Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keloid

Keloid merupakan suatu tumor jinak jaringan fibrosa padat yang berkembang

dari respon abnormal terhadap penyembuhan cedera kulit, dimana terjadi

pertumbuhan berlebihan kolagen yang meluas keluar dari batas luka atau

inflamasi.1,4 Keloid terjadi karena sintesis dan penumpukan kolagen yang berlebihan

dan tidak terkontrol pada kulit yang sebelumnya terjadi trauma dan

mengalami penyembuhan luka.1,4,5 Keloid berbeda dengan skar hipertrofik karena

keloid menyebar melewati garis batas luka awal, menginvasi kulit normal di

sekitarnya, dan cenderung rekuren setelah eksisi.6

2.1.1 Epidemiologi.

Data epidemiologi keloid masih terbatas, namun dari data tersebut

terlihat perbedaan di antara kelompok ras. Keloid lebih sering dijumpai pada ras

Afrika, Amerika Latin dan Asia. Secara umum risiko untuk terjadi keloid pada ras

dengan kulit lebih gelap 15 kali lebih tinggi dibanding ras kulit putih.6 Insidens

keloid pada kulit hitam dan Hispanik bervariasi dari 4,5-16%,3,5,6 dan pada ras

Kaukasian di Inggris dilaporkan <1%.3 Insidens meningkat pada pubertas dan

kehamilan. Sama halnya dengan skar hipertropik, keloid umumnya mengenai

kelompok umur 10 – 30 tahun dan tidak umum pada usia yang lebih kecil dan

orang usia tua.3-6 Terdapat dominasi wanita yang mungkin disebabkan oleh karena

5
6

wanita lebih perhatian secara kosmetika dan lebih sering menindik telinga.3,6,9.

Berdasarkan penelitian Putra & Jusuf tahun 2012, jumlah kunjungan pasien baru

keloid di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP H Adam Malik tahun 2009 sampai

dengan 2011 didominasi oleh wanita, dan terbanyak pada rentang usia 15 – 24

sebesar 41,57%.7

Sering kali ditemukan keloid berkaitan dengan riwayat keluarga yang

mempunyai keloid. Ditemukan insidens keloid yang lebih tinggi pada individu

dengan Human Leukocyte Antigens (HLA) B14, BW16, dan golongan darah

A.4,7,8 Beberapa publikasi telah mendokumentasikan hubungan antara golongan

darah dan penyakit kulit tertentu.11 Ramakrishnan et al melakukan penelitian pada

yang dilakukan pada tahun 1969 sampai 1970, dimana mengikutsertakan 486

pasien keloid. Seluruh pasien berasal dari ras yang sama dan bermukim di kota

Madras, India. Pada penelitian ini Ramakrishnan et al menemukan dominasi

golongan darah A pada pasien keloid dibandingkan dengan penduduk lokal kota

tersebut yang memiliki dominasi golongan darah O, dimana secara statistik

terdapat perbedaan yang bermakna.12

2.1.2 Etiopatogenesis

Etiologi keloid masih diperdebatkan, namun trauma memegang peranan

penting. Falco mengatakan bahwa keloid dapat timbul setelah trauma atau

setelah lesi kulit lainnya.2,3,6 Pada penelitian Putra dan Jusuf tahun 2012

mendapatkan terdapat 90% pasien yang berkunjung ke Poliklinik kulit dan

kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan dari tahun 2009 – 2011, mengalami
7

keloid didahului oleh riwayat trauma.7 Selain itu timbulnya keloid dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya faktor familial, lokasi lesi, usia, jenis

trauma dan hormonal.4,5

Pemahaman tentang penyembuhan luka normal sangat penting dalam

upaya memahami mekanisme pembentukan keloid. Secara klasik, penyembuhan

luka terbagi dalam tiga fase, yaitu: inflamasi, fibroblastik dan maturasi.5 Secara

umum, keloid timbul setelah cedera atau inflamasi kulit pada individu

yang beresiko. Keloid dapat terjadi dalam jangka waktu satu bulan sampai satu

tahun setelah trauma atau inflamasi. Trauma kulit pada retikuler dermis atau

lapisan kulit lebih dalam lagi cenderung berpotensi menjadi skar hipertrofik dan

keloid. Beberapa faktor pencetus keloid yang sering dilaporkan adalah akne,

folikulitis, varisela, vaksinasi, tindik telinga, trauma, luka bakar, luka robek dan

luka operasi.2,4,9 Luka kecil sekalipun, bahkan bintil bekas gigitan serangga dapat

menjadi keloid. Injeksi menggunakan jarum ukuran kecil, seperti injeksi anestesi

lokal, biasanya tidak menimbulkan keloid. Keloid dapat terjadi pada injeksi yang

memprovokasi inflamasi, seperti vaksinasi. Penelitian di Taiwan mendapatkan

bahwa 10% remaja mendapat keloid pada tempat bekas injeksi vaksin Bacil

Calmette Guerin (BCG).4,6

Setelah terjadi trauma/luka, pada lokasi luka terjadi degranulasi platelet,

aktivasi faktor pembekuan dan komplemen, mengakibatkan pembentukan

bekuan fibrin untuk hemostasis. Bekuan ini selanjutnya berperan sebagai rangka

untuk penyembuhan luka. Degranulasi platelet menyebabkan pelepasan dan

aktifasi sitokin poten termasuk TGF-β, epidermal growth factor (EGF), insulin
8

like growth factor-1 (IGF-1) dan platelet-derived growth factor (PDGF).

Growth factor berfungsi merekrut dan mengaktifkan sel netrofil, epitel, endotel,

makrofag, sel mast dan fibroblas.5, 6

Pembentukan jaringan granulasi dan maturasi skar membutuhkan

keseimbangan antara biosintesis kolagen dan degradasi matriks hingga dicapai

penyembuhan luka optimal. Makrofag, fibroblas dan aliran darah bergerak ke

tempat luka untuk mengembalikan integritas dermal yang rusak. Makrofag

merupakan sumber sitokin yang berfungsi untuk stimulasi fibroplasia dan

angiogenesis. Fibroblas berfungsi membangun komponen matriks ekstraseluler

baru, memulai sintesis kolagen dan menciptakan regangan tepi luka melalui

protein yang kontraktil seperti aktin dan desmin. Pembuluh darah menyediakan

oksigen dan nutrisi untuk mempertahankan pertumbuhan sel. Degradasi

matrik ekstraseluller dikoordinasikan melalui aksi kolagenase, proteoglikanase,

metalloproteinase dan protease.3

Seiring dengan proses diatas, faktor antifibrotik juga dilepaskan,

termasuk interferon-α dan interferon-β yang diproduksi oleh leukosit dan

fibroblas, sedangkan interferon-ɣ diproduksi oleh limfosit T. Interferon berfungsi

menghambat sintesis kolagen dan fibronektin oleh fibroblas. Interferon juga

menghambat diferensiasi fibroblas. Maturasi skar berakhir dengan dengan

regresi stimulasi sitokin dan stimuli angiogenik, menghasilkan skar yang

hiperemis dan contracted. Remodeling skar terjadi pada 6-12 bulan selanjutnya,

dengan skar yang terbentuk mendekati 70-80% tensile strength kulit normal.

