Anda di halaman 1dari 22

BAB I

KASUS

I.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. I
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 41 tahun
Alamat : Gowa
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Suku : Makassar
Status : Menikah
Tanggal Pemeriksaan : 28 Maret 2018
No. RM : 22 89 2017
Pemeriksa : dr. P. S. Sp.M
Tempat Pemeriksaan : Balai Kesehatan Mata Masyarakat Provinsi Sulawesi
Selatan.

I.2 ANAMNESIS

A. Keluhan Utama
Penglihatan kabur pada mata kanan.

B. Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang ke Balai Kesehatan Mata Masyarakat dengan keluhan
penglihatan kabur sejak 4 bulan yang lalu dan memberat 1 bulan terakhir.
Selain itu pasien juga mengeluh mata memerah, berair, silau, dan kotoran mata
berlebih. Awalnya mata pasien sering merah setelah pulang dari sawah,
disertai rasa gatal, berair, dan sedikit nyeri. Selang beberapa minggu, pasien
mengeluh matanya terasa kering, semakin nyeri, penglihatan jauh mulai kabur
dan mulai muncul bercak putih pada mata. Pasien telah berobat ke BKMM
dan diberikan obat tetes mata namun tidak membaik, pasien juga rutin
meneteskan obat pada mata dan rutin meminum obat. Riwayat penggunaan

1
kacamata sebelumnya disangkal. Pasien sering menggosok mata jika terasa
gatal.

C. Riwayat Penyakit Dahulu.


Pasien sudah mengalami keluhan yang sama sejak 4 bulan lalu. Pasien
menyangkal riwayat DM, Hipertensi, alergi dan asma. Pasien juga
menyangkal riwayat pemakaian kortikosteroid jangka panjang. Pasien tidak
mempunyai riwayat memakai kacamata sebelumnya. Pasien mempunyai
riwayat bekerja di sawah dan sering merasakan ada yang masuk ke mata
pasien, riwayat penularan mata merah dilingkungan tempat tinggal dan
pekerjaan disangkal, serta pasien menyangkal adanya riwayat operasi pada
mata sebelumnya.

I.3 PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis
Keadaan umum baik : Baik
Kesan sakit : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital : Tekanan Darah 120/80 mmHg
Nadi 72x/menit
Suhu 37° C
Pernafasan 16 x/menit
Mata : Lihat status oftalmologis
THT Telinga : Normotia, sekret (-/-), serumen (-/-)
Hidung : Septum deviasi (-), sekret (-/-), konka
hiperemis (-/-)
Tenggorokan: Tonsil T1-T1 tenang, faring hiperemis (-)

Mulut : Oral higine baik


Gigi : Caries dentis (-)
Thoraks : Jantung : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Suara napas vesikuler, rh (-/-), wh (-/-)

2
Abdomen : Datar, supel, nyeri tekan (-), bising usus (+)
Ekstremitas : Akral hangat dan tidak terdapat oedem

Status oftalmologis

OD OS
Palpebra Edema (-) Edema (-)
Silia Sekret (+) Sekret (-)
Apparatus Lakrimalis Lakrimasi (+) Lakrimasi (-)
Konjungtiva Hiperemis (+) Hiperemis (-)
Bola Mata Normal Normal
Mekanisme Muskular Normal kesegala Normal kesegala arah
arah Nyeri pergerakan (-)
Nyeri pergerakan
(+)
Kornea Kesan keruh pada Jernih
bagian sentral
Bilik Mata Depan Sulit dinilai Normal
Iris Sulit dinilai Coklat, kripte (+)
Pupil Sulit dinilai Bulat, sentral
Lensa Sulit dinilai Normal
Palpasi
OD OS
TIO Normal Normal
Nyeri Tekan (+) (-)
Massa (-) (-)
Tumor
Glandula Tidak ada Tidak ada
Preaurikuler pembesaran pembesaran

Fluoresens : OD (+)
Tonometri
TOD : No App
TOS : 11 mmHg
Visus
VOD : 1/300 VOS :3/60 (Tidak dikoreksi)
KOR :- KOR :-
Menjadi :- Menjadi :-
Lihat dekat :- Lihat Dekat :-
Koreksi :- Koreksi :-
DP :- DP :-
3
Slit Lamp
 OD : Konjungtiva hiperemis (+), sekret (+), kornea keruh di bagian sentral, tes
fluorosens (+), ulkus berwarna putih keabu-abuan, tampak hipopion pada bilik
mata depan di bagian limbus kornea dan tampak thinning kornea, iris, kripte
iris, pupil dan lensa sulit dievaluasi.
 OS : Konjungtiva hiperemis (-), kornea jernih, bilik mata depan kesan normal,
iris coklat, kripte (+), pupil bulat, lensa kesan normal, RCL (+)

Gambaran a) mata kanan pasien, b) Hasil USG mata.

