Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI II

UJI DIABETES PADA HEWAN COBA (MENCIT)

Kelas 2A

Disusun oleh Kelompok 1 :

1. Fitriyanti Dwi Rahayu P17335116016


2. Kansa Salma Huwaida P17335116038
3. Siti Robiatul Adawiyah P17335116034
4. Selma Putri Sopiyanti P17335116060
5. Neng Gita Yuniar P17335116062

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG

PROGRAM PENDIDIKAN DIPLOMA III

PROGRAM STUDI FARMASI

2018
I. Tujuan
Mengetahui serta membandingkan efektivitas obat antidiabetes.
II. Dasar Teori

Diabetes melitus merupakan suatu penyakit yang terjadi akibat adanya gangguan
pada metabolime glukosa, disebabkan kerusakan proses pengaturan sekresi insulin dari
sel-sel beta. Insulin, yang diahasilkan oleh kelenjar pankreas sangat penting untuk
menjaga keseimbangan kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah normal pada waktu
puasa antara 60-120 mg/dl, dan dua jam sesudah makan dibawah 140 mg/dl. Bila terjadi
gangguan pada kerja insulin, baik secara kualitas maupun kuantitas, keseimbangan
tersebut akan terganggu, dan kadar glukosa darah cenderung naik (hiperglikemia) (Kee
dan Hayes,1996; Tjokroprawiro, 1998).
Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan
hiperglikemia dan glukosuria yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein yang diakibatkan kurangnya insulin yang diproduksi oleh
sel β pulau Langerhans kelenjar Pankreas baik absolut maupun relatif (Herman, 1993;
Adam, 2000; Sukandar, 2008). Kelainan metabolisme yang paling utama ialah kelainan
metabolisme karbohidrat. Oleh karena itu, diagnosis diabetes melitus selalu berdasarkan
kadar glukosa dalam plasma darah (Herman, 1993; Adam, 2000).
Diabetes melitus merupakan salah satu jenis penyakit yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa darah (hiperglikemia) sebagai akibat dari rendahnya sekresi
insulin, gangguan efek insulin, atau keduanya. Diabetes mellitus bukan merupakan
patogen melainkan secara etiologi adalah kerusakan atau gangguan metabolisme. Gejala
umum diabetes adalah hiperglikemia, poliuria, polidipsia, kekurangan berat badan,
pandangan mata kabur, dan kekurangan insulin sampai pada infeksi. Hiperglikemia akut
dapat menyebabkan sindrom hiperosmolar dan kekurangan insulin dan ketoasidosis.
Hiperglikemia kronik menyebabkan kerusakan jangka panjang, disfungsi dan kegagalan
metabolisme sel, jaringan dan organ. Komplikasi jangka panjang diabetes adalah
macroangiopathy, microangiopathy, neuropathy, katarak, diabetes kaki dan diabetes
jantung (Reinauer et al, 2002).
Gejala penyakit diabetes melitus dari satu penderita ke penderita lainnya tidak
selalu sama. Gejala yang disebutkan dibawah ini adalah gejala yang umumnya timbul
dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya variasi gejala lain. Ada pula penderita
diabetes melitus yang tidak menunjukkan gejala apa pun sampai pada saat tertentu
(Tjoktoprawiro, 1998).
1. Pada permulaan, gejala yang ditunjukkan meliputi “tiga P” yaitu:
a. Polifagia (meningkatnya nafsu makan, banyak makan)
b. Polidipsia (meningkatnya rasa haus, banyak minum)
c. Poliuria (meningkatnya keluaran urin, banyak kencing)
Dalam fase ini biasanya penderita menunjukkan berat badan yang terus meningkat,