Fase inflamasi yang memanjang mengakibatkan peningkatan aktifitas sitokin.3,20


9

Resiko pembentukan keloid meningkat seiring dengan aktifitas sitokin

yang berkepanjangan ini.5 Penelitian lain tentang patogenesis keloid

mendapatkan bahwa pada keloid terjadi down-regulation gen yang terkait

apoptosis. Selain itu pada biakan fibroblas keloid didapatkan produksi kolagen

dan matriks metalloproteinase lebih besar dibandingkan fibroblas dermal

normal.3

Fibroblas yang terdapat pada keloid memproduksi prokolagen tipe 1

secara berlebihan. Secara in vitro, fibroblas keloid juga mengekspresikan lebih

banyak vascular endothelial growth factor (VEGF), TGF-β1/β2, PDGF-α dan

mengalami penurunan kebutuhan faktor pertumbuhan . Ladin et al melaporkan

bahwa fibroblas keloid mengalami penurunan frekuensi apoptosis.6 Fibroblas

keloid menghasilkan kolagen dalam jumlah banyak. Selain itu fibroblas

keloid juga menghasilkan elastin, fibronektin, dan proteoglikan serta chondroitin

4 sulfat lebih banyak dibanding fibroblas normal. Fibroblas keloid menghasilkan

kolagen tipe I dan memiliki kapasitas untuk berproliferasi 20 kali lebih besar

dibandingkan dengan fibroblas normal. Pada keloid juga terjadi penurunan

degradasi kolagen, hal ini disebabkan chondroitin 4 sulfat yang meningkat

membuat serat kolagen sukar didegradasi, selain itu ditemukan penurunan enzim

kolagenase .3,6

Dalam peningkatan kadar faktor pertumbuhan dan sitokin, dimana TGF-β

memiliki tiga sub-tipe yaitu: tipe 1, 2 dan 3. Tipe 1 dan 2 menstimulasi fibroblas,

ditemukan meningkat pada skar hipertrofi dan keloid. Pada keloid, TGF-β terkait

dengan peningkatan sintesis kolagen fibronektin oleh fibroblas. Peningkatan


10

kadar TGF-β1 mempengaruhi matriks extraseluler dengan menstimulasi sintesis

kolagen dan mencegah penghancurannya. TGF-β2 dapat mengaktifkan fibroblas

pada keloid. Disamping itu IGF-1 juga meningkat pada keloid. Fungsi IGF-1

adalah meregulasi proliferasi, diferensiasi dan pertumbuhan sel.3

Selain itu, beberapa teori menyatakan bahwa keloid disebabkan oleh

reaksi imun spesifik. Immunoglobin (Ig) yang meningkat pada keloid adalah

IgA, IgG dan IgM. Pelepasan produk sel mast yang dimediasi oleh IgE juga

berperan pada pembentukan keloid. Histamin berhubungan dengan sintesis

kolagen karena menghambat enzim lysil oksidase kolagen yang berperan

terhadap cross-linking kolagen, sehingga mengakibatkan peningkatan jumlah

kolagen pada keloid. Aktifitas metabolik sel mast juga berperan dan mendasari

terjadinya rasa gatal yang sering menyertai kondisi ini.5

Kadar melanin juga mempunyai pengaruh terhadap reaksi kolagen-

kolagenase. Melanin adalah suatu produk dari organel melanosum dalam

melanosit yang bersifat asam. Kepadatan kolagen akan sesuai dengan parut

normal bila sintesis dan degradasi kolagen berada dalam keseimbangan. Peranan

pH kulit sangat berpengaruh terhadap aktifitas enzim. Terganggunya enzim

degradasi menyebabkan produksi kolagen hasil sintesis menjadi tidak terkontrol

yang kemudian secara akumulasi akan terbentuk tumpukan kolagen yang padat

dan bermanifestasi sebagai suatu kelainan keloid. Enzim yang berperan sebagai

degradator adalah kolagenase, dapat bekerja maksimal pada pH kulit 7,5.14

Perdanakusuma dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa peningkatan kadar

melanin akan menurunkan pH kulit menjadi lebih asam. Penurunan pH kulit


11

akan menurunkan kemampuan enzim kolagenase mendegradasi kolagen yang

berakibat terjadi akumulasi kolagen. Penelitian ini menjelaskan juga kejadian

keloid pada orang kulit berwarna disebabkan karena keberadaan melanin yang

lebih tinggi akan mengganggu keseimbangan sintesis dan degradasi kolagen

pada penyembuhan luka.6,14

Regulasi apoptosis yang abnormal juga merupakan suatu hipotesis

bagaimana keloid dapat berkembang. Apoptosis, atau sel mati terprogram,

merupakan komponen penting penyembuhan luka. Seperti produksi matriks

ekstraselular dan degradasi, ada keseimbangan proliferasi sel dan apoptosis. Telah

dicatat bahwa pengaturan apoptosis dan proliferasi pada fibroblas berubah pada

keloids.15 Fibroblas keloid telah terbukti dalam beberapa studi memiliki tingkat

apoptosis yang lebih rendah dibandingkan dengan fibroblas normal. Messadi et al

dan Luo et al, dalam penelitian menunjukkan penurunan apoptosis terkait gen

dalam jaringan keloid manusia dan penurunan aktivitas apoptosis pada fibroblas

yang berasal dari keloid dibandingkan skar normal. Penelitian tersebut

berhipotesis bahwa fibroblas keloid gagal untuk mengalami kematian sel

terprogram secara fisiologis dan, dengan demikian, terus memproduksi dan

mensekresikan jaringan ikat melebihi periode diharapkan dalam pembentukan

skar normal, mengakibatkan pertumbuhan progresif dari keloid.10,16

Patogenesis keloid juga didasarkan pada produksi asam hyaluronat

meningkat pada fibroblas keloid. Dalam kondisi fibrosis jaringan yang

berlebihan, matriks ekstraseluler yang berlimpah, terdiri dari kolagen dan

glikosaminoglikans (GAGs) di atas level normal termasuk asam hialuronat.


12

Asam hialuronat merupakan GAGs yang terikat pada reseptor di permukaan

fibroblas dan memiliki peranan penting dalam mempertahankan sitokin tetap

terlokalisir dalam sel. Salah satu sitokin yang dimaksud adalah TGF-β1. TGF-β1

diketahui menstimulasi produksi kolagen, dan diperkirakan bahwa asam

hyaluronat berperan dalam menjaga TGF β1 sekitar lingkungan mikro sel.1

2.1.3 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis keloid berupa plak atau nodul kenyal, berwarna merah

atau merah muda (sering disertai telangiektasis), biasanya gatal dan nyeri, yang

tidak dapat pulih secara spontan dan ukurannya makin lebar seiring dengan

waktu.2,4 Lee et al melaporkan bahwa dari 28 pasien keloid; 86% mengeluh gatal

dan 46% mengeluh nyeri, gatal terutama pada tepi lesi sedangkan nyeri pada

bagian tengah lesi, dimana nyeri alodinia tercatat pada 43% pasien.16 Keloid lebih

sering muncul pada daerah kulit tebal, banyak bergerak dan teregang seperti pada

dada, bahu, punggung atas, leher belakang.14

Membedakan antara skar hipertropik dengan keloid kadang-kadang sulit

pada beberapa bulan setelah luka. Untuk itu perlu pengenalan ciri dari kedua

jenis parut tersebut pada pemantauan secara klinis menyangkut waktu timbulnya,

maturasi, bentuk dan letak parut serta respons terhadap terapi.10


13

Tabel. 2.1 Perbedaan Skar hipertropik dan keloid.

