Anda di halaman 1dari 38

SECTIO CAESAREADAN RISIKONYA

DIBANDINGKAN DENGAN PERSALINAN NORMAL


Cindy Rara, Mono Valentino Yohanis

I. PENDAHULUAN

Sectio Caesarea (SC) adalah prosedur operasi yang dapat

menyelamatkan jiwa saat terjadi komplikasi tertentu selama kehamilan dan

persalinan. Sectio Caesarea adalah merupakan pembedahan guna melahirkan

bayi melalui insisi pada dinding abdomen dan uterus Namun, ini adalah

operasi besar dan dikaitkan dengan risiko ibu dan perinatal yang mungkin

berimplikasi pada kehamilan di masa depan dan juga efek jangka panjang yang

masih diselidiki. Penggunaan SC telah meningkat secara dramatis di seluruh

dunia dalam dekade terakhir terutama di negara-negara berpenghasilan

menengah dan tinggi.(1)

Kemajuan ilmiah, perubahan sosial dan budaya, dan khususnya

perubahan hukum telah membawa perubahan mendasar pada sikap terhadap

operasi caesar di antara pasien dan dokter. Sebenarnya, konsensus seputar

indikasi seksio sesarea telah berubah di banyak negara, sekarang termasuk

faktor psikososial seperti kecemasan tentang persalinan, atau bahkan keinginan

ibu untuk menjalani operasi caesar tanpa adanya indikasi medis. Namun

demikian, alasan untuk bersikap liberal terhadap seksio sesar sangat beragam

dan tidak selalu mudah dipahami.(2)

Dalam beberapa tahun terakhir, telah dipertimbangkan sejumlah faktor

yang mungkin mempengaruhi peningkatan sesar. Berubahnya profil risiko

1
diantaranya primipara yang semakin tua sering disebut-sebut sebagai alasan

naiknya persalinan sesar. Peningkatan permintaan ibu akan seksio sesarea juga

berperan. Namun, kenaikan tingkat sesar seharusnya tidak dilihat secara

terpisah dari perubahan di masyarakat. Sebaliknya, elemen keuangan, sosial,

dan budaya tampaknya memainkan peran penting. Faktor-faktor ini bersamaan

dengan persepsi masyarakat bahwa persalinan sesar sekarang merupakan

prosedur yang hampir bebas risiko. Semua hal ini mungkin berkontribusi

terhadap peningkatan jumlah operasi caesar yang dilakukan.(2)

Beberapa penelitian telah membandingkan hasil antara SC dan VD

(Vaginal Delivery / persalinan pervaginam) dalam upaya untuk menjawab

pertanyaan, apakah SC tanpa indikasi medis yang ketat dapat dibenarkan atau

tidak. Dan ternyata hasilnya sangat bervariasi. (3)

Melihat hal-hal tersebut di atas, maka melalui referat ini akan dibahas

risiko-risiko SC baik risiko jangka pendek maupun jangka panjang, serta

kelebihan dan kekurangannya dibandingkan dengan persalinan pervaginam.

II. EPIDEMIOLOGI

Menurut data terakhir dari 150 negara, saat ini 18,6% dari semua

kelahiran terjadi melalui persalinan SC, masing-masing berkisar antara 6%

sampai 27,2% di daerah paling tidak dan paling maju. Amerika Latin dan

kawasan Karibia memiliki tingkat CS tertinggi (40,5%), diikuti oleh Amerika

Utara (32,3%), Oceania (31,1%), Eropa (25%), Asia (19,2%) dan Afrika

(7,3%). Berdasarkan data dari 121 negara, analisis kecenderungan

menunjukkan bahwa antara tahun 1990 dan 2014, tingkat CS rata-rata global

2
meningkat 12,4% (dari 6,7% menjadi 19,1%) dengan tingkat kenaikan rata-rata

tahunan sebesar 4,4%. Peningkatan absolut terbesar terjadi di Amerika Latin

dan Karibia (19,4%, dari 22,8% sampai 42,2%), diikuti oleh Asia (15,1%, dari

4,4% sampai 19,5%), Oceania (14,1%, dari 18,5% sampai 32,6%) , Eropa

(13,8%, dari 11,2% sampai 25%), Amerika Utara (10%, dari 22,3% sampai

32,3%) dan Afrika (4,5%, dari 2,9% sampai 7,4%). Asia dan Amerika Utara

adalah daerah dengan tingkat kenaikan tahunan rata-rata tertinggi dan terendah

(6,4% dan 1,6%).(1)

III. ANATOMI JALAN LAHIR(4)

Dalam setiap persalinan harus diperhatikan 3 faktor berikut (1) jalan

lahir; (2) janin; dan (3) kekuatan-kekuatan yang ada pada ibu. Jalan lahir dibagi

atas (a) bagian tulang, tediri atas tulang – tulang panggul dan persendiannya

(artikulasio) ; dan (b) bagian lunak, terdiri atas otot-otot, jaringan jaringan dan

ligamen-ligamen.

A. Bagian Tulang

1. Tulang-tulang Panggul(4)

Gambar 1. Tulang pelvis tampak sagital. (dikutip dari kepustakaan 5)

3
Tulang-tulang panggul terdiri atas 3 buah tulang yaitu (1) os koksa

2 buah kiri dan kanan; (2) os sakrum, da (3) os koksigis. Os koksa

merupakan fusi dari os ilium, os ischium, dan os pubis. Tulang-tulang ini

satu dengan yang lainnya berhubungan dalam suatu persendian panggul.

Didepan terdapat hubungan antara kedua os pubis kanan dan kiri yang

disebut simfisis. Simfisis terdiri atas jaringan fibrokartilago dan

ligamentum pubikum seprior di bagian atas serta ligamentum pubikum

inferior di bagian bawah. Simfisis mempunyai tingkat pergerakan

tertentu, yang dalam kehamilan tingkat pergerakan semakin dipermudah.

Di belakang terdapat artikulasio sakro-iliaka yang menghubungkan

os sakrum dengan os ilium. Di bawah terdapat artikulasio sakro-koksigea

yang menghubungkan os sakrum dengan os koksigis. Di luar kehamilan

artikulasio ini hanya memungkinkan pergerakan sedikit, tetapi dalam

kehamilan persendian ini mengalami relaksasi akibat perubahan

hormonal, sehingga pada waktu persalinan dapat digeser lebih jauh dan

lebih longgar. Misalnya ujung os koksigis dapat bergerak ke belakang

sampai sejauh lebih kurang 2,5 cm. Selain itu, akibat relaksasi

persendian ini, maka pada posisi dorso-litotomi memungkinkan

penambahan diameter pintu bawah panggul sebesar 1,5 cm – 2 cm. Hal

ini yang menjadi dasar pertimbangan untuk menempatkan perempuan

beraslin dalam posisi dorso-litotomi. Penambahan diameter pintu bawah

panggul hanya dimungkinkan apabila os sakrum dimungkinkan untuk

bergerak ke belakang yaitu dengan mengurangi tekanan alas tempat tidur

4
terhadap os sakrum. Hal inilah yang menjadi dasar tindakan manuver

McRoberts pada distosia bahu.

Pada seorang perempuan hamil yang bergerak terlampau cepat dari

posisi duduk langsung berdiri, sering dijumpai pergeseran yang lebar

pada artikulasio sakroiliaka. Hal demikian dapat menimbulkan rasa sakit

di daerah artikulasi tersebut. Juga pada simfisis jarang dijumpai difiolisis

sesudah partus atau ketika tergelincir, karena longgarnya hubungan di

simfisis. Hal demikian dapat menimbulkan rasa sakit atau gangguan saat

berjalan.

