Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

SECTIO CAESARIA (SC) DENGAN INDIKASI OLIGOHIDRAMNION


DI RUANG IBS RSUD WATES

Oleh :

FITRIA PERMATA SARI

PN.17.0075

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA HUSADA
YOGYAKARTA
2017/2018
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN
SECTIO CAESARIA (SC) DENGAN INDIKASI OLIGOHIDRAMNION
DI RUANG IBS RSUD WATES

Laporan Pendahuluan ini telah dibaca dan diperiksa pada

Hari / Tanggal :

Pembimbing Klinik Mahasiswa Praktikan

(...................................................) (....................................................)

Mengetahui

Pembimbing Akademik

(..........................................................................)
KONSEP DASAR
SECTIO CAESARIA (SC) DENGAN INDIKASI OLIGOHIDRAMNION

I. KONSEP SC (SECTIO CAESARIA)


A. DEFINISI
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat
rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 2009).
Sectio Caesaria ialah tindakan untuk melahirkan janin dengan
berat badan diatas 500 gram melalui sayatan pada dinding uterus yang
utuh (Gulardi & Wiknjosastro, 2011).
Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding rahim (Mansjoer, 2012)

B. JENIS – JENIS
1. Sectio cesaria transperitonealis profunda
Sectio cesaria transperitonealis propunda dengan insisi di segmen bawah
uterus. insisi pada bawah rahim, bisa dengan teknik melintang atau
memanjang. Keunggulan pembedahan ini adalah:
a. Pendarahan luka insisi tidak seberapa banyak.
b. Bahaya peritonitis tidak besar.
c. Perut uterus umumnya kuat sehingga bahaya ruptur uteri dikemudian hari
tidak besar karena pada nifas segmen bawah uterus tidak seberapa banyak
mengalami kontraksi seperti korpus uteri sehingga luka dapat sembuh
lebih sempurna.
2. Sectio cacaria klasik atau section cecaria corporal
Pada cectio cacaria klasik ini di buat kepada korpus uteri, pembedahan ini
yang agak mudah dilakukan,hanya di selenggarakan apabila ada halangan
untuk melakukan section cacaria transperitonealis profunda. Insisi memanjang
pada segmen atas uterus.
3. Sectio cacaria ekstra peritoneal
Section cacaria eksrta peritoneal dahulu di lakukan untuk mengurangi bahaya
injeksi perporal akan tetapi dengan kemajuan pengobatan terhadap injeksi
pembedahan ini sekarang tidak banyak lagi di lakukan. Rongga peritoneum tak
dibuka, dilakukan pada pasien infeksi uterin berat.
4. Section cesaria Hysteroctomi
Setelah sectio cesaria, dilakukan hysteroktomy dengan indikasi:
a. Atonia uteri
b. Plasenta accrete
c. Myoma uteri
d. Infeksi intra uteri berat