Skar hipertropik Keloid

Timbul segera/ dini setelah pembedahan (dalam


beberapa minggu atau beberapa bulan) Timbul lebih lambat bisa sampai setahun

Ada maturasi, cenderung regresi dalam Tidak ada maturasi, cenderung membesar/
perjalanan waktu progress dengan perjalanan waktu

Terbatas pada daerah luka Tumbuh melewati batas luka

Cedera minimal bisa menimbulkan parut


Ukuran parut sesuai dengan besarnya cedera yang besar

Pembedahan sering membuat menjadi


Ada perbaikan dengan pembedahan lebih buruk

Tidak ada hubungan dengan ras Sering mengenai ras kulit hitam

Dikutip dari kepustakaan no. 13

Berikut ini adalah gambaran suatu skar hipertropik yang disebabkan cedera

pada tangan dan keloid pada daerah presternal.

Gambar 2.1 Skar hipertropik setelah Gambar 2.2 Keloid pada presternal.
cedera. Dikutip dari kepustakaan no.3 Dikutip dari kepustakaan no.3
14

2.1.4 Histopatologi

Karakteristik histologis keloid adalah peningkatan kolagen dan

glikosaminoglikan. Terdapat banyak serabut kolagen berhyalin tebal yang

tersusun secara tidak teratur, disebut sebagai keloidal collagen.2 Susunan

kolagen yang tidak beraturan ini berbeda dari serabut kolagen normal yang

tersusun secara paralel terhadap epidermis. Selain itu pada keloid terdapat

beberapa gambaran histologis, diantaranya: tidak adanya pembuluh darah yang

tersusun vertikal, adanya gambaran seperti ujung lidah di bawah epidermis dan

papiler dermis yang tampak normal, gambaran horizontal fibrous

band dan fascia like band di dermis retikuler bagian atas.19

2.1.5 Pengobatan

Penanganan keloid merupakan tantangan bagi dermatolog. Berdasarkan

pemahaman tentang patogenesis keloid yang ada saat ini, terdapat tiga

pendekatan terapi yang dapat digunakan: manipulasi terhadap aspek mekanis

penyembuhan luka, koreksi terhadap ketidakseimbangan antara sintesis dan

degradasi kolagen, dan perubahan respon imun/inflamasi.5 Penanganan keloid

merupakan masalah yang sulit, karena rendahnya respon penyembuhan terhadap

berbagai terapi dan cenderung kambuh. Keloid yang hanya diterapi dengan

pembedahan memiliki angka kekambuhan sampai 80% .6


15

2.1.5.1 Pembedahan (Bedah Eksisi)

Bedah eksisi merupakan cara penanganan keloid yang pertama kali

dikenal. Secara umum pembedahan diperlukan sebagai terapi lini kedua

untuk lesi yang tidak berespon terhadap terapi lain.5,14 Jika kulit sekitar

eksisi tidak dalam kondisi tegangan yang berlebihan, keloid berukuran

kecil dapat dieksisi dan luka ditutup secara primer. Namun jika

penutupan primer tidak mungkin dilakukan dan memerlukan graft, maka

dilakukan eksisi keloid dengan meninggalkan daerah berbentuk elips yang

akan ditanamkan graft kulit. Full thickness graft lebih baik dibanding split

thickness graft, karena memungkinkan penutupan luka lebih baik dan

menyediakan struktur mikrovaskuler yang cukup untuk meyakinkan terjadi

anastomosis dengan struktur mikrovaskuler host sehingga mengurangi

angiogenesis dan proliferasi fibroblas.5 Bedah eksisi pada kebanyakan

kasus keloid bukanlah tindakan kuratif. Rekurensi setelah tindakan berkisar

antara 45% sampai 100%. Karena rekurensi yang tinggi ini, bedah eksisi

saja tanpa terapi tambahan bukanlah terapi terbaik. Eksisi sering

menyebabkan skar yang lebih panjang dari keloid asalnya dan bila kambuh

dapat terjadi keloid yang lebih besar lagi.5,8 Injeksi kortikosteroid intralesi

untuk menurunkan angka rekurensi dapat dilakukan intraoperatif atau pasca

eksisi. Umumnya digunakan triamsinolon asetonid intralesi, dimulai dua

minggu setelah eksisi.5


16

2.1.5.2 Non Pembedahan

1. Radiasi.

Mekanisme terapi radiasi dalam mencegah keloid masih sangat

kurang dimengerti. Radiasi diduga mengontrol sintesis kolagen dengan

cara mengeliminasi fibroblas abnormal dan meningkatkan fibroblas

normal yang telah ada. Radioterapi juga dihubungkan

dengan penghambatan pembentukan neovascular buds dan proliferating

young fibroblasts sehingga menurunkan produksi kolagen pada fase awal

penyembuhan luka.21 Analisis in vitro terapi radiasi terhadap fibroblas

keloid menunjukkan bahwa terjadi peningkatan apoptosis sel tersebut

akibat radiasi. Kombinasi pembedahan dengan radiasi pascaoperasi

merupakan metoda yang lebih efektif untuk mengatasi keloid

dibandingkan dengan terapi radiasi saja. Tingkat keberhasilan kombinasi

ini bervariasi antara 67 sampai 99%,10 dengan angka rekurensi turun

sampai dibawah 20%.6,10 Radiasi biasanya dimulai segera setelah

pembedahan dengan dosis total tidak lebih dari 20 Gy selama beberapa

kali pemberian.9 Kerugian utama dari terapi radiasi selain

hiperpigmentasi, adalah resiko keganasan yang dinduksi radiasi,

meskipun hanya sedikit kasus yang dilaporkan, dan suatu penelitian

cohort besar dengan follow-up secara ektensif menyatakan tidak ada bukti

yang menyokong mengenai resiko keganasan ini. Walaupun demikian,

terapi radiasi dikontraindikasikan bagi anak-anak, terutama pada area


17

yang tinggi potensinya untuk terjadinya keganasan, yakni payudara dan

tiroid.10

2. Laser

Mekanisme yang mendasari efek terapi laser pada keloid, masih

belum jelas sepenuhnya. Nekrosis koagulasi pembuluh darah akibat

efek fototermolisis selektif dan efek panas yang dihasilkan oleh energi

laser menyebabkan penghancuran kolagen, perbaikan susunan serat

kolagen, sintesis kolagen baru dan pelepasan histamin.