Secara fungsional panggul terdiri atas 2 bagian yang disebut pelvis

mayor dan pelvis minor. Pelvis mayor adalah bagian pelvis yang terletak

di atas linea terminalis (false pelvis) dan yang bagian bawah linea

terminalis adalah pelvis minor atau biasa disebut true pelvis. Bagian

akhir ini adalah bagian yang mempunyai peranan penting dalam obstetri

dan harus dapat dikenal dan dinilai sebaik-baiknya untuk dapat

meramalkan dapat-tidaknya bayi melewatinya.

Bentuk pelvis minor menyerupai suatu saluran yang mempunya

sumbu melengkung ke depan (sumbu Carus). Sumbu ini secara klasik

adalah garis yang menghubungkan titik persekutuan antara diameter

transversa dan konjugata vera pada pintu atas panggul dengan titik titik

sejenis di Hodge II, III, dan IV. Sampai dengan hodge III sumbu itu

lurus, sejajar dengan sakrum, untuk seterusnya melengkung ke depan,

sesuai dengan lengkungan sakrum. Hal ini penting untuk diketahu bila

5
akan mengakhiri persalinan dengan cunam agar arah penarikan curam

intu disesuaikan dengan arah sumbu jalan-lahir tersebut.

Bagian atas saluran ini berupa suatu bidang datar, normal

berbentuk hampir bulat disebut pintu atas panggul. Bagian bawah saluran

ini disebut pintu bawah panggul diantara kedua pintu tersebut terdapat

ruang panggul. Ukuran ruang panggul daru atas ke bawah tidak sama.

Ruang panggul mempunyai ukuran yang paling luas di bawah pintu-atas

pnggul, kemudia menyempit di panggul tengah dan selanjutnya menjadi

sedikit lebih luas lagi di bagian bawah. Penyempitan di panggul tengah

ini setinggi spina iskiadika yang jarak antara kedua spina iskiadika

(distansia interspinarum) normal ± 10,5 cm.

2. Pintu Atas Panggul(4)

Pintu atas panggul merupakan suatu bidang yang dibentuk oleh

promontorium korpus vertebra sakral 1, linea innominata (terminalis),

dan pinggir atas simfisis. Terdapat 4 diameter pada pintu-atas panggul

yaitu diameter anteroposterior. Diameter transversa, dan 2 diameter

oblikua.

Gambar 2. Pelvis wanita normal tampak anteroposterior. (dikutip dari kepustakaan 5)

6
Dalam obsetri dikenal 4 jenis panggul, yang mempunyai ciri-ciri pintu

atas panggul sebagia berikut :

a. Jenis ginekoid : panggul paling baik untuk perempuan. Bentuk

pintu atas paggul hampir bulat.

b. Jenis android : bentuk pintu atas panggul hampir segi tiga.

Umumnya pria mempunyai jenis seperti ini. Panjang diameter

transversa hampir sama dengan panjang diameter anteroposterior,

akan tetapi yang terakhir ini jauh lebih mendekati sakrum.

c. Jenis antropoid : bentuk pintu atas panggul agak lonjong, seperti

telur. Panjang diameter anteroposterior lebih panjang dibandingkan

diameter transversa.

d. Jenis platteloid : sebenanya jenis ini adalah jenis ginekoid yang

menyempit pada arah muka belakang. Ukuran melintang jauh lebih

besar daripada ukuran muka belakang. Jenis ini ditemukan pada 5

% perempuan.

Gambar 3. Keempat jenis panggul berdasarkan klasifikasi Caldwell-Moloy.


Garis yang melewati diameter melintang terluas membagi lubang masuk ke
segmen posterior (P) dan anterior (A). (Dikutip dari kepustakaan 5)

7
3. Ruang Panggul(4)

Seperti telah dikemukakan, ruang panggul di bawah pintu atas

panggul mempunyai ukuran yang paling luas. Di panggul tengah terdapat

penyempitan dalam ukuran melintang setinggi kedua spina iskiadika.

Ketika mengadakan penilaian ruang panggul hendaknya diperhatikan

bentuk os sakrum, apakah normal melintang dengan baik dari atas ke

bawah dan cekung ke belakang. Os sakrum yang kurang melengkung dan

kurang cekung akan mempersempit ruang panggul dan mempersulit

putaran paksi dalam, sehingga dapat terjadi malposisi janis. Selanjutnya

dinding samping ruang panggul dinilai dari atas ke bawah.

4. Bidang Hodge(4)

Bidang hodge dipelajari untuk menentukan sampai di manakah

bagian terendah janin turun dalam panggul dalam persalinan.

a. Bidang Hodge 1 : bidang datar yang melalui bagian atas simfisis

dan promontorium. Bidang ini dibentuk pada lingkaran pintu

atas panggul.

b. Bidang Hodge 2 : bidang yang sejajar dengan bidang hodge 1,

terletak setinggi bagian bawah simfisis.

c. Bidang Hodge 3 : bidang yang sejajar dengan bidang hodge 1

dan 2 terletak setinggi spina iskiadika kanan dan kiri. Pada

rajukan lain bidang hodge 3 biasa disebut juga dengan bidang O.

d. Bidang Hodge 4 : bidang yang sejajar dengan bidang hodge 1, 2,

dan 3 , teletak setinggi os koksigis.

8
5. Pintu Bawah Panggul(4)

Pintu bawah panggul, ttersusun atas 2 bidang datar yang masing-

masing berbentuk segitiga, yaitu bidang yang dibentuk oleh garis antara

kedua buah tuber os iskii dengan ujung os sakrum dan segitiga lainnya

yang alasnya juga garis antara kedua tuber os iskii dengan bagian bawah

merupakan sudut disebut arkus pubis. Dalam keadaan normal sudut ini

kurang lebih 90’, atau lebih besar sedikit. Bila kurnag sekali/lebih kecil

dari 90’ maka kepala janin akan lebih sulit dilahirkan karena

memerkukan tempat lebih banyak ke arah dorsal (anus). Dalam hal ini

perlu diperhatikan apakah ujung os sakrum/os koksigis tidak memonjol

ke depan, sehingga kepa janin tidak dapat dilahirkan.

B. Bagian Lunak(4)

Saat kala 2, segmen bawah uterus, serviks uteri, dan vagina ikut

membentuk jalan lahir. Pada akhir kehamilan, kurang lebih 38 minggu

serviks lebih pendek daripada waktu kehamilan 16 minggu. Seperti telah

dikemukakan, ismus uteri pada kehamilan 16 minggu menjadi bagian uterus

tempat janin berkembang. Umumnya serviks disebut menjadi matang

apabila teraba sebagai bibir ini terjadi pada usia kehamilan 34 minggu.

Di samping uterus dan vagina, otot-otot, jaringan ikat dan ligamen

yang verfungsi menyokong alat-alat urogenitalia perlu diketahui karena

semuanya mempengaruhi jalan-lahir dan lahirnya kepala atau bokong pada

partus. Muskulus levator ani mempunyai peranan yang penting dalam

mekanisme putaran paksi dalam janin. Kemiringan dan kelintingan

9
(elastisitas) otot ini membantu memudahkan putaran paski dalam janin.

Pada otot yang kurang miring atau lebih mendatar dan kurang melenting,

putaran paksi dalam jauh lebih sulit. Selain faktor otot, pitaran paksi dalam

juga ditentukan oleh ukuran panggul dan mobilitas leher janin.

Dalam diafragma pelvis berjalan nervus pudendus yang masuk rongga

panggul melalu kanalis alcock, terletak antara spina iskiadika dan tuber

iskii, pada persalinan sring dilakukan anastesi blok pudendus, sehingga rasa

sakit dapat dihilangkan pada ekstraksi canu,. Ekstraksi vakum, perjahitan

ruptura perinei, dan sebagainya.

