Anda di halaman 1dari 3

Antara Nasehat Dan Keikhlasan

Oleh: Ustadz Fariq Gasim Anuz

Nasehat merupakan amalan yang penting dalam Islam, bahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam mengatakan bahwa "dien itu adalah nasehat"(1), dan beliau memberikan syarat
kepada Jarir bin Abdullah radhiallahu 'anhu ketika memba'iatnya di antaranya "memberikan
nasehat kepada setiap muslim"(2). Oleh karena itu, seorang pemberi nasehat harus
membersihkan niatnya dari segala ketamakan dunia dan keinginan mendapatkan pujian
manusia dan maksud buruk lainnya.

Al Imam Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang menampakkan ucapan dan
perbuatannya kepada manusia perbuatan yang baik, tetapi ia mempunyai maksud mencapai
tujuan yang buruk, lalu dipuji oleh manusia disebabkan perbuatan baik yang ia tampakkan
padahal mempunyai tujuan yang buruk, lalu dia gembira dengan pujian manusia, maka orang
tersebut diancam oleh Allah Ta'ala dengan adzab yang sangat pedih.

Allah berfirman :

‫م‬ْ ‫م افا از ٍة ِمنا ْال اع اذابِ ۖ وال ا ُه‬ ْ ‫سبا َّن ُه‬
‫م بِ ا‬ ْ ‫م ي ْاف اعلُوا اف اَل ت ا‬
‫ح ا‬ ْ ‫م ُدوا بِماا لا‬ ْ ‫ون أا ْن ُي‬
‫ح ا‬ ِ ‫ون بِماا أاتا ْوا او ُي‬
‫حبُّ ا‬ ‫ح ا‬ُ ‫ان ال َّ ِذينا ي ْاف ار‬
َّ ‫سب‬ ْ ‫اَل ت ا‬
‫ح ا‬
‫ا‬
ٌ ‫اب ألِي‬
‫م‬ ٌ ‫اع اذ‬

"Janganlah kamu sekali-kali menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang
telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka
kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa
yang pedih." ( Surat Ali Imran 188 )

Al Imam Ibnu Rajab rahimahullah memberikan contoh, "Bahwa seseorang menghendaki


mencela seorang yang lain dan merendahkannya serta menampakkan aibnya agar manusia
menjauhi orang tersebut entah disebabkan adanya permusuhan antara keduanya sehingga ia
senang menyakitinya atau karena takut tersaingi dalam hal harta atau kepemimpinan atau
dikarenakan sebab-sebab tercela lainnya, maka tidak ada jalan lain untuk mencapai
maksudnya, kecuali dengan menampakkan celaan terhadap orang tadi dengan alasan dien,
seperti:

Ada seorang yang membantah satu pendapat yang lemah dari sekian banyak pendapat-
pendapat yang benar dari seorang ulama yang masyhur, maka ada seorang yang mengisukan
kepada para pengagum seorang alim bahwa si fulan membenci si 'alim ini dan mencela serta
mencaci makinya, sehingga menimbulkan kemarahan setiap orang yang mengaguminya dan
orang yang membuat isu tadi mempengaruhi mereka dengan membuat opini umum bahwa
benci kepada si pengkritik termasuk amal kebaikan, karena dalam rangka membela ulama dan
membersihkan nama baiknya, maka yang demikian termasuk taqarub kepada Allah Subhana wa
Ta'ala dan menjalankan ketaatan kepada-Nya, maka berkumpulah dua hal yang haram dan
buruk pada perbuatan yang nampaknya sebagai nasehat.

Yang pertama, tuduhan bahwa kritikan terhadap ulama tadi dikatakan sebagai kebencian dan
mengikuti hawa nafsu, padahal bisa jadi si pengkritik menginginkan nasehat kepada kaum
mu'minin dan menyampaikan ilmu yang tidak boleh disembunyikannya.