C. ETIOLOGI
Menurut Manuaba (2012) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah ruptur
uteri iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan indikasi dari
janin adalah fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram. Dari beberapa
faktor sectio caesarea diatas dapat diuraikan beberapa penyebab sectio caesarea
sebagai berikut:
1. CPD (Chepalo Pelvik Disproportion)
Chepalo Pelvik Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak
sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak
dapat melahirkan secara alami. Tulang-tulang panggul merupakan susunan
beberapa tulang yang membentuk rongga panggul yang merupakan jalan yang
harus dilalui oleh janin ketika akan lahir secara alami. Bentuk panggul yang
menunjukkan kelainan atau panggul patologis juga dapat menyebabkan
kesulitan dalam proses persalinan alami sehingga harus dilakukan tindakan
operasi. Keadaan patologis tersebut menyebabkan bentuk rongga panggul
menjadi asimetris dan ukuran-ukuran bidang panggul menjadi abnormal.
2. PEB (Pre-Eklamsi Berat)
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang langsung
disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah
perdarahan dan infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab
kematian maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan. Karena
itu diagnosa dini amatlah penting, yaitu mampu mengenali dan mengobati
agar tidak berlanjut menjadi eklamsi.
3. KPD (Ketuban Pecah Dini)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda
persalinan dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian besar
ketuban pecah dini adalah hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan di bawah
36 minggu.
4. Bayi Kembar
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena
kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi
daripada kelahiran satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami
sungsang atau salah letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara
normal.
5. Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak
memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada
jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit bernafas.
6. Kelainan Letak Janin
a. Kelainan pada letak kepala
1) Letak kepala tengadah
Bagian terbawah adalah puncak kepala, pada pemeriksaan dalam
teraba UUB yang paling rendah. Etiologinya kelainan panggul, kepala
bentuknya bundar, anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar panggul.
2) Presentasi muka
Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian kepala yang terletak
paling rendah ialah muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-0,5 %.
3) Presentasi dahi
Posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada posisi
terendah dan tetap paling depan. Pada penempatan dagu, biasanya
dengan sendirinya akan berubah menjadi letak muka atau letak
belakang kepala.
b. Letak Sungsang
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang
dengan kepala difundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum
uteri. Dikenal beberapa jenis letak sungsang, yakni presentasi bokong,
presentasi bokong kaki, sempurna, presentasi bokong kaki tidak sempurna
dan presentasi kaki.

D. PATOFISIOLOGI
SC merupakan tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat di atas 500
gr dengan sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. Indikasi dilakukan
tindakan ini yaitu distorsi kepala panggul, disfungsi uterus, distorsia jaringan
lunak, placenta previa dll, untuk ibu. Sedangkan untuk janin adalah gawat janin.
Janin besar dan letak lintang setelah dilakukan SC ibu akan mengalami adaptasi
post partum baik dari aspek kognitif berupa kurang pengetahuan. Akibat kurang
informasi dan dari aspek fisiologis yaitu produk oxsitosin yang tidak adekuat
akan mengakibatkan ASI yang keluar hanya sedikit, luka dari insisi akan menjadi
post de entris bagi kuman. Oleh karena itu perlu diberikan antibiotik dan
perawatan luka dengan prinsip steril. Nyeri adalah salah utama karena insisi yang
mengakibatkan gangguan rasa nyaman (Gulardi & Wiknjosastro, 2011).
Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anestesi bisa bersifat
regional dan umum. Namun anestesi umum lebih banyak pengaruhnya terhadap
janin maupun ibu anestesi janin sehingga kadang-kadang bayi lahir dalam
keadaan upnoe yang tidak dapat diatasi dengan mudah. Akibatnya janin bisa mati,
sedangkan pengaruhnya anestesi bagi ibu sendiri yaitu terhadap tonus uteri
berupa atonia uteri sehingga darah banyak yang keluar. Untuk pengaruh terhadap
nafas yaitu jalan nafas yang tidak efektif akibat sekret yan berlebihan karena kerja
otot nafas silia yang menutup. Anestesi ini juga mempengaruhi saluran
pencernaan dengan menurunkan mobilitas usus (Gulardi & Wiknjosastro, 2011).
Seperti yang telah diketahui setelah makanan masuk lambung akan terjadi
proses penghancuran dengan bantuan peristaltik usus. Kemudian diserap untuk
metabolisme sehingga tubuh memperoleh energi. Akibat dari mortilitas yang
menurun maka peristaltik juga menurun. Makanan yang ada di lambung akan
menumpuk dan karena reflek untuk batuk juga menurun. Maka pasien sangat
beresiko terhadap aspirasi sehingga perlu dipasang pipa endotracheal. Selain itu
motilitas yang menurun juga berakibat pada perubahan pola eliminasi yaitu
konstipasi (Gulardi & Wiknjosastro, 2011).
Pathway SC
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hemoglobin atau hematokrit (Hb/Ht) untuk mengkaji perubahan dari kadar pra
operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah pada pembedahan.
2. Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
3. Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah
4. USG (Ultrasonographi). Dapat mengungkapkan posisi rendah berbaring
placenta tapi apakah placenta melapisi cervik tidak biasa diungkapkan
(Sarwono, 2009)