IV. FISIOLOGI PERSALINAN NORMAL(4)

Suatu persalinan sangat dipengaruhi oleh 3 faktor “Power, Passage,

Passager”, yaitu :

A. Tenaga yang mendorong anak keluar, yaitu :

1. his

2. tenaga mengejan/meneran

B. Perubahan-perubahan pada uterus dan jalan lahir dalam persalinan

C. Gerakan anak pada persalinan

Adapun yang menyebabkan terjadinya suatu persalinan adalah hal-hal

yang disebut di bawah ini.

- Penurunan fungsi plasenta : kadar progesteron dan estrogen menurun

mendadak, nutrisi janin dari plasenta berkurang. (pada diagram, dari

Lancet, kok estrogen meningkat).

10
- Tekanan pada ganglion servikale dari pleksus Frankenhauser, menjadi

stimulasi (pacemaker) bagi kontraksi otot polos uterus.

- Iskemia otot-otot uterus karena pengaruh hormonal dan beban,

semakin merangsang terjadinya kontraksi.

- Peningkatan beban / stress pada maternal maupun fetal dan

peningkatan estrogen mengakibatkan peningkatan aktifitas kortison,

prostaglandin, oksitosin, menjadi pencetus rangsangan untuk proses

persalinan.

Beberapa jam terakhir kehamilan ditandai dengan adanya kontraksi

uterus yang menyebabkan penipisan, dilatasi serviks, dan mendorong janin

keluar melalui jalan lahir. Banyak energi dikeluarkan pada waktu ini. Oleh

karena itu, penggunaaan istilah in labor (kerja keras) dimaksudkan untuk

menggambarkan proses ini. Kontraksi miometrium pada persalinan terasa nyeri

sehingga nyeri persalinan digunakam untuk deskripsikan proses ini.

Persalinan aktif dibagi menjadi tiga kala yang berbeda. Kala satu

persalinan mulai ketika telah tercapai kontraksi uterus dengan frekuensi,

intensitas dan durasi yang cukup untuk menghasilkan pendataran dan dilatasi

serviks yang progresif. Kala satu persalinan selesai ketika serviks sudah

membuka lengkap (sekitar 10 cm) sehingga memungkinkan kepala janin lewat.

Oleh karena itu, kala satu persalinan disebut stadium pendataran dan dilatasi

serviks. Kala dua persalinan dimulai ketika dilatasi serviks sudah lengkap, dan

berakhir ketika janin sudah lahir. Kala dua persalinan disebut juga sebagai

stadium ekspulsi janin. Kala tiga persalinan dimulai segera setelah janin lahir,

11
dan berakhir dengan lahirnya plasenta dan selaput ketuban janin. Kala tiga

persalinan disebut juga sebagai stadium permisahan dan ekspulsi plasenta.

V. SECTIO CAESAREA(5)

Seksio sesaria atau persalinan sesaria didefinisikan sebagai melahirkan

janin melalui insisi dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus

(histerotomi). Definisi ini tidak mencakup pengangkatan janin dari kavum

abdomen dalam kasus ruptur uteri/kehamilan abdominal. Tindakan ini

dilakukan untuk mencegah kematian ibu dan bayi karena kemungkinan-

kemungkinan komplikasi yang dapat timbul bila persalinan tersebut

berlangsung pervaginam. Ada beberapa jenis seksio sesarea, yaitu:

a. Seksio sesarea transperitoneal profunda merupakan suatu pembedahan

dengan melakukan insisi pada segmen bawah uterus. Hampir 99% dari

seluruh kasus seksio sesarea dalam praktek kedokteran dilakukan dengan

menggunakan teknik ini, karena memiliki beberapa keunggulan seperti

kesembuhan lebih baik, dan tidak banyak menimbulkan perlekatan. Adapun

kerugiannya adalah terdapat kesulitan dalam mengeluarkan janin sehingga

memungkinkan terjadinya perluasan luka insisi dan dapat menimbulkan

perdarahan. Arah insisi melintang (secara Kerr) dan insisi memanjang

(secara Kronig).

b. Seksio sesarea klasik (corporal), yaitu insisi pada segmen atas uterus atau

korpus uteri. Pembedahan ini dilakukan bila segmen bawah rahim tidak

dapat dicapai dengan aman (misalnya karena perlekatan yang erat pada

vesika urinaria akibat pembedahan sebelumnya atau terdapat mioma pada

12
segmen bawah uterus atau karsinoma serviks invasif), bayi besar dengan

kelainan letak terutama jika selaput ketuban sudah pecah. Teknik ini juga

memiliki beberapa kerugian yaitu, kesembuhan luka insisi relatif sulit,

kemungkinan terjadinya ruptur uteri pada kehamilan berikutnya dan

kemungkinan terjadinya perlekatan dengan dinding abdomen lebih besar.

c. Seksio sesarea yang disertai histerektomi, yaitu pengangkatan uterus setelah

seksio sesarea karena atoni uteri yang tidak dapat diatasi dengan tindakan

lain, pada uterus miomatousus yang besar dan atau banyak, atau pada ruptur

uteri yang tidak dapat diatasi dengan jahitan.

d. Seksio sesarea vaginal, yaitu pembedahan melalui dinding vagina anterior

ke dalam rongga uterus. Jenis seksio ini tidak lagi digunakan dalam praktek

obstetri.

e. Seksio sesarea ekstraperitoneal, yaitu seksio yang dilakukan tanpa insisi

peritoneum dengan mendorong lipatan peritoneum ke atas dan kandung

kemih ke bawah atau ke garis tengah, kemudian uterus dibuka dengan insisi

di segmen bawah.

Dalam persalinan ada beberapa faktor yang menentukan keberhasilan

suatu persalinan, yaitu passage (jalan lahir), passenger (janin), power (kekuatan

ibu), psikologi ibu dan penolong. Apabila terdapat gangguan pada salah satu

faktor tersebut akan mengakibatkan persalinan tidak berjalan dengan lancar

bahkan dapat menimbulkan komplikasi yang dapat membahayakan ibu dan

janin jika keadaan tersebut berlanjut. Indikasi untuk sectio caesarea antara lain

meliputi:

13
1. Indikasi Medis

Terdiri dari 3 faktor : power, passanger, passage

2. Indikasi Ibu

a. Usia

b. Tulang Panggul

c. Persalinan sebelumnya dengan section caesarea

d. Faktor hambatan jalan lahir

e. Kelainan kontraksi rahim

f. Ketuban pecah dini

g. Rasa takut kesakitan

3. Indikasi Janin

a. Ancaman gawat janin (fetal distress)

b. Bayi besar (makrosemia)

c. Letak sungsang

d. Faktor plasenta : plasenta previa, solution plasenta, plasenta

accreta

e. Kelainan tali pusat : prolapsus tali pusat, terlilit tali pusat

Seksio sesarea dilakukan bila diyakini bahwa penundaan persalinan yang

lebih lama akan menimbulkan bahaya yang serius bagi janin, ibu, atau bahkan

keduanya, atau bila persalinan pervaginam tidak mungkin dapat dilakukan

dengan aman. Berdasarkan laporan mengenai indikasi terbanyak di negara-

negara maju, di Norwegia diperoleh hasil bahwa indikasi terbanyak untuk

seksio sesarea adalah distosia 3,6%, diikuti oleh presentasi bokong 2,1%,

14
gawat janin 2,0%, riwayat seksio sesarea sebelumnya 1,4% dan lain-lain 3,7%

dari 12,8% kasus seksio sesarea yang terjadi.

