Anda di halaman 1dari 49

TUBERKULOSIS PARU PADA ANAK

Pembimbing:
dr. Afaf Susilawati, Sp.A

Disusun oleh:
Jordy (11-2014-223)

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Daerah Koja, Jakarta Utara
Periode 5 Oktober – 12 Desember 2015

1
KATA PENGANTAR

Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan TB paru


orang dewasa. Masalah yang dihadapi pada TB anak adalah masalah diagnosis, pengobatan,
dan pencegahan. Gejala dan tanda TB anak sering tidak khas, sehingga perlu ketelitian dalam
anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Populasi basil TB paru anak sangat sedikit (paucibacillary) sehingga sulit
mendapatkan basil TB untuk konfirmasi diagnosis TB. Mendiagnosis TB pada anak
membutuhkan anamnesis dan analisis yang teliti, adanya kontak dengan TB dewasa aktif, dan
pemeriksaan fisik dan penunjang lainnya seperti uji kulit tuberkulin dan foto rontgen. Dengan
menganalisis hasil pemeriksaan yang teliti, dapat dihindari overdiagnosis atau underdiagnosis
TB anak. Dosis obat antituberkulosis pada anak relatif lebih tinggi daripada dewasa karena
perbedaan farmakokinetik dan farmakodinamik.

Dengan diagnosis yang tepat dan pengobatan dengan dosis yang tepat, maka akan
meningkatkan kualitas hidup anak dan tumbuh kembang anak yang optimal sesuai dengan
potensi genetiknya.

2
I. PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang sudah sangat lama dikenal oleh manusia.
Pada peninggalan Mesir kuno, ditemukan relief yang menggambarkan orang dengan gibbus.
Kuman Mycobacterium tuberculosis, penyebab TB telah ditemukan oleh Robert Koch pada
tahun 1882, lebih dari 100 tahun yang lalu. Walaupun telah dikenal sekian lama dan telah
lama ditemukan obat-obat antituberkulosis yang paten, hingga saat ini TB masih merupakan
masalah kesehatan utama di seluruh dunia. Sepanjang dasawarsa terakhir abad ke-20 ini,
jumlah kasus baru TB meningkat di seluruh dunia, 95% kasus terjadi di negara berkembang.
Di Indonesia, TB juga masih merupakan masalah yang menonjol. Bahkan secara global,
Indonesia menduduki peringkat ketiga sebagai penyumbang kasus terbanyak di dunia.1
Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang
dewasa. Pada TB anak, permasalahan yang dihadapi adalah masalah diagnosis, pengobatan,
pencegahan, serta TB pada infeksi HIV. Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB pada anak
seringkali tidak khas. Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak,
sulit didapatkan spesimen diagnostik yang dapat dipercaya. Sekalipun spesimen dapat
diperoleh, pada pemeriksaan mikrobiologik, mikroorganisme penyebab jarang ditemukan
pada sediaan langsung dan kultur. Di negara berkembang, dengan fasilitas tes Mantoux dan
foto rontgen paru yang masih kurang, diagnosis TB anak menjadi lebih sulit. Karena sulitnya
mendiagnosis TB pada anak, sering terjadi overdiagnosis yang diikuti overtreatment. Di lain
pihak, ditemukan juga underdiagnosis dan undertreatment. Hal tersebut terjadi karena
sumber penyebaran TB umumnya adalah orang dewasa dengan sputum basil tahan asam
positif, sehingga penanggulangan TB ditekankan pada pengobatan TB dewasa. Akibatnya,
penanganan TB anak kurang diperhatikan. Banyaknya jumlah anak yang terinfeksi TB
menyebabkan tingginya biaya pengobatan yang diperlukan. Oleh karena itu, pencegahan
infeksi TB merupakan salah satu upaya penting yang harus dilakukan. Pencegahan ini
dilakukan dengan pengendalian berbagai faktor risiko infeksi TB. Peningkatan insidens
infeksi HIV-AIDS di berbagai negara turut menambah permasalahan TB anak. Saat ini, telah
terjadi peningkatan interikasi antara tuberkulosis dan infeksi HIV-AIDS pada anak.1
Untuk mengatasi berbagai masalah di atas, diperlukan usaha penyegaran kembali
tentang TB anak. Bagi para dokter anak maupun umum yang sering menangani kasus TB
anak, pemahaman yang benar tentang TB anak harus dikuasai. Pemahaman terhadap TB anak
harus didasari oleh pengertian tentang patogenesis infeksi TB primer yang mempunyai lika-
liku yang kompleks.1

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis yang
bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi
terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer.2

Epidemiologi1,3
Sejak akhir tahun 1990-an, dilakukan deteksi terhadap beberapa penyakit yang
kembali muncul dan menjadi masalah (re-emerging disease), terutama di negara maju, salah
satunya adalah TB. WHO memperkirakan bahwa sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang),
telah terinfeksi oleh M. tuberkulosis, dengan angka tertinggi di Afrika, Asia, dan Amerika
Latin. Tuberkulosis terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara
berkembang, tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab
tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di negara berkembang maupun di negara maju.
Ada 3 hal yang mempengaruhi epidemiologi TB setelah tahun 1990, yaitu perubahan strategi
pengendalian, infeksi HIV, dan pertumbuhan populasi yang cepat.
Laporan mengenai TB anak jarang didapatkan. Diperkirakan jumlah kasus TB anak
per tahun adalah 5% sampai 6% dari total kasus TB. Berdasarkan laporan tahun 1985, dari
1261 kasus TB anak usia <15 tahun, 63% di antaranya berusia <5 tahun. Pada survei nasional
di Inggris dan Wales yang berlangsung selama setahun pada tahun 1983, didapatkan bahwa
452 anak usia <15 tahun menderita TB. Dari Alabama, Amerika, dilaporkan bahwa selama 11
tahun didapatkan 171 kasus TB anak usia <15 tahun. Di negara berkembang, tuberkulosis
pada anak berusia <15 tahun adalah 15% dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara maju,
angkanya lebih rendah, yaitu 5-7%.
Pada tahun 1989, WHO memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat 1,3 juta kasus
baru TB anak dan 450.000 anak usia di bawah 15 tahun meninggal dunia karena TB. Kasus
baru diperkirakan akan meningkat setiap tahun, dari 7,5 juta kasus (143 kasus per 100.000
penduduk) pada tahun 1990, menjadi 8,8 juta kasus (152 kasus per 100.000 penduduk) pada
tahun 1995, menjadi 10,2 juta kasus (163 kasus per 100.000 penduduk) pada tahun 2000,
serta akan mencatai 11,9 juta kasus di tahun 2005. Total insidens TB selama 10 tahun, dari
1990-1999, diperkirakan sebanyak 88,2 juta penderita dan 8 juta di antaranya berhubungan
dengan infeksi HIV. Pada tahun 2000 terdapat 1,8 juta kematian akibat TB dan 226.000 di
antaranya berhubungan dengan HIV. Selama Tahun 1985-1992, peningkatan TB paling

4
banyak terjadi pada usia 25-44 tahun (54,5%), diikuti oleh usia 0-4 tahun (36,1%), dan 5-12
tahun (38,1%). Pada tahun 2005, diperkirakan kasus TB naik 58% dari tahun 1990, 90% di
antaranya terjadi di negara berkembang.
Di Amerika Serikat dan Kanada, peningkatan TB pada anak usia 0-4 tahun adalah
19% dan pada usia 5-15 tahun adalah 40%. Di Asia Tenggara, selama 10 tahun, diperkirakan
bahwa jumlah kasus baru adalah 35,1 juta, 8% di antaranya (2,8 juta) disertai infeksi HIV.
Menurut WHO (1994), Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam jumlah kasus baru TB
(0,4 juta kasus baru), setelah India (2,1 juta kasus), dan Cina (1,1 juta kasus). Sebanyak 10%
dari seluruh kasus terjadi pada anak berusia di bawah 15 tahun.
Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat saat ini, diduga disebabkan oleh
berbagai hal, yaitu (1) diagnosis yang tidak tepat; (2) pengobatan yang tidak adekuat; (3)
program penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat; (4) infeksi endemik HIV; (5)
migrasi penduduk; (6) mengobati sendiri; (7) meningkatnya kemisikinan; (8) pelayanan
kesehatan yang kurang memadai.
Pada tahun 1990, jumlah kematian karena TB di dunia diperkirakan sebesar hampir 3
juta dan hampir 90% kematian tersebut terjadi di negara berkembang, sedangkan pada tahun
2000, jumlah kematian diperkirakan sebesar 3,5 juta. Pada tahun 1997, kematian karena TB
mencapai 1,87 juta orang, rata-rata CFR adalah sebesar 23%, bahkan di beberapa negara
dengan kejadian infeksi HIV tinggi, seperti di beberapa negara Afrika, CFR TB mencapai
50%.
Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negara-negara berkembang, karena
jumlah anak berusia di bawah 15 tahun adalah 40-50% dari jumlah seluruh populasi. Menurut
perkiraan WHO tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah 583.000 orang per
tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun. WHO memperkirakan
bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang paling banyak menyebabkan kematian anak dan
orang dewasa. Kematian akibat TB lebih banyak daripada kematian akibat malaria dan AIDS.
Pada wanita, kematian karena TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan,
persalinan, dan nifas.
Karena sulitnya menegakkan diagnosis TB pada anak, data TB anak sangat terbatas,
termasuk di Indonesia. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, WHO sedang melakukan upaya
dengan cara membuat konsensus diagnosis di berbagai negara. Dengan adanya konsensus ini,
diharapkan diagnosis TB anak dapat ditegakkan, sehingga kemungkinan overdiagnosis atau
underdiagnosis dapat diperkecil, dan angka prevalensi pastinya dapat diketahui.

5
Etiologi
Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, suatu organisme aerob
yang tumbuh lambat dengan struktur dinding sel kompleks yang mengandung asam mikolat,
suatu asam lemak 70-80 karbon, dan arabinogalaktan yang terikat pada asam muramat.
Kandungan lipid yang tinggi menyebabkan organisme bersifat tahan asam pada pewarnaan
(resisten terhadap perubahan warna dengan asam-alkohol), seperti digunakan pada metode
pewarnaan Ziehl-Neelsen atau Kinyoun yang digunakan untuk mengidentifikasi organisme
ini. M. tuberculosis dapat dibedakan dari mikobakteri lain dengan tidak adanya pigmentasi,
dengan angka pertumbuhannya yang lambat, dengan waktu penggandaan 24-36 jam, dan
dengan penggunaan probe DNA spesifik.4

Cara Penularan5

 Sumber penularan adalah pasien TB dengan BTA positif.


 Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak.
 Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar
matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa
jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
 Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin
menular pasien tersebut.
 Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun
timbulnnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko
infeksi dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit (risiko penyakit).3
 Risiko infeksi TB

6
Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan
dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis,
kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik), dan tempat
penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain), yang banyak
terdapat pasien TB dewasa aktif. Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah
pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif. Berarti
bayi dari seorang ibu dengan BTA sputum positif memiliki risiko tinggi terinfeksi TB.
Semakin erat bayi tersebut dengan ibunya, semakin besar pula kemungkinan bayi
tersebut terpajan percik renik (droplet nuclei) yang infeksius.
Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa
di sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam secret
endobronkial pasien anak. Pertama, karena jumlah kuman pada TB anak biasanya
sedikit (paucibacillary), tetapi karena imunitas anak masih lemah, jumlah yang sedikit
tersebut mampu untuk menyebabkan sakit. Kedua, karena lokasi infeksi primer yang
kemudian berkembang menjadi sakit TB primer biasanya terjadi di daerah parenkim
yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi sputum. Ketiga, tidak
ada/sedikitnya produksi sputum, dan tidak terdapatnya reseptor batuk di daerah
parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk pada TB anak.
Tabel 1. Klasifikasi Individu berdasarkan Status TB3

Kelas Kontak TB Infeksi TB Sakit TB


0 (-) (-) (-)
I (+) (-) (-) Profilaksis I*
II (+) (+) (-) Profilaksis II*
III (+) (+) (+) Terapi OAT
*pada kelompok risiko tinggi balita, pubertas, steroid sistemik jangka panjang, gizi buruk, morbili,
varisela, HIV/AIDS, maupun keganasan.

