Type, T. M., Mbti, I., & Briggs, I. (1985). Myers-Briggs Type Indicator (MBTI). New
York, 60, 2–5. Retrieved from
http://go.galegroup.com.miman.bib.bth.se/ps/retrieve.do?sgHitCountType=None&so
rt=RELEVANCE&inPS=true&prodId=GVRL&userGroupName=blekinge&tabID=
T003&searchId=R1&resultListType=RESULT_LIST&contentSegment=&searchTy
pe=BasicSearchForm¤tPosition=1&contentS
Kandemir, M. A., & Gür, H. (2009). The use of creative problem solving scenarios in
mathematics education: views of some prospective teachers. Procedia - Social and
Behavioral Sciences, 1(1), 1628–1635. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2009.01.286
a. Tipe Guardian
b. Tipe Artisan
Pada dasarnya, tipe ini menyukai perubahan, dan tidak tahan terhadap
kestabilan. Artisans selalu aktif dalam segala keadaan, dan selalu ingin menjadi
perhatian dari semua orang , baik guru maupun teman-temannya. Bentuk kelas yang
disukai adalah kelas dengan banyak demonstrasi, diskusi, presentasi, karena dengan
demikian tipe ini dapat menunjukkan kemampuannya. Artisans akan bekerja dengan
keras, apabila dirangsang dengan suatu kontes. Segala sesuatunya ingin dikerjakan dan
diketahui secara cepat, bahkan sering cenderung terlalu tergesa. Artisans akan cepat
bosan, apabila pengajar tidak mempunyai teknik yang berganti-ganti dalam mengajar.
c. Tipe Rationalists
d. Tipe Idealist.
Idealist menyukai materi tentang ide dan nilai-nilai. Lebih menyukai untuk
menyelesaikan tugas secara pribadi, daripada diskusi kelompok. Dapat
memandang persoalan dari berbagai perspektif. Menyukai membaca, dan juka
menyukai menulis. Oleh karenanya, kurang cocok dengan bentuk tes objektif,
karena tidak dapat mengungkap kemampuannya dalam menulis. Kreativitas menjadi
bagian yang sangat penting bagi seorang Idealist. Kelas besar, sangat
mengganggu Idealist dalam belajar, sebab lebih menyukai kelas kecil di mana setiap
anggotanya saling mengenal satu dengan yanglain.
(JURNAL : THE USE OF CREATIVE PROBLEM SOLVING SCENARIOS IN
MATHEMATICS EDUCATION: VIEWS OF SOME PROSPECTIVE TEACHERS)
(2.2) Brainstroming
Pada tahap ini siswa dibebaskan untuk mengungkapkan pendapat tentang
berbagai macam strategi penyelesaian masalah, tidak ada sanggahan dalam
mengungkapkan ide gagasan satu sama lain.
(2.4) Implementasi
Pada tahap ini, siswa menentukan strategi mana yang dapat diambil untuk
menyelesaikan masalah kemudian menerapkannya sampai menemukan
penyelesaian dari masalah tersebut (Pepkin, 2004:2).
Lebih lanjut perwakilan salah satu siswa dari kelompoknya mempresentasikan hasil yang
telah didiskusikan ke depan kelas dan peserta lain menanggapinya. Kemudian guru
bersama siswa menyimpulkan materi.
(1) Kelebihan
(2) Kelemahan
(2.2) Tidak semua siswa dapat mengikuti pelajaran dengan model pembelajaran
(2.3) Tidak semua materi pembelajaran cocok bila disampaikan dengan model
TUJUAN
1. Siswa akan dapat menyatakan urutan langkah-langkah yang terlibat dalam Masalah
Kreatif Memecahkan.
2. Siswa akan bisa melakukan brainstorming (menghasilkan solusi yang mungkin untuk
suatu masalah).
3. Siswa akan dapat mengevaluasi manfaat solusi yang mungkin dalam hal kepatuhan
terhadap kriteria.
4. Berdasarkan seperangkat kriteria, siswa akan dapat membuat pilihan yang optimal.
5. Siswa akan dapat mengembangkan rencana untuk mengimplementasikan solusinya.
Pemecahan masalah juga merupakan proses mensintesis berbagai konsep, aturan atau
rumus untuk memecahkan masalah (Kirkley 2003). Pengertian pemecahan masalah ini
mengindikasikan bahwa diperolehnya solusi suatu masalah menjadi syarat bagi proses
pemecahan masalah.
