Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit alzheimer ditemukan pertama kali pada tahun 1907 oleh seorang ahli
Psikiatri dan neuropatologi yang bernama Alois Alzheimer. Ia mengobservasi seorang
wanita berumur 51 tahun, yang mengalami gangguan intelektual dan memori serta
tidak mengetahui kembali ketempat tinggalnya, sedangkan wanita itu tidak
mengalami gangguan anggota gerak,koordinasi dan reflek. Pada autopsi tampak
bagian otak mengalami atropi yang difus dan simetri, dan secara nikroskopik tampak
bagian kortikal otak mengalami neuritis plaque dan degenerasi neurofibrillary.
Secara epidemiologi dengan semakin meningkatnya usia harapan hidup pada
berbagai populasi, maka jumlah orang berusia lanjut akan semakin meningkat. Dilain
pihak akan menimbulkan masalah serius dalam bidang sosial ekonomi dan kesehatan,
sehingga aka semakin banyak yang berkonsultasi dengan seorang neurolog karena
orang tua tersebut yang tadinya sehat, akan mulai kehilangan kemampuannya secara
efektif sebagai pekerja atau sebagai anggota keluarga. Hal ini menunjukkan
munculnya penyakit degeneratif otak, tumor, multiple stroke, subdural hematoma atau
penyakit depresi, yang merupakan penyebab utama demensia.
Istilah demensia digunakan untuk menggambarkan sindroma klinis dengan
gejala menurunnya daya ingat dan hilangnya fungsi intelek lainnya. Defenisi
demensia menurut Unit Neurobehavior pada Boston Veterans Administration Medical
Center (BVAMC) adalah kelainan fungsi intelek yang didapat dan bersifat menetap,
dengan adanya gangguan paling sedikit 3 dari 5 komponen fungsi luhur yaitu
gangguan bahasa, memori, visuospasial, emosi dan kognisi.
Penyebab pertama penderita demensia adalah penyakit alzheimer (50- 60%)
dan kedua oleh cerebrovaskuler (20%). Diperkirakan penderita demensia terutama
penderita alzheimer pada abad terakhir ini semakin meningkat jumlah kasusnya
sehingga akan mungkin menjadi epidemi seperti di Amerika dengan insidensi
demensia 187 populasi /100.000/tahun dan penderita alzheimer 123/100.000/tahun
serta penyebab kematian keempat atau kelima.

1
BAB II
ALZHEIMER’S DISEASE

2.1 Definisi
Alzheimer’s Disease (AD) adalah penyakit neurodegenerative progresif yang
ditandai dengan adanya gumpalan abnormal (amyloid plaques) dan kumparan serat-
serat kusut (neurofibrillary tangles) pada otak yang dibentuk oleh protein yang
abnormal.
Demensia Alzheimer adalah sindroma demensia dengan awitan (onset) gradual
dan penurunan kognisi yang berlanjut. Tidak ditemukan gangguan neurologi lain,
kondisi sistemik atau pemakaian obat-obatan yang dapat menyebabkan demensia.
Defisit tidak hanya terjadi pada waktu delirium (eksklusif) atau disebabkan oleh
gangguan psikiatrik mayor lain seperti depresi dan skizofrenia. Subtipe Alzheimer
meliputi awitan (onset) dini (< 65 tahun) dan awitan (onset) lambat (> 65 tahun),
Alzheimer dengan delirium, delusi atau dengan mood depresi. 1,2,6

2.2 Epidemiologi
Penyakit alzheimer merupakan penyakit neurodegeneratif yang secara
epidemiologi terbagi 2 kelompok yaitu kelompok yang menderita pada usia kurang 58
tahun disebut sebagai early onset, sedangkan kelompok yang menderita pada usia
lebih dari 58 tahun disebut sebagai late onset. usu
Penyakit alzheimer dapat timbul pada semua umur, namun biasanya timbul
antara umur 50-60 tahun. 96% kasus dijumpai setelah berusia 40 tahun keatas.
Schoenburg dan Coleangus (1987) melaporkan insidensi berdasarkan umur:
4,4/1000.000 pada usia 30-50 tahun, 95,8/100.000 pada usia > 80 tahun. Angka
prevalensi penyakit ini per 100.000 populasi sekitar 300 pada kelompok usia 60-69
tahun, 3200 pada kelompok usia 70-79 tahun, dan 10.800 pada usia 80 tahun.
Diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 2 juta penduduk penderita penyakit alzheimer.
Sedangkan di Indonesia diperkirakan jumlah usia lanjut berkisar, 18,5 juta orang
dengan angka insidensi dan prevalensi penyakit alzheimer belum diketahui dengan
pasti.
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi wanita lebih banyak tiga kali
dibandingkan laki-laki. Namun dari beberapa penelitian juga didapatkan tidak ada

2
perbedaan terhadap jenis kelamin. Penelitian menyatakan sekitar 35 juta penduduk di
seluruh dunia menderita AD. Setiap 5 tahun, presentasi penderita AD akan melipat
ganda, dan pada tahun 2050, diperkirakan 107 juta penduduk di seluruh duni
menderita AD. 1,2,5

2.3 Etiologi dan Faktor Resiko


Etiologi dari penyakit Alzheimer belum diketahui secara pasti. Kemungkinan
faktor genetik dan lingkungan sedang diteliti ( Gen ApoE atau -secretase) (Dipiro
et al , 2008).