 Risiko sakit TB
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Ada
beberapa faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit
TB. Faktor yang pertama adalah usia. Anak berumur 5 tahun ke bawah mempunyai
risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas
selularnya belum berkembang sempurna. Akan tetapi, risiko sakit TB ini akan
berkurang secara bertahap seiring dengan pertambahan usia. Risiko tertinggi
terjadinya progresivitas dari infeksi menjadi sakit TB adalah selama 1 tahun pertama
setelah infeksi, terutama selama 6 bulan pertama.pada bayi, rentang waktu antara

7
terjadinya infeksi dan timbulnya sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun) dan biasanya
timbul gejala yang akut.
Faktor risiko berikutnya adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya
konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir. Faktor
risiko lainnya adalah malnutrisi, keadaan imunokompresi (HIV, keganasan,
transplantasi organ, dan pengobatan imunosupresi), diabetes mellitus, dan gagal ginjal
kronik. Pada infeksi HIV, terjadi kerusakan sistem imun sehingga kuman TB yang
dorman mengalami aktivasi. Faktor yang tidak kalah penting pada epidemiologi TB
adalah status sosial-ekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan
hunian, pendidikan yang rendah, dan kurangnya dana untuk pelayanan masyarakat.
Faktor lain yang mempunyai risiko terjadinya penyakit TB adalah virulensi M.
tuberculosis dan dosis infeksinya, tetapi secara klinis hal ini sulit untuk dibuktikan.
Umur saat Risiko Sakit
infeksi primer TB Diseminata
Tidak Sakit TB Paru
(tahun) (milier, meningitis)
<1 50% 30-40% 10-20%
1-2 75-80% 10-20% 2-5%
2-5 95% 5% 0,5%
5-10 98% 2% <0,5%
>10 80-90% 10-20% <0,5%

Tabel 2. Risiko Sakit Tuberkulosis pada Anak yang Terinfeksi Tuberkulosis3

Patogenesis1,6,7
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya
yang sangat kecil (< 5 m), kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat
mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis
non-spesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB dan biasanya sanggup
menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag
tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.
Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan menyebabkan
makrofag mengalami lisis, dan kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi
pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon.

8
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju ke kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau
tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika
fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks
primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis), dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian
masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman
hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8
minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman
tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang
respons imunitas seluler. Selama minggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap
tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer
inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji
tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer
terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu
dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi
kuman TB terhenti. Namun sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma.
Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan
segera dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis
perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan
enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat
membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritic fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga

9
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang
mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang
berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru. Obstruksi total dapat menyebabkan
atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan
menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau
membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang disebut sebagai lesi segmental
kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk kedalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik. Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman
TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju
adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru
sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan
bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan
membatasi pertumbuhannya. Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus ini
umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus
reaktivasi. Fokus potensial di apeks paru disebut sebagai fokus simon. Bertahun-tahun
kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi
dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hematogen lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut
(acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk
dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh.Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini
timbul dalam 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah
dan virulensi kuman TB yang beredar, serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis
diseminata terjadi kaerna tidak adekuatnya sistem pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB,

10
misalnya pada balita. Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized
hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan
melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilah milier berasal dari
gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (milliet seed). Secara
patologik anatomi, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi
merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan menyebar ke saluran
vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah.
Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute
generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.

Gambar 1. Patogenesis TB1,6,7


Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya
sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu

11
penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0,5-3%
penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya
terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang
timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9
bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi bergantung pada usia terjadinya infeksi
primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman didalam lesi yang tidak
mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering pada
remaja dan dewasa muda. Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25%-30% anak
yang terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5%-10% anak yang terinfeksi, dan
paling banyak terjadi dalam 1 tahun, tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal
biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.

Manifestasi Klinis
Patogenesis TB sangat kompleks, sehingga manifestasi klinis sangat bervariasi dan
bergantung pada beberapa faktor. Faktor yang berperan adalah kuman TB, pejamu, serta
interaksi antar keduanya. Faktor kuman bergantung pada jumlah dan virulensi kuman,
sedangkan faktor pejamu bergantung apda usia, dan kompetensi imun, serta kerentanan
pejamu pada awal terjadinya infeksi. Anak kecil seringkali tidak menunjukkan gejala
walaupun sudah tampak pembesaran kelenjar hilus pada foto toraks. Manifestasi klinis TB
terbagi dua, yaitu maniestasi sistemik dan manifestasi spesifik organ/lokal. Gejala
sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:7,8

1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan adekuat
atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.
2. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam
tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi.
Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak
disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
3. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas
semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to
thrive).
5. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.

12
6. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku
diare.
Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ yang terkena,
misalnya kelenjar limfe, SSP, tulang, dan kulit, adalah sebagai berikut:7,8
1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):
Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri,
dan kadang saling melekat atau konfluens.
2. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
• Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat
keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
• Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
3. Tuberkulosis sistem skeletal:
• Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
• Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di
daerah panggul.
• Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang jelas.
• Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
4. Skrofuloderma:
Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge).
5. Tuberkulosis mata:
• Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
• Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
6. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila
ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan
disertai kecurigaan adanya infeksi TB.

Diagnosis1,8
Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya M. tuberculosis pada
pemeriksaan sputum atau bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau pada
biopsi jaringan. Pada anak, kesulitan menegakkan diagnosis pasti disebabkan oleh dua hal,
yaitu sedikitnya jumlah kuman (paucibacillary) dan sulitnya pengambilan spesimen
(sputum). Jumlah kuman TB di sekret bronkus pasien anak lebih sedikit daripada dewasa
karena lokasi kerusakan jaringan TB paru primer terletak di kelenjar limfe hilus dan
parenkim paru bagian perifer. Selain itu, tingkat kerusakan parenkim paru tidak seberat pada

13
dewasa. Kuman BTA baru dapat dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling sedikit
5000 kuman dalam 1 ml dahak. Kesulitan kedua, pengambilan spesimen/sputum sulit
dilakukan. Pada anak, walaupun batuknya berdahak, biasanya akan akan ditelan sehingga
diperlukan bilasan lambung yang diambil melalui nasogatrik tube (NGT) dan harus
dilakukan oleh petugas berpengalaman. Cara ini tidak menyenangkan bagi pasien. Dahak
yang representatif untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis adalah dahak yang kental dan
purulent, berwarna hijau kekuningan dengan volume 3-5 ml.
Karena berbagai alasan di atas, diagnosis TB anak bergantung pada penemuan klinis
dan radiologis, yang keduanya seringkali tidak spesifik. Kadang-kadang, TB anak ditemukan
karena ditemukannya TB dewasa disekitarnya. Diagnosis TB anak ditentukan berdasarkan
gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin, pemeriksaan
laboratorium, dan foto rontgen dada. Adanya riwayat kontak dengan pasien TB dewasa BTA
positif, uji tuberkulin positif, dan foto paru yang mengarah pada TB (sugestif TB) merupakan
bukti kuat yang menyatakan anak telah sakit TB. Meskipun demikian, sumber penularan atau
kontak tidak selalu dapat teridentifikasi, sehingga analisis yang seksama terhadap semua data
klinis sangat diperlukan. Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB
pada apusan langsung (direct smear), dan atau biakan yang merupakan pemeriksaan baku
emas (gold standard), atau gambaran PA TB. Kesulitan menegakkan diagnosis TB pada anak
menyebabkan banyak usaha membuat pedoman diagnosis dengan sistem skoring dan alur
diagnostik, misalnya pedoman yang dibuat WHO, Stegen dan Jones, dan UKK Respirologi
PP IDAI. WHO membuat kriteria untuk membuat diagnosis TB pada anak.
Dicurigai TB 1. Anak sakit dengan riwayat kontak pasien tuberculosis
dengan diagnosis pasti
2. Anak dengan :
 Keadaan klinis tidak membaik setelah menderita
campak atau batuk rejan
 Berat badan menurun, batuk dan mengi yang tidak
membaik dengan pengobatan antibiotika untuk
penyakit pernapasan
 Pembesaran kelenjar superfisialis yang tidak sakit
Mungkin TB Anak yang dicurigai tuberculosis ditambah :
 Uji tuberculin positif (10 mm atau lebih)
 Foto rontgen paru sugestif tuberculosis
 Pemeriksaan histologis biopsy sugestif tuberculosis
 Respons yang baik pada pengobatan dengan OAT
Pasti TB (confirmed Ditemukan basil tuberculosis pada pemeriksaan sputum atau
TB) biakan

14
Identifikasi Mycobacterium tuberculosis pada karakteristik biakan
Tabel 3. Panduan WHO u ntuk Diagnosis TB Anak8

Kriteria WHO ini telah di evaluasi secara prospektif oleh Houwart dkk, dengan hasil
baik. Penilaian pada 258 anak dengan “mungkin TB” sesuai kriteria WHO, maka setelah
diikuti lebih lanjut 109 (42%) menjadi “pasti TB” dengan biakan positif, 86 (33%) diagnosis
tetap “mungkin TB”, sedangkan 63 (24%) bukan TB. Diantara 109 anak dengan biakan
positif, 11 anak foto rontgen parunya normal. Unit kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI
sudah pernah membuat alur diagnosis TB anak yang dimuat dalam buku Pedoman Nasional
Penanggulangan TB yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan RI (Depkes RI). Dalam
alur diagnosis tersebut, terdapat 10 butir kriteria diagnosis TB anak. Bila terpenuhi tiga atau
lebih, anak sudah dapat didiagnosis TB. Setelah dievaluasi pelaksanaan nya di lapangan, alur
diagnosis tersebut sangat berpotensi menyebabkan terjadinya overdiagnosis TB pada anak.

Gambar 2. Alur Deteksi Dini dan Rujukan TB Anak8

15
Berdasarkan keterangan sebelumnya bahwa mendiagnosis TB anak sulit dilakukan
karena gejalanya tidak khas, dibuatlah suatu kesepakatan penanggulangan TB anak oleh
beberapa pakar. Kesepakatan ini dibuat untuk memudahkan penanganan TB anak secara luas,
terutama di daerah perifer atau pada fasilitas kesehatan yang kurang memadai. Unit Kerja
Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak
(PNTA) yang telah tersebar luas dan telah diadopsi oleh Departemen Kesehatan menjadi
Program Pemberantasan TB Nasional. Namun, dalam pelaksanaannya terdapat beberapa
revisi yang diajukan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan terhadap
gejala atau tanda klinis yang dijumpai.

Tabel 4. Sistem Skoring Diagnosis Tuberkulosis Anak1,7,8

Catatan :
- Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
- Jika dijumpai skrofuloderma**, pasien dapat langsung didiagnosis tuberkulosis.
- Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).
- Demam dan batuk tidak memiliki respons terhadap terapi baku.
- Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak.
- Gambaran sugestif TB, berupa: pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal
dengan/tanpa infiltrat; konsolidasi segmental/lobular; kalsifikasi dengan infiltrat;
atelektasis; tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung dalam skor karena
diperlakukan secara khusus.
- Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak, maka
sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan kesehatan.
- Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (≤7 hari) harus
dievaluasi dengan sistem skoring TB anak, BCG bukan merupakan alat diagnostik.
- Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring TB
anak.
- Diagnosis kerja TB anak ditegakkan bila jumlah skor ≥6 (skor maksimal 13).