Di Skotlandia diperoleh bahwa distosia sebagai indikasi seksio sesarea

terbanyak yaitu 4,0%, sedangkan riwayat seksio sesarea sebelumnya 3,1%,

gawat janin 2,4%, presentasi bokong 2,0% dan lain-lain 2,7% dalam 14,2%

kasus seksio sesarea. Riwayat seksio sesarea sebelumnya merupakan indikasi

terbanyak dari 10,7% kasus seksio sesarea yang terjadi di Swedia yaitu 3,1%,

diikuti oleh distosia dan presentasi bokong yang masing-masing berkisar 1,8%,

sedangkan gawat janin hanya 1,6% dan lain-lain 2,4%. Di USA, riwayat seksio

sesarea sebelumnya merupakan indikasi terbanyak dari 23,6% kasus seksio

sesarea yang terjadi yaitu 8,5%, dan distosia berperan dalam 7,1%, presentasi

bokong 2,6%, gawat janin 2,2% dan lain-lain 3,2%.

Pada prinsipnya seksio sesarea dilakukan untuk kepentingan ibu dan

janin sehingga dalam praktik obstetri tidak terdapat kontraindikasi pada seksio

sesarea. Dalam hal ini adanya gangguan mekanisme pembekuan darah ibu,

persalinan pervaginam lebih dianjurkan karena insisi yang ditimbulkan dapat

seminimal mungkin.

VI. RISIKO SECTIO CESAREA

A. Risiko Jangka Pendek

1. Inkotinensia urine dan alvi

Tingkat inkontinensia flatus yang dilaporkan adalah 8-61% dan

inkontinensia alvi (feses) yaitu 0-20%. Masalah inkontinensia alvi terjadi

juga pada wanita dengan riwayat SC tanpa percobaan persalinan

15
pervaginam dan bahkan pada wanita tanpa kehamilan, meskipun hal ini

secara signifikan lebih jarang terjadi. Dalam sebuah penelitian di Inggris

wanita memiliki gejala baru inkontinensia alvi setelah SC elektif, SC

darurat dan persalinan pervaginam spontan adalah masing-masing 4%,

6% dan 8%. Sementara itu, inkontinensia urin pada persalinan normal

lebih tinggi dibandingkan dengan SC elektif yaitu 7,3% berbanding

4,5%.(3)

2. Perdarahan

Faktor risiko yang paling penting untuk perdarahan berat adalah SC

sebelumnya, yang meningkatkan risiko yaitu plasentasi abnormal dan

ruptur uterus. Dalam sebuah penelitian di Finlandia terhadap 171.731

wanita yang memiliki persalinan tunggal, 2,3% menerima transfusi

darah. SC sebelumnya, ibu lanjut usia, semua persalinan pervaginam

dengan instrument, dan setiap persalinan dengan SC saat ini

meningkatkan risikonya. SC sebelumnya juga meningkatkan risiko

perdarahan pada persalinan pervaginam berikutnya dibandingkan dengan

wanita dengan riwayat persalinan pervaginam saja. Faktor risiko yang

signifikan untuk perdarahan pasca persalinan adalah usia ≥35,

multigravida, fibroid, preeklampsia, amnionitis, plasenta previa atau

abrupsi, laserasi serviks, ruptur uteri, persalinan per vaginam dan

persalinan sesar.(3)

16
3. Histerektomi Peripartum

Insidens histerektomi peripartum yang dilaporkan bervariasi dari

0,3 sampai 5,0 per 1000 kelahiran dalam penelitian yang berbeda. Insiden

ini lebih tinggi untuk SC daripada persalinan pervaginam. Hal ini juga

lebih tinggi untuk wanita dengan SC sebelumnya dibandingkan wanita

tanpa CS sebelumnya. Dalam sebuah penelitian di Belanda, kejadiannya

adalah 0,1 / 1000 untuk persalinan pervaginam, 1.4 / 1000 untuk SC

elektif dan 1.2 / 1000 untuk SC darurat. Atonia uterus sebelumnya telah

menjadi penyebab utama histerektomi obstetrik darurat, namun dengan

meningkatnya angka SC di seluruh dunia, plasenta invasif abnormal telah

menjadi lebih umum, dan dalam beberapa penelitian telah menjadi

penyebab paling umum untuk histerektomi peripartum. Diperkirakan

bahwa histerektomi peripartum karena plasenta invasif abnormal masih

meningkat seiring dengan meningkatnya SC. Resiko terjadinya

komplikasi yang berkaitan dengan histerektomi peripartum cukup tinggi.

Dalam sebuah studi di Inggris (United Kingdom Obstetric Surveillance

System, data UKOSS) dilaporkan komplikasi yang berkaitan dengan

histerektomi peripartum diantaranya yaitu kerusakan kandung kemih

yang dilaporkan 12,2%, kerusakan ureter 4,5%, pengangkatan ovarium

9,0% dan operasi lebih lanjut pada 19,6% wanita yang menjalani

histerektomi peripartum. Dalam sebuah studi di Amerika Serikat, dari

186 histerektomi sesarea (0,5% dari semua SC) dianalisis dan komplikasi

berikut dilaporkan: 84% kebutuhan akan produk darah, 11% demam

17
pasca operasi, 0,5% tromboflebitis, 3,2% infeksi saluran kemih, 0,5%

DVT, 1,1% cedera usus dan kematian 1,6% ibu.(3)

4. Komplikasi Intraoperatif

Kejadian komplikasi intraoperatif pada sebuah penelitian pada

2647 SC di sebuah rumah sakit universitas di Belanda 1983-1992 adalah

14,8%. Komplikasi meliputi kehilangan darah ≥1000 ml, insisi kulit janin

yang tidak disengaja (1,3%), laserasi korpus uterin (10,1%), lesi kandung

kemih (0,8%), laserasi arteri rahim atau laserasi pada usus (0,5%).

Komplikasi lebih sering terjadi pada operasi emergensi (14,5%) dari pada

operasi elektif (6,8%) dan lebih sering terjadi pada wanita dengan SC

sebelumnya dari pada tanpa SC sebelumnya. Dalam sebuah penelitian

prospektif di Norwegia pada tahun 1998-1999 dilakukan analisis pada

2751 SC dengan hasil; gabungan terjadinya komplikasi intraoperatif

(kerusakan jaringan yang memerlukan penjahitan ekstra, lesi usus /

kandung kemih, kesulitan teknis karena adhesi, dan kejadian lain yang

dinilai sebagai komplikasi oleh ahli bedah) berjumlah 8,1%.(3)

Sebuah studi prospektif mengenai komplikasi intraoperatif SC

dilakukan di Swedia pada tahun 1978-1980 dengan meneliti 1319 SC.

Tingkat komplikasi keseluruhan adalah 11,6%, 9,5% adalah komplikasi

ringan (transfusi darah, laserasi ringan, luka ringan pada bayi tanpa

gejala sisa pada bayi) dan 2,1% adalah komplikasi utama (cedera pada

kandung kemih, robek di serviks atau vagina, pendarahan bilateral arteri

uterus, laserasi yang melibatkan sebagian besar korpus uteri, luka di usus,

18
dan luka pada bayi dengan gejala sisa). Tingkat komplikasi lebih tinggi

pada SC emergensi/ darurat dari pada SC elektif/ pilihan (18,9% vs

4,2%). Studi tersebut juga menunjukkan bahwa operator berpengalaman

mengurangi risiko yang terkait dengan SC emergensi secara signifikan.(3)

5. Komplikasi Anestesi

Dalam sebuah penelitian di Amerika tentang kematian ibu terkait

anestesi pada tahun 1991-2002 ada 1,2% kematian ibu terkait anestesi per

1.000 000 kelahiran hidup, yang terdiri dari 1,6% dari semua kematian

terkait kehamilan. Jumlah tersebut mengalami penurunan sebesar 59%

sejak 1979-1990. Penyebab utama kematian adalah kegagalan intubasi

atau masalah induksi, diikuti oleh kegagalan pernafasan, blok medula

spinalis atau epidural dan reaksi obat. Sekitar 86% kematian ini terkait

dengan SC.