bertambah gemuk, mungkin sampai terjadi kegemukan. Pada keadaan ini jumlah insulin
masih dapat mengimbangi kadar glukosa dalam darah (Kee dan Hayes,1996;
Tjokroprawiro, 1998).
2. Bila keadaan diatas tidak segera diobati, kemudian akan timbul gejala yang
disebabkan oleh kurangnya insulin, yaitu :
a. Banyak minum
b. Banyak kencing
c. Berat badan menurun dengan cepat (dapat turun 5-10 kg dalam waktu 2-4
minggu)
d. Mudah lelah
e. Bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual jika kadar glukosa darah
melebihi 500 mg/dl, bahkan penderita akan jatuh koma (tidak sadarkan diri)
dan disebut koma diabetik.
Koma diabetik adalah koma pada penderita diabetes melitus akibat kadar glukosa
darah terlalu tinggi, biasanya 600 mg/dl atau lebih. Dalam praktik, gejala dan
penurunan berat badan inilah yang paling sering menjadi keluhan utama penderita untuk
berobat ke dokter (Tjokroprawiro, 1998).
Kadang-kadang penderita diabetes melitus tidak menunjukkan gejala akut
(mendadak), tetapi penderita tersebut baru menunjukkan gejala setelah beberapa bulan
atau beberapa tahun mengidap penyakit diabetes melitus. Gejala ini dikenal dengan gejala
kronik atau menahun (Katzung, 2002).
Gejala kronik yang sering timbul pada penderita diabetes adalah seperti yang
disebut dibawah ini :
1. Kesemutan
2. Kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum
3. Rasa tebal pada kulit telapak kaki, sehingga kalau berjalan seperti diatas bantal
atau kasur
4. Kram
5. Capai, pegal-pegal
6. Mudah mengantuk
7. Mata kabur, biasanya sering ganti kacamata
8. Gatal di sekitar kemaluan, terutama wanita
9. Gigi mudah goyah dan mudah lepas
10. Kemampuan seksual menurun, bahkan impoten, dan
Para ibu hamil sering mengalami gangguan atau kematian janin dalam
kandungan, atau melahirkan bayi dengan berat lebih dari 3,5 kg. (Tjokroprawiro,
1998).
Klasifikasi dan Etiologi Diabetes Mellitus
1. Diabetes Mellitus tergantung Insulin (DMTI, tipe 1)
Diabetes mellitus tergantung insulin (DMTI atau IDDM) merupakan
istilah yang digunakan untuk kelompok pasien diabetes mellitus yang tidak dapat
bertahan hidup tanpa pengobatan insulin. Penyebab yang paling umum dari
IDDM ini adalah terjadinya kerusakan otoimun sel-sel beta (β) dari pulau-pulau
Langerhans (Katzung, 2002).
Kebanyakan penderita IDDM berusia masih muda, dan usia puncak
terjadinya serangan adalah 12 tahun. Namun demikian, 10% pasien diabetes
diatas 65 tahun merupakan pengidap IDDM (Katzung, 2002).
IDDM dapat juga disebabkan adanya interaksi antara faktor-faktor
lingkungan dengan kecenderungan sebagai pewaris penyakit diabetes mellitus.
Hal ini menunjukkan bahwa IDDM dapat timbul karena adanya hubungan
dengan gen-gen pasien dan dapat pula dipicu oleh faktor lingkungan yang ada,
termasuk bermacam-macam virus (Jones and Gill, 1998; Tunbridge and Home,
1991).
2. Diabetes mellitus tidak tergantung Insulin (DMTTI ,Tipe II)
Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (DMTTI atau NIDDM)
merupakan istilah yang digunakan untuk kelompok diabetes mellitus yang tidak
memerlukan pengobatan dengan insulin supaya dapat bertahan hidup, meskipun
hampir 20% pasien menerima insulin dengan tujuan untuk membantu mengontrol