Nekrosis pembuluh darah juga menyebabkan penurunan aliran darah

kapiler di papila dermis. Kolagen yang baru terbentuk, bukanlah keloidal

collagen melainkan kolagen normal.22 Laser karbondioksida (CO)

merupakan salah satu jenis laser yang pertama kali digunakan untuk

terapi keloid. Keuntungan laser adalah bersifat non traumatik dan

memiliki efek anti nflamasi. Namun selanjutnya didapat bahwa eksisi

keloid menggunakan continous wave CO2 laser yang dilanjutkan dengan

penyembuhan luka sekunder, gagal menekan pertumbuhan dan mencegah

rekurensi keloid. Saat ini laser CO2 digunakan untuk debulking keloid

berukuran besar, sebelum terapi lain dimulai.5 Laser argon merupakan

modalitas laser lain, namun saat ini jarang digunakan. Mekanisme kerja

laser argon masih diperdebatkan. Ada teori yang menyatakan efektifitas

laser argon akibat koagulasi kapiler yang menimbulkan anoksia lokalisata

dan pelepasan asam laktat sehingga pH menurun mengakibatkan


18

penurunan alpha-2 macroglobulin yang mengakibatkan lisis kolagen.5,21

Abergel et al menemukan efek neodymium:yttrium-alumunium-garnet

(Nd:YAG) 1064 nm continous wave laser terhadap metabolisme kolagen.

Efeknya adalah inhibisi selektif produksi kolagen tanpa mempengaruhi

viabilitas fibroblas atau replikasi DNA.5

3. Cryotherapy

Cryotherapy menggunakan refrigerant , sebagai terapi tunggal atau

dikombinasi dengan injeksi KIL telah lama digunakan sebagai terapi

keloid. Metoda aplikasi cryotherapy adalah dengan cara ditempelkan,

disemprotkan, dan disuntikkan intralesi. Dalam sebuah penelitian

randomized clinical trial , Layton et al mendapatkan bahwa lesi vaskuler

dini berespon lebih baik secara signifikan dibanding lesi yang lebih besar,

sehingga disimpulkan cara ini efektif untuk keloid berukuran kecil.5,9

Rusciani et al menemukan bahwa kerusakan sel dan mikrovaskuler yang

diakibatkan oleh cryotherapy, secara langsung menyebabkan stasis dan

pembentukan trombus sehingga terjadi nekrosis serta perlunakan dan

pendataran keloid. Secara in vitro, cryotherapy mampu mengubah sintesis

kolagen dan differensiasi kolagen keloid menjadi normal. Kelemahan

cryotherapy adalah nyeri yang ditimbulkan cukup berat dan waktu

penyembuhan yang lama, sehingga pasien sering tidak datang kembali.6,21


19

4. Terapi Tekanan

Penggunaan tekanan mekanis untuk mengobati keloid pertama kali

dilaporkan pada tahun 1835. Penggunaan tekanan dalam pencegahan dan

pengobatan keloid setelah luka bakar menjadi umum pada akhir tahun

1960. Meskipun tekanan telah dilaporkan dalam beberapa studi menjadi

terapi efektif baik dalam pengobatan maupun pencegahan keloid pada

luka bakar ataupun pasca pembedahan, tidak ada penelitian yang mampu

sepenuhnya menjelaskan mekanisme tekanan ini. Diperkirakan hal ini

meliputi penurunan aliran darah menurun yang mengakibatkan penurunan

alpha2-macroglobulin dan selanjutnya meningkat pemecahan kolagen

yang dimediasi enzim kolagenase, yang normalnya dihambat oleh

alpha2-macroglobulin; menurunkan tingkat chondroitin 4-sulfat, yang

selanjutnya meningkatkan degradasi kolagen; menurunan hidrasi skar

sehingga stabilisasi sel mast dan selanjutnya terjadi penurunan

neovaskularisasi dan produksi matriks ekstraselular; hipoksia berlebihan

mengakibatkan degenerasi fibroblast dan degradasi kolagen.5 Bila

diterapkan dengan benar, tekanan mungkin bermanfaat. Tekanan yang

diberikan harus melebihi tekanan inheren kapiler 24 mm Hg dan

pengobatan harus akan dipertahankan siang dan malam selama 6 sampai

12 bulan. Perharinya, penghentian tekanan tidak boleh melebihi 30 menit.

Tidak ada komplikasi fisiologis yang tercatat karena tekanan ini.5,10


20

5. Injeksi Intralesional

a. Kortikosteroid

Injeksi KIL merupakan metoda penanganan keloid

yang paling banyak dilakukan karena mudah dikerjakan, dapat

diterima dengan baik dan efektif mengurangi gejala. Mekanisme

kerja yang mungkin didapat dari KIL ini adalah inhibisi nictric

oxide synthase (NOS), inhibisi pertumbuhan fibroblas keloid,

degenerasi fibroblas, dan downregulation dari ekspresi gen

kolagen pada keloid.20 Triamsinolon asetonida dengan konsentrasi

10-40 mg/ml, merupakan jenis steroid yang sering digunakan.14,,17,18

Injeksi KIL menyebabkan keloid jadi mendatar, lebih lunak dan

meringankan gejala nyeri dan gatal. Namun injeksi KIL jarang

sekali menghasilkan perbaikan komplit dan bertahan lama.20

Komplikasi yang dapat terjadi akibat KIL adalah

telangiektasis, atrofi kulit dan hipo/hiperpigmentasi.14,18 Selain itu

tindakan injeksi KIL sendiri merupakan tindakan yang cukup

menyakitkan bagi pasien. Untuk mengurangi nyeri saat injeksi

KIL, sebelum injeksi digunakan salap anestetik eutectic mixture of

local anesthetics (EMLA), dapat juga dengan cara diencerkan

dengan lidokain, atau anestesi dengan cara infiltrasi menggunakan

lidokain. Cara yang terakhir disebutkan lebih efektif dalam

mengurangi nyeri saat injeksi KIL. Karena nyeri saat injeksi dan

kekhawatiran terhadap penggunaan kortikosteroid dosis tinggi


21

secara berulang maka injeksi KIL sulit digunakan untuk keloid

yang berukuran besar atau berjumlah banyak.8,20

b. Interferon.

Interferon (IFN) merupakan sitokin yang memiliki efek

antiproliferatif, antifibrotik,dan antiviral terhadap beberapa

beberapa tipe sel. Untuk keloid, IFN lebih sering digunakan

sebagai terapi ajuvan. IFN berfungsi menurunkan produksi

kolagen dan glikosaminoglikan oleh fibroblas pembentuk skar,

yang berlebihan. IFN juga meningkatkan aktifitas kolagenase.