16
Pada tabel dapat dilihat bahwa pembobotan tertinggi ada pada uji tuberkulin dan
adanya kontak TB dengan BTA positif. Uji tuberkulin ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi, sehingga dapat digunakan sebagai uji tapis dan menunjang diagnosis.
Demikian pula adanya kontak dengan penderita TB dewasa dengan BTA positif. Adanya
kontak dengan BTA positif dapat menjadi sumber penularan yang berbahaya karena
berdasarkan penelitian akan menularkan sekitar 65% orang disekitarnya.
Penurunan berat badan merupakan gejala umum yang sering dijumpai pada TB anak.
Umumnya, penderita TB anak mempunyai berat badan dibawah garis merah atau bahkan gizi
buruk. Dengan alasan tersebut, kriteria penurunan berat badan menjadi penting. Yang
dimaksud penurunan berat badan dalam hal ini adalah apabila terjadi penurunan dalam dua
bulan berturut-turut.
Demam merupakan suatu tanda umum yang menandai adanya infeksi. Yang
dimaksud demam adalah demam lama (≥ 2 minggu) yang tidak diketahui penyebabnya, atau
bukan suatu demam akibat demam tifoid dan bukan akibat malaria. Batuk yang berlangsung
lebih dari 3 minggu (batuk kronik) merupakan salah satu gejala umum TB anak. Hal yang
perlu diperhatikan adalah batuk kronik juga merupakan gejala utama asma yang biasanya
bersifat berulang selain adanya kronisitas. Pembesaran kelenjar limfe di daerah leher, aksila,
atau inguinal dapat menjadi tanda adanya TB anak. Umumnya pembesaran kelenjar bersifat
multiple (lebih dari satu), tidak nyeri, tidak panas, perabaan kenyal, pada awalnya warna
sama dengan sekitarnya lama kelamaan warna berubah menjadi livid (merah kebiruan).
Pembesaran kelenjar ini harus dibedakan dengan pembesaran kelenjar akibat infeksi banal
(bakteri) yang umumnya bersifat soliter, nyeri, warna lebih merah dari sekitarnya. Yang perlu
diperhatikan adalah jika pembesaran kelenjar tersebut sudah berubah menjadi skrofuloderma,
keadaan ini merupakan tanda yang spesifik untuk TB sehingga pasien harus dirujuk ke sarana
yang lebih tinggi atau langsung mendapat pengobatan TB.
Pembengkakan tulang/sendi merupakan tanda TB anak yang harus dibedakan dengan
pembengkakan sendi akibat penyebab lain. Demikian pula apabila terdapat keluhan pincang
harus dibedakan dengan penyebab lain. Pada TB tulang atau sendi, selain dijumpai gejala
umum TB pada anak, dapat dijumpai gejala spesifik berupa bengkak, kaku, kemerahan, dan
nyeri pada pergerakan. Gejala atau tanda TB tulang atau sendi bergantung pada lokasi
kelainan. TB tulang belakang ditandai oleh gibbus berupa benjolan di tulang belakang yang
umumnya seperti abses, tetapi tidak terdapat tanda radang. Warna benjolan sama dengan
sekitarnya, tidak nyeri tekan, dan menimbulkan abses dingin. TB sendi panggul biasanya
menimbulkan gejala berupa pincang saat berjalan dan pasien sulit berdiri. Kelainan pada

17
sendi lutut dapat berupa bengkak di daerah lutut, anak sulit berdiri dan berjalan, dan kadang-
kadang ditemukan atrofi otot paha dan betis.
Foto rontgen dada adalah pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
mendiagnosis TB anak. Berbeda dengan TB dewasa, pemeriksaan radiologis kurang banyak
manfaatnya untuk mendiagnosis TB anak, kecuali pada keadaan tertentu, misalnya pada
gambaran TB milier. Gambaran infiltrat atau pemebesaran kelenjar getah bening hilus yang
selama ini banyak digunakan sebagai dasar diagnosis TB, bukanlah suatu gambaran khas TB
karena hal tersebut masih dapat disebabkan oleh penyakit lain, seperti pneumonia atau infeksi
respiratorik akut lain. Selain itu, terdapat perbedaan persepsi dalam pembacaan foto rontgen
dada. Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
maka dilakukan pembobotan dengan sistem skoring. Pasien dengan jumlah skor yang lebih
atau sama dengan 6 (≥ 6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (obat
anti tuberkulosis). Untuk mendiagnosis TB di sarana yang memadai, sistem skoring diatas
digunakan sebagai uji tapis (screening test). Bila diperlukan, dilengkapi dengan pemeriksaan
penunjang lainnya, seprti bilas lambung (BTA dan kultur M. Tb), patologi anatomi, pungsi
pleura, pungsi lumbal, CT-scan, funduskopi, foto rontgen tulang, dan sendi.

Pemeriksaan penunjang
Uji Tuberkulin8
Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat antigenik
yang kuat. Jika disuntikan secara intrakutan, kepada seseorang yang telah terinfeksi TB (telah
ada kompleks primer dalam tubuhnya dan telah terbentuk imunitas seluler terhadap TB),
maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Indurasi ini terjadi karena
vasodilatasi lokal, edema, endapan fibrin, dan terakumulasinya sel-sel inflamasi di daerah
suntikan. Ukuran indurasi dan bentuk reaksi tuberkulin tidak dapat menentukan tingkat
aktivitas dan beratnya proses penyakit. Uji tuberkulin merupakan alat diagnosis TB yang
sudah sangat lama dikenal, tetapi hingga saat ini masih mempunyai nilai diagnostik yang
tinggi terutama pada anak, dengan sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%. Tuberkulin
yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2TU (tuberculin unit) buatan Statens
Serum Institute Denmark, dan PPD (purified protein derivative) dari Biofarma.
Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 2TU
atau PPD S 5TU, secara intrakutan dibagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-72
jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul, bukan
hiperemi/eritemanya. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk menentukan tepi indurasi,

18
ditandai dengan pulpen, kemudian diameter transversal indurasi diukur dengan alat pengukur
transparan, dan hasilnya dinyatakan dalam millimeter. Jika tidak timbul indurasi sama sekali,
hasilnya dilaporkan sebagai 0 mm, jangan hanya dilaporkan sebagai negatif. Selain ukuran
indurasi, perlu dinilai tebal tipisnya indurasi dan perlu dicatat jika ditemukan vesikel hingga
bula. Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi ≥ 10 mm dinyatakan positif
tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh infeksi
TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi Bacille Calmette-Guerin
(BCG) atau infeksi M. atipik. Bacille Calmette-Guerin merupakan infeksi TB buatan dengan
kuman M. Bovis yang dilemahkan, sehingga kemampuannya dalam menyebabkan reaksi
tuberkulin menjadi positif, tidak sekuat infeksi alamiah. Pengaruh BCG terhadap reaksi
positif tuberkulin secara bertahap akan menjadi semakin berkurang dengan berjalannya
waktu, dan paling lama berlangsung hingga 5 tahun setelah penyuntikan. Pada balita yang
telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-15 mm dinyatakan uji tuberkulin positif,
kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh BCG-
nya. Akan tetapi, bila ukuran indurasi ≥ 15 mm, hasil postif ini sangat mungkin karena
infeksi TB alamiah. Jika membaca hasil tuberkulin, pada anak berusia lebih dari 5 tahun,
faktor BCG dapat diabaikan.
Apabila diameter indurasi 0-4 mm, dinyatakan uji tuberkulin negatif. Diameter 5-9
mm dinyatakan positif meragukan. Hal ini disebabkan oleh kesalahan teknis (trauma, dan
lain-lain), keadaan anergi, atau reaksi silang dengan M. atipik. Bila mendapatkan hasil yang
meragukan, uji tuberkulin dapat diulang. Untuk menghindari efek booste rtuberkulin, ulangan
dilakukan 2 minggu kemudian dan penyuntikan dilakukan di lokasi lain, minimal berjarak 2
cm. Pada keadaan tertentu, yaitu tertekannya sistem imun (imunokompromais), maka cut off-
point hasil positif yang digunakan adalah ≥ 5 mm. Keadaan imunokompromais ini dapat
dijumpai pada pasien dengan gizi buruk, infeksi HIV, keganasan, morbili, pertussis, varisela,
atau pasien-pasien yang mendapat imunosupresan jangka panjang (≥ 2 minggu). Pada anak
yang mengalami kontak erat, dengan pasien TB dewasa aktif disertai BTA positif, juga
digunakan batas ≥ 5 mm. Uji tuberkulin sebaiknya tidak dilakukan dalam kurun waktu 6
minggu setelah imunisasi morbili, measles, mumps, rubella (MMR), dan varisela, karena
dapat terjadi anergi (negatif palsu karna terganggunya reaksi tuberkulin).
Pada reaksi uji tuberkulin dapat terjadi reaksi lokal yang cukup kuat bagi individu
tertentu dengan derajat sensitivitas yang tinggi, berupa vesikel, bula, hingga ulkus di tempat
suntikan. Juga pernah dilaporkan terjadinya limfangitis, limfadenopati regional,
konjungtivitis fliktenularis, bahkan efusi pleura yang dapat disertai demam, walaupun jarang

19
terjadi. Tuberkulosis pada anak tidak selalu bermanifestasi klinis secara jelas, sehingga
diperlukan deteksi dini yaitu dengan uji tuberkulin. Pada anak yang tinggal di daerah endemis
TB, uji tuberkulin perlu dilakukan secara rutin, bila hasilnya negatif dapat diulang setiap
tahun. Uji tuberkulin positif dapat dijumpai pada 3 keadaan berikut :

1. Infeksi TB alamiah
a. Infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten)
b. Infeksi TB dan sakit TB
c. TB yang telah sembuh
2. Imunisasi BCG (infeksi TB buatan)
3. Infeksi mikobakterium atipik

Uji tuberkulin negatif dapat dijumpai pada 3 keadaan berikut :

1. Tidak ada infeksi TB


2. Dalam masa inkubasi infeksi TB
3. Anergi

Anergi adalah keadaan penekanan sistem imun oleh berbagai keadaan, sehingga tubuh
tidak memberikan reaksi terhadap tuberkulin walaupun sebenarnya sudah terinfeksi TB.
Beberapa keadaan dapat menimbulkan anergi, misalnya gizi buruk, keganasan, penggunaan
steroid jangka panjang, sitostatika, penyakit morbili, pertussis, varisela, influenza, TB yang
berat, serta pemberian vaksinasi dengan vaksin virus hidup. Yang dimaksud dengan influenza
adalah infeksi oleh virus influenza, bukan batuk pilek panas biasa, yang umumnya
disebabkan oleh rhinovirus dan disebut sebagai selesma (common cold). Satu hal yang perlu
dicermati saat pembacaan uji tuberkulin adalah kemungkinan uji tuberkulin positif
palsu/negatif palsu. Uji tuberkulin psotif palsu dapat juga ditemukan pada keadaan
penyuntikan salah dan interpretasi salah, demikian juga negatif palsu, disamping
penyimpanan tuberkulin yang tidak baik sehingga potensinya menurun.

Positif Palsu Negatif Palsu


Penyuntikan salah Masa inkubasi
Interpretasi tidak betul Penyimpanan tidak baik dan
Reaksi silang dengan M. atipik penyuntikan salah
Interpretasi tidak bertul
Menderita tuberculosis luas dan berat
Disertai infeksi virus (campak, rubella,
cacar air, influenza, HIV)

20
Imunokompromais seluler, termasuk
pemakaian kortikosteroid
Kekurangan komplemen
Demam
Leukositosis
Malnutrisi
Sarcoidosis
Psoriasis
Jejunoileal by pass
Terkena sinar ultraviolet (matahari,
solaria)
Defisiensi pernisiosa
Uremia
Tabel 5. Sebab-sebab Hasil Positif Palsu dan Negatif Palsu Uji Tuberkulin8

Berdasarkan penelitian di RSCM-Jakarta, dari 49 pasien TB dengan biakan positif


yang berstatus gizi buruk, hanya 24 pasien yang menunjukkan hasil uji tuberkulin negatif
palsu (anergi). Hal ini menunjukkan bahwa anergi tidak selalu terjadi pada keadaan yang
berpotensi menyebabkan imunokompromais. Pada uji tuberkulin ulangan yang dilakukan 2
bulan setelah terapi dan pasien mengalami perbaikan klinis, 10 di antara 24 pasien anergi
tersebut menunjukkan hasil positif. Keadaan ini menunjukkan bahwa anergi tidak menetap.
Uji interferon8
Secara garis besar, pemeriksaan penunjang untuk mencari bukti adanya penyakit
infeksi dapat di bagi menjadi dua kelompok besar. Pertama adalah pemeriksaan untuk
menemukan kuman pathogen di dalam spesimen, misalnya dengan pemeriksaan langsung,
pemeriksaan biakan, atau polymerase chain reaction (PCR). Kedua adalah pemeriksaan
untuk mendeteksi respons imun terhadap kuman tersebut. Pemeriksaan untuk respons imun
terhadap penyakit infeksi terdiri dari pemeriksaan respons imun humoral (enzyme linked
immunoabsorbent assay, ELISA) dan pemeriksaan respons imun seluler. Pada penyakit
infeksi non-TB, yang banyak dipakai adalah pemeriksaan imun humoral yaitu pemeriksaan
serologi. Pada infeksi TB, respons imun lebih memegang peranan, sehingga pemeriksaan
diagnostik yang lebih representatif adalah uji tuberkulin. Uji tuberkulin dianggap tidak
praktis karena pasien harus datang minimal dua kali untuk diagnostik, yaitu saat penyuntikan
dan saat pembacaan. Pemeriksaan imunitas seluler yang ada biasanya tidak dapat
membedakan infeksi TB dengan sakit TB, oleh karena itu telah dikembangkan suatu
pemeriksaan imunitas seluler yang lebih praktis yaitu dengan memeriksa spesimen darah.