F. KOMPLIKASI
Yang sering terjadi pada ibu SC adalah :
1. Infeksi puerperial: kenaikan suhu selama beberapa hari dalam masa nifas
dibagi menjadi:
a. Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari
b. Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan perut
sedikit kembung
c. Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik
2. Perdarahan: perdarahan banyak bisa terjadi jika pada saat pembedahan
cabang-cabang arteri uterine ikut terbuka atau karena atonia uteri.
3. Komplikasi-komplikasi lainnya antara lain luka kandung kencing, embolisme
paru yang sangat jarang terjadi.
4. Kurang kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan
berikutnya bisa terjadi ruptur uteri.

G. PENATALAKSANAAN
1. Perawatan awal
a. Letakan pasien dalam posisi pemulihan
b. Periksa kondisi pasien, cek tanda vital tiap 15 menit selama 1 jam pertama,
kemudian tiap 30 menit jam berikutnya. Periksa tingkat kesadaran tiap 15
menit sampai sadar
c. Yakinkan jalan nafas bersih dan cukup ventilasi
d. Transfusi jika diperlukan
e. Jika tanda vital dan hematokrit turun walau diberikan transfusi, segera
kembalikan ke kamar bedah kemungkinan terjadi perdarahan pasca bedah
2. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu
dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman
dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca
operasi, berupa air putih dan air teh.
3. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
a. Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
b. Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini
mungkin setelah sadar
c. Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan
diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
d. Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah
duduk (semifowler).
e. Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar
duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada
hari ke-3 sampai hari ke5 pasca operasi.
4. Fungsi gastrointestinal
a. Jika tindakan tidak berat beri pasien diit cair
b. Jika ada tanda infeksi , tunggu bising usus timbul
c. Jika pasien bisa flatus mulai berikan makanan padat
d. Pemberian infus diteruskan sampai pasien bisa minum dengan baik
5. Perawatan fungsi kandung kemih
a. Jika urin jernih, kateter dilepas 8 jam setelah pembedahan atau sesudah
semalam
b. Jika urin tidak jernih biarkan kateter terpasang sampai urin jernih
c. Jika terjadi perlukaan pada kandung kemih biarkan kateter terpasang
sampai minimum 7 hari atau urin jernih.
d. Jika sudah tidak memakai antibiotika berikan nirofurantoin 100 mg per
oral per hari sampai kateter dilepas
e. Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada
penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan.
Kateter biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis
operasi dan keadaan penderita.
6. Pembalutan dan perawatan luka
a. Jika pada pembalut luka terjadi perdarahan atau keluar cairan tidak terlalu
banyak jangan mengganti pembalut
b. Jika pembalut agak kendor , jangan ganti pembalut, tapi beri plester untuk
mengencangkan
c. Ganti pembalut dengan cara steril
d. Luka harus dijaga agar tetap kering dan bersih
7. Jika masih terdapat perdarahan
a. Lakukan masase uterus
b. Beri oksitosin 10 unit dalam 500 ml cairan I.V. (garam fisiologik atau RL)
60 tetes/menit, ergometrin 0,2 mg I.M. dan prostaglandin
8. Jika terdapat tanda infeksi, berikan antibiotika kombinasi sampai pasien bebas
demam selama 48 jam :
a. Ampisilin 2 g I.V. setiap 6 jam
b. Ditambah gentamisin 5 mg/kg berat badan I.V. setiap 8 jam
c. Ditambah metronidazol 500 mg I.V. setiap 8 jam
9. Analgesik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
a. Pemberian analgesia sesudah bedah sangat penting
b. Supositoria = ketopropen sup 2x/ 24 jam
c. Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
d. Injeksi = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
II. KONSEP DASAR OLIGOHIDRAMNION
A. DEFINISI
Oligohidramnion adalah suatu keadaan dimana air ketuban kurang dari
normal, yaitu kurang dari 500 cc (Wiknjosastro, 2010).
Oligohidramnion adalah kondisi di mana cairan ketuban terlalu sedikit,
yang didefinisikan sebagai indeks cairan amnion AFI (amniotic fluid index)) di
bawah persentil. Volume cairan ketuban meningkat selama masa kehamilan,
dengan volume sekitar 30 ml pada 10 minggu kehamilan dan puncaknya sekitar 1
L di 34-36 minggu kehamilan (Nugroho, 2011).