kadar glukosa darah. NIDDM biasanya ditunjukkan oleh adanya kombinasi yang
beragam dari tahanan insulin dan kekurangan insulin (Tunbridge and Home,
1991).
Pengobatan Diabetes
A. Terapi Tanpa Obat
1. Pengaturan diet, diet yang baik merupakan kunci keberhasilan terapi
diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi seimbang
terkait dengan karbohidrat, protein, dan lemak. Jumlah kalori disesuaikan
dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut, dan kegiatan fisik yang
pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat badan
ideal. Penuruan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi
insulin dan memperbaiki respon sel –sel beta terhadap stimulus glukosa.
2. Olahraga, berolahraga secara teratur akan menurunkan dan menjaga kadar
gula darah tetap normal.
B. Terapi Obat
Insulin adalah hormon yang disekresi oleh sel β pulau Langerhans dalam pankreas.
Berbagai stimulus melepaskan insulin dari granula penyimpanan dalam sel β, tetapi
stimulus yang paling kuat adalah peningkatan glukosa plasma (hiperglikemia). Insulin
terikat pada reseptor spesifik dalam membran sel dan memulai sejumlah aksi, termasuk
peningkatan ambilan glukosa oleh hati, otot, dan jaringan adipose (Katzung, 2002).
Insulin adalah polipeptida yang mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam
dua rantai (A dan B) dan dihubungkan oleh ikatan disulfida. Suatu prekursor, yang
disebut proinsulin, dihidrolisis dalam granula penyimpan untuk membentuk insulin dan
peptida C residual. Granula menyimpan insulin sebagai kristal yang mengandung zink
dan insulin.
Glukosa merupakan stimulus paling kuat untuk pelepasan insulin dari sel-sel β
pulau Langerhans. Terdapat sekresi basal yang kontinu dengan lonjakan pada waktu
makan. Sel-sel β memiliki kanal K+ yang diatur oleh adenosin trifosfat (ATP) intraselular.
Saat glukosa darah meningkat, lebih banyak glukosa memasuki sel β dan metabolismenya
menyebabkan peningkatan ATP intraselular yang menutup kanalATP. Depolarisasi sel
Depolarisasi sel β yang diakibatkannya mengawali influks ion Ca 2+ melalui kanal Ca2+
yang sensitif tegangan dan ini memicu pelepasan insulin (Katzung, 2002).
Reseptor insulin adalah glikoprotein pembentuk membran yang terdiri dari dua
subunit α dan dua subunit β yang terikat secara kovalen oleh ikatan disulfida. Setelah
insulin terikat pada subunit α, kompleks insulin-reseptor memasuki sel, dimana insulin
dihancurkan oleh enzim lisosom. Internalisasi dari kompleks insulin-reseptor mendasari
down-regulation reseptor yang dihasilkan olh kadar insulin tinggi (misalnya pada pasien
obes). Ikatan insulin pada reseptor mengaktivasi aktivitas tirosin kinase subunit β dan
memulai suatu rantai kompleks reaksi-reaksi yang menyebabkan efek insulin (Neal,
2006).
Perawatan diabetes mellitus diambil dari empat faktor fundamental : pengajaran
pasien tentang penyakit; latihan fisik; diet dan agen-agen hipoglikemia. Agen-agen yang
baru digunakan sebagai kontrol diabetes mellitus adalah obat-obat dari golongan
sulfonilurea, biguanida, turunan thiazolidinedione, dan insulin (diberikan secara injeksi).
Meskipun obat-obat ini telah digunakan secara intensif karena efek yang baik dalam