Kelainan neurotransmiter
Neurotransmiter yang paling berperan adalah asetilkolin dan norepinefrin,
keduanya dihipotesiskan menjadi hipoaktif pada penyakit Alzheimer. Data lain yang
mendukung adanya deficit kolinergik pada penyakit Alzheimer adalah penurunan
konsentrasi asetilkolin dan kolin asetiltransferase di dalam otak. Dukungan tambahan
untuk hipotesis deficit kolinergik berasal dari observasi bahwa antagonis kolinergik,
seperti scopolamine dan atropine, mengganggu kemampuan kognitif, sedangkan
agonis kolinergik, seperti physostigmine dan arecholine, telah dilaporkan
meningkatkan kemampuan kognitif.

2.4 Patofisiologi
a. Hipotesis Amiloid Kaskade dan Neurofibrillary Tangles
Pada penyakit Alzheimer terjadi deposit -amiloid yang menyebabkan
rusaknya neuron-neuron secara difus di otak. Proses deposit abnormal amiloid ini
menyebabkan fosforilasi yang abnormal pada protein Tau. Pada neuron yang terdapat
pada penderita Alzheimer dapat ditemukan kelainan baik pada gen yang membentuk
kode untuk protein prekursor amiloid ataupun pada enzim yang memotong prekursor

3
ini menjadi peptida-peptida yang lebih kecil. Kelainan kromosom 1, 12, 14, 19, atau
21 biasanya ditemukan pada penyakit Alzheimer dengan riwayat keluarga.
Protein prekursor amiloid (APP) merupakan suatu protein transmembran
dengan ujung C pada bagian dalam neuronnya dan ujung N pada bagian luarnya. Jalur
pertama pada proses APP tidak menghasilkan peptida yang beracun dan dipengaruhi
oleh enzim alpha secretase. Alpha secretase memotong APP dekat dengan daerah
dimana protein keluar dari membran, membentuk 2 macam peptida yaitu fragmen
yang mudah larut, yang dikenal sebagai alpha APP dan 83 asam amino peptida yang
lebih kecil, yang kemudian oleh enzim gamma secretase dipecah menjadi 2 peptida
yang lebih kecil lagi yaitu p7 dan p3 (keduanya tidak amilogenik dan tidak toksik).
Sedangkan jalur lain untuk memproses APP dapat menghasilkan peptida-
peptida beracun yang akan membentuk plak amiloid (peptida amiloidogenik). Pada
jalur ini, enzim beta secretase memotong APP pada tempat yang jauh dari tempat
keluarnya APP dari membran, membentuk 2 macam peptida yaitu fragmen yang
mudah larut, yang dikenal sebagai beta APP dan 91 asam amino peptida yang lebih
kecil, yang kemudian diproses lagi oleh enzim gamma secretase menghasilkan
peptida A-beta dari asam amino ke 40, 42, atau 43 (yang merupakan amiloidogenik,
terutama A-beta 42).

Peptida A-beta 42 saling bergabung membentuk oligomer-oligomer yang


mempengaruhi fungsi sinaps dan aktivitas neurotransmitter (seperti asetilkolin),
membentuk plak amiloid. Plak ini menyebabkan reaksi radang, aktivasi mikroglia dan
astrosit serta pelepasan bahan kimia toksik seperti sitokin dan radikal bebas. Plak
amilooid dan bahan-bahan kimia tersebut mengaktifkan kinase dan fosfatase yang

4
menyebabkan hiperfosforilasi protein Tau dan merubah mikrotubuler neuron menjadi
kusut (neurofibrillary tangles). Selanjutnya plak amiloid dan kekusutan neurofibriler
tersebut mengakibatkan disfungsi dan kematian neuron.