B. ETIOLOGI
Menurut Gulardi & Wiknjosastro (2011) Etiologi belum jelas, tetapi disangka ada
kaitannya dengan renal agenosis janin. Etiologi primer lainnya mungkin oleh
karena amnion kurang baik pertumbuhannya dan etiologi sekunder lainnya,
misalnya pada ketuban pecah dini.
Oligohidramnion biasanya dikaitkan dengan salah satu kondisi berikut:
1. Pecahnya membran ketuban.
2. Masalah kongenital tidak adanya jaringan ginjal fungsional atau uropatif
obstetrik seperti kondisi yang mencegah pembentukan urin atau masuknya
urin ke dalam kantong ketuban dan malformasi saluran kemih janin.
3. Penurunan perfusi ginjal yang menyebabkan produksi urin berkurang.
4. Kehamilan post-term
5. Gangguan pertumbuhan pada janin
6. Kelainan ginjal bawaan pada janin sehingga produksi urinnya sedikit. Padahal
urin termasuk sumber utama air ketuban
7. Kehamilan lewat waktu sehingga fungsi plasenta atau ari-ari menurun
8. Penyakit ibu, seperti darah tinggi, diabetes, gangguan pembekuan darah dan
penyakit otoimun seperti lupus.

C. PATOFISIOLOGI
Mekanisme atau patofisiologi terjadinya oligohidramnion dapat dikaitkan
dengan adanya sindroma potter dan fenotip pottern, dimana, Sindroma Potter dan
Fenotip Potter adalah suatu keadaan kompleks yang berhubungan dengan gagal
ginjal bawaan dan berhubungan dengan oligohidramnion (cairan ketuban yang
sedikit) (Nugroho, 2011).
Fenotip Potter digambarkan sebagai suatu keadaan khas pada bayi baru
lahir, dimana cairan ketubannya sangat sedikit atau tidak ada. Oligohidramnion
menyebabkan bayi tidak memiliki bantalan terhadap dinding rahim. Tekanan dari
dinding rahim menyebabkan gambaran wajah yang khas (wajah Potter). Selain
itu, karena ruang di dalam rahim sempit, maka anggota gerak tubuh menjadi
abnormal atau mengalami kontraktur dan terpaku pada posisi abnormal
(Wiknjosastro, 2010)
Oligohidramnion juga menyebabkan terhentinya perkembangan paru-paru
(paru-paru hipoplastik), sehingga pada saat lahir, paru-paru tidak berfungsi
sebagaimana mestinya. Pada sindroma Potter, kelainan yang utama adalah gagal
ginjal bawaan, baik karena kegagalan pembentukan ginjal (agenesis ginjal
bilateral) maupun karena penyakit lain pada ginjal yang menyebabkan ginjal
gagal berfungsi. Dalam keadaan normal, ginjal membentuk cairan ketuban
(sebagai air kemih) dan tidak adanya cairan ketuban menyebabkan gambaran
yang khas dari sindroma Potter (Nugroho, 2011).