21
Hasil pemeriksaan ini diharapkan dapat membedakan infeksi TB dengan sakit TB.
Pemeriksaan yang dimaksud adalah uji interferon (interferon gamma realese assay, IGRA).
Uji tuberkulin dan uji IFN-γ didasarkan adanya pelepasan sitokin inflamasi yang
dihasilkan oleh sel limfosit T yang sebelumnya telah tersensitisasi antigen M. tuberculosis.
Pada uji tuberkulin, antigen M. Tb yang di suntikkan di bawah lapisan epidermis
memyebabkan infiltrasi limfosit dan dilepaskannya sitokin inflamasi. Reaksi inflamasi ini
menyebabkan akumulasi sel-sel inflamasi dan menyebabkan terjadinya indurasi pada tempat
suntikan. Pada uji IFN-γ limfosit darah tepi distimulasi secara in-vitro dan kadar IFN-γ yang
dihasilkan oleh sel limfosit T tersensitisasi diukur dengan cara ELISA. Perkembangan
pemeriksaan diagnostik TB akhir-akhir ini adalah pemeriksaan darah in-vitro berupa
pemeriksaan T-cell (T-cell-based assay). Pemeriksaan darah ini mengukur produksi IFN-γ
oleh limfosit yang telah tersensitisasi oleh antigen protein spesifik M. Tb yaitu early
secretory antigenic target – 6 (ESAT-6) dan culture filtrate protein – 10 (CFP – 10). Hasil
pemeriksaan ini ternyata sampai saat ini belum dapat membedakan infeksi saja atau ada
penyakit. Pemeriksaan IGRA hanya membutuhkan sekali kunjungan. Spesifisitas
pemeriksaan ini lebih tinggi dari pada uji tuberkulin karena tidak ada reaksi silang dengan
vaksinasi BCG dan infeksi Mycobakterium atipik. Ada 2 macam pemeriksaan IGRA di pasar
dunia yaitu Quantiferon TB gold dan T-spot-TB. Quantiferon TB-Gold mengukur jumlah
IFN-γ dengan ELISA yang dinyatakan dalam pg/ml atau IU-ml. T-spot-TB menghitung
jumlah IFN-γ secreting T-cell berupa titik-titik (spot foaming cells). Pemeriksaan IGRA
belum dapat dibuktikan pada anak-anak.
Radiologis7,8
Gambaran foto polos pada TB tidak khas, kelainan-kelainan radiologis pada TB dapat
dijumpai pada penyakit lain. Sebaliknya, foto toraks yang normal (tidak terdeteksi secara
radiologis) tidak dapat menyingkirkan diagnosis TB jika klinis dan pemeriksaan penunjang
lainnya mendukung. Dengan demikian, pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan
untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran pada TB milier. Secara umum, gambaran
radiologis yang sugestif TB adalah sebagai berikut :

 Perbesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan atau tanpa infiltrat


 Konsolidasi segmental / lobar
 Milier
 Kalsifikasi dengan infiltrat
 Atelektasis

22
 Kavitas
 Efusi pleura
 Tuberkuloma

Foto toraks tidak cukup hanya dibuat secara antero-posterior (AP), tetapi harus disertai
dengan foto lateral, mengingat bahwa pembesaran KGB di daerah hilus biasanya lebih jelas
pada foto lateral. Sebagai pegangan umum, jika dijumpai ketidaksesuian (diskongruensi)
antara gambaran radiologis yang berat dan gambaran klinis ringan, maka harus dicurigai TB.
Pada keadaan foto toraks tidak jelas, bila perlu dilakukan pemeriksaan pencitraan lain seperti
CT scan toraks.
Serologis8
Pada awalnya pemeriksaan serologis diharapkan dapat membedakan antara infeksi TB
dan sakit TB. Berbagai penelitian dan pengembangan pemeriksaan imunologik antigen-
antibodi spesifik untuk M. tuberculosis ELISA dengan menggunakan PPD, A60, 38kDa,
lapoarabinomanan (LAM) dengan bahan pemeriksaan dari darah, sputum, cairan bronkus
(bronkus dan bronchoalveolar lavage, BAL), cairan pleura, dan CSS terus dilakukan. Bahan
pemeriksaan serologis yang ada : PAP TB, Mycodot,immunochromatographic test (ICT), dan
lain-lain, hingga saat ini belum ada satu pun pemeriksaan tersebut yang dapat memenuhi
harapan itu. Semua pemeriksaan tersebut umumnya masih dalam taraf penelitian untuk
pemakaian klinis praktis. Pemeriksaan serologi tidak lebih unggul dibandingkan dengan uji
tuberculin sehingga tidak dianjurkan untuk dilakukan.
Mikrobiologis7,8
Diagnosis kerja TB biasanya dibuat berdasarkan gambaran klinis, uji tuberkulin, dan
gambaran radiologis paru. Diagnosis pasti ditegakkan bila ditemukan kuman TB pada
pemeriksaan mikrobiologis. Pemeriksaan mikrobiologis yang dilakukan terdiri dari dua
macam, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung untuk menemukan BTA dan
pemeriksaan biakan kuman M. tuberculosis.
Pemeriksaan diatas sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan spesimen
berupa sputum. Sebagai gantinya dilakukan pemeriksaan bilas lambung (gastric lavage) 3
hari berturut-turut, minimal 2 hari. Hasil pemeriksaan mikroskopik langsung pada anak
sebagian besar negatif, sedangkan hasil biakan M. Tb memerlukan waktu yang lama yaitu
sekitar 6-8 minggu. Saat ini ada pemeriksaan biakan yang hasilnya diperoleh lebih cepat (1-3
minggu), yaitu pemeriksaan Bactec, tetapi biayanya mahal dan secara teknologi lebih rumit.

23
Perkembangan lain di bidang mikrobiologi adalah pemeriksaan PCR. Pemeriksaan
PCR merupakan teknik amplifikasi urutan deoxyribonucleotic acid (DNA) yang spesifik.
Secara teori, dengan metode ini kuman yang berasal dari spesimen bilas lambung akan dapat
dideteksi meskipun hanya satu kuman M.Tb pada bahan pemeriksaan, sehingga diharapkan
sensitivitasnya cukup tinggi. Akan tetapi, terdapat beberapa kelemahan untuk menerapkan
pemeriksaan PCR sebagai pemeriksaan klinis rutin, yaitu tingginya variasi tingkat
sensitivitasnya pada pemeriksaan PCR di berbagai laboratorium, dan mudahnya terjadi
kontaminasi kuman/bagian dari kuman yang berasal dari pemeriksaan sebelumnya, sehingga
dapat menyebabkan positif palsu. Hasil positif pun tidak selalu menunjukkan kuman yang
aktif, karena kuman dorman atau persisten dapat terdeteksi dengan pemeriksaan ini. Selain
itu, teknologi yang digunakan masih tergolong rumit, sehingga menyebabkan tingginya biaya
PCR. Oleh karena itu, hingga saat ini pemeriksaan PCR masih digunakan untuk keperluan
penelitian dan belum digunakan untuk pemeriksaan klinis rutin. Penelitian lebih lanjut untuk
melihat sensitivitas dan spesifisitasnya pada anak masih diperlukan.
Akan tetapi, adanya positif palsu ini menyebabkan mash diperlukannya suatu sistem
kontrol standar mutu yang lebih baik, sehingga belum digunakan sebagai pemeriksaan klinis
rutin. Pada pasien TB dewasa, metode ini telah terbukti sensitivitas dan spesifisitas yang
cukup tinggi, akan tetapi peranannya dalam diagnosis TB anak masih kontroversial dan
memerlukan penelitian lebih lanjut. Dalam pemeriksaan PCR ini, perlu diperhatikan aspek
pemilihan spesimen. Seperti kita ketahui, kuman TB ada didalam darah hanya dalam waktu
singkat selama masa inkubasi, sehingga pemeriksaan PCR dengan spesimen darah tidak
bermanfaat. Spesimen yang dapat digunakan adalah sputum, bilas lambung, cairan pleura,
atau CSS.
Patologi anatomi8
Pemeriksaan penunjang yang mempunyai nilai tinggi meskipun tidak setinggi
mikrobiologi adalah pemeriksaan histopatologik, yang dapat memberikan gambaran yang
khas. Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya kecil,
terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tersebut
mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekosis kaseosa ditengah granuloma. Gambaran
khas lainnya adalah ditemukannya multinucleated giant cell (sel Datia Langhans). Diagnosis
histopatologik dapat ditegakkan dengan menemukan perkijuan (kaseosa), sel epiteolid,
limfosit, dan sel datia Langhans. Kadang-kadang dapat ditemukan juga BTA.
Seperti halnya pemeriksaan mikrobiologi, kendalanya adalah kesulitan mendapatkan
spesimen yang representatif. Spesimen yang paling mudah dan paling sering diperiksa adalah

24
limfadenopati kolli. Idealnya kelenjar diambil secara utuh agar gambaran histopatologi yang
khas dapat terlihat. Pemeriksaan PA kelenjar limfe ini mempunyai perancu, yaitu infeksi
M.atipik dan limfadenitis BCG yang secara histopatologi sulit dibedakan dengan TB. Pada
kenyataannya, seringkali KGB kolli ini sering diambil dengan cara biopsi jarum halus.
Sebenarnya, spesimen yang diambil dengan menggunakan jarum halus kurang representatif
karena jaringan yang terambil hanya berupa sel, sehingga lebih mendekati pemeriksaan
sitology yang sulit untuk dibuat kesimpulan pasti.

Klasifikasi7
Penentuan klasifikasi dan tipe kasus TB pada anak tergantung dari hal berikut:
 Lokasi atau organ tubuh yang terkena:
a. Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada
hilus.
b. Tuberkulosis Ekstra Paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
Anak dengan gejala hanya pembesaran kelenjar tidak selalu menderita TB Ekstra
Paru.
Pasien TB paru dengan atau tanpa TB ekstra paru diklasifikasikan sebagai TB paru
 Riwayat pengobatan sebelumnya:
a. Baru
Kasus TB anak yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan ( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan
bakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru atau ekstra paru.
b. Pengobatan ulang
Kasus TB Anak yang pernah mendapat pengobatan dengan OAT lebih dari 1
bulan ( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai definisi di atas,
lokasi penyakit bisa paru atau ekstra paru. Berdasarkan hasil pengobatan
sebelumnya, anak dapat diklasifikasikan sebagai kambuh, gagal atau pasien yang
diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).

