STEP 1
1. Orofaringeal airway : suatu pemasangan alat yang digunakan untuk membuka jalan
nafas dengan alur udara masuk dari mulut, hanya dipakai pasien yang tidak sadar.
2. Definitif airway : prinsip untuk mempertahankan jalur nafas dibagian bawah,
dimasukkan pipa ke trakhea bisa mengembang seperti balon setelah primary survey.
3. AVPU : alert (sadar), verbal (merespon terhadap stimulasi verbal), Painful (merespon
terhadap rangsangan nyeri), Unresponsive tidak memberi respon). Tujuan untuk
menilai kesadaran pasien.
Salah satu px. Neurologis untuk mengetahui tingkat kesadaran, selain itu bisa pakai
GCS juga.
4. Pulse oxymetri : salah satu metode penggunaan alat untuk memonitor saturasi oksigen
dalam darah pasien dengan tujuan untuk membantu pengkajian fisik pasien tanpa
harus melalui analisa gas darah.
5. Triple airway manuver : salah satu cara pembebasan jalan nafas melalui tiga cara :
head tlit, chin lift, jaw thrust.
6. Primary survey : tindakan awal untuk evaluasi dan resusitasi pada penderita yang
nyawanya terancam melalui ABCDE tidak lebih dari 2-5 menit, dilakukan pada masa-
masa golden hour
7. Fraktur impresi : fraktur yang terjadi pada tulang tengkorak akibat benturan keras
menyebabkan laserasi pada duramater dan jaringan otak.
8. Sianosis : kurangnya perfusi oksigen ke jaringa sehingga tampak kebiruan
9. Perfusi : pertukarang o2 dan co2 dalam jaringan
10. Saturasi : ukuran dari oksigen yang terlarut dalam darah
STEP 7
(Hasan Sjahrir, Ilmu Penyakit Saraf Neurologi Khusus, Dian Rakyat, Jakarta,
2004)
Efek fraktur ke fungsi fisiologis otak dan air way??
2. Mengapa keluar banyak darah dari rongga mulut?
3. Mengapa penderita mengelurakan suara seperti mengorok dan berkumur?
Apakah sama orang tidur yang mengorok dengan orang yang mengalami kecelakaan?
Mendengkur adalah tanda pernapasan abnormal yang terjadi akibat obstruksi sebagian
sehingga aliran udara yang masuk akan menggetarkan palatum molle dan jaringan
lunak sekitarnya. Keadaan ini dipermudah dengan relaksasi lidah, uvula dan otot di
saluran napas bagian atas. Obstruksi dapat terjadi sebagian (hipopnea) atau total
(apnea). Obstructive sleep apnea adalah obstruksi saluran napas baik sebagian
maupun total saat tidur yang menyebabkan mendengkur, desaturasi oksihemoglobin
dan arousal.
(Sleep apnea and snoring. Available at: http://www.The silencer.com. Accessed
on june 19th, 2005)
Alert
‘A’ stands for ALERT, which is how most healthy people usually are.
When someone unknown walks into the room, healthy people usually look to see who it
is; their eyes are focused on the person, and they follow them as they move. They'll
usually speak, even if it's just to say ‘who are you’?
Being alert doesn't necessarily mean that you know or understand what's going on around
you, or where you are, or what time it is, or even who you are. Knowing all of those things is
described as being 'orientated’ (or ‘oriented’, if you work in the U.S. ‘Orientated’ is a more
British/Canadian usage).
Being ‘alert’ just means that the patient is reacting reasonably to normal environmental
stimuli, and you can usually tell that just by looking at them for a few seconds. So, if you
were to apply the fill-in-the-blanks sentence I gave you, we would say: “The patient is
responding to normal stimulus by reacting normally” - which is unnecessarily complicated,
so when our patients are ‘normal’ we just say that they are ‘alert’, and everyone knows what
we mean.
Verbal
Imagine that you walk into a room and there is a patient there lying supine, with their eyes
closed. As you walk in, they don’t move or open there eyes, so you say ‘Hello Sir, did you
call for paramedics’?
At that point the patient opens their eyes and says ‘Huuuhh??’
That patient would be described not as being alert, but as ‘responding to verbal’ - which is
how we often find our patients. We always give the best response that the patient maintains.
So if they initially were only responsive to loud verbal, but then, once you got their attention,
they became alert and stayed that way, we would say that the patient is ‘alert’. The person
who keeps falling back asleep and needs us to yell at them to wake them back up would still
be described as responding to loud verbal, and not as alert.
Pain
There are five specific responses that people can have to pain. As a paramedic you need to
know what these five responses are, how to recognize them, and to know what they mean.