D. FAKTOR RESIKO OLIGOHIDRAMNION


Wanita dengan kondisi berikut memiliki insiden oligohidramnion yang tinggi
(Nugroho, 2011) :
1. Anomali kongenital (misalnya : agenosis ginjal, sindrom patter)
2. Retardasi pertumbuhan intra uterin
3. Ketuban pecah dini (24-26 minggu)
4. Sindrom pasca maturitas

E. MANIFESTASI KLINIS OLIGOHIDRAMNION


1. Uterus tampak lebih kecil dari usia kehamilan dan tidak ada ballotemen.
2. Ibu merasa nyeri di perut pada setiap pergerakan anak.
3. Sering berakhir dengan partus prematurus.
4. Bunyi jantung anak sudah terdengar mulai bulan kelima dan terdengar lebih
jelas.
5. Persalinan lebih lama dari biasanya.
6. Sewaktu his akan sakit sekali.
7. Bila ketuban pecah, air ketuban sedikit sekali bahkan tidak ada yang keluar
(Nugroho, 2011).
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan dengan USG dapat mendiagnosa apakah cairan ketuban terlalu
sedikit atau terlalu banyak. Umumnya para dokter akan mengukur ketinggian
cairan dalam 4 kuadran di dalam rahim dan menjumlahkannya. Metode ini
dikenal dengan nama Amniotic Fluid Index (AFI). Jika ketinggian amniotic fluid
(cairan ketuban) yang di ukur kurang dari 5 cm, calon ibu tersebut didiagnosa
mengalami oligohydramnion. Jika jumlah cairan tersebut lebih dari 25 cm, ia di
diagnosa mengalami polihydramnion (Gulardi & Wiknjosastro, 2011).

G. KOMPLIKASI OLIGOHIDRAMNION
Kurangnya cairan ketuban tentu aja akan mengganggu kehidupan janin,
bahkan dapat mengakibatkan kondisi gawat janin. Seolah-olah janin tumbuh
dalam ”kamar sempit” yang membuatnya tidak bisa bergerak bebas. Malah pada
kasus extrem dimana suah terbentuk amniotic band (benang atau serat amnion)
bukan tidak mustahil terjadi kecacatan karena anggota tubuh janin ”terjepit” atau
”terpotong” oleh amniotic band tersebut.
Efek lainnya janin berkemungkinan memiliki cacat bawaan pada saluran
kemih, pertumbuhannya terhambat, bahkan meninggal sebelum dilahirkan. Sesaat
setelah dilahirkan pun, sangat mungkin bayi beresiko tak segera bernafas secara
spontan dan teratur.
Bahaya lainnya akan terjadi bila ketuban lalu sobek dan airnya merembes
sebelum tiba waktu bersalin. Kondisi ini amat beresiko menyebabkan terjadinya
infeksi oleh kuman yang berasal daribawah. Pada kehamilan lewat bulan,
kekurangan air ketuban juga sering terjadi karena ukuran tubuh janin semakin
besar.
Masalah-masalah yang dihubungkan dengan terlalu sedikitnya cairan
ketuban berbeda-beda tergantung dari usia kehamilan. Oligohydramnion dapat
terjadi di masa kehamilan trimester pertama atau pertengahan usia kehamilan
cenderung berakibat serius dibandingkan jika terjadi di masa kehamilan trimester
terakhir. Terlalu sedikitnya cairan ketuban dimasa awal kehamilan dapat menekan
organ-organ janin dan menyebabkan kecacatan, seperti kerusakan paru-paru,
tungkai dan lengan.
Olygohydramnion yang terjadi dipertengahan masa kehamilan juga
meningkatka resiko keguguran, kelahiran prematur dan kematian bayi dalam
kandungan. Jika ologohydramnion terjadi di masa kehamilan trimester terakhir,
hal ini mungkin berhubungan dengan pertumbuhan janin yang kurang baik.
Disaat-saat akhir kehamialn, oligohydramnion dapat meningkatkan resiko
komplikasi persalinan dan kelahiran, termasuk kerusakan pada ari-ari
memutuskan saluran oksigen kepada janin dan menyebabkan kematian janin.
Wanita yang mengalami oligohydramnion lebih cenderung harus mengalami
operasi caesar disaat persalinannya (Nugroho, 2011)