Kelainan pada DNA juga dapat menyebabkan terbentuknya protein Apo-E


(yang “jahat”) yang tidak dapat terikat secara efektif kepada amiloid. Hal ini
mengakibatkan terhambatnya penyingkiran amiloid yang selanjutnya mengakibatkan
terakumulasinya amiloid dan merusak neuron.

b. Hipotesis Kolinergik
Neurotransmitter asetilkolin (Ach) bertanggung jawab untuk mentransmisikan
pesan antara sel-sel saraf tertentu dalam otak. Pada penyakit Alzheimer, plak dan
tangles merusak jalur ini, menyebabkan kekurangan asetilkolin, sehingga terjadi
gangguan dalam belajar dan mengingat. Hilangnya aktivitas asetilkolin berkorelasi
dengan keparahan penyakit Alzheimer. Dasar dari pengobatan farmakologis penyakit
Alzheimer adalah meningkatkan neurotransmisi kolinergik di otak. Asetilkolinesterase
adalah enzim yang mendegradasi asetilkolin di celah sinaptik. Memblokir enzim ini
mengarah ke peningkatan kadar asetilkolin dengan tujuan menstabilkan transmisi
neuro. Inhibitor kolinesterase yang disetujui di Amerika Serikat untuk pengobatan
penyakit Alzheimer meliputi tacrine, donepezil, rivastigmine, dan galantamine.

5
c. Abnormalitas Neurotransmitter Lain
Perubahan neurotransmitter lain pada jaringan otak penderita Alzheimer mempunyai
peranan penting. Neurotransmitter tersebut antara lain seperti dopamin, serotonin,
monoamine oksidase, dan glutamat. Glutamat adalah neurotransmitter rangsang utama
dalam sistem saraf pusat (SSP) yang terlibat dalam memori, pembelajaran, dan
plastisitas saraf. Kerjanya dengan cara menyediakan informasi dari satu daerah otak
ke daerah lain dan mempengaruhi kognisi melalui fasilitasi dari koneksi dengan
neuron kolinergik di korteks serebral dan basal forebrain. Pada penyakit Alzheimer,
salah satu jenis reseptor glutamat, N-metil-D-aspartat (NMDA), tidak normal.
Tampak pula aktivasi berlebih dari glutamat yang tak teregulasi. Hal ini menyebabkan
kenaikan ion kalsium yang menginduksi kaskade sekunder yang menyebabkan
kematian saraf dan peningkatan produksi APP. Peningkatan produksi APP dikaitkan
dengan pengembangan plak pada tingkat yang lebih tinggi dan hiperfosforilasi dari
protein tau. Memantine merupakan antagonis NMDA non-kompetitif yang bekerja
berdasarkan patofisiologi ini. Memantine saat ini satu-satunya agen di kelas ini yang
disetujui untuk pengobatan penyakit Alzheimer.

2.5 Manifestasi Klinis


Pasien AD ditandai dengan hilangnya memori, lambat dalam berbahasa dan
defisit visuospasial, menurunnya ADL maupun mengenal orang terdekatnya. Pasien
dapat mengalami frustasi akibat gejala yang dimiliki, pasien dapat menjadi kaku,
pendiam, hanya berbaring di tempat tidur. Pasien harus dibantu untuk melakukan hal-
hal seperti makan, berpakaian maupun ke kamar mandi. Seringnya, kematian pada AD
dikarenakan malnutrisi, infeksi sekunder, pulmonary emboli, maupun penyakit
jantung.
STAGE-I (Pre-Dementia): Gangguan kognitif ringan yang berlangsung selama pada
tahap awal (2 bulan) dan diikuti dengan adanya kesulitan mengingat fakta-fakta yang
baru saja dipelajari dan ketidak-mampuan mendapat informasi baru, berkurangnya
konsentrasi, kemampuan merencanakan sesuatu, fleksibilitas dan adanya pemikiran
abstrak. Gejala pada tahap ini sering dianggap sebagai keluhan biasa atau suatu
bentuk depresi yang berkaitan dengan bertambahnya usia.
STAGE-II (Early-Dementia): Gangguan kognitif sedang yang berlangsung selama 2
tahun sebelum terdiagnosa. Gejala yang ditunjukkan seperti berkurangnya
kemampuan untuk mempelajari sesuatu, memori, aktivitas motorik halus (menulis,

6
menggambar, berpakaian), berbahasa, disorientasi waktu, tersesat di tempat yang
dikenal, menunjukkan gejala depresi dan agitasi, kehilangan minat dalam hobi dan
aktivitas.
STAGE-III (Moderate-Dementia): Gangguan kognitif menengah yang berlangsung
pada 1 sampai 5 tahun, gejala yang ditunjukkan seperti agnosia, vokabulari yang
semakin sedikit, masalah memori yang memburuk, sundowning dan inkontinensia
urin.
STAGE-IV (Advanced-Dementia): Merupakan fase lanjut pada periode di atas 10
tahun dan sudah harus diawasi dan dirawat oleh care givers. Pada tahap ini, kondisi
pasien sudah berbaring di tempat tidur dan tidak dapat mengurus diri sendiri sama
sekali.
Tanda dan Gejala (Chisholm-burnset al , 2008)
Kognitif: kehilangan memori, masalah dengan bahasa, disorientasi waktu dan tempat,
penilaian buruk atau menurun, masalah dengan belajar dan berpikir abstrak, lupa
tempat menyimpan sesuatu. Tahapan penurunan kognitif berdasarkan stadium
Alzheimer dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tahapan penurunan kognitif menurut Global Deterioration Scale (GDS) (Chisholm-
burns et al , 2008)