6. Komplikasi Nifas

Komplikasi nifas terdiri dari infeksi, perdarahan, transfusi, ileus, operasi

ulangan, retensi urin, nyeri, sakit kepala terkait dengan tusukan dural

yang tidak disengaja, trombosis vena dalam dan kejadian tromboemboli.

Dalam sebuah penelitian di Skotlandia yang menilai morbiditas pasca

SC, hanya 9,5% wanita yang menjalani CS yang tidak mengalami

morbiditas pada periode pascakelahiran. Dalam studi tersebut, tidak

hanya catatan kasus obstetrik tapi bahkan catatan kebidanan telah ditinjau

ulang. Dalam sebuah studi di Belanda, komplikasi intraoperatif dan

pascaoperatif selama periode 10 tahun (1983-1992) ditinjau dan ternyata

19
35,7% wanita memiliki komplikasi pascaoperasi. Komplikasi

pascaoperasi ringan (demam, perdarahan 1000-1500 ml, hematoma dan

infeksi saluran kencing) terjadi pada 31,2%, dan komplikasi pasca

operasi utama (jumlah perdarahan melebihi 1500 ml, re-laparotomi,

infeksi pelvis, trombosis / emboli) pada 4,5% operasi. Dalam sebuah

studi di Jerman dari tahun 2001, total tingkat komplikasi nifas yang

terkait dengan SC adalah 22,4%; Komplikasi tersebut meliputi anemia

pascamelahirkan, kehilangan darah> 1000 ml, histerektomi, infeksi luka,

demam pascamelahirkan, sepsis dan eklampsia.(3)

7. Infeksi

Dalam beberapa dekade terakhir, penggunaan antibiotik profilaksis

selama persalinan meningkat. Penggunaan antibiotik profilaksis yang

berkaitan dengan SC tersebar luas, terutama selama prosedur darurat.

Tingkat infeksi yang terkait dengan SC telah menurun dengan

penggunaan antibiotik secara profilaksis.

Dalam sebuah penelitian di Denmark tentang infeksi

pascapersalinan dengan waktu tindak lanjut 30 hari setelah melahirkan,

para peneliti melihat bahwa 77% infeksi pascapersalinan muncul setelah

keluar rumah sakit. Risiko infeksi pascapersalinan lima kali lebih tinggi

setelah SC daripada setelah persalinan pervaginam. Juga dalam sebuah

penelitian di Norwegia tentang infeksi intraoperatif, 20% dari semua

infeksi luka didiagnosis saat tinggal di rumah sakit dan 80% kemudian

selama 30 hari masa tindak lanjut.

20
Dalam sebuah studi Kanada oleh Allen dkk. kejadian morbiditas

demam pada masa nifas dan infeksi luka adalah 0,6% pada persalinan

spontan dan 2,6% pada SC elektif. Dalam penelitian di Denmark oleh

Krebs dkk, morbiditas demam nifas dan kejadian infeksi luka gabungan

1,2% pada persalinan pervaginam, 2,4% pada SC elektif dan 4,1% pada

SC darurat. Dalam penelitian di AS, kejadian infeksi nifas utama adalah

0,9% pada persalinan pervaginam, 2,9% pada SC elektif dan 4,3% pada

SC darurat. Dalam ulasan Cochrane yang mencakup 86 uji coba

menyimpulkan bahwa antibiotik profilaksis mengurangi kejadian

morbiditas demam secara signifikan baik pada SC elektif maupun

darurat.(3)

a. Sepsis

Sepsis menyebabkan setidaknya 75.000 kematian ibu setiap

tahunnya. Sepsis didefinisikan sebagai bakteremia yang telah

dikonfirmasi oleh kultur darah positif, atau sepsis yang berlanjut

menjadi syok septik dengan tanda tekanan darah rendah, jumlah

platelet dan kelainan perfusi. Dalam sebuah studi tentang morbiditas

maternal berat di sembilan negara Eropa, kejadian sepsis adalah 0,8

per 1000 total persalinan, dan 1,0 per 1000 total persalinan di

Finlandia. Berdasarkan sebuah penelitian di Finlandia, sepsis

postpartum 3,6 kali lebih sering terjadi pada wanita dengan SC

dibandingkan dengan wanita yang melahirkan secara pervaginam.

Kejadian sepsis berat adalah 0,5 per 1000, dan angka fatalitas kasus

21
adalah 14,3%. Faktor risiko yang signifikan untuk sepsis berat adalah

primiparitas, hipertensi kronis, dan SC.(3)

b. Endometritis

Risiko endometritis secara signifikan lebih tinggi pada SC

daripada persalinan pervaginam, dan lebih tinggi pada operasi darurat

daripada pada yang elektif. Endometritis telah menurun secara

dramatis setelah pengenalan antibiotik profilaksis sebagai kebijakan

umum, namun masih sepuluh kali lebih tinggi pada CS dibandingkan

pada wanita yang melahirkan secara vaginal. Dalam banyak

penelitian, endometritis adalah termasuk dalam kategori "infeksi nifas

utama" dan terjadi pada 0,9% persalinan pervaginam, 2,9% SC elektif

dan 4,3% SC darurat.(3)

c. Infeksi luka

Dalam sebuah penelitian di Norwegia mengenai infeksi di

tempat operasi, tingkat infeksi luka yang terkait dengan SC adalah

8,9% selama 30 hari masa tindak lanjut, namun di rumah sakit hanya

1,8%. Risiko infeksi luka meningkat secara signifikan pada wanita

gemuk dan bila waktu operasi melebihi 38 menit. Tidak ada

perbedaan tingkat infeksi luka antara SC elektif dan SC darurat.

Dalam sebuah penelitian dari Israel mengenai faktor waktu dan risiko

yang terkait dengan SC, tingkat infeksi luka adalah 1,8%; itu lebih

tinggi setelah SC darurat dan SC dilakukan oleh residen dibandingkan

dengan SC yang dilakukan oleh ahli bedah senior. Insidensinya adalah

22
2,0% dalam sebuah penelitian di Belanda, 1,0% pada SC elektif dan

2,8% pada SC intrapartum.(3)

d. Infeksi lainnya

Infeksi saluran kencing (ISK) didiagnosis pada 2,5-3,4% wanita

setelah SC elektif maupun no-elektif dalam sebuah penelitian di

Belanda. Insidensinya paling rendah pada SC pilihan. Dalam sebuah

penelitian di Denmark mengenai infeksi yang berkaitan dengan SC,

ISK terjadi pada 1,5% setelah persalinan pervaginam, 2,6% setelah SC

elektif dan 3,0% setelah SC darurat.(3)

Dalam penelitian di Amerika Serikat, pneumonia lebih berisiko

terjadi pada persalinan dengan SC dibandingkan pervaginam.

Kejadiannya adalah 0,1% setelah persalinan pervaginam, 0,5% setelah

SC elektif dan 0,7% setelah SC darurat. Perokok memiliki risiko 2

kali lipat untuk pneumonia dibandingkan dengan bukan perokok.(3)

8. Kejadian Tromboemboli

Kejadian tromboemboli dan khususnya emboli paru adalah salah

satu penyebab utama kematian ibu di negara-negara dengan tingkat

kematian ibu yang rendah. Perubahan dalam sistem koagulasi wanita

selama kehamilan meningkatkan risiko tromboembolisme 4 sampai 6 kali

lipat dibandingkan keadaan non-hamil.(3)

Faktor risiko yang paling umum untuk kejadian tromboemboli

selama kehamilan adalah persalinan dengan SC dibandingkan dengan

pervaginam, dan dikombinasikan dengan faktor risiko lainnya, risikonya

23
meningkat bahkan lebih. Dalam sebuah studi di Swedia, kejadian dari

semua jenis kejadian tromboemboli adalah 1,7 pada 1000 SC, 3,7 kali

lipat dibandingkan dengan persalinan pervaginam. Hampir dua per tiga

kasus didiagnosis setelah ibu dan bayinya lahir dari unit persalinan.