1. Alert
The first, and best one, is the most obvious: the patient responds to pain by rousing to
alertness (which means that they wake up enough to obey commands, like opening
their eyes or wiggling their fingers)
2. Localizing
The second response is that the patient responds to pain by localizing the painful
stimulus.
For example, let’s say that you’re pinching the nail bed on their finger - which is how
I recommend you cause pain. If they use their other hand to reach over and try to get
you to stop, we’d call that ‘localizing’. They are moving toward the location of the
pain.
3. Withdrawing
The next response is that the patient tries to withdraw from the pain. Again, when
you pinch their nail bed they try to pull the finger you’re pinching away from you.
4. Flexion (decorticate)
The third response is that they start to flex their whole body to pain. So they pull the
finger you’re pinching into towards their midline, but they pull the other hand in
towards their midline too. They also straighten their legs right out and turn their toes
in towards each other.
Here’s where we start to get a lot of information from our patients. This odd posturing
is due to damage to the corticospinal tracts - the pathways between the brain and
spinal cord. That specific posture is called the ‘decorticate’ (dee-CORE-tih-cat)
posture.
You can remember that deCORTICate posturing means a problem with the
CORTICospinal tracts, and when they’re doing that posture, they’re pointing towards
the CORe of their body!
5. Extension (decerebrate)
The next worse response is to see a patient extending all their limbs in response to
pain. The toes are pointed down, and they often arch their head backwards. We call
that ‘decerebrate’ (dee-SAIR-uh-bret) posturing.
Well if you take away ‘alert’, which is the first response, then you’ve got only four to
remember.
Then, you need to remember that the first two have to do with just the arms, but the last two
have to do with how the whole body responds.
And for the first two (the arms), the first reaction (localizing) goes TOWARDS the pain, and
the second (withdrawing) goes AWAY from the pain.
For the second two (the whole body), the first reaction (decorticate) goes TOWARDS the
centre of the body, and the second (decerebrate) goes AWAY from the body.
Unresponsive
If you cause pain to a patient and they don’t respond at all, that’s as bad as it can get.
‘Unresponsive’ is the ‘U’ in AVPU.
(http://www.paramedicine.com/pmc/AVPU.html)
8. Interperetasi dari gcs E2M4V2?
Glasgow Coma Scale (GCS)
RESPON NILAI
Respon Membuka Mata / Eye (E)
Spontan 4
Terhadap perintah 3
Dgn rngsng nyeri (tekan kuku/supra orbita) 2
Tdk ada reaksi (biar dirangsang nyeri) 1
Respon Bicara / Verbal (V)
Baik dan tidak ada disorientasi 5
Kacau (confused) dapat bicara kalimat namun 4
disorientasi waktu dan tempat
Tidak tepat mengucapkan kata-kata dan tidak 3
beraturan
Mengerang 2
Tidak ada jawaban 1
Respon Gerakan / Motorik (M)
Menurut perintah (ex.suruh angkat tangan) 6
Mengetahui lokasi nyeri 5
Reaksi menghindar 4
Reaksi fleksi (dekortikasi) 3
Reaksi ekstensi 2
Tidak ada reaksi sama sekali (pastikan dengan 1
rangsangan yang adekuat)
Interpretasi
1. GCS = E4M6V5 (15) : compos mentis
2. GCS ≤ 7 : koma
3. GCS = E1M1V1 (3) : koma dalam
4. GCS = E4M6V- : Afasia motorik
5. GCS = E4M1V1 : coma vigil
Primary survey adalah penilaian awal terhadap pasien, bertujuan untuk mengidentifikasi
secara cepat dan sistematis dan mengambil tindakan terhadap setiap permasalahan yang
mengancam jiwa (European Resusitasion, 2005). Primary survey harus dilakukan dalam
waktu tidak lebih dari 2-5 menit. Penanganan yang simultan terhadap trauma dapat terjadi
bila terdapat lebih dari satu keadaan yang mengancam jiwa (Wilkinson, 2000). Hal tersebut
mencakup:
Penatalaksanaan awal pada primary survey dilakukan pendekatan melalui ABCDE yaitu :
A:Airway, menjaga airway dengan kontrol servikal (cervical spinecontrol)
B: Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi
C: Circulation dengan kontrol perdarahan (hemorrage control)
D: Disability, status neurologis
E: Exposure/environmental control, membuka baju penderita, tetapi cegah hipotermia
Airway
Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan
membutuhkan keterampilan yang khusus dalam penatalaksanaan keadaan gawat
darurat, oleh karena itu hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan
nafas, yang meliputi pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda
asing, fraktur tulang wajah, fraktur manibula atau maksila, fraktur laring atau
trakea. Gangguan airway dapat timbul secara mendadak dan total, perlahan – lahan
dan sebagian, dan progresif dan/atau berulang. Jika pasien tidak mampu dalam
mempertahankan jalan nafasnya, patensi jalan nafas harus dipertahankan dengan
cara buatan seperti : reposisi, chin lift, jaw thrust, atau melakukan penyisipan
airway orofaringeal serta nasofaringeal (Walls, 2010). Usaha untuk membebaskan
jalan nafas harus melindungi vertebra servikal. Dalam hal ini dapat dimulai dengan
melakukan chin lift atau jaw thrust. Pada penderita yang dapat berbicara, dapat
dianggap bahwa jalan nafas bersih, walaupun demikian penilaian terhadap airway
harus tetap dilakukan. Penderita dengan gangguan kesadaran atau Glasgow Coma
Scale sama atau kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif.