I.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1 Laboratorium : GDS (87 mg/Dl)


4
2 Pemeriksaan KOH : (OD +)

3 USG : Vitreus kesan jernih, Retina kesan intak.

I.4 RESUME

Pasien seorang perempuan berumur 41 tahun datang ke Balai Kesehatan Mata


Masyarakat dengan keluhan visus menurun pada OD sejak 4 bulan lalu dan memberat
1 bulan terakhir. Keluhan lain yang menyertai pasien yaitu mata merah (+), nyeri (+),
lakrimasi (+), sekret (+), dan fotofobia (+). Riwayat trauma sebelumnya (-), riwayat
pengobatan sebelumnya (+), riwayat penyakit sistemik disangkal, riwayat keluhan
yang sama pada keluarga dan lingkungan sekitar disangkal, riwayat penggunaan
kacamata sebelumnya disangkal.

Dari pemeriksaan status oftalmologis oculus dextra didapatkan konjungtiva


hiperemis, lakrimasi (+), sekret (+), kornea keruh pada bagian sentral, ulkus (+)
disertai thinning kornea. Pada pemeriksaan palpasi didaptkan nyeri tekan pada
palpebra. Pada pemeriksaan tonometri, TOD tidak terukur. Pemeriksaan visus VOD
1/300. Pemeriksaan slit lamp didaptkan konjungtiva hiperemis, kornea keruh pada
bagian sentral, fluorosens (+), ulkus berwarna putih keabu-abuan, tampak hipopion
pada bilik mata depan setinggi limbus kornea. Iris, kripte, pupil dan lensa sulit dinilai.
Pemeriksaan KOH pada oculus dextra (+).

Pada pemeriksaan oftalmologi oculus sinistra kesan normal, pemeriksaan


tonometri TOS 11 mmHg, pemeriksaan visus 3/60 tidak dilakukan koreksi.
Pemeriksaan slit lamp kesan normal.

I.5 DIAGNOSIS KERJA

1. OD Keratomikosis + Tanda-tanda Impending Perforating


2. OS Ametrop

I.6 DIAGNOSIS BANDING

1. Ulkus Kornea Marginal

2. Ulkus Kornea Mooren (Ulkus Sepiginosa Kronik/Ulkus Roden)

3. Ulkus Kornea Et Causa Bakteri


5
4. Ulkus Kornea et Causa Virus

I.7 PENATALAKSANAAN

Medikamentosa:

Topikal

 Cendo Eyefresh Plus 8x1 gtt OD


 Vigamox ED 8x1 gtt OD
 Cendo Lyters 6x1 gtt OD
 Natacen 8x1 gtt OD
Oral
 Ketokonazole 200 mg 1x1
 Natrium Diklofenak 2x1
 Vit A 1X1
Non-medikamentosa:
 Bebat mata.
 Bersihkan sekret

I.8 PROGNOSIS

Quo ad Vitam = ad bonam

Quo ad d sanationam = dubia ad malam

Quo ad functionam = dubia ad malam

Quo ad Visam = ad Malam

Quo ad kosmeticam = ad Malam

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
KERATOMIKOSIS

I. ANATOMI DAN HISTOLOGI KORNEA


Kornea merupakan struktur yang kompleks, memiliki aturan proteksi yang baik,
dimana kornea ini bertanggung jawab dalam hal proteksi terhadap tiga per empat dari bola
mata. Kornea merupakan jaringan avaskular, nutrisi dan produk metabolitnya disalurkan
melalui humor aquos di posterior dan air mata bagian anterior. Kornea merupakan media
transparan yang memiliki banyak innervasi, kondisi seperti ablasi atau keratopati bullosa akan
menyebabkan nyeri, fotofobia, dan reflex lakrimasi. Subepitelial dan stroma dipersarafi oleh
cabang pertama dari nervus Trigeminus yaitu nervi siliaris longus dari cang nervus
oftalmika.1
Secara umum, diameter kornea dari arah vertical yaitu 11.5 mm dan 12 mm dari arah
horizontal. Ketebalan nya pada bagian sentral 540 µm dan sedikit menebal kearah perifer.
Ketebalan kornea pada setiap individu bervariasi tergantung dari tekanan intraocular masing-
masing.1
Kemampuan refraksi kornea yaitu 43.25 D, atau sebesar 74% dari keseluruhan
total kemampuan refraksi pada mata. Kemampuan refraksi mata yaitu 58.60 D.2
Lapisan-lapisan kornea yaitu :
Kornea (latin = seperti tanduk ) adalah selaput bening mata, bagian selaput
bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang
menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas beberapa lapis, yaitu :
1. Epitel
Lapisan epitel kornea tebalnya 50m berbentuk pipih berlapis tidak
bertanduk, ada satu lapis sel basal, sel polygonal dan sel gepeng. Sel bersifat
fat soluble substance. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel dan sel muda
ini terdorong kedepan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju kedepan
menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal disampingnya
dan sel polygonal didepannya melalui desmosom dan macula okluden. Ikatan
ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa melalui barrier. Sel
basal menghasilkan membran basal yang saling melekat erat. Bila terjadi
gangguan akan menjadi erosi rekuren. Waktu yang dibutuhkan epitel untuk