Pemecahan masalah yang melibatkan proses kreatif disebut pemecahan masalah kreatif
(Creative Problem Solving). Creative Problem Solving (CPS) pertama kali diperkenalkan
oleh Alex Osborne sehingga Creative Problem Solving ini dikenal juga dengan nama The
Osborne-Parnes Creativity Problem Solving Models.
Sementara itu menurut Treffinger (2005) model Creative Problem Solving disebut
sebagai model konseptual mengusulkan tiga komponen proses, yaitu 1) memahami
tantangan; 2) menghasilkan gagasan; 3) menyiapkan tindakan. Komponen-komponen
proses tersebut terdiri dari enam tahap dimana menekankan adanya keseimbangan dalam
menggunakan kemampuan berfikir kreatif dan kritis. Tiga komponen utama dalam CPS
yang saling berkaitan (membentuk siklus) yang dapat dilihat pada gambar.
Menurut Sunata (dalam Shoimin, 2014: 219) model treffinger adalah suatu strategi
pembelajaran yang dikembangkan dari model belajar kreatif yang bersifat developmental
dan mengutamakan segi proses. Strategi pembelajaran yang dikembangkan Treffinger
yang berdasarkan kepada model belajar kreatifnya.
Lebih lanjut Huda (2013: 318) model treffinger sebenarnya tidak berberda jauh dengan
model pembelajaran yang digagas oleh Osborn. Model treffinger ini juga dikenal dengan
Creative Problem Solving, kedua sama-sama berupaya untuk mengajak peserta didik
berpikir kreatif dalam menghadapi masalah, namun sintak yang diterapkan antara Osborn
dan Treffinger sedikit berbeda satu sama lain.
Menurut Treffinger (dalam Huda, 2013: 218) model treffinger adalah model yang
berupaya untuk mengajak peserta didik berpikir kreatif dalam memecahkan masalah
dengan memperhatikan fakta-fakta penting yang ada di lingkungan sekitar lalu
memunculkan berbagai gagasan dan memilih solusi yang tepat untuk diimplementasikan
secara nyata.
Menurut Ngalimun, (2014: 179) pembelajaran kreatif dengan basis kematangan dan
pengetahuan siap dengan sintaks: keterbukaan-urutan ide-penguatan, penggunaan ide
kreatif-konflik internal-skill, proses rasa-pikir kreatif dalam pemecahan masalah secara
mandiri melalui pemanasan-minat-kuriositi-tanya, kelompok-kerjasama, kebebasan-
terbuka, reward.
Menurut Sarson (dalam Huda, 2013: 320) karakteristik yang paling dominan dari model
pembelajaran treffinger ini adalah upayanya dalam mengintegrasikan dimensi kognitif
dan afektif peserta didik untuk mencari arah-arah penyelesaian yang akan ditempuhnya
untuk memecahkan permasalahan, artinya peserta didik diberikan keleluasaan untuk
berkreativitas menyelesaikan permasalahannya sendiri dengan cara-cara yang ia
kehendaki, tugas guru adalah membimbing peserta didik agar arah-arah yang ditempuh
oleh peserta didik ini tidak keluar dari permasalahan.
Shoimin (2014: 222) kelemahan model treffinger yaitu butuh waktu yang lama. Namun
menurut Shoimin (2014: 221-222) model treffinger memiliki kelebihan yaitu sebagai
berikut:
a. Mengasumsikan bahwa kreativitas adalah proses dan hasil belajar.
b. Dilaksanakan kepada semua peserta didik dalam berbagai latar belakang dan tingkat
kemampuan.
c. Mengintegrasikan dimensi kognitif dan afektif dalam pengembangannya.
d. Melibatkan secara bertahap kemampuan berpikir konvergen dan divergen dalam proses
pemecahan masalah.
e. Memiliki tahapan pengembangan yang sistematik, dengan beragam metode dan teknik
untuk setiap tahap yang dapat diterapkan secara fleksibel.
Kekurangan dari model treffinger yaitu memerlukan waktu yang lama, sehingga untuk
meminimalisir kekurangan tersebut maka guru perlu memperhatikan perbedaan level
pemahaman dan kecerdasan peserta didik dalam menghadapi masalah dan kesiapan
peserta didik untuk menghadapi masalah dalam pembelajaran.
b. merumuskan masalah
Guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengindentifikasi permasalahan.
Menurut Munandar (dalam Shoimin, 2014: 219-220) model treffinger terdiri dari
langkah-langkah berikut: