Anda di halaman 1dari 248

1

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR

Masalah penyakit infeksi di Indonesia


Terdapatnya suatu penyakit di suatu daerah tergantung pada terdapatnya
manusia yang peka dan kondisi lingkungan yang sesuai bagi kehidupan
mikroorganisme penyebab penyakit. Mikroorganisme yang memiliki siklus hidup
yang sederhana, penyebarannya akan lebih luas dibanding yang siklusnya
sangat kompleks, misalnya selain manusia juga memerlukan hewan untuk
melanjutkan hidupnya . Faktor sosial ekonomi penduduk sangat memengaruhi
penyebaran penyakit. Daerah pertanian, peternakan, kebiasaan menggunakan
tinja untuk pupuk, kebersihan lingkungan hidup dan sanitasi dan higiene
perorangan yang buruk serta kemiskinan merupakan faktor-faktor yang dapat
meningkatkan penyebaran penyakit. Migrasi penduduk dari satu daerah ke
daerah lain, agama dan kepercayaan penduduk dengan ritual keagamaan yang
khusus dapat juga memengaruhi penyebaran penyakit tertentu.
Daerah-daerah tropis yang basah dengan temperaturnya yang hangat
merupakan tempat hidup yang ideal bagi perkembang biakan organisme
penyebab penyakit, baik pada manusia maupun pada hewan. Daerah subtropis
yang pendek musim panasnya, dan daerah beriklim dingin serta daerah-daerah
yang beriklim sangat panas menghambat perkembangan, kehidupan dan
penyebaran organisme penyebab penyakit.
Berbagai macam organisme penyebab penyakit pada manusia maupun
hewan dijumpai di Indonesia, karena lingkungan hidup di kawasan ini
memungkinkan organisme penyebab penyakit dapat hidup dan berkembang biak
dengan sempurna. Penelitian-penelitian epidemiogi yang banyak dilakukan di
Indonesia menunjukkan bahwa penyakit menular masih merupakan penyebab
kematian yang penting di Indonesia. Malaria dan Demam Berdarah Dengue
merupakan penyakit menular yang tidak saja sulit diberantas di Indonesia,
melainkan juga masih merupakan penyakit menular yang menjadi masalah
kesehatan dunia.
Laporan kesehatan nasional di Indonesia menunjukkan bahjwa penyakit-
penyakit parasit yang terkait erat hubungannya dengan lingkungan hidup, masih
menunjukkan frekuensi yang sangat tinggi di berbagai daerah. Salah satu di
antaranya adalah penyakit-penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah (soil
transmitted helminths) seperti infeksi cacing perut (askariasis), infeksi cacing
cambutk (trikuriasis) dan infeksi cacing tambang. Penelitian-penelitian di
Indonesia, misalnya dengan melakukan pemeriksaan tinja pada penduduk, baik
di daerah pedesaan maupun di daerah perkotaan, baik di Jawa maupun di luar
Jawa menunjukkan angka-angka yang masih tinggi. Demikian juga penyakit-
penyakit diare, baik yang disebabkan oleh bakteri, parasit maupun virus juga
selalu menjadi masalah kesehatan utama di berbagai daerah. Kurangnya sarana
air bersih, sempitnya lahan tempat tinggal keluarga, kebiasaan makan dengan
tangan yang tidak dicuci lebih dahulu, pemakaian ulang daun-daun dan
pembungkus makanan yang sudah dibuang ke tempat sampah, sayur-sayuran
yang dimakan mentah, penggunaan air sungai untuk berbagai kebutuhan hidup
(mandi, mencuci bahan makanan, mencuci pakaian, berkumur, gosok gigi, dan
juga digunakan sebagai kakus), dan penggunaan tinja untuk pupuk sayuran,
meningkatkan penyebaran penyakit menular yang menyerang sistem
pencernaan.
Selain faktor-faktor tersebut di atas, faktor pekerjaan juga sangat
memengaruhi frekuensi penyakit parasitik. Pekerja-pekerja perkebunan yang
sarana kakusnya tidak memadai jumlahnya, pekerja-pekerja bidang pengairan
dan irigasi, pekerja tambang dan kehutanan, petani dan peternak termasuk
dalam kelompok yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi penyakit menular.
Penyakit-penyakit menular yang ditularkan oleh serangga yang
memerlukan penanganan yang berwawasan jangka panjang di Indonesia antara
lain adalah filariasis yaitu penyakit kaki gajah yang disebabkan oleh cacing
filaria, penyakit malaria yang disebabkan oleh plasmodium, penyakit demam
berdarah dengue yang disebabkan oleh virus dengue, dan diare yang
disebabkan oleh virus dan bakteri. Vektor penular penyakit – penyakit tersebut
adalah berbagai jenis serangga misalnya lalat dan lipas yang menularkan diare
dan nyamuk yang menularkan malaria, filariasis dan demam berdarah dengue
yang mempunyai jenis dan kebiasaan hidup yang berbeda-beda. Spesies-
spesies nyamuk mempunyai sifat-sifat biologis yang cara hidup dan tempat
hidup serta berkembang biak yang sangat bervariasi. Ada nyamuk yang
memerlukan air jernih untuk tempat berkembang biaknya, ada yang
membutuhkan air payau, air rawa-rawa, sarang yang terlindung dari sinar
matahari atau sebaliknya ada yang justru membutuhkan kehangatan sinar
matahari. Selain itu nyamuk-nyamuk tersebut ada yang menyukai darah manusia
sebagai sumber hidupnya (antropofilik), atau hanya menyukai darah hewan
(zoofilik), namun ada yang dapat hidup dengan menghisap darah manusia
maupun hewan (antropozoofilik).
Selain filariasis dan soil transmitted helminths, parasit yang siklus
hidupnya sangat terkait dengan lingkungan hidup adalah cacing pita babi (Taenia
solium) dan cacing pita sapi (Taenia saginata), protozoa usus misalnya
Entamoeba histolytica, Giardia lamblia dan Balantidium coli serta penyakit
protozoa darah yaitu malaria .
Beberapa daerah di luar Jawa merupakan fokus-fokus endemik skistosomiasis,
suatu penyakit cacing darah yang dapat menimbulkan manifestasi klinis berat
yang dapat menimbulkan kematian penderita. Di Indonesia, penyebab
skistosomiasis adalah cacing daun yang hidup di dalam pembuluh darah
manusia yaitu Schistosoma japonicum. Cacing ini merupakan parasit zoonotik
yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia dan sebaliknya, memerlukan air
tawar sebagai tempat perkembangan stadium infektifnya.

Siklus hidup organisme


Adaptasi parasit, bakteri, virus dan jamur terhadap lingkungan hidupnya
termasuk di dalam tubuh hospes tempatnya hidup, menyebabkan terjadinya
perbedaan siklus hidup pada berbagai jenis parasit.
Manusia dapat bertindak sebagai satu-satunya hospes definitif (definitive
host, final host) sehingga merupakan satu-satunya sumber penularan penyakit
parasit, bakteri, virus atau jamur) atau merupakan salah satu hospes definitif
selain hewan lain yang juga bertindak sebagai hospes definitif, atau hanya
menjadi hospes insidental dari organisme penyebab penyakit yang secara alami
hidup pada hewan. Hewan yang dapat bertindak sebagai hospes definitif bagi
organisme penyebab penyakit yang hidup pada manusia disebut hospes
cadangan (reservoir host ).
Untuk melengkapi siklus hidupnya, kadang-kadang parasit membutuhkan
hewan lain yang bertindak selaku hospes perantara (intermediate host) tempat
berkembangnya stadium muda parasit, misalnya bentuk larvanya. Beberapa
jenis cacing trematoda dan cestoda membutuhkan dua hospes perantara, yaitu
hospes perantara primer dan sekunder. Sebaliknya manusia dapat bertindak
selaku hospes perantara bagi parasit yang hospes definitifnya adalah hewan.
Akibat yang ditimbulkan oleh larva cacing pita babi ( Taenia solium) atau cacing
pita anjing (Echinococcus granulosus) misalnya, dapat menimbulkan gangguan
kesehatan yang membahayakan jiwa manusia penderita.

Penyebaran penyakit menular


Penularan penyakit parasit, bakteri, virus maupun jamur dipengaruhi tiga
faktor, yaitu adanya sumber infeksi, cara penularan parasit, dan adanya hospes
yang peka atau sensitif. Kombinasi faktor-faktor tersebut menentukan tingginya
penyebaran dan prevalensi parasit di suatu daerah pada tempat dan waktu
tertentu. Selain itu adaptasi alami parasit terhadap manusia selaku hospes,
kebiasaan hidup dan hubungan dalam populasi manusia serta tingginya daya
tahan tubuh individu manusia, mempengaruhi cepatnya kejadian penularan
penyakit parasitik.
Penyakit menular yang menginfeksi penderita pada awal infeksi umumnya
tidak menunjukkan gejala. Sesudah itu akan timbul gambaran klinis yang jelas
yang dalam perjalanan penyakitnya kemudian bisa berkembang menjadi
penyakit yang akut dan berat yang menimbulkan kematian penderita. Pada
penderita dengan daya tahan tubuh yang tinggi, penyakit akan menyembuh atau
akan berkembang menjadi penyakit yang menahun atau kronis dengan gejala
atau keluhan yang ringan. Dalam hal ini meskipun penderita masih mengidap
mikroorganisme penyebab penyakit tertentu, tetapi tidak menunjukkan gejala
atau keluhan (disebut carrier), sehingga karier ini merupakan sumber penularan
potensial penyakit menular bagi orang lain yang sehat. Carrier terjadi karena
antara hospes dan parasit terdapat keseimbangan dalam kehidupan masing-
masing. Karier misalnya dijumpai pada penularanan malaria, amubiasis, filariasis
dan penyakit-penyakit akibat infeksi virus atau bakteri usus.
Penyebaran organisme penyebab penyakit dari satu individu penderita ke
individu yang peka dapat terjadi secara langsung (direct contact) atau melalui
penularan tidak langsung. Pada penularan tidak langsung, untuk dapat
menginfeksi hospes yang peka parasit harus melewati tahapan stadium
perkembangan sebelum menjadi stadium yang infektif. Penularan stadium
infektif dapat terjadi secara kontak langsung atau tidak langsung, bersama
makanan, minuman, tanah, hewan vertebrata dan vektor serangga, atau dari ibu
ke bayi melalui plasenta pada waktu proses persalinan.

Patologi dan gejala klinis


Gejala klinis infeksi penyakit menular dipengaruhi oleh berbagai hal, yaitu
jumlah organisme penyebab penyakit yang masuk ke dalam tubuh penderita,
perubahan-perubahan patologis yang timbul di dalam jaringan dan organ tubuh,
kerusakan mekanik pada jaringan tubuh dan akibat iritasi organism penyebab
penyakit, toksin atau bahan beracun atau penyebab alergi yang dihasilkan
parasit atau organisme lainnya dan reaksi negatif organ dan jaringan yang
mengalami gangguan. Jika terjadi keseimbangan antara organisme penyebab
penyakit dengan hospes tempatnya hidup, maka hospes yang menjadi karier ini
tidak menunjukkan gejala klinis yang nyata, namun masih selalu mengeluarkan
organisme penyebab penyakit yang dapat menular pada orang lain.
Daya tahan tubuh atau imunitas hospes dapat berupa imunitas alami
sesuai yang dengan spesiesnya, ras, atau imunitas individual terhadap
organisme penyebab penyakit pada umumnya atau spesies atau strain
organisme tertentu. Imunitas dapat bersifat absolut namun lebih sering parsial.
Sebagai contoh imunitas terkait dengan ras, orang berkulit hitam (negro) lebih
resisten terhadap infeksi cacing tambang dan malaria vivax dibanding orang kulit
putih.
Golongan anak-anak dan orang berusia lanjut merupakan kelompok yang
paling sering menderita infeksi penyakit menular. Infeksi pertama dapat terjadi
pada usia yang sangat muda. Infeksi askariasis misalnya pernah dilaporkan
terjadi pada bayi berusia 4 bulan sedangkan pada trikuriasis umur termuda
adalah 5 bulan. Pada cacing tambang dapat terjadi pada usia 6 bulan dan hal ini
dapat terjadi bila anak diletakkan begitu saja di tanah tanpa alas, sehingga larva
infektif cacing tambang dapat menginfeksi melalui kulitnya. Sedangkan pada
infeksi virus, bakteri atau toksoplasmosis, infeksi dapat terjadi sejak janin berada
dalam kandungan ibunya.

Diagnosis penyakit infeksi


Penyakit parasit. Manifestasi klinik penyakit parasit seringkali bersifat umum
karena gejala dan keluhan yang ditimbulkannya mirip satu dengan lainnya,
sehingga hanya dengan gejala klinik saja sukar dijadikan pegangan menentukan
jenis parasit yang menjadi penyebab penyakit parasitik. Sebagai contoh,
berbagai infeksi cacing usus menunjukkan gejala-gejala yang tidak jelas dan
tidak khas sehingga sulit dikenali. Dalam hal ini diperlukan pemeriksaan
laboratorium untuk menetapkan diagnosis pasti jenis parasit penyebab infeksi
parasitik tersebut.
Infeksi penyakit parasit umumnya sifatnya menahun dan jarang
menimbulkan kematian yang mendadak, sehingga sering tidak diperhatikan dan
diabaikan akibatnya. Kekurangan gizi dan anemia merupakan akibat yang paling
sering dialami oleh penduduk terutama di daerah yang sudah rawan gizi
sebelumnya, sehingga menimbulkan manifestasi malnutrition dalam berbagai
tingkatan dari yang ringan hingga yang berat. Keadaan ini akan menjadi lebih
berat lagi oleh karena banyak penyakit parasit juga dapat menimbulkan diare.
Infeksi parasit cacing tambang yang berat dapat menimbulkan gangguan
kesehatan pada orang dewasa dan remaja produktif yang menurun produktivitas
kerjanya, sedang pada kaum ibu yang sedang hamil akan mengalami berbagai
gangguan dalam proses kehamilan dan proses melahirkan anaknya berupa
abortus yang berulang, keracunan kehamilan dan kematian janin sebelum cukup
umur kandungannya. Dapat juga dilahirkan bayi-bayi prematur dengan berat
badan di bawah ukuran normal. Pada anak-anak akan terjadi gangguan
perkembangan fisik dan mental sehingga kelak akan tumbuh menjadi orang
dewasa yang rendah daya prestasinya.

Penyakit virus dan bakteri. Banyak penyakit virus dan bakteri yang
berlangsung akut, dengan gejala-gejala klinis yang jelas sehingga dapat
ditentukan diagnosisnya. Pada penyakit-penyakit menular yang berlangsung
kronis atau gejalanya tidak jelas, pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan
menggunakan alat diagnosis lainnya (misalnya pemeriksaan dengan
menggunakan sinar Rontgen, CT Scan, Ultrasonografi, Elektrokargiograf ) dapat
membantu menegakkan diagnosis pasti penyakit menular.

Pengobatan penyakit infeksi


Penyakit infeksi menular harus diobati dengan baik melalui tindakan yang
cepat dan tepat, baik pemberian obat-obatan yang sesuai dengan penyebabnya,
tindakan operatif jika diperlukan, dan pemberian nutrisi yang memenuhi
kebutuhan penderita untuk meningkatkan daya tahan tubuh penderita. Obat-
obatan terhadap penyakit menular umumnya dapat menimbulkan efek samping
bagi penderita. Karena itu dosis yang diberikan harus tepat ukurannya sehingga
sesedikit mungkin menimbulkan efek samping terhadap jaringan tubuh penderita,
namun memberikan efek lethal terhadap parasit yang dituju. Takaran obat yang
kurang dari dosis yang membunuh organisme penyebab penyakit menular akan
menimbulkan terjadinya resistensi organisme terhadap obat yang digunakan,
sehingga menghambat pemberantasan penyakit menular dalam skala yang lebih
luas di suatu daerah atau negara. Penyakit malaria di berbagai negara banyak
dilaporkan telah kebal terhadap klorokuin, demikian juga halnya penyakit
tuberkulosis yang kebal terhadap berbagai jenis obat yang sebelumnya telah
digunakan secara luas.

Pencegahan penyakit menular


Pada prinsipnya pencegahan penyebaran penyakit menular dilakukan
dengan cara memutuskan rantai siklus hidup organisme penyebab penyakit,
yaitu dengan jalan : (1) mengobati penderita karena merupakan sumber infeksi,
(2) penyuluhan kesehatan untuk mencegah penyebaran penyakit dan
menghindari kontak dengan sumber penyakit menular, (3) menjaga kebersihan
air, makanan, lingkungan hidup dan lingkungan kerja, serta pembuangan limbah
yang baik, (4) memberantas dan mengendalikan hospes cadangan (reservoir
host) dan vektor penular penyakit, dan (5) meningkatkan daya tahan tubuh
terhadap penularan parasit.
Sebagai contoh, cacing yang ditularkan melalui tanah selalu
membutuhkan media tanah untuk perkembangan stadium infektif yang dapat
menulari manusia lainnya. Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura dapat
ditularkan melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh telur cacing yang
terdapat di tanah yang tercemar tinja penderita. Sedangkan larva cacing
tambang yang infektif menginfeksi kulit manusia yang mengadakan kontak
dengan tanah yang tercemar tinja penderita infeksi cacing tambang.
Pencemaran tanah oleh tinja penderita hanya akan terjadi bila penderita buang
air besar di tanah dan tidak di kakus yang memenuhi persyaratan yang benar.
Oleh karena itu pengadaan kakus yang baik mutlak diperlukan untuk
memberantas penyakit cacing usus, dengan catatan kakus itu harus
dipergunakan dengan semestinya dan tidak hanya dibuat untuk pajangan rumah
apabila ada kunjungan pejabat kesehatan atau kunjungan bupati ke desa-desa.
Pada umumnya tindakan pencegahan dilakukan melalui beberapa cara
secara bersama-sama agar tercapai hasil yang memuaskan, baik pencegahan
dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Selain itu juga harus
diperhatikan agar tindakan pencegahan tidak menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan hidup dan kesehatan lingkungan secara umum.

HIV/AIDS
HIV/AIDS pada saat ini menimbulkan masalah yang sangat besar bagi
dunia kesehatan dan kedokteran di seluruh dunia. Berbagai organisme termasuk
parasit yang pada mulanya tidak menimbulkan gangguan kesehatan atau
menimbulkan masalah kesehatan yang sangat ringan bahkan subklinis, tiba-tiba
muncul sebagai penyebab kematian bagi banyak pengidap HIV/AIDS. Sebagai
contoh adalah parasit Cryptosporidium parvum yang sebelumnya belum pernah
menjadi masalah kesehatan di Amerika, dilaporkan menjadi epidemi
kriptosporidiosis pada ratusan ribu orang yang pengidap HIV/AIDS yang
menimbulkan kematian pada ratusan orang diantaranya.
2
PENYAKIT CACING

1. ANGIOSTRONGILIASIS
2. ANKILOSTOMIASIS DAN NEKATORIASIS
3. ASKARIASIS
4. ENTEROBIOSIS
5. FILARIASIS
6. HIDATIDOSIS
7. LARVA MIGRAN
8. SISTISERKOSIS
9. SKISTOSOMIASIS JAPONICUM
10. STRONGILOIDIASIS
11. TAENIASIS
12. TRIKINOSIS
13. TRIKURIASIS
1. ANGIOSTRONGILIASIS

Penyakit ini disebabkan oleh Angiostrongylus cantonensis, cacing yang


secara alami hidup di dalam paru tikus. Pada manusia cacing ini menyebabkan
meningoensefalitis eosinofilik yang menimbulkan gejala-gejala radang selaput
otak yang dapat menimbulkan kematian penderita. Cacing paru tikus ini tersebar
di seluruh dunia, terutama banyak dilaporkan dari daerah tropis dan subtropis.

Angiostrongylus cantonensis
Cacing jantan mempunyai ukuran panjang sekitar 7.7 mm, sedangkan
cacing betina panjangnya sekitar 12.8 mm. Larva cacing yang infektif untuk
manusia, mempunyai ukuran 0.5 mm x 0.025 mm.
Gambar 1. Cacing Angiostrongylus cantonensis dewasa

Parasit dapat ditemukan di otak, sumsum tulang belakang dan rongga


bola mata penderita. Di dalam tubuh hospes definitif, yaitu berbagai jenis
rodensia, cacing dewasa hidup di dalam arteria pulmonalis.
Di dalam tubuh hospes alaminya, yaitu tikus dan berbagai jenis binatang
mengerat (rodensia), cacing dewasa hidup di dalam artria pulmonalis di paru.
Penularan A.cantonensis
Manusia terinfeksi parasit ini karena tertelan larva infektif yang terdapat
di dalam makanan yang tidak dimasak dengan sempurna, misalnya golongan
moluska (bekicot, siput) atau makan daging hewan pemakan moluska misalnya
ketam, ikan, dan udang. Moluska terinfeksi parasit akibat makan larva yang
dikeluarkan bersama tinja hewan mengerat yang terinfeksi, yang merupakan
hospes definitif parasit ini. Jari tangan dapat tercemar larva infektif pada waktu
mengolah daging moluska sebelum dimasak. Buah dan sayur-sayuran yang
tercemar lendir moluska juga dapat menjadi sumber infeksi.

larva

sayuran

Gambar 2 . Siklus hidup Angiostrongylus cantonensis


Gejala klinis angiostrongiliasis
Cacing Angiostrongylus cantonensis, dapat menimbulkan gejala
meningoensefalitis eosinofilik pada manusia. Sesudah masa inkubasi yang
berlangsung antara satu dan tiga minggu sejak tertelan larva infektif cacing
ini, gejala klinis meningoensefalitis terlihat. Adanya parasit di dalam sumsum
tulang akan menimbulkan gambaran gangguan sensorik pada ektremitas.

Diagnosis angiostrongiliasis
Gambaran klinik meningoensefalitis yang terlihat berupa sakit kepala
yang hebat, demam, kaku kuduk, mual dan muntah.
Pada pemeriksaan atas cairan sumsum tulang (spinal fluid) terlihat
adanya peningkatan protein dan pleositosis eosinofilik dengan kadar glukose
yang normal. Pemeriksaan darah menunjukkan adanya eosinofilia perifer
dengan lekositosis ringan.
Cacing kadang-kadang juga dapat ditemukan di dalam cairan sumsum
tulang penderita. Parasit cacing juga dapat dijumpai di dalam rongga mata
penderita, sehingga dapat menimbulkan gangguan penglihatan.

Pengobatan angiostrongiliasis
Sampai sekarang belum ditemukan pengobatan yang spesifik dengan
hasil memuaskan terhadap angiostrongiliasis. Pemberian obat cacing jaringan
misalnya trikinosis dan strongiloidosis antara lain tiabendazol, albendazol,
levamisol, mebendazol atau ivermectin, dapat dicoba. Selain itu dapat diberikan
analgetik untuk mengurangi demam dan juga kortikosteroid untuk membantu
mengurangi rasa sakit dan keluhan penderita.

Pencegahan angiostrongiliasis
Penularan angiostrongiliasis dapat dicegah dengan memasak dengan
sempurna moluska, siput, ketam dan ikan sebelum dimakan untuk membunuh
larva infektif. Mencuci buah-buahan dan sayur-sayuran sebelum dimakan juga
akan mengurangi kemungkinan terjadinya kontaminasi melalui lendir moluska
yang tercemar larva infektif.
Pemberantasan tikus dan binatang mengerat lainnya di sekitar rumah
dan pemukiman penduduk harus dilakukan dengan teratur.

2. ANKILOSTOMIASIS DAN NEKATORIASIS

Cacing tambang tersebar luas di seluruh dunia (kosmopolit) terutama di


daerah tropis dan subtropis, yang iklimnya bersuhu panas dan mempunyai
kelembaban tinggi. Di Eropa, Cina, dan Jepang, penderita infeksi cacing-cacing
ini banyak dijumpai pada pekerja tambang, sehingga cacing-cacing ini disebut
cacing tambang.
Infeksi cacing tambang di Indonesia disebabkan oleh Necator
americanus yang menyebabkan nekatoriasis dan Ancylostoma duodenale
yang menimbulkan ankilostomiasis.

N.americanus dan A.duodenale


Cacing dewasa hidup di dalam usus halus, terutama di jejunum dan
duodenum manusia dengan cara melekatkan diri pada membran mukosa
menggunakan giginya, dan mengisap darah yang keluar dari luka gigitan. Cacing
tambang berbentuk silindris berwarna putih keabuan. Cacing betina mempunyai
ukuran panjang 9 sampai 13 mm, sedang cacing jantan berukuran panjang
antara 5 dan 11 mm. Cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks (bursa
copulatrix), suatu alat bantu kopulasi, yang terdapat di ujung posterior tubuhnya.
Kedua spesies cacing tambang ini dapat dibedakan morfologinya atas bentuk
tubuh, rongga mulut dan bentuk bursa kopulatriksnya.

Gambar 3 .
Rongga mulut dan bursa kopulatriks cacing tambang.
Necator americanus. Ukuran tubuh cacing dewasa lebih kecil dan lebih
langsing dari Ancylostoma duodenale, dengan bagian anterior melengkung
berlawanan dengan lengkungan tubuh sehingga bentuk tubuhnya mirip huruf S.
Rongga mulut mempunyai 2 pasang alat pemotong (cutting plate). Pada tubuh
bagian kaudal cacing betina, tidak ada spina kaudal (spina caudal).

Ancylostoma duodenale. Bentuk tubuh cacing dewasa mirip huruf C. Rongga


mulut memiliki dua pasang gigi dan satu pasang tonjolan. Cacing betina
mempunyai spina kaudal.

Morfologi telur cacing tambang mirip satu spesies dengan spesies


lainnya, sehingga sukar dibedakan. Telur berbentuk lonjong, tidak berwarna,
berukuran sekitar 65 x 40 mikron. Dinding telur tipis, tembus sinar, dan berisi
embrio yang mempunyai empat blastomer.
Gambar 4. Cacing tambang. A1. betina A2. jantan B. telur

Dalam siklus hidupnya, cacing tambang mempunyai dua stadium larva,


yaitu larva rhabditiform yang tidak infektif dan larva filariform yang infektif. Larva
rabditiform bentuk tubuhnya agak gemuk dengan panjang sekitar 250 mikron,
dan larva filariform yang berbentuk langsing panjang tubuhnya sekitar 600
mikron.
Penularan ankilostomiasis
Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif N. americanus maupun
A. duodenale. Telur yang keluar dari usus penderita dalam waktu dua hari akan
tumbuh di tanah menjadi larva rabditiform (tidak infektif). Sesudah berganti kulit
dua kali, larva rabditiform dalam waktu satu minggu akan berkembang menjadi
larva filariform yang infektif.

Cacing
dewasa
di usus
Gambar 5 . Siklus hidup cacing tambang

Lung migration. Larva filariform akan menembus kulit sehat manusia, memasuki
pembuluh darah dan limfe, beredar di dalam aliran darah, masuk ke jantung
kanan, lalu masuk ke dalam kapiler paru. Larva menembus dinding kapiler
masuk ke dalam alveoli. Larva cacing kemudian mengadakan migrasi ke bronki,
trakea, laring dan faring, akhirnya tertelam masuk ke usofagus.
Di usofagus larva berganti kulit untuk yang ketiga kalinya. Migrasi larva
berlangsung sekitar sepuluh hari. Dari usofagus larva masuk ke usus halus,
berganti kulit yang keempat kalinya, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa. Dalam
waktu satu bulan, cacing betina sudah mampu bertelur.
Gejala klinis infeksi cacing tambang
Gejala klinik ditimbulkan baik oleh cacing dewasa maupunlarvanya.
Cacing dewasa mengisap darah penderita. Seekor cacing dewasa N.americanus
menimbulkan kehilangan darah sekitar 0.1 cc per hari, sedangkan seekor cacing
A. duodenale dapat menimbulkan kehilangan darah sampai 0.34 cc per hari.
Larva cacing menimbulkan dermatitis dengan gatal-gatal (ground itch)
pada waktu menembus kulit penderita. Selain itu larva pada waktu beredar di
dalam darah (lung migration).akan menimbulkan bronkitis dan reaksi alergi yang
ringan .

Diagnosis infeksi cacing tambang


Diagnosis pasti infeksi cacing tambang ditetapkan melalui pemeriksaan
mikroskopik atas tinja dilakukan untuk memukan telur cacing.
Gambaran klinis infeksi cacing tambang yang tampak dapat berupa :
 Anemia hipokromik mikrositer
 Gambaran umum kekurangan darah: pucat, perut buncit, rambut
kering dan mudah lepas
 Rasa tak enak di epigastrium
 Sembelit, diare atau steatore
 Ground-itch (gatal kulit di tempat masuknya larva cacing)
 Gejala bronkitis: batuk, kadang-kadang dahak berdarah.

Pemeriksaan darah menunjukkan gambaran :


 Hemoglobin, menurun < 11.5 g/dl (wanita) < 13.5 g/dl (pria).
 MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration), kurang dari
31-36 g/dl.

Pemeriksaan sumsum tulang, menunjukkan gambaran hiperplasi


normoblastik.
Pada hapusan darah, terdapat gambaran:
 Hipokromik mikrositer
 Terdapat lekopeni dengan limfositosis relatif. Jumlah lekosit kurang
dari 4.000/ml .
 Eosinofilia, dapat mencapai 30%
 Anisositosis, atau poikilositosis.

Pengobatan cacing tambang


Pengobatan ditujukan untuk mengatasi anemia maupun untuk memberantas
cacingnya, yaitu :
1. Pengobatan anemia menggunakan preparat besi, yang diberikan per oral
atau parenteral.
2. Folic acid diberikan, bila terjadi anemia megaloblastik.
3. Obat cacing yang dapat diberikan per oral: Pirantel pamoat , Oxantel
pamoat, Mebendazol dan Levamisol

Pencegahan infeksi cacing tambang


Untuk mencegah terjadinya infeksi baru maupun reinfeksi, dilakukan
1. Pengobatan masal dan perorangan dengan obat cacing;
2. Pendidikan kesehatan : membuat jamban yang baik, dan berjalan di tanah
selalu menggunakan alas kaki.
3. ASKARIASIS

Askariasis disebabkan oleh cacing Ascaris lumbricoides yang oleh


masyarakat umum dikenal sebagai cacing gelang.atau cacing perut. Cacing ini
tersebar luas di seluruh dunia, terutama di daerah tropik dan subtropik yang
kelembaban udaranya tinggi dan suhunya hangat. Di beberapa daerah di
Indonesia terutama di pedesaan, infeksi cacing ini dapat diderita oleh lebih dari
60% penduduk yang diperiksa tinjanya.

Ascaris lumbricoides
Cacing dewasa hidup parasitik di dalam usus halus, tetapi kadang-kadang
dapat dijumpai mengembara di bagian usus lainnya. Hospes definitifnya adalah
manusia, tetapi diduga dapat merupakan penyakit zoonosis yang hidup pada
usus babi.
Ascaris lumbricoides adalah cacing nematoda yang berwarna putih
kecoklatan atau kuning pucat, mempunyai ukuran besar yang jantan panjangnya
antara 10-31cm, sedangkan yang betina antara 22-35 cm. Tubuhnya tertutup
kutikula yang halus bergaris-garis tipis. Kedua ujung badan cacing membulat.
Mulut cacing mempunyai bibir tiga buah, satu di bagian dorsal yang lainnya
subventral.
Cacing jantan mempunyai ujung posterior yang runcing, dengan ekor
melengkung kearah ventral, dilengkapi 2 spikula yang berukuran sekitar 2 mm.
selain itu di bagian ujung posterior cacing juga didapatkan banyak papil-papil
kecil. Cacing betina mempunyai bentuk membulat (conical) dan lurus di bagian
posterior.
Telur cacing yang telah dibuahi (fertilized) berbentuk lonjong, berukuran
45-70 mikron x 35-50 mikron, mempunyai kulit telur yang tak berwarna dan kuat.
Di luarnya, terdapat lapisan albumin yang permukaannya bergerigi (mamillation),
berwarna coklat karena menyerap zat warna empedu. Di bagian dalam kulit telur
masih terdapat selubung vitelin yang tipis, tetapi kuat yang meningkatkan daya
tahan hidup telur cacing ini sampai satu tahun, terhadap lingkungan sekitarnya.
Telur yang telah dibuahi mengandung sel telur (ovum) yang tidak bersegmen. Di
kedua kutub telur terdapat rongga udara yang tampak sebagai daerah yang
terang berbentuk bulan sabit.
Telur yang tak dibuahi (unfertilized egg) karena di dalam usus penderita
hanya terdapat cacing betina saja, bentuknya lebih lonjong berukuran sekitar 80x
55 mikron. Pada telur yang tak dibuahi ini tidak terdapat rongga udara. Kadang-
kadang di dalam tinja penderita ditemukan telur Ascaris yang telah hilang lapisan
albuminnya, sehingga sulit dibedakan dari telur cacing lainnya. Adanya ovum
yang besar menunjukkan ciri khas telur cacing Ascaris.
Gambar 6. Cacing Ascaris lumbricoides

Penularan askariasis
Telur cacing yang telah dibuahi yang keluar bersama tinja penderita, di
dalam tanah yang lembab dan suhu yang optimal akan berkembang menjadi
telur infektif, yang mengandung larva cacing.
Infeksi terjadi dengan masuknya telur cacing yang infektif ke dalam
mulut melalui makanan atau minuman yang tercemar tanah yang
mengandung tinja penderita askariasis. Dalam usus halus bagian atas dinding
telur akan pecah sehingga larva dapat keluar, untuk selanjutnya
menembus dinding usus halus dan memasuki vena porta hati. Bersama aliran
darah vena, larva akan beredar menuju jantung, paru-paru, lalu menembus
dinding kapiler masuk ke dalam alveoli. Masa migrasi ini berlangsung sekitar 15
hari lamanya.
Dari alveoli larva cacing merangkak ke bronki, trakea dan laring, untuk
selanjutnya masuk ke faring, usofagus, turun ke lambung akhirnya sampai ke
usus halus. Sesudah berganti kulit, larva cacing akan tumbuh menjadi cacing
dewasa. Sirkulasi dan migrasi larva cacing dalam darah tersebut disebut “lung
migration”. Dua bulan sejak infeksi (masuknya telur infektif per oral) terjadi,
seekor cacing betina mulai mampu bertelur, yang jumlah produksi telurnya dapat
mencapai 200.000 butir per hari.

Gambar 7 . Siklus hidup Ascaris lumbricoides


Penularan askariasis dapat terjadi melalui beberapa jalan, yaitu telur
infektif masuk mulut bersama makanan dan minuman yang tercemar, melalui
tangan yang kotor tercemar terutama pada anak, atau telur infektif terhirup
melalui udara bersama debu. Pada keadaan terakhir ini, telur menetas di
mukosa jalan napas bagian atas, larva segera menembus pembuluh darah dan
beredar bersama aliran darah.

Gejala klinis askariasis


Cacing dewasa yang berada di dalam usus dan larva cacing yang beredar
di dalam aliran darah, menimbulkan perubahan patologis pada penderita.
Migrasi larva cacing di paru-paru dapat menimbulkan pneumonia dengan
gejala berupa demam, batuk, sesak dan dahak berdarah. Penderita juga
mengalami urtikaria dan terjadi gambaran eosinofili sampai 20 persen.
Pneumonia disertai gejala alergi ini disebut sebagai Sindrom Loeffler atau
Ascaris pneumoni
Pada infeksi berat (hiperinfeksi), terutama pada anak-anak cacing dewasa
dapat menimbulkan gangguan pencernaan dan penyerapan protein sehingga
penderita mengalami gangguan pertumbuhan dan anemia akibat kurang gizi.
Cairan tubuh cacing yang toksik dapat menimbulkan gejala mirip demam tifoid,
disertai tanda-tanda alergi misalnya urtikaria, edema pada wajah, konjungtivitis
dan iritasi pernapasan bagian atas.
Pada manusia cacing dewasa dapat menimbulkan berbagai akibat
mekanik, yaitu obstruksi usus, intususepsi, dan perforasi ulkus yang ada di usus.
Selain itu cacing dewasa dapat melakukan migrasi ke organ-organ di luar usus
(askariasis ektopik), misalnya ke lambung, usofagus, mulut, hidung, rima glottis
atau bronkus, sehingga menyumbat pernapasan penderita. Juga dapat terjadi
sumbatan saluran empedu, apendisitis, abses hati, dan pankreatitis akut.

Diagnosis askariasis
Diagnosis pasti askariasis ditegakkan jika melalui pemeriksaan
makroskopis terhadap tinja atau muntahan penderita ditemukan cacing dewasa.
Melalui pemeriksaan mikroskopis dapat ditemukan telur cacing yang khas
bentuknya di dalam tinja atau cairan empedu penderita.
Untuk membantu menegakkan diagnosis askariasis usus maupun
askariasis organ, dapat dilakukan pemeriksaan radiografi dengan barium.
Pemeriksaan darah menunjukkan eosinofilia pada awal infeksi, atau dilakukan
scratch test pada kulit.

Pengobatan askariasis
Obat-obat cacing yang baru yang efektif, dan hanya menimbulkan
sedikit efek samping adalah mebendazol, pirantel pamoat, albendazol dan
levamisol. Piperasin dan berbagai obat cacing lain masih dapat digunakan untuk
mengobati penderita askariasis.

Pencegahan askariasis
Melaksanakan prinsip-prinsip kesehatan lingkungan yang baik, misalnya
membuat kakus yang baik untuk menghindari pencemaran tanah dengan tinja
penderita, mencegah masuknya telur cacing yang mencemari makanan atau
minuman dengan selalu memasak makanan dan minuman sebelum dimakan
atau diminum, serta menjaga kebersihan perorangan.
Mengobati penderita serta pengobatan masal dengan obat cacing
bersepektrum lebar di daerah endemik dapat memutuskan rantai siklus hidup
cacing ini dan cacing lainnya. Pendidikan kesehatan pada penduduk perlu
dilakukan untuk menunjang upaya pencegahan penyebaran dan
pemberantasan askariasis.

4. ENTEROBIOSIS

Penyakit enterobiosis disebabkan oleh cacing Enterobius vermicularis


atau Oxyuris vermicularis . Nama umum cacing ini di Indonesia adalah cacing
keremi atau atau cacing peniti (pinworm). Cacing ini tersebar luas di seluruh
dunia, baik di daerah tropis maupun subtropis. Di daerah dingin lebih banyak
dijumpai, karena orang jarang mandi dan tidak sering berganti pakaian dalam.

Enterobius vermicularis
Cacing dewasa hidup di dalam sekum dan di sekitar apendiks manusia,
yang merupakan satu-satunya hospes definitif cacing ini. Pada waktu akan
bertelur, cacing betina mengadakan migrasi ke daerah sekitar anus (perianal),
kemudian meletakkan telurnya di daerah tersebut. Dalam waktu beberapa jam,
telur infektif yang sudah mengandung larva akan menetas menjadi larva dan
bergerak kembali memasuki usus penderita (retrofeksi).
Cacing dewasa berwarna putih, berukuran kecil, dengan leher yang
melebar seperti sayap (disebut cervical alae), karena adanya pelebaran kutikula.
Cacing betina panjangnya sampai 13 mm, sedang cacing jantan hanya sekitar 5
mm. Usofagus cacing khas bentuknya karena mempunyai bulbus ganda
(double-bulb oesophagus). Cacing ini tidak mempunyai rongga mulut, tetapi
memiliki tiga buah bibir. Ekor cacing betina lurus dan runcing, sedangkan cacing
jantan mempunyai ekor yang melingkar.
Telur cacing. Bentuk telur asimetris, tidak berwarna, mempunyai dinding yang
tembus sinar, dan telah berisi larva yang hidup. Ukuran telur sekitar 50-60 mikron
x 30 mikron. Setiap ekor cacing betina dalam waktu satu hari dapat
memproduksi telur sebanyak 11.000 butir.
Gambar 8. Enterobius vermicularis cacing dewasa

Cara penularan enterobiosis


Manusia adalah satu-satunya hospes definitive cacing ini. Tidak
diperlukan hospes perantara untuk melengkapi siklus hidupnya. Telur yang oleh
cacing betina diletakkan di daerah sekitar perianal dan perineal, dalam waktu 6
jam telah tumbuh menjadi telur infektif karena telah mengandung larva cacing.
Infeksi enterobiosis terjadi melalui 3 jalan, yaitu penularan melalui mulut,
melalui pernapasan dan retrofeksi. Pada penularan melalui mulut, telur yang
infektif terbawa dari tangan ke mulut penderita sendiri (autoinfection) atau terjadi
karena memegang benda yang tercemar telur infektif, misalnya alas tidur, bantal
atau pakaian dalam penderita. Pada penularan melalui pernapasan, telur infektif
yang beterbangan di udara terhirup oleh penderita.
Penularan secara retrofeksi adalah penularan yang terjadi akibat larva
cacing yang menetas di daerah perianal masuk kembali ke dalam usus
penderita, dan berkembang menjadi cacing dewasa. Karena mudahnya
penularan, enterobiosis kerapkali merupakan penyakit infeksi yang menjangkiti
seluruh anggota keluarga, banyak terjadi dipanti asuhan atau panti jompo, di
asrama-asrama, dan sejenisnya.
Telur yang masuk mulut atau melalui jalan napas di dalam duodenum
penderita akan menetas. Larva rabditiform yang terjadi, akan tumbuh menjadi
cacing dewasa di jejunum dan di bagian atas dari ileum. Siklus hidup lengkap
cacing ini membutuhkan waktu 2 sampai 8 minggu lamanya.

Gambar 9 . Siklus hidup Enterobius vermicularis.

Penularan enterobiosis
Cacing dewasa jarang menimbulkan kerusakan jaringan. Migrasi induk
cacing untuk bertelur di daerah perianal dan perineal menimbulkan gatal-gatal
(pruritus ani) yang mengganggu tidur penderita, dan bila digaruk dapat
menimbulkan infeksi sekunder. Jika cacing betina mengadakan migrasi ke
vagina dan tuba falopii, dapat terjadi radang ringan di daerah tersebut.
Meskipun cacing sering dijumpai di dalam apendiks, infeksi apendiks
jarang terjadi. Migrasi cacing ke usus halus bagian atas, lambung atau usofagus,
dapat menimbulkan gangguan ringan di daerah tersebut.Jika tidak terjadi
reinfeksi, enterobiasis dapat sembuh dengan sendirinya, karena cacing betina
akan mati 2-3 minggu sesudah bertelur.

Diagnosis enterobiosis
Jika anak-anak mengalami gatal-gatal di sekitar anus pada waktu malam
hari menjelang pagi, apalagi jika disertai enuresis, kemungkinan ia menderita
enterobiasis. Untuk menetapkan diagnosis pasti, telur cacing atau cacing
dewasa harus dapat ditemukan.
Telur cacing mudah ditemukan dengan melakukan pemeriksaan anal
swab , yaitu menempelkan selotape transparan di daerah sekitar anus.
Pemeriksaan ini dilakukan segera sesudah bangun tidur pagi hari, sebelum
mandi dan buang air besar. Pemeriksaan selotape yang ditetesi toluen di bawah
mikroskop akan menemukan telur cacing dengan mudah.

Pengobatan enteriobiosis
Mengingat penularan enterobiasis sangat mudah terjadi pada seluruh
anggota keluarga yang hidup dalam satu rumah, maka pengobatan infeksi
cacing ini harus ditujukan pada seluruh anggota keluarga dalam waktu
bersamaan, dan sebaiknya sering diulang. Berbagai obat cacing dapat
digunakan, misalnya mebendazol, pirantel pamoat, pirvinium pamoat dan
piperazin sitrat.

Pencegahan enterobiosis
Mengobati penderita dan keluarganya atau yang hidup di dalam satu
rumah, berarti memberantas sumber infeksi. Menjaga kebersihan perorangan
dan lingkungan, terutama di lingkungan kamar tidur, dan mengusahakan sinar
matahari masuk secara langsung, akan mengurangi jumlah telur cacing yang
infektif, baik yang ada di perlengkapan kamar tidur maupun yang beterbangan di
udara.

5. FILARIASIS

Di Indonesia filariasis yang sering dikenal sebagai penyakit kaki gajah


disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu Brugia malayi, Wuchereria
bancrofti dan Brugia timori. Cacing dewasa hidup di dalam saluran limfe dan
pembuluh limfe, sedangkan larva cacing (mikrofilaria) dijumpai di dalam darah
tepi penderita. B. timori belum banyak diketahui morfologi, sifat biologi, maupun
epidemiologi penyakitnya.

Penyebaran filariasis
Hospes definitif filaria umumnya adalah manusia, kecuali Brugia malayi
yang merupakan parasit zoonotik yang dapat hidup pada beberapa jenis hewan
mamalia. Hospes perantaranya adalah berbagai jenis nyamuk, sesuai dengan
spesies filaria.
Gambar 10. Siklus hidup filaria.
L1. larva pertama L3. larva ketiga. Mf. mikrofilaria

Filariasis ditularkan oleh berbagai spesies nyamuk, dan sesuai dengan


terdapatnya mikrofilaria di dalam darah tepi, dikenal periodik nocturnal
(mikrofilaria hanya ditemukan malam hari), subperiodik diurnal (mikrofilaria
terutama dijumpai siang hari, malam hari jarang ditemukan) dan subperiodik
nocturnal (mikrofilaria terutama dijumpai malam hari, jarang ditemukan siang
hari).

Wuchereria bancrofti

Cacing dewasa menimbulkan filariasis bancrofti, sedangkan larva cacing


(mikrofilaria) dapat menimbulkan occult filariasis. Selain di Indonesia, parasit ini
tersebar luas di daerah tropis dan subtropis di Asia, Afrika, Amerika dan Eropa.
Cacing dewasa hidup di dalam saluran limfe dan kelenjar limfe manusia. Tidak
ada hewan yang bertindak sebagai reservoir host cacing ini.
Cacing dewasa berbentuk seperti rambut, berwarna putih susu. Cacing jantan
panjang tubuhnya sekitar 4 cm, mempunyai ekor melengkung yang dilengkapi
dua spikulum yang tidak sama panjang. Cacing betina berukuran sekitar 10 cm,
mempunyai ekor yang runcing bentuknya.

Mikrofilaria. Larva filaria ini mudah ditemukan di dalam darah tepi, dengan
panjang sampai 300 mikron dan lebar 8 mikron, mempunyai selubung (sheath)
hialin, dengan inti atau sel somatik berbentuk granul yang tersusun tidak
mencapai ujung ekor.
Gambar 11 . Mikrofilaria Wuchereria bancrofti

Penyebaran filariasis bancrofti


Cacing ini tidak termasuk parasit zoonosis dan manusia merupakan satu-
satunya hospes definitif W.bancrofti. Nyamuk yang dapat bertindak sebagai
vektor penularnya adalah genus Culex, Aedes dan Anopheles.
Filariasis bancrofti umumnya bersifat periodik nokturna (nocturnal
periodic), sehingga mikrofilaria hanya dijumpai di dalam darah tepi hanya pada
malam hari. Di daerah Pasifik, mikrofilaria lebih banyak dijumpai pada waktu
siang hari, meskipun dalam jumlah lebih sedikit dapat juga ditemukan pada
malam hari (diurnal subperiodic). Sebaliknya di Thailand terdapat mikrofilaria
yang bersifat subperiodik nokturna.
Jika mikrofilaria yang beredar di dalam darah penderita terhisap oleh
nyamuk, di dalam tubuh nyamuk dalam waktu 10 sampai 20 hari larva
berkembang menjadi stadium larva stadium tiga yang infektif (L3), yang
panjangnya sekitar 1500 sampai 2000 mikron dan lebar badan antara 18 dan 23
mikron. L3 dapat ditemukan di dalam selubung proboscis nyamuk yang menjadi
vector perantaranya.
Jika nyamuk menggigit manusia lainnya akan memindahkan larva L3 yang
secara aktif akan masuk ke saluran limfe lipat paha, skrotum atau saluran limfe
perut, dan hidup di tempat tersebut. Sesudah berganti kulit dua kali, di dalam
tubuh manusia mikrofilaria akan berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing
dewasa betina yang berumur lima sampai 18 bulan telah matang seksual dan
sesudah mengadakan kopulasi dengan cacing jantan dapat mulai melahirkan
mikrofilaria, yang segera memasuki sistem sirkulasi perifer.
Gejala klinis filariasis bancrofti
Baik cacing dewasa maupun larva cacing dapat menimbulkan gangguan
patologik. Cacing dewasa dapat menimbulkan limfangitis akibat terjadinya iritasi
mekanik dan sekresi toksik yang dikeluarkan cacing betina. Cacing yang mati
selain menimbulkan limfangitis juga dapat menimbulkan obstruksi limfatik akibat
terjadinya fibrosis saluran limfe dan proliferasi endotel saluran limfe. Obstruksi ini
menyebabkan terjadinya varises saluran limfe dan elefantiasis dan hidrokel.
Jika saluran limfe kandung kemih, varises saluran limfe atau ginjal pecah,
melalui membrane mukosa traktus urinarius cairan limfe masuk ke dalam aliran
urin penderita. Akibatnya urin menjadi berwarna putih susu dan mengandung
lemak, albumin dan fibrinogen. Keadaan ini disebut kiluria, yang kadang-kadang
juga mengandung mikrofilaria.
Elefantiasis yang kronis dapat mengenai kedua lengan, tungkai,
payudara, buah zakar atau vulva, yang hanya diperbaiki melalui tindakan
operasi.

Diagnosis filariasis bancrofti


Pada fase awal perjalanan penyakit, penderita mengalami limfangitis akut
dengan gejala saluran limfe yang dapat diraba, bengkak dan berwarna merah,
serta terasa nyeri. Penderita juga menderita demam disertai menggigil. Gejala
tersebut selanjutnya diikuti gejala dan keluhan yang terkait dengan terjadinya
limfadenitis, orkitis, funikulitis dan
abses.
Gambar 12. Elefantiasis pada kaki kanan

Apabila terjadi obstruksi saluran limfe, maka dapat menimbulkan


manifestasi berupa varises limfe, hidrokel, kiluria, limfskrotum dan
elefantiasis.Untuk menentukan diagnosis pasti filariasis bancrofti, dilakukan
pemeriksaan darah (tetes tebal) untuk menemukan mikrofilaria yang khas
bentuknya di dalam darah tepi. Mikrofilaria kadang-kadang juga ditemukan pada
kiluria, eksudat varises limfe dan cairan hidrokel. Mikrofilaria tidak dapat
ditemukan pada awal dari manifestasi klinik, sesudah terjadinya limfangitis akibat
matinya cacing dewasa dan jika telah terjadi elefantiasis akibat obstruksi limfatik.
Pada biopsi kelenjar limfe kadang-kadang dapat ditemukan cacing dewasa.
Pemeriksaan darah menunjukkan eosinofilia antara 5% - 15%.
Untuk membantu menegakkan diagnosis filariasis dapat dilakukan
pemeriksaan imunologik, misalnya Uji Fiksasi Komplemen, Uji Hemaglutinasi Tak
langsung, atau Pemeriksaan Imunofluoresensi Tak langsung.

Pengobatan filariasis bancrofti


Obat yang pada saat ini banyak digunakan untuk filariasis bancrofti
adalah Dietilkarbamasin sitrat (DEC) dengan dosis 3x2mg/kg berat badan/hari,
selama 4 minggu. Pemberian DEC hanya ditujukan untuk mengobati tahap
mikrofilaria, tahap filariasis akut, untuk mengobati kiluria, limfedema , dan tahap
awal elefantiasis.
Pengobatan dengan antihistamin serta pemberian obat-obat simtomatik,
analgetik dan antipretik dapat diberikan sesuai dengan keluhan penderita dan
gejala penyakit yang terjadi.
Apabila telah terjadi hidrokel atau elefantiasis yang lanjut, penanganan
filariasis hanya dapat dilakukan melalui pembedahan.

Pencegahan filariasis bancrofti


Prinsip pencegahan filariasis adalah melakukan pengobatan masal pada
penduduk yang hidup di daerah endemik filariasis, pengobatan pencegahan
terhadap pendatang yang berasal dari daerah non endemik filariasis, dan
memberantas nyamuk yang menjadi vektor penularnya sesuai dengan daerah
targetnya.
Memperbaiki lingkungan agar bebas vektor serta mencegah gigitan
nyamuk menggunakan repellent atau kelambu waktu tidur, meningkatkan upaya
pencegahan penyebaran penyakit ini.

Brugia malayi dan B. timori

Di Indonesia terdapat dua spesies Brugia, yaitu Brugia malayi dan Brugia
timori yang menimbulkan filariasis brugia, filariasis malayi, atau filariasis timori.
Selain di Indonesia, Brugia malayi tersebar di Asia, mulai dari India, Asia
Tenggara, sampai ke Jepang. Brugia timori hanya dijumpai di Indonesia bagian
Timur, yaitu di Nusa Tenggara Timur. Brugia hanya ditemukan di daerah
pedesaan (rural).

Penyebaran brugiasis
Cacing dewasa hidup di dalam saluran dan pembuluh limfe, sedangkan
mikrofilaria dijumpai di dalam darah tepi hospes definitif. Bentuk cacing dewasa
mirip bentuknya dengan W.bancrofti, sehingga sulit dibedakan. Panjang cacing
betina Brugia malayi dapat mencapai 55 mm, dan cacing jantan 23 cm. Brugia
timori betina panjang badannya sekitar 39 mm dan yang jantan panjangnya
dapat mencapai 23 mm.
Mikrofilaria Brugia mempunyai selubung, panjangnya dapat mencapai
260 mikron pada B.malayi dan 310 mikron pada B.timori. Ciri khas mikrofilaria
B.malayi adalah bentuk ekornya yang mengecil, dan mempunyai dua inti
terminal, sehingga mudah dibedakan dari mikrofilaria W.bancrofti.

Gambar 13 . Mikrofilaria B.malayi (A) . B.timori (B)


Brugia ada yang zoonotik, tetapi ada yang hanya hidup pada manusia. Pada
Brugia yang zoonotik, selain manusia juga berbagai hewan mamalia dapat
bertindak selaku hospes definitifnya (hospes cadangan, reservoir host).
Periodisitas brugiasis malayi bermacam-macam, ada yang nocturnal periodic,
nocturnal subperiodic, atau non periodic. Brugia timori bersifat periodik nokturna.
Nyamuk yang dapat menjadi vektor penularnya adalah Anopheles (vektor
brugiasis non zoonotik) atau Mansonia ( vektor brugiasis zoonotik).
Gambar 14. Nyamuk Mansonia.Perhatikan bentuk tabung hawa
(siphon) yang runcing ujungnya.

Diagnosis brugiasis
Berbeda dengan filariasis bancrofti, limfadenitis pada brugiasis malayi
yang terjadi pada satu kelenjar inguinal dapat menjalar ke bawah (limfangitis
retrograd). Selain itu limfadenitis dapat menjadi ulkus yang jika sembuh akan
meninggalkan jaringan parut yang khas.
Elefantiasis pada brugiasis malayi hanya mengenai tungkai bawah yang
terletak di bawah lutut. Hanya kadang-kadang terjadi di lengan bawah di bawah
siku. Pada penyakit ini juga tidak pernah terjadi limfangitis dan elefantiasis pada
alat kelamin dan payudara. Kiluria juga belum pernah dilaporkan.
Untuk menetapkan diagnosis pasti harus diperiksa darah tepi untuk
menemukan mikrofilaria yang khas bentuknya. Pemeriksaan imunologik yang
dilakukan terutama bertujuan untuk meningkatkan kepekaan dalam menentukan
diagnosis dini filariasis malayi ini.

Pengobatan brugiasis
DEC yang merupakan obat pilihan untuk brugiasis, dapat diberikan
dengan dosis lebih rendah, yaitu 3x 0.3-2 mg/kg berat badan/hari , namun
diberikan lebih lama yaitu selama 3 minggu.

Pencegahan brugiasis
Tindakan pencegahan brugiasis sesuai dengan upaya pencegahan pada
filariasis bancrofti, yaitu pengobatan penderita, pengobatan masal penduduk di
daerah endemik, pencegahan pada pendatang dan pemberantasan vektor
penular filariasis malayi.

Occult filariasis
Occult filariasis adalah filariasis limfatik yang disertai oleh hipersensitif
terhadap antigen mikrofilaria, akibat terjadinya penghancuran mikrofilaria oleh
antibodi yang dibentuk oleh penderita. Occult filariasis disebut juga tropical
pulmonary eosinophilia. Gejala klinis occult filariasis adalah:
 limfadenitis,
 kelainan paru yang disertai batuk dan sesak,
 demam subfebril,
 hepatomegali,
 splenomegali.

Pemeriksaan darah menunjukkan adanya hipereosinofilia dan lekositosis,


disertai peningkatan kadar IgE dan zat anti mikrofilaria.
Biopsi jaringan kelenjar limfe, paru, limpa dan hati, menunjukkan adanya
infiltrasi sel eosinofil.
Diagnosis pasti occult filariasis ditegakkan jika dapat ditemukan sisa-sisa
mikrofilaria di antara infiltrasi sel eosinofil pada jaringan biopsi.
Untuk mengobati occult filariasis dapat diberikan DEC. Pengobatan pada
stadium awal penyakit memberikan hasil yang memuaskan, tetapi jika sudah
terjadi fibrosis paru, kerusakan tersebut tidak dapat diperbaiki lagi.
6. HIDATIDOSIS

Hidatidosis adalah infeksi larva cacing pita anjing (Echinococcus


granulosus) pada jaringan atau organ tubuh manusia. Cacing zoonosis ini
dilaporkan dari seluruh dunia, terutama di daerah peternakan sapi dan domba.
Terdapat hubungan erat antara manusia dengan herbivora dan anjing untuk
terlaksananya siklus hidup lengkap cacing ini. Cacing pita anjing ini lebih banyak
dijumpai di daerah subtropik dibanding daerah tropik.

Echinococcus granulosus
Sebagai hospes definitif cacing ini adalah anjing dan sejenisnya. Cacing
dewasa hidup di dalam usus halus anjing. Di dalam tubuh manusia cacing pita
hanya dijumpai dalam bentuk larva cacing (hydatid larva).
Echinococcus granulosus termasuk cacing pita berukuran kecil. Cacing dewasa
panjang tubuhnya antara 3-6 milimeter, terdiri dari skoleks, leher dan strobila
yang terdiri dari 3 buah segmen.
Kepala cacing (scolex) memiliki 4 alat isap (sucker) dan mempunyai 2 deret kait
yang melingkar.
Telur cacing ini mempunyai bentuk mirip dengan telur Taenia lainnya,
berbentuk ovoid dengan ukuran panjang 32-36 mikron dan lebar 25-32 mikron.
Telur juga mempunyai embrio dengan 3 pasang kait (embrio heksakan,
hexacanth embryo). Telur ini infektif untuk herbivora (misalnya domba, kambing,
sapi dan kuda) dan manusia yang bertindak selaku hospes perantara.
Di dalam tubuh hospes perantara telur cacing yang termakan akan
tumbuh menjadi larva hidatid (hydatid larva) yang tidak dapat berkembang
menjadi cacing dewasa.

Gambar 15. Echinococcus granulosus.


Kiri: Cacing dewasa, Kanan: Kista hidatid di
dalam otak (Dogbook)

Cara infeksi hidatidosis


Siklus hidup Echinococcus granulosus berlangsung dalam tubuh dua
macam hospes. Anjing, serigala dan jenis anjing lainnya merupakan hospes
definitif tempat hidup cacing dewasa, sedangkan yang bertindak sebagai hospes
perantara adalah herbivora , terutama domba, dan manusia.
jika telur cacing tertelan manusia, misalnya secara langsung memegang
bulu anjing yang tercemar tinjanya atau secara tidak langsung melalui makanan
yang tercemar tinja anjing, didalam duodenum embrio heksakan akan menetas,
lalu menembus dinding usus, memasuki aliran darah dan beredar sampai ke
organ-organ dan jaringan tubuh, terutama hati dan paru-paru. Di dalam organ
dan jaringan larva cacing akan berkembang dan membentuk kista hidatid.
Gejala klinis hidatidosis
Gejala klinis yang timbul tergantung pada organ yang mengandung kista
hidatid dan beratnya kerusakan yang terjadi. Pada umumnya selama bertahun-
tahun hidatidosis jarang menunjukkan gejala yang jelas. Riwayat penderita yang
bertempat tinggal di daerah endemis hidatidosis dan adanya hubungan erat
penderita dengan anjing mengarahkan diagnosis hidatidosis.

Diagnosis hidatidosis
Diagnosis hidatidosis ditegakkan jika ditemukan bahan berasal dari kista
yang pecah atau protoskoleks, misalnya di dalam dahak (berasal dari kista di
paru), sesudah dilakukan operasi atau pada waktu autopsi jenasah.
Untuk membantu menegakkan diagnosis pada penderita yang diduga
terinfeksi kista hidatid dapat dilakukan:
1. Pemeriksaan serologi: Indirect Hemagglutination Test, Bentonite
Flocculation Test dan Complement Fixation Test.
2. Uji Intrakutan Casoni. Tes alergi menggunakan 0.2 ml cairan kista hidatid
yang disuntikkan intradermal, 30 menit kemudian menimbulkan benjolan
memiliki pseudopodi berukuran 5 cm, yang menghilang 1 jam kemudian.
3. Pemeriksaan radiologi: menemukan kista dalam organ atau kista yang
sudah mengapur.
4. Pemeriksaan darah menunjukkan adanya eosinofilia antara 20-25%.

Pengobatan hidatidosis
Sesuai dengan gangguan yang terjadi, hidatidosis diatasi dengan:
 Pembedahan. Hanya kista tunggal yang berada di permukaan organ atau
jaringan yang bisa dikeluarkan. Kista yang terdapat di otak hanya kista
primer yang bisa dioperasi, kista sekunder tidak boleh dibedah.
 Pengobatan biologis. Cairan kista hidatid sebagai antigen disuntikkan ke
dalam kista sekunder, kista multipel atau kista yang tidak mungkin
dioperasi. Atau cairan kista dikeluarkan, diganti dengan larutan formalin
10% untuk membunuh skoleks dan membran germinativum kista.
 Anti alergi. Anti histamin dan adrenalin diberikan jika terjadi gejala-gejala
alergi.

Pencegahan hidatidosis
Untuk mencegah terjadinya hidatidosis pada manusia, harus dilakukan:
1. Mengobati anjing yang terinfeksiEchinococcus granulosus.
2. Mencegah pencemaran lingkungan dari tinja anjing.
3. Mencuci tangan sebelum makan dan sesudah kontak dengan anjing.

7. LARVA MIGRANS

Larva migrans adalah larva cacing nematoda hewan yang mengadakan


migrasi di dalam tubuh manusia tetapi tidak berkembang menjadi bentuk
dewasa.
Terdapat dua jenis larva migrans, yaitu cutaneous larva migrans atau
creeping eruptions dan visceral larva migrans. Pada cutaneous larva migrans
larva cacing masuk ke dalam tubuh manusia melalui kulit atau mulut dan larva
mengadakan migrasi di dalam jaringan kulit saja. Pada visceral larva migrans
telur cacing masuk melalui mulut penderita dan larva cacing yang menetas
melakukan migrasi ke dalam organ-organ tubuh atau jaringan viseral tubuh
manusia.

Penyebab larva migrans


Larva cacing nematoda hewan yang menimbulkan cutaneous larva
migrans adalah Ancylostoma braziliensis, Ancylostoma caninum dan
Gnathostoma spinigerum yang hidup pada kucing, anjing , dan sejenisnya.
Penyebab visceral larva migrans adalah larva Toxocara canis, cacing
askaris yang hidup pada anjing, dan Toxocara cati cacing askaris yang hidup
pada kucing.

Gambar 16. Gnathostoma spinigerum.


A. Cacing dewasa B. Kepala cacing yang khas bentuknya

A.braziliensis dan A.caninum


Pada manusia, kedua spesies cacing yang tersebar luas di daerah tropis
dan subtropis ini, menimbulkan kelainan kulit yang disebut creeping eruption
atau cutaneous larva migrans. Cacing dewasa hidup di dalam usus kucing dan
anjing.
Spesies cacing tambang dibedakan dengan memperhatikan bentuk mulut
dan gigi serta bursa kopulatriks yang khas bentuknya.

Ancylostoma braziliensis. Cacing jantan panjangnya antara 4,7 sampai 8,5 mm,
dan betina antara 6,1 dan 10,5 mm. Di rongga mulut terdapat dua pasang gigi
yang tidak sama ukurannya. Cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks kecil
dengan rays yang pendek.
Ancylostoma caninum. Cacing jantan berukuran panjang sekitar 10 mm, dan
yang betina sekitar 14 mm. Rongga mulutnya mempunyai tiga pasang gigi.
Cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks yang besar ukurannya dengan rays
yang panjang dan langsing.
Gambar 17 . Susunan gigi pada mulut A.braziliensis (kiri)
dan A.caninum (kanan)

Cara infeksi larva migrans


Cutaneous larva migrans terjadi jika larva cacing A.braziiensis atau
A.caninum masuk ke dalam tubuh penderita melalui kulit dan menimbulkan gatal-
gatal pada kulit tempatnya masuk. Dalam waktu dua hari larva akan membentuk
lorong berliku-liku di dalam stratum germinativum. Migrasi larva menimbulkan
rasa gatal dan garukan penderita dapat diikuti terjadinya infeksi sekunder.
Pergerakan larva dapat berlangsung sampai beberapa bulan dan menimbulkan
gambaran khas yang disebut creeping eruption. Pada cutaneous larva migrans
yang ditimbulkan oleh Gnathostoma spinigerum, infeksi terjadi sesudah
penderita makan ikan mentah yang mengandung larva stadium tiga cacing ini.
Visceral larva migrans terjadi akibat masuknya telur infektif cacing
Toxocara melalui makanan atau minuman. Di dalam usus halus larva menetas,
lalu menembus dinding usus memasuki aliran darah dan beredar, lalu memasuki
organ-organ tubuh. Di dalam organ terutama hati akan terbentuk granuloma.
Gejala klinik yang terjadi berupa hepatomegali, demam, disertai gejala alergi,
misalnya asma bronkiale dan hipereosinofilia yang persisten.
Gambar 18. Toxocara canis: Cacing betina (kiri)
Cacing jantan (kanan)

Gejala klinis dan diagnosis larva migrans


Gejala klinik visceral larva migrans berupa hepatomegali, asma dan
demam. Sebagai penunjang diagnosis pemeriksaan darah menunjukkan
hipereosinofilia yang berkisar antara 15% dan 80% serta lekositosis antara
15.000 dan 80.000.
Gambaran creeping eruption yang khas disertai lekositosis dan eosinofilia
menunjukkan terjadinya cutaneous larva migrans. Tes intradermal menggunakan
antigen larva atau cacing Gnathostoma spinigerum membantu menegakkan
diagnosis cutaneous larva migrans oleh cacing ini. Diagnosis pasti ditegakkan
jika dapat ditemukan cacing penyebabnya.

Pengobatan larva migrans


Cutaneous larva migrans diatasi dengan menyemprotkan larutan kloretil di
ujung terowongan yang ditimbulkan oleh cacing penyebabnya. Selain itu dapat
diberikan tiabendazol per oral untuk memberantas larva yang beredar.
Terhadap larva migrans akibat Gnathostoma spinigerum belum ada obat
yang efektif, sehingga harus dilakukan tindakan pembedahan untuk
mengeluarkan parasit ini. Sampai sekarang untuk mengobati visceral larva
migrans belum dapat ditemukan obat-obat anti larva yang spesifik.

Pencegahan larva migrans


Anjing dan kucing yang menjadi sumber penularan cutaneous larva
migrans (Ancylostoma caninum dan A.braziliensi) maupun visceral larva migrans
(Toxocara canis dan T.cati) harus segera diobati dengan baik.
Juga harus dihindari kontak dengan larva cacing yang ada di tanah yang
tercemar tinja anjing atau kucing untuk mencegah cutaneous larva migrans.
Untuk membasmi telur infektif cacing, makanan dan minuman harus dimasak
dengan baik untuk mencegah terjadinya visceral larva migrans oleh Toxocara
cati dan T.canis dan cutaneous larva migrans oleh G.spinigerum.

Creeping eruption

Larva filariform cacing A.caninum dan A.braziliensis hidup di dalam tanah.


Sesudah menembus kulit manusia, larva cacing mengadakan migrasi intrakutan
dengan membentuk terowongan yang khas bentuknya. Di dalam tubuh manusia
larva tidak dapat berkembang menjadi cacing dewasa. Dermatitis intrakutan
yang berbentuk khas bentuknya, berupa garis berkelok-kelok mirip ular, dan
garukan oleh penderita dapat menimbulkan infeksi sekunder
.
Gambar 19. Cutaneous larva migrans
(creeping eruption)

Diagnosis Creeping eruption secara klinis mudah ditentukan, dan


diagnosis pasti dapat ditegakkan melalui biopsi kulit untuk menemukan larva
cacing yang menjadi penyebabnya..

8. SISTISERKOSIS

Sistiserkosis adalah infeksi pada manusia oleh larva Taenia solium


(cysticercus cellulosae). Larva sistiserkus dapat ditemukan pada berbagai
jaringan atau organ.

Cara infeksi sistiserkus


Manusia terinfeksi cysticercus cellulosae jika manusia tertelan telur
Taenia solium, misalnya bersama makanan yang tercemar tinja penderita
taeniasis solium, melalui tangan kotor penderita. Sistiserkosis dapat juga terjadi
secara autoinfeksi karena tertelan muntahan dari isi lambung penderita sendiri
yang berisi telur cacing akibat terjadinya peristaltik balik.

Patogenesis dan gejala klinis


Sistiserkosis dapat terjadi pada semua jaringan dan organ tubuh manusia.
Umumnya jumlah sistiserkus cukup banyak, bahkan dapat mencapai beberapa
ratus kista di dalam tubuh seorang penderita. Sistiserkus terutama dijumpai di
dalam jaringan otak dan otot bergaris, menimbulkan reaksi pembentukan
jaringan ikat yang membungkus larva diikuti pembentukan cairan kista. Larva
dalam kista dapat hidup sampai 5 tahun. Larva dalam kista yang mati akan
mengalami kalsifikasi.
Sistiserkus di dalam otak dan mata dapat menimbulkan kerusakan yang
membahayakan penderita, sedangkan yang terdapat di otot dan jaringan
subkutan tidak banyak menimbulkan keluhan. Sistiserkosis otak (cerebral
cysticercosis) dapat menyebabkan gangguan motorik, sensorik maupun mental,
tergantung pada tempat kerusakan di otak sehingga menimbulkan gejala tumor
otak, meningitis, ensefalitis, dan lain sebagainya.
Gangguan di dalam mata dapat menimbulkan nyeri bola mata, gangguan
penglihatan, dan bahkan kebutaan. Sistiserkosis pada otot jantung dapat
menimbulkan takikardi, sesak napas, sinkop dan gangguan irama jantung.

Diagnosis sistiserkosis
Bila terjadi epilepsi atau gejala neurologik yang disertai riwayat adanya
nodul subkutan pada penderita yang hidup di daerah endemik taeniasis solium,
waspadai kemungkinan terjadinya sistiserkosis serebral.
Biopsi nodul dapat menentukan diagnosis, sedangkan pemeriksaan
radiologi hanya dapat dilakukan jika telah terjadi kalsifikasi kista. Kelainan mata
dapat diperiksa dengan oftalmoskop, sedangkan pemeriksaan serologi (uji
fiksasi-komplemen, hemaglutinasi, dan tes intrakutan) dapat digunakan untuk
membantu menegakkan diagnosis sistiserkosis.

Gambar 20. Cystisercus cellulosae


Pengobatan sistiserkosis
Sistiserkosis mata harus dioperasi, sedangkan sistiserkosis di otak hanya
dapat dioperasi jika terdapat hanya satu kista saja yang lokasinya
memungkinkan.
Sistiserkosis jaringan subkutan atau otot mempunyai prognosis baik,
sedangkan sistiserkosis jantung, otak, mata atau organ penting lainnya
prognosisnya buruk.

Pencegahan sistiserkosis
Untuk mencegah terjadinya sistiserkosis selulosae, semua penderita
taeniasis solium harus diobati dengan baik. Kebersihan dan higiene perorangan
maupun kebersihan lingkungan dijaga agar tak tercemar tinja babi. Makanan dan
minuman dimasak sampai matang agar telur cacing terbasmi.

9. SKISTOSOMIASIS JAPONICUM

Cacing Schistosoma adalah trematoda yang tidak hermafrodit. Cacing


Schistosoma japonicum endemis di Asia Timur dan Asia Tenggara termasuk
Indonesia. Cacing ini hidup di dalam vena porta intrahepatik, vena mesenterika
ileosekal dan didalam pleksus vena hemoroidalis. Telurnya dapat ditemukan di
dalam tinja penderita, karena cacing dewasa hidup di dalam vena mesenterika
rektosigmoid dan di cabang intrahepatik vena porta.

Schistosoma japonicum
Cacing jantan berukuran lebih besar tetapi lebih pendek dari pada ukuran
cacing betina, memiliki canalis gynaecophorus, saluran tempat cacing betina
berada selama cacing jantan dan betina mengadakan kopulasi.Saluran
pencernaan cacing ini mula-mula bercabang menjadi dua sekum, kemudian di
daerah posterior tubuh, keduanya kembali menjadi satu saluran buntu.
Telur. Telur cacing tidak mempunyai operkulum, tetapi memiliki spina yang khas
bentuknya untuk masing-masing spesies Schistosoma.
Serkaria. Stadium infektif Schistosoma yang mampu menembus kulit hospes
definitif ini mempunyai ekor yang bercabang dua.

Gambar 21. Schistosoma. Cacing dewasa (kiri).


Serkaria (tengah) Telur (kanan)

Cara penularan skistosomiasis


Infeksi pada manusia terjadi dengan masuknya serkaria yang terdapat di
dalam air secara aktif menembus kulit yang tak terlindung. Melalui aliran darah
aferen, serkaria mencapai jantung dan paru, kembali ke jantung kiri, masuk ke
sistem sirkulasi sistemik, ke cabang-cabang vena porta, akhirnya sampai di hati.
Di dalam jaringan hati parasit tumbuh menjadi cacing dewasa. Sesudah dewasa,
cacing kembali ke vena porta, vena usus, atau vena kandung kemih tergantung
spesies cacing.
Umur cacing yang hidup pada manusia dapat mencapai 30 tahun.
Manusia adalah definitif utama, sedangkan berbagai hewan mamalia dapat
bertindak sebagai hospes definitif lainnya (reservoir host).

Gambar 22. Siklus hidup Schistosoma.

Cacing schistosoma termasuk parasit zoonosis. Selain manusia, berbagai


jenis hewan dapat bertindak selaku hospes definitif. Berbagai hewan domestik
bertindak selaku hospes definitif S.japonicum yaitu anjing, kucing, sapi, babi dan
tikus, sedangkan siput Oncomelania bertindak selaku hospes perantara S.
japonicum.

Gejala klinis skistosomiasis japonikum


Perubahan patologis pada penderita dapat ditimbulkan oleh cacing
dewasa, serkaria maupun telur cacing. Pada masa inkubasi biologik, yaitu antara
waktu masuknya serkaria menembus kulit sampai saat terjadinya cacing
dewasa, terjadi kelainan kulit dan gatal-gatal, disertai keradangan akut pada hati.
Stadium akut yang terjadi akibat terbentuknya telur cacing, menimbulkan
kerusakan jaringan, perdarahan, pembentukan pseudoabses, pseudotuberkel
dan pembentukan jaringan ikat. Penderita juga mengalami demam dan diare.
Stadium kronik (menahun) terjadi berupa penyembuhan jaringan,
pembentukan fibrosis, disertai pengecilan hati akibat telah terjadinya sirosis,
timbul pembesaran limpa, asites dan ikterus. Juga terjadi hipertensi portal.

Gambar 23. Penderita skistosomiasis kronis

Diagnosis skistosomiasis
Diagnosis pasti skistosomiasis ditegakkan dengan ditemukannya telur
S.japonicum yang spesifik bentuknya pada pemeriksaan tinja atau pada biopsi
rektum. Telur juga dapat ditemukan di dalam tinja atau melalui biopsi hati.
Pemeriksaan serologi misalnya ELISA, uji fiksasi komplemen, uji
hemaglutinasi tidak langsung, uji antibodi fluorsesn dan tes kepekaan kulit
membantu menegakkan diagnosis skistosomiasis japonikum. Selain itu pada
pemeriksaan darah dapat ditemukan antigen yang spesifik cacing ini.

Pengobatan skistosomiasis.
Prazikuantel merupakan obat pilihan (drug of choice) untuk mengobati
skistosomiasis.japonicum dengan dosis tunggal sebesar 60 mg per kg berat
badan.
Obat-obat lain, misalnya tartar emetik, ambilhar, fuadin, dan antimon
dimerkaptosuksinat, hasilnya tidak sebaik prazikuantel.

Pencegahan skistosomiasisa
Pengobatan masal pada seluruh penduduk, perbaikan lingkungan hidup
untuk mencegah pencemaran perairan oleh tinja, serta pemberantasan siput
adalah cara pencegahan yang harus dilakukan untuk mencegah penyebaran
skistosomiasis.

10. STRONGILOIDIASIS
Cacing Strongyloides stercoralis atau disebut benang (threadworm) yang
menyebabkan strongiloidiasis ini merupakan cacing zoonosis yang tersebar
luas di daerah tropis yang tinggi kelembabannya. Cacing betina dewasa hidup
parasitik di dalam membrana mukosa usus halus, terutama di daerah duodenum
dan jejunum manusia dan beberapa jenis hewan. Cacing jantan jarang
ditemukan di dalam usus hospes definitifnya.

Strongyloides stercoralis
Cacing dewasa betina berbentuk seperti benang halus yang tidak
berwarna, dengan panjang tubuh sekitar 2,2 mm. Bentuk telur mirip telur cacing
tambang, berukuran sekitar 55 x 30 mikron, berdinding tipis tembus sinar. Telur
dikeluarkan di dalam membrana mukosa usus dan segera menjadi larva,
sehingga tidak dapat ditemukan di dalam tinja penderita.

Gambar 24. Strongyloides stercoralis. Larva (kiri) Dewasa (kanan)


Larva Strongyloides ada 2 stadium, yaitu larva rabditiform dan larva
filariform. Larva rabditiform berukuran panjang antara 200 dan 250 mikron,
sedangkan larva filariform langsing bentuknya, berukuran sekitar 700 mikron.
Larva cacing tambang, baik larva filariform maupun larva rabditiform dapat
dibedakan dari larva Strongyloides stercoralis dengan memperhatikan ukuran
panjangnya, primordium genitalnya dan bentuk rongga mulutnya.

Primordium genital
Cara penularan strongiloidiasis
usofagus
Untuk melengkapi siklus hidupnya cacing ini tidak memerlukan hospes
perantara. Hospes definitif tempat cacing dewasa hidup adalah manusia,
sedangkan beberapa jenis hewan dapat bertindak sebagai reservoir host
sehingga dapat menjadi sumber penularan bagi manusia. Telur cacing yang oleh
induk cacing dikeluarkan di dalam mukosa usus, segera menetas menjadi larva
rabditiform. Kemudian larva ini akan berkembang melalui tiga jalur siklus hidup,
yaitu :
1. Autoinfection. Di dalam usus, larva rabditiform berubah menjadi larva
filariform, yang kemudian menembus mukosa usus dan berkembang
menjadi cacing dewasa.
2. Siklus Hidup Langsung. Larva rabditiform bersama tinja penderita jatuh
ke tanah, tumbuh menjadi larva filariform yang infektif. Jika menembus
kulit hospes, akan terjadi lung migration, dan selanjutnya berkembang
menjadi cacing dewasa di dalam usus penderita.
3. Siklus Hidup Tak Langsung. Larva rabditiform bersama tinja penderita
jatuh ke tanah, berkembang menjadi cacing dewasa yang hidup bebas
(free living) di tanah, lalu melahirkan larva–larva rabditiform. Larva
rabditiform ini di tanah tumbuh menjadi larva filariform yang infektif,
menembus kulit hospes, diikuti terjadinya lung migration, kemudian
tumbuh dan berkembang menjadi cacing dewasa di dalam usus penderita.
Lihat bagan di bawah ini.
Gambar 25. Bagan siklus hidup Strongyloides stercoralis

Gejala klinis strongiloidiasis


Kelainan patologis pada strongiloidiasis disebabkan oleh larva maupun
oleh cacing dewasa. Larva cacing pada waktu menembus kulit, menimbulkan
dermatitis disertai urtikaria dan pruritus. Sedangkan jika larva yang mengadakan
migrasi paru banyak jumlahnya, dapat menimbulkan pneumonia dan batuk
darah.
Cacing dewasa yang berada di dalam mukosa usus dapat menimbulkan
diare yang berdarah yang bisa disertai lendir. Infeksi yang berat dengan cacing
ini dapat menimbulkan kematian penderita.

Diagnosis strongiloidiasis
Untuk menegakkan diagnosis pasti, larva rhaditiform ditemukan pada tinja
segar penderita. Biakan tinja yang mengandung larva rabditiform dalam tiga hari
akan menunjukkan adanya larva filariform. Cacing dewasa yang hidup bebas
dapat ditemukan dalam sediaan yang sama. Larva rabditiform maupun larva
filariform Strongyloides stercoralis dapat dibedakan dari larva-larva cacing
tambang.
Pengobatan dan pencegahan strongiloidiasis
Tiabendazol merupakan obat pilihan untuk strongiloidiasis. Obat-obat
lainnya, misalnya levamisol, mebendazol dan pirantel pamoate dapat juga
digunakan, meskipun hasilnya kurang memuaskan.
Tindakan pencegahan strongiloidiasis lebih sulit dilakukan dibanding
pencegahan terhadap infeksi cacing tambang. Hal ini disebabkan oleh adanya
hewan sebagai reservoir host. Selain itu terjadinya autoinfeksi di usus dan siklus
hidup bebas di tanah menyulitkan pemberantasan parasit ini.
11. TAENIASIS

Taeniasis pada manusia disebabkan oleh cacing pita babi dewasa (Taenia
solium) dan cacing pita sapi (Taenia saginata). Nama Umum. Cacing pita babi.
Cacing dewasa hidup di dalam usus halus (jejunum bagian atas) manusia,
sedangkan larvanya terdapat di dalam jaringan organ tubuh babi.

Taenia solium
Cacing dewasa berukuran panjang antara 2 sampai 3 meter, dan dapat
hidup sampai 25 tahun lamanya.
Kepala (scolex) erbentuk bulat, dengan garis tengah 1 mm , mempunyai
alat isap. Kepala mempunyai rostelum yang dilengkapi oleh 3 deret kait yang
melingkar.
Setiap cacing Tenia solium mempunyai segmen yang berjumlah kurang
dari 1000 buah. Segmen matur berukuran 12 mm x 6 mm, mempunyai lubang
genital yang terletak di dekat pertengahan segmen. Uterus gravid memiliki 5-10
cabang lateral di tiap sisi segmen. Segmen gravid dilepaskan dalam bentuk
rantai yang terdiri dari 5-6 segmen setiap kali dilepaskan.
Gambar 26. Cacing dewasa dan kepala Taenia solium

Telur Taenia solium tidak dapat dibedakan dari telur Taenia saginata.
Telur bulat bentuknya, berwarna coklat, berukuran garis tengah 30-45 mikron
dengan dinding tebal bergaris-garis radial. Onkosfer embrio yang ada di dalam
telur mempunyai 6 buah kait (hexacanth embryo).

Cara infeksi taeniasis solium


Cacing ini termasuk parasit zoonosis, yang dapat ditularkan dari hewan ke
manusia dan sebaliknya.
Cacing dewasa hidup di dalam tubuh manusia yang bertindak selaku
hospes definitif, sedangkan larvanya terdapat di dalam jaringan organ babi yang
bertindak sebagai hospes perantara. Jika telur cacing yang ke luar tubuh
manusia bersama tinja dimakan babi, di dalam usus babi telur akan pecah, dan
onkosfer akan terlepas. Dengan bantuan kait, onkosfer menembus dinding usus,
masuk ke dalam aliran darah, lalu menyebar ke organ-organ tubuh babi,
terutama otot lidah, leher, otot jantung, dan otot gerak. Dalam waktu 60-70 hari
pasca infeksi, onkosfer berubah menjadi larva sistiserkus.
Manusia terinfeksi dengan cara makan daging babi mentah atau kurang
masak, yang mengandung larva sistiserkus. Di dalam usus manusia, skoleks
akan mengadakan eksvaginasi dan melekatkan diri dengan alat isapnya pada
dinding usus, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa dan kemudian membentuk
strobila. Dalam waktu 2-3 bulan, cacing telah dewasa yang mampu memproduksi
telur.

Gejala klinis taeniasis solium


Kait-kait pada skoleks tidak banyak menimbulkan gangguan pada dinding
usus tempatnya melekat. Keluhan penderita umumnya ringan, berupa rasa tidak
enak di perut, gangguan pencernaan, diare, konstipasi, sakit kepala dan anemia.
Sangat jarang terjadi adalah komplikasi peritonitis akibat kait yang menembus
dinding usus.

Diagnosis pasti taeniasis solium ditegakkan jika ditemukan cacing dewasa


(segmen atau skoleks yang khas bentuknya) pada tinja penderita atau pada
pemeriksaan daerah perianal. Telur cacing yang ditemukan tidak dapat
menentukan spesies cacing karena sama bentuknya dengan telur Taenia
saginata.

Pengobatan taeniasis solium


Pengobatan taeniasis dinyatakan berhasil jika ditemukan skoleks cacing
di dalam tinja sesudah pengobatan. Obat-obatan yang bisa digunakan antara
lain adalah mebendaxzol, albendazol atau atabrin.:

Pencegahan teniasis solium


Untuk mencegah terjadinya penularan taeniasis solium, dilakukan
tindakan-tindakan sebagai berikut :
1. Mengobati penderita, untuk mengurangi sumber infeksi dan mencegah
terjadinya autoinfeksi dengan larva cacing.
2. Pengawasan daging babi yang dijual, agar bebas larva cacing
(sistiserkus).
3. Memasak daging babi sampai di atas 50 0 Celcius selama 30 menit,
untuk membunuh kista larva cacing.
4. Menjaga kebersihan lingkungan dan tidak memberikan tinja manusia
sebagai makanan babi.

Taenia saginata

Nama umum cacing ini adalah cacing pita sapi , dan infeksi oleh cacing
dewasanya disebut taeniasis saginata. Cacing dewasa hidup di dalam usus
halus bagian atas. Cacing dewasa dapat hidup di dalam usus manusia sampai
10 tahun lamanya.
Cacing dewasa berwarna putih, tembus sinar, dan panjangnya dapat
mencapai 24 meter.

Kepala cacing (skoleks) berbentuk segiempat, dengan garis tengah 1 sampai 2


milimeter, mempunyai 4 alat isap (sucker). Pada skoleks tidak terdapat rostelum
maupun kait.
Jumlah segmen T.sagunata dapat mencapai 2000 buah. Segmen matur
mempunyai ukuran panjang 3-4 kali ukuran lebar. Segmen gravid paling ujung
berukuran 0.5 cm x 2 cm. Lubang genital terletak di dekat ujung posterior
segmen.
Gambar 27. Taenia saginata. A. Cacing dewasa B. telur cacing

Uterus yang terdapat pada segmen gravid berbentuk batang memanjang


di pertengahan segmen, mempunyai 15-30 cabang di setiap sisi segmen.
Segmen gravid dilepaskan satu demi satu, dan tiap segmen gravid dapat
bergerak sendiri di luar anus.
Telur Taenia saginata hanya infektif untuk sapi, tidak dapat dibedakan bentuknya
dari telur T.solium..
Gambar 28. Segmen gravid T.saginata dan T.solium

Penularan taeniasis saginata


Seperti cacing pita babi, hospes definitif Taenia saginata adalah manusia,
tetapi yang bertindak sebagai hospes perantara adalah sapi atau kerbau. Infeksi
pada manusia terjadi jika makan daging sapi atau kerbau yang masih mentah
atau kurang matang.

Gejala klinis dan diagnosis taeniasis saginata


Kelainan patologis tidak jelas, namun dapat timbul keluhan ringan berupa
rasa tidak enak perut, mual, muntah dan diare. Kadang-kadang terjadi obstruksi
usus oleh banyaknya cacing, sehingga timbul gejala ileus. Pemeriksaan darah
tepi dapat menunjukkan eosinofilia ringan.
Diagnosis pasti taeniasis ditetapkan jika ditemukan cacing dewasa,
segmen, skoleks, atau telur cacing di dalam tinja penderita. Bentuk skoleks dan
segmen yang khas menentukan diagnosis taeniasis saginata.

Pengobatan dan pencegahan taeniasis saginata


Obat-obatan untuk taeniasis solium dapat digunakan untuk mengobati
taeniasis saginata.
Pencegahan taeniasis saginata dilakukan dengan mengobati penderita,
mengawasi daging sapi atau daging kerbau yang dijual, memasak daging
dengan baik, dan menjaga kebersihan makanan sapi agar tidak tercemar tinja
manusia.

12. TRIKINOSIS

Trikinosis disebabkan oleh cacing Trichinella spiralis atau Trichina


spiralis, sedangkan nama umumnya adalah cacing trikina Cacing ini tersebar
luas di seluruh dunia, terutama di negara-negara yang penduduknya makan
daging babi yang tidak dimasak sempurna, misalnya dipanggang atau dimakan
dalam keadaan mentah atau setengah matang.
Cacing dewasa hidup di dalam mukosa duodenum dan jejunum hospes
definitif misalnya bab dan manusia serta tikus, anjing, kucing dan berbagai jenis
mamalia lainnya. Larva cacing ditemukan dalam bentuk kista dalam otot-otot
bergaris hospes definitif.

Trichinella spiralis
Cacing jantan berukuran panjang antara 1.4 mm sampai 1.6 mm,
sedangkan cacing betina berukuran lebih panjang, dapat mencapai 4 mm.
Cacing betina tidak bertelur melainkan melahirkan larva (vivipaar).
Larva cacing berukuran sampai 100 mikron, namun di dalam otot
hospes, umumnya larva terdapat dalam bentuk kista. Otot yang mengandung
larva Trichinella infektif bagi mamalia lainnya. Di dalam kista, larva dapat tetap
hidup 6 bulan, bahkan bisa mencapai 30 tahun.

Gambar 29. Trichinella spiralis dewasa dan larva

Penularan trikinosis
Cacing dewasa maupun larvanya terdapat di dalam tubuh hospes yang
sama. Tetapi untuk dapat melengkapi siklus hidupnya, cacing ini membutuhkan
dua hospes yang satu jenis maupun dari jenis yang berbeda. Pada tikus hutan
misalnya, hanya dibutuhkan satu jenis hospes yaitu tikus, oleh karena adanya
sifat kanibalis pada tikus.

Gambar 30. Siklus hidup Trichinella spiralis.

Manusia, babi dan tikus merupakan hospes definitif cacing ini, namun
cacing Trichinella spiralis juga dapat hidup dalam tubuh anjing, kucing dan
beruang. Pada keadaan alami, siklus hidup cacing ini dapat berlangsung
diantara kelompok tikus yang kanibalis. Hewan babi terinfeksi akibat makan
sampah yang mengandung daging tikus mati.
Manusia terinfeksi cacing ini karena makan daging babi mentah atau
kurang matang yang mengandung kista larva cacing. Di dalam usus halus,
dinding kista pecah dan larva akan terlepas. Larva segera memasuki mukosa
usus dan dalam waktu dua hari berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing
betina dapat melahirkan sampai 1500 larva yang dilepaskan di dalam mukosa
usus. Larva ini akan memasuki aliran darah dan limfe, menyebar ke berbagai
organ dan bagian tubuh lainnya, terutama ke otot-otot gerak misalnya otot lidah,
diafragma, mata, laring, otot biseps, otot perut, deltoid dan otot gastroknemius.
Patogenesis dan gejala klinis trikinosis
Kelainan patologis pada trikinosis mulai terjadi akibat adanya invasi
cacing dewasa yang berasal dari perkembangan larva ke dalam mukosa usus.
Sesudah masa inkubasi sekitar 10 hari, sejak masuknya kista cacing
bersama daging babi yang infektif, penderita dapat mengalami keluhan
gastrointestinal berupa sakit perut, mual, muntah dan diare. Penyebaran
larva yang dilahirkan oleh induk cacing ke dalam otot-otot gerak menimbulkan
keradangan endovaskuler dan perivaskuler akut sehingga terjadi nyeri otot
rematik, diikuti gangguan bernapas, mengunyah dan berbicara. Kelumpuhan otot
yang spastik pada ekstremitas dapat terjadi, diikuti edema sekitar mata, hidung
dan tangan. Kelenjar limfe juga dapat membesar. Migrasi larva juga
menimbulkan nekrosis otot jantung yang menimbulkan miokarditis, yang
merupakan komplikasi berat trikinosis. Mungkin juga terjadi komplikasi berupa
ensefalitis, meningitis, tuli, gangguan mata dan diplegia.
Masa enkistasi (masa tahap tiga) merupakan masa krisis dengan
terjadinya edema toksik atau dehidrasi berat. Tekanan darah penderita menurun
dan dapat menimbulkan kolaps. Pada tahap ini tampak gejala neurutoksik dan
komplikasi lain misalnya miokarditis, pneumonia, peritonitis, dan nefritis.
Diagnosis pasti trikinosis dapat ditetapkan apabila dapat ditemukan
cacing dewasa atau larva cacing. Cacing dewasa atau larva mungkin dijumpai
pada tinja penderita pada waktu mengalami diare. Cara yang lebih
memungkinkan adalah menemukan larva cacing melalui biopsi otot atau organ
atau pada waktu dilakukan otopsi atas penderita yang sudah tidak tertolong
lagi.
Untuk membantu menegakkan diagnosis, dilakukan pemeriksaan darah
yang menunjukkan adanya eosinofilia.
Berbagai uji serologik, misalnya Uji Fiksasi Komplemen, Uji Presipitin, Uji
Aglutinasi dan Uji Flokulasi Bentonit dapat membantu menegakkan diagnosis
trikinosis. Dengan menggunakan antigen pada pengenceran 5000-10,000 kali,
hasil positif dapat dibaca dalam waktu 20 menit.
Pemeriksaan radiologik dapat membantu menunjukkan adanya kista
pada jaringan atau organ penderita.

Pengobatan trikinosis
Pada manusia, trikinosis diobati dengan pemberian tiabendazol
selama 1 minggu, disertai pemberian kortikosteroid dosis rendah, secara
bertahap dan hati-hati, untuk mengurangi gejala dan keluhan penderita. Nyeri
otot dan sakit kepala penderita dapat dikurangi dengan memberikan
analgetika, sedangkan gejala dan keluhan nerologik dapat diobati dengan
memberikan penenang.

Pencegahan trikinosis
Untuk mencegah penularan trikinosis, pemeriksaan daging babi yang
dijual harus dilakukan, serta memasak daging babi dengan sempurna
sebelum dimakan. Pembekuan daging babi dan daging lainnya dapat
membunuh kista cacing. Selain itu mengupayakan agar babi yang
diternakkan selalu diberi makanan yang dipanasi lebih dahulu dan
menjauhkan tikus dari lingkungan peternakan babi.

13. TRIKURIASIS
Karena bentuknya mirip cambuk, cacing penyebab trikuriasis (Trichuris trichiura)
sering disebut sebagai cacing cambuk (whip worm). Penyakitnya disebut
trikuriasis. Cacing ini tersebar luas di daerah tropis yang berhawa panas dan
lembab.

Trichuris trichiura
Cacing dewasa melekat pada mukosa usus penderita, terutama di daerah
sekum dan kolon, dengan membenamkan kepalanya di dalam dinding usus.
Kadang-kadang cacing ini ditemukan hidup di apendiks dan ileum bagian distal.
Cacing dewasa berbentuk cambuk. Cacing jantan panjangnya sekitar 4
cm dan cacing betina 5 cm. Bagian ekor cacing jantan melengkung ke arah
ventral, mempunyai satu spikulum yang berselubung retraktil. Bagian kaudal
cacing betina membulat tumpul seperti koma.
Telur cacing khas bentuknya, berwarna coklat mirip biji melon. Telur yang
berukuran sekitar 50x25 nikron ini mempunyai dua kutub jernih yang menonjol.

Gambar 31. Trichuris trichiura


Penularan trikuriasis
Trichuris trichiura hanya dapat ditularkan dari manusia ke manusia,
sehingga cacing ini bukan parasit zoonosis. Infeksi terjadi jika manusia tertelan
telur cacing yang infektif, sesudah telur mengalami pematangan di tanah dalam
waktu 3-4 minggu lamanya. Di dalam usus halus dinding telur pecah dan larva
cacing ke luar menuju sekum lalu berkembang menjadi cacing dewasa. Satu
bulan sejak masuknya telur infektif ke dalam mulut, cacing dewasa yang terjadi
sudah mulai mampu bertelur. Cacing dewasa dapat hidup beberapa tahun di
dalam usus manusia.

Gambar 32 Siklus hidup Trichuris trichiura


Patogenesis dan gejala klinis trikuriasis
Cacing dewasa yang menembus dinding usus menimbulkan trauma dan
kerusakan pada jaringan usus. Selain itu cacing menghasilkan toksin yang
menimbulkan iritasi dan peradangan.
Pada infeksi ringan dengan beberapa ekor cacing , tidak tampak gejala atau
keluhan penderita. Tetapi pada infeksi yang berat , penderita akan mengalami
gejala dan keluhan berupa :
 Anemia berat dengan hemoglobin yang dapat kurang dari tiga persen
 Diare berdarah
 Nyeri perut
 Mual dan muntah
 Berat badan menurun
 Kadang-kadang terjadi prolaps rectum yang melalui pemeriksaan
proktoskopi dapat dilihat adanya cacing-cacing dewasa pada kolon atau
rectum penderita.
Pemeriksaan darah pada infeksi yang berat, penderita mengalami anaemia
dengan hemoglobin dapat berada di bawah 3 g%.

Diagnosis trikuriasis
Untuk menegakkan diagnosis pasti, dilakukan pemeriksaan tinja untuk
menemukan telur cacing yang khas bentuknya. Pada infeksi yang berat
pemeriksaan proktoskopi menunjukkan adanya cacing dewasa pada rektum
penderita.

Pengobatan trikuriasis
Untuk memberantas trikuriasi diberikan kombinasi obat-obat cacing yaitu :
 Pirantel pamoat dan oksantel pamoat yang diberikan bersama dalam
bentuk dosis tunggal , atau
 Kombinasi Mebendazol dan pirantel pamoat.
Bila terdapat anemia, diberikan preparat besi disertai perbaikan gizi penderita.

Pencegahan trikuriasis
Pencegahan penularan trikuriasis dilakukan melalui pengobatan penderita
dan pengobatan masal untuk terapi pencegahan terhadap terjadinya reinfeksi
di daerah endemis.
Memperbaiki hygiene sanitasi perorangan dan lingkungan, agar tak terjadi
pencemaran lingkungan oleh tinja penderita, misalnya membuat WC atau
jamban yang baik di setiap rumah. Memasak makanan dan minuman dengan
baik dapat membunuh telur infektif cacing.
3
PENYAKIT PROTOZOA

1. AMUBIASIS
2. BALANTIDIOSIS
3. GIARDIASIS
4. KRIPTOSPORIDIOSIS
5. MALARIA
6. PNEUMONIA ATIPIK
7. TOKSOPLASMOSIS
8. TRIKOMONIASIS VAGINALIS
1. AMUBIASIS

Amubiasis disebabkan oleh protozoa usus Entamoeba histolytica yang


dapat menyerang usus dan berbagai organ dan jaringan tubuh. Amubiasis
endemis di berbagai daerah di seluruh dunia, terutama daerah tropis dan
subtropis yang lingkungan kebersihannya buruk terutama di daerah pedesaan
(rural).

Entamoeba histolytica
Entamoeba histolytica adalah protozoa usus kelas Rhizopoda yang
mengadakan pergerakan menggunakan pseudopodii atau kaki semu. Terdapat
tiga bentuk parasit, yaitu bentuk trofozoit , bentuk kista dan bentuk prakista.
Trofozoit adalah bentuk yang aktif bergerak dan bersifat invasif, dapat
tumbuh dan berkembang biak, aktif mencari makanan, dan mampu memasuki
organ dan jaringan. Karena selalu bergerak menggunakan pseudopodi, maka
bentuk trofozoit tidaklah tetap. Ukuran trofozoit sekitar 18 mikron sampai 40
mikron. Pada sediaan tinja segar tanpa warna, inti sukar dilihat di bawah
mikroskop. Kariosom tampak berupa titik kecil terletak sentral dan dikelilingi halo
yang jelas. Selaput inti tipis, dibatasi butir-butir kromatin yang halus dan rata.
Bentuk kista Entamoeba histolytica bulat, dengan dinding kista dari hialin,
tidak aktif bergerak. Terdapat dua ukuran kista, minutaform yang kecil berukuran
antara 6-9 mikron, dan magnaform berukuran lebih besar antara 10-15 mikron.
Kista berukuran kurang dari 10 mikron, disebut Entamoeba hartmanni yang
ditemukan dalam tinja, tidak patogen untuk manusia. Pada stadium awal kista,
terdapat 1-4 badan kromatoid (chromatoid body) di dalam sitoplasma. Selain itu
terdapat juga masa glikogen yang pada pewarnaan dengan iodin akan berwarna
coklat tua. Kista yang sudah matang mempunyai empat inti (quadrinucleate cyst)
tidak dijumpai badan kromatoid maupun masa glikogen.
Bentuk prakista merupakan bentuk peralihan antara stadium kista dan
stadium trofozoit. Berbentuk agak lonjong atau bulat, berukuran antara 10-20
mikron, mempunyai pseudopodi yang tumpul. Pada endoplasma dari
sitoplasma prakista tidak dijumpai eritrosit maupun sisa-sisa makanan. Inti dan
struktur inti prakista sesuai dengan inti dan struktur inti trofozoit.
Pemeriksaan di bawah mikroskop menggunakan garam faali untuk
pengencer tinja menunjukkan parasit dalam keadaan hidup. Trofozoit tampak
bergerak aktif dengan gerakan pseudopodi yang cepat. Di dalam sitoplasma
tampak eritrosit berwarna hijau kekuningan, sedangkan inti sukar dilihat. Kista
terlihat bulat dengan dinding tipis dan halus, terlihat badan kromatoid berbentuk
batang. Masa glikogen sukar dilihat.
Pewarnaan tinja dengan lugol menunjukkan parasit berwarna kuning
sampai coklat muda, inti jelas dengan kariosom terletak di tengah. Sitoplasma
halus, badan kromatoid tidak berwarna, dan masa glikogen berwarna coklat.
Pada pewarnaan iron-hematoxylin, inti dan badan kromatoid berwarna
hitam, sitoplasma kebiru-biruan atau kelabu, sedangkan masa glikogen tidak
berwarna.

(a) (b)
Gambar 33. Entamoeba histolytica (a) trofozoit (b) kista

Penularan amubiasis
Amuba termasuk parasit zoonosis yang umumnya hanya menyerang
manusia, namun juga dapat menimbulkan penyakit pada kera dan primata
lainnya. Hewan lain yang dapat bertindak sebagai hospes definitif, jadi bertindak
sebagai reservoir host, adalah kucing, anjing, tikus, hamster dan marmot (guinea
pig).
Penularan terjadi dengan masuknya kista infektif melalui mulut, bersama
makanan atau minuman tercemar tinja penderita atau karier amubiasis.
Penularan di laboratorium dapat terjadi karena tertelan kista infektif amuba
hewan coba primata. Pencemaran makanan atau minuman dapat disebabkan
oleh serangga misalnya lalat dan lipas (famili Blattidae) yang membawa tinja
penderita atau karier yang mengandung kista infektif amuba.
Terdapat dua jenis karier amubiasis, yaitu contact carrier dan
convalescent carrier. Contact carrier adalah karier yang berasal dari orang yang
sebelumnya tidak pernah menderita amubiasis, sedangkan convalescent carrier
adalah karier yang terjadi sesudah seseorang menderita amubiasis.

Amubiasis
Amubiasis pada manusia dapat menyerang berbagai organ, misalnya
usus ( intestinal amoebiasis) maupun organ di luar usus (extra-intestinal
amoebiasis) misalnya hati, paru, otak, kulit dan jaringan tubuh lainnya.

Patologi amubiasis
Pada manusia dapat terjadi amubiasis primer atau amubiasis sekunder.
Amubiasis primer terjadi pada usus, sedangkan amubiasis sekunder terjadi di
luar usus (extra-intestinal atau metastatic amoebiasis). Amubiasis usus terutama
terjadi di usus besar (sekum dan daerah rektosigmoid). Trofozoit dapat
mengadakan migrasi ke organ-organ lain ,terutama ke hati, paru dan otak
Kerusakan organ penderita akibat Entamoeba histolytica tergantung daya
tahan tubuh penderita, keadaan usus penderita dan virulensi strain amuba
penyebab infeksi.

Amubiasis usus. Adanya bakteri pendamping (associate bacteria) di dalam


usus bisa menimbulkan lingkungan yang sesuai untuk merangsang
meningkatnya sifat invasif amuba. Pada amubiasis usus akut, terjadi
pembentukan ulkus di sepanjang usus besar atau di daerah ileosekal dan
rektosigmoid. Ukuran ulkus bervariasi dari ukuran ujung jarum sampai lebih dari
3 cm. bentuk ulkus umumnya bulat atau lonjong dengan tepi ulkus yang curam
(undermined) dan tidak teratur bentuknya. Pada pemotongan melintang, ulkus
menunjukkan gambaran seperti botol (flask-shaped ulcer). Dasar ulkus berisi
bahan nekrotik berwarna kekuningan atau kehitaman.
Sesudah melewati masa inkubasi yang berlangsung antara 4-5 hari, pada
amubiasis usus penderita mengalami diare atau bila sudah kronik dapat terjadi
sembelit. Pada amubiasis usus yang akut (disenteri amoeba), penderita
mengalami gejala-gejala disenteri disertai nyeri perut hebat sebelum buang air
besar (tenesmus). Frekwensi defikasi sekitar 6-8 kali sehari, dengan tinja berbau
asam menyengat, dengan darah atau lendir tercampur bersama tinja. Tinja dapat
berbentuk cair (diareic), setengah cair (semidiareic), atau berbentuk padat
(formed).
Pada amubiasis usus kronis, selain terdapat ulkus-ulkus, juga ditemukan
proses regenerasi jaringan sehingga ulkus hanya terbatas pada mukosa usus,
tidak mencapai jaringan otot di bawahnya. Karena terjadi pembentukan jaringan
parut, usus menipis dindingnya. Jika dijumpai pelekatan-pelekatan usus dengan
jaringan visera di sekitarnya, dinding usus seluruhnya menebal yang mudah
diraba dari luar, sehingga lumen usus menyempit. Reaksi granulomatosis yang
terjadi pada amubiasis usus kronis menimbulkan pembentukan amuboma
(amoebic granuloma), yang berbentuk mirip tumor usus.

Amubiasis hati. Amubiasis hati terjadi akibat penyebaran ekstra intestinal


Entamoeba histolytica yang berasal dari usus melalui aliran darah atau akibat
terjadinya abses usus yang pecah, yang menimbulkan kontak bahan infektif
dengan hati. Abses hati sering dijumpai di bagian posterosuperior lobus kanan,
umumnya hanya satu abses yang besar ukurannya. Pada waktu abses masih
kecil ukurannya, bentuk abses bulat atau lonjong, berisi cairan abses yang
berwarna abu-abu kecoklata. Abses yang besar dindingnya tebal dan isi abses
berwarna kuning atau kemerahan.
Pada irisan abses hati, pemeriksaan mikroskopis menunjukkan material
granuler di bagian sentral dan tidak ditemukan amuba. Di bagian tengah irisan
(intermediate) ditemukan sel-sel hati yang mengalami degenerasi, lekosit, sel-sel
jaringan ikat dan eritrosit. Kadang-kadang di daerah tengah ini ditemukan
trofozoit amuba. Di daerah perifer abses dijumpai sel-sel hati yang nekrosis, dan
bendungan kapiler-kapiler. Sel-sel hati masih sehat, dan dapat ditemukan
trofozoit amuba.
Gejala klinik amubiasis hati yang timbul berupa nyeri daerah
hipokondrium kanan, demam, ikterus dan hepatomegali. Penderita akan cepat
menjadi kurus, tetapi umumnya tidak mengalami gangguan pencernaan maupun
disenteri.

Komplikasi. Komplikasi abses hati terjadi jika penderita tidak diobati dengan
baik, lisis jaringan hati akan terus terjadi sehingga abses pecah dan berkembang
ke organ-organ di sekitar hati. Pecahnya abses hati yang terdapat di bagian
kanan akan menimbulkan kerusakan di kulit (granuloma kutis), paru, rongga
pleura kanan, diafragma dan rongga peritoneum. Abses hati yang pecah ke
daerah paru menimbulkan dahak yang berwarna coklat merah tua yang
mengandung trofozoit. Abses yang pecah ke dalam rongga pleura menimbulkan
empiema toraks, yang pecah ke daerah diafragma menimbulkan abses
subfrenik, sedangkan yang pecah ke daerah peritoneum menimbulkan peritonitis
umum.
Jika abses di daerah hati sebelah kiri yang pecah, kelainan dapat terjadi di
daerah lambung ( terjadi hematemesis), kulit, rongga pleura kiri, dan perikardium
(terjadi perikarditis purulenta) yang dapat menimbulkan kematian penderita.
Abses hati yang pecah ke arah bawah (inferior) dapat menimbulkan kelainan di
usus atau di rongga peritoneum yang menimbulkan peritonitis.

Amubiasis organ lain. Berbagai organ lain yang dapat terserang amubiasis
adalah paru, otak, kulit dan limpa.
Amubiasis paru (pulmonary amoebiasis) dapat terjadi secara primer atau
sekunder. Amubiasis paru primer terjadi akibat trofozoit amuba mencapai paru
melalui sirkulasi darah portal.. Pada amubiasis paru sekunder, trofozoit berasal
dari pecahnya abses hati bagian kanan.
Amubiasis otak (cerebral amoebiasis) yang umumnya merupakan abses
tunggal yang berukuran kecil, terjadi akibat komplikasi abses hati atau abses
paru.
Amubiasis kulit (cutaneous amoebiasis) terjadi pada kulit di dekat tempat
keluarnya cairan abses hati, abses apendiks atau pada waktu operasi usus.
Nekrosis kulit ditimbulkan oleh trofozoit yang terdapat di daerah tersebut.
Amubiasis limpa terjadi akibat komplikasi amubiasis hati, atau secara
langsung ditimbulkan oleh penularan trofozoit amuba dari daerah kolon.

Diagnosis amubiasis
Diagnosis pasti amubiasis dapat ditegakkan jika ditemukan trofozoit atau
kista Entamoeba histolytica dan kristal Charcot-Leyden yang spesifik.

Amubiasis usus. Pada amubiasis usus akut, pemeriksaan tinja makroskopis


menunjukkan tinja yang berwarna merah tua berbau menyengat karena bersifat
asam. Pemeriksaan mikroskopis dapat ditemukan trofozoit amuba dan kristal
Charcot-Leyden. Pemeriksaan darah menunjukkan adanya lekositosis. Uji
serologis menunjukkan hasil yang negatif. Pada amubiasis usus kronis,
penderita asimtomatis dan karier amubiasis, bentuk makroskopis tinja adalah
normal. Pemeriksaan mikroskopis ditemukan kista amuba, sedangkan
pemeriksaan darah tidak terdapat kelainan. Pemeriksaan serologi pada karier
asimtomatik hasilnya negatif, sedangkan uji serologi pada karier konvalesen
hasilnya positif.

Amubiasis hati. Diagnosis pasti ditegakkan jika ditemukan parasit amuba


melalui pemeriksaan mikroskopis atas jaringan biopsi dan aspirasi cairan abses
untuk menemukan trofozoit amuba, dan pemeriksaan tinja untuk menentukan
adanya sumber infeksi kronis di usus dengan menemukan kista amuba.
Pemeriksaan darah menunjukkan gambaran lekositosis, dan granulosit neutrofil
antara 70-75 persen. Pemeriksaan serologi membantu menegakkan diagnosis
amubiasis hati, misalnya dengan uji fiksasi komplemen, uji imunohemaglutinasi
dan tes presipitin.

Amubiasis paru. Ditemukannya trofozoit Entamoeba histolytica pada dahak


penderita menetapkan diagnosis pasti amubiasis paru. Pemeriksaan serologi,
pemeriksaan radiologi dan uji intradermal dapat membantu menegakkan
diagnosis amubiasis paru dan amubiasis ekstraintestinal lainnya.

Pengobatan amubiasis
Berbagai obat amubisida dapat digunakan baik terhadap amubiasis usus
maupun amubiasis ekstraintestinal, yaitu metronidazole (obat pilihan),
nimorazole, ornidazole, tinidazole, seknidazole dan clefamid, yang diberikan per
oral. Emetin yang hanya dapat diberikan melalui suntikan telah ditinggalkan.
Antibiotika diberikan apabila amubiasis disertai infeksi sekunder.
Aspirasi abses dilakukan pada abses amubiasis hati, apabila lokasi abses
berada di dekat permukaan tubuh.

Pencegahan amubiasis
Karena penularan umumnya terjadi per oral, maka upaya pencegahan
ditujukan dengan memasak makanan dan minuman dengan baik.
Selain itu menjaga kebersihan agar lingkungan terbebas dari lalat dan
lipas serta tikus, dan diupayakan agar sistem pembuangan tinja dan limbah
rumah tidak mencemari sumber air minum atau sumur. Selain itu hendaknya
selalu berhati-hati pada waktu bekerja menangani hewan coba (terutama
primata) di laboratorium..
Khusus terhadap karier amubiasis, harus dilakukan upaya
menemukannya, agar dapat diobati sampai sembuh, sehingga tidak menjadi
sumber infeksi amubiasis bagi masyarakat sekitarnya.
Meningoensefalitis amuba

Meningoensefalitis oleh amuba banyak dilaporkan dari berbagai tempat di


seluruh dunia, pada orang yang berenang di kolam renang yang ada di rumah,
atau berenang di kolam air tawar yang panas airnya. Penyebabnya adalah
berbagai jenis amuba, terutama Naegleria fowleri. Selain itu Acanthamoeba dan
Entamoeba histolytica juga dapat menyebabkan penyakit ini, yang pada
umumnya berjalan kronis sehingga sukar didiagnosis.
Acanthamoeba adalah amuba yang hidup bebas di tanah dan air tawar atau
air payau yang hangat. Parasit ini mempunyai trofozoit berukuran antara 15-40 
sedangkan kistanya mempunyai ukuran garis tengah antara 10-25.
Naegleria fowleri merupakan organisme termofilik golongan ameboflagelata
yang hidup bebas di air tawar yang panas.
Gambar 34. Naegleria fowleri .

Penularan meningemsefalitis amuba


Infeksi dengan amuba meningoensefalitis ini diduga terjadi melalui
berbagai jalan masuk, oleh karena parasit-parasit penyebabnya adalah parasit
yang dapat hidup bebas di alam. Diduga kemungkinan besar infeksi terjadi
melalui saluran pernapasan pada waktu penderita berenang di air yang
bertemperatur hangat.

Diagnosis meningoensefalitis amuba


Keluhan awal yang umumnya disampaikan oleh penderita adalah gejala-
gejala yang terkait dengan radang hidung dan sakit tenggorokan, yang
kemudian diikuti oleh demam dan sakit kepala. Meningitis tampak secara klinis
dengan timbulnya gejala berupa muntah, kaku kuduk dan gangguan kesadaran
yang kemudian dapat diikuti oleh kematian penderita 1 minggu kemudian.
Pada pemeriksaan cairan serebrospinal yang diperiksa secara
mikroskopik, mungkin dapat ditemukan trofozoit amuba. Biakan cairan
serebrospinal atau inokulasi pada hewan dapat meningkatkan kemungkinan
ditemukannya parasit ini.

Pengobatan meningoensefalitis
Pengobatan meningoensefalitis yang disebabkan oleh amuba dilakukan
dengan memberikan amfoterisin B secara intravena, intrateka atau
intraventrikula. Pemberian obat ini dapat mengurangi angka kematian akibat
infeksi Naegleria fowleri, tetapi tidak berhasil mengobati meningoensefalitis yang
disebabkan oleh amoeba lainnya.

Pencegahan meningoensefalitis amuba


Amuba penyebab meningoensefalitis yang hidup di dalam kolam renang
dapat dimusnahkan dengan memberikan kaporit pada air kolam secara teratur.
Selain itu hendaknya dihindari berenang pada kolam air tawar yang mempunyai
temperatur di atas 250 Celsius untuk menghindari terjadinya kontak dengan
spesies amuba penyebab penyakit ini.

2. BALANTIDIOSIS

Balantidiosis disebabkan oleh Balantidium coli, parasit zoonosis yang


termasuk protozoa golongan Ciliata. Infeksi ini disebut juga ciliate dysenteri yang
merupakan gangguan usus dan disenteri.

Balantidium coli
Parasit ini hidup di dalam usus manusia, babi, anjing dan primata.
Balantidiosis dilaporkan dari banyak negara, terutama yang penduduknya
banyak memelihara babi.
Ciliata ini mempunyai 2 stadium, yaitu stadium trofozoit dan stadium kista.
Trofozoitnya berukuran panjang 60-70 mikron dan 40-50 mikron lebar, Di bagian
anterior terdapat cekungan yang disebut peristom di mana terdapat mulut
(sitostom). Parasit ini tidak mempunyai usus, tetapi mempunyai anus (cytopyge)
yang terdapat di bagian posterior tubuh.
Parasit ini mempunyai 2 inti, yaitu makronukleus yang berbentuk ginjal
dan mikronukleus berbentuk bintik kecil yang terdapat di bagian cekungan
makronukleus.
Kista parasit yang bulat bentuknya, berukuran diameter 50-60 mikron,
mempunyai dua lapis dinding kista.
Gambar 35. Balantidium coli , bentuk kista (kiri) dan trofozoit (kanan).

Penularan balantidiosis
Stadium kista maupun trofozoit dapat berlangsung pada satu jenis
hospes. Sumber utama penularan bagi manusia adalah babi yang merupakan
hospes definitif alami dan merupakan hospes reservoir bagi manusia yang
sebenarnya hanyalah hospes insidental.
Infeksi pada manusia terjadi akibat minum air atau makanan mentah yang
tercemar tinja babi yang mengandung kista infektif parasit ini.
Gambar 36. Siklus hidup Balantidium coli

Setelah tertelan, di dalam usus besar kista berubah menjadi bentuk


trofozoit. Di dalam lumen usus atau di dalam submukosa usus trofozoit tumbuh
dan berkembang memperbanyak diri dengan pembelahan sel (binary transverse
fission) atau secara konjugasi. Bila lingkungan di dalam usus kurang sesuai bagi
parasit, maka trofozoit akan berubah menjadi bentuk kista.

Gejala klinis balantidiosis


Pada usus besar, parasit menimbulkan ulserasi yang menimbulkan
perdarahan, dan pembentukan lendir yang dapat terlihat pada tinja penderita.
Pada infeksi akut penderita mengalami gejala klinis dan keluhan :
 Disenteri berat yang berdarah dan berlendir.
 Nyeri perut
 Kolik intermiten
Penderita tidak mengalami demam.
Infeksi kronis umumnya bersifat asimtomatis, meskipun kadang-kadang dijumpai
diare berulang diselingi terjadinya konstipasi .
Diagnosis pasti ditegakkan melalui pemeriksaan parasitologis atas tinja untuk
menemukan kista dan atau trofozoit parasit .

Pengobatan balantidiosis
Obat-obatan anti parasit dapat diberikan untuk memberantas B.coli yaitu
Iodoquinol yang diberikan selama 21 hari dan Metronidazol yang diberikan
selama 5 hari. Selain itu dapat diberikan juga Oksietrasiklin selama 10 hari.

Pencegahan balantidiosis
Penyebaran balantidiosis coli dapat dicegah dengan selalu menjaga
higiene perorangan dan kebersihan lingkungan agar tidak tercemar dengan tinja
babi. Memasak makanan dan minuman akan mencegah penularan parasit ini
pada manusia.
Peternakan babi harus ditempatkan jauh dari pemukiman penduduk dan
tidak mencemari saluran air untuk kebutuhan masyarakat. .

3. GIARDIASIS
Penyakit giardiasis disebabkan oleh Giardia lamblia atau Lamblia intestinalis,
atau Giardia intestinalis. Parasit ini tersebar kosmopolit di daerah tropis dan
subtropis.

Giardia lamblia

Protozoa usus ini hidup di dalam duodenum dan jejunum bagian atas,
dengan cara melekatkan diri pada bagian usus tersebut. Kadang-kadang parasit
ini dijumpai di dalam saluran empedu dan kandung empedu. G.lamblia
mempunyai dua bentuk, yaitu trofozoit dan kista. Kista berbentuk lonjong,
mempunyai 2-4 inti. Trofozoit yang panjangnya sekitar 14 mikron dan lebar 7
mikron berbentuk buah pir, dengan ujung anterior melebar dan membulat, dan
bagian posterior meruncing.

Gambar 37. Giardia lamblia Kista (kiri) dan trofozoit (kanan).

Bentuk tubuh parasit bilateral simetris dengan permukaan bagian dorsal


cembung, dan bagian ventral cekung. Parasit ini mempunyai 4 pasang flagel,
berukuran 12-15 mikron, dua aksostil dan dua inti. Kista mempunyai 4 buah inti.

Penularan giardiasis
Parasit ini ditularkan melalui makanan atau minuman yang tercemar
dengan tinja yang mengandung kista infektif parasit yang dibawa oleh lalat atau
lipas. Dalam waktu setengah jam kista berubah menjadi bentuk trofozoit.

Gambar 38. Siklus hidup Giardia lamblia

Di dalam duodenum trofozoit memperbanyak diri. Jika suasana dalam


duodenum tidak sesuai bagi kehidupannya, trofozoit masuk ke dalam saluran
empedu atau kandung empedu, dan berubah bentuk menjadi kista.

Patogenesis dan gejala klinis giardiasis


Pelekatan parasit di usus menggunakan batil isap (sucking disc)
menimbulkan gangguan penyerapan lemak sehingga menimbulkan berak lemak
(steatore). Toksin yang dihasilkan parasit dan iritasi serta kerusakan jaringan
usus menyebabkan terjadinya radang kataral, dan menimbulkan gejala dan
keluhan berupa demam, nyeri perut, gangguan perut di daerah epigastrium,
mual, muntah dan kembung. Selain itu penderita mengalami diare, sindrom
malabsorpsi vitamin A dan lemak serta anemia. Penderita juga mengalami reaksi
alergi terhadap parasit ini.
Anak-anak penderita giardiasis umumnya menunjukkan keluhan dan
gejala klinis yang lebih berat dibanding orang dewasa.

Diagnosis giardiasis

Infeksi ringan giardiasis umumnya jarang menimbulkan gejala klinis.


Pemeriksaan mikroskopik atas cairan duodenum dan tinja penderita dapat
menemukan kista atau trofozoit Giardia lamblia yang menentukan diagnosis pasti
giardiasis. Hasil pemeriksaan atas cairan duodenum lebih baik hasilnya daripada
pemeriksaan atas tinja penderita dan dapat ditemukan trofozoit parasit ini.. Pada
penderita tanpa gejala atau karier sering ditemukan kista parasit, sedang pada
penderita dengan diare akan banyak ditemukan trofozoit.

Pengobatan giardiasis

Berbagai obat anti parasit yang dapat diberikan adalah Metronidazole,


Ornidazole, Tinidazole, Nimorazole, dan Klorokuin.

Pencegahan giardiasis
Mengobati penderita dan karier giardiasis merupakan salah satu upaya
pencegahan, karena manusia merupakan sumber infeksi utama giardiasis.
Selain itu dicegah pencemaran makanan dan minuman dengan tinja
infektif oleh lalat, lipas atau tikus, dan memasak makanan dan minuman dengan
baik. Mencegah pencemaran air minum oleh tinja dengan membuat kakus yang
higienis, serta melarang pemakaian tinja segar untuk pupuk tanaman dapat
mencegah penyebaran giardiasis pada masyarakat.

ookista
tertelan
4. KRIPTOSPORIDIOSIS
Ookista
Berspora

Ookista
Tak berspora Kriptosporidiosis pada manusia dapat disebabkan oleh Cryptosporidium
parvum dan C. hominis, parasit yang termasuk protozoa zoonosis dari golongan
koksidia. Infeksi dengan C.parvum dilaporkan dari seluruh dunia, pada semua
golongan usia dari bayi sampai usia lanjut. Penyebaran banyak terjadi pada
penggunaan air minum yang tidak bersih, akibat lingkungan dan kebiasaan hidup
yang buruk pada populasi yang padat.

Cryptosporidium
Ookista berbentuk sferis, dengan diameter anatara 4-6 mikron,
mempunyai dinding tebal atau tipis. Ookista berdinding tipis mengadakan
ekskistasi di dalam tubuh hospes dan membentuk siklus hidup baru
(autoinfection), sedang ookista berdinding tebal dikeluarkan melalui tinja..

Gambar 39 . Cryptosporidium parvum


Penularan kriptosporidiosis
Infeksi terjadi dengan masuknya ookista parasit melalui mulut atau melalui
inhalasi. Ekskistasi terjadi dengan lepasnya sporozoit yang kemudian masuk ke
dalam sel epitel usus. Sesudah berkembang secara aseksual dan diikuti
reproduksi secara seksual yang membentuk mikrogamet dan makrogamet.
Sesudah terjadi fertilisasi akan terbentuk ookista yang mampu mengadakan
sporulasi di dalam tubuh hospes. Ookista yang berdinding tebal ini dapat
dikeluarkan bersama tinja penderita, tetapi dapat juga menimbulkan autoinfeksi.

Gejala klinis kriptosporidiosis


Akibat masuknya sporozoit ke dalam sel epitel usus akan terjadi
kerusakan atau kematian sel epitel usus. Proses keradangan menimbulkan atrofi
villi usus dan hiperplasi kripta.
Gejala utama kriptosporidiosis adalah diare cair lebih dari 20 liter per hari
Gejala dan keluhan lain adalah nyeri perut, mual, demam ringan, dehidrasi dan
berat badan yang menurun. Sebagian penderita tidak menunjukkan gejala klinis
maupun keluhan, tetapi penderita dengan kekebalan yang rendah atau
terganggu sistem imunnya, misalnya penderita HIV/ AIDS akan mengalami
gejala klinis yang berat.

Diagnosis kriptosporidiosis
Selain gejala klinis, diagnosis sporidiosis ditentukan dengan melakukan
pemeriksaan mikroskopis, pemeriksaan imunologis dan pemeriksaan biologi
molekuler.
Pewarnaan tinja penderita dengan pewarnaan tahan asam yang
dimodifikasi menunjukkan adanya ookista kriptosporidial. Pemeriksaan imunologi
atas anti- IgM, IgG dan IgA kriptosporidium dengan ELISA atau IFA (antibody
immunofluorescence assay) dapat membantu secara tidak langsung
menegakkan diagnosis kriptosporidiosis.
Pemeriksaan biologi molekuler dengan PCR (Polymerase Chain Reaction)
dan metoda deteksi DNA telah dikembangkan untuk diagnosis.
Pengobatan kriptosporidiosis
Belum ada pengobatan yang spesifik terhadap parasitnya. Karena infeksi
pada orang normal akan sembuh sendiri, hanya dilakukan terapi suportif disertai
penatalaksanaan cairan dan elektrolit pada diare yang berat.
Antibiotika misalnya spiramisin dan paromomisin dapat diberikan pada
immunocompromised patients , meskipun sering terjadi kekambuhan.

Pencegahan kriptosporidiosis
Selalu mencuci tangan sebelum makan dan sesudah merawat penderita
diare (manusia maupun hewan) sangat dianjurkan. Selain itu menjaga
kebersihan makanan dan minuman serta memasaknya sebelum dikonsumsi
merupakan pencegahan yang dianjurkan.
5. MALARIA

Malaria adalah penyakit infeksi menular yang masih menjadi masalah


kesehatan dunia. Lebih dari satu miliar orang hidup di daerah endemis malaria,
terutama di daerah tropis yang terletak antara 40 o Lintang Selatan dan 60o
Lintang Utara. Setiap tahun sekitar 2,5 juta orang meninggal dunia, terutama
anak-anak berumur di bawah lima tahun.

Penyebab malaria
Malaria pada manusia disebabkan oleh empat jenis Plasmodium, yaitu
Plasmodium vivax, Pl. falciparum, Pl. malariae dan Pl. ovale. Jenis malaria yang
ditimbulkan oleh empat jenis plasmodium tersebut menimbulkan malaria yang
berbeda pola demam maupun gejala-gejala klinik yang ditimbulkannya.
Plasmodium vivax menimbulkan malaria vivax, disebut juga malaria
tertiana benigna (jinak), sedang Pl. falciparum menimbulkan malaria falciparum
atau malaria tertiana maligna (ganas). Selain itu Pl..falciparum juga menimbulkan
malaria perniciosa dan Blackwater Fever. Pl. malariae menimbulkan malaria
malariae, dan Pl. ovale menimbulkan malaria ovale.
Gambar 40. Nyamuk Anopheles

Morfologi Plasmodium
Di dalam sel-sel parenkim hati, plasmodium didapatkan dalam bentuk
skizon preeritrositik yang untuk setiap jenis Plasmodium. berbeda ukuran dan
jumlah merozoit di dalamnya. Bentuk skizon preeritrositik belum pernah
ditemukan pada Pl. malariae.

Trofozoit. Bentuk trofozoit plasmodium dibedakan atas trofozoit muda dan


trofozoit lanjut. Pada Pl. vivax, trofozoit berbentuk cincin dan mengandung bintik-
bintik basofil, lalu trofozoit berbentuk amuboid yang mengandung bintik-bintik
Schuffner (Schuffner dots). Eritrosit yang terinfeksi tampak membesar. Pada
trofozoit lanjut, tampak adanya pigmen parasit, dan sering ditemukan lebih dari
satu parasit di dalam satu sel eritrosit (double infection).
Pada Pl. falciparum, trofozoit muda yang berbentuk cincin tampak berinti
dan sebagian sitoplasma berada di bagian tepi dari eritrosit (accole atau form
applique). Sering dijumpai infeksi lebih dari satu parasit dengan bintik kromatin
ganda. Trofozoit lanjut pada spesies ini mengandung bintik-bintik Maurer
(Maurer dots).
Pl. malariae mempunyai trofozoit muda berbentuk cincin, dengan eritrosit
yang terinfeksi tidak membesar. Trofozoit lanjut berbentuk pita (band-form) dan
tidak dijumpai bintik Schuffner.
Morfologi trofozoit Pl. ovale mirip trofozoit Pl. vivax, terdapat bintik
Schuffner dan pigmen. Eritrosit yang terinfeksi membesar ukurannya, dengan
bentuk tidak teratur serta bergerigi, yang merupakan ciri khas spesies ini.

Skizon. Setiap spesies Plasmodium mempunyai skizon yang berbeda ukuran


dan jumlah maupun susunan merozoitnya. Pada Pl. vivax, bentuk skizon teratur,
berukuran antara 9-10 mikron dan mengisi penuh eritrosit yang tampak
membesar. Susunan merozoit tampak tidak teratur. Pada Pl. falciparum, skizon
yang berukuran sekitar 5 mikron mengandung merozoit yang tidak teratur
susunannya. Eritrosit yang terinfeksi plasmodium ini tidak membesar ukurannya.
Skizon Pl. malariae berukuran sekitar 7 mikron, bentuknya teratur dan
mengisi penuh eritrosit yang terinfeksi. Merozoit berjumlah 8 buah, tersusun
seperti bunga (bentuk roset).
Pl. ovale mempunyai skizon berukuran 6 mikron, mengisi tigaperempat
bagian eritrosit yang agak membesar. Merozoit berjumlah delapan, dengan
susunan tidak teratur. Lihat gambar .

Gametosit. Pada Pl. vivax bentuk gametosit lonjong atau bulat, dengan eritrosit
yang membesar ukurannya, dan mengandung bintik-bintik Schuffner. Pada Pl.
falciparum, bentuk gametosit khas seperti pisang dengan ukuran panjang
gametosit lebih besar dari ukuran diameter eritrosit. Gametosit Pl. malariae
berbentuk bulat atau lonjong dengan eritrosit tidak membesar. Bintik Schuffner
terdapat pada eritrosit yang terinfeksi gametosit Pl. ovale yang lonjong
bentuknya. Eritrosit berukuran normal, agak membesar, atau sama besar dengan
ukuran gametosit.
Gambar 41 . Morfologi khas spesies Plasmodium

Penularan malaria
Penularan sporozoit malaria terjadi melalui gigitan nyamuk Anopheles
betina, yang berbeda spesiesnya sesuai dengan daerah geografisnya. Penularan
dalam bentuk aseksual (trofozoit) menimbulkan trophozoite-induced malaria,
yang dapat ditularkan melalui tranfusi darah (transfusion malaria), melalui jarum
suntik atau menular dari ibu ke bayi yang dikandungnya melalui plasenta
(congenital malaria).

Epidemi malaria
Malaria tersebar luas di seluruh dunia, baik di daerah tropis, subtropis
maupun daerah beriklim dingin. Di Indonesia malaria tersebar baik di Jawa-Bali
maupun di luar pulau lainnya. Untuk mengetahui tingkat endemisitas malaria di
suatu daerah, harus dilakukan pemeriksaan indeks limpa (spleen index, SI), dan
indeks parasit (parasite index, PI ). Selain itu harus diteliti nyamuk Anopheles
untuk menentukan angka infeksi (infection rate) dan kepadatan nyamuk
(mosquito density). Selain itu kehidupan sosial budaya penduduk dan lingkungan
hidup daerah endemis harus dipelajari dengan seksama.

Derajat endemisitas malaria. Menurut World Health Organization (WHO),


berdasar indeks limpa daerah malaria diklasifikasi atas empat tingkatan, yaitu :
Hipoendemis : indeks limpa antara 0 sampai 10 persen;
Mesoendemis : indeks limpa antara 11 sampai 50 persen;
Hiperendemis : indeks limpa selalu di atas 75 persen disertai tingginya
indeks limpa pada orang dewasa.
Holoendemis : indeks limpa selalu di atas 75 persen dengan indek
limpa pada orang dewasa adalah rendah. Hal ini
menunjukkan toleransi yang kuat orang dewasa
terhadap malaria.

Berbagai faktor berpengaruh pada epidemiologi malaria, yaitu adanya


sumber infeksi, baik berupa penderita maupun karier gametosit, adanya vektor
penular yaitu nyamuk Anopheles, dan terdapatnya manusia yang peka. Di
daerah endemis, penderita terutama anak-anak merupakan sumber infeksi yang
paling utama.
Faktor-faktor nyamuk Anopheles yang harus diperhatikan adalah adanya
tempat berkembang biak nyamuk (breeding places), panjangnya umur nyamuk,
dan efektifitas Anopheles dalam bertindak selaku vektor penular, serta dosis
sporozoit yang diinokulasi setiap kali mengisap darah penderita donor maupun
resipien.

Gejala klinis malaria


Masa inkubasi setiap jenis malaria berbeda-beda. Pada malaria vivax dan
malaria ovale inkubasi berlangsung antara 10 sampai 17 hari, pada malaria
falciparum antara 8 sampai 12 hari dan pada malaria malariae, masa inkubasi
berlangsung antara 21 dan 40 hari.
Malaria menunjukkan gejala-gejala yang khas, yaitu:
 Demam berulang yang terdiri dari tiga stadium: kedinginan (rigor) yang
berlangsung antara 20 menit sampai 1 jam, stadium panas badan (1-4
jam) dan stadium berkeringat banyak (2-3 jam).
 Splenomegali.
 Anemia yang disertai malaise.

Pola demam malaria. Siklus demam terjadi sesuai dengan saat terjadinya
skizogeni eritrositik pada masing-masing spesies Plasmodium.
Pada malaria tertiana, baik maligna maupun benigna, demam
berlangsung setiap hari ke-3 (siklus 48 jam) dan pada malaria malariae, demam
terjadi setiap hari ke-4 (siklus 72 jam). Siklus demam 24 jam dapat terjadi jika
terdapat pematangan 2 generasi Pl. vivax dalam waktu 2 hari (disebut tertiana
dupleks), atau pematangan 3 generasi Pl. malariae dalam waktu 3 hari ( disebut
kuartana tripleks).
o
C Berbagai gejala dan keluhan penderita dapat mengikuti stadium demam,
40 misalnya pada stadium rigor, penderita menggigil meskipun suhu badan
penderita di atas normal. Pada stadium panas kulit penderita menjadi kering,
39 muka penderita merah dan denyut nadi meningkat. Penderita juga mengeluh
pusing, mual, dan kadang-kadang muntah. Pada anak, demam tinggi dapat
38 menimbulkan kejang. Pada stadium berkeringat akibat keluarnya cairan yang
berlebihan, penderita merasa sangat lelah dan lemah.
37
Anemia pada malaria. Akibat pecahnya eritrosit yang berulang kali selama
36 terjadinya proses segmentasi parasit di dalam eritrosit, penderita mengalami
anemia hipokromik mikrositik atau anemia hipokromik normositik.

Pembesaran limpa. Salah satu gejala penting malaria adalah splenomegali


yang terjadi sesudah penderita mengalami beberapa kali serangan demam.
Limpa umumnya mulai teraba minggu kedua sejak terjadinya demam pertama.
Pada malaria primer, pembesaran limpa tidak jelas dan sukar ditentukan
pembesarannya. Ukuran pembesaran limpa penting pada penentuan derajat
endemi malaria suatu daerah.

Diagnosis malaria
Diagnosis pasti malaria ditetapkan jika ditemukan parasitnya. Pemeriksaan
darah tepi mudah dilakukan meskipun kadang-kadang Plasmodium sukar
ditemukan.
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan tetes tebal (thick-smear) atau
dengan hapusan darah (thin-smear). Tetes tebal dilakukan untuk menentukan
diagnosis malaria secara cepat, tetapi belum dapat ditentukan spesies parasit
Plasmodium. Hapusan darah dapat digunakan untuk menentukan spesies
parasit penyebab malaria.
Untuk membantu menegakkan diagnosis malaria terutama yang
konsentrasi parasit di dalam darahnya sangat rendah, dilakukan pemeriksaan
serologi atas darah tepi, misalnya tes prisipitin dan uji fiksasi komplemen.
Pemeriksaan darah penderita juga menunjukkan gambaran hemoglobin yang
menurun, lekosit normal atau menurun, trombosit menurun, aspartat amino
transferase meningkat, alanin amino transferase meningkat dan bilirubin yang
meningkat.

Pengobatan malaria
Obat anti malaria dapat dikelompokkan atas dua golongan, yaitu alkaloid
alami, misalnya kina dan antimalaria sintetik.
Obat antimalaria sintetik adalah 9-aminoakridin (mepakrin) misalnya
atabrin, kuinakrin, 4-aminokuinolin (klorokuin, amodiakuin), 8-aminokuinolin
(pamakuin, primakuin), biguanid (proguanil, klorproguanil) dan pirimidin
(pirimetamin). Obat antimalaria dapat diberikan dalam bentuk kombinasi
pirimetamin dan sulfadoksin yang dipasarkan sebagai fansidar.
Kina. Alkaloid alami ini dapat diberikan bersama-sama dengan primakuin
untuk mengobati malaria yang kambuh, malaria yang akut dan berat (diberikan
intravena) atau untuk mengobati malaria falciparum yang sudah resisten
terhadap klorokuin

Kekebalan (resistensi) terhadap obat anti malaria. Salah satu kendala dalam
memberantas dan mengendalikan malaria adalah terjadinya kekebalan parasit
malaria terhadap obat-obat anti malaria yang digunakan.
Suatu spesies Plasmodium dinyatakan masih peka (sensitif) terhadap
obat anti malaria tertentu, jika dalam waktu 7 hari pengobatan, parasitemi bentuk
aseksual telah menghilang tanpa diikuti kekambuhan (rekrudesensi). Parasit
yang masih sensitif ini dinyatakan Sensitif (S).
Jika telah terjadi resistensi parasit terhadap obat anti malaria, maka obat
malaria harus segera diganti dengan obat anti malaria lainnya, sedangkan
pengendalian malaria dilakukan dengan meningkatkan pemberantasan vektor
malaria yaitu nyamuk Anopheles.

Pencegahan malaria
Pencegahan malaria dilakukan terhadap perorangan maupun pada
masyarakat, yaitu :
 Mengobati penderita dan penduduk yang peka, yang berdiam di daerah
endemik.
 Mengobati karier malaria menggunakan primakuin, karena mampu
memberantas bentuk gametosit. Namun penggunaan obat ini tidak boleh
dilakukan secara masal karena mempunyai efek samping.
 Pengobatan pencegahan pada orang yang akan masuk ke daerah
endemis malaria
 Memberantas nyamuk Anopheles yang menjadi vektor penularnya dengan
menggunakan insektisida yang sesuai dan memusnahkan sarang-sarang
nyamuk Anopheles.
 Menghindarkan diri dari gigitan nyamuk dengan menggunakan kelambu
jika tidur, atau menggunakan repellen yang diusapkan malam hari pada
kulit badan jika berada di luar rumah pada malam hari.

Malaria pernisiosa
Malaria pernisiosa (pernicious malaria) adalah kumpulan gejala yang
terjadi akibat pengobatan malaria falciparum yang tidak sempurna, sehingga
menimbulkan kematian penderita dalam waktu satu sampai tiga hari sesudah
pengobatan.
Parasit Plasmodium falciparum menimbulkan aglutinasi eritrosit yang
terinfeksi sehingga pembuluh darah kapiler berbagai organ terbendung. Hal ini
disebabkan proses skizogoni eritrositik parasit terjadi di dalam pembuluh darah
kapiler organ. Akibatnya terjadi emboli parasit yang tidak mampu melewati
pembuluh kapiler. Selain itu bentuk trofozoit dan bentuk seksual parasit mudah
saling melekat dan juga melekat pada dinding kapiler. Pada malaria pernisiosa
selalu terjadi parasitemi berat, baik bentuk cincin maupun bentuk skizon.
Terdapat tiga bentuk klinik malaria pernisiosa, yaitu malaria serebral,
malaria algid dan malaria septikemik.
Malaria serebral terjadi akibat adanya kelainan otak yang menyebabkan
timbulnya gejala-gejala hiperpireksia, paralisis dan koma. Pada malaria algid,
akibat terjadinya kegagalan sirkulasi perifer, penderita mengalami kolaps dengan
gejala kulit lembab dan dingin. Pada malaria algid tipe gastrik kolaps disertai
muntah, diare pada tipe koleraik, dan berak darah pada tipe disenterik.
Gejala malaria septikemik adalah panas badan yang selalu tinggi, disertai
gejala pneumonia dan sinkop kardiak.

Blackwater Fever
Blackwater fever adalah bentuk malaria falciparum yang disertai hemolisis
intravaskuler, demam dan hemoglobinuria.
Blackwater fever sering terjadi pada penderita malaria falciparum dengan
keadaan :
1. Tidak memiliki kekebalan terhadap malaria (non imun) yang mendapatkan
terapi kina dengan dosis rendah.
2. Defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase, sehingga mudah mengalami
hemolisis eritrosit.
Selain itu faktor suhu rendah, lelah, trauma, ibu hamil, saat melahirkan dan
radiasi terhadap limpa mungkin berpengaruh atas timbulnya blackwater fever.

Patogenesis Blackwater Fever


Akibat terjadinya hemolisis intravaskuler, terjadi methemalbuminemia,
hiperbilirubinemia dan hemoglobinuria.
Berbagai organ mengalami perubahan, yaitu :
1. Ginjal membesar dan berwarna gelap karena terjadinya pembendungan
dan pigmentasi,
2. Hati membesar, melunak dan berwarna kuning karena terbentuknya
hemosiderin,
3. Kandung empedu terisi cairan empedu pekat berwarna hijau gelap,
4. Limpa membesar, berwarna hitam karena adanya pigmen hemozoin,
5. Hemosiderin banyak tertimbun di dalam hati, limpa dan ginjal.
Pada waktu terjadi krisis hemolitik, parasit idak dijumpai di dalam darah karena
turut dihancurkan oleh proses hemolisis. Satu minggu sesudah krisis hemolisis
berakhir, parasit dapat ditemukan di dalam darah perifer penderita.

Diagnosis Blackwater Fever


Pemeriksaan darah penderita menunjukkan adanya anemia normositik
dengan jumlah sel darah merah kurang dari 2 juta per mililiter, dan hemoglobin
kurang dari 10. Selama masa penyembuhan, tampak adanya retikulositosis dan
lekositosis netrofilik. Gambaran biokimia menunjukkan meningkatnya urea darah,
sedangkan kolesterol menurun dan haptoglobin sangat menurun.

Komplikasi blackwater fever


Tiga komplikasi utama blackwater fever adalah kegagalan faal ginjal
(uremia), kegagalan faal hati dan kolaps sirkulasi. Angka kematian blackwater
fever sekitar 20 sampai 25 persen, terutama disebabkan oleh gagal ginjal.

Pengobatan Blackwater Fever


Setiap penderita blackwater fever harus banyak beristirahat.
Keseimbangan cairan harus dijaga agar tak terjadi alkalosis, dan udem. Jika
diperlukan, air garam, plasma parenteral atau transfusi darah dapat diberikan
sesuai keadaan penderita. Jika terjadi gagal ginjal mendadak, dialisis oeritoneal
dapat diberikan, dan jika terjadi krisis hemolitik, berikan kortikosteroid.
Obat antimalaria harus diberikan dengan hati-hati. Klorokuin, pirimetamin
atau proguanil boleh diberikan, tetapi primakuin, kuinakrin, dan kina merupakan
kontraindikasi.
.

6. PNEUMONIA ATIPIK

Penyakit infeksi yang disebut juga sebagai interstitial plasmacellulair


pneumonia disebabkan oleh Pneumocystis carinii yang bersifat zoonotik..

Pneumocystis carinii
Bentuk parasit bulat atau lonjong mirip kista, berukuran 1 sampai 2
mikron, mempunyai 8 badan berinti satu (uninucleated bodies).
Gambar 42. Pneumonia atipik pada paru (Mevis research)

Penularan pnaumonia atipik


Manusia dan berbagai jenis hewan, misalnya anjing dan hewan mengerat
(roden) dapat bertindak selaku hospes parasit ini. Sporokista yang tertelan oleh
hospes, di dalam usus akan pecah, keluar sporozoit yang kemudian menembus
dinding usus, lali masuk ke dalam sel-sel endotel. Sesudah mengalami beberapa
kali proses skizogoni, merozoit yang terbentuk akan menyebar sampai ke ginjal,
tempat berlangsungnya proses sporogoni.
Patogenesis dan gejala klinik
Kelainan paru menyebabkan organ ini menjadi kenyal, dan udara
menghilang dari jaringan paru. Paru yang berwarna kelabu akan mengalami
penebalan septum alveolar disertai infiltrasi sel-sel lekosit, histiosit dan sel
plasma merupakan gambaran khas interstitial plasma cellulai pneumonia.
Paru menunjukan gambaran pecahan kaca (gound glass) yang berasal
dari eksudat alveolar yang mengadakan organisasi dan membentuk jaringan ikat.
Sesudah melewati masa inkubasi 20-30 hari, penderita mengeluh
hilangnya nafsu makan dan kelemahan badan, diikuti penurunan berat badan,
sesak napas yang makin memberat, batuk kering dan sianosis. Penderita
meninggal akibat terjadinya sumbatan alveoli dan bronkioli oleh eksudat.

Diagnosis pneumonia atipik


Napas cepat disertai gejala lainnya, akan dapat dipastikan penyebabnya
jika dapat ditemukan parasit dalam dahak penderita. Otopsi jaringan paru pada
penderita yang meninggal dunia akibat infeksi parasit ini dapat menemukan
parasit ini. Pemeriksaan radiologi dapat menunjukkan gambaran ground glass
yang khas.

Pengobatan dan pencegahan


Pneumonia atipik diobati dengan pentamidin intramuskuler yang diberikan
selama 14 hari. Selain itu dapat diberikan kina, emetin, atau trimetoprim-sulfa
metoksasol. Untuk menunjang pengobatan dapat diberikan antibiotika, oksigen,
dan perbaikan gizi penderita.
Kortikosteroid merupakan kontraindikasi.
Untuk mencegah penyebaran parasit ini, memasak semua makanan dan
memperbaiki lingkungan hidup harus dilakukan.

7. TOKSOPLASMOSIS

Penyakit zoonosis ini disebabkan oleh Toxoplasma gondii menyebabkan


penyakit toksoplasmosis pada manusia dan hewan. Parasit dapat menimbulkan
radang pada kulit, kelenjar getah bening, jantung, paru, mata, otak dan selaput
otak. Protozoa ini hidup intraseluler di dalam sel-sel system retikulo-endotel dan
sel parenkim manusia maupun hewan mamalia dan unggas terutama kucing.
Penyebaran toksoplasmosis bersifat kosmopolit di seluruh dunia.

Toxoplasma gondii
Parasit ini berdasar tempat hidupnya di dalam tubuh penderita
mempunyai 2 bentuk, yaitu bentuk intraseluler dan bentuk ekstraseluler.
Bentuk ekstraseluler parasit seperti bulan sabit yang langsing dengan
salah ujung runcing dan ujung lainnya tumpul, mempunyai ukuran sekitar 2x 5
mikron, dengan sebuah inti parasit yang terletak di bagian ujung yang tumpul
dari parasit.
Bentuk intraseluler bulat atau lonjong sehingga sulit dibedakan
morfologinya dari Leishmania.

Penularan toksoplasmosis
Di dalam tubuh hospes perantara, Toxoplasma terdapat dalam bentuk
aseksual. Penularan dari satu hewan penderita ke hewan lainnya terjadi sesudah
makan daging yang infektif. Bila kucing terinfeksi Toxoplasma, di dalam usus
kucing parasit akan berkembang biak, baik dalam bentuk siklus seksual
maupun siklus aseksual. Bentuk ookista akan keluar bersama tinja kucing. Bila
manusia tertelan ookista yang infektif, maka infeksi toksoplasmosis akan terjadi.
Gambar 43. Siklus hidup Toxoplasma gondii

Penularan toksoplasmosis
Penularan pada manusia dapat terjadi melalui dapatan (acquired) atau
secara kongenital dari ibu ke bayi yang dikandungnya.
Secara dapatan penularan yang dapat terjadi baik pada anak maupun
orang dewasa. Penularan dapat terjadi melalui makanan mentah atau kurang
masak yang mengandung psedokista (dalam daging, susu sapi atau telur
unggas), penularan melalui udara atau droplet infection (berasal dari penderita
pneumonitis toksoplasmosis) dan melalui kulit yang kontak dengan jaringan yang
infektif atau ekskreta hewan misalnya kucing, anjing, babi atau roden yang sakit.
Toksoplasmosis kongenital terjadi secara transplasental dari ibu penderita
toksoplasmosis. Jika penularan terjadi di awal kehamilan, akan terjadi abortus
pada janin, atau anak lahir mati. Jika infeksi terjadi pada bulan-bulan akhir
kehamilan, bayi dalam kandungan tidak menunjukkan kelainan, namun dua tiga
bulan pasca kelahiran, gejala-gejala klinik toksoplasmosis pada bayi mulai
terlihat. Penularan toksoplasmosis dari ibu ke anak dapat juga terjadi melalui air
susu ibu, jika ibu tertular parasit ini pada masa nifas (puerperium).

Patogenesis dan gejala klinis


Penyebaran parasit melalui aliran darah dapat mencapai berbagai organ,
misalnya otak, sumsum tulang belakang, mata, paru, limpa, hati sumsum tulang,
kelenjar limfe, otot jantung dan otot rangka.
Pada orang dewasa, gejala klinik toksoplasmosis tidak jelas dan tidak ada
keluhan penderita. Gejala toksoplasmosis yang jelas terjadi pada penderita yang
menderita toksoplasmosis kongenital karena luasnya kerusakan organ dan
sistem saraf penderita (bayi dan anak). Pada anak dan bayi yang terinfeksi ibu
hamil pada trimester terakhirm akan terjadi ensefalimielitis, kalsifikasi serebral,
korioretinitis, hidrosefalus atau mikrosefalus. Kelainan pada sistem limfatik yang
umumnya menyerang anak berusia 5-15 tahun, akan menyebabkan terjadinya
demam disertai limfadenitis.
Kelainan pada kulit menimbulkan ruam makulopapuler mirip demam tifus,
sedangkan pada paru dapat terjadi pneumonia interstitial. Pada jantung dapat
terjadi miokarditis, dan hati serta limpa dapat membesar.

Diagnosis toksoplasmosis
Diagnosis pasti ditetapkan sesudah dilakukan pemeriksan mikroskopik
histologis secara langsung atas hasil biopsi atau pungsi atau otopsi atas jaringan
penderita, pemeriksan atau jaringan berasal dari hewan coba yang dinokulasi
dengan bahan infektif.
Pemeriksaan laboratorium untuk menunjang diagnosis toksoplasmosis
dilakukan dengan uji serologi yaitu dengan Sabin-Feldman Dye test, Uji Fiksasi
Komplemen, Tes Hemaglutinasi tak langsung (IHA), Tes toksoplasmin, Uji
netralisasi antibodi dan uji ELISA. Parasit juga mungkin ditemukan pada
pemeriksaan langsung atas darah penderita, sputum, tinja, cairan serebrospinal,
dan cairan amnion. Inokulasi hewan coba dengan hasil biopsi organ atau
jaringan untuk menemukan parasitnya. Pemeriksaan darah tepi menunjukkan
gambaran limfositosis (lebih dari33% ), monositosis ( lebih dari7%). Juga
ditemukan sel mononuklir yang atipik. Pemeriksaan cairan serebrospinal
menunjukkan adanya xantokromia, protein yang meningkat dan jumlah sel juga
meningkat.

Pengobatan toksoplasmosis
Pengobatan antiparasit sebaiknya diberikan dalam bentuk kombinasi
yaitu Pirimetamin dengan Sulfadiasin. Selain obat kombinasi tersebut
toksoplasmosis dapat diobati dengan Spiramisin selama 3 sampai 4 minggu.
Jika terjadi toksoplasmosis mata, dapat diberikan prednisolon , vitamin B
compleks dan asam folat sebagai penunjang.

Pencegahan toksoplasmosis
Infeksi Toxoplasma gondii dapat dicegah dengan selalu memasak
makanan dan minuman, menghindari kontak langsung dengan daging atau
jaringan hewan yang sedang diproses, misalnya di tempat pemotongan hewan
dan penjual daging. Lingkungan hidup dijaga kebersihannya, terbebas dari
pencemaran tinja kucing atau hewan lainnya. Penderita terutama perempuan
yang dalam keadaan hamil atau yang menunjukkan IgM positif harus diobati
dengan baik. Hewan-hewan penderita toksoplasmosis juga harus segera diobati
atau dimusnahkan.
8. TRIKOMONIASIS VAGINALIS

Trikomoniasis yang disebabkan Trichomonas vaginalis penyebarannya


luas di seluruh dunia (kosmopolit) terutama banyak dijumpai pada wanita,
namun dapat juga diderita orang laki-laki. Parasit ini dapat ditemukan pada alat
genetalia maupun saluran kencing wanita dan laki-laki yang menderita
trikomoniasis.

Trichomonas vaginalis
Protozoa yang berbentuk piriform ini tidak berwarna, mempunyai satu inti
berbentuk lonjong yang mempunyai butiran halus. Terdapat empat flagel yang
sama panjang (13 -18 mikron) keluar dari badan bagian anterior, dan satu flagel
yang ukurannya lebih pendek daripada ukuran panjang parasit, berjalan ke arah
belakang di sepanjang tepi undulating membrane.
Gambar 44 . Trichomonas vaginalis
Patogenesis dan gejala klinis
Trikomoniasis pada penderita perempuan dapat dijumpai dalam bentuk
vaginitis, uretritis, vulvitis, dan servisitis. Pada pria, infeksi dapat terjadi pada
prostat, vesikel seminal, dan uretra. Derajat infeksi trikomoniasis umumnya
ringan, berupa pelunakan, keradangan dan erosi permukaan selaput lendir, yang
tertutup cairan berwarna kuning dan berbuih.
Pada perempuan gejala klinis berupa terbentuknya cairan vagina (fluor
albus), gatal dan panas di dalam vagina dan daerah sekitarnya. Pada penderita
pria, keluhan sangat sedikit, dan hanya 10 persen yang mengalami gejala klinis
berupa keluarnya cairan putih dari uretra.
Penularan parasit ini terjadi melalui kontak langsung, misalnya
persetubuhan, atau malalui kontak tidak langsung, misalnya karena
menggunakan bersama handuk, alat-alat toilet atau barang lainnya. Penularan
pada bayi dari ibu melalui jalan lahir dapat terjadi pada waktu proses persalinan.

Diagnosis trikomoniasis
Gejala klinis berupa rasa gatal dan panas di dalam vagina dan daerah
sekitar vagina disertai terjadinya fluor albus, menjadi tanda penting trikomoniasis.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya parasit yang aktif bergerak
pada sekret vagina. Jika pemeriksaan langsung sekret vagina tidak ditemukan
parasit, dapat dilakukan biakan sekret vagina, cairan uretra, cairan prostat atau
air mani untuk menemukan Trichomonas vaginalis.

Pengobatan dan pencegahan trikomoniasis


Metronidazol, tinidazol, seknidazol, nimorazol dan ornidazol merupakan
obat anti trikomoniasis yang diberikan sebagai dosis tunggal dengan hasil yang
memuaskan. Cara pemberian dan dosis obat-obat tersebut adalah sebagai
berikut:
Mengobati penderita dengan baik, menjaga kebersihan pribadi, dan tidak
memakai bersama alat-alat toilet, dapat mencegah penularan parasit ini.

4. PENYAKIT ARTROPODA

1. AKARIASIS

2. PEDIKULOSIS

3. SKABIES
PENYAKIT ARTROPODA

Artropoda dapat menjadi penyebab langsung penyakit bagi manusia, atau


menjadi penular berbagai mikroorganisme penyebab penyakit. Sebagai contoh
Sarcoptes scabiei adalah artropoda yang dapat secara langsung menimbulkan
penyakit skabies (scabies), suatu radang kulit pada manusia maupun pada
hewan..
Sebagai penular penyakit, artropoda dapat bertindak sebagai vektor yang
menularkan bibit penyakit atau berperan sebagai tuan rumah perantara (hospes
perantara, intermediate host). Beberapa jenis kumbang berperan sebagai
hospes perantara parasit cacing, sedangkan nyamuk Anopheles adalah vektor
penular Plasmodium yang menjadi penyebab malaria.
Artropoda sebagai penyebab langsung penyakit
Sebagai penyebab langsung penyakit, artropoda menimbulkan kelainan
jaringan atau organ manusia dan hewan, gangguan jiwa (entomofobi) atau
menimbulkan gangguan dan ketenangan hidup (annoyance). Kerusakan
jaringan misalnya dapat terjadi pada alat indera dan kerusakan kulit
(dermatosis). Beberapa artropoda mengisap darah tuan rumah tempatnya hidup
sehingga menimbulkan kehilangan darah (blood loss). Pada keadaan tertentu,
larva artropoda hidup dan menginvasi jaringan atau organ tubuh hospes yang
masih hidup, menimbulkan miasis. Beberapa jenis artropoda menghasilkan
racun (toxin) atau bahan alergen yang memicu terjadinya alergi pada hospes.

Entomofobi
Beberapa penderita mempunyai rasa takut yang berlebihan terhadap
serangga meskipun tidak berbahaya misalnya labah-labah dan lipas (kecoa),
sehingga menimbulkan gangguan jiwa dan kadang-kadang menyebabkan
halusinasi sensoris. Keadaan ini sering dijumpai pada wanita dan anak-anak.
Annoyance
Jika di dalam rumah banyak dijumpai lalat, nyamuk, lipas, atau serangga
pengganggu lainya, maka kenyamanan hidup penghuni rumah akan terganggu.
Hal ini bisa mengakibatkan kurang tidur, hilangnya nafsu makan atau akibat
lainnya, yang dapat mengganggu kesehatan penghuni rumah. Hewan-hewan
yang terganggu hidupnya, dapat mengalami penurunan produksi daging, susu
atau telurnya, dan bahkan dapat mati karenanya.

Kehilangan darah
Gigitan serangga penghisap darah, misalnya nyamuk, kutu busuk atau
caplak jarang menimbulkan kekurangan darah secara langsung, karena jumlah
darah yang dihisap serangga relatif sangat kecil jumlahnya. Pada hewan,
terutama bayi hewan yang masih tidak mampu mengusir serangga penghisap
darah misalnya caplak (ticks), dapat kehilangan darah dalam jumlah banyak
akibat banyaknya serangga parasitik yang mengisap darah. Sering terjadi bayi
anjing misalnya yang mati akibat tingginya infestasi caplak pada suatu saat,
sehingga terjadi anemia akut yang berat.

Kerusakan alat indera


Pengemudi kendaraan di malam hari sering mengalami kejadian
masuknya serangga ke dalam mata. Gosokan berulang pada mata dapat
mengakibatkan kerusakan mata yang tergores oleh bagian keras tubuh serangga
atau bagian yang tajam, misalnya kaki-kaki serangga yang berduri. Komplikasi
luka, misalnya infeksi sekunder dapat mengakibatkan gangguan penglihatan
atau bahkan kebutaan. Masuknya serangga ke dalam lubang telinga dapat
merusak alat pendengaran, mialnya gendang telinga, dan komplikasi yang berat
akibat infeksi di rongga telinga tengah dapat menimbulkan tuli atau kematian
akibat penyebaran infeksi ke otak.

Racun serangga
Banyak jenis serangga yang dapat menghasilkan racun yang
menimbulkan gangguan lokal maupun sistemik, yang ringan sampai berat,
bahkan kematian penderita. Lebah, kalajengking (scorpion), lipan (centipede),
labah-labah dan caplak dan berbagai serangga lainnya, dapat menghasilkan
racun yang dapat membunuh manusia terutama anak-anak. Racun serangga
dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan atau sengatan.
Dermatosis. Berbagai gangguan kulit dapat terjadi akibat gigitan atau infestasi
serangga. Gigitan nyamuk, kutu badan (Pediculus) dan kutu busuk (Cimex)
dapat menimbulkan iritasi kulit penderita yang menyebabkan nyeri atau gatal-
gatal. Berbagai jenis tungau (mites) yang menggali jaringan di bawah kulit dapat
menimbulkan iritasi yang berat yang disebut akariasis, misalnya pada penyakit
gudig (scabies).

Alergi
Penderita yang peka terhadap protein berupa tubuh serangga atau
ekskreta yang dikeluarkan oleh serangga tertentu dapat menimbulkan reaksi
alergi misalnya berupa gatal-gatal atau sesak napas. Penderita asma bronkiale
sering disebabkan oleh tungau (mites) yang terdapat dalam debu rumah (house-
dust mites ).

Miasis (myiasis)
Infestasi larva serangga terutama dari ordo Diptera di dalam organ atau
jaringan tubuh manusia atau hewan yang masih hidup disebut miasis. Luka kotor
terbuka yang tidak terawat dengan baik, akan menimbulkan bau busuk yang
menarik lalat untuk bertelur pada jaringan yang rusak, dan larva yang menetas
akan hidup pada organ atau jaringan rusak tersebut sehingga mengganggu
proses penyembuhan luka. Makanan kotor yang tercemar telur lalat jika tertelan
dapat juga menimbulkan miasis pada usus, karena larva lalat menetas di dalam
usus penderita.

Artropoda sebagai penular penyakit


Berbagai jenis serangga dapat menularkan penyakit-penyakit yang
merupakan masalah kesehatan dunia. Malaria, demam berdarah, pes, demam
tifoid, dan banyak penyakit lainnya ditularkan oleh serangga.
Sebagai penular penyakit, serangga dapat bertindak sebagai vektor penular
yang aktif menyebarkan bibit penyakit, atau bertindak secara pasif sebagai
hospes perantara (intermediate host).

a. Artropoda sebagai vektor penular


Sebagai vektor, artropoda secara aktif memindahkan mikroorganisme
penyebab penyakit dari penderita pada orang lain yang sehat. Penularan terjadi
secara mekanik atau secara biologik. Pada penularan secara mekanik, artropoda
disebut sebagai vektor mekanik. Pada penularan secara mekanik,
mikroorganisme yang ditularkan selama berada pada tubuh vektor tidak
mengalami perubahan, baik jumlahnya maupun bentuk morfologinya. Pada
penularan biologik, di dalam tubuh artropoda yang bertindak selaku vektor
biologik, mikroorganisme yang ditularkan hanya mengalami perubahan bentuk
atau perubahan jumlah (karena berkembang biak dalam tubuh artropoda), atau
mengalami perubahan bentuk maupun jumlahnya.

Vektor mekanik. Artropoda yang bertindak selaku vektor mekanik (mechanical


vector), hanya membawa mikroorganisme penyebab penyakit yang berasal dari
penderita (bahan infektif dapat berupa muntahan, tinja, atau bahan lain yang
berasal dari penderita) lalu mencemari makanan atau minuman yang ditelan oleh
orang sehat. Selama di dalam tubuh artropoda, mikroorganisme penyebab
penyakit tidak mengalami perubahan bentuk maupun jumlahnya. Sebagai contoh
adalah lalat rumah (Musca domestica) yang bertindak sebagai vektor mekanik
dalam menularkan amubiasis. Selama melekat pada badan lalat, kista amuba
(stadium infektif) tetap berbentuk kista tidak berubah menjadi trofozoit dan
jumlahnya tidak bertambah banyak.

Organisme penyakit yang ditularkan oleh artropoda


Artropoda penular penyakit umumnya hidup berdekatan dengan manusia,
hidup parasitik pada vertebrata yang dipelihara manusia, dan hidupnya sangat
tergantung pada manusia atau hewan yang menjadi hospesnya tersebut.
Mikroorganisme yang dapat ditularkan oleh artropoda adalah protozoa, cacing,
jamur, bakteria, riketsia, dan virus. Contoh-contoh dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.

Tabel 1 . Mikroorganisme, penyakit dan vektor penularnya

Mikroorganisme Penyakit Vektor penular


PROTOZOA
Entamoeba histolytica Amubiasis Musca, Blattidae
Plasmodium Malaria Anopheles
Trypanosoma gambiense Penyakit tidur Glossina
Leishmania Leismaniasis Phlebotomus

CACING
Ascaris lumbricoides Askariasis Musca, Blattidae
Brugia malayi Filariasis malayi Mansonia
Wuchereria bancrofti Filariasis bancrofti Culex fatigans

BAKTERIA
Enterobacteriaceae Enteritis Musca, Blattidae
Bacillus anthracis Antraks Tabanus
Yersinia pestis Pes Xenopsylla cheopis
Borrelia recurrentis Relapsing fever Ticks
Aspergillus Jamur sistemik Musca, Blattidae

RIKETSIA
Rickettsia prowazekii Louse-borne typhus Pediculus humanus
Rickettsia mooseri Murine typhus Pinjal (flea)
Rickettsia akari Rickettsial pox Ticks
Rickettsia tsutsugamushi Scrub typhus Trombicula mites

VIRUS
Poliovirus Polio Musca, Blattidae
Coxsackie virus (*) Muscidae
Echovirus (*) Muscidae
Dengue virus Dengue fever Aedes
Yellow fever virus Yellow fever, Kyasanus Aedes aegypti
Kyasanur forest virus forest disease Ticks

(*) penyakit yang ditimbulkan tergantung pada tipe virus penyebabnya

1. AKARIASIS
Akariasis adalah infestasi oleh artropoda, yaitu caplak (ticks) dan tungau
(mites) yang dapat menimbulkan kelainan lokal maupun gangguan sistemik.

Gambar 45. Caplak (ticks)


Soft ticks (kiri) hard ticks (kanan)

Caplak (ticks). Caplak termasuk ordo Acarina yang tubuhnya terdiri dari
segmen abdomen dan segmen sefalotorak yang telah mengalami fusi
menjadi satu sehingga bentuk badannya mirip kantung. Caplak dapat dilihat
dengan mata tanpa alat pembesar, kulit badannya tebal tidak tembus sinar.
Mulut ticks mudah dilihat dengan sejumlah gigi untuk menggigit.
Ticks dewasa dan stadium nimfa mempunyai 4 pasang kaki, sedangkan larva
hanya mempunyai 3 pasang kaki.

Tungau (mites). Morfologi tungau mirip caplak, namun ukurannya sangat


kecil sehingga baru dapat dilihat mata dengan bantuan alat pembesar atau
mikroskop. Biasanya tungau mempunyai rambut badan yang panjang, kulit
yang tembus sinar, dan mulut sukar terlihat yang umumnya tidak bergigi.
Gambar 46. Trombicula . (a) Tungau dewasa , (b) Larva

Penularan akariasis
Akariasis dilaporkan dari seluruh dunia karena manusia dan berbagai
jenis hewan dapat menjadi tuan rumah tempat hidup artropoda ini.

Gejala klinis akariasis


Akibat gigitan ticks penderita dapat mengalami kelumpuhan saraf (ticks
paralysis ), kelainan kulit dan anemia ( yang hanya terjadi pada hewan).
Kelumpuhan saraf pada penderita manusia umumnya terjadi pada anak
berumur di bawah 10 tahun, sedangkan gangguan kulit dapat terjadi akibat
gigitan caplak dan tungau atau infestasi oleh tungau (misalnya skabies).
Tungau dapat menular dari hewan ke manusia, misalnya skabies anjing,
kucing dan sapi dapat menular ke manusia melalui kontak langsung dengan
hewan yang sakit.

Diagnosis akariasis
Dasar diagnosis akariasis umumnya berdasar pada gejala klinis yang
timbul. Kelumpuhan saraf akibat gigitan ticks dapat menimbulkan gejala
berupa letargi, gangguan koordinasi dan paralisis ringan. Gigitan caplak
Ornithodoros dapat menimbulkan ekimosis lokal dan ulserasi di tempat
gigitan disertai rasa lemah seluruh anggota badan. Beberapa jenis caplak
gigitannya dapat menyebabkan eritama, alopesia atau granuloma.
Tungau Trombiculidae dan Sarcoptes dapat menimbulkan kelainan kulit
dalam bentuk vesikula, papula yang disertai rasa gatal yang sangat.
Penyebab pasti akariasis ditentukan melalui pemeriksaan mikroskopis
langsung atas ektoparasit penyebabnya.

Pengobatan dan pencegahan akariasis


Jika terjadi gigitan caplak, maka caplak harus dilepaskan pelan-pelan dan
hati-hati, dengan menetesi badan ticks dengan bahan iritan misalnya eter,
jodium, kloroform atau benzena. Caplak dan tungau dapat diberantas
dengan insektisida yang sesuai, sedangkan skabies diobati dengan salep
belerang atau emulsi benzoas benzilikus.
Untuk mencegah penularan akariasis, caplak dan tungau harus diberantas
dari lingkungan pemukiman manusia dengan menggunakan insektisida.
Kontak dengan hewan penderita akariasis harus dihindari dan hewan sakit
harus diobati. Lingkungan hidup harus dijaga kebersihannya agar tidak
menjadi tempat hidup caplak dan tungau.
2. PEDIKULOSIS

Pedikulosis disebabkan oleh ektoparasit yang hidup parasitik pada


manusia adalah famili Pediculidae yang termasuk dalam ordo Anoplura. Tiga
spesies penting yang hanya hidup parasitik pada manusia adalah Pediculus
humanus capitis, P.humanus corporis dan Phthirus pubis. Ektoparasit ini tersebar
luas di seluruh dunia, terutama di daerah beriklim dingin yang penduduknya
sering berpakaian tebal, jarang mandi dan kurang menjaga kebersihan
badannya. Penyakit pedikulosis yang ditimbulkannya mudah ditularkan melalui
hubungan langsung antar individu, atau melalui benda-benda pribadi yang
digunakan bersama-sama, misalnya topi, pakaian dalam, dan sisir. Phthirus
pubis sering ditularkan melalui hubungan kelamin. Pada suhu 5 0 Celcius Phthirus
pubis mampu hidup dua hari tanpa makan, sedang Pediculus humanus dapat
bertahan hidup sepuluh hari. Pada suhu 40 0 Celcius, semua parasit dewasa
spesies tersebut akan mati, tetapi telurnya masih dapat hidup selama 15 menit
pada suhu 600 Celcius.

Morfologi. Anoplura mempunyai 3 pasang kaki yang ujungnya berkait untuk


melekatkan diri pada rambut hospes. Di belakang antena yang terdiri dari 5
segmen terdapat satu pasang mata yang kecil ukurannya. Telur parasit yang
berwarna putih dan berbentuk lonjong ini mempunyai penutup telur (operkulum).
Telur juga berperekat sehingga telur mampu melekat erat pada rambut. Dalam
satu hari, seekor betina bertelur sebanyak 6 sampai 9 butir.

Pediculus humanus bentuk tubuhnya memanjang, dengan batas ruas


yang jelas, dengan ujung posterior meruncing. Pediculus humanus capitis bentuk
tubuhnya sangat mirip dengan P.humanus corporis sehingga sukar dibedakan,
kecuali dari ukuran panjang badannya. Pediculus humanus corporis panjang
badannya antara 2-4 mm, P.humanus capitis antara 1-2 mm. Bentuk kepala
Pediculus humanus ovoid dan bersudut, sedang semua kakinya berukuran sama
besar.
Phthirus pubis yang bentuk tubuhnya bulat seperti kura-kura, ukuran
panjang tubuhnya antara 0.8 sampai 1.2 mm, dengan kepala yang berbentuk
segi empat. Ruas-ruas abdomen parasit ini tidak jelas batasnya. Ciri khas kaki-
kaki Phthirus pubis adalah pada pasangan kaki pertama yang lebih kecil dari
pada pasangan kaki kedua dan ketiga.

Gambar 47. Morfologi Pediculus humanus dan Phthirus pubis.

Gejala klinis dan diagnosis pedikulosis


Infestasi Anoplura pada manusia disebut pedikulosis. Gigitan parasit
menimbulkan iritasi kulit yang terjadi akibat air liur yang dikeluarkan pada waktu
mengisap darah mangsanya. Iritasi kulit dapat berlangsung selama beberapa
hari. Akibat gigitan parasit, terbentuk papul berwarna merah yang terasa sangat
gatal. Kulit membengkak dan berair. Infestasi berulang menyebabkan terjadinya
pengerasan kulit disertai pigmentasi. Keadaan ini disebut morbus errorum atau
vagabond’s disease. Jika akibat garukan terjadi infeksi sekunder, akan timbul
pustula, krusta atau proses pernanahan. Penderita dapat terganggu tidurnya dan
mengalami depresi mental.
Diagnosis pedikulosis diarahkan jika klinis terjadi rasa gatal disertai bekas
garukan, dan diagnosis pasti dapat ditegakkan jika ditemukan parasit dewasa
atau telurnya.

Pengobatan dan pencegahan pedikulosis


Pengobatan pedikulosis ditujukan untuk mengobati rasa gatal dan terhadap
parasitnya dapat diberikan insektisida atau benzoas benzylicus emulsion.
1. Pediculus humanus corporis:
DDT bedak 10% dalam pyrophyllite untuk badan,
Benzena Hexa Chloride (BHC) bentuk debu 1% (dust) diberikan 2 minggu
satu kali atau bubuk Malathion 1% , untuk badan.
Untuk parasit pada pakaian, dilakukan desinfeksi pakaian dengan
merebusnya atau memasukkannya ke dalam otoklaf suhu 60 0 Celcius
selama 15 menit, atau dilakukan fumigasi menggunakan gas metil
bromida.
2. Pediculus hominis capitis. Dapat diberikan insektisida, yaitu salep
Lindane (BHC) 1%, atau bedak DDT (10%), atau bedak BHC 1% dalam
prophyllite, atau diobati dengan Benzoas Benzylicus Emulsion.
3. Phthirus pubis. Salep lindane atau bedak DDT 10% dapat diberikan.
Jika terjadi infeksi pada bulu mata dapat diberikan oksida kuning air raksa.

Mengobati penderita dengan baik akan mencegah penularan pedikulosis oleh


penderita yang menjadi sumber infeksi. Selain itu harus dihindari kontak
langsung dengan penderita, bila perlu penderita diisolasi, misalnya pada
penderita skabies.

Penyakit yang ditularkan oleh Anoplura


Hanya Pediculus humanus corporis yang dapat menjadi vektor penular
penyakit :
1. Epidemic typhus (typhus fever). Infeksi Rickettsia prowazekii ini
ditularkan melalui kontaminasi luka gigitan ektoparasit yang tercemar tinja
atau koyakan badan ektoparasit yang infektif. Pada penularan epidemic
typhus ini, manusia merupakan sumber penularan dalam bentuk
asymptomatic carrier.
2. Epidemic relapsing fever. Penyakit yang disebabkan oleh Borrelia
recurrentis ini dapat menular dengan cara seperti penularan typhus fever.
Pediculus humanus corporis yang terinfeksi Borrelia akan tetap infektif
selama hidupnya.
3. Trench fever. Riketsiosis oleh Rickettsia quintana ini ditularkan melalui
gigitan ektoparasit yang infektif atau melalui luka lecet yang tercemar tinja
ektoparasit yang infektif. Satu kali Anoplura terinfeksi riketsia, ektoparasit
ini akan tetap infektif seumur hidupnya.
3. SKABIES

Skabies adalah infeksi kulit yang disebabkan oleh sarcoptes scabiei


tungau (mite) berukuran kecil yang hidup di dalam kulit penderita. Tungau yang
tersebar luas di seluruh dunia ini dapat ditularkan dari hewan ke manusia dan
sebaliknya.

Sarcoptes scabiei
Tungau ini berukuran antara 200-450 mikron, berbentuk lonjong, bagian
dorsal konveks sedangkan bagian ventral pipih.

Gambar 48. Parasit Sarcoptes scabiei (kiri); Skabies (kanan).


(Univ.Iowa,College of Medicine)

Penularan skabies
Skabies ditularkan dari seorang penderita pada orang lain melalui kontak
langsung yang erat, misalnya dari ibu ke anak bayinya, antara anggota keluarga,
dan antara anak-anak penghuni panti asuhan yang tidur bersama-sama di satu
tempat tidur.
Anjing dan kucing penderita skabies yang hidup di dalam rumah dapat
menjadi sumber penularan yang penting bagi keluarga yang memeliharanya.
Diagnosis skabies
Gejala klinis yang menjadi dasar diagnosis skabies adalah rasa gatal yang
hebat, yang terutama terjadi pada malam hari. Lokasi kelainan kulit yang sering
dijumpai adalah di daerah sela-sela jari tangan dan kaki, ketiak, daerah
umbilikus, dan sekitar puting susu.
Infeksi sekunder sering terjadi berupa radang kulit bernanah (piodermi).
Keerokan kulit yang diperiksa di bawah mikroskop akan menunjukkan adanya
parasit yang spesifik bentuknya.

Pengobatan skabies
Parasit dapat diberantas dengan emulsi benzoas bensilikus 25%, gamma
bensen heksaklorida 1% atau monosulfiram 25%.
Antibiotika diberikan jika terjadi infeksi sekunder oleh kuman, dan
antihistamin diberikan untuk mengatasi gatal-gatal hebat yang dikeluhkan oleh
penderita.

Pencegahan skabies
Penderita sebagai sumber infeksi harus diobati dengan sempurna. Kontak
dengan penderita, baik manusia maupun hewan harus dihindari. Selain itu selalu
menjaga kebersihan badan dengan mandi dua kali sehari dengan sabun secara
teratur serta menjaga kebersihan, mencuci dan merendam dalam air mendidih
alas tidur dan alas bantal yang digunakan penderita.
5
PENYAKIT BAKTERIAL

1. AKTINOMIKOSIS
2. ANTRAKS
3. DEMAM TIFOID
4. DIFTERI
5. DISENTERI BASILER
6. GONORE
7. KAMPILOBAKTERIOSIS
8. KLOSTRIDIOSIS PERFRINGENS
9. KOLERA
10. LEPRA
11. LEPTOSPIROSIS
12. LYMPHOGRANULOMA VENEREUM
13. PERTUSIS
14. PES
15. SIFILIS
16. STAFILOKOKOSIS
17. STREPTOKOKOSIS
18. TETANUS
19. TUBERKULOSIS

1. AKTINOMIKOSIS

Aktinomikosis adalah penyakit menular supuratif kronis yang disebabkan


oleh Actinomyces israelii yang sebenarnya adalah flora normal mulut manusia.
Organisme ini menimbulkkan penyakit apabila masuk ke dalam jaringan dan
bekerja sama dengan kuman filamentus anaerob lainnya misalnya Arachnia.

Actinomycetes
Actinomycetes adalah kuman filamentous yang bentuknya mirip jamur,
tumbuh bercabang-cabang namun sering terputus-putus sehingga bentuknya
menyerupai bakteri yang bersifat Gram-positif. Sebagian besar organisme ini
hidup bebas di tanah, namun ada yang hidup dengan sedikit udara (mikro
aerofilik) atau hidup tanpa udara (anaerob) di dalam rongga mulut (misalnya
Actinomyces). Spesies Nocardia dan Streptomyces yang bersifat aerob dan
hidup di dalam tanah dapat menimbulkan penyakit pada manusia maupun
hewan.
Actinomyces mempunyai bentuk seperti butiran belerang (sulphur
granule) bersifat Gram-positif, terdiri dari koloni filamen miselium yang
bercabang mirip huruf V atau Y. Pada proses penggerusan, filamen terputus-
putus sehingga bentuknya mirip kokus atau batang. Pada biakan medium
tioglikolat , Actinomyces israelii tumbuh seperti bola menyerupai rambut.
Penyebaran aktinomikosis
Actinomyces israelii yang berasal dari flora normal selaput lendir mulut
penderita sendiri biasanya menyebar secara endogen. Tidak terjadi penularan
dari seorang penderita pada orang lain.

Gejala klinis aktinomikosis


Aktinomikosis mula-mula menunjukkan adanya pembengkakan jaringan
yang keras dan berwarna merah, yang terjadi secara perlahan-lahan.
Pembengkakan tidak menimbulkan rasa nyeri. Pembengkakan kemudian
menjalar ke arah permukaan jaringan, membentuk saluran-saluran sinus yang
mengeluarkan cairan, dan bersifat menahun. Kerusakan terus berlanjut,
menyebar luas bersambungan dan biasanya tidak melalui aliran darah.
Aktinomikosis umumnya terjadi di wajah, leher, lidah atau mandibula.
Aktinomikosis yang terjadi di paru-paru sering disertai pembentukan abses atau
empiema. Aktinomikosis abdominal dapat terjadi di sekum, apendiks, dan organ
di daerah pelviks dapat menyebabkan terjadinya fistula multipel yang selalu
mengeluarkan cairan.

Diagnosis aktinomikosis
Diagnosis pasti ditetapkan jika ditemukan organisme penyebabnya,
dengan memeriksa di bawah mikroskop cairan atau nanah dari lesi jaringan,
saluran sinus, fistula dan dahak serta bahan biopsi jaringan yang terserang. Di
dalam bahan yang diperiksa dapat ditemukan granul belerang yang khas
bentuknya.pembiakan bahan-bahan tersebut pada medium tioglikolat lebih
memperkuat diagnosis.
Gambar 49. Aktinomikosis pada rahang

Pengobatan dan pencegahan aktinomikosis


Antibiotika misalnya penisilin dengan dosis 5-10 juta unit perhari yang
diberikan dalam jangka panjang dapat menyembuhkan aktinomikosis sebagian
besar penderita. Tetrasiklin dan eritromisin juga dapat digunakan mengobati
aktinomikosis.
Pembedahan dilakukan untuk mengeluarkan nanah dan cairan jaringan,
namun jaringan yang sudah rusak sukar dipulihkan fungsinya.
Perawatan gigi dan rongga mulut, mencegah trauma pada selaput lendir
rongga mulut, menghindari makanan keras yang mudah menyebabkan luka
dapat mencegah aktinomikosis.
2. ANTRAKS

Penyakit antraks (anthrax) adalah penyakit zoonosis yang tersebar luas di


seluruh dunia, terutama di daerah tropis dan subtropis. Penyebab penyakit akut
yang banyak menimbulkan kematian ini adalah Bacillus anthracis yang dapat
menyerang manusia maupun hewan.

Morfologi
Bacillus anthracis adalah kuman bersifat Gram positif yang membentuk
spora dan tidak tahan asam. Kuman berukuran 4-8 mikron x 1-1,5 mikron terlihat
sebagai batang tunggal atau tersusun seperti rantai pendek. Jika dibiakkan
dalam medium buatan, kelompok kuman membentuk rantai mirip batang bambu
yang khas bentuknya.

Penularan antraks
Di dalam tanah, kuman antraks membentuk spora yang tahan terhadap
suhu tinggi sinar matahari, tahan kekeringan, dan tahan terhadap desinfektan.
Spora tetap hidup selama bertahun-tahun di dalam tanah, di dalam air, di antara
rambut hewan (wol), dan kulit.
Antraks ditularkan secara langsung, masuk ke dalam kulit yang luka atau
lecet, atau melalui folikel rambut. Penderita akan mengalami antraks kulit. Spora
yang berada di tanah yang tertelan atau terhirup melalui udara pernapasan dapat
menyebabkan infeksi antraks. Karena itu penyakit antraks sering diderita oleh
pekerja rumah potong hewan, pengolah kulit hewan, penyortir wol, petani dan
peternak serta dokter hewan atau perawat hewan yang berhubungan dengan
hewan sakit antraks atau yang mati karena antraks.
Antraks usus (intestinal anthrax) terjadi karena makan daging mentah
atau kurang matang berasal dari hewan yang sakit antraks, atau tertelan spora
antraks yang mencemari makanan atau minuman. Sedangkan antraks paru
(wool sorter disease) terjadi bila spora antraks terhirup melalui udara
pernapasan.

Diagnosis
Antraks kulit. Pada antraks kulit penderita menunjukkan tanda khas pada
kulit berupa terbentuknya pustula maligna. Mula-mula kulit melepuh berisi cairan,
kemudian jaringan kulit mengalami nekrosis yang berwarna hitam, yang disebut
eschar. Antrak kulit dapat sembuh dengan sendirinya atau menular melalui darah
(septikemi) yang dapat membahayakan jiwa penderita.
Gambar 50. Antraks kulit

Antraks usus. Penderita mengalami radang usus (enteritis) dengan


gejala klinis berupa diare berdarah yang banyak menyebabkan kematian
penderita.
Antraks paru. Kuman antraks dapat menyebar ke organ-organ lain
sehingga menimbulkan komplikasi. Penyebaran ke selaput otak menimbulkan
meningitis hemoragik.
Untuk menegakkan diagnosis pasti antraks, harus dilakukan pemeriksaan
laboratorium bakteriologis untuk menemukan basil antraks. Pemeriksaan
mikroskopis dilakukan atas eksudat, dahak atau cairan lainnya dengan cara
pewarnaan Gram atau pewarnaan polikrom biru untuk menunjukkan adanya
kapsul di sekeliling kuman antraks.
Selain itu dapat dilakukan biakan kuman pada lempeng agar nutrien atau
dilakukan uji hewan coba menggunakan marmot yang mati 36-48 jam sesudah
disuntik dengan bahan eksudat kulit atau kuman hasil biakan untuk memastikan
diagnosis penyakit antraks.
Untuk membantu memperkuat diagnosis antraks dapat dilakukan uji serologi
presipitasi ( Ascoli test) dan pemeriksaan darah yang menunjukkan gambaran
leukositosis jika telah terjadi kerusakan jaringan.
Pengobatan
Pemberian antibiotika, misalnya penisilin, tetrasiklin dan streptomisin cukup
efektif untuk mengobati penyakit antraks. Jika penderita mengalami toksis berat
dapat diberikan serum Scalvo.

Pencegahan
Untuk mencegah penyebaran antraks yang bekerja di industri pengolahan
peternakan, ruang kerja harus bebas debu. Produk wol dan rambut berasal dari
daerah endemis antraks harus disucihamakan dengan larutan 10% formalin atau
5% alkali. Semua hewan mati dan hewan sakit antraks harus dimusnahkan
dengan mengubur atau membakarnya.
Vaksinasi hewan ternak harus dilakukan di daerah wabah, disertai
imunisasi terhadap pekerja yang berisiko tinggi tertular antraks dengan
menggunakan vaksin yang bebas sel.

3. DEMAM TIFOID

Penyakit infeksi usus yang disebut juga sebagai Tifus abdominalis atau
Typhoid Fever ini disebabkan oleh kuman Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi A, B dan C. demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting
di Indonesia maupun di daerah-daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia.

Morfologi kuman
Salmonella typhosa adalah bakteri berbentuk batang yang pada pwarnaan
bersifat Gram-negatif. Kuman ini mempunyai ukuran panjang 1-3,5 mikron, tidak
membentuk spora, tetapi mempunyai flagel peritrikh.

Gambar 51. Salmonella typhi

Penularan demam tifoid


Penularan demam tifoid terjadi melalui makanan atau minuman yang
tercemar Salmonella typhosa atau Salmonella pratyphosa yang terdapat di
dalam air, es, debu maupun benda lainnya. Kuman tifoid dapat berasal dari
karier demam tifoid yang merupakan sumber penularan yang sukar diketahui
karena mereka tidak menunjukkan gejala-gejala sakit.

Diagnosis penyakit
Untuk menegakkan diagnosis demam tifoid, dapat ditentukan melalui tiga
dasar diagnosis, yaitu berdasar diagnosis klinis, diagnosis mikrobiologis, dan
diagnosis serologis.
Diagnosis klinis. Gambaran klinis klasik yang sering ditemukan pada penderita
demam tifoid dapat dikelompokkan pada gejala yang terjadi pada minggu
pertama, minggu kedua, minggu ketiga dan minggu keempat.
 Minggu pertama. Demam tinggi lebih dari 40 0C, nadi lemah bersifat
dikrotik, denyut nadi 80-100 per menit.
 Minggu kedua. Suhu badan tetap tinggi, penderita mengalami delirium,
lidah tampak kering mengkilat, denyut nadi capat. Tekanan darah
menurun dan limpa teraba.
 Minggu ketiga. Keadaan penderita membaik jika suhu menurun, gejala
dan keluhan berkurang.
Sebaliknya kesehatan penderita memburuk jika masih terjadi delirium,
stupor, pergerakan otot yang terjadi terus menerus, terjadi inkontinensia
urine atau alvi. Selain itu tekanan perut meningkat, terjadi meteorismus
dan timpani, disertai nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps
akhirnya meninggal dunia akibat terjadinya degenerasi miokardial toksik.
 Minggu keempat. Penderita yang keadaannya membaik akan mengalami
penyembuhan.
Diagnosis mikrobiologis. Metode ini merupakan metode yang paling baik karena
spesifik sifatnya. Pada minggu pertama dan minggu kedua biakan darah dan
biakan sumsum tulang menunjukkan hasil positif, sedangkan pada minggu ketiga
dan keempat hasil biakan tinja dan biakan urine menunjukkan hasil positif kuat.
Diagnosis serologis. Tujuan metode ini untuk memantau antibodi terhadap
antigen O dan antigen H, dengan menggunakan uji aglutinasi Widal. Jika titer
aglutinin 1/200 atau terjadi kenaikan titer lebih dari 4 kali, hal ini menunjukkan
bahwa demam tifoid sedang berlangsung akut.
Penderita demam tifoid umumnya juga menunjukkan gambaran
Hemoglobin yang rendah dan leukopeni.

Pengobatan
Pengobatan diberikan selama 14 hari, atau sampai 7 hari sesudah penderita
tidak demam lagi.
Obat-obatan yang dapat digunakan adalah: Kloramfenikol, Tiamfenikol,
Ampisilin, dan Kotrimoksasol (sulfametoksasol 400 mg + trimetoprim 80 mg).

Pencegahan demam tifoid


Penularan Demam tifoid dicegah dengan selalu menjaga kebersihan
perorangan, kebersihan lingkungan, pembuangan sampah yang baik, dan
klorinasi air minum. Karier demam tifoid harus diobati dengan baik menggunakan
ampisilin atau amoksisilin dan probenesid. Jika terdapat kolelitiais, di lakukan
tindakan operasi disertai pemberian antibiotika.
Imunisasi dapat dilakukan dengan menggunakan vaksin monovalen kuman
Salmonella typhi.

3. DIFTERI
Penyakit difteri termasuk penyakit menular yang sangat berbahaya karena
dapat menimbulkan kematian, terutama pada anak-anak. Penyebabnya adalah
kuman Corynebacterium diphtheriae yang dapat menghasilkan eksotoksin yang
menimbulkan miokarditis dan neuropati, menyerang sistem pernapasan,
membrana mukosa maupun kulit.

Morfologi kuman difteri


C.diphtheriae termasuk kuman bersifat Gram-positif, tidak bergerak,
bentuknya mirip tongkat pemukul, dan tidak membentuk spora. Pada pewarnaan
atas hapusan kuman, bakteri tersusun saling menyudut, mirip gambaran huruf
kanji (Cina).

Penularan penyakit difteri


Penularan difteri dari penderita terjadi secara langsung melalui titik ludah,
maupun secara tidak langsung melalui sapu tangan dan berbagai benda lain
yang tercemar ludah penderita. Penularan melalui air susu dan debu dapat juga
terjadi. Manusia merupakan satu-satunya sumber infeksi difteri bagi manusia
lainnya.

Diagnosis difteri
Sesudah masa inkubasi 1-7 hari, gejala awal difteri yang terjadi mirip
gejala influenza yang kemudian diikuti demam tinggi.
Berdasar atas tempat terjadinya kelainan, difteri dibagi menjadi:
1. Difteri tonsiler. Pada tonsil terbentuk pseudomembran tebal berwarna
putih kotor atau kelabu kekuningan, disertai sakit tenggorokan dan
keluarnya cairan dari hidung penderita.
2. Difteri nasofaring. Pseudomembran menyebar ke palatum, uvula,
dinding laring, dan mukosa hidung. Leher tampak membesar (“bullneck”)
akibat terjadinya pembesaran kelenjar limfe leher. Selain itu mulut
penderita berbau difterik (diphtheritic odor) yang khas. Tubuh penderita
melemah disertai demam tinggi, nadi cepat, oliguri dan albuminuri. .
3. Difteri laring. Penderita mengalami sumbatan jalan napas sehingga
sesak napas disertai batuk-batuk dengan suara parau. Jika infeksi
memberat, penderita mengalami sianosis, afonia dan stridor pada waktu
menarik napas maupun waktu mengeluarkan napas. Jika tidak dilakukan
trakeotomi penderita dapat meninggal dunia.
4. Difteri toksik. Penderita mengalami komplikasi difteri berupa miokarditis
dengan aritmia kardiak, heart-block. Komplikasi kranial bisa juga terjadi
berupa neuropati, diplopia, gangguan bicara dan sukar menelan.
Penderita juga mengalami gagal sistem sirkulasi, diatesis hemoragik, dan
tanda-tanda gangguan otak berupa konvulsi, muntah, selalu haus, apatis,
dan paresis. Gagal jantung dapat juga terjadi.

Gambar 52. Pseudomembran di rongga mulut


penderita difteri.

Mengingat difteri harus ditangani dengan segera, maka tanpa menunggu hasil
pemeriksaan laboratorium penderita harus segera diobati sebagai difteri jika terdapat
gejala-gejala klinis sebagai berikut:
1. Terdapat faringitis, tonsilitis, radang uvula dan palatum lunak yang tidak
menimbulkan rasa sakit;
2. Terdapat edema yang tidak berwarna merah;
3. Terdapat membran difteri yang khas pada tonsil;
4. Demam tinggi.

Pengobatan difteri
Penderita harus segera diberi pengobatan dengan antitoksin dengan
dosis :
 Infeksi ringan (difteri laring atau awal difteri faring): 20.000-40.000 unit.
 Infeksi sedang (difteri nasofaring): 40.000-60.000 unit.
 Infeksi berat (dan infeksi lebih dari 3 hari): 80.000-100.000 unit.

Antibiotika. Untuk menunjang pengobatan dengan antitoksin dapat diberikan


ampisilin ( 4x500 mg/hari), amoksisilin (3x250-500 mg/hari) atau eritromisin
(dosis dewasa 4x500 mg/hari, dosis anak 30-50 mg/kg berat badan/hari terbagi
dalam 4 dosis). Antibiotika diberikan selama 7-10 hari.

Perawatan. Penderita harus diisolasi dan dirawat dengan intensif. Dehidrasi


harus diatasi, dan terhadap komplikasi sistem saraf dan jantung yang terjadi
diberikan tindakan yang sesuai. Jika terjadi sumbatan jalan napas, membran
dapat dikeluarkan dengan laringoskopi atau bronkoskopi.

Pencegahan
Imunisasi aktif. Vaksinasi atau imunisasi aktif menggunakan toksoid cair
atau alum-precipitated toxoid merupakan tindakan pencegahan yang terbaik.
Tahapan imunisasi aktif dilaksanakan sebagai berikut:
1. Imunisasi pertama diberikan sebelum anak berumur satu tahun,
2. Imunisasi kedua diberikan dua tahun sesudah vaksinasi pertama,
3. imunisasi ketiga diberikan pada waktu anak mulai masuk sekolah.

Imunisasi pasif (hanya memberi perlindungan 2-3 minggu) diberikan terbatas


pada orang yang rawan tertular difteri, misalnya perawat penderita, karena
adanya kemungkinan timbulnya reaksi anafilaktik.
5. DISENTERI BASILER
(Sigelosis)

Disenteri basiler adalah infeksi usus besar oleh kuman Shigella, yang
hanya menimbulkan kerusakan di usus dan tidak menimbulkan kerusakan
jaringan organ tubuh lainnya. Shigella dysenteriae atau Shigella shigae,
merupakan penyebab disenteri paling ganas karena membentuk endotoksin,
sering menimbulkan epidemi hebat di daerah tropis dan subtropis.

Kuman Shigella
Bakteri Shigella berbentuk batang langsing yang bersifat Gram-negatif,
yang pada biakan kuman berbentuk kokobasil. Koloni kuman dalam masa
inkubasi 24 jam merupakan koloni tembus sinar yang berbentuk cembung,
sirkuler dengan garis tengah sekitar 2 mm.
Gambar 53. Kuman Shigella
Penularan sigelosis
Penularan disenteri basiler terjadi karena faktor kebersihan dan higiene
yang buruk, adanya tinja penderita yang menjadi sumber infeksi, dan adanya
lalat dan serangga sebagai vektor penular penyakit ini. Penularan terjadi dari
manusia penderita ke orang lain, dan jarang terjadi penularan infeksi dari primata
yang sakit ke manusia.

Gejala klinis disenteri basiler


Gejala klinis disebabkan oleh eksotoksin yang dihasilkan oleh
S.dysenteriae dan endotoksin yang dihasilkan oleh spesies Shigella lainnya.
Masa inkubasi berlangsung antara 1 hari-1 minggu. Penderita mengalami
demam tinggi mendadak disertai gangguan perut berupa nyeri perut, mual dan
muntah. Beberapa jam kemudian terjadi diare yang dapat mencapai 20-24 kali
dalam waktu 24 jam. Mula-mula tinja mengandung sedikit darah dan lendir,
kemudian hanya berbentuk darah dan lendir.
Pada infeksi berat (fulminant type) penderita mengalami kolaps diikuti
demam tinggi, menggigil, muntah-muntah, suhu tubuh menurun, toksemia berat
dan akhirnya penderita meninggal. Penderita disenteri basiler anak dan orang
lanjut usia yang mengalami dehidrasi dan asidosis juga dapat meninggal dunia.
Pada infeksi ringan, bentuk tinja lunak atau normal, tidak cair, berdarah
dan berlendir, mirip gejala amubiasis.

Diagnosis sigelosis
Gejala klinis yang terjadi pada disenteri basiler berbeda dengan gejala
klinis amubiasis. Pemeriksan proktoskopi menunjukkan adanya radang mukosa
usus yang difus, membengkak dan tertutup eksudat. Tampak ulkus dangkal,
bentuk dan ukuran tak teratur, tertutup eksudat purulen.
Biakan tinja penderita (dari hapusan rektum) pada media biakan selektif
misalnya MacConkey atau Agar EMB dan Thiosulfate-citrat-bile-agar diikuti uji
fermentasi dan pemeriksaan mikroskopis menentukan diagnosis sigelosis.
Pemerikaan serologis dengan mengukur kenaikan titer antibodi spesies
Shigella dapat membantu menentukan diagnosis sigelosis.
Pengobatan dan pencegahan disenteri basiler
Sigelosis dapat diobati dengan berbagai macam antibiotika, misalnya
tetrasiklin, ampisilin, kloramfenikol dan trimetoprim-sulfametoksasol. Lama
pemberian obat minimum 5 hari.
Penderita sebaiknya diisolasi dan ekskreta penderita didesinfeksi. Karier
sigelosis yang ditemukan harus diobati dengan sempurna sehingga tidak
menjadi sumber penularan.
Menjaga kebersihan makanan dan susu, selalu memasak makanan dan
minuman, membuat sistem pembuangan tinja yang baik, memberantas lalat dan
serangga penular lainnya dapat mencegah penularan disenteri basiler.
Pengawasan kebersihan terhadap industri pengolahan makanan terutama yang
dikerjakan di lingkungan perumahan/keluarga harus dilakukan dengan ketat
dengan mencegah penggunaan air mentah untuk mengolah makanan dan
minuman.
6. GONORE

Gonore atau “rajasinga” adalah penyakit kelamin yang ditularkan melalui


hubungan seksual, disebabkan oleh kuman Neisseiria gonorrhoeae. Penyakit ini
tersebar luas di seluruh dunia, lebih luas dari pada penyebaran penyakit sifilis.

Neisseria gonorrhoeae
Kuman gonore berbentuk diplokokus yang pada pewarnaan bersifat
Gram-negatif, dengan ukuran garis tengah kuman sekitar 1 mikron. Pada biakan
di medium Thayer-Martin pada suhu kamar (suhu 35 0-360 C di dalam inkubator
CO2, koloni berbentuk cembung, tembus sinar, dengan ukuran ukuran garis
tengah 1-2 mm. Koloni kuman tidak membentuk pigmen dan tidak menimbulkan
hemolisis pada medium.

Gambar 54. Kuman Neisseria gonorrhoeae.


Penularan gonore
Penularan gonore terutama terjadi melalui yang merupakan penyebaran
utama penyakit ini. Penyebaran gonore sukar dihentikan karena banyak strain
kuman gonore telah kebal terhadap banyak antibiotika yang digunakan
sebelumnya. Karier gonore yang meningkat jumlahnya menyebabkan
pemberantasan dan pencegahan penyakit kelamin ini sukar dilakukan.

Diagnosis gonore
Keluhan penderita dan gejala klinis yang timbul sesuai dengan lokasi
tempat terjadinya kelainan atau akibat komplikasi yang timbul. Pada gonore
genital penderita mengeluh sakit jika kencing (disuri) atau terjadi kecing nanah.
Pada gonore oral akibat sex oral , penderita mengalami nyeri telan.
Komplikasi sistemik dapat terjadi jika kuman gonore menyebar melalui
darah, mencapai organ-organ atau jaringan tubuh lainnya. Karena itu gejala-
gejala klinis yang timbul dapat terjadi akibat sinovitis, artritis, endokarditis,
meningitis, sumbatan saluran kencing, kerusakan ginjal, sepsis, kemandulan dan
buta akibat kerusakan pada organ mata.
Diagnosis pasti gonore ditegakkan jika pada pemeriksaan mikrobiologis
ditemukan kuman gonore pada uretra penderita laki-laki, hapusan serviks
perempuan dan dari bahan-bahan infektif lainnya. Biakan bahan infektif
menggunakan medium Thayer-Martin menumbuhkan koloni kuman gonore yang
khas bentuk dan sifatnya. Pemeriksaan fluoresen antibodi dan uji biokimia
memperkuat diagnosis gonore.

Pengobatan dan pencegahan gonore


Terhadap kuman gonore yang masih peka dapat diobati dengan berbagai
jenis antibiotika yang diberikan sebagai dosis tunggal. Antibiotika yang bisa
diberikan adalah Penisilin (ampisilin, amoksisilin), Kuinolon (ofloksasin,
norfloksasin), Sefalosporin (cefpodoksim proksetil, ceftriakson disodium
intramuskuler) dan Aminoglikosid (gentamisin, intramuskuler)
Pada gonore dengan penyebaran luas (disseminated gonorrhea) pemberian
antibiotika harus diberikan dengan dosis tinggi yang diberikan secepat mungkin.
Untuk mencegah penyebaran gonore, pekerja seks komersial (PSK)
penderita gonore harus diobati dengan cepat dan tepat, karena merupakan
sumber penularan utama gonore. Pemeriksaan kesehatan seksual PSK harus
dilakukan dengan teratur.
Untuk mencegah penularan gonore mata pada bayi yang dilahirkan oleh
ibu penderita gonore, mata bayi harus ditetesi dengan larutan perak nitrat atau
penisilin segera sesudah bayi dilahirkan.

7. KAMPILOBAKTERIOSIS

Kampilobakteriosis disebabkan oleh Campylobacter, bakteri yang dapat


hidup dalam suasana sedikit oksigen (mikroaerobik) atau tanpa oksigen
(anaerobik).

Kuman Campylobacter
Kuman Campylobacter berbentuk spiral, seperti huruf S atau melengkung
berbentuk kurva, dan mempunyai flagel amfitrikus.

Gambar 55. Campylobacter


Penularan Campylobacter
Kampilobakteriosis termasuk penyakit zoonosis yang dapat ditularkan dari
hewan ke manusia. Yang menjadi sumber infeksi ialah makanan hewan
unggas atau mamalia (sapi, domba, babi) dan kerang. Selain itu kucing dan
anjing juga dapat menjadi sumber penularan.
Infeksi terjadi melalui makanan atau susu yang tidak dimasak dengan
baik.

Diagnosis kampilobakteriosis
Antara 1-10 hari sesudah terjadinya infeksi, penderita menunjukkan gejala
berupa diare berdarah, sakit perut, demam, sakit kepala, mdan muntah.
Pada penderita yang terganggu sistem kekebalan tubuhnya misalnya
penderita HIV/AIDS, orang yang juga sedang menderita sakit berat lainnya,
orang berusia lanjut dan bayi, perjalanan kampilobakteriosis menjadi lebih
berat. Komplikasi dapat terjadi berupa bakterimia, hepatitis, pankreatitis dan
abortus.
Diagnosis pasti ditegakkan jika dapat ditemukan kuman Campylobacter
melalui pemeriksaan laboratorium atas tinja penderita, darah, dan cairan
serebrospinal. Pemeriksaan serologi, misalnya uji hemaglutinasi atau uji
hemaglutinasi tidak langsungdapat membantu menetapkan diagnosis
kampilobakteriosis.

Pengobatan kampilobakteriosis
Untuk mencegah terjadinya kekurangan cairan (dehidrasi), kepada
pendereita diberikan penggantian elektrolit dan rehidrasi.
Untuk mengobati kampilobakteriosis yang invasif dan karier penyakit ini,
dapat diberikan antibiotika, misalnya eritromisin, tetrasiklin, kuinolon,
siprofloksasin, kloramfenikol dan gentamisin. Penderita yang mengalami
gangguan saraf pusat diobati dengan kloramfenikol, ampisilin, streptomisin
atau ceftriason.
Pencegahan
Penularan kampilobakteriosis dicegah dengan cara menjaga kebersihan
kandang hewan dan unggas, menjaga kebersihan proses pemotongan hewan
dan selalu memproses susu yang diminum dengan pasteurisasi , pemanasan
atau iradiasi.

8. KLOSTRIDIOSIS PERFRINGENS

Klostridiosis perfringens disebabkan oleh Clostridium perfringens, bakteri


zoonosis pembentuk spora yang menghasilkan toksin secara anaerobik.
Infeksi yang terjadi menimbulkan gejala gas gangren (miositis nekrosis),
enterotoksemia atau kelumpuhan (paralisis).

Clostridium perfringens
C. perfringens adalah bakteri berukuran 5 x 1 mikron, dengan ujung
persegi atau tumpul, mempunyai spora berbentuk lonjong yang terletak dekat
ujung kuman (subterminal) dan pada pewarnaan bersifat Gram-positif.
Berbeda dari spesies Clostridium lainnya yang dapat bergerak (motil),
Clostridium perfringens tidak bergerak (non-motil).
Di dalam jaringan tubuh hewan, kuman membentuk kapsul. Pada medium
biakan agar darah, dalam suasana lingkungan tidak mutlak anaerob
C.pefringens dalam waktu 18-24 jam akan membentuk koloni kuman yang
agak tembus sinar, berukuran garis tengah sekitar 3 mm dan menunjukkan
adanya zona hemolisis mengelilingi koloni.

Penularan penyakit
Clostridium sebenarnya adalah flora normal usus yang terdapat di dalam
hewan ( misalnya domba, sapi dan babi) dan manusia. Dalam bentuk spora,
kuman ini mampu bertahan lama di dalam tanah.
Infeksi terjadi dengan tertelannya toksin atau spora Clostridium
perfringens yang berkembang di dalam usus sehingga menimbulkan
enterotoksemia. Spora yang tertelan dapat terbawa masuk ke dalam aliran
darah, masuk ke dalam otot-otot, menimbulkan nekrosis otot (necrotic
myositis) jika otot-otot tersebut mengalami trauma.

Diagnosis infeksi klostridium perfringens


Clostridium perfringens pada manusia dapat menimbulkan gas gangren
dan keracunan makanan.
Gas gangren. Masa inkubasi berlangsung dari beberapa jam sampai
beberapa hari sesudah terjadi infeksi. Gejala klinis gas gangren antara lain
berupa demam, toksemia, edema disertai nyeri otot, emfisema interstisial dan
kaku kuduk. Jaringan otot yang terinfeksi berwarna gelap disertai
pembentukan gas di dalam jaringan otot, diikuti meluasnya jaringan yang
mengalami nekrosis. Jika tidak diobati dengan baik, gas gangren dapat
menyebabkan kematian penderita.

Gambar 56. Gasgangren pada jari tangan (CDC)


Keracunan makanan. Gejala keracunan makanan timbul 6-24 jam sesudah
terjadinya infeksi. Gejala-gejala klinis yang sering terjadi berupa muntah dan
diare yang berlangsung selama beberapa hari. Penderita biasanya akan
sembuh dengan sendirinya.
Diagnosis pasti ditentukan jika dapat ditemukan kuman Clostridium
perfringens pada bahan makanan yang baru dimakan penderita.
Pemeriksaan atas eksudat otot hewan yang terinfeksi dengan pewarnaan
sediaan apus menunjukkan adanya kuman Gram-positif dengan spora yang
khas bentuknya.
Pemeriksaan uji hewan coba tikus yang diinokulasi intravena dengan
ekstrak isi usus halus menunjukkan adanya toksin kuman penyebab
klostridiosis perfringens.

Pengobatan gasgangren
Pada penderita gas gangren harus dilakukan pembedahan radikal atas
luka yang terinfeksi, disertai pemberian antibiotika misalnya penisilin untuk
memberantas kuman penyebabnya dan antitoksin untuk menetralisir
racunnya.
Terapi hiperbarik dengan memberikan oksigen bertekanan tinggi dapat
mempercepat penyembuhan gas gangren.

Pencegahan gas gangren


Setiap luka yang kecil dan dalam harus dirawat dengan baik, dilakukan
eksisi dan dibersihkan untuk mengeluarkan semua benda asing dari dalam
luka. Antibiotika harus diberikan untuk memberantas Clostridium perfringens
untuk mencegah pembentukan toksin selanjutnya.
Imunisasi pasif dengan pemberian imunoglobulin yang spesifik diberikan
pada penderita yang belum pernah mendapatkan vaksinasi. Vaksinasi
menggunakan vaksin kombinasi terhadap semua hewan yang hidup di
daerah endemik klostridiosis dapat mencegah meluasnya penyebaran
penyakit ini.
.

9. KOLERA

Kolera merupakan penyakit menular yang sering menimbulkan


epidemi dan pandemi di banyak negara, dengan meninggalkan korban
meninggal dunia yang sangat besar. Penyakit diare akut yang sangat menular
ini disebabkan oleh kuman Vibrio cholerae atau Vibrio comma yang
menghasilkan enterotoksin yang sangat toksik.
Gambar 57. Wabah kolera di Sudan (Sudan Tribune)

Morfologi
Vibrio cholerae merupakan kuman berukuran kecil antara 2-4 mikron,
berbentuk seperti koma, mempunyai flagel panjang sehingga aktif bergerak.
Kuman yang pada pewarnaan bersifat Gram-negatif ini tidak membentuk
spora.

Penularan kolera
Indonesia, Cina dan India merupakan daerah endemik kolera. Pada
pandemi tahun 1961 yang menyebar di 23 negara, sumber penularan berasal
dari daerah endemik di Sulawesi. Epidemi kolera sering terjadi pada saat
sejumlah besar manusia berkumpul, misalnya ketika musim haji di Saudi
Arabia dan pada acara keagamaan di sungai Gangga, India.
Kuman vibrio ditularkan secara langsung melalui tinja atau muntahan
penderita, atau secara tidak langsung ditularkan oleh serangga, misalnya
lalat dan lipas.
Diagnosis kolera
Masa inkubasi yang berlangsung 3-6 hari, diikuti gejala diare akut dalam
jumlah banyak sampai 1 liter per jam, berupa tinja lunak diikuti tinja cair yang
bentuknya mirip air cucian beras (ricewater stool) yang berbau amis.
Akibatnya penderita dengan cepat mengalami dehidrasi dengan tanda-tanda
berupa turgor kulit yang jelek, mata dan wajah penderita cekung, kulit jari
tampak keriput, akhirnya penderita tidak dapat kencing (anuri) dan kolaps.
Penderita juga menunjukkan tanda-tanda asidosis dan tanda-tanda syok,
berupa nadi cepat, isi nadi kurang, diikuti turunnya tekanan darah dengan
cepat. Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal ginjal.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya kuman vibrio pada
biakan tinja atau muntahan penderita. Pemeriksaan serologi dengan uji
aglutinasi menunjukkan hasil positif, sedangkan pemeriksaan serum darah
memberi gambaran terjadinya hipokalemia (kurang dari 3,5 meq/l).

Pengobatan kolera
Tindakan rehidrasi harus segera dilakukan untuk mengganti cairan dan
elektrolit yang hilang. Pada penyakit ringan dan penderita dapat minum,
penderita diberi air minum atau oralit dan sejenisnya. Pada dehidrasi berat,
penderita harus diinfus menggunakan larutan Ringer atau garam faali.
Selain itu penderita diberi pengobatan dengan salah satu antibiotika di
bawah ini selama 3 hari, yaitu :
 Ampisilin, 4x500 mg/hari
 Tetrasiklin, 4x500 mg/hari
 Kloramfenikol, 4x500 mg atau
 Kombinasi Trimetoprim (160 mg)/sulfametoksasol (800 mg) sebanyak
2 kali.

Pencegahan kolera
Penderita harus segera diisolasi dan diobati dengan cepat. Semua benda
yang tercemar tinja atau muntahan penderita harus segera disterilkan. Sumber
air minum harus segera dilindungi dari pencemaran. Semua makanan dan
minuman harus dimasak lebih dahulu. Lalat dan serangga penular lainnya harus
segera diberantas, dan lingkungan dijaga kebersihannya. Orang-orang yang
berhubungan dengan penderita sebaiknya dilindungi dengan memberikan
vaksinasi.

10. LEPRA
Lepra adalah penyakit infeksi menular disebabkan oleh Mycobacterium
leprae yang menyerang saraf perifer dan kulit penderita. Lepra terutama
didapatkan dari daerah tropis dan subtropis yang udaranya panas dan lembab
pada lingkungan hidup yang tidak sehat.

Mycobacterium leprae
Kuman M.leprae termasuk bakteri tahan asam yang pada pewarnaan
bersifat Gram-positif. Kuman ini tidak membentuk spora, tidak bergerak dan
mempunyai bermcam-macam bentuk (pleomorfik). Morfologi bakteri ini mirip
Mycobacterium tuberculosis kuman penyebab tuberkulosis (TBC). M.leprae
belum dapat dibiakkan pada medium buatan .

Penularan lepra
Lepra hanya ditularkan melalui kontak erat dalam waktu lama dengan
penderita lepra yang berada pada stadium reaktif. Penularan di dalam
lingkungan keluarga, misalnya antara ibu penderita lepra dengan anaknya atau
suaminya. Anak-anak lebih sering terinfeksi kuman lepra dibanding orang
dewasa.

Diagnosis dan gejala klinis lepra


Masa inkubasi lepra berlangsung lama, antara beberapa minggu sampai
12 tahun. Terdapat 2 jenis lepra, yaitu lepra tuberkuloid dan lepra
lepromatus.Kelainan kulit merupakan gejala pertama yang sering dijumpai.
Lepra tuberkuloid. Pada lepra tuberkuloid gejala awal yang tampak berupa
kelainan sensorik, kelainan sensorik dan kelainan trofik pada alat gerak
penderita. Kelainan kulit pada lepra tuberkuloid berbeda jelas dari kulit normal di
sekitarnya. Lesi kulit lepra tuberkuloid tidak peka terhadap rasa nyeri dan rasa
raba.
Lepra lepromatus. Gejala lepra jenis lepromatus diawali dengan terjadinya
makula pre-lepromatus berupa eritema dengan batas tidak jelas dengan kulit
normal di sekitarnya. Lesi berkembang menjadi makula lepromatus yang difus
dan infiltratif dan terutama mula-mula terbentuk di daerah wajah dan lobus
telinga. Kadang-kadang lepra lepromatus dapat berlangsung akut dengan
demam berulang, nyeri sepanjang saraf perifer, lalu timbul kelainan kulit yang
segera menghilang kembali.
Kerusakan saraf perifer menimbulkan gangguan gerak otot dan
kelemahan otot disertai hilangnya kemampuan sensorik dan rasa raba. Rasa
tebal atau hilangnya rasa raba terutama terjadi pada lengan, tangan dan kaki.
Penderita lepra dapat kehilangan fungsi tangan dan kakinya.

Gambar 58 Gejala klinis pada tangan penderita lepra

Diagnosis lepra dipastikan dengan ditemukannya kuman lepra pada


pemeriksaan mikroskopis atas kerokan kulit. Selain itu, uji lepromin pada kulit
dapat membantu menegakkan diagnosis lepra.,

Pengobatan dan pencegahan lepra


Berbagai obat yang telah digunakan mengobati penderita lepra adalah
Diamino Difenil Sulfon (DDS, Dapsone), Rifampisin, Clofazimin (Lamprene) dan
Thalidomide.
Jika terjadi komplikasi sesuai dengan jenisnya dilakukan tindakan bedah
ortopedik untuk memperbaiki fungsi gerak penderita atau trakeotomi jika terjadi
gangguan pernapasan akibat kelumpuhan saraf terkait.

Mencegah penularan lepra


Kontak erat penderita lepra dengan keluarganya terutama pada waktu
penderita berada pada stadium reaktif. Penderita lepra yang tidak diobati
merupakan sumber penularan bagi orang lain. Memperbaiki lingkungan hidup
dan kebersihan pribadi dapat mengurangi terjadinya penularan dan penyebaran
lepra.
11. LEPTOSPIROSIS

Leptospirosis termasuk penyakit menular zoonosis disebabkan oleh


Leptospira interogans, golongan spirochaeta yang dapat ditularkan dari hewan
ke manusia. Berbagai serovarian Leptospira dapat diisolasi dari hewan dan
manusia yang hidup di daerah tropis dan subtropis.

Morfologi Leptospira
Leptospira merupakan spirochaeta yang terpendek ukurannya, antara 5-
15 mikron, dengan uliran spiral yang lebih banyak dibanding spirochaeta lainnya.
Salah satu ujung organisme terlihat membengkok seperti kait. Tanpa pewarnaan
morfologi spirochaeta mudah dilihat melalui pemeriksaan di bawah mikroskop
latar belakang gelap ( dark field microscope ) atau mikroskop fase kontras.
Pemeriksaan akan lebih mudah jika dilakukan pewarnaan dengan zat warna
perak atau pemeriksaan menggunakan sediaan basah.

Penularan leptospirosis
Infeksi leptospirosis pada manusia terjadi melalui makanan dan minuman
tercemar bahan infektif mengandung Leptospira atau melalui luka pada kulit atau
selaput lendir. Bahan penularan utama adalah air kencing penderita, baik
manusia maupun hewan yang sakit, terutama pada minggu kedua dan ketiga
dari perjalanan penyakit. Berbagai jenis hewan mamalia yaitu sapi, kambing,
domba, babi, kuda, anjing dan kucing peka terhadap Leptospira dari berbagai
serovarian. Anjing umumnya menjadi sumber infeksi serovarian canicola dan
icterohemorrhagica, sedangkan babi serovarian pomona dan tarrasovi.
Sedangkan pada sapi terutama disebabkan oleh serovarian pomona dan harjo.
Petani, pekerja rumah potong hewan, dokter hewan dan perawat hewan
serta pekerja kebersihan kota merupakan kelompok yang berisiko tinggi tertular
leptospirosis.
Gejala klinis leptospirosis
Sesudah melewati masa inkubasi selama 1-2 minggu, penderita akan
menderita demam. Kuman-kuman yang beredar melalui darah akan memasuki
organ-organ misalnya hati dan ginjal, menimbulkan perdarahan dan nekrosis.
Penderita akan mengalami jaundis, kaku kuduk dan sakit kepala hebat.

Gambar 59. Perdarahan pada leptospirosis

Diagnosis leptospirosis
Untuk menentukan diagnosis pasti leptospirosis, kuman Leptospira dapat
ditemukan di dalam urine penderita melalui isolasi dengan biakan medium
Fletcher yang kaya protein atau dieramkan pada medium agar darah selama 3
hari pada suhu 28-300C . Selain itu dapat dilakukan inokulasi bahan infektif
secara intraperitoneal pada hewan coba hamster atau guinea-pig dapat
menunjukkan adanya Leptospira yang aktif bergerak.
Diagnosis dapat ditunjang oleh pemeriksaan serologis, misalnya uji
aglutinasi, yang menujukkan titer yang sangat tinggi, umumnya lebih dari 1:
1000.
Pengobatan dan pencegahan leptospirosis
Penisilin, streptomisin dan tetrasiklin dapat memberantas Leptospira pada
awal infeksim tetapi tidak dapat menyembuhkan leptospirosis dengan sempurna
terutama jika sudah terjadi kerusakan pada ginjal dan hati.
Mengingat sumber penularan leptospirosis adalah air kecing dan tinja
penderita baik manusia maupun hewan terutama tikus, anjing, babi dan ternak
lainnya, maka harus dicegah terjadinya paparan bahan infektif tersebut terhadap
masyarakat, terutama yang mempunyai risiko tinggi yaitu pekerja kebersihan
yang menangani sampah dan selokan, perawat hewan, peternak dan petani.
Pemberian doksisiklin per oral satu minggu satu kali dapat mencegah
infeksi leptospirosis pada pekerja berisiko tinggi. Vaksinasi pada anjing
peliharaan dapat dilakukan dengan multivaksin distemper-hepatitis-leptospirosis.
12. LIMFOGRANULOMA VENEREUM

Limfogranuloma venereum (LGV) termasuk kelompok penyakit kelamin


menular (Sexually Transmitted Disease, STD) yang tersebar luas di seluruh
dunia. Penyakit ini disebabkan oleh yang menyerang orang laki-laki maupun
perempuan. LGV disebut sebagai penyakit kelamn yang keenam.

Chlamyidia trachomatis
Chlamyidia adalah bakteri yang mula-mula disebut sebagai virus
berukuran besar , hidup intraseluler di dalam leukosit dan dapat dibiakkan pada
yolksac telur dan otak tikus putih.

Penularan LGV
LGV ditularkan secara kontak langsung dengan lesi, ulkus, atau daerah
yang terdapat bakteri ini. Karena itu penularan organisme ini terjadi melalui
hubungan seksual dan melalui kulit dengan kulit.

Gejala klinis dan diagnosis LGV

 Masa inkubasi 3-30 hari


 Tanda awal: lesi primer berbentuk papul atau ulkus di alat genital
atau rektal.
 Pembesaran kelenjar limfe di daerah genital, perdarahan, nyeri
atau keluar eksudat dari ulkus.
 Komplikasi jika tidak diobati: pembesaran atau ulserasi genital
eksternal, obstruksi limfatik, elefantiasis genital, ulserasi vulva,
rektum, striktura dan fistula , non -gonococcal uretrhitis.
Diagnosis berdasar keluhan dan gejala klinik. Diagnosis pasti ditetapkan
jika ditemukan organisme penyebabnya dengan cara inokulasi nanah lesi
ke dalam yolc sac telur berembrio atau ke dalam otak tikus putih. Hasil
biopsi kelenjar atau lesi , dengan pewarnaan Giemsa organisme
ditemukan di dalam intracytoplasmic inclusion body.
Diagnosis dapat dibantu dengan uj kulit (Frei- Hoffman Test) atau
pemeriksaan serologi misalnya uji fiksasi komplemen.

Pengobatan dan pencegahan LGV


 Doksisiklin 21 hari, tidak boleh diberikan pada ibu hamil atau
yang menyusui anak.
 Eritromisin
 Azitromisin.
Pembedahan untuk mengeluarkan nanah abses dengan aspirasi, eksisi
striktura rektum, vulvektomi pada elefantiasis genital.
Pencegahan : tidak melakukan kontak seksual dan melakukan
pencegahan penularan penyakit kelamin lainnya.

Gambar 60. Pembesaran kelenjar limfe pada penderita LGV


13. PERTUSIS

Pertusis atau batuk rejan (wooping-cough) adalah penyakit infeksi saluran


napas yang sangat menular. Penyakit yang disebabkan oleh Bordetella pertussis
ini umumnya menyerang anak-anak balita.

Bordetella pertussis
Kuman berbentuk batang yang berkapsul ini termasuk organisme bersifat
aerob yang pada pewarnaan bersifat Gram-negatif. Biakan pada medium Bordet-
Gengou’s potato blood glycerol menumbuhkan koloni yang khas bentuknya.

Penularan pertusis
Pertusis sangat menular, tersebar luas di seluruh dunia umumnya diderita
oleh anak-anak berumur di bawah 7 tahun, terutama yang dibawah 2 tahun..
Manusia penderita merupakan satu-satunya sumber infeksi bagi orang lainnya.
Penularan terjadi melalui droplet titik ludah penderita yang infektif yang masuk
melalui udara yang terhirup.
Pada masa epidemi, anak yang belum mendapatkan vaksinasi seluruhnya
dapat terserang penyakit ini. Seorang ibu yang menderita pertusis dapat
menulari anaknya karena adanya kontak erat di antara mereka.

Diagnosis pertusis
Demam ringan merupakan gejala awal pertusis sesudah melewati masa inkubasi
tanpa gejala yang lamanya 7-14 hari. Sesudah itu pada stadium kataral
penderita menunjukkan gejala-gejala rinitis, konjungtivitis dan batuk yang tidak
berdahak. Kemudian penderita pada stadium spasmodik akan mengalami
batuk paroksismal yang berat karena adanya lendir kental dan muntah-muntah.
Tubuh penderita menjadi sangat lemah akibat beratnya batuk yang diderita.
Anak-anak dapat mengalami perdarahan pembuluh darah mata dan kesulitan
untuk menarik napas.

Gambar 61. Batuk rejan (wooping cough) penderita pertusis

Diagnosis pasti ditentukan jika ditemukan kuman penyebabnya melalui


pemeriksaan mikroskopis atas dahak atau hapusan cairan hidung. Biakan bahan
infektif tersebut pada medium Bordet-Gengou’s potato blood glycerol
menumbuhkan koloni yang khas bentuknya.
Pemeriksaan darah menunjukkan gambaran leukositosis dan limfositosis,
sedangkan pemeriksaan serologi dapat menunjang tegaknya diagnosis pertusis.

Pengobatan batuk rejan


Pemberian antibiotika diberikan sejak stadium kataral dengan dosis
sebagai berat ( anak berusia di bawah 3 tahun):
 Eritromisin : 30-50 mg/kg berat badan per hari
 Kloramfenikol: 50-100 mg/kg berat badan per hari
 Tiamfenikol: 30-50 mg/kg berat badan per hari
Penderita sebaiknya diisolasi dan dirawat dengan intensif, dengan pengaturan
pemberian cairan dan elektrolit. Terapi suportif diberikan untuk meningkatkan
daya tahan tubuh terhadap infeksi sekunder, dan jika perlu diberikan oksigen,
obat anti muntah atau anti konvulsi sesuai dengan keperluan.

Pencegahan pertusis
Vaksin pertusis yang berasal dari kuman mati diberikan untuk mencegah
infeksi pertusis, dengan dosis 0,5 ml subkutan yang diulang sesudah 4-8
minggu. Pada beberapa orang yang diberi vaksin ini dapat terjadi reaksi samping
yang berat.
Vaksinasi aktif pada bayi dan melakukan pencegahan terjadinya kontak
langsung dengan penderita penting dalam mencegah penularan pertusis. Vaksin
diberikan dalam kombinasi bersama toksoid difteri dan tetanus.
14. PES

Penyakit pes (plaque) adalah penyakit infeksi yang sangat menular


sehingga sering menimbulkan epidemi dan pandemi yang sangat luas, dengan
jutaan korban meninggal dunia karenanya. Penyebab pes adalah kuman
Yersinia pestis dan ditularkan terutama oleh pinjal tikus (Xenopsylla cheopis).

Yersinia pestis
Kuman penyebab pes ini berbentuk batang pendek gemuk, dengan ujung
membulat. Ukurannya sekitar 1,5 x 5,7 mikron dan pada pewarnaan bersifat
Gram-negati. Kuman menunjukkan sifat pleomorfisme dengan bentuk yang
bermacam-macam. Dengan pewarnaan, di bawah mikroskop kuman tampak
bentuknya yang bipolar (dua kutub) sehingga mirip peniti. Kuman tidak bergerak,
tidak membentuk spora dan selalu diselubungi lendir.
Pada biakan pada medium aerob atau anaerob fakultatif, kuman tumbuh
optimum pada suhu 270C dengan pH optimum 7,2.
Gambar 62 . Kuman Yersinia pestis

Penularan pes
Pes sering menimbulkan epidemi di banyak negara, bahkan pandemi pes
yang menyerang penduduk puluhan negara di seluruh dunia sehingga
meninggalkan korban meninggal berjuta-juta jiwa. Penyakit pes sebenarnya
adalah penyakit menular pada tikus kota ( Rattus norvegicus) dan tikus rumah
(Rattus rattus) yang infeksinya menyebar ke manusia melalui gigitan pinjal tikus
(Xenopsylla cheopis dan Ceratophyllus fasciatus).
Selain itu kuman pes dapat menular melalui udara (droplet infection)
berasal dari penderita pes paru.
Gambar 63. Korban pandemi pes di Eropa.

Gejala klinis pes


Pada manusia pes dapat terjadi dalam 2 bentuk, yaitu bentuk Pes bubo
dan bentuk Pes paru.
Pes bubo. Sesudah melewati masa inkubasi antara 2-8 hari, kelenjar getah
bening lipat pada membengkak diikuti pembentukan nanah. Penderita menderita
demam, dan batuk-batuk. Jika kuman memasuki aliran darah. Maka akan terjadi
septikemi disertai perdarahan kulit dan selaput lendir. Kadang-kadang terjadi
gangguan neurologis yang berat yang menyebabkan penderita meninggal dunia.
Pes paru. Pes ini juga disebut Pes pneumonia yang terjadi melalui penularan
udara pernapasan yang menimbulkan gejala-gejala klinis berupa batuk, demam
dan gejala-gejala pneumonia yang disertai batuk darah. Penderita sering
mengalami sianosis karena gangguan pernapasan berat yang dideritanya.
Kuman Yersinia pestis dapat diisolasi dari darah, dahak dan nanah
penderita yang kemudian diperiksa di bawah mikroskop untuk menentukan
diagnosis pasti penyakit pes. Untuk membantu menegakkan diagnosis pes
dapat dilakukan pemeriksaan serologi, misalnya uji aglutinasi, ELISA, uji fiksasi
komplemen, dan imunofluoresen antibodi (IFA).

Pengobatan pes
Pada stadium dini, penderita dapat diobati dengan streptomisin,
tetrasiklin atau kloramfenikol, dengan hasil yang memuaskan. Tanpa
pengobatan, penderita pes pneumoni umumnya akan meninggal dunia.

Pencegahan pes
Karena sangat menular, penderita pes harus diisolasi dan segera diobati.
Orang-orang yang pernah kontak dengan penderita harus juga dikarantina dan
diawasi dengan ketat dan diberi pengobatan pencegahan dengan tetrasiklin atau
sulfonamid. Setiap orang yang akan berkunjung ke daerah endemik pes harus
divaksinasi untuk mencegah tertular penyakit pes.
Pencegahan penyakit zoonosis ini harus disertai dengan pemberantasan
tikus dan roden menggunakan rodentisida, sedangkan pinjal tikus diberantas
dengan insektisida.

15. SIFILIS

Penyakit sifilis merupakan penyakit yang ditularkan melalui hubungan


seksual (sexually transmitted disease ), disebabkan oleh Treponema pallidum
(Spirochaeta pallida).

Spirochaeta pallida
Kuman berbentuk filamen berulir ini berukuran panjang 6-14 mikron
dengan 6-12 uliran kecil yang beraturan dengan ujung filamen selalu lurus.
Morfologi kuman mudah dilihat dengan mikroskop latar belakang gelap (dark-
field microscope) atau diperiksa di bawah mikroskop menggunakan pewarnaan
perak.

Penularan sifilis
Sifilis merupakan penyakit kelamin yang paling lama dikenal manusia dan
tersebar luas di seluruh dunia. Penularan terutama terjadi melalui hubungan
seksual baik heteroseksual maupun homoseksual. Selain itu sifilis juga dapat
ditularkan dari ibu penderita sifilis ke bayi yang dikandungnya secara kongenital
transplasental.

Diagnosis dan gejala klinis


Masa inkubasi berlangsung antara 9-90 hari, kemudian diikuti timbulnya
gejala klinis yang terdiri dari 3 stadium.
Stadium primer. Kelainan yang pertama timbul atau lesi primer terjadi pada
organ genital berupa ulkus yang keras. Sesudah itu akan terjadi limfangitis,
diikuti pengerasan kelenjar limfe regional yang tidak terasa nyeri.
Stadium sekunder. Pada stadium sekunder terjadi gejala-gejala klinis sebagai
berikut:
 Kelainan kulit berupa makula, papula dan pustula, yang juga terjadi pada
telapak tangan dan kaki. Tanpa pengobatan kelainan kulit akan hilang
dengan sendirinya, tetapi akan muncul kembali 2-3 tahun kemudian. juga
akan terjadi depigmentasi kulit( leucoderma syphilitica).
Gambar 64. Kelainan kulit pada sifilis

 Pada mukosa mulut dan tenggorok terbentuk plak putih


 Terjadi kondiloma lata terutama pada alat genital
 Tonsilitis
 Pembesaran kelenjar limfe
 Rambut penderita mengalami kerontokan (alopecia specifica)
 Hepatosplenomegali
 Anemia sekunder dengan limfositosis.

Stadium tertier. Pada stadium tiga timbul gumma pada berbagai organ. Selain
itu terjadi aortitis yang menimbulkan aneurisma dan insufisiensi aortik.
Neurosifilis. Gangguan susunan saraf akibat sifilis dapat terjadi akibat
meningitis, tabes dorsalis dan paralisis progresif.
Prenatal (connatal) syphilis. Sifilis prenatal pada anak yang menderita sifilis
akibat tertular ibu sifilis lesi awal gejalanya mirip sifilis sekunder. Pada sifilis
prenatal yang lanjut, terjadi Triad Hutchinson yang terdiri dari keratitis
interstisial, defek incisor dan tuli.
Diagnosis sifilis
Melalui pemeriksaan laboratorium diagnosis sifilis ditegakkan:
 Pemeriksaan mikroskopis atas cairan dari lesi menunjukkan adanya
treponema.
 Reaksi Wasserman- Kahn dan VDRL menunjukkan hasil positif.
 Uji Imobilisasi Treponema dan pemeriksaan fluoresen antibodi treponema
( Fluorescent Treponemal Antibodies, FTA) , hasilnya juga positif.
 Pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan gambaran limfositosis
dan kadar protein yang meningkat.

Pengobatan
Sifilis dapat diobati dengan berbagai jenis antibiotika, yaitu :
 Penisilin prokain jangka panjang, diberikan dengan dosis 600 mg
intramuskuler. Untuk sifilis primer diberikan selama 10-12 hari, sifilis
sekunder 14-15 hari dan sifilis tertier dan sifilis lanjut diberikan
pengobatan selama 21 hari.
 Tetrasiklin diberikan jika penderita alergi penisilin, dengan dosis 500 mg
per hari selama 28 hari.
 Obat-obat lain yang dapat diberikan antara lain adalah eritromisin dan
sefalosporin.

Pencegahan
Untuk mencegah penyebaran sifilis, semua penderita dan pasangannya
harus segera diobati dengan tuntas. Higiene seksual, penggunaan kondom dan
terapi pencegahan pasca hubungan seksual tidak bisa menangkal penularan
sifilis.
16. STAFILOKOKOSIS

Infeksi dengan kuman Staphyllococcus aureus pada manusia


menimbulkan gangguan pencernaan berupa gastroenteritis, keracunan makanan
atau toksikosis usus. Penyebabnya adalah enterotoksin yang dihasilkan oleh
kuman ini, yang tahan terhadap pemanasan 100 0C selama 30 menit.

Morfologi Staphyllococcus
Kuman Staphyllococcus aureus berbentuk kokus atau bola dengan garis
tengan 1 mikron, tersusun dalam kelompok yang tidak beraturan. Pada
pewarnaan kuman bersifat Gram-positif, mempunyai kemampuan koagulase-
positif terhadap plasma darah, dan dapat menimbulkan hemolisis pada darah
merah. Kuman ini tidak membentuk spora, dan tidak bergerak.
Biakan kuman pada medium cair kuman tersusun sebagai kokus tunggal,
berpasangan, berempat atau berbentuk rantai. Pada biakan padat yang bersifat
aerob atau mikroaerob yang dieramkan pada suhu 37 0C kuman cepat tumbuh,
membentuk koloni berbentuk bulat dengan permukaan halus, menonjol
berkilauan karena membentuk pigmen berwarna kuning emas.

Gambar 65. Kuman Staphyllococcus aureus


Penularan stafilokokosis
Stafilokokus termasuk kuman zoonosis, tersebar luas di seluruh dunia.
Sumber utama penularan adalah manusia, sedangkan hewan sapi, anjing dan
unggas dapat menjadi sumber infeksi.
Penularan kuman dapat terjadi melalui udara karena batuk, meludah atau
bersin. Kuman juga dapat menular melalui makanan dan minuman yang
tercemar karena tersentuh tangan penderita, melalui air susu sapi, atau telur
yang tercemar kuman. Bahan-bahan produk hewani misalnya daging, susu, keju,
es krim, merupakan bahan yang sesuai untuk berkembang biak kuman ini.

Gejala klinis stafilokokosis


Gejala klinis stafilokokosis terjadi akibat enterotoksin yang dihasilkan oleh
kuman ini. Enterotoksin A sering menimbulkan epidemi keracunan makanan,
sedangkan enterotoksin F merupakan penyebab terjadinya sindrom syok toksik.
Sesudah melewati masa inkubasi yang pendek ( 3 jam) akibat makan
makanan tercemar kuman, penderita mengalami muntah, nyeri perut dan diare.
Sebagian penderita mengalami demam ringan. Pada infeksi berat, penderita
mengeluh sakit kepala, tekanan darah menurun dan juga mengalami berak
darah dan lendir.
Kadang-kadang terjadi sindrom syok toksik dengan gejala-gejala muntah,
diare, demam tinggi, eritroderma, edema, gangguan fungsi ginjal dan syok
toksik. Sindrom syok umumnya terjadi pada wanita yang sedang menstruasi.
Diagnosis pasti stafilokokosis ditentukan dengan ditemukannya kuman
Staphyllococcus aureus pada bahan muntahan penderita, tinja atau makanan
yang diduga menjadi penyebab penyakit, sesudah melakukan biakan kuman dan
pemeriksaan mikroskopis.

Pengobatan
Stafilokokosis dapat diobati dengan antibiotika, misalnya siprofloksasin,
disertai dengan pemberian cairan pengganti kekurangan cairan tubuh dan
elektrolit. Jika terjadi syok hipovolemik, penderita harus ditangani dengan intensif
dan jika diperlukan dapat diberikan bantuan pernapasan.

Pencegahan
Penderita stafilokokosis dilarang menangani proses pembuatan makanan
karena merupakan sumber penularan. Pendidikan tentang higiene sanitasi
makanan sebaiknya diberikan pada pekerja perusahaan pembuat makanan dan
restoran. Bahan makanan harus disimpan di dalam lemari es untuk mencegah
berkembang biaknya bakteri dan mencegah terbentuknya toksin. Produk daging
dari rumah potong hewan harus selalu diawasi sejak dilakukan pemotongan
hewan sampai ke tempat penjualan daging.
17. STREPTOKOKOSIS

Streptokokosis pada manusia dapat disebabkan oleh Streptococcus


viridans dan Streptococcus pyogenes yang merupakan flora normal penderita
sendiri, sedangkan Streptococcus suis termasuk bakteri zoonosis yang
ditularkan oleh babi yang menjadi sumber infeksinya.

Morfologi Streptococcus
Kuman Streptococcus merupakan kumpulan kokus yang tersusun
berderet seperti rantai. Kuman bersifat aerob atau anaerob fakultatif.
Streptococcus pyogenes yang termasuk streptokokus grup A mempunyai
kapsul dari asam hialuronik. Biakan kuman ini pada medium agar darah akan
membentuk koloni berukuran garis tengah sekitar 1 mm dengan permukaan
yang halus.
Streptococcus viridans yang tumbuh pada medium agar darah akan
membentuk daerah berwarna kehijauan di sekitar koloni yang dikelilingi zona
hemolisis.
Streptococcus suis yang dibiakkan pada medium padat akan membentuk
koloni berbentuk cakram dengan diameter koloni sekitar 1-2 mm. Strain
golongan A akan membentuk koloni mukoid, sedangkan streptokokus yang
patogen umumnya tumbuh baik pada suhu 37 0C dalam suasana fakultatif
anaerob.

Penularan streptokokosis
Streptokokosis tersebar luas di seluruh dunia.
Streptococcus pyogenes lebih berbahaya dari pada Staphyllococcus aureus
karena sering menimbulkan septikemi piogenik. Kuman ini memproduksi bahan-
bahan yang meningkatkan patogenitasnya, yaitu hemolisin, streptokinase,
deoxyribonuclease dan toksin eritrogenik atau Dick toxin.
Streptococcus viridans yang merupakan flora normal saluran napas bagian atas
manusia dalam keadaan tertentu dapat menyebabkan endokarditis subakut.
Streptococcus suis dapat menular pada manusia melalui tinja, urine dan daging
babi yang sakit. Umumnya yang tertular adalah pekerja peternakan babi yang
sering kontak dengan bahan-bahan infektif dari babi.

Gejala klinis streptokokosis


Gejala klinis streptokokosis pyogenes yang terjadi sesuai dengan organ-
organ yang terserang kuman ini. Penderita misalnya dapat mengalami tonsilitis
purulenta, radang tenggorok, otitis media atau pneumonia sekunder. Penderita
juga dapat mengalami infeksi kulit yang difus(erisipelas).
Streptococcus viridans dalam keadaan normal tidak menimbulkan
penyakit, karena merupakan flora normal saluran napas atas. Jika daya tahan
tubuh penderita menurun, kuman menyebar melalui darah dan dapat
menimbulkan endokarditis subakut.
Streptokokosis suis pada manusia menimbulkan demam yang kadang-
kadang diikuti radang selaput otak atau meningitis.
Untuk menentukan kuman yang menjadi penyebab streptokokosis, harus
dilakukan isolasi kuman yang berasal dari darah, hapusan tenggorok, darah,
atau sumsum tulang belakang. Biakan kuman pada agar darah dapat
memperkuat diagnosis streptokokosis.
Gambar 66. Penderita streptokokosis suis.
Pengobatan streptokokosis
Penisilin merupakan obat pilihan untuk mengatasi streptokokosis,
terutama yang disebabkan oleh Streptococcus viridans. Jika penderita alergi
terhadap penisilin, dapat diberikan antibiotik lainnya misalnya eritromisin,
streptomisin, tetrasiklin dan sulfonamid.

Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya komplikasi pada jantung, penderita
streptokokosis viridans yang menderita rematik akut dapat diberikan pengobatan
pencegahan dengan memberikan penisilin atau sulfonamid.
Untuk mencegah streptokokosis suis, setiap luka lecet yang kecil
sekalipun yang diderita pengolah daging babi harus ditutup rapat agar tidak
terinfeksi kuman. Makanan dan minuman sebaiknya dimasak dengan sempurna.
18. TETANUS

Penyakit tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani, bakteri pembentuk


eksotoksin golongan neurotoksin kuat yang dapat menyebabkan kematian
penderita. Bakteri pembentuk ini ditemukan tersebar luas di seluruh dunia.

Clostridium tetani
Kuman penyebab tetanus ini adalah kuman berbentuk batang langsing
dengan ujung bulat, berukuran 5x0,5 mikron. Bakteri tetanus bersifat Gram-
positif, bersifat motil, memiliki flagel peritrich dan tidak membentuk kapsul.
Spora berbentuk sferis terletak di bagian terminal yang tampak melebar,
sehingga memberi gambaran bentuk kuman mirip pemukul genderang (drum-
stick).
Bakteri tetanus bersifat mutlak anaerob dengan suhu optimum hidupnya
pada 370C. Pada pertumbuhan kuman di medium agar darah, tepi koloni kuman
menunjukkan tonjolan yang tidak teratur bentuknya.

Penularan tetanus
Kuman klostridium merupakan flora normal yang hidup di dalam usus
manusia maupun hewan. Dalam bentuk spora, kuman mampu bertahan lama di
dalam tanah. Infeksi terjadi akibat pencemaran luka kecil yang dalam yang
segera tertutup kembali, sehingga kemudian terjadi suasana anaerob. Dalam
suasana tersebut kuman tetanus berkembang biak, membentuk tetanospasmin
(suatu neurotoksin kuat) yang dapat mencapai sistem saraf pusat melalui saraf
motorik, kemudian menuju ke bagian anterior spinal cord. Luka pada waktu
pemotongan tali pusat yang tidak steril sering menimbulkan tetanus pada bayi
(tetanus neonatorum).

Gejala klinis tetanus


Sesudah melalui masa inkubasi antara 3-21 hari, gejala-gejala tetanus
dapat timbul berupa terjadinya kontraksi otot yang terasa nyeri, disertai trismus
dan kaku kuduk. Kemudian diikuti kejang-kejang otot dinding abdomen dan otot-
otot lainnya yang terjadi berulang-ulang jika penderita terpapar sinar atau
sentuhan. Jika terjadi hiperpireksia, hal ini merupakan salah satu tanda
memburuknya kondisi penderita.
Kematian penderita tetanus yang tinggi terutama disebabkan terjadinya
gangguan pernapasan. Angka kematian juga tinggi pada tetanus neonatorum
yang masa inkubasinya kurang dari 10 hari.
Pemeriksaan bakteriologis tidak dilakukan pada tetanus pada manusia,
karena isolasi kuman dari luka penderita sukar dilakukan akibat luka sudah
tertutup dan biasanya penderita sudah tidak lagi mengenal dengan tepat tempat
luka yang pernah dialaminya.
Gambar 67. Penderita tetanus (Foto: Hydepark).

Penanganan tetanus
Setiap luka yang terjadi harus dirawat dengan baik, terutama luka yang
kecil dan dalam (misalnya luka tertusuk paku). Luka kecil harus dieksisi dan
setiap benda asing yang ditemukan harus dikeluarkan dari dalam luka.
Antibiotika diberikan untuk membasmi kuman tetanus dan mencegah
pembentukan spora. Untuk mempercepat penyembuhan, dapat diberikan
oksigen hiperbarik sehingga dalam suasana aerob kuman tetanus akan mati.
Penderita yang sudah menunjukkan gejala dini tetanus harus segera
diobati dengan memberi serum antitetanus disertai pemberian steroid misalnya
betametason, serta diberi pengobatan suportif , dan untuk mengatasi konvulsi
yang sering terjadi.

Pencegahan tetanus
Untuk mencegah tetanus, semua luka harus dirawat dan dibersihkan
dengan baik. Antibiotika harus diberikan untuk segera membasmi kuman
tetanus sehingga pembentukan toksin dapat dicegah.
Imunisasi dengan toksoid tetanus (vaksinasi) secara terjadwal pada masa
kanak-kanak dapat mengurangi angka kematian akibat tetanus. Terhadap
penderita tetanus yang belum pernah divaksinasi anti tetanus dapat dilakukan
imunisasi pasif dengan memberikan imunoglobulin yang spesifik.

19.TRAKOMA

Trakoma adalah konjungtivitis granulomatous yang disebabkan oleh


Chlamyidia trachomatis yang dapat menimbulkan komplikasi pada kornea dan
kelopak mata dan kebutaan.

Penularan trakoma
Bakteri menyebar dengan perantaraan tangan, saputangan, atau benda-
benda lain yang tercemar cairan mata penderita, atau oleh lalat yang menyukai
kotoran mata penderita.

Gejala klinis trakoma


 Gejala awal gatal mata, silau, lakrimasi meningkat
 Tampak folikel sebesar kepala jarum, berwarna pucat di daerah tarsal
mata atas.
 Keluar cairan mukopurulen
 Timbul butiran seperti tepung di konjungtiva tarsal
 Timbul ulkus, nyeri mata, mudah terinfeksi sekunder sehingga terjadi
kekeruhan kornea
 Kebutaan
Diagonis pasti : ditemukan cytoplasmic inclusion bodies pada kerokan mata
yang diwarnai Gram atau Iodine.

Gambar 68. Gejala klinis trakoma


Pengobatan dan pencegahan

Strategi SAFE WHO:

1. Surgery pada trichiasis, bulu matamasuk ke dalam mata.


2. Antibiotics: tetes mata sinc sulfat atau sulfasetamid disertai antibiotik
per oral.
3. Facial cleanliness: kebersihan mata.
4. Environmental changes: perbaikan lngkungan.

20. TUBERKULOSIS

Tuberkulosis termasuk penyakit zoonosis, karena penyakit ini dapat


ditularkan dari hewan misalnya sapi ke manusia. Penyebab tuberkulosis
terpenting yang menimbulkan masalah kesehatan di banyak negara di dunia
adalah Mycobacterium tuberculosis.

Morfologi kuman tuberkulosis


Mycobacterium adalah kuman berbentuk batang yang sering bersifat
pleomorfisme, berukuran sekitar 1-4 mikron x 0,2-0,5 mikron. Kuman yang pada
pewarnaan termasuk Gram-positif, bersifat tahan asam dan bersifat aerobik.

Penularan tuberkulosis
Kuman tuberkulosis umumnya ditularkan dari penderita manusia ke orang
lain melalui udara pernapasan. Selain itu tuberkulosis usus dapat terjadi jika
tertular kuman TBC melalui air susu sapi penderita tuberkulosis. Kuman ini juga
dapat menular melalui inokulasi kulit.
Sesudah masuk ke dalam tubuh, kuman akan menyebar ke paru-paru,
lalu bersama darah dan limfe menyebar ke berbagai organ viseral lainnya.

Gejala klinis tuberkulosis


Gejala klinis yang terjadi tergantung pada jenis organ yang terinfeksi
kuman ini. Infeksi paru-paru (tuberkulosis paru) akan menimbulkan gejala batuk-
batuk kronis yang berdahak dan kadang-kadang berdarah (hemoptisis).
Meskipun demikian sering penderita tidak menunjukkan gejala klinis atau
keluhan yang nyata selama bertahun-tahun (asimtomatis).
Gejala umum TBC adalah anoreksi dan penurunan berat badan, tubuh
terasa lelah dan lesu, demam dan sering kedinginan. Pada TBC kulit, kelainan
berupa ulkus atau papul yang berkembang menjadi pustula berwarna gelap.
TBC milier adalah tuberkulosis yang menyerang berbagai organ tubuh,
yang dijumpai pada bayi atau penderita berusia lanjut yang daya tahan tubuhnya
rendah.
Pengobatan TBC
Pengobatan tuberkulosis sebaiknya menggunakan kombinasi lebih dari
satu obat, dan diberikan dalam jangka panjang secara terus menerus, tidak
terputus di tengah jadwal pengobatan. Salah satu cara pengobatan kombinasi
untuk TBC adalah sebagai berikut:
Minggu I-IV: Rifampisin 450 mg + INH 400 mg+pirasinamid 1500 mg (diberikan
setiap hari).
Minggu V-XVII: Rifampisin 600 mg + INH 700 mg (diberikan 2 kali seminggu).
Pengobatan simtomatik diberikan untuk mereda batuk, menghentikan
perdarahan dan keluhan lainnya, sedangkan pengobatan suportif diberikan untuk
meningkatkan kondisi kesehatan dan daya tahan tubuh penderita.

Pencegahan tuberkulosis
Vaksinasi dengan BCG (Bacille Calmette-Guerin berasal dari
Mycobacterium bovis) sebaiknya diberikan dengan teratur pada masyarakat.
Pendidikan kesehatan pada masyarakat terkait dengan pencegahan
tuberkulosis, selalu minum susu sapi yang sudah dimasak atau dipasteurisasi
dan bekerja hati-hati di laboratorium pada waktu menangani hewan coba
terutama hewan primata.
Gambar 69. Vaksinasi TBC
6
PENYAKIT VIRUS

1. CACAR (VARIOLA)
2. CACAR AIR (VARISELA)
3. DEMAM CHIKUNGUNYA
4. DIARE INFANTIL
5. DENGUE
6. ENSEFALITIS JEPANG
7. FLU BURUNG
8. HEPATITIS VIRAL
9. HERPES SIMPLEKS
10. HERPES ZOSTER
11. INFLUENZA
12. MORBILI (CAMPAK)
13. PAROTITIS EPIDEMIKA
14. POLIOMIELITIS
15. RABIES
16. RUBELLA
17. SARS
1. CACAR (VARIOLA)

Penyakit cacar merupakan penyakit infeksi virus yang sangat menular


yang sering menimbulkan epidemi di masa lalu, dengan angka korban meninggal
dunia yang tinggi. Penyebab cacar adalah Variola virus yang ganas (Variola
major).

Variola virus
Virus cacar termasuk famili Poxviridae yang mempunyai virion berbentuk
batubata, dengan ukuran sekitar 250x400x100 nm(nanometer).

Penularan cacar
Manusia adalah satu-satunya hospes alami virus cacar. Cacar sangat
menular pada waktu terjadi kelainan kulit, sedangkan pada masa inkubasi dan
pada stadium prodromal penyakit ini tidak menular. Penularan terjadi secara
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung penularan terjadi dengan
bahan infektif penderita, yaitu titik ludah, sekresi jalan napas, cairan vesikel dan
pustula kulit, dan krusta kulit yang kering. Penularan tidak langsung terjadi
melalui pakaian, alat tidur dan barang-barang yang sudah tercemar bahan
infektif penderita. Pada saat ini dunia sudah dinyatakan bebas cacar.

Gejala klinis cacar


Cacar menunjukkan gejala klinis yang bertahap, yaitu gejala awal, lesi
kulit, dan adenitis umum.
Gejala awal. Pada permulaan dari penyakit, gejala cacar berupa sakit kepala
disertai nyeri punggung yang hebat, disertai gejala mirip influenza. Sesudah itu
akan terjadi fase ruam kulit (rash) yang timbul 2-3 hari sesudah munculnya
gejala awal. Rash mulai timbul di daerah dahi dan pergelangan tangan, lalu
menjalar ke lengan bawah dan kaki serta bagian belakang tubuh.
Lesi kulit. Kelainan kulit yang terjadi pada penderita cacar berupa lesi kulit yang
sama stadiumnya, sehingga mudah dibedakan dari kelainan kulit pada cacar air
(varicella). Mula-mula terbentuk makula yang mirip campak, kemudian cepat
berubah menjadi papula yang berbentuk bulat, keras dan dalam yang umumnya
tidak saling berhubungan. Sesudah itu terjadi vesikel berbentuk kubah yang jika
pecah tidak mengempis. Akhirnya terbentuk pustula yang jika mengering akan
meninggalkan kerak dan bekas cacar yang cekung. Lesi kulit juga dapat terjadi
pada mukosa mulut, faring, laring dan trakea.
Adenitis. Adenitis yang terjadi secara umum, namun ringan sifatnya.
Untuk menunjang diagnosis cacar, dilakukan pemeriksaan mikroskopis
terhadap kerokan lesi kulit untuk menunjukkan adanya elementary bodies.
Biakan virus atas bahan infektif dapat membuktikan adanya virus. Selain itu
antigen virus juga dapat ditemukan pada cairan vesikel, pustula dan krusta kulit.
Pemeriksaan serologi misalnya Uji Fiksasi Komplemen juga menunjukkan
hasil positif.

Gambar 70. Cacar pada tangan dan wajah

Pengobatan dan pencegahan variola


Tidak ada obat yang spesifik untuk memberantas virus cacar. Pemberian
antibiotika ditujukan terhadap infeksi sekunder yang terjadi. Perawatan yang baik
untuk meningkatkan daya tahan tubuh penderita dan mencegah terjadinya
infeksi sekunder. Pengobatan simtomatis diberikan sesuai dengan kebutuhan
dan disesuaikan dengan keluhan penderita.
Vaksinasi massal menggunakan vacciniavirus hidup (Live Vaccinia Virus
Vaccine) efektif untuk mencegah penularan cacar.

2. CACAR AIR (VARISELA)

Cacar air merupakan penyakit virus yang sangat menular terutama


menyerang anak-anak, disebabkan oleh Varicella-zoster virus. Virus ini termasuk
virus DNA dari famili Herpetoviridae yang mempunyai virion berdiameter 110 nm.

Penularan cacar air


Varisela (varicella) terutama menyerang anak-anak berumur antara 5-8
tahun. Epidemi varisela biasanya terjadi setiap 2-5 tahun. Penularan virus terjadi
melalui udara bersama titik ludah (droplet infection) atau melalui kontak langsung
dan tidak langsung dengan lesi kulit penderita. Penderita dengan gangguan
sistem imun akan mengalami varisela yang lebih berat gejala klinisnya, bahkan
dapat menyebabkan kematian penderita.

Gejala klinis varisela


Masa inkubasi berlangsung 14-21 hari, diikuti gejala awal berupa demam
dan malaise. Rash merupakan kelinan kulit yang pertama kali timbul di bagian
badan penderita akan menyebar ke bagian wajah, lalu ke bagian anggota gerak,
kemudia ke mukosa mulut dan faring. Vesikel akan berkembang menjadi papula
dan krusta. Pada hari ke-4 berbagai stadium lesi terjadi dalam waktu yang
bersamaan.
Komplikasi varisela dapat terjadi berupa ensefalitis atau pneumonia. Jika
tidak terjadi komplikasi, angka kematian akibat varisela kurang dari 1%.
Untuk menetapkan diagnosis pasti varisela, dapat dilakukan pemeriksaan
imunofluoresen atas lesi kulit yang menunjukkan adanya sel raksasa multi inti.
Antigen yang spesifik dapat ditemukan di dalam cairan fesikel melalui Uji difusi
gel. Dengan Uji fiksasi komplemen, uji ELISA atau pemeriksaan imunofluoresen
titer antibodi yang spesifik dapat ditentukan.

Pengobatan dan pencegahan cacar air


Perawatan yang baik untuk menjaga kondisi daya tahan tubuh penderita
harus dilakukan. Tanpa komplikasi varisela akan sembuh dengan sendirinya.
Imunoglobulin Varicella-Zoster Immune Globulin (VZIG)hanya diberikan pada
anak penderita gangguan sistem imun yang kontak dengan penderita varisela.
Vidarabine diberikan jika penderita mengalami komplikasi pneumonia
varisela yang berat atau pada anak dengan gangguan sistem imun yang
menderita varisela. Jika terjadi infeksi sekunder, antibiotika dapat diberikan,
sedangkan untuk mengurangi keluhan penderita dapat diberikan pengobatan
simtomatis.
Pada saat ini belum ada vaksin untuk mencegah penyebaran varisela.
3. DEMAM CHIKUNGUNYA

Demam chikungunya disebabkan oleh virus chikungunya, menimbulkan


gejala mirip demam dengue, tetapi jarang menyebabkan perdarahan. Penderita
mengeluh nyeri hebat pada tulang-tulangnya (break-bone fever), sehingga
penyakit ini dimasyarakat dikenal sebagai flu tulang.

Virus chikungunya
Virus penyebab chikungunya termasuk kelompok virus RNA yang
mempunyai selubung, merupakan anggota grup A arbovirus yaitu alphavirus dari
Togaviridae. Dengan mikroskop elektron virus ini menunjukkan bentuk virion
yang sferis dan kasar atau berbentuk poligonal dengan garis tengah 40-45 nm
dan inti yang berdiameter 25-30 nm.

Penyebaran chikungunya
Virus chikungunya tersebar luas di Afrika, Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Vektor utama penular chikungunya adalah nyamuk Aedes aegypti sedangkan
sumber penularan adalah manusia dan primata.
Gambar 71. Penderita demam chikungunya di India
Gejala klinis chikungunya
Demam chikungunya atau flu tulang (break-bone fever) mempunyai gejala
dan keluhan penderita mirip demam dengue, namun lebih ringan dan jarang
menimbulkan perdarahan. Keluhan utama yang dialami penderita adalah
artralgia yang merasakan nyeri pada tulang-tulang. Selain itu pembuluh
konjungtiva mata penderita tampak nyata, dan disertai demam mendadak
selama 2-3 hari.
Pemeriksaan serum penderita pada uji hemaglutinasi inhibisi atau uji
netralisasi menunjukkan tingginya titer antibodi terhadap virus chikungunya.

Pengobatan dan pencegahan demam chikungunya


Pengobatan terhadap penderita hanya ditujukan untuk mengurangi
keluhan rasa sakitnya. Belum ada obat antivirus untuk memberantas virus
penyebabnya.
Pemberantasan nyamuk merupakan tindakan pencegahan yang paling
baik. Repellen dapat dimanfaatkan untuk menghindari gigitan nyamuk.
4. DENGUE

Demam dengue dan demam berdarah dengue adalah penyakit virus yang
tersebar luas di seluruh dunia terutama di daerah tropis. Penderitanya terutama
adalah anak-anak berusia di bawah 15 tahun, tetapi sekarang banyak juga orang
dewasa terserang penyakit virus ini. Sumber penularan utama adalah manusia
dan primata, sedang penularanya adalah nyamuk Aedes.

Virus dengue
Virus penyebab demam dengue adalah virus dengue genus Flavivirus
yang termasuk Arbovirus (Arthropod Borne Virus) grup B. Virion virus
mempunyai ukuran 40 nm. Secara serologis terdapat 4 tipe virus dengue, yaitu
virus dengue tipe 1, tipe 2, tipe 3 dan tipe 4. Virus dapat berkembang biak pada
berbagai macam kultur jaringan, misalnya sel mamalia BHK (Baby Hamster
Kidney Cell) dan sel artropoda, misalnya Aedes albopictus cell.
Penularan demam dengue
Demam dengue di Indonesia endemis baik di daerah perkotaan (urban)
maupun di daerah pedesaan (rural). Di daerah perkotaan vektor penular
utamanya adalah nyamuk Aedes aegypti sedangkan di daerah urban Aedes
albopictus. Namun sering terjadi bahwa kedua spesies nyamuk tersebut terdapat
bersama-sama pada satu daerah, misalnya di daerah yang bersifat semi-urban.
Hewan primata di daerah kawasan hutan dapat bertindak sebagai sumber infeksi
penularan.

Gejala klinis infeksi virus dengue


Masa inkubasi demam dengue pada manusia berlangsung sekitar 4-5
hari. Gejala awal demam dengue yang berlangsung 1-5 hari tidak spesifik,
berupa demam ringan, sakit kepala dan malaise. Demam yang terjadi mendadak
dalam waktu 2-7 hari turun menjadi suhu normal. Gejala klinis lain yang dapat
terjadf berupa anoreksia, nyeri punggung, nyeri tulang dan sendi.
Demam berdarah dengue (DBD). Manifestasi DBD berupa perdarahan
umumnya timbul pada hari kedua terjadinya demam. Perdarahan pada kulit
mudah dilihat jika dilakukan uji turniket . Perdarahan juga mudah terjadi pada
waktu dilakukan pungsi vena. Bentuk perdarahan dapat berupa petekia, purpura,
epistaksis dan kadang-kadang juga terjadi perdarahan gusi, hematemesis dan
melena. Keluhan nyeri perut yang hebat menunjukkan akan terjadinya
perdarahan gastrointestinal dan syok. Pada awal terjadinya demam, penderita
menunjukkan adanya hepatomegali yang biasanya diikuti syok yang terjadi pada
hari ke- 3 sejak sakitnya penderita.
Gambar 72. Perdarahan pada DBD

Pada pemeriksaan darah penderita gambaran darah menunjukkan


trombosit yang rendah (kurang dari 100.000 per ml) hematokrit lebih dari 20%
pada pemeriksaan yang kedua, dan kadar hemoglobin Sahli lebih dari 20%.
Pemeriksaan serologi, misalnya uji fiksasi komplemen, uji inhibisi
aglutinasi dan uji netralisasi mendukung tegaknya diagnosis demam dengue dan
demam berdarah dengue.
Isolasi virus dengue dari darah penderita dilakukan dengan melakukan
pembiakan pada kultur jaringan, misalnya BHK cell culture.
Penanganan dengue dan DBD
Belum ada obat antivirus untuk memberantas virus dengue. Penderita
DBD diatasi perdarahan dan syoknya, daya tahan tubuh penderita ditingkatkan,
dan pengobatan simtomatis diberikan untuk meringankan keluhan penderita.
Gambar 73. Perawatan penderita DBD

Pencegahan penularan virus dengue


Memberantas nyamuk Aedes merupakan cara terbaik mencegah
penyebaran virus dengue. Pemberantasan nyamuk dewasa maupun larva
nyamuk harus dilakukan bersama dengan pemusnahan sarang nyamuk. Selain
itu repellen dapat digunakan untuk mencegah gigitan nyamuk.

5. DIARE INFANTIL
Diare pada anak (diare infantil) disebabkan oleh Rotavirus , virus RNA
yang termasuk famili Reoviridae. Terdapat 4 serotipe virus ini yang menginfeksi
manusia terutama serotipe A dan 3 serotipe yang menginfeksi hewan.

Rotavirus
Virus ini yang bersifat zoonotik ini berbentuk seperti roda pedati,
mempunyai virion tidak berselubung yang bergaris tengah antara 65-75 nm.

Gambar 74. Rotavirus (Rochdale University)

Penyebaran diare infantil


Virus penyebab diare infantil tersebar luas di seluruh dunia, dapat
menyerang hewan maupun manusia. Rotavirus merupakan penyebab tunggal
gastroenteritis pada anak yang terpenting. Setiap tahun lebih dari 500 juta anak
berumur di bawah 5 tahun yang menderita diare infantil dengan korban
meninggal lebih dari 5 juta. Sekitar 50-60% anak penderita gastroenteritis yang
dirawat inap di rumah sakit adalah diare infantil. Orang dewasa jarang menderita
diare akibat infeksi rotavirus kecuali orang-orang lanjut usia yang daya tahan
tubuhnya rendah.
Epidemi timbul mendadak terutama di musim dingin, terutama menyerang
anak berumur antara 6 bulan sampai 2 tahun yang hidup dalam kelompok padat,
misalnya di asrama, panti perawatan anak, panti asuhan dan keluarga besar
yang buruk lingkungan hidupnya. Penularan terjadi secara fekal-oral, dan sering
bersifat infeksi nosokomial. Bayi berumur di bawah 9 bulan masih mendapatkan
antibodi terhadap rotavirus dari ibunya, sedangkan anak berumur di atas 6 tahun
sebagian besar telah mempunyai antibodi terhadap virus ini.

Gejala klinis diare infantil


Rotavirus hanya menimbulkan gangguan pada alat pencernaan anak dan
secara langsung tidak mengganggu organ-organ lainnya.
Sesudah masa inkubasi 3-4 hari, penderita mengalami demam
mendadak, sakit perut dan muntah-muntah, diikuti diare cair yang cepat
menimbulkan dehidrasi, asidosis dan syok. Kehilangan cairan yang berat
merupakan penyebab utama kematian penderita.
Diagnosis pasti penyebab diare ditentukan dengan menemukan partikel-
partikel rotavirus di dalam tinja penderita dengan menggunakan mikroskop
elektron. Pemeriksaan serologi dengan uji ELISA (Enzyme Linked
Immunospecific Assays) dan uji RIA (Radioimmunoassay) merupakan metoda
pilihan untuk menegakkan diagnosis infeksi rotavirus.

Pengobatan diare infantil


Pengobatan suportif diberikan terhadap gastroenteritis yang terjadi,
berupa pemberian cairan secara intravena dengan segera untuk mengatasi
kehilangan cairan dan elektrolit yang menyebabkan terjadinya dehidrasi,
asidosis, syok dan kematian penderita.

Pencegahan penularan virus


Untuk mencegah penyebaran virus, penanganan limbah cair dan
perbaikan sanitasi lingkungan harus dilakukan secara terus menerus.
Vaksinasi menggunakan rotavirus hidup yang berasal dari sapi diberikan
per oral dapat memberikan perlindungan pada anak dari infeksi alami virus ini.
Pemberian susu sapi segar yang telah dipasteurisasi pada bayi memberi
perlindungan pada bayi karena susu sapi mengandung neutralizing antibodies
terhadap rotavirus

5. ENSEFALITIS JEPANG
Radang otak Jepang disebabkan oleh Japanese B Encephalitis virus
(JEV) yang termasuk Arbovirus. Di Indonesia Ensefalitis Jepang ditularkan oleh
nyamuk Culex tritaeniorhynchus. JEV termasuk genus Flavivirus , virus RNA dari
famili Flaviviridae yang mempunyai ukuran 40-50 nm.

Penyebaran virus JEV


Virus JEV tersebar luas di India, Asia Timur dan Asia Tenggara termasuk
Indonesia. Di daerah endemik, ensefalitis Jepang terutama diderita oleh anak
berumur antara 3 dan 15 tahun. Selain manusia, kuda dan babi banyak yang
mati akibat terinfeksi virus penyebab ensefalitis ini.
Sumber utama penular JEV pada manusia adalah babi, karena binatang
ini bertindak sebagai hospes penguat (amplifier host) yang meningkatkan jumlah
dan sifat keganasan virus JEV sehingga meningkatkan kemampuan menular
virus ini terhadap manusia dan hewan-hewan lainnya.
Nyamuk yang menularkan JEV adalah Culex tritaeniorrhynchus dan Culex
gelidus.

Gejala klinis dan diagnosis


Pada manusia, sesudah masa inkubasi 6-16 hari penderita mengalami
demam, sakit kepala, konvulsi, kaku kuduk, mual, muntah, fotofobi, nyeri perut,
diare, paresis lokal dan gangguan koordinasi gerak. Kemudian akan terjadi
kelumpuhan spastik, terjadinya koma dan penderita meninggal dunia. Angka
kematian ensefalitis dapat mencapai 20-50%.
Dengan uji serologi ELISA dapat ditunjukkan adanya IgM pada cairan
serebrospinal, sedangkan titer pada uji fiksasi komplemen dan uji netralisasi
antibodi menunjukkan peningkatan 4 kali lipat.
Isolasi virus dari jaringan otak dan darah fetus babi yang diinokulasikan
secara intraserebral pada anak mencit akan menyebabkan terjadinya gangguan
saraf 4-14 hari sesudah inokulasi.
Penanganan penderita ensefalitis
Tindakan suportif berupa perawatan yang baik, pemberian cairan elektrolit
dan oksigen sesuai dengan kebutuhan diberikan bersama obat-obatan
simtomatik untuk mengatasi demam, antikonvulsan jika penderita kejang-kejang
dan diberikan mannitol untuk menurunkan tekanan intrakranial.
Belum ada antivirus yang sesuai untuk memberantas JEV. Antibiotika
dapat diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.

Gambar 75. Perawatan pada penderita ensefalitis Jepang


(BBC News,2005)

Pencegahan penyebaran penyakit


Vaksinasi inaktif diberikan pada anak-anak yang merupakan kelompok
sensitif terhadap JEV. Selain itu memberantas nyamuk penularnya dan
mencegah gigitannya menggunakan repellen akan mencegah penularan
penyakit. Prosedur pengamanan kerja di laboratorium harus dilakukan dengan
baik.
Selain itu terhadap kuda dan babi dilakukan vaksinasi inaktif sebelum
hewan-hewan tersebut dikawinkan.

7. FLU BURUNG

Flu burung disebabkan oleh virus Avian influenza (AI) tipe A. subtipe
H5N1 virus influenza ini dapat menular dari unggas ke hewan mamalia, misalnya
kuda dan babi dan juga dapat menular ke manusia. Virus influenza tipe A dari
subtipe H7N7 dan H5N3 menimbulkan gejala klinis yang berat dan bahkan
kematian pada manusia.

Virus Avian influenza


Virus penyebab flu burung termasuk influenzavirus dari famili
Orthomyxoviridae dengan ukuran 90-120 nm. Virus Avian influenza (AI) tipe A
subtipe H5N1 menular dari unggas ke manusia dan mamalia. Bagian luar virus
terdapat tonjolan-tonjolan yang memberi sifat-sifat khas virus influenza.

Penyebaran flu burung


Sumber penularan virus AI adalah unggas, misalnya ayam, burung dan
itik. Kuda dan babi juga dapat menjadi sumber infeksi AI karena hewan-hewan
tersebut merupakan hospes reservoir. Karena itu peternakan ayam dan babi
merupakan tempat yang harus selalu diawasi dengan ketat. Penularan virus
terjadi melalui udara yang mengandung bahan infektif dalam bentuk titik
ludah(droplet) pada waktu penderita batuk atau bersin-bersin.

Gejala klinis flu burung


Sesudah melewati masa inkubasi selama 1-3 hari, penderita akan
mengalami demam dengan menggigil, sakit kepala, malaise, lemah badan, nyeri
otot, fotofobi, dan konjungtiva merah. Komplikasi yang dapat terjadi berupa
bronkitis, sinusitis, batuk berdahak dan pneumonia disertai batuk darah.
Diagnosis flu burung ditetapkan jika dapat ditemukan virus penyebabnya
melalui biakan atas hapusan tenggorok. Pemeriksaan serologi misalnya uji
inhibisi hemaglutinasi dan uji fiksasi komplemen dapat mendukung
ditegakkannya diagnosis flu burung.

Penanganan flu burung


Penderita flu burung harus diisolasi untuk mencegah penularan penyakit
pada orang lain, dan agar penderita tidak tertular infeksi sekunder.
Obat antiviral untuk memberantas virus flu burung yaitu tamiflu harus
diberikan sedini mungkin, kurang dari 3 hari sesudah terjadinya infeksi. Penderita
harus diberi pengobatan suportif untuk meningkatkan daya tahan tubuh
penderita. Obat-obatan simtomatis untuk mengurangi keluhan penderita
sedangkan antibiotika hanya diberikan jika terjadi infeksi sekunder oleh bakteri.

Gambar 76. Perawatan intensif penderita flu burung


(drugdelivery.ca/birdflu/xin-)
Pencegahan flu burung
Vaksinasi aktif dilakukan terhadap orang yang berisiko tinggi tertular virus
Avian influenza. Populasi unggas (peternakan) yang diduga telah terinfeksi atau
diduga menjadi sumber penularan virus AI harus dilakukan pemusnahkan.
Vaksinasi unggas dilakukan sesuai dengan ketentuan dan prosedur WHO (World
Health Organization). Konsumsi daging unggas berasal dari daerah epidemis
harus dihentikan dan dilarang. Babi dan kuda sebaiknya divaksinasi satu tahun
satu kali karena hewan–hewan tersebut juga merupakan hospes reservoir virus
flu burung.

8. HEPATITIS VIRAL

Hepatitis pada manusia yang disebabkan oleh virus hepatitis tersebar luas
di seluruh dunia. Terdapat 3 jenis virus penyebabnya, yaitu virus hepatitis A
(VHA), virus hepatitis B (VHB) dan virus hepatitis C (VHC).

Virus hepatitis
Virus hepatitis A (VHA) bentuknya mirip enterovirus dengan garis tengah
27 nm. Virion mempunyai 3 jenis polipeptida yang stabil pada pH 3,0 dan tidak
dirusak oleh eter, tahan terhadap sinar ultraviolet, tahan terhadap desinfektan,
tahan terhadap pemanasan 600C selama 20 jam dan tetap stabil jika disimpan di
dalam pendingin dengan suhu minus 20 0C selama 20 tahun lamanya. VHA
menjadi tidak aktif oleh formalin, glutaraldehid dan larutan hipoklorit.
VHB mempunyai 3 bentuk morfologi, yaitu bentuk sferis, bentuk filamen,
dan bentuk partikel Dane.
VHC mempunyai virion yang tidak berselubung, bentuknya mirip
picornavirus.

Penyebaran hepatitis viral


VHA ditularkan dari penderita ke orang lain lewat jalur fekal-oral,
sedangkan VHB ditularkan secara parenteral (melalui suntikan) dan melalui
kontak seksual.

Diagnosis klinis hepatitis


Masa inkubasi dapat berlangsung lama (sekitar 120 hari) atau
berlangsung pendek, kurang dari 45 hari. Pada hepatitis dengan masa inkubasi
kurang dari 45 hari, gejal-gejala timbul mendadak berupa demam, malaise,
anoreksia, mual dan ikterus. Pada hepatitis dengan masa inkubasi panjang,
gejala klinis umumnya ringan dan terjadi perlahan-lahan tanpa disertai demam.
Pemeriksaan darah menunjukkan fungsi hati terganggu dengan SGPT
dan SGOT meningkat, alkali fosfatase dan bilirubin serum meningkat. IgG dan
IgM meningkat dan TTT (Thymol tubidity Yest) menunjukkan hasil positif. Pada
masa inkubasi dan pada fase awal penyakit, virus VHA sudah berada di dalam
darah dan tinja penderita. Pemeriksaan urine penderita menunjukkan bilirubin
yang meningkat dan protein positif.

Pengobatan hepatitis viral


Belum ada obat yang spesifik untuk membasmi virusnya. Penderita harus
beristirahat penuh dan mendapatkan diet yang adekwat. Jika ikterus berlangsung
lama, penderit diberi vitamin K .

Pencegahan hepatitis
Untuk mencegah penularan hepatitis A, diberikan gamma globulin pada
orang-orang yang sering berhubungan dengan penderita, misalnya dokter,
perawat dan keluarga penderita. Higiene sanitasi perorangan dan lingkungan
harus dijaga dengan baik untuk menghindari kontak dengan bahan infektif baik
yang berasal dari manusia maupun dari hewan.
Vaksinasi terhadap hepatitis B dilakukan menggunakan B-HEPAVAC dan
HEVAC-B-Pasteur.
9. HERPES SIMPLEKS

Herpes simpleks disebabkan oleh Virus herpes simplex (VHS) yang


termasuk Herpetovirus dalam famili Herpetoviridae. Virion virus berukuran 110
nm. Terdapat 2 tipe VHS, yaitu VHS tipe 1 yang menyerang selubung saraf
trigeminus atau ganglion saraf, dan VHS tipe 2 yang menyebabkan kerusakan
pada daerah vulvovaginal.

Penularan herpes simpleks


Manusia merupakan satu-satunya sumber penularan herpes simpleks.
Infeksi primer terjadi pada anak berumur di bawah lima tahun (balita), terutama
yang berasal dari keluarga miskin pada populasi padat penduduk.
Penularan primer terjadi melalui droplet titik ludah dan cairan rongga
mulut, melalui sekret konjungtiva dan dengan kontak langsung secara genital
melalui jalan lahir pada waktu berlangsung proses persalinan.
Penularan sekunder terjadi akibat provokasi atau rangsangan penyakit-
penyakit demam, alergi, trauma mekanik atau psikis dan paparan sinar matahari
yang berlebihan.

Gejala klinis herpes simpleks


VHS tipe 1 menimbulkan gejala-gejala klinis antara lain :
 Faringitis
 Gingivostomatitis
 Herpes labiales, herpesfebralis atau herpes fasialis
 Herpetik keratokonjungtivitis

VHS tipe 2 menunjukkan gambaran klinis:


 Herpes genitalis atau
 Herpes vulvovaginitis.

Gambar 77. Herpes simpleks akibat infeksi VHS tipe 1.


(www.visualdxhealth.com)

Separuh dari bayi yang menderita infeksi VHS lahir prematur. Herpes kulit
dan mulut dapat menyebar ke organ-organ viseral atau ke otak.
Untuk menentukan virus penyebabnya, dilakukan pemeriksaan sitologi atas
jaringan organ yang mengalami kerusakan. Pemeriksaan serologi dengan uji
serologi netralisasi untuk menentukan adanya antibodi (IgG dan IgM) atau
penentuan tipe antigen dengan menggunakan antibodi monoklonal.

Pengobatan herpes simpleks


Human gamma globulin diberikan sebagai pengobatan umum herpes
simpleks. Untuk menurunkan angka kematian bayi akibat infeksi VHS dapat
diberikan Adenine arabinoside secara intravenus.
Herpetik meningoensefalitis diobati dengan asiklovir intravenus, cytarabin
atau antimetabolit lainnya. Penderita keratokonjungtivitis dapat diobati dengan
asiklovir lokal atau 5-iodo-deoxyuridine. Untuk mengurangi keluhan penderita
diberikan obat-obatan paliatif.

Pencegahan penularan
Ibu hamil yang pernah menderita herpes simpleks pada organ genitalnya
sebaiknya diperiksa secara virologis maupun sitologis. Pemeriksaan dilakukan
pada trimester akhir kehamilan. Operasi caesar dapat dilakukan untuk mencegah
penularan herpes dari ibu ke bayi yang dilahirkannya.

10. HERPES ZOSTER

Herpes zoster atau Shingles adalah penyakit menular sporadik yang


menginfeksi orang dewasa. Penyebabnya adalah Virus Varicella-Zoster (VVZ)
yang menyerang segmen unilateral akar posterior ganglion atau saraf kranial.
VVZ termasuk virus DNA dari famili Herpetoviridae yang mempunyai virion
berselubung bergaris tengah 110 nm.

Penyebaran penyakit zoster


Penyakit zoster menular secara sporadik, tidak tergantung musim. Gejala
klinis muncul akibat terjadinya reaktivasi virus bentuk laten yang sebelumnya
telah berada di ganglion sensorik, sesudah penderita sembuh dari penyakit
varisela.
Zoster hanya terjadi pada orang dewasa. Penularan VVZ pada anak, akan
menimbulkan penyakit varisela pada anak.

Gejala klinis zoster


Gejala umum yang terjadi pada infeksi VVZ adalah demam dan malaise.
Penderita kemudian akan mengeluh nyeri hebat pada daerah sebaran akar-akar
saraf terutama yang terdapat di daerah iga, disertai timbulnya kelompok-
kelompok vesikel pada daerah sebaran saraf yang sama.

Diagnosis zoster
Gejala klinis zoster untuk menentukan diagnosis diperkuat dengan
melakukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan hapusan vesikel akan
menemukan sel raksasa multi inti (multinuclear giant cell) dan badan inklusi
(nuclear inclusion body)
Pemeriksaan atas cairan serebrospinal menunjukkan tekanan meningkat,
sedangkan pemeriksaan mikroskopis menunjukkan adanya monosit.
Pemeriksaan serologi dengan Uji fiksasi komplemen atau ELISA
menunjukkan terjadinya peningkatan titer antibodi IgG dan IgM yang spesifik.

Gambar
78.

Kelompok vesikel herpes zoster di daerah iga


(Foto: V.Paekh/ missinglink.ucsf.edu/-)

Pengobatan dan pencegahan herpes zoster


Penderita zoster dapat diberi pengobatan dengan serum hiperimun
(Human Serum Hyperimmune, Varicella-Zoster Immune Globulin-VZIG). Jika
tidak terjadi komplikasi zoster dapat menyembuh dengan sendirinya. Untuk
mengurangi rasa nyeri diberikan obat pereda nyeri. Bila terjadi lesi pada mata,
kepada penderita diberikan atropin dan kortison. Infeksi sekunder dengan bakteri
dapat diatasi dengan antibiotika yang sesuai.
Jika terjadi zoster yang berat pada orang dewasa dapat diberikan obat
antivirus Vidarabin, sedangkan zoster yang progresif diatasi dengan asiklovir
intravenus. Obat-obatan antivirus sebaiknya diberikan segera, selambat-
lambatnya 3 hari sesudah timbulnya kelainan kulit.
Untuk mencegah penularan VVZ pada bayi yang ibunya menderita
varisela, diberikan Human Serum Hyperimun (VZIG )sebanyak 125 unit, karena
sampai sekarang belum ada vaksin untuk mencegah infeksi zoster.

11. HIV / AIDS

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah penyebab Acquired


Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Virus ini termasuk RNA virus genus
Lentivirus golongan Retrovirus famili Retroviridae.

Penyebaran HIV/AIDS
HIV/AIDS ditularkan melalui darah penderita, misalnya pada waktu
tranfusi darah atau penggunaan alat suntik yang dipakai bersama-sama.
Penularan melalui hubungan seksual baik pada homoseksual maupun
heteroseksual dan penularan pada waktu proses kelahiran dari ibu yang
menderita HIV/AIDS ke anak yang dilahirkannya juga merupakan penyebaran
utama penyakit ini.
Gejala klinis HIV/AIDS
Penderita yang terinfeksi HIV dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan,
yaitu :
1. Penderita asimtomatik, tanpa gejala, yang terjadi pada masa inkubasi
yang berlangsung antara 7 bulan sampai 7 tahun lamanya.
2. Persistent Generalized Lymphadenopathy (PGL) dengan gejala
limfadenopati umum.
3. AIDS Related Complex (ARC) dengan gejala lelah, demam, dan
gangguan sistemimun atau kekebalan.
4. Full Blown AIDS merupakan fase akhir AIDS dengan gejala klinis yang
berat berupa diare kronis, pneumonitis interstisial, hepatomegali,
splenomegali, dan kandidiasis oral yang disebabkan oleh infeksi
oportunistik dan neoplasia misalnya Sarkoma Kaposi. Penderita
akhirnya meninggal dunia akibat komplikasi penyakit infeksi sekunder.

Gambar 79. Penderita AIDS

Diagnosis HIV/AIDS
Untuk menentukan diagnosis pasti HIV/ AIDS, virus penyebabnya dapat
diisolasi dari limfosit darah tepi atau dari sumsum tulang penderita.
Untuk membantu menegakkan diagnosis, dilakukan pemeriksaan serologi
untuk menentukan antibodi terhadap HIV dengan uji ELISA, uji imunofluoresens,
radioimmunoprecipitin assay dan western blot technique.

Pengobatan dan pencegahan HIV/AIDS


Beberapa obat antivirus telah digunakan untuk mengobati penderita
terinfeksi HIV dan hasilnya masih dalam evaluasi.
Untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS harus dilakukan pemberantasan
prostitusi, homoseksual, pengawasan tranfusi darah, pemberantasan narkoba
suntikan dan pendidikan seksual pada masyarakat.

12. INFLUENZA

Influenza merupakan penyakit virus yang endemik di seluruh dunia dan


sering menjadi epidemi di banyak negara. Penyebab influenza adalah virus
influenza tipe A,B dan C, virus berukuran 200 nm yang mempunyai selubung
virion. Virus influenza termasuk famili Orthomyxoviridae.
Gambar 80. Virus influenza
Penyebaran influenza
Virus influenza tipe A sering menimbulkan epidemi yang berulang setiap
2-4 tahun. Virus influenza tipe B dan C hanya menyebabkan epidemi sporadik di
daerah tertentu saja. Epidemi influenza terjadi secara tiba-tiba, menyebar
dengan cepat dan mencapai puncaknya dalam waktu 3 bulan. Sesudah itu
epidemi akan berakhir dengan segera.
Daerah dengan populasi padat penduduk terutama anak-anak merupakan
predisposisi utama terjadinya epidemi influenza. Pada orang berusia lanjut,
influenza sering diikuti infeksi sekunder , misalnya pneumonia bakterial.

Gejala klinis influenza


Sesudah masa inkubasi 1-2 hari, gejala umum dan keluhan yang tidak
khas terjadi berupa malaise umum, sistem kataral sistemik, demam menggigil,
kadang-kadang muntah dan diare, sakit kepala, mialgia dan sakit tenggorok.
Daya tahan tubuh penderita dan adanya infeksi sekunder mempengaruhi
beratnya influenza.
Komplikasi berupa infeksi sekunder bakterial dengan kuman
Staphyllococcus aureus, Haemophyllus influenzae dan pneumokokus dapat
menimbulkan otitis, sinusitis, mastoiditis, bronkiolitis, bronkopneumoni,
miokarditis dan perikarditis.
Diagnosis influenza
Karena gejala klinis tidak khas, diagnosis pasti influenza ditegakkan
melalui pemeriksaan laboratorium, yaitu :
1. Isolasi virus. Bahan infektif penderita yaitu usapan tenggorok (sampai
hari ke-4 penyakit) dibiakkan pada kultur jaringan atau embrio telur.
2. Pemeriksaan serologi. Untuk mengetahui adanya antibodi yang spesifik
dilakukan Uji fiksasi komplemen atau Uji hemaglutinasi inhibisi.
3. Pemeriksaan darah. Darah menunjukkan gambaran leukositosis jika
terjadi komplikasi atau infeksi sekunder.

Pengobatan influenza
Penderita sebaiknya istirahat di tempat tidur dan mendapatkan cukup
cairan dan diet rendah lemak. Pengobatan simtomatik diberikan untuk
menurunkan demam, meredakan batuk, sakit kepala dan nyeri otot. Jika terjadi
infeksi sekunder antibiotika yang sesuai dapat diberikan. Terapi pencegahan
menggunakan antibiotika dapat diberikan pada penderita influenza yang rentan
terhadap infeksi sekunder, yaitu orang-orang berusia lanjut, penderita dengan
gangguan sistem imun atau yang sedang dalam pengobatan kortikosteroid
jangka panjang.

Pencegahan influenza
Vaksinasi. Vaksinasi dilakukan dengan memberikan vaksin polivalen
yang mengandung virus influenza tipe A dan tipe B yang dilemahkan. Orang
yang alergi terhadap protein telur jangan diberi vaksinasi.
Penderita berusia lanjut dapat diberi amantadine (symmetrel) sebagai terapi
pencegahan terhadap influenza.

12. MORBILI (CAMPAK)


Campak atau gabag (disebut juga sebagai rubeola atau measles) adalah
penyakit virus yang sangat menular. Manusia merupakan satu-satunya hospes
alami virus ini. Virus morbili sangat peka terhadap temperatur. Virus campak
termasuk famili Paramyxovirus yang berukuran diameter 140 milimikron. Virus ini
tidak tahan panas dan akan mati pada pH kurang dari 4,5.

Penyebaran campak
Morbili tersebar luas di seluruh dunia, menginfeksi semua orang tidak
tergantung pada jenis ras, maupun status sosial ekonomi penderitanya. Epidemi
terjadi setiap 3-5 tahun satu kali, terutama terjadi di musim dingin. Sebagian
besar penderitanya adalah anak-anak. Penularan virus terjadi secara langsung
melalui cairan hidung dan tenggorok, air mata, titik ludah waktu batuk, bersin dan
berbicara.

Gejala klinis campak


Masa inkubasi 9-14 hari akan diikuti oleh gejala-gejala berupa demam
tinggi, malaise , nyeri otot, sakit kepala, konjungtivitis berat, lakrimasi, fotofobi,
rinitis, radang kataral berat pada selaput lendir hidung, batuk dan bersin-bersin.
Sesudah gejala prodromal tersebut, akan timbul erupsi makulopapula
berwarna merah yang mulai timbul di belakang telinga atau di wajah, lalu
menyebar ke arah badan dan akhirnya mencapai tangan dan kaki. Pada fase
akhir dari penyakit akan terjadi deskuamasi kulit.
Bercak koplik. Bercak khas yang menentukan diagnosis campak ini
berupa makula kecil berwarna merah atau berbentuk ulkus dengan pusat ulkus
berwarna putih kebiruan yang terdapat di daerah pipi selaput lendir mulut.
Komplikasi campak yang dapat terjadi antara lain bronkitis, otitis media,
pneumonia, ensefalomielitis, abortus dan miokarditis yang reversibel.
Gambar 81. Erupsi makulopapula pada campak
(www.brazilescola.com)

Diagnosis campak
Virus campak dapat ditemukan melalui biakan darah dan hapusan
tenggorok. Pemeriksaan serologi untuk membantu menegakkan diagnosis
campak yang dapat dilakukan, misalnya Uji antibodi imunofluoresen, Uji
netralisasi, Uji fiksasi komplemen dan Uji hemaglutinasi inhibisi.
Pemeriksaan histopatologi eksudat hidung dapat menemukan Giant cell.
Gambaran darah menunjukkan leukopeni dengan lekosit di bawah 4.000/ml.

Pengobatan dan pencegahan campak


Belum ada antivirus untuk membasmi virus campak. Pengobatan
simtomatik diberikan untuk mengurangi gejala dan keluhan penderita, sedangkan
antibiotika hanya diberikan jika terjadi infeksi sekunder dan untuk mencegah
timbulnya komplikasi. Daya tahan tubuh penderita ditingkatkan dengan memberi
diet gizi tinggi.
Pencegahan dilakukan dengan vaksinasi menggunakan virus campak
hidup yang dilemahkan. Vaksinasi diberikan pada semua anak berumur di atas 9
bulan yang memberikan perlindungan sampai 4-5 tahun lamanya.

14. PAROTITIS EPIDEMIKA


(MUMPS)

Parotitis epidemika atau mumps atau gondong, termasuk penyakit virus


menular yang disebabkan oleh mumpsvirus yang menyerang kelenjar ludah,
testes dan pankreas. Virus ini dapat menyerang manusia, tikus dan hamster.

Mumps virus
Virus penyebab parotitis epidemika yaitu mumpsvirus adalah virus RNA
dari genus Parainfluenza yang termasuk Paramyxoviridae. Virus ini mempunyai
selubung (enveloped virus) dengan virion yang bergaris tengah antara 150-300
nm. Virus dapat dibiakkan pada kultur jaringan sel embrio manusia dan sel ginjal
kera. Hanya terdapat satu tipe antigenik virus mumps.