kontrol hiperglikemia, agen-agen ini tidak dapat memenuhi kontrol yang baik pada
diabetes mellitus, tidak dapat menekan komplikasi akut maupun kronis (Galacia et.al,
2002).
A. Sekretagok Insulin
Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi insulin
oleh sel β pankreas. Golongan ini meliputi:
1. Golongan sulfonilurea
Obat ini hanya efektif pada penderita diabetes melitus tipe 2 yang tidak begitu
berat, yang sel-sel β masih bekerja cukup baik. Mekanisme kerja dari golongan
sulfonilurea antara lain:
a. Merangsang fungsi sel-sel β pulau Langerhans pankreas agar dapat
menghasilkan insulin.
b. Mencegah (inhibisi) konversi glikogen hati kembali ke glukosa.
c. Meningkatkan penggunaan glukosa darah
Sulfonilurea dibagi dalam dua golongan/generasi yaitu:
a. Generasi pertama meliputi: Tolbutamide, Acetohexamide, Tolazamide,
Chlorpropamide
b. Generasi kedua meliputi: Glibenclamide, Gliclazide, Glipizide,
Gliquidon, Glibonuride.
2. Golongan glinida
Sekretagok insulin baru, yang kerjanya melalui reseptor sulfonilurea dan
mempunyai struktur yang mirip dengan sulfonilurea. Repaglinid dan nateglinid
kedua-duanya diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral. Repaglinid
mempunyai masa paruh yang singkat dan dapat menurunkan kadar glukosa darah
puasa. Sedangkan nateglinid mempunyai masa tinggal yang lebih singkat dan
tidak dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa (Soegondo, 2006).
B. Sensitizer Insulin
Golongan obat ini meliputi obat hipoglikemik golongan biguanida dan
thiazolidinedione, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara
lebih efektif (Depkes RI, 2005).
1. Golongan Biguanida
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin.
Mekanisme kerja golongan biguanid (metformin):
a. Meningkatkan glikolisis anaerobik hati.
b. Meningkatkan uptake glukosa di jaringan perifer atau mengurangi
glukoneogenesis.
c. Menghambat absorpsi glukosa dari usus (Herman, 1993; Soegondo,
2006)
2. Golongan Thiazolidinedione atau Glitazon
Golongan obat ini mempunyai efek farmakologis untuk meningkatkan
sensitivitas insulin. Glitazon merupakan agonist peroxisome proliferator-
activated receptor gamma (PPAR) yang sangat selektif dan poten. Reseptor
PPAR gamma terdapat di jaringan target kerja insulin yaitu jaringan adiposa,
otot skelet dan hati, sedang reseptor pada organ tersebut merupakan regulator
homeostasis lipid, diferensiasi adiposit, dan kerja insulin. Glitazon dapat
merangsang ekspresi beberapa protein yang dapat memperbaiki sensitivitas
insulin dan memperbaiki glikemia, seperti GLUT 1, GLUT 4, p85alphaPI-3K
dan uncoupling protein-2 (UCP) (Soegondo, 2006).
Metformin
Metformin dan fenformin diperkenalkan pada tahun 1957 dan buformin
diperkenalkan pada tahun 1958. Buformin terbebas penggunaannya, tetapi metformin dan
fenformin digunakan secara luas. Fenformin ditarik dan berbagai Negara sekitar tahun
1970an karena menyebabkan asidosis laktat. Metformin jarang menyebabkan komplikasi
tersebut dan telah banyak digunakan di Eropa dan Kanada. Obat ini tersedia di Amerika
pada tahun 1995. Metformin yang diberikan tunggal atau kombinasi dengan sulfonylurea
memperbaiki control glikemia dan konsentrasi lipid pada pasien yang merespon kurang