7
berdiferensiasi yaitu sekitar 7-14 hari, kemudian sel yang mati akan dialirkan
keluar lewat air mata.2
2. Membran Bowman
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian
depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi. Kerusakan pada
lapisan ini akan berakhir dengan terbentuknya jaringan parut.2
3. Stroma
Stroma merupakan lapisan yang paling tebal dari kornea, mencakup
sekitar 90% dari ketebalan kornea. Bersifat water soluble substance. Terdiri
atas ekstraselular matriks, keratosit (fibroblast kornea), dan serabut saraf.
Komponen selular hanya membentuk 2-3% dari keselurahn total stroma.
Sisanya diisi oleh matriks ekstraselular (kolagen dan glikosaminoglikans).
Kolagen membentuk lebih dari 70% berat kornea. Stroma kebanyakan
tersusun oleh kolagen tipe I, dan sedikit kolagen tipe III, V, dan VI. Alur
susunan dari kolagen dan lamella membentuk direksi yang sama. Distribusi
yang teratur antara lamella dan kolagen menentukan kejernihan kornea.
Keratosit membentuk komponen selular utama pada stroma, dan
berganti setiap 2-3 tahun. Keratosit memiliki bentuk seperti kumparan dan
tersebar diantara lamella stroma. Keratosit atau disebut juga sebagai fibroblast
dan memiliki sitoskeleton yang luas, termasuk yang paling menonjol yaitu
filament aktin. Keratosit bertanggung jawab untuk menjaga bentuk dari kornea
dan struktur kolagen di stroma. Komponen selular lainnya juga memegang
peranan penting dalam imunitas kornea.2
4. Lapisan Dua
Penelitian di Inggris mendeskripsikan penemuan terbaru pada lapisan
kornea. lapisan ini ditemukan oleh Harminder S. Dua, MD, PhD , professor
oftalmologi dan sains penglihatan di Universitas Nottingham. Lapisan tipis ini
akhirnya disebut Lapisan Dua. Lapisan aselular ini memiliki ketebalan hanya

8
10μm hingga 15μm. Berada diantara lapisan stroma dan membrane descement.

Gambar a) dari hasil Scanning Elektron Micrograph (SEM) tampak perbedaan antara
gambaran stroma dan lapisan Dua. b) hasil dari mikroskop electron terlihat lapisan descement
dan lapisan Dua.3
Lapisan Dua hanya tersusun oleh kolagen-kolagen, yaitu kolagen tipe
IV, V, dan VI. Tanpa adanya keratosit di dalamnya. Lapisan ini tersusun lebih
rapat dan pada dibandingkan lapisan stroma.3
5. Membran Descemet
Merupakan membran aselular yang tipis, kenyal, kuat dan bening,
terletak dibawah stroma dan pelindung atau barrier infeksi dan masuknya
pembuluh darah. Membran ini sangat elastis dan berkembang terus seumur
hidup, mempunyai tebal 40m. 2
6. Endotel
Berasal dari mesothelium, berlapis satu, bentuk polygonal namun
kebanyakan heksagonal, luasnya 20m dan ketebalannya 5m. endotel
melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula
okulden. Penampang posteriornya membentuk mikrovili dan bagian tepi akan
menonjol ke bilik mata depan, dengan demikian menjaga kornea terhadap
humor akuos. Endotel memegang perana penting dalam hidrasi kornea,
menjaga fungsi barier permeable, membatasi akses air dari humor akuos ke
stroma kornea melalui mikrovili, dan mekanisme transport aktif. Kerusakan
pada lapisan endotel akan mengakibatkan peningkatan absorbs air ke lapisan
stroma kornea. lapisan endotel ini tidak berproliferasi. Penyebab tersering
kerusakan endotel adalah usia.2