Penelitian menunjukkan bahwa IFN-ɣ meningkatkan apoptosis

dan menghambat diferensiasi miofibroblas, sedangkan IFN-α

secara in vitro menghambat kontraksi luka. Efek samping IFN

adalah flu-like symptoms.5, 10, 21 Interferon dapat digunakan sebagai

terapi tunggal atau dikombinasi dengan terapi lain. Metoda yang

telah dipublikasikan adalah injeksi intralesi dan injeksi ke lokasi

eksisi keloid menggunakan IFN-a2b dan IFN-g. Interval

penyuntikan antara 1-2 minggu, dengan hasil terapi yang

bervariasi.23
22

c. Bleomisin

Bleomisin adalah metabolit sekunder dari strain streptomyces

yang tumbuh ditanah. Bleomisin memiliki efek antitumor,

antiviral dan antibakteri. Cara kerjanya dengan berikatan ke DNA,

baik rantai ganda maupun tunggal, menyebabkan pemutusan

rantai.5 Espana et al menggunakan bleomisin dengan metoda

multiple puncture, dosis maksimal yang digunakan sebesar 2

ml/cm2, dengan konsentrasi 1,5 IU/ml dan bleomisin yang

digunakan setiap sesi tidak lebih dari 6 ml. Semua kasus yang

diterapi mengalami perbaikan klinis signifikan. Terapi bleomisin

diberikan dalam 4 sesi yang berjarak 1 bulan. Peneliti lain dengan

menggunakan teknik yang hampir sama juga mendapatkan hasil

yang baik.6 Mekanisme pasti penghambatan bleomisin terhadap

keloid masih belum jelas sepenuhnya. Efek samping bleomisin IL

adalah hiperpigmentasi dan atrofi dermis. Efek samping sistemik

sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi pada pemberian

intralesi karena konsentrasi dan dosis yang digunakan tidak cukup

besar untuk menimbulkan efek sistemik.23

d. Mitomycin C.

Mitomycin C (MC) merupakan zat antineoplastik yang

meghambat sintesis DNA dengan membentuk ikatan silang DNA

double-helix sehingga sel neoplastik tidak dapat berproliferasi.


23

MC dapat digunakan untuk mengurangi proliferasi fibroblas

sebagai usaha mencegah rekurensi glaukoma pasca operasi.

Efek samping yang dapat terjadi adalah hiperpigmentasi dan atrofi

kulit. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan penanganan

keloid menggunakan MC merupakan salah satu metoda yang

menjanjikan,terutama sebagai terapi ajuvan pasca eksisi.23

e. 5-Fluorourasil

5-Fluorourasil (5FU) merupakan analog pirimidin yang

dikonversi secara intraselular menjadi suatu substrat yang

menyebabkan inhibisi sintesis DNA dengan cara kompetitif

terhadap penggabungan urasil.6 Penelitian terbaru mendapatkan

bahwa 5FU memiliki efikasi yang baik untuk menangani keloid.

Kemampuan 5FU untuk mengganggu sinyal TGF-β merupakan

dasar penggunaan 5FU untuk menghambat pembentukan keloid.4,6

Teknik yang digunakan dalam penelitian efikasi 5FU terhadap

keloid adalah dengan injeksi IL. Efek samping yang sering terjadi

adalah nyeri di lokasi injeksi, ulserasi dan rasa terbakar.6

f. Toksin Botulinum A.

Toksin Botulinum A (TBA) melumpuhkan otot-otot lokal,

mengurangi ketegangan kulit yang disebabkan oleh tarikan otot,

dan, karenanya, menurunkan inflamasi mikrotrauma dan lainnya.


24

Reduksi gaya tarik selama pembentukan sikatrik dan regulasi

efektif dari keseimbangan antara proliferasi fibroblas dan

apoptosis selular mungkin merupakan target terapi baru untuk

mengobati keloid.24 Zhibo et al melakukan studi prospektif

terkontrol untuk mengevaluasi efek dari TBA dalam pengobatan

keloid. TBA intralesi disuntikkan ke 12 keloid pada konsentrasi 35

unit / mL, dengan dosis total bervariasi 70-140 unit per sesi.

Perlakuan diberikan pada interval tiga bulan, dan paling lama

sembilan bulan. Pada satu tahun tindak lanjut, hasil terapi yang

sangat baik pada 3 pasien, baik pada 4 pasien, dan cukup pada 4

pasien. Tak satu pun dari pasien menunjukkan kegagalan terapi

atau tanda-tanda kekambuhan. Xiao et al meneliti 19 pasien

dengan skar hipertrofik yang menerima suntikan TBA intralesi

(2,5 units/cm3 lesi pada interval 1 bulan) selama 3 bulan. Pada

enam bulan-tindak lanjut, semua pasien menunjukkan perbaikan

pada skar hipertropik dan kepuasan terapi sangat tinggi. Eritema,

pruritus, dan skor kelenturan setelah suntikan TBA secara

signifikan menurun dibandingkan sebelum suntikan. Diperlukan

studi acak terkontrol yang lebih besar dalam menguji efektivitas

TBA terhadap pengobatan keloid.24


25

g. Transforming Growth Factor Β (TGF-β)

TGF-β adalah sitokin yang diproduksi dan dirilis oleh

trombosit, fibroblas, endotel, epitel, dan inflamasi sel, seperti

makrofag dan limfosit, setelah terjadi luka. TGF-β berpartisipasi

dalam proses regulasi proliferasi sel yang berperan penting dalam

perbaikan jaringan. Bukti menunjukkan bahwa TGF-β terutama

tipe 1 dan 2 terlibat dalam mempercepat sintesis kolagen dan

jaringan parut, sedangkan tipe 3 terlibat dalam pencegahan parut.

Avotermin, TGF-β3 manusia rekombinan, telah dipelajari dalam

beberapa uji klinis acak terkontrol tahap 2 menunjukkan bahwa

suntikan intradermal diberikan pada atau segera setelah operasi itu

aman dan menghasilkan peningkatan signifikan secara statistik

dalam penampilan skar. Inhibisi TGF-β1 dan 2 juga telah

dipelajari secara in vitro dan pada hewan percobaan. Injeksi

antisense TGF-β1 oligonukleotida pascaoperasi, yang

berhubungan dengan penurunan ekspresi gen TGF-β1, telah

terbukti efektif dan menghasilkan inhibisi yang bertahan lama

terhadap skar yang dimediasi TGF-β. Penelitian lebih lanjut

diperlukan untuk menjelaskan peran mereka dalam pengobatan

keloid.24
26

h. Verapamil

Verapamil, suatu blocker calcium channel atau calcium ion

antagonist, memblok sintesis kolagen, glikosaminoglikan, dan

fibronektin. Dalam satu studi, pasien diobati dengan injeksi

intralesi verapamil, 2,5 mg / mL, setelah eksisi selama periode 2

bulan, 16 dari 22 pasien mengalami perbaikan dengan modalitas

terapi ini.27 Penelitian yang lain, verapamil intralesi (2,5ml/ml)

yang dikombinasi dengan silicone sheeting menurunkan angka

kekambuhan keloid pasca pembedahan sebesar 90% dalam 18

bulan (54% pasien tanpa keloid dan 36% berhasil sebagian),

dibandingkan hanya 18% yang menunjukkan perbaikan dengan

penggunaan silicon sheeting saja. Tidak ada pasien yang tanpa

keloid.8

6. Terapi topikal

a. Silicone gel sheeting.

