PENDAHULUAN
seluruh dunia, yaitu sebesar 124 juta kasus kematian anak terjadi akibat pneumonia
Indonesia kematian akibat pneumonia pada balita tahun 2014 mencapai 496 kasus dengan
jumlah penderita sebanyak 657.490 kasus. Sementara di Kaltim kasus pneumonia pada
balita tahun 2014 mencapai 22.639 kasus dengan angka prevalensi sebesar
2,75%(Kemenkes, 2015).
adanya demam tinggi, menggigil, sesak napas, napas cepat, batuk dan tarikan dinding
dada ke dalam (WHO,2008). Anak dengan pneumonia mengalami sukar bernapas hal ini
disebabkan karena adanya akumulasi cairan atau pus pada alveoli, selain itu anak yang
mengembang sehingga anak mengalami napas cepat. Jika kondisi pneumonia bertambah
parah hal ini dapat mengakibatkan anak mengalami kekakuan paru dan tarikan dinding
dada ke dalam. Pneumonia juga dapat menyebabkan kematian pada anak akibat adanya
masyarakat yaitu berkisar 39%, sementara balita dengan pneumonia yang mendapatkan
pengobatan tepat sebesar 60% dan balita dengan pneumonia yang mendapatkan terapi
1
2
antibiotik sebesar 31%. Merujuk pada data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (2013) cakupan pelayanan kesehatan untuk balita masih belum
mencapai target rencana strategis yaitu sebesar 70,12 % dengan target sebesar 83%,
sementara di Provinsi Kaltim besar cakupannya hanya 45,36%. Kunjungan anak ke pusat
pelayanan kesehatan yang tersering yaitu ke Puskesmas sebesar 36,90% oleh sebab itu,
maka pelayanan di tingkat Puskesmas pun juga harus ditingkatkan agar dapat mencegah
yang terpisah untuk tiap- tiap penyakit dan pelatihan penanganan pun disesuaikan
dengan jenis penyakit sehingga hal ini dirasa tidak efektif, hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa balita yang datang ke Puskesmas mengalami lebih dari 1 gejala
penyakit. Untuk itulah, Pemerintah mengadaptasi MTBS dari WHO sebagai tata laksana
terpadu penyakit pada balita di Puskesmas. Sejak tahun 2007 MTBS mulai
Salah satu cara untuk mengatasi angka kematian balita akibat pneumonia yaitu
pendekatan terpadu dalam tata laksana balita sakit dengan berfokus pada kesehatan anak
usia 0-59 bulan (balita) secara menyeluruh. Pendekatan ini bertujuan memandu tenaga
kesehatan untuk mengkaji adanya tanda-tanda penyakit penyebab kematian pada anak
serta menentukan tindak lanjut terkait penyakit batuk atau sukar bernafas pada balita.
3
Pneumonia dalam MTBS disebutkan sebagai salah satu jenis klasifikasi batuk dan atau
Anak yang mengalami batuk atau sukar bernapas menunjukkan adanya gangguan
pada saluran pernapasan. Untuk itulah dibutuhkan keterampilan dan kemampuan tenaga
sehingga dapat mendeteksi adanya pneumonia yang muncul pada balita dan mencegah
kemungkinan komplikasi yang dapat muncul. Selain itu, dengan penerapan MTBS maka
kualitas pelayanan kesehatan dengan biaya yang lebih murah, memperbaiki status gizi
balita serta dapat meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Hal ini sesuai dengan
pengobatan dan klasifikasi pneumonia. Studi yang lain dilakukan oleh Rakha (2014) juga
terlatih, waktu pelayanan yang sempit, ketiadaan sumber dana serta ketiadaan supervisi
dari dinas kesehatan, hasil studi yang sama juga ditemukan oleh Kiplagat, et al (2014)
implementasi MTBS juga dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap responden dalam
Riset yang dilakukan di India oleh Shewade, et al (2012) menunjukkan hanya 15%
dari total ceklist MTBS yang diterapkan oleh tenaga kesehatan, sementara untuk
Merujuk pada data Dinas Kesehatan Provinsi Kaltim (2013) jumlah balita di
Samarinda tahun 2012 mencapai 98.610 dengan cakupan balita yang mendapatkan
pelayanan kesehatan sebesar 54,9% hal ini menunjukkan Samarinda berada dalam
kondisi terendah ke- 4 dalam 1 Provinsi terkait pelayanan kesehatan anak (Dinkes
Provinsi Kaltim, 2012). Angka insidensi pneumonia juga mengalami peningkatan, jika
pada tahun 2012 sebesar 35.377 kasus, maka di tahun 2013 mencapai 37.301 kasus
menyebutkan kasus balita dengan pneumonia tahun 2012 di Samarinda mencapai 2535
Dari hasil studi pendahuluan pada bulan Maret 2015 di Dinkes Kota Samarinda
Acuan dari DINKES Kota Samarinda dalam mengetahui perkiraan jumlah penderita
pneumonia balita per tahun di tiap- tiap Puskesmas yaitu 10 % dari jumlah total balita