Penularan parotitis epidemika


Parotitis epidemika (mumps) merupakan infeksi akut yang menyerang
anak-anak dan dewasa muda. Manusia penderita merupakan sumber penularan
bagi orang lain, meskipun virus juga dapat menimbulkan infeksi berat pada tikus
dan hamster. Penularan bahan infektif terjadi secara langsung dari penderita
atau melalui udara yang tercemar bahan infektif penderita. Saliva penderita
sangat menular, terutama sejak 6 hari sebelum terjadinya parotitis. Virus masih
dapat dijumpai di dalam saliva 15 hari sesudah parotitis telah sembuh secara
klinis.
Karena hanya ada satu tipe antigen mump virus, maka sesudah penderita
sembuh dari sakitnya ia akan memperoleh kekebalan terhadap parotitis
epidemika untuk seumur hidupnya.
Gejala klinis parotitis epidemika
Masa inkubasi yang berlangsung antara 16-20 hari diikuti gejala awal
berupa pembesaran satu atau kedua kelenjar ludah (parotis glands). Kadang-
kadang terjadi nyeri testis. Pada infeksi berat, gejala awal yang terjadi dapat
berupa demam, malaise, menggigil, sakit kepala, sakit tenggorok, sakit telinga
dan nyeri sepanjang saluran parotis. Pembesaran kelenjar parotis mudah dilihat
di bawah telinga. Gejala parotitis pada anak umumnya lebih ringan dari pada
orang dewasa.
Komplikasi pada orang dewasa berupa orkitis yang unilateral yang terjadi
pada 25% penderita dewasa. Nekrosis testis jika terjadi menimbulkan steril total.
Komplikasi pada orang dewasa dapat juga berupa pankreatitis dan gangguan
pada organ atau jaringan lain, misalnya prostat, mastoid, ovarium, tiroid, timus,
limpa dan hati.

Gambar 82. Pembesaran kelenjar parotis


(Illinois Department of Public Health)
Diagnosis mumps
Diagnosis pasti ditegakkan dengan membiakkan saliva, cairan spinal atau
urine penderita pada rongga alantoin embrio ayam atau pada sel ginjal kera.
Adanya mumpsvirus ditunjukkan dengan uji hemaglutinasi inhibisi (HI Test) .
Pengobatan dan pencegahan mumps
Penderita harus istirahat di tempat tidur dan diberi terapi simtomatis untuk
mengurangi keluhannya. Jika terjadi orkitis, obati penderita dengan Gamma
globulin, Stilboesterol dan kortison.
Untuk mencegah penyebaran mumpsvirus, diberikan gamma globulin
hiperimun. Vaksinasi dengan menggunakan virus hidup yang dilemahkan dan
dibiakkan pada embrio ayam ini berhasil memberi perlindungan terhadap infeksi
mumps dengan memuaskan.
14. POLIOMIELITIS

Poliomielitis atau infantile paralysis adalah penyakit infeksi virus yang


menyerang sistem saraf pusat dan otot-otot termasuk otot jantung. Penyebabnya
adalah poliomyelitis virus yang termasuk enterovirus golongan virus RNA dari
famili Picornaviridae. Virus yang tidak berkapsul ini mempunyai virion berukuran
diameter 20-40 nm. Terdapat 3 tipe antigenik virus poliomielitis, yaitu tipe 1, 2
dan tipe 3.

Penyebaran polio
Polio merupakan penyakit endemik di seluruh dunia, umumnya bersifat
tanpa gejala (asimtomatis) karena terjadinya kekebalan aktif pada populasi
penduduk. Paralisis yang terjadi pada penderita polio terutama disebabkan oleh
polio virus tipe 1. Epidemi polio di masa lalu banyak menyebabkan kematian
penderita dan terjadinya kelumpuhan akibat kerusakan saraf.
Infeksi terjadi melalui makanan atau minuman yang tercemar bahan
infektif yang mengandung virus polio. Manusia penderita merupakan satu-
satunya sumber penularan bagi orang lain, terutama karier polio yang sulit
dideteksi yang dapat menularkan virus melalui kontak langsung.

Gejala klinis polio


Sesudah melewati masa inkubasi yang lamanya 1-5 minggu, penderita
akan mengalami demam, menggigil, sakit tenggorok, sakit kepala yang berat,
mual, muntah, kaku leher dan sakit punggung, kemudian diikuti dengan
kelumpuhan. Hanya polio paralitik yang dapat didiagnosis secara klinis.

Gambar 83 . Penderita polio dengan kecacatan saraf

Diagnosis polio
Untuk memastikan diagnosis polio, sejak stadium awal penyakit sudah
dapat dideteksi virus penyebabnya, yaitu dengan membiakkan tinja atau
hapusan tenggorok pada medium sel ginjal kera. Jika sudah terjadi paralisis,
hanya bahan infektif yang berasal dari alat pencernaan yang masih mengandung
virus.
Untuk membantu menegakkan diagnosis dilakukan pemeriksaan serologi,
antara lain uji netralisasi untuk menunjukkan titer antibodi yang meningkat serta
uji fiksasi komplemen yang menunjukkan hasil positif. Pemeriksaan darah
penderita polio menunjukkan gambaran lekositosis ringan atau normal,
sedangkan pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan kadar protein yang
tinggi sedangkan kadar gula normal.
Pengobatan dan perawatan polio
Penderita polio terutama anak-anak sebaiknya istirahat di tempat tidur.
Pengobatan simtomatis diberikan sesuai dengan keluhan penderita dan gejala
klinis yang terjadi. .
Pada waktu terjadi epidemi polio, segera sesudah tipe virus polio
penyebabnya dapat ditentukan, semua orang yang peka terhadap polio diberi
vaksinasi dengan vaksin monovalen Sabin. Pemberian gamma globulin
hiperimun pada 3-5 minggu sebelum terjadinya kelumpuhan dapat mencegah
proses kelumpuhan. Jika sudah terjadi kelumpuhan, pemberian gamma globulin
hiperimun tidak dapat menyembuhkan kelumpuhan penderita.
Jika terjadi gangguan pernapasan yang berat, jika perlu dapat dilakukan
trakeotomi.

Pencegahan polio
Vaksinasi merupakan tindakan sangat penting untuk mencegah
penyebaran polio. Vaksin Sabin ( live attenuated vaccine) yang diberikan per oral
sebanyak 2 dosis, efektivitas vaksinasinya dapat mencapai 100%.
Vaksin Salk, suatu formalin inactivated vaccine yang diberikan dalam
bentuk suntikan, paling sedikit harus diberikan sebanyak 4 kali dalam jangka
waktu beberapa tahun.
Pada waktu terjadi epidemi polio, semua rencana operasi hidung dan
tenggorok harus ditunda. Semua sisa makanan penderita polio dan ekskreta
penderita terutama cairan berasal dari faring penderita harus dibuang dengan
baik dan tertutup untuk menghindari penyebaran virus oleh lalat dan serangga
lainnya.
15. RABIES

Rabies adalah penyakit infeksi virus yang berlangsung akut, disebabkan


oleh rabiesvirus yang menyerang susunan saraf pusat, melalui gigitan hewan
penderita rabies atau kontak langsung dengan air liur hewan penderita rabies.

Rabiesvirus
Rabiesvirus adalah rhabdovirus yang termasuk famili rhabdoviridae,
mempunyai virion berselubung berbentuk peluru dengan salah satu ujungnya
datar dan ujung lainnya membulat, berukuran 75x180 nm.

Penyebaran rabies
Rabies tersebar di seluruh dunia, kecuali Inggris dan Australia. Sumber
infeksi utama rabies pada manusia adalah anjing dan kucing yang hidup
berdekatan dengan manusia. Infeksi terjadi melalui gigitan hewan penderita
rabies atau melalui kontak luka pada kulit dengan air liur hewan penderita rabies.
Penyebaran rabies sangat tergantung pada perkembangan virus di dalam
kelenjar ludah hewan yang terinfeksi.

Gejala klinis rabies


Sesudah masa inkubasi 2-16 minggu, timbul gejala klinis berupa demam,
sakit kepala, mual, muntah, gangguan menelan dan suara menjadi serak. Di
bekas tempat gigitan, meskipun luka sudah menyembuh, terasa parestesis. Kulit
penderita meningkat kepekaannya dan mudah terangsang (iritabel) dan
penderita mengalami hiperhidrosis. Akibat terjadinya spasme glotis, penderita
takut minum air (hidrofobi).

Gambar 84. Rabies pada anjing dan manusia

Tanda-tanda meningitis timbul berupa kejang-kejang atau paralisis, dalam waktu


3-5 hari penderita akan meninggal dunia akibat terjadinya paralisis pernapasan
atau gangguan fungsi jantung.
Penyakit-penyakit yang mempunyai gejala klinis mirip rabies adalah
tetanus, meningoensefalitis, koriomeningitis limfositik dan intoksikasi.

Diagnosis rabies
Semua hewan yang mati dengan dugaan rabies harus diperiksa di
laboratorium. Diagnosis rabies dipastikan jika pada pemeriksaan histologis sel
ganglion hewan yang mati dengan dugaan rabies ditemukan Negri bodies. Negri
bodies adalah benda eksofil yang banyak dijumpai di dalam sitoplasma saraf,
berbentuk bulat yang mudah diwarnai dengan eosin, fuchsin, Giemsa.
Pemeriksaan mikroskopis cairan serebrospinal dapat dilakukan untuk
menemukan virus rabies. Uji hewan coba menggunakan bayi hewan (suckling
animal) misalnya hamster, tikus atau kelinci dinokulasi intrakranial dengan
suspensi otak atau kelenjar ludah submaksiler hewan yang diduga rabies, akan
menunjukkan gejala rabies misalnya terjadinya konvulsi.
Untuk membantu menegakkan diagnosis rabies pada manusia maupun
pada hewan dilakukan pemeriksaan serologi dan uji fluoresensi. Pemeriksaan
darah penderita menunjukkan gambaran eosinofilia dan hiperglikemia,
sedangkan pada pemeriksaan cairan serebrospinal jumlah protein dan sel
meningkat.
Pengobatan dan perawatan rabies
Setiap luka gigitan hewan harus dicuci segera dengan air sabun, dan
daerah sekitar luka juga dibersihkan dari air liur hewan dan dijaga agar tidak
masuk ke dalam luka. Perdarahan harus segera dihentikan.
Terapi pencegahan pada masa inkubasi dapat dilakukan dalam bentuk
pemberian serum imun dan pemberian vaksinasi. Jika gejala rabies telah
timbul, pengobatan umumnya sudah tidak bermanfaat lagi. Pengobatan hanya
berupa terapi paliatif dan terapi simtomatis.

Pencegahan rabies
Untuk mencegah infeksi rabies dan penyebarannya, tindakan-tindakan
yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Semua anjing dan kucing yang dipelihara harus divaksinasi secara teratur.
2. Hewan liar yang menjadi sumber penularan rabies harus dibasmi.
3. Orang yang digigit hewan yang diduga rabies harus segera diberi Duck
Embryo Vaccine (DEV) sebanyak 23 dosis suntikan dan Human Diploid
Cell Rabies Vaccine (HDCV) sebanyak 5 dosis.
4. Dokter hewan dan orang berisiko tinggi tertular rabies dapat diberi
vaksinasi dengan DEV dan HDCV.
Gambar 85 . Pembasmian anjing liar di Cina
( Associated Press, Aug,1,2006)
.
16. RUBELLA

Rubella atau campak Jerman (German measles) termasuk infeksi virus


akut yang ringan. Penyakit yang biasanya menyerang anak-anak dan remaja ini
disebabkan oleh rubellavirus. Jika penyakit ini menyerang ibu hamil pada
trimester pertama, janin yang dikandungnya akan mengalami kelainan
kongenital.

Rubellavirus
Virus rubella termasuk genus rubivirus dari famili Togaviridae. Virus
mempunyai selubung, dengan virion berukuran 60 nm. Bentuk virus bersifat
pleomorfik (bermacam-macam bentuk) atau berbentuk sferis.

Penyebaran rubella
Rubella endemik di berbagai daerah di dunia, dan di musim semi sering
menimbulkan epidemi. Ruam kulit akibat infeksi lain umumnya terjadi di musim
panas atau di musim gugur. Rubella umumnya menyerang anak sekolah dasar
dan sekolah menengah. Sumber penularan adalah semua orang yang pernah
terinfeksi rubellavirus baik yang sedang sakit maupun yang tidak menunjukkan
gejala sakit.
Penularan rubella terjadi melalui kontak erat dengan penderita, karena
virus berada di faring penderita.

Gejala klinis rubella


Secara klinis dibedakan 2 jenis rubella, yaitu rubella posnatal dan rubella
kongenital.
Rubella posnatal. Masa inkubasi antara 17-25 hari, diikuti gambaran klinis khas
berupa limfadenopati, ruam kulit (rash) dan demam ringan. Pada anak, rash
menjadi tanda awal penyakit yang tidak didahului oleh demam,sakit tenggorok,
malaise, maupun sakit kepala.
Rubella kongenital. Jenis ini diderita oleh sekitar 10-15% bayi yang dilahirkan
oleh ibu hamil yang terinfeksi rubella pada trimester pertama kehamilannya.
Sidrom rubella kongenital terdiri atas :
 Kelainan neurologis
 Gangguan perkembangan
 Kelainan kardiovaskuler
 Gangguan pendengaran
 Kelainan mata (katarak, glaukoma, korioretinitis, mikroptalmia dan
kekeruhan kornea).

Diagnosis pasti ditegakkan melalui kultur darah dan hapusan tenggorok


untuk menemukan virusrubella. Pada pemeriksaan darah, titer antibodi
rubella meningkat dan terjadi leukopeni dengan lekosit kurang dari 4.000/ml.
Uji serologi dapat membantu menegakkan diagnosis rubella melalui Uji
inhibisi hemaglutinasi (HI Test), Uji netralisasi dan Uji fiksasi komplemen.
Gambar 86. Rash pada penderita rubella.
(CDC, USA)
Pengobatan rubella
Tidak ada obat anti virus rubella. Penderita harus beristirahat dan hanya
mendapatkan pengobatan simtomatis untuk mengurangi keluhannya.

Pencegahan penularan rubella


Vaksinasi menggunakan virus hidup yang dilemahkan boleh diberikan
pada penduduk kecuali perempuan yang sedang hamil trimester pertama.
Pemberian gamma globulin pada ibu hamil muda, tidak dapat melindungi janin
yang dikandungnya dari infeksi virus rubella.
17. S.A.R.S

SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) yang dikenal juga sebagai


pneumonia atipik, adalah infeksi saluran napas akut yang mewabah di Asia,
Eropa dan Amerika pada tahun 2003. penyebab sindrom ini diduga adalah
Coronavirus.

Coronavirus
Coronavirus adalah virus RNA dari famili Coronaviridae yang mempunyai
virion berselubung, bersifat pleomorfik, berukuran 70-120 nm. Virus ini disebut
juga sebagai Corona virus pneumonia atau CVP merupakan strain baru virus
Corona yang mirip dengan virus Corona pada sapi. Selain itu SARS diduga juga
terkait dengan virus baru lain yang menimbulkan demam dan metapneumovirus
yang berasal dari famili virus yang sering menyebabkan gangguan napas pada
anak.

Penyebaran SARS
Epidemi SARS terjadi pertama kali di Cina pada bulan Nopember 2202,
lalu menyebar ke Vietnam,Canada, Hongkong, Singapura, Amerika dan
beberapa negara lainnya. Virus SARS menyebar melalui kontak langsung
dengan bahan infektif penderita misalnya dahak dan cairan tubuh penderita
SARS melalui udara.
Perawat dan tenaga media merupakan kelompok berisiko tinggi tertular
SARS. Selain itu orang-orang yang bekerja menangani publik secara langsung,
misalnya pegawai imigrasi, polisi, karyawan biro perjalanan juga mempunyai
risiko tertular penyakit ini.

Gejala klinis SARS


Gejala awal SARS berupa demam di atas 38 0C disertai menggigil, rasa
sakit seluruh badan dan malaise. Sesudah 3-7 hari penderita menyembuh atau
penyakit berjalan progresif. SARS yang progresif menimbulkan batuk kering,
gangguan napas, napas pendek sehingga kadang-kadang membutuhkan
bantuan pernapasa secara mekanik.

Diagnosis SARS
Sebagai landasan diagnosis SARS adalah gejala klinis. Untuk
menentukan diagnosis pasti SARS dilakukan pemeriksaan laboratorium virologi
dengan mengirim sampel bahan infektif penderita ke Center for Disease Control
di USA atau Canada.

Pengobatan dan pencegahan SARS


Penderita harus dirawat di Rumah Sakit dan diisolasi agar tidak menular
ke orang lain. Kepada penderita diberikan obat antivirus. Antibiotika juga
diberikan apabila ditakutkan terjadi infeksi sekunder dengan bakteri. Selain itu
steroid juga dapat diberikan.

Gambar 87. Perawatan intensif penderita SARS


(foto: China Daily)

Untuk mencegah SARS semua orang yang menunjukkan gejala klinis


SARS, atau yang baru mengunjungi daerah epidemi SARS harus diawasi dan
jika perlu diisolasi di rumah sakit selama 1 minggu. Orang-orang yang berisiko
tinggi SARS harus selalu menggunakan masker khusus yang berfiltrasi tinggi,
mengenakan pakaian khusus dan pelindung mata, dan selalu mencuci tangan
sesudah kontak dengan penderita atau bahan infektif penderita.
7
PENYAKIT JAMUR

1. ASPERGILOSIS
2. DERMATOMIKOSIS
3. HISTOPLASMOSIS
4. KANDIDIASIS
5. KRIPTOKOKOSIS

1. ASPERGILOSIS

Penyebab aspergilosis adalah jamur Aspergillus yang banyak dijumpai di


daerah tropis. Mikosis viseral ini disebabkan oleh Aspergillus fumigatus, A.niger
atau aspergilus lainnya.

Aspergillus
Di bawah mikroskop jamur khas bentuknya, berupa konidiofor yang
membesar di ujung hifa. Di dalam jaringan, eksudat atau dahak, jamur berbentuk
filamen yang bersepta. Pada biakan pada Agar Sabouraud yang dieramkan pada
suhu 37-400C akan tumbuh koloni berwarna kelabu kehijauan dengan bentukan
seperti kubah yang berada di tengah konidiofor.

Penyebaran aspergilosis
Aspergilosis pada manusia terjadi pada organ dan rongga tubuh yang
suasananya aerob. Penularan terjadi melalui udara yang terhirup yang
mengandung bahan infektif yang berasal dari kotoran burung dan unggas
lainnya. Yang sering terserang aspergilosis adalah petani, peternak unggas,
orang-orang yang rendah daya tahan tubuhnya atau sistem imunnya terganggu,
atau menderita cacat anatomi pada anggota tubuhnya.
Penularan juga bisa berasal dari penderita aspergilosis bronkopulmoner
alergika yang batuk-batuk atau bersin-bersin.

Gejala klinis aspergilosis


Pada penyakit yang ringan keluhan dan gejala dapat berupa sinusitis,
batuk dan demam. Pada aspergilosis paru yang invasif terutama yang sistem
imunnya terganggu (misalnya penderita AIDS), aspergilosis berlangsung
progresif, menunjukkan gejala demam, nyeri dada, hemoptisis, batuk berdahak
mukopurulen, ganbaran bronkopulmoner akut maupun kronis. Aspergilosis sukar
dibedakan dari tuberkulosis.

Diagnosis aspergilosis
Pemeriksaan mikroskopis dan biakan jamur atas dahak atau cucian
bronkial dapat menemukan jamur Aspergillus. Pemeriksaan serologi
menggunakan antigen dan uji kepekaan dan pemeriksaan elektroforesis
membantu diagnosis aspergilosis.
Pemeriksaan foto paru dapat menunjukkan adanya aspergiloma atau bola
jamur (fungus ball) yang khas bentuknya. Pemeriksaan darah menunjukkan
gambaran eosinofilia dan titer IgE serum meningkat.
Gambar 88. Kerusakan jaringan organ viseral pada aspergilosis
(AAPRedbook)

Pengobatan dan pencegahan aspergilosis


Amfoterisin B yang diberikan melalui infus perlahan-lahan dapat
memberantas jamur yang ada di jaringan.Itrakonazol dapat diberikan per oral
sedangkan preparat iodida diberikan untuk pengobatan lokal. Untuk
mempercepat pengeluaran jamur dari dalam abses, dapat dilakukan drainase
abses.
Untuk mencegah penyebaran aspergilosis, kebersihan lingkungan,
terutama kandang unggas harus dijaga dengan baik. Sekreta ubnggas harus
dihindari, dan penderita aspergilosis yang batuk kronis akibat aspergilosis
alergika juga harus dihindari.

2. DERMATOMIKOSIS

Infeksi jamur yang menyerang kulit ini juga disebut ringworm, disebabkan
oleh berbagai genus jamur, yaitu Microsporum, Trichophyton dan
Epidermophyton. Jamur Microsporum canis dapat menyerang baik manusia
maupun hewan (zoonosis).
Microsporum canis
Bentuk konidia jamur ini khas, berukuran besar (makrokonidia), berdinding
kasar, multiseluler, berbentuk spindle (melebar di tengah, menyempit di ujung).
Makrokonidia terletak di ujung hifa, mempunyai 8-15 sel, dengan ujung
melengkung atau berbentuk kait.
Biakan pada Agar Sabouraud yang dieramkan pada suhu kamar
menunjukkan tepi koloni yang membentuk pigmen berwarna kuning kemerahan.
Penyinaran dengan lampu Wood, jamur menunjukkan fluoresensi berwarna hijau
muda.

Penyebaran dermatomikosis
Infeksi jamur terjadi melalui kontak dengan kulit atau rambut penderita
ringworm. Microsporum canis dapat ditularkan dari anjing dan kucing yang sakit
ke manusia.

Gejala klinis dermatomikosis


Terdapat 3 kelompok dermatomikosis, yaitu tinea pedis yang terjadi di kulit
dan kuku, tinea corporis atau tinea cruris yang terjadi di kulit yang tidak
berambut, dan tinea capitis yang menyerang kulit dan rambut.

Gambar 89. Dermatomikosis pada kulit pipi.


(Kent County Health Department)
Dermatophyt juga dapat menimbulkan infeksi sistemik, misalnya endokarditis,
pada penderita yang mengalami gangguan sistem imun tubuhnya.

Diagnosis dermatomikosis
Untuk menentukan diagnosis pasti penyebabnya, kerokan kulit, rambut
atau kuku penderita diperiksa di bawah mikroskop untuk menemukan spora yang
pada jamur Microsporum tampak sebagai kelompok berbentuk mozaik di
sekeliling rambut. Selain itu bahan pemeriksaan dapat diperiksa di bawah
penyinaran lampu Wood untuk menunjukkan adanya fluoresensi berwarna hijau
muda.
Biakan jamur pada Agar Sabouraud yang dieramkan pada suhu kamar
selama 1-3 mingggu yang kemudian diperiksa di bawah mikroskop lebih
menunjang penentuan diagnosis dermatomikosis.

Pengobatan dan pencegahan dermatomikosis


Pengobatan dermatomikosis dengan griseofulvin oral diberikan selama 1-
4 minggu. Untuk dermatomikosis pada kuku, pengobatan diberikan selama
beberapa bulan disertai pencabutan kuku untuk mempercepat penyembuhan.
Pada infeksi kulit kepala, selain diberi griseofulvin selama 1-2 minggu
diberikan juga pengobatan lokal dengan salep mikonazol. Dermatomikosis pada
badan diobati dengan salep mikonazol, salep undesilin, larutan asam salisilat
atau larutan asam benzoat. Selain itu dapat diberikan selenium per oral.
Dermatomikosis akut pada kaki dimulai dengan kompres kalium
permanganat diikuti dengan pemberian obat anti jamur, sedangkan infeksi kronis
cukup diobati dengan salep atau bedak anti jamur.
Untuk mencegah infeksi dermatomikosis, kebersihan badan harus dijaga
dan dihindari kontak dengan bahan tercemar jamur. Alat-alat dan instrumen
kedokteran harus selalu disterilkan dengan minyak panas untuk menghindari
penyebaran jamur pada waktu dilakukan tindakan medis.
3. HISTOPLASMOSIS

Penyakit jamur yang menyerang organ-organ viseral yang gejalanya mirip


tuberkulosis ini banyak dijumpai di daerah tropis Amerika dan Afrika.
Penyebabnya adalah Histoplasma capsulatum atau Histoplasma duboisii.

Histoplasma
Jamur yang berbentuk sel lonjong ini bertunas dengan satu inti. Biakan
pada medium Agar Sabouraud yang dieramkan pada suhu kamar menumbuhkan
koloni jamur mirip kapas berwarna putih kecoklatan. Konidia berbentuk sferis,
berdinding tebal, berukuran 8-14 mikron, mempunyai tonjolan berbentuk jari dan
atau mempunyai mikrokonidia kecil berukuran sekitar 2-4 mikron.

Penyebaran histoplasmosis
Jamur mudah tumbuh dan berkembang biak di tanah yang tercampur tinja
burung dan ayam atau guano kotoran kelelawar. Infeksi melalui udara akan
menimbulkan lesi primer di paru-paru, yang dapat menyebar ke organ-organ
viseral lainnya secara hematogen jika jaringan paru mengalami kerusakan.
Penularan dari manusia ke manusia lainnya biasanya terjadi secara tidak
langsung.
Di daerah endemis, hewan-hewan misalnya anjing dan rodensia banyak
yang terinfeksi jamur ini sehingga dapat menjadi sumber penularan
histoplasmosis bagi manusia.

Gejala klinis dan diagnosis histoplasmosis


Sebagian besar penderita histoplasmosis tidak menunjukkan gejala klinis
atau keluhan yang nyata. Hanya jika terjadi infeksi melalui pernapasan dalam
jumlah besar akan menimbulkan gejala klinis pneumonia. Pada penyebaran
jamur ke berbagai organ visera, terutama ke organ sistem retikuloendotel
penderita dapat menderita demam tinggi, limfadenopati, splenomegali,
hepatomegali, anemia , ulkus hidung, mulut, lidah dan usus, dan dapat
menimbulkan kematian penderita. Penyebaran luas ke organ-organ viseral ini
terjadi pada bayi, orang lanjut usia dan penderita yang mengalami imunosupresi.
Diagnosis pasti dutetapkan jika melalui pemeriksaan mikroskopis dapat
ditemukan jamur penyebabnya di dalam dahak, darah, urine atau lesi jaringan
misalnya sumsum tulang, kulit atau kelenjar getah bening. Pemeriksaan uji kulit
histoplasmin,dan penentuan diagnosis serologi dapat membantu menegakkan
diagnosis histoplasmosis.
Gambar 90. Histoplasmosis akut

Pengobatan dan pencegahan histoplasmosis


Histoplasmosis berat diobati dengan amfoterisin B selama 10-12 minggu.
Selain itu dapat diberikan ketokonazol. Histoplasmosis primer pada paru harus
juga diberikan pengobatan suportif dan istirahat yang cukup.
Penyemprotan larutan formalin pada tanah dapat merusak jamur
Histoplasma yang berada di permukaan tanah. Kontak dengan konidia jamur
harus dihindari dan tidak bermukin di daerah endemis jamur ini.
4. KANDIDIASIS

Kandidiasis atau moniliasis disebut juga secara umum sebagai thrush,


disebabkan oleh jamur Candida albicans. Jamur menjadi patogen jika daya
tahan tubuh penderita menurun.
Candida albicans
Jamur ini secara alami dapat ditemukan di rongga mulut dan alat
pencernaan manusia, unggas dan mamalia. Candida albicans mempunyai
pseudohifa berbentuk lonjong bertunas, berukuran 2x6 mikron, bersifat Gram
positif. Biakan pada medium Agar Sabouraud koloni jamur tumbuh berwarna
kuning, berbau seperti ragi.

Penyebaran kandidiasis
Orang yang mempunyai risiko terinfeksi jamur kandida adalah yang daya
tahan tubuhnya rendah, misalnya perempuan hamil yang menderita vaginitis,
orang tua lanjut usia, penderita malnutrisi, serta bayi yang ibunya menderita
kandidiasis. Selain itu penderita diabetes dan penderita dalam pengobatan
antibiotika jangka panjang mudah terserang kandidiasis.

Gejala klinis kandidiasis


Berdasar atas jaringan yang terserang, kandidiasis dikelompokkan
menjadi kandidiasis membrana mukosa, kandidiasis bronkopulmoner,
kandidiasis gastrointestinal, kandidiasis urogenital dan kandidiasis kulit.
Komplikasi terjadi jika kandidiasis menyebar ke organ-organ
(disseminated candidiasis), menimbulkan mikroabses di ginjal, jantung, selaput
dan jaringan otak, serta sumsum tulang. Kerusakan pada paru menimbulkan
bronkiektasi.
Gambar 91. Kandidiasis lidah .
(E.H.Gill/Custom Medical Stock Photo)

Diagnosis kandidiasis
Diagnosis pasti kandidiasis ditegakkan jika ditemukan jamur kandida dari
kerokan kulit, tinja atau bahan hasil gastroskopi. Biopsi jaringan paru dan
eksudat pleura yang dibiakkan pada medium Agar Sabouraud akan
menumbuhkan jamur kandida.
Pemeriksaan foto paru dapat menunjukkan terjadinya peningkatan
striation dan bayangan miliair. Pemeriksaan serologi, misalnya uji presipitin pada
agar gel ditujukan untuk menegakkan diagnosis kandidiasis yang berada di
dalam organ (deep candidiasis).

Pengobatan kandidiasis
Kandidiasis mukokutan. Infeksi ringan dan kandidiasis mulut diobati
dengan pengobatan lokal nistatin, gentian violet, amfoterisin B, mikonazol atau
klotrimazol.
Kandidiasis sistemik. Pada umumnya diberikan ketokonazol oral,
sedangkan kandidiasis endokarditis harus dilakukan pembedahan disertai
pemberian amfoterisin B dan flusitosin. Penderita kandidiasis meningitis diobati
dengan amfoterisin B secara intratekal, sedangkan penderita peritonitis harus
dilakukan pembedahan disertai pemberian obat antijamur lokal pada peritoneum.
Kandidiasis sistitis diobati dengan memberikan nistatin lokal atau amfoterisin B
melalui pencucian kandung kemih (bladder lavage), sedangkan kandidiasis
pielonefritisdiobati dengan amfoterisin B atau 5-flusitosin secara intravena.

Pencegahan kandidiasis
Penderita dengan gangguan sistem imun yang mendapatkan pengobatan
antibiotika jangka panjang sebaiknya diberi juga obat antijamur. Bayi baru lahir
hendaknya diamati kemungkinan terinfeksi kandidiasis dari ibu yang
melahirkannya.
Memperbaiki sanitasi perorangan dan lingkungan dapat membantu
mencegah penyebaran kandidiasis.
5. KRIPTOKOKOSIS

Kriptokokosis adalah penyakit oportunis sitemik yang disebabkan oleh ragi


Cryptococcus neoformans yang dapat menimbulkan kelainan pada kulit, paru
dan meningitis.

Cryptococcus neoformans
Ragi yang banyak ditemukan di tanah dan di dalam tinja kering burung
merpati ini pada pemeriksaan mikroskopis memiliki kapsul yang besar. Pada
medium Agar Glukose Sabouraud tumbuh koloni ragi yang berwarna kuning tua
yang tumbuh capat pada temperatur 370C.

Penyebaran kriptokokosis
Pada manusia infeksi terjadi melalui saluran napas yang dapat
menyembuh dengan sendirinya (self limiting infection). Penderita imunodefisiensi
seluler, misalnya penderita kanker darah, penderita penyakit Hodgkin, penderita
HIV atau penderita yang sedang menjalani terapi jangka panjang dengan
kortikosteroid, yang terinfeksi C.neoforman akan mengalami kelainan paru yang
progresif dan kemudian menyebar dan menimbulkan gangguan sistemik.
Sesudah itu kelainan sistem saraf pusat dapat terjadi menimbulkan gejala
meningitis subakut atau kronis.

Gejala klinis kriptokokosis


Pada awal infeksi dengan C.neoformans kelainan terjadi di kulit atau paru,
kemudian diikuti tanda-tanda meningitis subakut atau kronis. Penderita AIDS,
penyakit Hodgkin dan gangguan sistem imun akan mengalami kriptokokosis
yang sistemik yang progresif dan menunjukkan gejala klinis meningitis berupa
sakit kepala, kaku kuduk, gelisah dan bingung atau perubahan mental.
Gambar 92. Kriptokokosis pada kulit

Diagnosis kriptokokosis
Pada pemeriksaan cairan serebrospinal menggunakan tinta India akan
tampak bentuk ragi yang berkapsul besar. Biakan pada Agar Glukose Sabouraud
yang dieramkan pada suhu 370C akan tumbuh koloni berwarna kuning tua.
Pada Uji Aglutinasi Latex terhadap cairan serebrospinal dan darah dapat
ditunjukkan adanya antigen kriptokokus.

Pengobatan dan pencegahan kriptokokosis


Kriptokokosis dapat diobati dengan hasil memuaskan menggunakan
Amfoterisin B secara intravenus, dikombinasi dengan flusitosine per oral atau
intravenus.
Menjaga kebersihan kandang unggas dan mencegah pencemaran udara
dari tinja unggas terutama tinja burung merpati, dapat mencegah penularan
kriptokokosis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdul Ghaffar.2001. Cestodes (Tapeworm). Microbiology and Immunology


Online, School of Medicine University of South Caroline.
2. Abdul Ghaffar 2004.Intestinal and Luminal Protozoa, Microbiology and
Immunology Online, School of Medicine, University of South Caroline.
3. Adam and Maegraith.1966. Clinical Tropical Disease. 4th Ed. Blackwell Scientific
Publication, Oxford, Edinburg.
4. Arcari M., Baxendine A.,and Behnet C.E. 2001. The Flagellates, Ectoparasite
and Endoparasite, University of Southampton.
5. Armed Forces Pest Management Board.2006. Filth Flies, Technical Guide No.30
6. BBC News. 2005. India encephalitis toll hits 175.28 Aug, 2005.
7. Brooke,MM, Melvin,DM.1969. Morphology of Diagnostic Stages of Intestinal
Parasites of Man, Public Health Service Publication, No. 1966.
8. Brown,H.W. 1969. Basic Clinical Parasitology, 3rd Ed., Appleton-Century-Crofts,
New York, 1969.
9. Buckelew,T.P. 2007. Cestodes, California University of Pennsylvania. http://www
workforce.cup.edu/buckelew/cestodes.htm
10. CDC Division of Parasitic Disease. 1999. Balantidium infection, Centers for
Disease Control and Prevention, National Center for Infectious Disease.
11. CDC Parasite Health. Free Living Amebic Infection.
http://www.dpd.cdc.gov/dpdx
12. CDC Parasite Health. 2007. Parasitic Diseases, Ascaris lumbricoides, Centers
for Disease Control and Prevention, National Center for Infectious Disease.
13. Center for Disease Control and Prevention: Plague 2005.
http.//www.cdc.gov/ncidod /-/plague/ bacterium.htm
14. Chacon-Cruz,E. and Mitchell,D.K.2006. Intestinal Protozoal Diseases, e-
Medicine, http://www.emedicine.com/ped/topic1914.htm
15. Corry Jebkucik, Gary L.Martin and Brett V.Sortor.2004. Common Intestinal
Parasites, American family Physician,Vol.69 No.5.
16. David L.Keith, and Wayne L. Kramer. 1993. Mosquito Update for Nebraska,
University of Nebraska, Lincoln, NE.
17. Delorenzi,N.A.,and Navone,G.2001. Hookworm: Necator americanus, CEPAVE,
La Plata, Buenos Aires, Argentina. http://www/cdfound.to.it/HTML/hoo1.htm
18. Dennis Kunkel, 2004. staphyllococcus. US Environmental Protection Agency.
19. Departmemt of Dermatology, 1995. Microscope View of the Sarcoptes scabiei
mite, University of Iowa College of Medicine.
20. Department of Health.2007. Parasitic Diseases. Centers for Disease Control and
Prevention, Atlanta, Georgia,USA.
21. Department of Health and Tropical Medicine, 2002. Diagnostic Parasitology
Laboratory: Giardiasis. Missouri University.
22. Department of Pathology.2006. Protozoa. University of Cambridge.
23. Diagnostic Parasitology Laboratory, 2002. Giardiasis, London School of Hygiene
and Tropical Medicine.
24. Division of Parasitic Diseases. 2001. .Ascariasis,, CDC. Atlanta, Georgia,
http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/images/---/bodyAscariasis_i/6.htm
25. Dubey,JP.1986.Toxoplasmosis, J.Am.Vet.Med.Assoc.,189:166.
26. Dubey,JP., Beattie,CP. 1988. Toxoplasmosis of Animals and Man.CRC Press,
Boca Raton, Florida.
27. Eddleston M, Davidson R, Wilkinson R, et al. 2005. Oxford Handbook of
Tropical Medicine, 2nd ed.Oxford, Oxford University Press.
28. Faust and Russel. 1965. Craig & Faust’s Clinical Parasitology, 7 th Ed., Lea and
Febiger, Philadelphia.
29. Fox, J.C. 2004. Clinical Parasitology Images. OSU College of Veterinary
Medicine, Oklahoma state University
30. Hanna JN, Ritchie SA, Phillips DA, e.o.1996. An outbreak of Japanese
encephalitis in the Torres strait,Australia 1995.The Medical J.of
Australia,165:256-260.
31. Hardin,M.D.2007. Tapeworm Pictures, Hardin Library for the Health Science,
University of Iowa. http://www.lib.uiowa.edu/hardin/md/tapeworms.html
32. Human Parasitology Tutorial, 2000. Taenia solium, Stanford University. www.
stanford.edu/../taeniasis/html.
33. Hunter-Frye-Swartzwelder. 1960. A Manual of Tropical Nedicine, 3rd Ed.,
W.B.Saunders Company, Philadelphia.
34. James and Harwood: Herm’s Medical Entomology, 6th Ed., The Macmillan
Company, Collier-Macmillan Ltd., London, 1971.
35. John C. Bell, Stephen R. Palmer, Jack M.Payne. 1988. The Zoonoses, Edward
Arnold, Great Britain.
36. .Junta Karbwang and Tranakchit Harinasuta (Editors). 1992.Handbook of
Antiparasitic Drugs.Ruamtasana Co.Ltd.Bangkok.
37. Laboratory Division Public Health Concern. 2001. Protozoa Found in Stool
Specimens of Human. CDC DPDx
38. Laboratory Division Public Health Concern. 2004. Echinococcosis Fact Sheet,
CDC DPDx. http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/-/-/Echinococcosis-p..
39. Laboratory of Parasites of Public Health Concern. Hookworm, Diagnostic
Findings.CDC-DPDx.
40. Laboratory Identification of Parasites of Public Health Concern 2002. Common
Invader of the Human Body. Parasite Image Library,. CDC-DPDx.
41. Laboratory Identification of Parasites of Public Health Concern.2001. Diagnostic
Findings Filariasis, DPDx, Centers for Disease Control and Prevention.
42. Laboratory Identification of Parasites of Public Health Concern.2001. Giardia
intestinalis ( lamblia), DPDx, Centers for Disease Control and Prevention.
43. Marc Lontie.2001. Ascaris lumbricoides, Medisch Centrum voor Huisartsen,
Leuven, Belgium. http://www.cdfound.to.it/HTML/asc1.htm
44. Martinez, AJ. 2001. Free Living Amoebas : Naegleria, Acanthamoeba and
Balamothia.http://www.modares.ac.ir/elearning/Dalimi/Proto/Lectures/week6.
htm.
45. MacLean,J.D.2007.Trichomonas vaginalis. Clinical Parasitology, McGill Centre
for Tropical Disease. http://www.medicine.mcgill.ca/tropmed/txt/lecture--
protozoa.htm
46. National Library of Medicine,2004. Salmonella.
http://www.pref.iwate.jp/salmonella/jpg
47. Nguyen thuong Chanh,2006. Gnathostoma, http://www.khoahoc.net/baivo/
nguyenthuongchanh/200706-ancasong.htm
48. NCID, 2001.Toxocara Infections (toxocariasis) and Animals, Healthy Pets
Healthy People, US Department of health and human Services.
49. Parasites and Health.2003. Hookworm and Strongyloides Larvae, DPDx-CDC.
http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Frames/Morphology/-/-figure7.html
50. Parasite ImageLibrary.2004. Trichuriasis,Division of Parasitic Diseases, CDC,
Atlanta. http://www.dpd.cdc.gov/../body_Trichuria sis_ il1.htm
51. Peter Darben. 2000. Sarcoptes scabiei,Technology Clinical Parasitology
Collection, Queensland University.
52. Pethealth-2006. Associated Press, Aug,1,2006, msnbc.com
53. Russel,RC.1996. Mansonia, A Colour Photo Atlas of Mosquitoes of Southeastern
Australia, Medical Entomology, Westmead Hospital.
54. Sodeman Jr, WA. 2001. Intestinal Protozoa: Amebas, http://www.modares.ac.ir/
elearning/Dalimi/Proto/Lectures/week6.htm
55. Terazawa A., Muljono R.,Susanto L., Margono,SS., and Konishi E.2003. High
Toxoplasma Antibody Prevalence Among Inhabitans in Jakarta, Indonesia. Jpn
J.Infect.Dis., 56,107-109.
56. Tim Clarke.2001. Taenia saginata, Microbiology Department, Royal Hallamshire
Hospital, Sheffield, UK. http://www.cdfound.to.it/HTML/tae1.htm
57. Upton, S.J. 2001. Pediculosis, Biology Division, Kansas State Universty,
Manhattan, KS.
58. URL.2003. Ascaris lumbricoides, Redbook Online, American Academy of
Pediatrics, http://aapredbook.aappublications.org/cgi/content/full/2003/1/3.8
59. WHO. 2005. The Brugia malayi,Wohlbachia DNA Sequencing Project.
60. WHO Expert Committee: The Control of Schistosomiasis, WHO Tech Rep
Ser.Nr.728, World Health Organization Geneve, 1985.
61. WHO Expert Committee. 1978. Parasitic Zoonoses. World Health Organization
Geneve.
62. WHO Scientific Group. 1985.Arthropod-borne and Rodent-borne Viral Diseases.
63. WHO Technical Report Series, No.719.World Health Organization, Geneve.
64. Wiser,MF.1999. Intestinal Protozoa, Department of Tropical Medicine, Tulane
University. http://www.tulane.edu/-wiser/T2.html

Anda mungkin juga menyukai