25
 Berat dan ringannya penyakit
a. TB ringan: tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian, misalnya
TB primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB kelenjar dll
b. TB berat: TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian,
misalnya TB meningitis, TB milier, TB tulang dan sendi, TB abdomen, termasuk
TB hepar, TB usus, TB paru BTA positif, TB resisten obat, TB HIV.
 Status HIV
Pemeriksaan HIV direkomendasikan pada semua anak suspek TB pada daerah
endemis HIV atau risiko tinggi terinfeksi HIV. Berdasarkan pemeriksaan HIV, TB
pada anak diklasifikasikan sebagai:
a. HIV positif
b. HIV negatif
c. HIV tidak diketahui
d. HIV expose/ curiga HIV. Anak dengan orang tua penderita HIV diklasifikasikan
sebagai HIV expose, sampai terbukti HIV negatif. Apabila hasil pemeriksaan HIV
menunjukkan hasil negatif pada anak usia < 18 bulan, maka status HIV perlu
diperiksa ulang setelah usia > 18 bulan.
 Resistensi Obat
Pengelompokan pasien TB berdasarkan hasil uji kepekaan M. tuberculosis terhadap
OAT terdiri dari:
a. Monoresistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap salah satu jenis OAT
lini pertama.
b. Polydrug Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap lebih dari satu
jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multi Drug Resistance (MDR) adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap
Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) dengan atau tanpa OAT lini pertama lainnya.
d. Extensive Drug Resistance (XDR) adalah MDR disertai dengan resistan terhadap
salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini
kedua jenis suntikan yaitu Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin.
e. Rifampicin Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap Rifampisin
dengan atau tanpa resistansi terhadap OAT lain yang dideteksi menggunakan
metode pemeriksaan yang sesuai, pemeriksaan konvensional atau pemeriksaan

26
cepat. Termasuk dalam kelompok ini adalah setiap resistansi terhadap rifampisin
dalam bentuk Monoresistance, Polydrug Resistance, MDR, dan XDR.

Penatalaksanaan
Tatalaksana TB pada anak merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan antara
pemberian medikamentosa, penanganan gizi, dan pengobatan penyakit penyerta. Selain itu,
penting dilakukan pelacakan sumber infeksi, dan bila ditemukan sumber infeksi juga harus
mendapatkan pengobatan. Upaya perbaikan kesehatan lingkungan juga diperlukan untuk
menunjang keberhasilan pengobatan. Pemberian medikamentosa tidak terlepas dari
penyuluhan kesehatan kepada masyarakat atau kepada orang tua pasien mengenai pentingnya
menelan obat secra teratur dalam jangka waktu yang cukup lama, pengawasan terhadap
jadwal pemberian obat, keyakinan bahwa obat diminum, dan sebagainya.9
Obat utama TB (first line) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid
(Z), etambutol (E), dan streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan
utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat TB lain (second
line) adalah para-aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide,
prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, moxifloxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin,
amikacin, dan capreomycin yang digunakan jika terjadi MDR.1,7,9
Isoniazid
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15
mg/kgBB/hari, maksimal 300 mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid
yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100
mg/5 ml. Sediaan dalam bentuk sirup biasanya tidak stabil, sehingga tidak dianjurkan
penggunaannya. Konsentrasi puncak dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1-2
jam, dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid di metabolisme melalui asetilasi di
hati. Terdapat dua kelompok pasien berdasarkan kemampuan asetilasi di hati, yaitu asetilator
cepat dan asetilator lambat. Asetilasi cepat lebih sering terjadi pada orang Afrika-Amerika
dan Asia dari pada orang kulit putih. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat dari
pada orang dewasa, sehingga memerlukan dosis mg/kgBB yang lebih tinggi dari orang
dewasa. Isoniazid terdapat pada air susu ibu (ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat
menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat yang mencapai janin/bayi tidak
membahayakan.9
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer.
Keduanya jarang terjadi pada anak-anak, biasanya terjadi pada pasien dewasa dengan

27
frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian besar pasien anak yang
menggunakan isoniazid mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang tidak terlalu
tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa penghentian obat. Tiga
hingga sepuluh persen pasien akan mengalami peningkatan kadar transaminase darah cukup
tinggi, tetapi hepatotoksisitas yang bermakna secara klinis sangat jarang terjadi. Hal tersebut
lebih mungkin terjadi pada remaja atau anak dengan TB yang berat. Idealnya, perlu
pemantauan kadar transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang menimbulkan
hepatotoksisitas, maka pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan, kecuali bila ada gejala
dan tanda klinis. Hepatotoksisitas akan meningkat apabila isoniazid diberikan bersama
dengan rifampisin dan pirazinamid. Penggunaan isoniazid bersama dengan fenobarbital atau
fenitoin juga dapat meningkatkan risiko terjadinya hepatotoksik. Pemberian isoniazid tidak
dilanjutkan bila kadar transaminase serum darah naik lebih dari 5 kali harga normal atau 3
kali disertai ikterik dan/atau manifestasi klinis hepatitis berupa mual, muntah, dan nyeri
perut.9
Neuritis perifer timbul akibat inhibisi kompetitif karena metabolisme piridoksin.
Manifestasi klinis neuritis perifer yang paling sering adalah mati rasa atau kesemutan pada
tangan dan kaki. Kadar piridoksin berkurang pada anak yang menggunakan isoniazid, tetapi
manifestasi klinisnya jarang terjadi sehingga tidak diperlukan pemberian piridoksin
tambahan. Akan tetapi, remaja dengan diet yang tidak adekuat, anak-anak dengan asupan
susu dan daging yang kurang, malnutrisi, serta bayi yang hanya minum ASI, memerlukan
piridoksin tambahan. Piridoksin diberikan 25-50 mg satu kali sehari atau 10 mg piridoksin
setiap 100 mg isoniazid. Manifestasi alergik atau reaksi hipersensitivitas yang disebabkan
oleh isoniazid sangat jarang terjadi. Kadang-kadang isoniazid berinteraksi dengan teofilin,
sehingga diperlukan penyesuaian dosis. Efek samping yang jarang terjadi antara lain adalah
pellagra, anemia hemolitik pada pasien dengan defisiensi enzim glucose-6-phosphate
dehydrogenase (G6PD), dan reaksi mirip lupus yang disertai dengan ruam dan artritis.9
Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel, dapat memasuki semua jaringan, dan
dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin
diabsorpsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum
makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam
bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan dosis
satu kali pemberian perhari. Jika diberikan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak melebihi
15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari. Seperti halnya isoniazid, rifampisin

28
didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk CSS. Distribusi rifampisin
ke dalam CSS lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang mengalami peradangan dari
pada keadaan normal. Ekskresi rifampisisn terutama terjadi melalui traktus bilier. Kadar yang
efektif juga dapat ditemukan di ginjal dan urin.9
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari pada isoniazid. Efek yang kurang
menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan
airmata menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek samping rifampisin adalah
gangguan gastrointestinal (muntah dan mual), dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang
biasanya ditandai dengan peningkatan kadar transaminase serum yang asimptomatik. Jika
rifampisin diberikan bersama dengan isoniazid terjadi peningkatan risiko hepatotoksisitas,
yang dapat diperkecil dengan menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal 10
mg/kgBB/hari. Rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan dapat
menyebabkan kontrasepsis oral menjadi tidak efektif, dan dapat berinteraksi dengan beberapa
obat, termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin, teofilin, kloramfenikol, kortikosteroid, dan
sodium warfarin. Rifampsisin umumnya tersedia dalam sediaan kapsul 150 mg, 300 mg, dan
450 mg, sehingga kurang sesuai untuk digunakan pada anak-anak dengan berbagai kisaran
BB. Suspensi dapat dibuat dengan menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi
sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan pemberian makanan karena dapat timbul
malabsorpsi.9
Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan
cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam, dan diresolusi
baik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari
dengan dosis maksimal 2 gram/hari, kadar serum puncak 45 μg/ml dalam waktu 2 jam.
Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan saat pada
suasana asam, yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Penggunaan
pirazinamid aman pada anak. Kira-kira 10% orang dewasa yang diberikan pirazinamid
mengalami efek samping berupa artralgia, artirtis, yaitu gout akibat hiperurisemia, tetapi pada
anak manifestasi klinis hiperusemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainya adalah
hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang timbul
pada anak. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat
digerus dan diberikan bersama dengan makanan.9

29
Etambutol
Dahulu etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata.
Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid, jika diberikan
dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini
dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20
mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gram/hari, dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5μg
dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol
ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu
atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada pada
keadaan meningitis.9
Eksresi terutama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan etambutol
tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utama adalah neuritis optik dan buta warna merah-
hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa
tajam penglihatannya. Penelitian di FKUI menunjukkan bahwa pemberian etambutol dengan
dosis 15-25 mg/kgBB/hari tidak ditemukan kejadian neuritis optik pada pasien yang dipantau
hingga 10 tahun pasca pengobatan. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai pelaksanaan
TB anak, etambutol dianjurkan penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari.
Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika
obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.9
Stepromisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraseluler pada
keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraseluler. Saat
ini, streptomisin jarang digunakan pada pengobatan TB, tetapi penggunaannya penting pada
pengobatan fase intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan secara
inramuskular dengan dosis 15-40 μg/ml dalam waktu 1-2 jam.9
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat
melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisisn berdifusi dengan baik pada
jaringan dan cairan pleura, dan diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini
adalah jika kerucigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB berat.
Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang menganggu
keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung (tinitus) dan
pusing. Toksisitas ginjal sangat jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta,
sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merusak
saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.9

30
Prinsip dasar OAT adalah harus dapat menembus berbagai jaringan termasuk selaput
otak. Farmakokinetik OAT pada anak berbeda dengan orang dewasa. Toleransi anak terhadap
dosis obat per kgBB lebih tinggi.9
Nama obat Dosis harian Dosis Efek samping
(mg/kgBB/hari) maksimal
(mg/hari)
Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitas
Rifampisin** 10-20 600 Gastrointestinal, reaski kult,
hepatitis, trombositopenia,
peningkatan enzim hati, cairan
tubuh berwarna oranye
kemerahan
Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati, arthralgia,
gastrointestinal
Etambutol 15-20 1250 Neuritis optic, ketajaman mata
berkurang, buta warna merah-
hijau, penyempitan lapang
pandang, hipersensitivitas,
gastrointestinal
Streptomisin 15-40 1000 Ototoksik, nefrotoksik
Tabel 6. Obat Antituberkulosis yang Biasa Dipakai dan Dosisnya1,7,9

*Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10


mg/kgBB/hari.
**Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer denga OAT lain karena dapat menganggu
bioavailibilitas rifampisin. Rifampisin di absorpsi baik dengan baik melalui sistem
gastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan).

Paduan Obat TB
Prinsip dasar terapi TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu
relative lama (6-12 bulan). Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase yaitu fase intensif (2 bulan
pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Pemberian paduan obat ini ditujukan untuk
mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan
ekstraseluler. Sedangkan pemberian obat jangka panjang selain untuk membunuh kuman juga
untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan.9
Berbeda dengan orang dewasa, OAT pada anak diberikan setiap hari bukan 2 atau 3
kali dalam seminggu.Hal ini bertujuan mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih
sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari. Saat ini paduan obat yang baku untuk
sebagian besar kasus TB anak adalah paduan rifampisin, INH, dan pirazinamid. Pada fase

31
intensif diberikan rifampisin, INH, dan pirazinamid, sedangkan fase lanjutan hanya diberikan
rifampisin dan INH.9
Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB milier,
meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain, pada fase intensif diberikan minimal 4 macam obat
(rifampisin, INH, pirazinamid, etambutol, atau streptomisin). Sedangkan fase lanjutan
diberikan rifampisin dan INH selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu yaitu TB milier,
efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endoendobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB,
diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis.
Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tapering
off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini untuk mengurangi proses
inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.9

Gambar 3. Paduan OAT1,7,9

Untuk beberapa kasus TB anak, selain OAT perlu diberikan juga steroid berupa
prednisone dengan dosis 1 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi 3. Untuk efusi pleura TB dan
peritonitis TB asites, prednison diberikan selama 2 minggu dosis penuh, dilanjutkan dengan 2
minggu penurunan dosis bertahap (tapering off). Untuk meningitis TB, prednison diberikan
selama 4 minggu dosis penuh dan 4 minggu tappering off.9

Fixed Dose Combination (FDC)


Salah satu masalah dalam terapi TB adalah keteraturan (adherence) pasien dalam
menjalani pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak. Untuk mengatasi
hal tersebut, dibuat suatu sediaan obat kombinasi dengan dosis yang telah ditentukan, yaitu
FDC atau Kombinasi Dosis Tetap (KDT). Keuntungan penggunaan FDC dalam pengobatan
TB adalah sebagai berikut:1,7,9

32
 Menyederhanakan pengobatan dan mengurangi kesalahan penulisan resep
 Meningkatkan penerimaan dan keteraturan pasien
 Memungkinkan petugas kesehatan untuk memberikan pengobatan standar dengan
tepat
 Mempermudah pengelolaan obat (mempermudah proses pengadaan,
penyimpanan, dan distribusi obat pada setiap tingkat pengelola program
pemberantasan TB)
 Mengurangi kesalahan penggunaan obat TB (monoterapi) sehingga mengurangi
resistensi terhadap obat TB
 Mengurangi kemungkinan kegagalan pengobatan dan terjadinya kekambuhan
 Mempercepat dan mempermudah pengawasan menelan obat sehingga dapat
mengurangi beban kerja
 Mempermudah penentuan dosis berdasarkan BB

Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat rumusan mengenai FDC
pada anak seperti tabel dibawah ini:
Berat badan (kg) 2 bulan RHZ (75/50/150 mg) 4 bulan RH (75/50 mg)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Tabel 7. Dosis Kombinasi pada TB Anak9

Catatan :

 Bila BB > 33 kg, dosis disesuaikan dengan tabel sebelumnya. (perhatikan dosis
maksimal)
 Bila BB < 5 kg, sebaiknya dirujuk ke RS
 Obat tidak boleh diberikan setengah dosis tablet
 Perhitungan pemberian tablet di atas sudah memperhatikan kesesuaian dosis per
kgBB

Berat badan (kg) Fase inisial (2 bulan) Fase lanjutan (4 bulan) Kisaran dosis
R :9-20 mg
<7 1 1 H :8-9 mg
Z :21-50 mg
R :8-9 mg
8-9 1,5 1,5 H :5-5,6 mg
Z :19-22 mg
R :11-12 mg
10-14 2 2 H :4,3-6 mg
Z :16-30 mg
15-19 3 3 R :9,4-12 mg

33
H :4,3-6 mg
Z :16-30 mg
R :10-12 mg
20-24 4 4 H :5-6 mg
Z :25-30 mg
R :10,3-12 mg
25-29 5 5 H :5-6 mg
Z :15-30 mg
Tabel 7. Dosis Kombinasi Tetap Berdasarkan WHO9

Gambar 4. Algoritma Tatalaksana TB7

34
Evaluasi Hasil Pengobatan1,7,9
Sebaiknya pasien kontrol setiap bulan untuk menilai perkembangan hasil terapi,
memantau timbulnya efek samping obat. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2 bulan
terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada anak sulit dan tidak jarang
terjadi salah diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu evaluasi
klinis, yaitu menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal
pengobatan, misalnya penambahan BB yang bermakna, hilangnya demam, hilangnya batuk,
perbaikan nafsu makan, dll. Apabila respons pengobatan baik, maka pengobatan dilanjutkan.
Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan tidak perlu dilakukan secara rutin, kecuali pada TB
dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti TB milier, efusi pleura, atau
bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto toraks perlu diulang setelah satu bulan
untuk mengevaluasi hasil pengobatan, sedangkan pada efusi pleura TB pengulangan foto
toraks dilakukan setelah 2 minggu. Laju endap darah dapat digunakan sebagai sarana evaluasi
bila pada pengobatan nilanya tinggi.
Apabila respons setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan tidak terjadi
penambahan berat BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan evaluasi klinis lebih
lanjut mengapa tidak ada perbaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis,
mistreatment, atau resistensi terhadap OAT. Bila awalnya pasien ditangani di sarana
kesehatan terbatas, maka pasien dirujuk ke sarana yang lebih tinggi atau ke konsultan
respirologi anak. Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi kembali diagnosis, ketepatan
dosis OAT, keteraturan menelan obat, kemungkinan adanya penyakit penyulit/penyerta, serta
evaluasi asupan gizi .Setelah pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis,
pengobatan dapat dihentikan. Foto toraks ulang pada akhir pengobatan tidak perlu dilakukan
secara rutin. Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu sub-populasi
persisten M. Tb (tidak mati dengan obat-obatan) bertahan dalam tubuh dan mengurangi
secara bermakna kemungkinan terjadinya relaps. Pengobatan lebih dari 6 bulan pada TB paru
tanpa komplikasi menunjukkan angka relaps yang tidak berbeda bermakna dengan
pengobatan 6 bulan.
Evaluasi Efek Samping Pengobatan1,7,9
OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang paling sering
terjadi pada pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan gastrointestinal,
hepatotoksisitas, ruam dan gatal, serta demam. Salah satu efek samping yang perlu
diperhatikan adalah hepatotoksisitas. Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis
isoniazid yang tidak melebihi 10 mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15

35
mg/kgBB/hari dalam kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai dengan peningkatan serum SGOT
dan SGPT ≥ 5 kali tanpa gejala, atau ≥ 3 kali batas normal (40 U/i) disertai dengan gejala,
peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dl, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan nilai
berapa pun yang disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea, dan muntah.
Beberapa pendapat menyebutkan bahwa pemantauan melalui pemeriksaan
laboratorium diperlukan pada anak dengan penyakit yang berat, seperti TB milier, meningitis
TB, keadaan gizi buruk, serta pasien yang memerlukan dosis isoniazid dan rifampisin lebih
besar daripada dosis yang dianjurkan. Pada keadaan ini hepatotoksisitas biasanya terjadi pada
2 bulan pertama pengobatan. Oleh karna itu, diperlukan pemantauan yang cukup sering
(misalnya setiap 2 minggu) selama 2 bulan pertama, dan selanjutnya dapat lebih jarang. Pada
anak dengan penyakit yang tidak berat, dan dosis obat yang diberikan tidak melebihi anjuran,
pemeriksaan laboratorium tidak perlu dilakukan secara rutin. Pada keadaan ini, hanya
diperlukan penapisan (screening) fungsi hati sebelum pemberian terapi serta pemantauan
terhadap gejala klinis hepatotoksisitas.
Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang terjadi.
Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak membutuhkan perubahan terapi.
Beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan enzim transaminase yang tidak terlalu tinggi
(moderate) dapat mengalami resolusi spontan tanpa penyesuaian terapi, sedangkan
peningkatan lebih dari ≥ 5 kali tanpa gejala, atau ≥ 3 kali batas atau normal disertai dengan
gejala memerlukan penghentian rifampisin sementara atau penurunan dosis rifampisin. Akan
tetapi mengingat pentingnya rifampisin dalam panduan pengobatan yang efektif, perlunya
penghentian obat ini cukup menimbulkan keraguan. Akhirnya disimpulkan bahwa paduan
pengobatan dengan isoniazid dan rifampisin cukup aman digunakan jika diberikan dengan
dosis yang dianjurkan dan dilakukan pemantauan hepatotoksisitas dengan tepat.
Apabila peningkatan enzim transaminase ≥ 5 kali tanpa gejala, atau ≥ 3 kali batas atas
normal disertai dengan gejala, maka semua OAT dihentikan kemudian kadar enzim
transaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. Obat tuberkulosis diberikan
kembali apabila nilai laboratorium telah normal. Terapi berikutnya diberikan dengan cara
memberikan isoniazid dan rifampisin dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap dan harus
dilakukan pemantauan klinis dan laboratorium dengan cermat. Hepatotoksisitas dapat timbul
kembali pada pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung secara penuh (full-
dose) dan pirazinamid digunakan dalam paduan pengobatan.

36
Putus Obat1,7,9
Pasien dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama ≥ 2 minggu.
Sikap selanjutnya untuk penanganan bergantung pada hasil evaluasi klinis saat pasien datang
kembali, sudah berapa lama menjalani pengobatan, dan berapa lama obat telah terputus.
Pasien tersebut perlu dirujuk untuk penanganan selanjutnya.
Multidrug Resistance (MDR)1,7,9
Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena kultur sputum dan uji kepekaan obat tidak
rutin dilaksanakan ditempat-tempat dengan prevalensi TB tinggi. Akan tetapi, diakui bahwa
MDR-TB merupakan masalah besar yang terus meningkat. Diperkirakan MDR-TB akan tetap
menjadi masalah di banyak wilayah di dunia. Data mengenai MDR-TB yang resmi di
Indonesia belum ada. Menurut WHO bila pengendalian TB tidak benar, prevalensi MDR-TB
mencapai 5,5%, sedangkan dengan pengendalian yang besar, yaitu dengan menerapkan
strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS), maka prevalensi MDR-TB hanya
1,6% saja. Daftar OAT lini kedua untuk MDR-TB dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 8. Daftar OAT Lini Kedua untuk MDR-TB9


Nama obat Dosis harian Dosis maksimal Efek samping
(mg/kgBB/hari) (mg per hari)
Ethionamide atau 15-20 1000 Muntah, gangguan
Prothionamide gastrointestinal*, sakit sendi
Fluoroquinolones:**
Ofloxacin 15-20 800
Levofloxacin 7,5-10 -
Moxifloxacin 7,5-10 -
Gatifloxacin 7,5-10 -
Ciprofloxacin 20-30 1500
Aminoglikosida:
Kanamisin 15-30 1000 Ototoksisitas, toksisitas hati
Amikasin 15-22,5 1000
Capreomycin 15-30 1000
Cycloserin 10-20 1000 Gangguan psikis, gangguan
terizidone neurologis
Para-aminosalicylic- 150 12.000 Muntah, gangguan
acid gastrointestinal
* Dapat ditanggulangi dengan dosis terbagi
** meskipun belum disetujui untuk anak tetapi kalau sangat diperlukan dapat diberikan
dengan mengabaikan efek samping.

Pendekatan DOTS7,9
Hal yang paling penting pada tatalaksana TB adalah keteraturan (adherens) menelan
obat. Pasien TB biasanya telah menunjukkan perbaikan beberapa minggu setelah pengobatan,

37
sehingga mereka merasa telah sembuh dan tidak melanjutkkan pengobatan. Nilai sosial dan
budaya serta pengertian yang kurang mengenai TB dari pasien serta keluarganya, tidak
menunjang keteraturan pasien untuk menelan obat. Keteraturan pasien dikatakan baik apabila
pasien menelan obat sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan.
Keteraturan menelan obat ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan
terjadinya resistensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan
melakukan pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed treatment).
Directly observed treatment shortcourse adalah strategi yang direkomendasikan oleh WHO
dalam pelaksanaan program penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan di Indonesia sejak
tahun 1995. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka
kesembuhan yang tinggi. Sesuai dengan rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima
komponen yaitu sebagai berikut :
1. Komitmen politis dari pengambil keputusan, termasuk dukungan dana
2. Diagnosa TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis
3. Pengobatan dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh
pengawas menelan obat (PMO)
4. Keseimbangan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin
5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan obat dan
evaluasi program penanggulangan TB

Kelima komponen DOTS di atas terutama untuk pasien TB dewasa, khusus nya pada
butir kedua dan kelima. Butir kedua menyatakan diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum
secara mikroskopis yang pada anak sulit dilaksanakan. Sebagai gantinya untuk diagnosis TB
anak digunakan uji tuberkulin. Butir kelima pun sesuai dengan butir kedua, sehingga format
pencatatan dan pelaporan dibuat untuk kelompok usia 15 tahun ke atas, sedangkan format
untuk kelompok usia 15 tahun ke bawah belum ada. Oleh sebab itu, diperlukan format khusus
untuk kelompok usia 15 tahun ke bawah yang saat ini sedang dalam proses penyusunan.
Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung, yaitu mengharuskan adanya seseorang yang bertanggung jawab
mengawasi pasien menelan obat, disebut sebagai PMO. Setiap pasien baru yang ditemukan
harus selalu didampingi seorang PMO. Syarat untuk menjadi PMO adalah sebagai berikut:
dikenal, dipercaya, dan disetujui baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, serta harus
disegani dan dihormati pasien, tempat tinggalnya dekat dengan pasien dan bersedia
membantu pasien dengan sukarela, bersedia dilatih untuk mendapatkan penyuluhan.