Adanya gerakan motorik yang tak bertujuan, mengindikasikan perlunya airway
definitif. Bila penderita mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah mungkin
jatuh ke belakang, dan menyumbat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini dapat
dengan segera diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin lift maneuver), atau
dengan mendorong rahang bawah ke arah depan (jaw thrust maneuver). Airway
selanjutnya dapat dipertahankan dengan airway orofaringeal (oropharyngeal airway)
atau nasofaringeal (nasopharingeal airway). Tindakan-tindakan yang digunakan
untuk membuka airway dapat menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Oleh
karena itu, selama melakukan prosedur-prosedur ini harus dilakukan imobilisasi
segaris (in-line immobilization) (ATLS, 2004). Apabila pernafasan membaik, jaga
agar jalan nafas tetap terbuka dan periksa dengan cara (Haffen, Karren, 1992) :
1. Lihat (look), melihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding dada
yang adekuat.
2. Dengar (listen), mendengar adanya suara pernafasan pada kedua sisi dada.
3. Rasa (feel), merasa adanya hembusan nafas.
Breathing
Kegagalan dalam oksigenasi akan menyebabkan hipoksia yang diikuti oleh kerusakan
otak, disfungsi jantung, dan akhirnya kematian (Hagberg, 2005). Pada keadaan
normal, oksigen diperoleh dengan bernafas dan diedarkan dalam aliran darah ke
seluruh tubuh (Smith, 2007). Airway yang baik tidak dapat menjamin pasien dapat
bernafas dengan baik pula (Dolan, Holt, 2008). Menjamin terbukanya airway
merupakan langkah awal yang penting untuk pemberian oksigen. Apabila
pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik bag-valve-face-
mask merupakan cara yang efektif, teknik ini lebih efektif apabila dilakukan oleh
dua orang dimana kedua tangan dari salah satu petugas dapat digunakan untuk
menjamin kerapatan yang baik (ATLS, 2004). Cara melakukan pemasangan face-
mask (Arifin, 2012):
1. Posisikan kepala lurus dengan tubuh
2. Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila sungkup muka
dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada kebocoran)
3. Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)
4. Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus mandibula, jari
manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk memegang dan
memfiksasi sungkup muka
5. Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala pasien
6. Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah dipasangkan
7. Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan kanan dan kiri
memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama)
8. Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
9. Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi sungkup muka,
sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang bag (kantong) reservoir
sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag)
Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis
secara cepat. Hal yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil. Tanda-tanda lateralisasi dan tingkat (level) cedera spinal (ATLS, 2004).
Cara cepat dalam mengevaluasi status neurologis yaitu dengan menggunakan
AVPU, sedangkan GSC (Glasgow Coma Scale) merupakan metode yang lebih rinci
dalam mengevaluasi status neurologis, dan dapat dilakukan pada saat survey sekunder
(Jumaan, 2008).
AVPU, yaitu: A : Alert V : Respon to verbal P : Respon to pain U : Unrespon
Penurunan tingkat kesadaran perlu diperhatikan pada empat kemungkinan penyebab
(Pre-Hospital Trauma Life Support Commitee 2002) :
1. Penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak
2. Trauma pada sentral nervus sistem
3. Pengaruh obat-obatan dan alkohol
4. Gangguan atau kelainan metabolik
Exposure
Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka keseluruhan
pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa punggung dengan
memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti penderita dengan
selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan diberikan cairan intra-vena
yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak hipotermi.
12. Cara melakukan triple airway manuver?
1. Head tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan horizontal, kecuali
pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala pasien harus direndahkan
dengan posisi semilateral untuk memudahkan drainase lendir, cairan muntah atau
benda asing. Kepala diekstensikan dengan cara meletakkan satu tangan di bawah leher
pasien dengan sedikit mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada dahi
depan pasien sambil mendorong / menekan ke belakang. Posisi ini dipertahankan
sambil berusaha dengan memberikan inflasi bertekanan positif secara intermittena
(Alkatri, 2007).