Kejadian trombosis adalah 1,0 per 1000 kehamilan dalam sebuah

penelitian di Norwegia terhadap 613.232 kehamilan selama 1990-2003.

Dalam penelitian tersebut, kejadiannya pada masa antepartum dan

pascapersalinan. Faktor risiko trombosis postpartum adalah SC,

preeklampsia, abrupsio plasenta dan plasenta previa. Semua kematian

maternal akibat tromboembolisme terjadi pascapersalinan (3 dari 615

kasus, kasus: tingkat kematian 0,5%).(3)

Menurut sebuah studi di Swedia, kejadian tromboemboli vena telah

meningkat empat kali lipat dari tahun 1970an sampai tahun 1990an,

namun mortalitas pada tromboemboli vena telah menurun sejak tahun

1970. Tingkat fatalitas kasus tromboemboli vena telah menurun dari

4,5% menjadi 0,6%. Dalam studi populasi Swedia lainnya pada 1.003.

489 persalinan, dengan fokus pada emboli paru dan stroke, SC

merupakan risiko 3,8 kali lipat untuk emboli paru dan risiko stroke

sebesar 5,8 kali lipat dibandingkan dengan persalinan pervaginam. Selain

SC, faktor risiko DVT lain yang diketahui terkait dengan kehamilan dan

persalinan adalah obesitas, merokok, IDM, hipertensi, preeklampsia,

lupus eritematosus sistemik, kehamilan multipel, infeksi postpartum,

perdarahan postpartum dan transfusi.(3)

24
Emboli cairan amnion adalah kondisi langka dan parah yang

mungkin terjadi saat persalinan. Kejadian yang dilaporkan adalah 2,5-7,7

per 100.000 kelahiran dan tingkat mortalitasnya adalah 19-38%. Hal ini

terkait dengan operasi caesar, usia ibu di atas 35 tahun, pre-eklampsia,

abrupsio plasenta dan plasenta previa. Dalam sebuah studi di Belanda,

faktor risiko yang paling penting adalah usia ibu dan multiparitas yang

tinggi.(3)

9. Komplikasi lainnya

Komplikasi lain yang berkaitan dengan persalinan, dan lebih sering

terjadi pada SC dibandingkan dengan persalinan pervaginam, adalah

reoperasi, re-laparotomi, hematoma luka, obstruksi usus, retensi urin dan

nyeri. Dalam sebuah penelitian di Norwegia tentang 2752 SC diperlukan

1,7% operasi kembali setelah dilakukan SC setelah kehamilan ≥30

minggu, dan pada 5,2% dilakukan sebelum 30 minggu kehamilan. Dalam

penelitian retrospektif pada 3380 SC, re-laparotomi diperlukan setelah

0,53% SC: 66% karena perdarahan, 17% karena infeksi, dan 17% karena

komplikasi lainnya. Histerektomi diperlukan dalam satu kasus pada

kelompok ini. Ileus dilaporkan pada 1,5% pada SC dalam sebuah studi di

Belanda, dan 0,64% dalam sebuah penelitian di Skotlandia. Hematoma

luka dicatat pada 1,2% wanita setelah SC dalam sebuah penelitian dari

Israel dan 3,7% wanita setelah SC dalam sebuah penelitian di

Norwegia.(3)

25
Retensi urin pascapersalinan dilaporkan pada 14,6% wanita setelah

persalinan pervaginam dan 24,1% wanita setelah SC. Sebagian besar

wanita ini pulih dalam beberapa hari, namun 0,2% memiliki retensi urin

yang berlanjut. Faktor risiko retensi urin berlarut-larut adalah kala II

lama dan persalinan dengan vakum ekstraksi. Wanita-wanita ini juga

pulih sepenuhnya dalam waktu 28 hari. Dengan diagnosis dini, adanya

overstreching pada dinding kandung kemih menyebabkan kerusakan otot

detrusor dapat dihindari. Kelelahan dan nyeri pasca operasi dapat

membatasi wanita untuk merawat bayi yang baru lahir.(3)

B. Risiko Jangka Panjang

1. Lokasi dan Invasi Abnormal dari Plasenta

Risiko paling parah terkait dengan SC adalah komplikasi pada

kehamilan di masa depan. Plasenta previa dan plasenta invasif abnormal

(PIA) sangat terkait dengan SC sebelumnya dan meningkatkan risiko

perdarahan, histerektomi peripartum dan angka kematian. Selain itu,

risikonya meningkat secara progresif dengan meningkatnya jumlah SC

sebelumnya.(3,6)

Dikatakan plasenta previa apabila plasenta berada pada margin atau

menutupi serviks inlet, terjadi pada 10% wanita dengan riwayat empat

atau lebih SC dibandingkan dengan 0,23% wanita tanpa SC sebelumnya.

Sedangkan PIA merupakan akibat dari pembentukan decidua yang

kurang, ketika villi plasenta secara tidak benar menempel atau melekat

pada miometrium. Dalam sebuah studi berbasis populasi Nordik,

26
prevalensi PIA diperkirakan 1 dari 720 wanita dengan SC sebelumnya,

dan risiko tujuh kali lipat setelah satu kali SC sebelumnya meningkat

secara dramatis menjadi 56 kali lipat setelah tiga kali atau lebih SC.(6)

Plasenta akreta (atau inkreta / perkreta) adalah konsekuensi paling

parah dari SC. Risiko plasenta akreta dan histerektomi peripartum telah

diselidiki secara menyeluruh dan ternyata terjadi kenaikan risiko dengan

SC berulang atau dengan kata lain risikonya meningkat secara progresif

dengan meningkatnya jumlah SC sebelumnya.(3,6)

Morbiditas maternal yang terkait dengan multiple repeat SC

diselidiki dalam penelitian di AS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

morbiditas berat meningkat pada setiap SC, dan kejadian plasenta akreta

28 kali lipat (6,7%), dan histerektomi 14 kali lipat (9,0%) setelah 6 atau

lebih CS dibandingkan dengan situasi di CS pertama.(3)

Gambar 4. Kedalaman implantasi plasenta. (Dikutip dari kepustakaan 7)

Istilah plasenta adherent menyiratkan implantasi abnormal plasenta

ke dinding rahim dan terbagi menjadi plasenta akreta, inkreta, dan

27
perkreta. Plasenta akreta adalah jaringan plasenta di mana vili dari

plasenta menginvasi ke permukaan desidua miometrium karena tidak

terbentuknya desidua basalis dan lapisan nitabuch, remodelling

pembuluh darah maternal yang abnormal, invasi trofoblastik yang

berlebihan atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Plasenta inkreta

adalah plasenta di mana vili plasenta menginvasi ke dalam

miometrium,sedangkan dan plasenta perkreta adalah plasenta di mana

vili plasenta menginvasi lebih dalam dari miometrium hingga ke serosa

ddbahkan sampai ke organ intraabdomen lainnya, misalkan kandung

kemih. Sekitar 75% dari plasenta adherent adalah plasenta akreta 18%

inkreta, dan 7% adalah plasenta perkreta. Kedalaman dari invasi plasenta

merupakan hal yang penting secara klinis karena intervensi yang akan

dilakukan tergantung terhadap hal tersebut. Plasenta akreta dapat dibagi

lagi menjadi plasenta akreta total, plasenta akreta parsial, dan plasenta

akreta fokal berdasarkan jumlah jaringan plasenta yang terlibat dalam

invasi ke miometrium. Vaskularisasi abnormal akibat proses jaringan

parut setelah operasi dengan hipoksia lokal sekunder yang mengarah

pada rusaknya desidualisasi dan invasi trofoblas berlebihan merupakan

teori patogenesis yang paling didukung sampai saat ini.(7)

Gangguan miometrium setelah SC juga dapat menyebabkan

implantasi konsepus di bekas luka, yang dapat mengakibatkan Cesarean

scar pregnancy (CSP). CSP adalah bentuk kehamilan ektopik yang

jarang terjadi, dimana kantung kehamilan sepenuhnya atau sebagian

28
berimplantasi ke dalam bekas luka yang terbentuk oleh operasi caesar

sebelumnya.(5,8)

Gambar 5. Segmen bawah uterus dengan implantasi gestational sac (GS) di


bekas luka sesar. Beberapa ruang vaskular tidak teratur dalam plasenta (tanda
panah). Hasilnya adalah plasentra perkreta anterior.(Dikutip dari kepustakaan 7).