Yang kedua, dengan menyampaikan celaan kepada si pengkritik seolah- olah celaan tersebut
dalam rangka memberi nasehat dan membela ulama syariat, padahal dalam rangka mencapai
tujuan buruknya dan memuaskan hawa nafsunya." Sampai ia berkata:

Barangsiapa ditimpa dengan makar seperti ini, maka bertakwalah kepada Allah, memohon
pertolonganNya dan bersabarlah, karena kesudahan yang baik itu bagi orang yang
bertaqwa."(3)

Dalam halaman sebelumnya, beliau (Imam Ibnu Rajab) juga menjelaskan:


"Sedangkan menjelaskan kesalahan dari kesalahan-kesalahan ulama sebelumnya, apabila ia
memakai adab dalam penyampaian, dan membantah serta menjawab dengan sebaik-baiknya,
maka hal tersebut tidaklah mengapa dan ia tidak tercela, meskipun bantahan itu keluar
disebabkan kebanggaan dengan pendapatnya (yang diyakininya sebagai kebenaran, pent), hal
ini tidak mengapa pula. Dan sebagian orang-orang salaf apabila mengingkari seseorang atas
pendapatnya ia mengatakan, " Si fulan telah berdusta" dan termasuk di antaranya adalah
ucapan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam , yang artinya :

"Abu As Sanabil telah berdusta," ketika sampai berita kepada beliau bahwa Abu As Sanabil
berfatwa tentang iddah sesorang wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya tidak cukup
sampai melahirkan, melainkan harus menunggu sampai empat bulan sepuluh hari. Begitu pula
para ulama yang terkenal wara'nya kadang-kadang sangat keras dalam mengingkari pendapat-
pendapat lemah yang dipegangi oleh sebagian ulama dan membantahnya dengan sekeras-
kerasnya, sebagaimana Imam Ahmad (164-241 H) mengingkari Abu Tsaur (...-240 H) dan
selainnya dalam pendapat-pendapat yang lemah dan menyendiri, beliau membantah mereka
dengan sangat kerasnya, ini semuanya hukum dzahir, yaitu yang nampak.

Sedangkan di balik itu, apabila maksudnya semata-mata menjelaskan kebenaran, dan agar
manusia tidak tertipu dengan pendapat-pendapat yang salah, maka tidak ragu lagi bahwa dia
mendapatkan pahala atas maksud baiknya, dan perbuatannya tersebut dengan niat tadi
dikategorikan kedalam nasehat kepada kitabNya, RasulNya dan para penguasa kaum muslimin
serta kaum muslimin pada umunya. Baik yang menjelaskan kesalahan itu anak kecil atau orang
dewasa."(4)

Sampai beliau (Imam Ibnu Rajab) berkata :


"Sedangkan kalau tujuan dari si pengkritik itu untuk menampakkan kekurangan orang yang
dikritiknya, merendahkan, menjelaskan kebodohan dan kekurangannya dalam hal ilmu dan
yang semisalnya maka hal itu haram hukumnya. Baik ia mengkritik dihadapan orangnya atau
dibelakangnya, baik dimasa hidupnya atau setelah meninggalnya, dan perbuatan ini termasuk
yang dicela oleh Allah dan Allah mengancam setiap pengumpat lagi pencela dalam kitabNya,
dan termasuk juga sebagai orang yang dikatakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam :

"Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya dan belum beriman dengan hatinya,
janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, dan janganlah kalian mencari-cari kekurangan-
kekurangan mereka, karena sesungguhnya barangsiapa mencari-cari kekurangan-kekurangan
mereka maka kelak Allah akan menyingkapkan kekurangan dia (di akhirat) maka Dia akan
membiarkan orang lain tahu aibnya, meskipun di dalam rumahnya." [H.R.Tirmidzi (Tuhfatul
Ahwadzi juz 6/180), dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani dalam Shahih Al-Jami'us
Shaghir no.7985 dan shahih Tirmidzi no.1655.] (5)
.........

Baca selengkapnya di sini: http://www.firanda.com/index.php/artikel/wejangan/579-antara-


nasehat-dan-keikhlasan

Anda mungkin juga menyukai