baik terhadap diet atau sulfonylurea saja. Metformin terutama diabsorpsi dari usus kecil.
Obat ini stabil, tidak berikatan dengan protein plasma dan diekskresi dalam bentuk tidak
berubah dalam urin. Waktu-paruhnya sekitar 2 jam. Dosis maksimum harian metformin
yang dianjurkan di USA adalah 2,5 gram, diminum dalam 3 dosis bersama makanan
(Sustrani. 2006).
Metformin bersifat anti hiperglikemia, bukan hipoglikemia. Obat ini tidak
menyebabkan pelepasan insulin dari pancreas dan tidak menyebabkan hipoglikemia,
bahkan dalam dosis yang besar. Metformin tidak memiliki efek yang signifikan pada
sekresi glucagon, kortisol, hormone pertumbuhan atau somatostatin. Metformin
menurunkan kadar glukosa terutama dengan cara mengurangi produksi glukosa di hati
dan meningkatkan kerja insulin di otot dan lemak. Mekanisme menurunkan produksi
glukosa di hati oleh metformin masih controversial, tetapi banyak data menunjukan efek
penurunan gluconeogenesis. Metformin jug dapat menurunkan glukosa plasma dengan
cara mengurangi absorpsi dari usus, tetapi kerja ini belum terbukti memiliki relevansi
klinis (Sustrani. 2006).
Pasien gangguan ginjal tidak boleh menerima metformin. Penggunaan obat ini
kontraindikasi pada pasien penyakit hati, riwayat asidosis laktat (karena sebab apapun),
gagal jantung yang memerlukan terapi farmakologis atau penyakit paru hipoksia kronis.
Obat ini juga harus dipertahankan selama 48 jam setelah pemberian medium kontra
secara intravena, obat ini tidak boleh diberikan kembali hingga fungsi ginjal kembali
normal. Semua kondisi ini cenderung meningkatkan produksi laktat sehingga dapat
menyebabkan komplikasi asidosis laktat fatal.
Efek samping akut metformin, yang muncul hingga pada 20% pasien, meliputi
diare, rasa tidak enak di perut, mual, rasa logam, dan anoreksia. Hal ini biasanya di
minimalkan dengan cara meningkatkan dosis obat secara perlahan dan
dimakan bersama makanan. Absorpsi vitamin B12 dan folat pada usus sering
menurun selama terapi metformin jangka panjang. Suplemen kalsium membalikan efek
metformin terhadap absorpsi vitamin B12. Jika kadar laktat plasma melebihi 3 mM,
sebaiknya dipertimbangkan untuk menghentikan pengobatan dengan metformin. Serupa
dengan hal tersebut, menurutnya fungsi ginjal dan hati juga merupakan indikasi kuat
untuk menghentikan pengobatan. Metformin tidak menyebabkan peningkatan berat badan
dan dapat mengurangi trigliserida plasma sekitar 15% sampai 20% ada kesepakatan kuat
bahwa penurunan hemoglobin Aic oleh terapi apapun (insulin atau senyawa oral) dapat
menyebabkan hilangnya komplikasi mikrovaskular, namun metformin satu satunya
senyawa terapeutik yang terbukti menurunkan kejadian makrovaskular pada pasien DM
tipe 2. Metformin dapat diberikan dalam kombinasi dengan sulfonylurea, tiazolizinedion,
dan atau insulin (Sustrani. 2006).
Aloksan
Aloksan (2,4,5,6-tetraoksipirimidin; 2,4,5,6-pirimidintetron) adalah suatu
senyawa yang sering digunakan untuk penelitian diabetes menggunakan hewan coba.
Aloksan dapat menghasilkan radikal hidroksil yang sangat reaktif dan dapat
menyebabkan diabetes pada hewan coba. Efek diabetogenik aloksan ini dapat dicegah
oleh senyawa penangkap radikal hidroksil (Studiawan dan Santosa, 2005).