tiap Puskesmas. Angka kejadian pneumonia balita pada bulan Januari- Maret 2015 di
seluruh Puskesmas di Kota Samarinda kurang dari 10% total jumlah balita. Bahkan
terdapat beberapa Puskesmas yang sejak 2014 tidak ditemukan kasus balita dengan
Bantuas) namun ada juga beberapa Puskesmas yang mengalami peningkatan kejadian
MTBS merupakan salah satu program Pemerintah yang dilaksanakan oleh Puskesmas,
dalam hal ini pendekatan MTBS dilakukan di Poli Anak atau Poli MTBS. Dari hasil
5
di Poli Anak seluruh Puskesmas Kota Samarinda berjumlah 70 orang yang terdiri dari
berbagai profesi (bidan, dokter, perawat serta ahli gizi). Sebagian besar dari total 24
Puskesmas yang berada di Kota Samarinda, telah menerapkan MTBS dalam pelayanan
kesehatan anak berkolaborasi dengan dokter, juga terdapat 6 Puskesmas yang melakukan
mengikuti pelatihan dan Puskesmas tersebut merupakan Puskesmas baru, yang mulai
membuka pelayanan kesehatan anak pada bulan Januari 2015. Data mengenai penerapan
MTBS setiap bulan juga dilaporkan ke DINKES Kota Samarinda sehingga dapat
Puskesmas telah menerapkan program MTBS. DINKES Kota Samarinda dan DINKES
mengikutsertakan tenaga kesehatan dari seluruh Puskesmas. Oleh sebab itu penulis
mencoba menggali seberapa jauh pengetahuan responden mengenai MTBS batuk serta
menggali kemampuan tenaga kesehatan dalam penerapan MTBS batuk dalam penelitian
Batuk terhadap Penerapan Tata Laksana batuk menurut MTBS di Puskesmas Kota
B. Perumusan Masalah
MTBS batuk terhadap penerapan tata laksana MTBS batuk di Puskesmas Kota
Samarinda
MTBS batuk terhadap penerapan tata laksana MTBS batuk di Puskesmas Kabupaten
Kutai Kartanegara
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Primer
tenaga kesehatan mengenai MTBS batuk terhadap penerapan tata laksana batuk
Kartanegara
2. Tujuan Sekunder
mengenai MTBS batuk terhadap penerapan tata laksana batuk menurut MTBS
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran terkait penerapan MTBS batuk di
2. Bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini dapat berguna sebagai masukan bagi Puskesmas dalam
3. Bagi keilmuan
Penelitian ini dapat menjadi evidence based practice dalam ilmu keperawatan
praktik ilmu keperawatan anak dalam mengatasi masalah batuk pada balita.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian terkait MTBS telah banyak dilakukan sebelumnya, namun penelitian yang
MTBS batuk belum pernah dilakukan sebelumnya. Beberapa penelitian yang berkaitan
oleh Joshi dan Vatsa (2012) di India, penelitian tersebut mengidentifikasi adanya
hubungan sikap dan pengetahuan perawat mengenai MTBS. Hasil dari penelitian
(51,4%) serta sikap yang baik terhadap program MTBS (53,6%). Selain itu penelitian ini
juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara sikap, pengetahuan dan usia
perawat. Kesamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu
Penelitian terkait MTBS juga dilakukan oleh Kiplagat, et al (2014) di Tanzania, hasil
dari penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan yaitu adanya kesamaan metode
pengetahuan perawat mengenai MTBS secara umum serta mengkaji kemampuan perawat
9
kelengkapan obat- obatan, supervisi terkait MTBS. Metode penelitian ini adalah metode
campuran.
Kesamaan dengan penelitian ini yaitu mengkaji penerapan MTBS serta sasaran
responden yang sama (tenaga kesehatan), sementara perbedaan yang muncul yaitu pada
pelaksanaan MTBS
Penelitian lain juga dilakukan oleh Pradhan et al (2012) di Pakistan, rancangan pada
penelitian ini menggunakan design kualitatif eksploratif. Tujuan dari penelitian ini yaitu
Pakistan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan faktor yang paling mempengaruhi
pelaksanaan MTBS yaitu faktor pengetahuan dan persepsi responden mengenai MTBS.
Kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu menyertakan tenaga kesehatan
tahun, dalam penelitian tersebut melibatkan seluruh dokter yang bertugas di fasilitas
pengetahuan yang baik mengenai tanda bahaya umum (89,9%), mengetahui tanda
spesifik dari pneumonia (93,7%), mengetahui napas cepat dan retraksi dinding dada
sebagai tanda spesifik pneumonia (83,5%) serta mampu menyebutkan auskultasi dada
10
sebagai tindakan yang penting untuk dilakukan dalam penegakan diagnosa pneumonia.
Hal tersebut menunjukkan sebagian besar dokter memiliki pengetahuan yang baik