38
Orang yang dapat menjadi PMO adalah petugas kesehatan, keluarga pasien, kader,
pasien yang sudah sembuh, tokoh masyarakat, serta guru sekolah atau petugas unit kesehatan
sekolah yang sudah dilatih strategi DOTS. Tugas PMO adalah mengawasi pasien agar
menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, mengingatkan pasien untuk periksa
sputum ulang (pasien dewasa), serta memberikan penyuluhan kepada anggota keluarga
pasien TB yang mempunyai gejala-gejala tersangka TB untuk segera memeriksakan diri ke
pelayanan kesehatan. Sayangnya ternyata hasil dari strategi DOTS masih kurang dari yang
diharapkan. Tahun 1995-1998 cakupan pasien TB dengan strategi DOTS baru mencapai
sekitar 10%. Oleh karna itu, untuk lebih meningkatkan keteraturan menelan obat, OAT dibuat
dalam bentuk kombipak (kombinasi OAT dalam satu paket) dan FDC (kombinasi OAT
dalam satu tablet). Pada anak, kuman M. Tb sulit ditemukan baik pada biakan apalagi pada
pemeriksaan mikroskopis langsung. Oleh karena itu, diagnosis pada anak tidak dapat dibuat
berdasarkan pemeriksaan mikroskopis yang dianjurkan dalam strategi DOTS. Maka
diperlukan strategi diagnostik lain yaitu dengan menggunakan sistem skoring yang telah
dijelaskan diatas (DOTS-modifikasi) Saat ini pemerintah telah menyediakan paket OAT
(kombipak) untuk anak yang dapat diperoleh secara gratis. Obat antituberkulosis dalam
bentuk FDC untuk anak sedang dalam tahap pengadaaan.
Edukasi
Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosioekonomi. Karena pengobatan TB
memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka biaya
yang diperlukan cukup besar. Selain itu diperlukan juga penanganan gizi yang baik, meliputi
kecukupan asupan makanan, vitamin, dan mikronutrien. Tanpa penanganan gizi yang baik,
pengobatan dengan medikamentosa saja tidak akan mencapai hasil yang optimal. Edukasi
ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui mengenai TB. Pasien TB tidak
perlu diisolasi karena sebagian besar TB pada anak tidak menular kepada orang di sekitarnya.
Aktifitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi kecuali pada TB berat.9

Pencegahan
Imunisasi
Tujuan imunisasi adalah membentuk kekebalan demi mencegah penyakit pada diri
sendiri dan orang lain sehingga kejadian penyakit menular menurun dan bahkan dapat
menghilang dari muka bumi. Kekebalan dapat disalurkan oleh ibu ke bayi yang dikandung
tapi tidak berlangsung lama, maka kekebalan harus dibentuk melalui pemberian imunisasi
pada bayi. Berbagai penyakit infeksi berat yang dapat menyebabkan kematian dan kecacatan

39
dapat dicegah dengan pemberian imunisasi. Saat pemberian imunisasi adalah sebelum anak
terpapar penyakit berbahaya. Imunisasi wajib yang diberikan kepada bayi di antara lain BCG,
DPT, Polio, Hepatitis, dan Campak. Jika dibandingkan dengan imunisasi lainnya, cakupan
imunisasi BCG pada bayi umumnya lebih tinggi. Hal tersebut terjadi karena jadwal
pemberian imunisasi BCG yang relatif lebih awal dibandingkan dengan imunisasi yang lain,
bahkan beberapa negara memberikan imunisasi BCG sesaat setelah bayi dilahirkan.10,11
Vaksin BCG awalnya berasal dari Mycobacterium bovi shidup yang dilemahkan yang
diisolasi dari sapi yang terkena TB, oleh Calmette dan Guerin yang bekerja pada Institusi
Pasteur di Perancis.yang dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga didapatkan kuman yang
tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas. Vaksin BCG diberikan pada usia
sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara
intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis
lebih tebal, ulkus tidak mengganggu struktur otot dan sebagai tanda baku). Penyuntikan harus
dilakukan perlahan-lahan ke arah permukaan (sangat superfisial) sehingga terbentuk suatu
benjolan (wheal) berwarna lebih pucat daripada kulit sekitarnya dan tampak gambaran pori-
pori.10,11
Pada neonatus yang berusia <3 bulan, karena belum mengalami paparan lama
terhadap penyakit, pemberian BCG tidak perlu didahului oleh uji tapis (uji tuberkulin).
Sebaliknya pada usia >3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Hal ini
dimaksudkan untuk mengurangi komplikasi yang terjadi akibat pemberian BCG, akibat telah
adanya imunitas terhadap antigen Mycobacterium. Efek proteksi BCG timbul 8-12 minggu
setelah vaksinasi. Lamanya proteksi BCG juga belum dapat diketahui dengan pasti.10,11
Pemberian imunisasi BCG telah dilakukan sejak tahun 1921, tetapi perdebatan
mengenai efektivitas BCG dalam memproteksi bayi/anak terhadap TBC masih terus
berlangsung. Efek proteksi atau efektivitas BCG bervariasi dari 0-80% dari berbagai
publikasi dari berbagai negara. Efek proteksi atau efektivitas BCG adalah kemampuan BCG
untuk menurunkan angka kejadian TB yang baru dalam populasi, bukan pada seorang
individu. Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%.
Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB, dan spondilitis
TB pada anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap terjadinya TB milier,
meningitis TB, TB sistem skeletal, dan kavitas. Imunisasi BCG relatif aman, jarang timbul
efek samping yang serius. Efek samping yang sering ditemukan adalah ulserasi lokal dan
limfadenitis (adenitis supuratif) dengan insiden 0,1-1%. Kontraindikasi imunisasi BCG
adalah reaksi uji tuberkulin > 5 mm, menderita demam tinggi, menderita infeksi kulit yang

40
luas, pernah sakit TB, kehamilan dan dalam kondisi imunokompromais, misalnya defisiensi
imun, infeksi berat, gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga
bayi mencapai BB optimal.10,11
Hingga saat ini, pemberian imunisasi BCG masih menjadi bagian dari strategi WHO
dalam menanggulangi masalah TB, terutama di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia.
Kemoprofilaksis9
Terdapat dua macam kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan sekunder.
Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB pada anak,
sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah aktifnya infeksi sehingga anak tidak sakit.
Pada kemoprofilaksis primer diberikan INH dengan dosis 5-10 mg/kg/bb/hari, dosis tunggal,
pada anak yang kontak dengan TB menular, terutama dengan BTA sputum positif, tetapi
belum terinfeksi(uji tuberkulin negatif). Obat diberikan selama 6 bulan. Pada akhir bulan
ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negatif, profilaksis
dilanjutkan hingga 6 bulan. Jika terjadi konversi tuberkulin menjadi positif, evaluasi status
TB pasien. Pada akhir bulan keenam pemberian profilaksis , dilakukan lagi uji tuberkulin,
jika tetap negatif profilaksis dihentikan, jika terjadi konversi tuberkulin menjadi positif,
evaluasi status TB pasien. Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah
terinfeksi, tetapi belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, klinis, dan radiologis
normal. Anak yang mendapat kemoprofilaksis sekunder adalah usia balita, menderita morbili,
varisela dan pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik dan kortikosteroid),
usia remaja, dan infeksi TB paru (konversi uji tuberkulin dalam waktu kurang dari 12 bulan).
Lama pemberian adalah 6-12 bulan.

TB Perinatal7
Ada 2 istilah pada TB neonatal yang harus dibedakan yaitu :

• TB kongenital : terjadi ketika neonatus tertular M. tuberculosis saat dalam rahim


melalui penyebaran hematogen lewat vena umbilikal, atau saat persalinan melalui
aspirasi atau meminum cairan amnion, atau sekresi cervicovaginal yang
terkontaminasi M tuberculosis. Gejala TB kongenital biasanya muncul pada minggu
pertama kehidupan dan mortalitas TB kongenital tinggi.

41
• TB neonatal/TB perinatal : adalah ketika neonatus terinfeksi setelah lahir dengan
terpapar pada kasus TB BTA (+), yaitu biasanya ibu atau kontak dekat lain. Penularan
pascanatal terjadi secara droplet dengan patogenesis yang sama seperti TB pada anak.
Seringkali sulit membedakan antara TB kongenital dan TB neonatal/perinatal.

Neonatus yang terpapar TB dapat bergejala ataupun tidak. Gejala TB pada neonatus
mulai muncul minggu ke 2-3 setelah kelahiran. Gejala dan tanda tidak spesifik, diagnosis
sering terlambat oleh karena awalnya diduga sepsis. Gejala awal seperti letargi, sulit minum,
berat badan lahir rendah, dan kesulitan pertambahan berat badan. Tanda klinis lain meliputi
distres pernapasan, pneumonia yang sulit sembuh, hepatosplenomegali, limfadenopati,
distensi abdomen dengan asites, atau gambaran sepsis neonatal dengan TB diseminata.
Diagnosis TB harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding pada infeksi kronis neonatal
yang berespon buruk terhadap terapi antimikroba, infeksi kongenital, dan pneumoni atipikal.
Petunjuk yang paling utama dalam diagnosis TB pada neonatus yaitu riwayat ibu terinfeksi
TB atau HIV. Poin utama pada riwayat ibu meliputi pneumonia yang sulit membaik, kontak
dengan kasus indeks TB , dan riwayat pengobatan TB dalam 1 tahun terakhir. Pemeriksaan
penunjang yang diperlukan pada TB kongenital adalah pemeriksaan M. tuberculosis melalui
darah vena umbilikus dan plasenta. Pada plasenta sebaiknya diperiksa gambaran
histopatologis dengan kemungkinan adanya granuloma kaseosa dan BTA, bila perlu
dilakukan kuretase endometrium untuk mencari endometritis TB.

Setelah kelahiran, neonatus yang lahir dari ibu dengan suspek atau terbukti TB, harus
dipastikan apakah sakit TB atau tidak. Penting untuk menentukan tingkat infeksi ibu dan
susceptibility terhadap obat TB melalui pemeriksaan BTA dan biakan/ uji kepekaan. Tidak
perlu memisahkan neonatus dari ibu jika ibu tidak memiliki MDR TB dan pemberian ASI
dapat dilanjutkan. Imunisasi BCG sebaiknya tidak diberikan dahulu, sampai status TB
neonatus tersebut diketahui. Imunisasi BCG juga sebaiknya tidak diberikan pada neonatus
atau bayi yang sudah dikonfirmasi terinfeksi HIV.

Jika neonatus tersebut tidak memiliki gejala (asimtomatik), dan ibunya terbukti TB
yang sensitif dengan OAT, maka neonatus diberikan terapi pencegahan dengan isoniazid
(10mg/kg) selama 6 bulan. Neonatus harus dipantau secara rutin setiap bulan, dan dievaluasi
kemungkinan adanya gejala TB untuk memastikan TB aktif tidak berkembang. Pada akhir
bulan ke 6, bila bayi tetap asimptomatik, pengobatan dengan INH distop dan dilakukan uji
tuberkulin. Jika uji tuberkulin negatif dan tidak terinfeksi HIV, maka dapat diberikan BCG 2

42
minggu setelahnya, Akan tetapi jika uji tuberkulin positif, harus dievaluasi untuk
kemungkinan sakit TB.
Jika ibu terbukti tidak terinfeksi dan sakit TB, bayi harus diskrining TB. Jika tidak ada
bukti infeksi TB, maka bayi harus dipantau secara teratur untuk memastikan penyakit TB
aktif tidak berkembang. Jika diagnosis sakit TB sudah dikonfirmasi atau bayi menunjukkan
tanda klinis sugestif TB, pengobatan harus dimulai oleh dokter spesialis anak. Imunisasi BCG
diberikan 2 minggu setelah terapi jika bayi tidak terinfeksi HIV. Jika terinfeksi HIV, BCG
tidak diberikan. Neonatus yang lahir dari ibu yang MDR atau XDR-TB harus dirujuk ke ahli
untuk menangani masalah ini. Kontrol infeksi diperlukan untuk mengurangi kemungkinan
transmisi dari ibu ke anak yaitu dengan menggunakan masker.