7
2.6 Pedoman Diagnosis
Kriteria menurut NINCDS-ADRDA (National Institute of Neurological and
Communicative Disorders and Stroke – Alzheimer’s Disease and Related Disorders
Association Work Group) yaitu:
1. Definite Demensia Alzheimer
Bila penderita memenuhi kriteria probable demensia Alzheimer ketika masih
hidup dan dengan konfirmasi pemeriksaan histopatologis pada biopsi atau
otopsi saat penderita meninggal dunia.
2. Probable Demensia Alzheimer
 Demensia yang ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik yang
terdokumentasi dengan pemeriksaan Mini Mental State Examination,
Blessed Dementia Scale atau pemeriksaan lain yang setara dan
dikonfirmasi dengan tes neuropsikologi
 Defisit meliputi dua atau lebih area kognisi
 Perburukan memori dan fungsi kognisi lain yang progresif
 Tidak terdapat gangguan kesadaran
 Awitan (onset) antara usia 40-90 tahun, umumnya setelah 65 tahun
 Tidak ditemukan gangguan sistemik atau penyakit otak sebagai
penyebab gangguan memori dan fungsi kognisi yang progresif
3. Possible Demensia Alzheimer

Dibuat berdasarkan adanya sindroma demensia tanpa gangguan
neurologis, psikiatris dan gangguan sistemik lainnya yang dapat
menyebabkan demensia dan awitan (onset), presentasi atau perjalanan
penyakit

Dapat ditegakkan pada pasien dengan gangguan sistemik atau
gangguan otak sekunder yang dapat menyebabkan demensia tetapi
dipertimbangkan bukan sebagai penyebab demensia.1,2,3,4

Mini Mental State Examination (MMSE)


Pemeriksaan kognisi status mental meliputi memori, orientasi, bahasa, fungsi
kortikal terkait seperti berhitung, menulis, praksis, gnosis, visuospasial, dan
visuopersepsi seperti menggambar jam dinding, kubus, atau gambaran geometrik
yang saling bertindih, evaluasi pembuatan keputusan dan tingkah laku.
Sebagai suatu assessment awal, pemeriksaan MMSE adalah tes yang paling
sering dipakai saat ini.

8
Clinical Dementia Rating (CDR)
Merupakan salah satu instrumen yang menilai adanya penurunan fungsi
dibanding sebelumnya, yang disebabkan oleh gangguan kognisi, bukan penurunan
fungsi akibat faktor lain.

Clock Drawing Test (CDT)


Tes ini dapat berguna bagi tes penunjang untuk MMSE. CDT memiliki dua
versi: versi tugas membuat (executive version), versi tugas menyalin (copied version).

Activities of Daily Living (ADL) / Instrumental Activities of Daily Living (IADL)


ADL adalah aktivitas hidup sehari-hari yang paling dasar dan dilaksanakan
setiap hari (makan, berpakaian, berjalan, mandi, dll) yang pada penyandang demensia
stadium sedang dan lanjut mudah terganggu.
IADL adalah aktivitas yang lebih kompleks dan tidak bersifat rutin. Pada
penyandang awal demensia, aktivitas ini mulai tampak mengalami kesulitan dalam
menggunakan telepon, berpergian dengan kendaraan bis atau taksi, berbelanja,
melakukan pekerjaan rumah.
Adanya salah satu dari tanda ketidakmandirian tersebut menandakan
kemungkinan awal penyakit Alzheimer dan perlu diobservasi lebih lanjut.1,2,10,11

2.7 Pemeriksaan Penunjang

1. Neuropatologi
Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi
neuropatologi. Secara umum didapatkan atropi yang bilateral, simetris, sering kali
berat otaknya berkisar 1000 gr (850-1250gr).
Beberapa penelitian mengungkapkan atropi lebih menonjol pada lobus
temporoparietal, anterior frontal, sedangkan korteks oksipital, korteks motorik primer,
sistem somatosensorik tetap utuh (Jerins 1937). Kelainan-kelainan neuropatologi pada
penyakit alzheimer terdiri dari:

a. Neurofibrillary tangles (NFT)