9
Gambar anatomi dan histology kornea.3

II. DEFINISI
Keratomikosis adalah suatu infeksi kornea oleh jamur, Keratomikosis disebut
juga ulkus kornea fungi yang merupakan infeksi jamur yang menyerang kornea, pada
bagian anterior dari pupil.4,5

III. EPIDEMIOLOGI
Menurut WHO (World Health Organization), penyakit kornea merupakan
antara penyebab utama penurunan visus dan kebutaan, dengan katarak menduduki
ranking pertama. Sedang di Asia keratomikosis khususnya, merupakan kausa antara
kebutaan. Di Malaysia, insidens keratomikosis tercatat 25,2 % dari penyakit mata
lainnya. Hal ini diperkuat dengan kejadian di Singapura, India, dan Thailand.
Keratomikosis lebih sering terjadi di daerah yang berbasis agrikultur, dan daerah yang
lebih hangat.6,7
Di Indonesia dalam survei tahun 1982 didapatkan jumlah penderita radang
kornea sebanyak 0,22% dari penduduk. Kalau persentase tersebut dipakai sekarang
dengan jumlah penduduk kira-kira 170 juta, maka terdapat kira-kira 374.000
penderita, yang sebahagian diantaranya adalah karena infeksi oleh jamur. Karena
keratomikosis sering terdapat di lingkungan masyarakat agraris dan beriklim tropis

10
sampai subtropis, dapat diperkirakan bahwa angka kejadian keratomikosis di
Indonesia cukup tinggi mengingat sebagian besar masyarakat kita tinggal di pedesaan
dan hidup dari pertanian.8
Tipe Aspergillus merupakan tipe jamur penyebab keratomikosis tersering
ditemukan di seluruh dunia, diikuti Fusarium dan spesis Penicillium. Dengan
presentasi Aspergillus (27-64 %), Fusarium (6-32 %), dan Pencillium (2-29 %).
Insidens keratitis jamur di Amerika Serikat bervariasi menurut lokasi geografi dan
rata – rata 2% kasus keratitis di New York, 35% di florida. Spesies Fusarium
penyebab infeksi jamur pada kornea yang paling umum di Amerika Selatan (45-76%
fungal keratitis), spesies Candida and Aspergillus lebih banyak di Amerika Utara.
Pada tahun 2006, the Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menerima
laporan dari oftalmologist di New Hersey didapatkan 3 pasien dengan menggunakan
lensa kontak berhubungan dengan keratitis Fusarium. Secara internasional,
Aspergillus merupakan jamur terbanyak yang terisolasi pada kasus keratitis jamur.
Keratomikosis lebih sering ditemukan pada laki – laki dibanding perempuan dan lebih
sering ditemukan pada pasien yang mempunyai riwayat trauma ocular di luar rumah.9

IV. ETIOLOGI
Keratitis jamur bisa terjadi setelah trauma kornea yang membuka jalur
masuknya jamur ke kornea. Trauma bisa karena terkena bagian dari tumbuhan,
penggunaan lensa kontak, dan prosedur operasi. Orang yang mengonsumsi
kortikosteroid baik topikal maupun sistemik dan orang dengan imunocompromised
juga termasuk dalam faktor predisposisi.1
Etiologi keratitis fungal secara ringkas dapat dibedakan:5
1. Jamur berfilamen (filamentous fungi)
Biasanya terjadi pada usia yang lebih muda dengan kondisi kesehatan yang
baik, namun karena adanya trauma atau penggunaan kortikosteroid menyebabkan
masuknya akses jamur. Jamur bersifat multiseluler dengan cabang-cabang hifa.
Organism yang menyebabkan infeksi yaitu Fusarium spp, Acremonium spp,
Aspergillus spp, Cladosporium spp, Penicillium spp, Paecilomyces spp, Phialophora
spp, Curvularia spp, Altenaria spp.
2. Jamur ragi (yeast)

11
Jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas: Candida albicans,
Cryptococcus spp, Rodotolura spp.tipe ini biasanya terjadi pada penderita yang
memiliki riwayat Diabetes Mellitus, immunocompromised, orang yang memiliki
kelainan penutupan palpebra, dan insufisiensi sekresi air mata.