Penggunaan silicone gel sheet merupakan suatu kemajuan

baru dalam penatalaksanaan keloid dan jaringan skar hipertrofik.

Idealnya, silicone sheet diaplikasikan pada stadium awal ketika

jaringan skar mulai menunjukkan tanda ke arah berkembangnya

jaringan skar hipertrofik (kemerahan, membesar). Pasien berisiko

tinggi untuk menderita jaringan skar abnormal, seperti pasien

berumur di bawah 40 tahun, riwayat skar hipertrofik atau keloid


27

sebelumnya, atau kulit gelap dapat dianjurkan untuk menggunakan

silicone sheet segera setelah luka telah menyembuh.6 Pembalutan

dengan gel silikon efektif untuk keloid bila digunakan setelah

bedah eksisi, hal ini bertujuan untuk mencegah kambuhnya keloid,

dan dilaporkan dapat melembutkan skar dan menurunkan ukuran

skar, mengurangi eritem dan gejala gatal dan nyeri. Silicone gel

sheeting sebaiknya diaplikasikan segera setelah eksisi dan

dilanjutkan selama 12 jam per hari untuk 1 bulan.4-6

b. Imiquimod

Imiquimod adalah immune response modifier, dengan

efek upregulasi sitokin proinflamasi, termasuk TNF-α jika

diberikan secara topikal. Karena TNF- α menurunkan produksi

kolagen oleh fibroblas maka Berman dan Villa meneliti efek terapi

imiquimod 5% setelah eksisi keloid. Krim imiquimod 5%

dioleskan di garis luka dan kulit sekitarnya tiap malam selama 8

pekan. Hasil yang didapat oleh Berman adalah tidak didapat

rekurensi selama kurun waktu 24 pekan, dengan efek samping

berupa gatal, nyeri, rasa terbakar dan lepuh. Kekurangan

penelitian ini adalah masa pengamatan yang kurang lama, sebab

keloid dapat timbul kembali sejak 12 bulan setelah terapi.25


28

c. Tamoksifen

Tamoksifen adalah agonis estrogen parsial dengan efek

menyerupai estrogen, yang bersaing dengan estradiol untuk

reseptor estrogen. Reseptor kompleks obat ini dapat ditransfer ke

dalam inti sel untuk mencegah aktivasi gen kromosom, sehingga

menghambat pertumbuhan sel. Kultur in vitro menunjukkan

bahwa tamoksifen efektif dapat menghambat proliferasi fibroblas

kulit dan sintesis kolagen. Selain itu, fibroblas dalam skar

hipertropik yang disebabkan oleh luka bakar lebih sensitif

terhadap efek penghambatan tamoksifen.26

d. Kalsineurin Inhibitor (Takrolimus)

Takrolimus adalah immunosupresan poten yang mengikat ke

reseptor FKBP12. Dia menghambat kalsineurin dan menekan

produksi IL-2. Dalam sebuah studi terbuka , 11 pasien diobati

dengan tacrolimus 0,1% salep dua kali sehari selama 12 minggu.

Penurunan indurasi, nyeri, eritema, dan pruritus terlihat pada

kebanyakan pasien. Seorang pasien dermatitis atopik yang diobati

dengan takrolimus topikal secara kebetulan terlihat mengalami

resolusi lengkap keloid. Diperlukan uji klinis selanjutnya untuk

menilai efektivitas takrolimus topikal terhadap pengobatan

keloid.15
29

e. Retinoid

Asam retinoat dan derivate vitamin A lainnya menghasilkan

suatu penurunan proliferasi fibroblas manusia dengan cara

mengganggu sintesis DNA in vitro. Retinoid juga menunjukkan

efek penghambatan pada ekspresi gen kolagen tipe I yang

diinduksi TGF-β1 dalam fibroblas manusia. Penggunaan

isotretinoin dan triamsinolon asetonida (TA) dievaluasi pada

pertumbuhan fibroblas kulit manusia secara in vitro dan

menunjukkan hambatan pertumbuhan sel secara signifikan dengan

efek gabungan lebih besar daripada pemberian obat sendiri-

sendiri. Dalam studi in vivo memperlihatkan penurunan ukuran

skar setelah pengobatan dengan tretinoin topikal 0,05%. Aberge et

al melaporkan bahwa meskipun asam retinoat dapat secara

signifikan mengurangi produksi prekolagen fibroblas pada kultur

keloid, ini juga bisa menurunkan produksi kolagen dan dengan

demikian membantu mengurangi degradasi kolagen. Jadi

diperkirakan bahwa asam retinoat untuk pengobatan skar memiliki

nilai yang terbatas.26

f. Ekstrak tumbuhan

Flavonoid (quercetin dan kaempferol) yang berasal dari

tumbuhan telah dikenal baik sebagai krim topikal untuk skar,

seperti Mederma® gel (Merz Farmasi, Greensboro, USA) dan


30

Contractubex® gel (Merz Pharma, Frankfurt, Jerman). Sejauh ini,

studi-studi efikasi yang menguji manfaat akhir dari krim topikal

skar yang mengandung flavonoid, memberikan data yang

kontroversial. Namun menariknya, quercetin, suatu bioflavonoid,

baru-baru ini terbukti memiliki efek penghambatan proliferasi

fibroblas, produksi kolagen dan kontraksi fibroblas. Sebuah studi

oleh Phan et al mengemukakan bahwa efek penghambatan ini

mungkin dimediasi melalui penghambatan SMAD 2,3,4 yang

diekspresikan oleh quercetin.15

Produk ekstrak tumbuhan lain adalah yang mengandung

Centella asiatica mungkin dapat meningkatkan kekuatan luka jika

digunakan 6 – 8 minggu awal.8

Ekstrak teh hijau (GTE) dan komponen polifenol utamanya

yang dikenal sebagai catechin telah lama terbukti memiliki

berbagai aktivitas farmakologi, dan konsumsi teh telah dikaitkan

dengan banyak manfaat kesehatan termasuk pencegahan kanker

dan penyakit jantung. Studi terbaru menunjukkan bahwa beberapa

komponen teh hijau dapat menghambat aktivasi sel mast dan

mempengaruhi metabolisme dan remodeling matriks ekstraselular.

GTE dan epigallocatechin-3-gallate (EGCG), salah satu catechin

utama teh hijau, memiliki efek penghambatan yang kuat terhadap

produksi kolagen tipe I yang distimulasi sel mast dalam fibroblas

keloid terutama dengan mengganggu jalur sinyal PI-3K/Akt.15


31

Pada penelitian Putra tahun 2012 mendapatkan bahwa ekstrak

kelopak bunga Rosela (Hibiscus Sabdariffa L) mampu

menghambat proliferasi sel fibroblast keloid manusia melalui jalur

peningkatan apoptosis dan penurunan TGF β1, dimana semakin

tinggi konsentrasi ekstrak kelopak bunga rosella yang diberikan,

maka semakin meningkat apoptosis dan menurunkan TGF β1.27

7. Obat – Obat Oral

a. Colchicine

Colchicine adalah agen antimitosis digunakan dalam

pengobatan kanker, yang menghambat proliferasi fibroblast.