Gambar 6. Beberapa kekosongan vaskuler (panah) dalam plasenta pada


kehamilan 18 minggu. Temuan ini telah dilaporkan mempunyai sensitivitas
tinggi dan tingkat positif palsu rendah untuk plasenta akreta. (Dikutip dari
kepustakaan 7).

29
Sedikit yang diketahui tentang mekanisme dan etiopatologi CSP.

Gangguan endometrium dan miometrium atau jaringan parut bisa

menjadi faktor predisposisi implantasi kehamilan abnormal. Mekanisme

yang paling mungkin untuk menjelaskan implantasi pada jaringan parut

adalah invasi oleh blastokist melalui saluran mikroskopik yang

berkembang dari trauma SC sebelumnya. Adanya bekas luka SC di rahim

juga dapat menghambat implantasi kantong gestasional akibat efek

operasi pembedahan lebih awal pada endometrium, dan bukan hanya

adanya bekas luka secara fisik. Resiko implantasi pada jaringan parut

mungkin sebanding dengan ukuran defek dinding uterus anterior,

kemungkinan disebabkan oleh luas permukaan yang lebih besar yang

diinduksi oleh bekas luka. Namun, karena kebanyakan CSP terjadi

setelah hanya satu SC sebelumnya, tidak ada korelasi yang jelas antara

risiko CSP dan jumlah SC sebelumnya. Wanita yang memiliki riwayat

SC karena presentasi sungsang pada kehamilan sebelumnya nampaknya

paling sering berisiko terkena CSP di masa depan. Hal ini mungkin

terkait dengan kebutuhan akan sayatan uterus yang lebih tinggi karena

segmen bawah yang kurang terbentuk. CSP dapat dikelompokkan

menjadi dua jenis berdasarkan temuan pada pemeriksaan pencitraan dan

perkembangan kehamilan. Tipe 1, atau endogenik, terjadi implantasi

pada bekas luka dan kantung kehamilan tumbuh menuju rongga serviks-

isthmic atau uterus. Tipe 2, atau eksogenik, terjadi saat kantung

kehamilan tertanam kuat di bekas luka dan miometrium sekitarnya dan

30
tumbuh menuju kandung kemih. Pada tipe eksogenik, lapisan

miometrium dapat terlihat antara kantung kehamilan dan kandung kemih

pada stadium awal, kemudian menjadi tipis dan akhirnya lenyap,

sehingga kantung kehamilan akan menggembung melalui celah saat

kehamilan berlangsung, sehingga membawa risiko lebih besar akan

terjadinya ruptur. Dalam dua pertiga kasus, ketebalan bekas luka

mungkin kurang dari 5 mm.(8)

2. Ruptur Uterus

Ruptur uterus merupakan komplikasi serius pada kehamilan dan

persalinan. Hal ini menyebabkan morbiditas yang parah bagi ibu dan

neonatus dan kadang-kadang menyebabkan kematian maternal atau

neonatal. Resikonya lebih tinggi jika seorang wanita memiliki dua atau

lebih SC sebelumnya, memiliki SC kurang dari 12 bulan sebelumnya

atau jika persalinan telah diinduksi. Dalam studi kontrol di Inggris,

keseluruhan kejadian ruptur uteri adalah 0,2 per 1000 kelahiran dan

untuk SC dengan upaya persalinan pervaginam sebelumnya yaitu 2,1 per

1000 serta 0,3 per 1000 kelahiran pada kelompok SC elektif (yang

direncanakan).(3)

Ruptur uteri pada bekas seksio sesaria biasanya terjadi tanpa

banyak menimbulkan gejala, hal ini terjadi karena tidak terjadi robekan

secara mendadak melainkan terjadi perlahan-lahan pada sekitar bekas

luka. Daerah disekitar bekas luka lambat laun makin menipis sehingga

akhirnya benar-benar terpisah dan terjadilah ruptur uteri. Robekan pada

31
bekas sayatan lebih mudah terjadi karena tepi sayatan sebelah dalam

tidak berdekatan, terbentuknya hematom pada tepi sayatan, dan adanya

faktor lain yang menghambat proses penyembuhan.

Pada penegakkan diagnosis didapatkan(9):

a. Anamnesis : adanya riwayat operasi pada uterus sebelumnya

khususnya riwayat SC.

b. Gambaran klinis ruptur uteri didahului oleh gejala-gejala ruptur

uteri yang membakat, yaitu didahului his yang kuat dan terus

menerus, rasa nyeri yang hebat di perut bagian bawah, nyeri

waktu ditekan, gelisah, nadi dan pernapasan cepat. segmen

bawah uterus tegang, nyeri pada perabaan, lingkaran retraksi

(Van Bandle Ring) meninggi sampai mendekati pusat, dan

ligamentum rotunda menegang. Pada saat terjadinya ruptur uteri

penderita dapat merasa sangat kesakitan dan seperti ada robek

dalam perutnya. Keadaan umum penderita tidak baik, dapat

terjadi anemia sampai syok (nadi filipormis, pernapasan cepat

dangkal, dan tekanan darah turun).

c. Pemeriksaan luar : Nyeri tekan abdominal, perdarahan per

vaginam, kontraksi uterus biasanya akan hilang, pada palpasi

bagian janin mudah diraba di bawah dinding perut ibu atau janin

teraba di samping uterus di perut bagian bawah teraba uterus

kira-kira sebesar kepala bayi, denyut jantung janin (DJJ)

biasanya negatif (bayi sudah meninggal), terdapat tanda-tanda

32
cairan bebas, jika kejadian ruptur uteri telah lama maka akan

timbul gejala-gejala yaitu meteorismus dan defans muskular

yang menguat sehingga sulit untuk meraba bagian-bagian janin.

d. Pada pemeriksaan dalam ditemukan :

 Pada uteri komplit :

- Perdarahan pervaginam disertai perdarahan intra abdomen


sehingga didapatkan tanda cairan bebas dalam abdomen.

- Pada pemeriksaan pervaginal bagian bawah janin tidak


teraba lagi atau teraba tinggi dalam jalan lahir, selain itu

kepala atau bagian terbawah janin dengan mudah dapat

didorong ke atas hal ini terjadi karena seringkali seluruh

atau sebagian janin masuk ke dalam rongga perut melalui

robekan pada uterus.

- Kadang-kadang kita dapat meraba robekan pada dinding


rahim dan jika jari tangan dapat melalui robekan tadi,

maka dapat diraba omentum, usus, dan bagian janin.

- Pada kateterisasi didapat urin berdarah.


 Pada ruptur uteri inkomplit :

- Perdarahan biasanya tidak terlalu banyak, darah


berkumpul di bawah peritoneum atau mengalir keluar

melalui vagina.

- Janin umumnya tetap berada dalam uterus.