9
Merupakan sitoplasma neuronal yang terbuat dari filamen-filamen abnormal yang
berisi protein neurofilamen, ubiquine, epitoque. NFT ini juga terdapat pada
neokorteks, hipokampus, amigdala, substansia alba, lokus seruleus, dorsal raphe
dari inti batang otak. NFT selain didapatkan pada penyakit alzheimer, juga
ditemukan pada otak manula, down syndrome, parkinson, SSPE, sindroma
ektrapiramidal, supranuklear palsy. Densitas NFT berkolerasi dengan beratnya
demensia.
b. Senile plaque (SP)
Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat degenerasi nerve ending yang
berisi filamen-filamen abnormal, serat amiloid ektraseluler, astrosit, mikroglia.
Amloid prekusor protein yang terdapat pada SP sangat berhubungan dengan
kromosom 21. Senile plaque ini terutama terdapat pada neokorteks, amygdala,
hipokampus, korteks piriformis, dan sedikit didapatkan pada korteks motorik
primer, korteks somatosensorik, korteks visual, dan auditorik. Senile plaque ini
juga terdapat pada jaringan perifer. Perry (1987) mengatakan densitas Senile
plaque berhubungan dengan penurunan kolinergik. Kedua gambaran histopatologi
(NFT dan senile plaque) merupakan gambaran karakteristik untuk penderita
penyakit alzheimer.

c. Degenerasi neuron

10
Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian neuron pada penyakit
alzheimer sangat selektif. Kematian neuron pada neokorteks terutama didapatkan
pada neuron piramidal lobus temporal dan frontalis. Juga ditemukan pada
hipokampus, amigdala, nukleus batang otak termasuk lokus serulues, raphe
nukleus dan substanasia nigra. Kematian sel neuron kolinergik terutama pada
nukleus basalis dari meynert, dan sel noradrenergik terutama pada lokus seruleus
serta sel serotogenik pada nukleus raphe dorsalis, nukleus tegmentum dorsalis.
Telah ditemukan faktor pertumbuhan saraf pada neuron kolinergik yang
berdegenerasi pada lesi eksperimental binatang dan ini merupakan harapan dalam
pengobatan penyakit alzheimer.

2. Pemeriksaan neuropsikologik
Penyakit alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia. Fungsi pemeriksaan
neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan fungsi
kognitif umum danmengetahui secara rinci pola defisit yang terjadi. Test psikologis
ini juga bertujuan untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh beberapa bagian otak
yang berbeda-beda seperti gangguan memori, kehilangan ekspresi, kalkulasi,
perhatian dan pengertian berbahasa. Evaluasi neuropsikologis yang sistematik
mempunyai fungsi diagnostik yang penting karena:
a. Adanya defisit kognisi yang berhubungan dengan demensia awal yang dapat
diketahui bila terjadi perubahan ringan yang terjadi akibat penuaan yang
normal.
b. Pemeriksaan neuropsikologik secara komprehensif memungkinkan untuk
membedakan kelainan kognitif pada global demensia dengan defisit selektif
yang diakibatkan oleh disfungsi fokal, faktor metabolik, dangangguan psikiatri
c. Mengidentifikasi gambaran kelainan neuropsikologik yang diakibatkan oleh
demensia karena berbagai penyebab.
The Consortium to establish a Registry for Alzheimer Disease (CERALD)
menyajikan suatu prosedur penilaian neuropsikologis dengan mempergunakan alat
batrey yang bermanifestasi gangguan fungsi kognitif, dimana pemeriksaannya
terdiri dari: 1. Verbal fluency animal category
2. Modified boston naming test
3. Minimentalstate
4. Word list memory

11
5. Constructional praxis
6. Word list recall
7. Word list recognition
(Test ini memakan waktu 30-40 menit dan <20-30 menit pada kontrol).

3. CT Scan dan MRI


Merupakan metode non invasif yang beresolusi tinggi untuk melihat
kwantifikasi perubahan volume jaringan otak pada penderita alzheimer antemortem.
Pemeriksaan ini berperan dalam menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab
demensia lainnya selain alzheimer seperti multiinfark dan tumor serebri. Atropi
kortikal menyeluruh danpembesaran ventrikel keduanya merupakan gambaran marker
dominan yang sangat spesifik pada penyakit ini. Tetapi gambaran ini juga didapatkan
pada demensia lainnya seperti multiinfark, parkinson, binswanger sehingga kita sukar
untuk membedakan dengan penyakit alzheimer.
Penipisan substansia alba serebri dan pembesaran ventrikel berkorelasi dengan
beratnya gejala klinik danhasil pemeriksaan status mini mental. Pada MRI ditemukan
peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler (Capping anterior
horn pada ventrikel lateral). Capping ini merupakan predileksi untuk demensia awal.
Selain didapatkan kelainan di kortikal, gambaran atropi juga terlihat pada daerah
subkortikal seperti adanya atropi hipokampus, amigdala, serta pembesaran sisterna
basalis dan fissura sylvii.
Seab et al, menyatakan MRI lebih sensitif untuk membedakan demensia dari penyakit
alzheimer dengan penyebab lain, dengan memperhatikan ukuran (atropi) dari
hipokampus.