Selain itu, colchicine juga dapat menonaktifkan tubulin di

fibroblas dan memblokir sekresi protein kolagen. Pada saat yang

sama, colchicine meningkatkan aktivitas kolagenase,

mempercepat degradasi kolagen, dan mengurangi produksi

kolagen. Ini merupakan dasar dari penggunaan colchicine dalam

pengobatan penyakit fibrosis. Peacock mempelajari efek

colchicine pada 10 pasien dengan skar hipertropik dan dilaporkan

terdapat efek menguntungkan. Joseph et al menemukan bahwa

gabungan pengobatan dengan colchicine dan penicillamine bisa

menghambat kontraksi dari jaringan granulasi luka dan

pembentukan skar. Namun, dosis efektif colchicine sangat dekat


32

dengan dosis toksik. Oleh karena itu, penggunaan tunggal sangat

dibatasi dan harus dipantau dengan hati-hati.26

b. Antihistamin

Histamin H1 blocker adalah agen anti-inflamasi dan

antiproliferatif yang telah terbukti dapat menghambat deposisi

kolagen dan sintesis kolagen dalam fibroblas keloid, melalui

supresi pelepasan TGF-β1 dari fibroblas. Pada studi in-vitro, 60

persen kultur fibroblas dari kulit manusia normal dan keloid

menunjukkan peningkatan pertumbuhan bila diberi histamin

dengan dosis yang sesuai. Penurunan tingkat proliferasi (63%),

dalam sintesis DNA (63%), dan dalam tingkat sintesis kolagen

(73%) dihasilkan setelah kultur fibroblas dari skar abnormal yang

dipapar dengan pheniramine maleate. Adanya sensasi terbakar,

sakit, dan pruritus yang terkait dengan keloid juga dilaporkan.26

8. Agen terapi di masa depan

Beberapa kemungkinan pengobatan masih dalam tahap percobaan

termasuk hidrokuinon, G6PD, dan oksigen hiperbarik.28

a. Hidrokuinon atau agen pemutih lainnya

Agen pemutihan tampaknya menjadi terapi yang menjanjikan.

Alasannya adalah bahwa pasien albino tidak mengalami keloid

dan vitiligo sering menyebabkan keloid untuk regresi.14


33

Hidrokuinon bekerja baik jika digunakan dalam 5 bulan pertama

pada pembentukan keloid. Jika eksisi dilakukan terlebih dahulu,

aplikasikan di daerah eksisi, ditambah 1 - 2 cm dari margin,

pastikan untuk mencakup semua daerah jahitan.28

b. Glukosa-6-fosfat defisiensi dehidrogenase (G6PD)

Pasien Afrika-Amerika memiliki insiden lebih besar dari

G6PD dibandingkan pasien Kaukasia dan dalam pengalaman

peneliti, pasien dengan keloid memiliki insiden lebih besar

daripada mereka yang tidak. Dengan demikian, agen untuk

menurunkan atau memblokir G6PD mungkin berhasil dalam

mengobati keloid. 28

c. Oksigen hiperbarik

Karena tekanan oksigen rendah (hipoksia) merangsang

fibroblast, tekanan oksigen tinggi dapat melakukan hal yang

sebaliknya. Studi sedang dilakukan untuk membandingkan

bagaimana fibroblas menanggapi tekanan oksigen yang rendah

dan oksigen yang tinggi.28

2. 2. 5-Fluorourasil

5-Fluorourasil disebut juga fluorourasil, 5FU, 5-fluoro-2-4 (1H,3H)- pirimidin

dengan berat molekul 130,1.29 5FU merupakan analog pirimidin yang banyak
34

digunakan dalam pengobatan kanker dan glaukoma, yang bekerja dengan cara

berinteraksi dengan pertumbuhan sel-sel kanker dan memperlambat pertumbuhan dan

penyebarannya dalam tubuh.4,29-31 Sebenarnya, penggunaan 5FU-IL dalam

pengobatan keloid dan skar hipertrofik tidak baru. Teknik ini telah dipraktekkan di

seluruh dunia untuk selama beberapa tahun.29-32

Gambar 2.3 :. Rumus bangun 5-Fluorourasil.


Dikutip dari kepustakaan no.30

Mekanisme kerja 5FU pada keloid dengan menginhibisi proliferasi fibroblas

yang ditunjukkan secara in vitro dan in vivo. Selain itu 5FU diperkirakan mempunyai

efek inhibitor ekspresi gen kolagen tipe 1 pada fibroblas manusia melalui

penghambatan sinyal TGF-β. Ini akan mengganggu baik sintesis DNA dan RNA pada

beberapa tingkatan, termasuk inhibisi thymidylate sinthetase dan produksi metabolit


4,6,33,34
toksik. Sangat banyak penelitian yang melaporkan keberhasilan penanganan

keloid dengan 5FU.5,9 Huang et al dalam penelitian terhadap kultur fibroblast yang

diberikan 5FU dosis rendah menyatakan bahwa 5FU secara signifikan menghambat

proliferasi sel fibroblast keloid, menginduksi apoptosis sel dalam berbagai tingkatan
35

tetapi tidak serta merta membunuh sel fibroblast keloid, dan juga menyebabkan siklus

sel terhenti pada fase G2/M.35

Pada pemberian 5FU secara IL, Gupta dan Kalra pada tahun 2002 melakukan

suatu uji klinis terhadap pasien-pasien keloid. Duapuluh empat pasien dengan keloid

ukuran <6 cm, diobati dengan injeksi 5FU-IL setiap minggu, dengan maksimum 16

kali injeksi. Hasilnya, dari 35% pasien mengalami pendataran keloid sebesar 75%,

dan secara keseluruhan >50% pasien mengalami perbaikan dengan adanya

pendataran keloid.34 Nanda dan Reddy pada tahun 2004 dalam suatu penelitian acak,

uncontrolled, dari 28 pasien keloid yang diberikan injeksi 5FU-IL dengan interval 1

minggu selama 12 minggu dan difollow-up selama 24 minggu, dilaporkan hampir

80% dari pasiennya menunjukkan perbaikan lesi keloid >50%. Tidak ada pasien

dengan kegagalan terapi. Efek samping yang ditemukan adalah nyeri ketika injeksi,

dan ulserasi. Tidak ada rekurensi selama periode follow-up 24 minggu pada seluruh

pasien.29 Kontochristopoulos et al tahun 2005 dalam suatu studi klinis terbuka,

memberikan injeksi 5FU-IL dengan konsentrasi 50mg/ml dan dosis 0,2 – 0,4 ml/cm2

kepada 20 pasien keloid, dengan interval setiap 1 minggu. Dilaporkan 17 dari 20

(85%) pasien mengalami perbaikan klinis >50%. Efek samping yang ditemukan

adalah nyeri (100%), hiperpigmentasi (100%), dan ulserasi (14%). Rekurensi terjadi

