Anda di halaman 1dari 16

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Asfiksia Neonatorum


Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan kegagalan nafas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir. Perubahan-perubahan yang terjadi pada
asfiksia antara lain hipoksia, hiperkapnia dan asidosis metabolik. Pada asidosis
metabolik, terjadi perubahan metabolism aerob menjadi anaerob yang akan
menyebabkan kelainan biokimiawi darah yang lebih parah. Keadaan ini akan
mempengaruhi metabolisme sel, jaringan dan organ khususnya organ vital seperti
otak, jantung, ginjal, paru-paru yang berdampak pada gangguan fungsi, gagal
organ sampai kematian.
Asfiksia Neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera
bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia
janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul
dalam kehamilan, persalinan atau segera lahir (Prawiro Hardjo, Sarwono, 1997).
Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi baru lahir yang tidak
dapat bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini
biasanya disertai dengan keadaan dimana hipoksia dan hiperapneu serta sering
berakhir dengan asidosis (Santoso NI, 1992).
Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal
bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir (Hutchinson, 1967).
Keadaan ini disertai dengan hipoksia, hiperkapnia dan berakhir dengan asidosis.
Hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia ini merupakan faktor terpenting
yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan ekstrauterin
(Gabriel Duc, 1971). Penilaian statistik dan pengalaman klinis atau patologi
anatomis menunjukan bahwa keadaan ini merupakan penyebab utama mortalitas
dan morbiditas bayi baru lahir. Hal ini dibuktikan oleh Drage dan Berendes (1966)
yang mendapatkan bahwa skor Apgar yang rendah sebagai manifestasi hipoksia
berat pada bayi saat lahir akan memperlihatkan angka kematian yang tinggi.
Haupt (1971) memperlihatkan bahwa frekuensi gangguan perdarahan
pada bayi sebagai akibat hipoksia sangat tinggi. Asidosis, gangguan
kerdiovaskular serta komplikasinya sebagai akibat langsung dari hipoksia
merupakan penyebab utama kegagalan adaptasi bayi baru lahir (James, 1958).
Kegagalan ini akan sering berlanjut menjadi sindrom gangguan pernafasan pada
hari-hari pertama setelah lahir (James, 1959). Penyelidikan patologi anatomis
yang dilakukan oleh Larrhoce dan Amakawa (1971) menunjukkan nekrosis berat
dan difus pada jaringan otak bayi yang meninggal karena hipoksia. Karena itu
tidaklah mengherankan bahwa sekuele neurologis sering ditemukan pada
penderita asfiksia berat. Keadaan ini sangat menghambat pertumbuhan fisik dan
mental bayi di kemudian hari. Untuk menghindari atau mengurangi kemungkinan
tersebut, perlu dipikirkan tindakan khusus yang tepat dan rasional sesuai dengan
perubahan yang mungkin terjadi pada penderita asfiksia.
Asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan
dengan sempurna, sehingga tindakan perawatan dilaksanakan untuk
mempertahankan kelangsungan hidup dan mengatasi gejala lanjut yang mungkin
timbul. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, beberapa faktor perlu
dipertimbangkan dalam menghadapi bayi dengan asfiksia.