V. PATOFISIOLOGI
Keratomikosis dapat terjadi setelah terkena paparan bahan tanaman ke dalam
mata.,biasanya Aspergillus fusarium dan spesies Cephalosporium. Pada pasien lemah
atau pasien imunosupresi, infeksi jamur cenderung lebih disebabkan oleh Candida
dan ragi lainnya.9
Trauma dengan bahan-bahan dari tanaman atau tumbuhan faktor resiko yang
penting dari keratitis fungal. Predisposisi utama adalah para petani yang
menggunakan alat pemotong rumput atau sejenisnya yang menggunakan peralatan
mesin dilapangan berumput, tanpa memakai pelindung mata. Trauma dihubungkan
dengan penggunaan kontak lensa yang merupakan faktor resiko umum yang lain
untuk terjadinya keratitis fungal. Kortikosteroid topikal adalah faktor resiko mayor
lainnya, Kortikosteroid topikal mengaktivasi dan meningkatkan virulensi jamur
dengan mengurangi resistensi kornea terhadap infeksi. Meningkatnya penggunaan
kortikosteroid topical selama akhir dekade ke-empat merupakan implikasi mayor
penyebab meningkatnya insiden keratitis fungal selama periode tersebut.9
Selain itu, penggunaan kortikosteroid sistemik bisa mensupresi respon sistem
imun, karena itu merupakan predisposis terjadinya keratitis fungal. Faktor resiko
lainnya adalah termasuk operasi kornea (contohnya keratoplasti dan keratotomi
radial), dan keratitis kronis (contohnya herpes simpleks, herpes zoster, atau vernal/
konjungtivitis alergi). 9
Kebanyakan organisme fungi yang dihubungkan dengan infeksi pada mata
terdapat dimana-mana, organisme saprofit dan telah dilaporkan sebagai penyebab
infeksi pada literature ophtalmologi. Jamur yang di isolasi telah dapat diklasifikasikan
kedalam grup: Moniliaceae (jamur berfilamen tidak berpigmen, termasuk didalamnya
spesies Fusarium dan Aspergillus), Dematiaceae (Jamur berfilamen berpigmen,
termasuk didalamnya spesies Curvularia and Lasiodiplodia), dan yeasts (termasuk
didalamnya spesies Candida). 9

12
Jamur mencapai kedalam stroma kornea melalui kerusakan pada epithelium,
kemudian memperbanyak diri dan menyebabkan nekrosis pada jaringan dan
menyebabkan reaksi inflamasi. Kerusakan pada epitelium biasanya disebabkan dari
trauma (contohnya, penggunaan kontak lensa, benda asing, operasi kornea).
Organisme dapat menembus kedalam membran descemet yang intak dan mencapai
bagian anterior atau segmen posterior. Mikotoksin dan enzim proteolitik menambah
kerusakan jaringan yang ada.9
Keratitis fungal juga dapat terjadi sekunder dari endophthalmitis fungal. Pada
kasus ini, organisme jamur dari segmen posterior menembus membran Descemet dan
masuk kedalam stroma kornea. Akumulasi ini dapat dilihat dalam bentuk klinis dan
dapat ditemukan pus atau pembentukan abses. Organisme dan respon host
berkontribusi terhadap kerusakan kornea, termasuk ulserasi.9

VI. GEJALA KLINIS

Gambaran Ulkus kornea akibat jamur.10

Diagnosis keratitis maupun ulkus jamur biasanya terlambat ditegakkan, sebab


banyak dugaan diagnosis lain yang menyerupai. Gejala klinis bukan merupakan cara
definitive untuk membedakan penyebab dari terjadiny ulkus, apakah bakteri, jamur,
virus dll. Namun beberapa gejala dibawah ini biasanya mnyertai lebih sering pada
pasien dengan kelainan kornea karena jamur. 10
Gejala berupa nyeri, perasaan mengganjal, fotofobia, penglihatan kabur, dan
sekret mukopurulent ataupun serosa. Beberapa bentu perbedaan tanda dari keratitis
akibat jamur. Keratitis kandida biasanya infiltrat berupa warna putih kekuningan.
Keratitis filamentosa bisanya infiltrat pada stroma berupa warna abu-abu dan putih
kekuningan dengan tepi yang lebih halus. Pada fase infiltasi progresif, sering disertai
13
lesi satelit dan bentuk lesi seperti cincin. Pada progresi yang cepat bisa disertai
dengan nekrosis dan penipisan kornea. penetrasi ulkus hingga membran Descement
bisa menyebabkan endoftalmitis tanpa perforasi. Kelainan tambahan yang pernah
menyertai yaitu uveitis anterior, hipopion, plak endotel, peningkatan tekanan
intraocular, skleritis dan endoftalmitis steril atau infeksius.1

Gambaran beberapa proses keratitis fungi. A) Keratitis kandida berat. B) keratitis filamentosa dengan batas pada
tepi yang halus. Terdapat kerusakan epitel yang besar dan terdorong ke membrane Descement. C) dan D) lesi satelit. E)
Infiltrat berbentuk cincin dengan lesi satelit dan hipopion.1