Glimepirid
Glimepiride adalah obat diabetes oral yang membantu mengontrol kadar
gula dalam darah. Oleh sebab itu, obat glimepiride digunakan untuk mengobati
diabetes melitus (DM) tipe II disamping upaya menjaga pola makan sehat dan
olahraga yang dilakukan oleh pasien. Selain dapat digunakan secara tunggal,
terkadang glimepiride digunakan dalam kombinasi dengan insulin dan obat
diabetes lainnya. Akan tetapi, seseorang yang hendak menggunakan obat ini harus
diperiksa terlebih dahulu kadar gula dalam darahnya. Penggunaan obat ini pun
tidak boleh sembarangan, harus dengan resep dokter.

Glimepiride termasuk dalam obat antidiabetes oral golongan sulfonilurea.


Obat-obat lain yang juga masuk dalam golongan sulfonilurea antara lain,
glibenklamide, gliklazid, glipizid, glikuidon, tolbutamid, klorpopamid. Di apotek
glimepiride tersedia dalam bentuk tablet 1 mg, 2 mg, 3 mg, 4 mg. Tersedia
sebagai obat generik dan juga berbagai merek dagang seperti : Actaril, Amadiab,
Amaryl, Amaryl M, Anpiride, Diaglime, Friladar, Glamarol, Glimetic, Glimexal,
Gliperid, Glucoryl, Mepirilid, Metrix, Paride, Pimaryl, Relide 2, Simryl-2, Solosa,
Velacom. Obat glimepirid dan golongan sulfonilurea lainnya mempunyai
mekanisme kerja merangsang sekresi insulin pada pankreas. Kadar hormon
insulin akan naik sehingga dapat menurunkan gula darah yang tinggi. Dengan
demikian, obat ini hanya efektif digunakan apabila sel beta pankreas masih dapat
berproduksi (sel beta pankreas masih dapat menghasilkan insulin walaupun dalam
jumlah yang sedikit).

III. Alat dan Bahan


Alat dan Bahan
Alat : Bahan :
- Glukometer - Mencit jantan 3 ekor
- Sonde oral - Alloksan
- Spuit injeksi - Glimepirid
- Metformin
- CMC-Na
IV. Prosedur
1. Hewan coba yang sebelumnya telah dipuasakan selama 12 jam,
diperiksa kadar glukosa awal (baseline), lalu dicatat
2. Semua kelompok kecuali K- diinduksi DM dengan diinjeksikan
Alloksan secara intraperitoneal
3. Setelah injeksi, hewan coba kembali diberikan makan dan minum
secara ad libitum
4. Setelah 72 jam, mencit diperiksa kadar glukosa darahnya kembali
(glukosa awal)
5. Perlakukan mencit sesuai dengan table berikut
Mencit
Kel 1 Kel 2 Kel 3 Kel 4 Kel 5 Kel 6
ke-
1 K- K- K- K+ K+ K+
2 Metformin Metformin Metformin K- Metformin Metformin
3 K+ Glimepirid Glimepirid Glimepirid Glimepirid Glimepirid
Keterangan:

K- : Tidak diinduksi Alloksan, diberikan CMC-Na satu kali sehari selama


7 hari

K+ : Diinduksi Alloksan, diberikan CMC-Na satu kali sehari selama 7 hari

Metformin : Diinduksi Alloksan, diberikan Metformin satu kali sehari


selama 7 hari

Glimepirid : Diinduksi Alloksan, diberikan Glimepirid satu kali sehari


selama 7 hari
6. Pada hari ke 7, mencit dipuasakan kembali untuk diperiksa glukosa
darahnya di hari ke 8 (glukosa akhir)
7. Catat hasil, hitung kadar glukosa baseline, awal, dan akhir, serta
hitung % penurunan kadar glukosa darah,

V. Hasil Pengamatan
Kadar Gula Darah Kadar Gula Darah Kadar Gula Darah
Kelompok Keterangan
Sebelum Induksi Setelah Induksi Setelah 10 Hari
Mencit 1 143 mg/dL 130 mg/dL -
(K +)
Mencit 2 156 mg/dL 119 mg/dL 148 mg/dL
1
(Metformin)
Mencit 3 113 mg/dL 127 mg/dL 64 mg/dL
(K -)
Mencit 1 156 mg/dL 126 mg/dL 120 mg/dL
(K -)
Mencit 2 150 mg/dL 101 mg/dL -
2
(Metformin)
Mencit 3 133 mg/dL 143 mg/dL 174 mg/dL
(Glimepirid)
Mencit 1 132 mg/dL 129 mg/dL -
(K -)
Mencit 2 130 mg/dL 133 mg/dL -
3
(Metformin)
Mencit 3 97 mg/dL 105 mg/dL -
(Glimepirid)
Mencit 1 140 mg/dL 150 mg/dL 116 mg/dL
(K +)
Mencit 2 109 mg/dL 125 mg/dL 93 mg/dL
4
(K -)
Mencit 3 171 mg/dL 138 mg/dL -
(Glimepirid)
Mencit 1 99 mg/dL 109 mg/dL 137 mg/dL
(K +)
Mencit 2 93 mg/dL 295 mg/dL -
5
(Metformin)
Mencit 3 97 mg/dL 458 mg/dL 314 mg/dL
(Glimepirid)
Mencit 1 74 mg/dL 251 mg/dL -
(K +)
Mencit 2 113 mg/dL 523 mg/dL -
6
(Metformin)
Mencit 3 78 mg/dL 497 mg/dL 417 /dL
(Glimepirid)
Keterangan :
1. K - : Disuntik dengan NaCl 0,2ml/20 gramBB mencit,
diberikan CMC-Na satu kali sehari selama 7 hari.
2. K + : Diinduksi alloksan, diberikan CMC-Na satu kali
sehari selama 7 hari.
3. Metformin : Diinduksi alloksan, diberikan Metformin satu kali sehari
selama 7 hari
4. Glimepirid : Diinduksi alloksan, diberikan Glimepirid sehari satu kali
selama 7 hari