33
- Pada kateterisasi didapat urin berdarah.
3. Adhesi (Perlekatan)

Perekatan intra-abdomen adalah struktur yang terbentuk antara

organ perut, peritoneum dan dinding perut setelah peradangan yang

disebabkan oleh pembedahan, infeksi atau iritasi kimia dan dapat terjadi

lebih dari 90% setelah laparotomi. Morbiditas dari adhesi pasca operasi

berhubungan erat dengan jenis indeks operasi; Obstruksi usus kecil telah

dilaporkan hanya 0,5 / 1000 setelah SC dibandingkan dengan setelah

histerektomi abdomen yaitu 15,6 / 1000. Adhesi juga terkait dengan

subfertilitas dan nyeri pelvis. Setelah SC, subfertilitas dilaporkan terjadi

pada 3% dan nyeri kronis pada 6% wanita.(6)

Bahkan jika morbiditas parah setelah SC jarang terjadi, adhesi

dapat meningkatkan komplikasi intraoperatif pada operasi berikutnya.

Adhesi pelvis diperkirakan berkembang pada satu - dua pertiga wanita

yang melahirkan dengan SC, dan dapat menyebabkan cedera pada

kandung kemih dan ureter, waktu operasi lebih lama, dan kehilangan

darah. Infeksi pasca operasi setelah SC dapat menimbulkan lebih dari

sepuluh kali lipat risiko adhesi dinding abdomen.(6)

Jumlah operasi sebelumnya mempengaruhi pembentukan adhesi.

SC berulang dikaitkan dengan adhesi pelvis yang lebih banyak. Dalam

sebuah penelitian prospektif terhadap 1.000 prosedur laparoskopi,

dilaporkan bahwa tingkat perlekatan yang rendah terjadi setelah

34
laparoskopi, namun adhesi intestinal meningkat untuk setiap jumlah

operasi.(6)

Dalam analisis sekunder dengan metode kohort prospektif,

Blumenfeld dkk. mengamati bahwa adhesi kandung kemih terjadi lebih

sering setelah penutupan uterus dengan single layer dibandingkan dengan

double layer. Terlepas dari riwayat dan teknik bedah, faktor predisposisi

terjadinya adhesi pascaoperasi mungkin terkait dengan riwayat medis dan

kerentanan individu. Penyakit radang panggul yang disebabkan oleh

infeksi dan / atau endometriosis sangat terkait dengan terjadinya adhesi.

Standar baku emas untuk diagnosis endometriosis adalah laparoskopi

dengan visualisasi langsung pada lesi abdomen yang diikuti dengan

pemeriksaan histopatologi. Endometriosis telah dilaporkan terjadi pada

seperlima wanita yang menjalani histerektomi karena nyeri panggul

kronis.(6)

VII. RISIKO SECTIO CAESARIA TERHADAP BAYI(10)

Pada seksio sesarea, lesi neonatal terjadi pada 1,1% kasus, luka insisi

yang terjadi akibat scalpel (0,7%), sefalhematoma (0,2%), patah tulang

tengkorak dan tulang lainnya yang disertai dengan lesi saraf perifer (0,02 %),

lesi pleksus brakialis (0,02%), dan kelumpuhan saraf wajah (0,03%). Anak-

anak yang lahir dengan operasi caesar mungkin memiliki skor Apgar yang

lebih rendah, terutama karena anestesi. Mereka mungkin juga mengalami

kesulitan bernapas, yang mungkin terjadi pada beberapa jam pertama. Sectio

caesaria sebagai jenis persalinan yang tidak alami tentunya akan

35
menyebabkan stres dan syok neonatal karena neonatus tidak melewati jalan

lahir; Itulah sebabnya di masa lalu, bayi baru lahir ini biasa disebut 'cut out'

(caesones) atau 'unborn' (nonatus). Dalam kasus penilaian usia kehamilan

yang keliru, anak-anak yang belum dewasa lahir dengan operasi caesar.

Risiko neonatus hanya berkurang tetapi tidak dieliminasi dengan operasi

caesar, sementara morbiditas dan mortalitas ibu meningkat 3 sampai 8 kali

dibandingkan dengan persalinan spontan.

Selain komplikasi maternal dan neonatal intraoperatif dan pasca operasi

caesar yang tercatat di atas, masalah konsekuensi jangka panjang untuk anak

yang lahir dengan operasi sesar telah semakin ditangani dalam beberapa

tahun terakhir. Karena alasan SC yang tidak benar masih menunjukkan

kecenderungan meningkat di banyak negara (misalnya di China dan Brasil, di

mana berkaitan dengan status sosial ekonomi), sejumlah penelitian yang

menyelidiki konsekuensi jangka panjang pada anak yang lahir melalui operasi

caesar telah terjadi. Studi besar NSome menemukan korelasi antara jenis

persalinan dan tingkat morbiditas saat ini seperti obesitas, asma, berbagai

bentuk dermatitis, diabetes mellitus tipe 1, dan lain-lain. Berdasarkan hasil

yang diperoleh, anak-anak yang lahir dengan operasi sesar memiliki risiko

dua kali lipat untuk menderita diabetes mellitus tipe 1 dibandingkan dengan

anak yang lahir melalui proses persalinan pervaginam (kejadian 4,8% vs

2,2%) . Mekanismenya sampai saat ini masih belum jelas. Postulat yang ada

menduga bahwa flora usus anak-anak ini mengandung jumlah bakteri

bifidobakteri yang lebih rendah, yaitu flora usus mereka serupa dengan

36
individu diabetes. Bifidobacteria termasuk dalam kelompok bakteri usus yang

sangat penting. Studi yang dilakukan di Brazil dan Norwegia menunjukkan

hubungan antara jenis persalinan dan perkembangan obesitas, asma dan

berbagai bentuk dermatitis pada anak yang lahir dengan operasi caesar. Hasil

penelitian di Brazil menunjukkan prevalensi obesitas pada anak yang lahir

dengan operasi caesar lebih tinggi sebesar 33% dan pada mereka yang berusia

19 tahun bahkan 50% dibandingkan dengan anak-anak yang lahir dengan

persalinan per vaginam, sementara penelitian di Norwegia menunjukkan

prevalensi asma terhadap secara signifikan lebih tinggi pada 36 bulan pertama

kehidupan pada anak yang lahir dengan operasi sesar.

Ada dua hipotesis tentang kemungkinan penyebab dan asosiasi cara

melahirkan dan penyakit yang disebutkan di atas. Menurut hipotesis pertama,

saat persalinan, anak-anak yang lahir melalui persalinan per vaginam

berhubungan dengan bakteri 'baik' dari ibu, yang biasanya ditemukan di

saluran kelahiran ibu dan rektum. Ketika bakteri ini dipindahkan ke bayi baru

lahir, mereka melewati sistem pencernaan yang baru lahir dan menetap di

usus kecil dan besar. Pada anak-anak yang lahir dengan persalinan per

vaginam, bakteri 'baik' dari ibu menstimulasi sel darah putih neonatal dan

komponen sistem kekebalan lainnya (produksi sitokin T-helper tipe 1 dan tipe

2 pada khususnya) untuk pertahanan tubuh.

Di sisi lain, anak-anak yang lahir dengan operasi caesar kehilangan

kontak dengan bakteri yang kebanyakan ditemukan di saluran kelahiran ibu

dan rektum. Dalam kasus SC elektif, tidak ada kontak dengan bayi yang baru

37
lahir dengan bakteri ibu, sedangkan pada operasi caesar darurat, kontak

semacam itu mungkin masih terjadi. Pada anak-anak ini, sistem

gastrointestinal mereka dijajah oleh bakteri kutaneous dan nosokomial.

Mereka kekurangan bakteri ibu 'baik', sementara bakteri 'buruk' yang dapat

memperburuk sistem kekebalan neonatal sering hadir. Menurut beberapa

penelitian, anak-anak ini memiliki insidensi infeksi pernapasan neonatus yang

lebih tinggi, yang dikaitkan dengan perkembangan asma, obesitas, diabetes

mellitus tipe 1, berbagai bentuk dermatitis, dan lain-lain, di kemudian hari.

38

Anda mungkin juga menyukai