4. EEG

12
Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis. Sedang
pada penyakit alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat pada lobus
frontalis yang non spesifik.

5. PET (Positron Emission Tomography)


Pada penderita alzheimer, hasil PET ditemukan penurunan aliran darah,
metabolisma O2, dan glukosa didaerah serebral. Up take I.123 sangat menurun pada
regional parietal, hasil ini sangat berkorelasi dengan kelainan fungsi kognisi danselalu
dan sesuai dengan hasil observasi penelitian neuropatologi

6. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)


Aktivitas I. 123 terendah pada refio parieral penderita alzheimer. Kelainan ini
berkolerasi dengan tingkat kerusakan fungsional dan defisit kogitif. Kedua
pemeriksaan ini (SPECT dan PET) tidak digunakan secara rutin.

7. Laboratorium darah
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita alzheimer.
Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan penyebab penyakit
demensia lainnya seperti pemeriksaan darah rutin, B12, Calsium, Posfor, BSE, fungsi
renal dan hepar, tiroid, asam folat, serologi sifilis, skreening antibody yang dilakukan
secara selektif.

2.8 Diagnosa Banding

13
Penuaan normal
Penuaan usia tidak selalu disertai adanya penurunan kognitif yang bermakna,
namun suatu derajat ringan masalah ingatan dapat terjadi sebagai bagian dari proses
penuaan normal. Keadaan tersebut dapat dibedakan dari demensia oleh keparahannya
yang ringan dan oleh kenyataan bahwa keadaan tersebut tidak mengganggu secara
bermakna pada kehidupan sosial atau pekerjaan pasien.

Pseudodemensia

Gambaran Klinis Pseudodemensia Demensia


- Awitan (onset) penyakit Akut dengan perubahan tingkah Perlahan, berbulan-bulan
laku

- Mood/tingkah laku Banyak keluhan: seperti tidak Tes neuropsikologis jelek tapi
dapat melakukan test tetapi test penyandang berusaha
objektif baik meminimalkan/merasionalkan
kekurangannya

- Pandangan tentang diri sendiri Jelek Normal

- Keluhan terkait Anxietas, insomnia, anoreksia Jarang, terkadang insomnia

Bervariasi, dapat berhenti Keluhan progresif perlahan


- Durasi spontan/setelah terapi dalam berbulan-bulan/tahun

Rujukan sendiri, cemas adanya Dibawa oleh keluarga yang


- Alasan konsultasi demensia Alzheimer merasakan perubahan memori,
kepribadian dan tingkah laku

- Riwayat sebelumnya Riwayat psikiatri dan/atau Tidak jarang ditemukan riwayat


masalah keluarga/pribadi keluarga dengan demensia

Demensia Vaskuler
Berdasarkan kriteria NINCDS-ADRDA, diagnosa demensia Alzheimer dapat
ditegakkan, namun apabila ada keraguan, skor iskemik Hachinski dapat digunakan
untuk membedakan demensia Alzheimer dengan demensia vaskuler.
Riwayat dan Gejala Ya Tidak
1. Awitan (onset) mendadak 2 0
2. Deteriorisasi bertahap 1 0
3. Perjalanan klinis berfluktuasi 2 0
4. Kebingungan malam hari 1 0
5. Kepribadian relatif tidak terganggu 1 0
6. Depresi 1 0
7. Keluhan somatik 1 0

14
8. Emosi tidak stabil 1 0
9. Riwayat hipertensi 1 0
10. Riwayat penyakit serebrovaskuler 2 0
11. Arteriosklerosis penyerta 1 0
12. Keluhan neurologi fokal 2 0
13. Gejala neurologi fokal 2 0
Diagnosa demensia dipertimbangkan dari skor total iskemik Hachinski:
 Demensia degeneratif bila jumlah skor < 5
 Demensia vaskuler bila jumlah skor > 6