VI. Pembahasan
VII. Kesimpulan
VIII. Daftar Pustaka

Adam, J.M.F. 2000. Klasifikasi dan kriteria diagnosis diabetes melitus yang baru.
Cermin Dunia Kedokteran No. 127.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Informatorium Obat Nasional


Indonesia. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pharmaceutical Care untuk


Penyakit Diabetes Mellitus. Dirktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik.
Jakarta.

Galacia, E. H., A. A. Contreras, L. A. Santamaria, R. R. Ramos, A. A. C.


Miranda, L. M. G. Vega, J. L. F. Saenz, F. J. A. Aguilar.2002. Studies on
hypoglycemic activity of mexican medicinal plants. Proc. West. Pharmacol.
Soc. 45: 118-124

Herman, F. 1993. Penggunaan obat hipoglikemik oral pada penderita diabetes


melitus. Pharos Bulletin No.1.

Jones, D.B. and Gill, G.V. 1998. Insulin-Dependent Diabetes Mellitus : An


Overview . In J. Pickup and G. Williams (Eds): Textbook of Diabetes.
Vol.1. second Edition. Blackwell Science. United Kingdom.
Katzung, G. Bertram. 2002. Farmakologi : Dasar dan Klinik. Buku 2. Penerbit
Salemba Medika. Jakarta.
Kee, J.L. dan Hayes E. R. 1996. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan.
Alih Bahasa : Dr. Peter Anugrah. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta .
Neal, M. J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Penerbit
Erlangga. Jakarta.

Reinauer, H., P. D. Home, A. S. Kanagasabapathy, C. C. Heuck. 2002.


Laboratory Diagnosis and Monitoring of Diabetes Mellitus. World Health
Organization. Geneva.

Soegondo, S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Farmakoterapi pada


pengendalian glikemia diabetes melitus tipe 2. Editor Aru W. Sudoyo et al.
Jilid ke-3. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Studiawan. H., M. H. Santosa. 2005. Uji aktivitas penurun kadar glukosa darah
ekstrak daun Eugenia polyantha pada mencit yang diinduksi aloksan. Media
Kedokteran Hewan 21(2):62-65

Sukandar, E. Y., J. I. Sigit, I. K. Adnyana, A. A. P. Setiadi, Kusnandar. 2008. ISO


Farmakoterapi. Penerbit PT. ISFI Penerbitan. Jakarta.

Sustrani, Lanny. Syamsir Alam. Iwan Hadibroto. 2006. Diabetes. Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama.

Tjokroprawiro, A. 1998. Hidup Sehat dan Bahagia Bersama Diabetes. Gramedia


Pustaka Utama. Jakarta .

Tunbridge, W. M. and Home, P.D. 1991. Diabetes and Endocrinology: In


Clinical Practice. Edward Arnold a Division of Hadder and Stoughton.
Great Britain, London.

Anda mungkin juga menyukai