H. TINDAKAN KONSERVATIF
1. Tirah baring
2. Hidrasi
3. Perbaikan nutrisi
4. Pemantauan kesejahteraan janin (hitung pergerakan janin, NST, Bpp).
5. Pemeriksaan USG yang umum dari volume cairan amnion
6. Amnion infusion
7. Induksi dan kelahiran (Gulardi & Wiknjosastro, 2011).
III. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pada pengkajian klien dengan sectio caesaria, data yang dapat ditemukan meliputi
distress janin, kegagalan untuk melanjutkan persalinan, malposisi janin, prolaps
tali pusat, abrupsio plasenta dan plasenta previa.
a. Identitas atau biodata klien
Meliputi, nama, umur, agama, jenis kelamin, alamat, suku bangsa, status
perkawinan, pekerjaan, pendidikan, tanggal masuk rumah sakit nomor register
dan diagnosa keperawatan.
b. Keluhan utama
c. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan dahulu:
Penyakit kronis atau menular dan menurun sepoerti jantung, hipertensi,
DM, TBC, hepatitis, penyakit kelamin atau abortus.
2) Riwayat kesehatan sekarang :
Riwayat pada saat sebelun inpartu di dapatka cairan ketuban yang keluar
pervaginan secara sepontan kemudian tidak di ikuti tanda-tanda persalinan.
3) Riwayat kesehatan keluarga:
Adakah penyakit keturunan dalam keluarga seperti jantung, DM, HT,
TBC, penyakit kelamin, abortus, yang mungkin penyakit tersebut
diturunkan kepada klien.
4) Pola-pola fungsi kesehatan
a) Pola persepsi dan tata leksana hidup sehat
karena kurangnya pengetahuan klien tentang ketuban pecah dini, dan
cara pencegahan, penanganan, dan perawatan serta kurangnya mrnjaga
kebersihan tubuhnya akan menimbulkan masalah dalam perawatan
dirinya
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien nifas biasanaya terjadi peningkatan nafsu makan karena dari
keinginan untuk menyusui bayinya.
c) Pola aktifitas
Pada pasien pos partum klien dapat melakukan aktivitas seperti
biasanya, terbatas pada aktifitas ringan, tidak membutuhkan tenaga
banyak, cepat lelah, pada klien nifas didapatkan keterbatasan aktivitas
karena mengalami kelemahan dan nyeri.
d) Pola eleminasi
Pada pasien pos partum sering terjadi adanya perasaan sering /susah
kencing selama masa nifas yang ditimbulkan karena terjadinya odema
dari trigono, yang menimbulkan inveksi dari uretra sehingga sering
terjadi konstipasi karena penderita takut untuk melakukan BAB.
e) Istirahat dan tidur
Pada klien nifas terjadi perubagan pada pola istirahat dan tidur karena
adanya kehadiran sang bayi dan nyeri epis setelah persalinan
f) Pola hubungan dan peran
Peran klien dalam keluarga meliputi hubungan klien dengan keluarga
dan orang lain.
g) Pola penagulangan sters
Biasanya klien sering melamun dan merasa cemas
h) Pola sensori dan kognitif
Pola sensori klien merasakan nyeri pada prineum akibat luka janhitan
dan nyeri perut akibat involusi uteri, pada pola kognitif klien nifas
primipara terjadi kurangnya pengetahuan merawat bayinya
i) Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan terhadap keadaan kehamilanya, lebih-lebih
menjelang persalinan dampak psikologis klien terjadi perubahan
konsep diri antara lain dan body image dan ideal diri
j) Pola reproduksi dan sosial
Terjadi disfungsi seksual yaitu perubahan dalam hubungan seksual atau
fungsi dari seksual yang tidak adekuat karena adanya proses persalinan
dan nifas.
k) Pemeriksaan fisik
1) Kepala: Bagaimana bentuk kepala, kebersihan kepala, kadang-
kadang terdapat adanya cloasma gravidarum, dan apakah ada
benjolan.
2) Leher: Kadang-kadang ditemukan adanya penbesaran kelenjar
tioroid, karena adanya proses menerang yang salah.
3) Mata: Terkadang adanya pembengkakan paka kelopak mata,
konjungtiva, dan kadang-kadang keadaan selaput mata pucat
(anemia) karena proses persalinan yang mengalami perdarahan,
sklera kuning.
4) Telinga: Biasanya bentuk telinga simetris atau tidak, kebersihanya,
adakah cairan yang keluar dari telinga.
5) Hidung: Adanya polip atau tidak dan apabila pada post partum
kadang-kadang ditemukan pernapasan cuping hidung.
6) Dada: Terdapat adanya pembesaran payu dara, adanya hiper
pigmentasi areola mamae dan papila mamae.
7) Pada klien nifas abdomen kendor kadang-kadang striae masih
terasa nyeri. Fundus uteri 3 jari dibawa pusat.
8) Genitalia: Pengeluaran darah campur lendir, pengeluaran air
ketuban, bila terdapat pengeluaran mekomium yaitu feses yang
dibentuk anak dalam kandungan menandakan adanya kelainan
letak anak.
9) Anus: Kadang-kadang pada klien nifas ada luka pada anus karena
rupture.
10) Ekstermitas: Pemeriksaan odema untuk mrlihat kelainan-kelainan
karena membesarnya uterus, karenan preeklamsia atau karena
penyakit jantung atau ginjal.
11) Tanda-tanda vital: Apabila terjadi perdarahan pada pos partum
tekanan darah turun, nadi cepat, pernafasan meningkat, suhu tubuh
turun.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional (proses prosedur invasif)
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelelahan
4. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
5. Hambatam mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri
C. Rencana Keperawatan