Gambar 5. Alur pengelolaan neonatus dan bayi dari ibu dengan TB aktif7

Neonatus sakit TB harus dirawat di ruang perinatologi atau NICU di fasilitas rujukan.
Pengobatan TB kongenital dan TB neonatal sama, dan harus dilaksanakan oleh dokter yang
berpengalaman dalam manajemen TB anak. Harus dilakukan investigasi lengkap dari ibu dan
neonatus. Foto toraks dan pengambilan spesimen dari lokasi yang memungkinkan harus
diambil, untuk membuktikan diagnosis TB pada neonatus. Pemberian OAT harus dimulai

43
pada bayi yang kita curigai TB sambil menunggu konfirmasi bakteriologis karena TB
berkembang dengan cepat pada neonatus. Respon baik terhadap terapi dapat dilihat dari nafsu
makan yang meningkat, pertambahan berat badan, dan perbaikan radiologis. Menyusui bayi
tetap dilakukan oleh karena risiko penularan M tuberculosis melalui ASI dapat diabaikan.
Demikian juga tentang OAT yang dikonsumsi ibu, hanya dieksresikan dalam jumlah kecil,
dan tidak terbukti dapat menginduksi resistensi obat. Bayi tidak boleh dipisahkan dari ibu,
oleh karena menyusui dapat diandalkan menjadi salah satu faktor yang dapat meningkatkan
kelangsungan hidup neonatus dengan TB.

Manajemen TB HIV pada Anak7

Meningkatnya prevalens HIV membawa dampak peningkatan risiko paparan,


progresivitas penyakit TB, dan meningkatkan morbiditas dan mortalitas akibat TB, serta
masalah TB lainnya, misalnya TB diseminata (milier), TB ekstra paru, serta TB MDR.
Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering ditemukan pada anak
terinfeksi HIV dan menyebabkan peningkatan angka kesakitan dan kematian pada kelompok
tersebut. Meningkatnya jumlah kasus TB pada anak terinfeksi HIV disebabkan tingginya
transmisi Mycobacterium tuberculosis dan kerentanan anak (CD 4 kurang dari 15%, umur di
bawah 5 tahun). Meningkatnya kasus HIV pada orang dewasa telah berdampak terhadap
peningkatan jumlah anak yang terinfeksi HIV pada umur yang rentan sehingga anak tersebut
sangat mudah terkena TB terutama TB berat (milier dan meningitis) Infeksi HIV
menyebabkan imunokompromais pada anak sehingga diagnosis dan tatalaksana TB pada
anak menjadi lebih sulit karena faktor berikut :

1. Beberapa penyakit yang erat kaitannya dengan HIV, termasuk TB, banyak
mempunyai kemiripan gejala.
2. Interpretasi uji tuberkulin kurang dapat dipercaya. Anak dengan kondisi
imunokompromais mungkin menunjukkan hasil negatif meskipun sebenarnya telah
terinfeksi TB.
3. Anak yang kontak dengan orangtua pengidap HIV dengan BTA sputum positif
mempunyai kemungkinan terinfeksi TB maupun HIV. Jika hal ini terjadi, dapat tejadi
kesulitan dalam tatalaksana dan mempertahankan keteraturan pengobatan.
Tanpa konfirmasi bakteriologis, diagnosis TB anak terutama berdasarkan 4 hal, yaitu :
1) kontak dengan pasien TB dewasa terutama yang BTA positif; 2) uji tuberkulin positif (>5

44
mm pada anak terinfeksi HIV); 3) gambaran sugestif TB secara klinis (misalnya gibbus) dan
4 ) gambaran sugestif TB pada foto toraks 5) Respons terhadap OAT.
World Health Organization merekomendasikan dilakukan pemeriksaan HIV pada
suspek TB maupun sakit TB. Kecurigaan adanya HIV pada penderita, terutama:

a. Gejala-gejala yang menunjukkan HIV masih mungkin, yaitu infeksi berulang (≥3
episode infeksi bakteri yang sangat berat (seperti pneumonia, meningitis, sepsis dan
sellulitis) pada 12 bulan terakhir), bercak putih di mulut (thrush), parotitis kronik,
limfadenopati generalisata, hepatomegali tanpa penyebab yang jelas, demam yang
menetap dan/atau berulang, disfungsi neurologis, herpes zoster (shingles), dermatitis
HIV, penyakit paru supuratif yang kronik (chronic suppurative lung disease).
b. Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga lazim
ditemukan pada anak sakit yang bukan infeksi HIV, yaitu: otitis media kronik, diare
persisten, gizi kurang atau gizi buruk.
c. Gejala atau kondisi yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV, yaitu: PCP
(Pneumocystis carinii pneumonia), kandidiasis esofagus, LIP (lymphoid interstitial
pneumonitis) atau Sarkoma Kaposi.

Pengobatan TB HIV pada Anak

Tujuan pemberian OAT adalah mengobati pasien dengan efek samping minimal,
mencegah transmisi kuman, dan mencegah resistensi obat. Saat ini, paduan obat TB pada
anak yang terinfeksi HIV yang telah disepakati WHO (2011) adalah INH, Rifampisin, PZA
dan Etambutol selama fase intensif 2 bulan pertama dilanjutkan dengan minimal 4 bulan
pemberian INH dan Rifampisin selama fase lanjutan. Pada TB milier dan meningitis TB
diberikan INH, Rifampisin, PZA, Etambutol dan Streptomisin selama fase intensif
selanjutnya INH dan Rifampisin selama 10 bulan fase lanjutan. Tambahan terapi yang
direkomendasikan untuk pasien anak HIV dan TB termasuk cotrimoxazole preventive therapy
(CPT), antiretroviral therapy (ART), dan suplementasi piridoksin dengan dosis 10 mg/hari
serta pemberian nutrisi.
Pasien TB anak yang terinfeksi HIV mempunyai kecenderungan relaps yang lebih
besar dibanding anak yang tidak terinfeksi. Untuk mengatasi hal ini maka pengobatan TB
anak terinfeksi HIV diberikan lebih lama yaitu 9 bulan sedangkan pada TB milier, meningitis
TB dan TB tulang selama 12 bulan. Mortalitas TB pada anak terinfeksi HIV lebih besar
dibanding anak yang tidak terinfeksi karena tingginya ko-infeksi oleh patogen lain, absorpsi

45
dan penetrasi OAT terhadap organ yang terkena pada anak terinfeksi HIV jelek,
misdiagnosis, kepatuhan kurang, malnutrisi berat dan imunosupresi berat.

Tabel 9. Pengobatan TB HIV Anak7


Tatalaksana TB pada anak dengan HIV yang sedang atau akan mendapatkan
pengobatan antiretroviral harus dilakukan lebih hati-hati dan memperhatikan interaksi antara
obat. Interaksi antara obat TB dan antiretroviral dapat menyebabkan pengobatan HIV ataupun
TB menjadi tidak efektif, serta bertambahnya risiko toksisitas. Rifampisin misalnya, obat ini
berinteraksi dengan obat penghambat enzim reverse transkriptase nonnukleosida (non-
nucleoside reverse transcriptase inhibitor, NNRTI) dan pengambat enzim protease (protease
inhibitors: PI). Rifampisin menurunkan konsentrasi PI hingga 80% atau lebih, dan NNRTI
hingga 20—60%. Rekomendasi ART dapat diberikan bersamaan dengan rifampisin adalah
efavirenz (suatu NNRTI) ditambah 2 obat penghambat reverse transcriptase nukleosida
(nucleoside reverse transcriptase inhibitor, NRTI), atau ritonavir (dosis yang dinaikkan)
ditambah dua NRTI. Rekomendasi mengenai kombinasi ini sering mengalami revisi sehingga
harus disesuaikan dengan informasi terbaru menurut CDC. Reaksi simpang (adverse events)
yang ditimbulkan oleh OAT hampir serupa dengan yang ditimbulkan oleh obat antiretroviral,
sehingga dokter sulit membedakan ketika akan menghentikan obat yang menimbulkan reaksi.
Isoniazid dapat menyebabkan neuropati perifer, begitu juga dengan NRTI (didanosine,
zalcitabine, dan stavudine). Reaksi paradoks juga dapat terjadi jika pengobatan terhadap TB
dan HIV mulai diberikan pada waktu bersamaan.
Dosis OAT tidak memerlukan penyesuaian karena tidak dipengaruhi oleh ARV.
Pemberian ARV dapat dimulai bila anak telah mendapat OAT selama minimal 2-8 minggu.
Keadaan klinis dan imunologis anak dengan HIV harus diperhatikan untuk menentukan hal-
hal berikut:

• apakah pemberian OAT akan dimulai bersamaan dengan obat antiretroviral


 apakah pemberian antiretroviral harus menunggu 2 bulan setelah pemberian OAT
dimulai, atau

46
• apakah pengobatan TB harus diselesaikan dahulu sebelum pemberian antiretroviral
dimulai.

Pada anak yang akan diberikan pengobatan TB ketika sedang mendapatkan


pengobatan antiretroviral, harus dilakukan evaluasi kembali terhadap antiretroviral yang
digunakan serta lamanya pengobatan TB dengan paduan OAT tanpa rifampisin. Pemberian
steroid untuk TB berat pada anak dengan HIV disesuaikan dengan keadaan imunosupresi
penderita.

Pemberian ART

Bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV dan terbukti terinfeksi HIV langsung diberikan
ART tanpa mempertimbangkan kadar CD4. Pada anak yang terinfeksi HIV, pemberian ART
dimulai setelah pasien mendapat pengobatan TB selama 2-8 minggu (lebih disukai adalah 8
minggu) untuk mengurangi terjadinya IRIS (Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome)
dan efek samping obat yang saling tumpang tindih. Hal yang paling penting diperhatikan
pada anak HIV dengan TB adalah potensi interaksi obat terutama golongan NNRTI dengan
Rifampisin. Pemilihan ARV dan pemantauan pengobatannya mengacu pada buku Petunjuk
Teknis Tatalaksana Klinis Koinfeksi TB HIV

47
III. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa penegakan diagnosis TB anak sangat sulit
karena sulit menemukan kuman M.Tb dan gejala klinisnya yang tidak khas. Sebagai upaya
untuk mengatasi kesulitan tersebut, dibuatlah suatu sistem skoring untuk menghindari under
dan overdiagnosis. Sistem skoring tersebut dapat digunakan pada pelayanan kesehatan
dengan sarana terbatas dan merupakan uji tapis pada pelayanan kesehatan yang lebih
memadai. Salah satu kegagalan pengobatan TB adalah ketidakteraturan menelan obat karena
banyaknya jenis obat. Untuk mengurangi hal tersebut, dibuatlah kombinasi dosis tetap
(kombipak dan FDC).

48
DAFTAR PUSTAKA

1. Kelompok Kerja TB Anak. Diagnosis & tatalaksana tuberkulosis anak. Jakarta:


DEPKES – IDAI; 2008.
2. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.
Pedoman pelayanan medis. Jakarta: Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2009.h.323-8.
3. Basir D, Kartasasmita CB. Tuberkulosis epidemiologi. Dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.h.165-6.
4. Behrma RE, Kliegman RM, ed. Nelson esensi pediatri. Edisi ke-4. Jakarta: EGC;
2010.h.431.
5. Werdhani R A. Patofisiologi, diagnosis, dan klasifikasi tuberkulosis. Jakarta:
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI; 2010.
6. Rahajoe NN, Setyanto DB. Patogenesis dan perjalanan alamiah. Dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.h.169-74.
7. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Petunjuk
teknis manajemen TB anak. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia;
2013.
8. Rahajoe NN, Setyanto DB. Diagnosis tuberKulosis pada anak.Dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.h.195-211.
9. Rahajoe NN, Setiawati L. Tatalaksana TB. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.h.214-26.
10. Imunisasi. Diunduh dari :http://idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/beberapa-
hal-yang-perlu-diketahui-tentang-imunisasi.html, 31 Oktober 2015.
11. Boediman I, Said M. Imunisasi BCG pada anak. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.h.252-6.

49

Anda mungkin juga menyukai