2.9 Tatalaksana
 Golongan Inhibitor Kolinesterase
Salah satu cara mengatasi gejala penurunan kognisi atau menunda perkembangan
penyakit adalah meningkatkan neurotransmisi kolinergik di otak. Inhibitor
kolinesterase memblok enzim asetilkolinesterase yang menyebabkan peningkatan
kadar asetilkolin dengan tujuan menstabilkan transmisi neuro. Asetilkolinesterase
adalah enzim yang mendegradasi asetilkolin di celah sinaptik. Inhibitor kolinesterase
yang disetujui penggunaanya di Amerika Serikat untuk pengobatan penyakit
Alzheimer meliputi donepezil, rivastigmine, dan galantamine.
1. Donepezil
Donepezil adalah obat yang diminum secara oral untuk mengobati penyakit
Alzheimer taraf rendah hingga medium. Donepezil tersedia dalam bentuk tablet oral.
Biasanya diminum satu kali sehari sebelum tidur, sebelum atau sesudah makan. Obat
ini akan diberikan dosis rendah pada awalnya lalu ditingkatkan setelah 4 hingga 6
minggu. Efek samping yang sering terjadi sewaktu minum Donepezil adalah sakit
kepala, nyeri seluruh badan, lesu, mengantuk, mual, muntah, diare, nafsu makan
hilang, berat badan turun, kram, nyeri sendi, insomnia, dan meningkatkan frekwensi
buang air kecil.
2. Rivastigmine
Rivastigmine adalah obat yang diminum secara oral untuk mengobati penyakit
Alzheimer taraf rendah hingga medium. Rivastigmine biasanya diberikan dua kali
sehari setelah makan. Karena efek sampingnya pada saluran cerna pada
awal pengobatan, pengobatan dengan Rivastigmine umumnya dimulai dengan dosis
rendah, biasanya 1,5 mg dua kali sehari, dan secara bertahap ditingkatkan tidak lebih
dari 2 minggu. Dosis maksimum biasanya hingga 6 mg dua kali sehari. Jika pasien

15
mengalami gangguan pencernaan yang bertambah parah karena efek samping obat
seperti mual dan muntah, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan sebaiknya
minum obat dihentikan untuk beberapa dosis lalu dilanjutkan dengan dosis yang sama
atau lebih rendah.
3. Galantamine
Galantamine biasanya diberikan dua kali sehari, setelah makan pagi dan malam.
Seringkali Galantamine diberikan dengan dosis rendah pada awalnya yaitu 4 mg dua
kali sehari untuk beberapa minggu dan dilanjutkan dengan 8 mg dua kali sehari
untuk beberapa minggu pengobatan selanjutnya. Meskipun demikian, beberapa pasien
membutuhkan dosis yang lebih besar. Untuk kapsul lepas lambat diminum satu kali
sehari. Obat dari golongan antikolinergik yang langsung masuk ke dalam otak, seperti
Atropin, Benztropin dan Ttriheksiphenil memberikan efek yang berseberangan
dengan Galantamine dan harus dihindari minum obat tersebut jika dalam pengobatan
dengan Galantamine. Efek samping yang sering terjadi dari Galantamine adalah mual,
muntah, diare, kehilangan berat badan. Efek samping ini umumnya terjadi pada
awal pengobatan atau ketika dosis ditingkatkan. Efek samping yang terjadi umumnya
ringan dan bersifat sementara. Minum Galantamine sesudah makan dan minum
dengan air yang cukup akan mengurangi akibat efek sampingnya.
 Golongan Antagonis Reseptor NMDA
Golongan lain adalah antagonis reseptor NMDA. Pada penyakit Alzheimer, salah
satu jenis reseptor glutamat, N-metil-D-aspartat (NMDA), tidak normal. Tampak pula
aktivasi berlebih dari glutamat yang tak teregulasi. Golongan ini bekerja dengan cara
menghambat reseptor tersebut sehingga kenaikan ion kalsium yang menginduksi
kaskade sekunder yang menyebabkan kematian saraf dan peningkatan produksi APP
tidak terjadi. Peningkatan produksi APP dikaitkan dengan pengembangan plak pada
tingkat yang lebih tinggi dan hiperfosforilasi dari protein tau. Memantine saat ini satu-
satunya agen di kelas ini yang disetujui untuk pengobatan penyakit Alzheimer.
Memantin adalah obat yang diminum secara oral untuk mengobati penyakit
Alzhaimer taraf sedang hingga berat. Obat ini diawali dengan dosis rendah 5 mg
setiap minggu dilakukan selama 3 minggu untuk mencapai dosis optimal 20 mg/hari.

2.10 Prognosis

16
Nilai prognostik tergantung pada 3 faktor yaitu:
1. Derajat beratnya penyakit
2. Variabilitas gambaran klinis
3. Perbedaan individual seperti usia, keluarga demensia dan jenis kelamin
Pasien dengan penyakit alzheimer mempunyai angka harapan hidup sesudah
diagnosis rata-rata 4-10 tahun maupun lebih dan biasanya meninggal dunia akibat
infeksi sekunder.