VII. DIAGNOSIS
Diagnosis ulkus kornea ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis,
dan pemeriksaan penunjang.9
1. Anamnesis
Dari riwayat anamnesis, didapatkan adanya gejala subjektif yang
dikeluhkan oleh pasien, dapat berupa mata nyeri, kemerahan, penglihatan kabur,
silau jika melihat cahaya, kelopak terasa berat. Yang juga harus ditanyakan ialah
adanya riwayat trauma, kemasukan benda asing, pemakaian lensa kontak, adanya
penyakit vaskulitis atau autoimun, dan penggunaan kortikosteroid jangka panjang.
2. Pemeriksaan fisis
a. Visus

14
Didapatkan adanya penurunan visus pada mata yang mengalami
infeksi oleh karena adanya defek pada kornea sehingga menghalangi refleksi
cahaya yang masuk ke dalam media refrakta.9
b. Slit lamp
Seringkali iris, pupil, dan lensa sulit dinilai oleh karena adanya
kekeruhan pada kornea. Hiperemis didapatkan oleh karena adanya injeksi
konjungtiva ataupun perikornea. Tanda yang umum pada pemeriksaan
slitlamp yang tidak spesifik, termasuk didalamnya:9
- Injeksio konjungtiva Kerusakan epitel kornea
- Supurasi
- Infiltrasi stroma
- Reaksi pada bilik depan
- Hipopion
3. Pemeriksaan penunjang
a. Tes fluoresein.
Pada ulkus kornea, didapatkan hilangnya sebagian permukaan
kornea.Untuk melihat adanya daerah yang defek pada kornea. (warna hijau
menunjukkan daerah yang defek pada kornea, sedangkan warna biru
menunjukkan daerah yang intak).11
b. Pewarnaan gram, KOH dan kultur.
Untuk menentukan mikroorganisme penyebab ulkus, oleh jamur.
Kadangkala dibutuhkan untuk mengisolasi organisme kausatif pada beberapa
kasus. Sangat membantu diagnosis pasti, walaupun bila negatif belum
menyingkirkan diagnosis keratomikosis. Yang utama adalah melakukan
pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari
dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan KOH,
Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan angka keberhasilan masing-
masing ± 20-30%, 50-60%, 60-75% dan 80%. Lebih baik lagi melakukan
biopsi jaringan kornea dan diwarnai dengan Periodic Acid Schiff atau
Methenamine Silver, tapi sayang perlu biaya yang besar. Akhir-akhir ini
dikembangkan Nomarski differential interference contrast microscope untuk
melihat morfologi jamur dari kerokan kornea (metode Nomarski) yang

15
dilaporkan cukup memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar
Sabouraud atau agar ekstrak maltosa.5,11
c. Gambaran Histopatologi.
Pada pemeriksaan histopatologik dengan memeriksa apusan kornea
ditemukan adanya jamur pada 75% pasien. Hifa jamur berjalan parallel pada
permukaan kornea. Adanya komponen jamur yang mencapai stroma
menunjukkan tingkat virulensi kuman sangat tinggi dan biasanya berhubungan
dengan infeksi yang progresif.11