Perencanaan
No Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Resiko infeksi b.d prosedur Noc: Nic:
invasif Stasus Maternal: Postpartum [2511] Perawatan Postpartum [6930]

Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan 1. Pantau tnda-tanda vital


selama 1x jam diharapkan sejauh mana 2. Pantau luka operasi dan jaringan
kesejahteraan maternal dalam batas normal dari sekitarnya ( yaitu memantau adanya
plasenta samapi selesai involusi dapat teratasi kemerahan, edema, ekimosis,
dengan kriteria hasil: cairan/nanah, perkiraan tepi luka)
3. Pantau nyeri pasien
Skala 4. Dorong pasien untuk melakukan
1: berat latihan pernafasan paska operasi,
2: cukup berat bantu pasien bila diperlukan
3: sedang 5. Berikan kenyamanan pada pasen
4: ringan yang menggigil (yaitu, memberikan
5: tidak ada selimut hangat)
6. Berikan analgesik sesuai kebutuhan
No Indikator A T
1 Nyeri insisi 1 5
2 Infeksi 1 5
2. Ansietas b.d perubahan besar Noc Nic
Tingkat Kecemasan [1211] Pengurangan Kecemasan [5820]

Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan 1. Kaji untuk tanda verbal dan non
selama 1x jam diharapkan keparahan dari tanda- verbal kecemasan
tanda ketakutan atau kegelisahan dari sumber 2. Gunakan pendekatan yang tenang
yang dapat diidentifikasi dengan kriteria hasil: dan menyenangkan
Skala 3. Bantu klien mengidentifikasi situasi
1: berat yang memicu kecemasan
2: cukup berat 4. Berikan objek yang menunjukkan
3: sedang perasaan aman
4: ringan 5. Berikan aktivitas pengganti yang
5: tidak ada bertujuan untuk mengurangi tekanan

No Indikator A T
1 Perasaan gelisah 1 5
2 Wajah tegang 1 5
3 Rasa takut yang disanpaikan 1 5
4 Rasa cemas yang disampaikan 1 5
3. Nyeri akut b.d agen injuri fisik Noc Nic
Kontrol nyeri [1605] Manajemen nyeri [1400]

Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan 1. Lakukan pengkajian nyeri


selama 1x jam diharapkan pasien dapat komprehensif yang meliputi lokasi,
mengontrol nyeri dengan kriteria hasil: karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas atau beratnya
Skala nyeri dan faktor pencetus.
1: tidak pernah menunjukkan 2. Ajarkan penggunaan teknik non
2: jarang menunjukkan farmakologi seperti relaksasi, terapi
3: kadang-kadang menunjukkan musik, terapi aktivitas)
4: sering menunjukkan 3. Kolaborasi pemberian farmakologi
5: secara konsisten menunjukkan penurunan nyeri yang optimal
dengan anagesik
No Indikator A T 4. Evaluasi keefektifan dari tindakan
1 Mengenali kapan nyeri terjadi 1 5 pengontrolan nyeri yang dipakai
2 Menggunakan tindakan 1 5 selama pengkajian nyeri yang
pengurangan nyeri tanpa dilakukan
analgesik
3 Melaporkan nyeri yang 1 5
terkontrol
4. Defisit perawatan diri b.d Noc Nic
kelemahan Perawatan Diri [2102] Bantuan Perawatan Diri [1800]

Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan 1. Monitoring kemampuan perwatan


selama 1x jam diharapkan tindakan sesorang diri secara mandiri
untuk melakukan tugas fisik paling dasar dan 2. Memonitor kebutuhan pasien terkait
aktivitas perawatan diri secara mandiri tanpa dengan alat bantu kebersihan diri,
bantuan atau alat dengan kriteria hasil: alat bantu berpakaian, berhias,
toileting dan makan
Skala 3. Berikan bantuan sampai pasien
1: sangat terganggu mampu melakuakanperawatan diri
2: banyak terganggu 4. Dorong kemandirian pasien, tetapi
3:cukup terganggu bantu ketika pasien tam mampu
4: sedikit terganggu melakukannya
5: tidak terganggu 5. Ajarkan orang tua atau keluarga
untuk mendukung kemandirian
No Indikator A T dengan menbantu hanya jika pasien
1 Makan 1 5 tak mampu melakukan perawatan
2 Memakai baju 1 5 diri
3 Ke toilet 1 5
4 Mandi 1 5
5 Berpakaian 1 5
6 Kebersihan mulut 1 5
7 Berjalan 1 5
8 Berpindah 1 5
5. Resiko jatuh Noc Nic
Kontrol resiko [1902] Manajemen Lingkungan [6480]

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1. Identifikasi kebutuhan


1x jam diharapkan pasien dapat mengerti, keselamatanpasien berdasarkan
mencegah, mengeliminasi atau mengurangi fungsi fisik dan kognetif serta
ancaman kesehatan yang telah dimodifikasi riwayat perilaku di masa lalu
dengan kriteria hasil: 2. Ciptakan lingkungan yang aman bagi
pasien
Skala 3. Dampingi pasien selama tidak ada
1: tidak pernah menunjukkan kegiatan ruangan dengan tepat
2: jarang menunjukkan 4. Batasi pengunjung
3: kadang-kadang menunjukkan 5. Edukasi pasien dan pengunjung
4: sering menunjukkan mengenai tindakan pencegahan,
5: secara konsisten menunjukkan sehingga mereka tidak akan dengan
sengaja mengganggu lingkungan
No Indikator A T yang direncanakan
1 Mengidentifikasi faktor resiko 1 5
2 Mengenali faktor resiko 1 5
3 Menyesuaikan strategi kontrol 1 5
resiko
4 Menjalankan strategi kontrol 1 5
resiko yang sudah ditetapkan
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito. 2010. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa keperawatan dan
masalah kolaboratif. Jakarta: EGC

Johnson, M., et all. 2011. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River

Mansjoer, A. 2012. Asuhan Keperawatn Maternitas. Jakarta : Salemba Medika

Manuaba, Ida Bagus Gede. 2012. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga
Berencana, Jakarta : EGC

Muchtar. 2011. Obstetri patologi, Cetakan I. Jakarta : EGC

Caraspot. 2010. Proses Keperawatan NANDA, NOC &NIC. Yogyakarta : mocaMedia

Santosa, Budi. 2012. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika

Saifuddin, AB. 2012. Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal.
Jakarta : penerbit yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo

Sarwono Prawiroharjo. 2009. Ilmu Kebidanan, Edisi 4 Cetakan II. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka

Anda mungkin juga menyukai