BAB III

17
KESIMPULAN

Gejala dini demensia sering terlewatkan, dianggap sebagai gejala usia lanjut
yang wajar atau salah diagnosis. Kegagalan mendiagnosis dini demensia dapat
mengakibatkan penanganan yang tidak tepat dan pada hakikatnya akan memberikan
beban tambahan pada penyandang dan keluarga.
Deteksi dini ditujukn pada seseorang yang memperlihatkan karakteristik dan
trigger tertentu, menandakan adanya kebutuhan pemeriksaan lanjutan, bukan dengan
melakukan skrining pada segmen tertentu populasi penduduk, karena tidak ada bukti
yang menyokong kegunaan skrining pada demensia Alzheimer dan tidak ada tes yang
mempunyai sensitivitas tinggi untuk deteksi penyakit ini dalam tahap dini/ringan.
Sebuah penilaian awal harus dikombinasikan dengan riwayat penyakit
termasuk keterangan yang dapat dipercaya dan pemeriksaan fisik yang terarah,
evaluasi fungsi mental dan status fungsional disamping assessment untuk delirium
dan depresi.
Anamnesis yang teliti harus meliputi riwayat medik umum, riwayat
neurologis, riwayat neurobehaviour, riwayat pemakaian obat-obatan, riwayat
psikiatris dan riwayat keluarga.
Pemeriksaan kognisi status mental mini (MMSE), CDT dan status fungsional
Functional Activities Questionnaire (FAQ) adalah tiga pemeriksaan awal yang paling
dianjurkan saat ini. Dari ketiga pemeriksaan dapat diperoleh informasi apakah pasien
mengalami gangguan kognisi multipel disertai penurunan fungsional yang
menandakan adanya demensia. Pemeriksaan ini merupakan bagian integral dari
esesmen awal yang tidak dapat dipakai secara terpisah. Tidaklah bijaksana apabila
diagnosa demensia Alzheimer hanya berdasarkan pemeriksaan status mental dan
fungsional saja, karena kemungkinan positif semu adalah sangat besar.
Pendekatan klinik yang baik meliputi anamnesis yang lengkap dan teliti yang
diikuti oleh pemeriksaan fisik terarah dan laboratorium rutin dapat menegakkan
diagnosis klinis probable demensia Alzheimer.
Pemeriksaan imaging, EEG berguna terutama bila perjalanan klinis demensia
tidak tipikal untuk demensia Alzheimer atau dicurigai penyebab demensia lain.
Pemeriksaan cairan otak hanya dilakukan bila ada indikasi infeksi susunan saraf pusat
atau demensia hidrosefalus tekanan normal.

18
Terapi farmakologik penemuan obat golongan kolinesterase inhibitor terutama
generasi kedua telah terbukti dapat memperbaiki aspek kognisi, fungsional dan
perilaku walaupun belum dapat mempengaruhi perjalanan penyakit, terutama
demensia Alzheimer tingkat lanjut. Begitu juga dengan obat golongan antagonis
respetor NMDA.

DAFTAR PUSTAKA

19
1. Dikot Y,dkk. Pengenalan dan Penatalaksanaan Demensia Alzheimer dan
Demensia Lainnya, Konsesus Nasional, edisi 3. Jakarta. 2013
2. Kusumoputro, Sidiarto. Mengenal Awal Pikun Alzheimer. Cetakan Pertama.
UI Press, 2004.
3. Sadock BJ, Sadock VA. In: Grebb JA, Pataki CS, Sussman N (eds). Synopsis
of Psychiatry. Behavioral scienes / Clinical Psychiatry 10th edition. 2007.
10:329-344.
4. Maramis W.F. Ilmu Kedokteran Jiwa, Airlangga University Press, Surabaya
1995: 189-193.
5. Stahl M.F. Essential Psychopharmacology Neuroscientific Basis and Practical
Application, Third Edition. Cambridge University Press. 2008: 899-942.
6. Fauci Anthony S, et al. Harrison’s Manual of Medicine 17th edition. 2009.
191: 998-1000.
7. Castellani Rudy J, et al. Molecular Pathogenesis of Alzheimer’s Disease:
Reductionist versus Expansionist Approaches. Int. J. Mol. Sci. 2009/ 10: 1386-
1406.
8. Silbernagi Stefan, Lang Florian. Color Atlas of Pathophysiology. 2000. 948-
951.
9. Herrmann Nathan MD, Gauthier Serge MD. Diagnosis and treatment of
dementia: Management of severe Alzheimer disease. CMAJ. 2008. 1279-1287.
10. Shaik Asma Shaheda, Raja A. Elaya, et al. Alzheimer’s Disease-
Pathophysiology and Treatment. International Journal of Pharma and Bio
Sciences. 2010: 1-11.
11. Winslow BT, Onysko MK, Stob CM, Hazlewood KA. Treatment of Alzheimer
disease. Am Fam Physician. 2011 Jun 15. 83(12):1403-12.
12. Massoud F, Léger GC. Pharmacological treatment of Alzheimer disease. Can
J Psychiatry. 2011 Oct. 56(10):579-88.

20

Anda mungkin juga menyukai