VIII. PENATALAKSANAAN
a. Medikamentosa
 Topikal
o Polyene
Polyene merusak sel dengan cara mengikat pada dinding sel
fungi me dan menghasilkan kompleks polyenesterol yang
mengganggu permeabilitas membrane jamur.11
 Natamycin
Natamycin tersedia dalam sediaan suspensi 5%.
Merupakan pilihan terapi pada tipe keratomikosis
filamentosa. Diteteskan pada mata setiap jam pada siang
hari dan setiap 2 jam pada malam hari, kemudian dikontrol
setiap 2 hari hingga ulkus membaik. Setelah ulkus membaik
kemudian pengobatan dilanjutkan dengan pemberian obat
tetes setiap 3 jam selama 2 minggu. Namun obat ini tidak
efektif jika ulkus sudah mencapi lapisan stoma dengan
luas.5,12
 Amphotericin B
Bersifat fungistatik dan fungisidal, dan tersedia pula
untuk preparat pengobatan sistemik. Amphotericin yang
digunakan dapat 0.15-0.3%, baik digunakan pada keratitis
yeast ataupun pseudohifa. . Diteteskan pada mata setiap jam
pada siang hari dan setiap 2 jam pada malam hari,
kemudian dikontrol setiap 2 hari hingga ulkus membaik.
16
Setelah ulkus membaik kemudian pengobatan dilanjutkan
dengan pemberian obat tetes setiap 3 jam selama 2
minggu.5,12
o Azole
Azole terdiri atas Imidazole dan Triazole. Imidazole berupa
Fluconazole, Itraconazole, Miconazole, Ketoconazole, dan
Voriconazole. Sedangkan Triazole yaitu Econazole dan
Clotrimazole. Azole menghambat sintesa ergosterol pada
konsentrasi rendah dan pada konsentrasi tinggi bekerja merusak
dinding sel.11
Pengobatan topical dari golongan Azole yaitu Clotrimazole 1%,
Ketoconazole 1%, Itraconazole 1%, Fluconazole 1%, Voriconazole
1-2%.Voriconazole yang merupakan generasi Triazole terbaru
dilaporkan memberikan hasil yang baik pada keratomikosis. Obat
ini ditoleransi dengan baik oleh mata dan bersifat stabil. 5
 Injeksi Subkonjungtiva.
Miconazole (10 mg dalam 0.5 mL) dan Fluconazole (0.5–1.0 mL pada
solution 2% ).5
 Injeksi Intrastroma
Diberikan pada kasus resisten terhadap pengobatan topikal. Voriconazole
dan Amphotericin B (5mg/0.1 mL). 5,10
 Intracameral
Diberikan pada kasus resisten terhadap pengobatan topikal. Voriconazole
(50 lg/0.1 mL).5,10
 Intravena
Amphotericin B dan Miconazole (600-1200 mg/hari).5
 Oral
Ketoconazole (200-600 mg/hari), Itraconazole (100-200 mg/hari),
Fluconazole (50-200 mg/hari), dan Voriconazole 400 mg/hari). Obat oral
diberikan sebagai pendamping obat topikal jika pemberian obat topial saja
tidak efektif.5,10

17
b. Non Medikamentosa
Terapi bedah dilakukan pada pasien yang memiliki respon pengobatan
yang rendah atau pasien dengan perforasi kornea maupun formasi desmetokel
imminens. pembedahan dilakukan untuk menghilangkan antigen dan elemen
infeksius dan jaringan nekrotik serta debris.5
Terapi bedah dilakukan guna membantu medikamentosa, pilihan
pembedahan yaitu: 10,11
1. Debridement. Untuk ulkus kornea yang memiliki derajat ulkus lebih sedikit.
Dilakukan tarsorafi atau superficial keratektomi. Dilakukan untuk mengurangi
bulking dari jamur dan memudahkan penetrasi dari pengobatan antijamur.
2. Pada kasus dengan infiltrate disertai pembentukan jaringan fibrotic, dapat
dilakukan keratoplasti lamellar.
3. Flap konjungtiva atau keratoplasti penetrasi dilakukan untuk kasus yang lebih
berat dengan komplikasi yang serius. Prinsip terapi adalah mengontrol infeksi
dan menjaga integritas dari bola mata.
4. Untuk kasus dengan tanda-tanda Corneal thinning dan Impending Perforated
dapat dilakukan tindakan Cyanoacrylate tissue adhesive dengan terus
melanjutkan pemberian obat antifungal secara topical dan sistemik.4

18
Gambaran penampakan keratomikosis sebelum dan setelah dilakukan keratoplasti. 13

IX. DIAGNOSA BANDING


1. Ulkus Kornea Marginal
Ulkus ini timbulnya sekunder akibat konjungtivitis bakteri akut atau kronik,
terutama blefarokonjungtivitis stafilokok. Ulkus timbul akibat sensitisasi terhadap
produk bakteri; antibodi dari pembuluh limbus bereaksi dengan antigen yang berdifusi
melalui epitel kornea. Gejala yang timbul biasanya, iritasi, kemerahan, fotofobia, dan
sensasi mengganjal. Tampak pula tanda-inda infiltasi kornea. lesi tunggal ataupun lesi
multipel. Dapat terjadi pada salah satu mata atau kedua mata. Lesi berada di perifer
yang bergerak menuju limbus dan dipisahkan oleh zona bersih. Penderita biasanya
pada usia dewasa tetapi dapat pula terjadi ke seluruh usia termasuk anak-anak. Pasien
dengan riwayat infeksi kelenjar Meibom, kalasion berulang, dan rosasea juga
berpeluang menderita ulkus kornea marginal.2,10