pada 46% pasien yang terjadi 1 tahun setelah terapi.36

Sediaaan 5FU yang ada : 250 mg/5ml dan 500 mg/10ml (Curacil®). 5FU (50

mg/ml) diinjeksikan secara IL. Dosis yang diberikan disesuaikan menurut luas lesi

tetapi tidak boleh melebihi 100 mg/sesi (2 ml). Sediaan ini diinjeksikan dengan

menggunakan baik syringe 1 cc dengan ukuran needle 27G atau syringe Luerlock 1
36

cc. Solusio 5FU disuntikkan ke dalam bagian sentral dari jaringan parut, sampai

secara klinis lesi terlihat pucat.29,34

Regresi fibroblas tergantung pada durasi paparan obat dan dosis. Telah

ditemukan bahwa 5FU yang diberikan secara intralesi sekali seminggu atau setiap 2

minggu sekali untuk keloid adalah efektif. Injeksi 5FU sering menimbulkan rasa

sakit. 29,36,37

Efek samping 5FU antara lain : eritema lokal, bengkak, ulserasi kulit, rasa

terbakar, nyeri dan hiperpigmentasi.27-30 Hiperpigmentasi biasanya hanya terbatas

pada daerah injeksi dan biasanya menghilang secara spontan setelah 3 bulan.33-36

Kontraindikasi 5-FU mencakup kehamilan dan wanita menyusui dan alergi

terhadap pengobatan ini, juga orang-orang dengan supresi sumsum tulang.32,34,37

2.3. Triamsinolon Asetonida

Triamsinolon asetonida (TA) merupakan suatu golongan glukokortikoid

sintetis, berupa bubuk kristal bewarna putih atau krem, hampir tidak berbau yang

bersifat larut dalam air, sebagian larut dalam alkohol dan kloroform, sangat sedikit

larut dalam ether, dengan berat molekul 434,5. TA mempunyai rumus kimia 9α-

Fluoro-11β, 21-dihidroksi-16α, 17α-isopropilidenediaksipregna-1, 4-diene-3, 21-

dione atau C24H31FO6.38


37

Gambar 2.4: Rumus bangun Triamsinolon asetonida.


Dikutip dari kepustakaan no.37

Para ahli menduga, TA bekerja pada keloid dengan cara menginhibisi sintesis

kolagen dan pertumbuhan fibroblast secara in vitro, dan menurunkan ekspresi TGF-β

,suatu stimulator kolagen dan protein matriks ekstraseluler yang dihasilkan fibroblas

TGF-β serta menstimulasi produksi bFGF.11 TA juga dapat menghambat inhibitor

enzim α-globulin kolegenase sehingga akan meningkatkan degradasi kolagen, dan

mengurangi inflamasi. Efek antimitotik kortikosteroid terhadap keratinosit dan

fibroblas mengakibatkan perlambatan proses re-epitelialisasi dan pembentukan

kolagen baru.20,33

Pada penelitian Prabhu et al, dimana dilakukan uji klinis perbandingan 5-FU

terhadap TA dalam pengobatan keloid, dilaporkan bahwa pengurangan ukuran dari

keloid ditemukan lebih baik secara signifikan (71,23%) dibandingkan dengan injeksi

5FU (57,48%), dimana efek samping lebih sering ditemukan pada pasien yang

diterapi dengan 5FU.11

Sediaan TA yang ada : 10mg/ml dan 40mg/ml. Pada pengobatan keloid, TA

dengan konsentrasi 10 - 40 mg/ml digunakan pada awal pengobatan pada lesi keloid
38

yang terletak pada batang tubuh dan ekstremitas.4 TA biasanya diberikan tiap 2-4

minggu selama 2-4 bulan, tergantung respon pengobatan. Interval injeksi dapat

diperpanjang bertahap setiap 2,3,4, atau 6 bulan.20

Efek samping injeksi TA antara lain : rasa nyeri pada lokasi injeksi,

munculnya sindrom Cushing, hipo/hiperpigmentasi di sekitar injeksi, dan atrofi kulit

sekitarnya jika obat tidak diinjeksikan secara tepat ke dalam skar/ keloid,

telengiektasis, syok neurogenik dan perdarahan. Sebagian besar efek samping

berhubungan dengan dosis kumulatif yang diberikan.18 Injeksi TA sering diberikan

secara kombinasi dengan bedah eksisi maupun bedah beku.9,10

Kontraindikasi pemberian TA mencakup wanita hamil, wanita menyusui, dan

hipersensitivitas terhadap bahan ini.14,20


39

2.4. Kerangka Teori

AKTIVITAS ABNORMAL
FIBROBLAS. RESPON IMUN ABNORMAL PE↑ PRODUKSI ASAM REGULASI
 Fibroblast keloid m’hasilkan Pe↑ kadar IgA, IgG, IgM, dan HIALURONAT APOPTOSIS
kolagen tipe 1 dgn kapasitas IgE. Pe↑ produksi asam ABNORMAL :
proliferasi 20x lipat dr IgE  mediator histamin  hialuronat  Penurunan apoptosis
jar.normal. menghambat lysil oksigenase mempertahankan TGF-  proliferasi ↑
 Pe↑ C4S  serat kolagen sulit kolagen  pe↑ jumlah kolagen β1  keloid
didegradasi
 Pe↓ enzim collagenase

Luka / cedera
inflamasi yang tjd
Penyembuhan luka KELOID
pada individu yg rentan

PENGARUH KADAR PE↑ KADAR GF DAN SITOKIN


MELANIN THDP RX  Pe↑ TGF-β mengaktifkan
KOLAGEN-KOLAGENASE fibroblast & menstimulasi TERAPI
Pe↑ kadar melanin  me↓ pH sintesis kolagen  Bedah eksisi
 me↓ kemampuan enzim  Pe↑ IGF-1  regulasi,
kolagenase mendegradasi proliferasi & diferensiasi sel
 Radiasi
kolagen  akumulasi kolagen  IL13  m’hambat degradasi  Laser
kolagen  Krioterapi
 Terapi tekanan
 Injeksi intralesi ((triamsinolon
asetonida, interferon, bleomisin,
mitomisin C, 5-fluorourasil, toksin
botulinum A, anti TGF-β, verapamil)
 Terapi topikal (silicon gel sheeting,
retinoid, interferon, imiquimod,
tamoksifen, kalsineurin inhibitor,
flavonoid)
 Obat-obat oral (colchicines,

Gambar 2.5 : Kerangka Teori


40

2.5. Kerangka Konsep

5FU-IL TA-IL

KELOID

 Perbaikan klinis keloid (ukuran lesi,


penurunan gatal/nyeri)
 Efek samping (hipo/hiper-pigmentasi,
ulserasi, infeksi, atrofi, nyeri penyuntikan)

Gambar 2.6 : Kerangka Konsep

2.6. Hipotesis

Efektivitas injeksi 5FU-IL lebih baik dibandingkan dengan injeksi TA-IL dalam

perbaikan klinis keloid.

Anda mungkin juga menyukai