringat,
gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun
sampai koma). Bagi pasien dengan kesadaran yang masih baik, cukup diberikan makanan
mengandung karbohidrat atau minuman mengandung gula berkalori (teh manis) atau glukosa 15-
20 gram melalui intravena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15 menit setelah
pemberian glukosa. Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan
glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan
penyebab penurunan kesadarannya.
Efek samping lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat menimbulkan
alergi insulin atau resistesi insulin.

8. Pemilihan obat hipertensi pada diabetes mellitus


Indikasi pengobatan hipertensi pada penderita DM adalah bila TDS >130 mmHg dan/atau
TDD >80mmHg. Sasaran (target penurunan) tekanan darah adalah <130/80mmHg. Bila disertai
dengan proteinuria ≥1gram/24jam, tekanan darah harus turun menjadi <125/75mmHg.
Pengelolaan nonfarmakologis dengan memodifikasi gaya hidup antara lain menurunkan berat
badan, meningkatkan aktivitas fisik, menghentikan rokok dan alcohol, serta mengurangi
konsumsi garam.
Hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat anti-hipertensi (OAH), yaitu pengaruhya
terhadap profil lipid, metabolism glukosa, resistensi insulin dan hipoglikemia terselubung. Obat
anti-hipertensi yang dapat digunakan antara lain: penghambat ACE, penyekat reseptor
angiotensin II, penyekat reseptor beta selektif dosis rendah, diuretik dosis rendah,
penghambat reseptor alfa, antagonis kalsium. Penghambat ACE, penyekat reseptor
angiotensin II, dan antagonis kalsium golongan non-dihidropiridin (diltiazem, verapamil) dapat
memperbaiki mikroalbuminuria. Penghambat ACE juga dapat memperbaiki kinerja
kardiovaskular.
Pada pasien dengan tekanan darah sistolik antara 130-139mmHg atau tekanan diastolik
antara 80-89mmHg diharuskan melakuan perubahan gaya hidup sampai 3 bulan. Bila gagal
mencapai target barulah dapat ditambahkan terapi farmakologis. Sementara pasien dengan
tekanan darah sistolik >140mmHg atau tekanan diastolic >90mmHg, dapat diberikan terapi
farmakologis secara langsung. Diberikan terapi kombinasi apabila target terapi tidak dapat
dicapai dengan monoterapi.
Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaran sudah tercapai. Bila tekanan
darah terkendali, setelah satu tahun dapat dicoba menurunkan dosisnya secara bertahap.

Anda mungkin juga menyukai