19
Gambaran ulkus kornea marginal. 10

2. Ulkus Kornea Moorens (Ulkus Serpiginosa Kronik/Ulkus Roden)


Ulkus Mooren merupakan peradangan yang menyebabkan ulkus perifer
pada kornea dan bersifat idiopatik, terjadi tanda adanya kelainan sistemik yang
dapat diidentifikasi. Patofisiologi pasti terjadinya ulkus ini belum dapat dijelaskan,
namun beberapa literature menyebutkan bahwa terjadi proses autoimun pada
kornea.2
Ulkus Mooren memberikan manifestasi klinis berupa nyeri, infiltrat kuning
keabu-abuan pada area sekitar limbus dan menyebar secara sirkumfleksa dank e
arah sentral. Karakteristik dari ulkus ini yaitu tepi ulkus cenderung mengarah ke
pusat. Tidak ada dampak apa-apa dari sklera. Setelah membaik, kerusakan kornea
perifer akan menjadi aktif, menipis, meninggalkan jaringan fibrotic, dan
perburukan vaskularisasi akan menyebabkan penurunan visus pada pasien. 2

Gambaran Ulkus Mooren dengan neovaskularisasi.2

20
3. Ulkus Kornea Bakterialis
Ulkus korena akibat bakteri merupakan penyakit paling sering pada infeksi di
kornea. bakteri penyebab biasanya Pseudomonas. Penyebab dan faktor predisposisi
yaitu trauma, penggunaan kontak lensa, dan penyakit sistemik yaitu Diabetes
Mellitus. Gambaran pasien datang dengan nyeri hebat, mata merah, lakrimasi,
fotofobia, dan penurunan visus. Terdapat edema palpebra, kongesti konjungtiva,
dan sekret mukopurulent. Gejala klasik ulkus kornea pseudomonas yaitu adanya
infiltrate, edema kornea, dan hipopion. Perkembangan ulkus sangat cepat dan
progresif. Namun terdapat pula bakteri lain namun tidak sering yaitu bakteri
Staphylococcus, merupakan bakteri gram positif dan progresifitasnya lebih lambat.
Ulkus staphylococcus biasanya terjadi di kornea perifer. Untuk menegakkan
diagnosis perlu dilakukan kultur untuk menentukan organism apa yang menyerang
kornea tersebut.10

Gambaran ulkus kornea bakteri Pseudomonas.10

4. Ulkus Kornea Virus


Herpes simpleks tipe I merupakan virus penyebab tersering terjadinya
peradangan pada kornea. Adapun herpes simpleks tipe II terjadi lebih jarang. 90%
pada populasi manusia memiliki rantai virus herpes simpleks pada tubuh dan akan
bertahan secara laten pada usia 16 tahun. Masuknya virus ke kornea melalui
ganglion nervus trigeminus. Karakteristik klinis yaitu adanya ulkus kornea
dendritik. Ulkus dendritik ini akan berkembang menjadi dendrogeografik dan
akhirnya menjadi ulkus kornea geografik. Ulkus ini dapat dilihat secara jelas
menggunakan tes fluorosens. Untuk gejala klinis pada ulkus ini hampir sama
dengan ulkus kornea lainnya. Namun secara jelas bahwa pasien ini memiliki lesi
herpes pada anggota tubuh lain, umumnya di wajah dan leher bagian belakang.
21
Pemeriksaan antigen virus dapat dilakukan. Pemeriksaan histopatologi kornea pada
herpes simpleks rekuren menunjukkan reaksi granulomatosa.10

Gambaran ulkus kornea bakteri virus berbentuk lesi dendrogeografik.10

X. KOMPLIKASI
Ulkus kornea dapat berkomplikasi dengan terjadinya perforasi kornea
walaupun jarang. Hal ini dikarenakan lapisan kornea semakin tipis dibanding dengan
normal sehingga peningkatan tekanan intraokuler dapat mencetuskan terjadinya
perforasi pada ulkus kornea. Pembentukan jaringan parut kornea menghasilkan
kehilangan penglihatan parsial maupun kompleks. Terjadinya neovaskularisasi dan
astigmatisme ireguler, penipisan kornea, sinekia anterior, sinekia posterior, glaucoma,
dan katarak juga bisa terjadi.14

XI. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada beberapa faktor, termasuk luasnya kornea yang
terlibat, status kesehatan pasien (contohnya immunocompromised), dan waktu
penegakkan diagnosis klinis yang dikonfirmasi dengan kultur di laboratorium. Pasien
dengan infeksi ringan dan diagnosis mikrobiologi yang lebih awal memiliki prognosis
yang baik; bagaimana pun, kontrol dan eradikasi infeksi yang meluas didalam sklera
atau struktur intraokular sangat sulit. Diperkirakan satu dari ketiga infeksi jamur gagal
terapi pengobatan atau perforasi kornea.14

22

Anda mungkin juga menyukai