2. Chin lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian secara hati –
hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan yang sama,
dengan ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu jari dapat juga
diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan
hati – hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher.
Manuver ini berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan penderita
dengan kemungkinan patah ruas rulang leher atau mengubah patah tulang tanpa
cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera spinal.
3. Jaw thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada mandibula, jari
kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus mandibula, jari tengah dan
telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan
kiri berada pada mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati
molar pada maxila (Arifin, 2012).
Terdapat tiga jenis airway definitif yaitu : pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal, dan airway
surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi). Penentuan pemasangan airway definitif
didasarkan pada penemuan- penemuan klinis antara lain (ATLS, 2004):
1. Adanya apnea
2. Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara – cara yang lain
3. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau vomitus
4. Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway
5. Adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas (GCS < 8)
6. Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan
Penyebab sumbatan yg sering kita jumpai adalah dasar lidah, palatum mole, darah atau
benda asing yg lain. Dasar lidah sering menyumbat jalan nafas pada penderita koma,
karena pada penderita koma otot lidah dan leher lemas sehingga tidak mampu
mengangkat dasar lidah dari dinding belakang faring. hal ini sering terjadi bila kepala
penderita dalam posisi fleksi. Benda asing seperti tumpahan atau darah di jalan nafas atas
yang tidak dapat ditelan atau dibatukkan oleh penderita yg tidak sadar dapat menyumbat
jalan nafas. Penderita yg mendapat anestesi atau tidak, dapat terjadi laringospasme an ini
biasanya terjadi oleh karena rangsangan jalan nafas atas pada penderita stupor atau koma
yg dangkal. Sumbatan nafas juga dapat trjdi pad jalan nafas baigian bawh, dan ini terjadi
sebagai akibat bronkospasme, sembab mukosa, sekresi mukosa, masuknya isi lambung
atau benda asing ke dalam paru.
(Buku Penanganan Penderita Gawat Darurat, Prof. DR.dr. I. Riwanto, Sp.BD, FK
UNDIP)
16. Bagaimana cara menilai adanya gangguan jalan nafas?
17. Bagaimana cara dokter menangani pasien diskenario? Alurnya bagaimana??
18. Bagaimana cara pemeriksaan saturasi dan evaluasinya tiap berapa menit?
Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan beberapa tehnik. Penggunaan
oksimetri nadi merupakan tehnik yang efektif untuk memantau pasien terhadap
perubahan saturasi oksigen yang kecil atau mendadak (Brunner, Suddart, 2002).
Adapun cara pengukuran saturasi oksigen antara lain :
1). Saturasi oksigen arteri (Sa O2) nilai di bawah 90% menunjukan
keadaan hipoksemia (yang juga dapat disebabkan oleh anemia ). Hipoksemia karena
SaO2 rendah ditandai dengan sianosis . Oksimetri nadi adalah metode
pemantauan non invasif secara kontinyu terhadap saturasi oksigen hemoglobin
(SaO2). Meski oksemetri oksigen tidak bisa menggantikan gas-gas darah arteri,
oksimetri oksigen merupakan salah satu cara efektif untuk memantau pasien terhadap
perubahan saturasi oksigen yang kecil dan mendadak. Oksimetri nadi digunakan
dalam banyak lingkungan, termasuk unit perawatan kritis, unit keperawatan umum,
dan pada area diagnostik dan pengobatan ketika diperlukan
pemantauan saturasi oksigen selama prosedur.
2). Saturasi oksigen vena (Sv O2) diukur untuk melihat berapa banyak mengkonsumsi
oksigen tubuh. Dalam perawatan klinis, Sv O2 di bawah 60%, menunjukkan bahwa
tubuh adalah dalam kekurangan oksigen, dan iskemik penyakit terjadi. Pengukuran ini
sering digunakan pengobatan dengan mesin jantung-paru (Extracorporeal Sirkulasi),
dan dapat memberikan gambaran tentang berapa banyak aliran darah pasien yang
diperlukan agar tetap sehat.
3). Tissue oksigen saturasi (St O2) dapat diukur dengan spektroskopi
inframerah dekat . Tissue oksigen saturasi memberikan gambaran tentang oksigenasi
jaringan dalam berbagai kondisi.
4). Saturasi oksigen perifer (Sp O2) adalah estimasi dari tingkat kejenuhan oksigen
yang biasanya diukur dengan oksimeter pulsa perangkat.