B. Etiologi
Setiap janin akan mengalami hipoksia relatif pada saat segera setelah lahir
dan bayi akan beradaptasi, sehingga bayi menangis dan bernafas. Asfiksia
merupakan kelanjutan dari hipoksia ibu dan janin intrauterine yang disebabkan
banyak faktor.
Faktor ibu yag dapat menyebabkan terjadinya asfiksia neonatorum, adalah
hipoksia ibu, usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, gravida lebih dari
empat, sosial ekonomi rendah, penyakit pembuluh darah yang mengganggu
pertukaran dan pengangkutan oksigen, antara lain hipertensi, hipotensi, gangguan
kontraksi uterus dan lain-lain.
Faktor plasenta juga dapat menyebabkan terjadinya asfiksia neonatorum,
diantaranya adalah plasenta yang tipis, kecil, tidak menempel sempurna, solusio
plasenta, plasenta previa dan lain-lain. Faktor janin yang dapat menyebabkan
terjadinya asfiksia neonatorum diantaranya adalah prematur, Intra Uterin Growth
Retardation (IUGR), kehamilan ganda (gemelli), tali pusat menumbung, kelainan
kongenital dan lain-lain. Faktor persalinan juga turut meningkatkan terjadinya
kejadian asfiksia neonatorum, yaitu partus lama serta partus dengan tindakan.
Pengembangan paru-paru bayi baru lahir terjadi pada menit-menit
pertama kelahiran dan kemudian disusul dengan pernafasan teratur. Bila terdapat
gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari ibu ke janin, akan
terjadi asfiksia janin atau neonatus. Gangguan ini dapat timbul pada masa
kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir. Hampir sebagian besar asfiksia
bayi baru lahir ini merupakan kelanjutan asfiksia janin, karena itu penilaian janin
selama masa kehamilan dan persalinan memegang peranan yang sangat penting
untuk keselamatan bayi. Gangguan yang timbul pada akhir kehamilan atau
persalinan hampir selalu disertai anoksia atau hipoksia janin dan berakhir dengan
asfiksia neonatorum dan bayi mendapat perawatan yang adekuat dan maksimal
pada saat lahir.
Secara umum berikut ini adalah faktor-faktor penyebab kegagalan
pernafasan pada bayi, meliputi :
1. Faktor ibu
Hipoksia ibu dapat menimbulkan hipoksia janin. Hipoksia ibu ini dapat terjadi
kerena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau anastesia. Gangguan
aliran darah uterus dapat mengurangi aliran darah pada uterus yang menyebabkan
berkurangnya aliran oksigen ke plasenta dan janin. Hal ini sering ditemukan pada
keadaan gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni atau tetani uterus
akibat penyakit atau obat, hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan,
hipertensi pada penyakit eklamsi dan lain-lain.
2. Faktor plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta.
Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta,
misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta dan lain-lain.
3. Faktor fetus atau janin
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan gangguan aliran darah dalam pembuluh
darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan
aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, tali pusat
melilit leher, kompresi tali pusat antara janin serta jalan lahir dan lain-lain.
4. Faktor neonatus
Depresi pusat pernafasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena pemakaian obat
anastesi atau analgetika yang berlebihan pada ibu secara langsung dapat
menimbulkan depresi pusat pernafasan janin, trauma yang terjadi pada persalinan
misalnya perdarahan intracranial, kelainan kongenital pada bayi misalnya hernia
diafragmatika, atresia atau stenosis saluran pernafasan, hipoplasia paru dan lain-
lain.

C. Patofisiologi
Selama kehidupan di dalam rahim, paru-paru janin tidak berperan dalam
pertukaran gas karena plasenta menyediakan oksigen dan mengangkat CO2 keluar
dari tubuh janin. Pada keadaan ini paru-paru janin tidak berisi udara, sedangkan
alveoli janin berisi cairan yang diproduksi didalam paru sehingga paru janin tidak
berfungsi untuk respirasi. Sirkulasi darah dalamparu- paru saat ini sangat rendah
dibandingkan dengan setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh karena konstriksi dari
arteriol dalam paru-paru janin. Sebagian besar sirkulasi darah paru akan melewati
Duktus Arteriosus (DA) tidak banyak yang masuk kedalam arteriol paru.
Segera setelah lahir bayi akan menarik nafas yang pertama kali (menangis), pada
saat ini paru-paru janin mulai berfungsi untuk respirasi. Alveoli akan
mengembang lalu udara akan masuk dan cairan yang ada didalam alveoli akan
meninggalkan alveoli secara bertahap. Bersamaan dengan ini arteriol paru akan
mengembang dan aliran darah kedalam paru akan meningkat secara memadai.
Duktus Arteriosus (DA) akan mulai menutup bersamaan dengan meningkatnya
tekanan oksigen dalam aliran darah. Darah dari jantung kanan (janin) yang
sebelumnya melewati DA dan masuk kedalam aorta akan mulai memberi aliran
darah yang cukup berarti kedalam arteriol paru yang mulai mengembang, Duktus
Arteriosus (DA) akan tetap tertutup sehingga bentuk sirkulasi ekstrauterin akan
dipertahankan.
Hipoksia janin atau bayi baru lahir sebagai akibat dari vasokonstriksi dan
penurunan perfusi paru-paru yang berlanjut dengan asfiksia pada awalnya akan
terjadi konstriksi arteriol pada usus, ginjal, otot dan kulit sehingga penyediaan
oksigen untuk organ vital seperti jantung dan otak akan meningkat. Apabila
askfisia berlanjut maka terjadi gangguan pada fungsi miokard dan cardiac output
sehingga terjadi penurunan penyediaan oksigen pada organ vital dan saat ini akan
mulai terjadi suatu “Hypoxic Ischemic Enchephalopathy” (HIE) yang akan
memberikan gangguan yang menetap pada bayi sampai dengan kematian bayi
baru lahir. “Hypoxic Ischemic Enchephalopathy” (HIE) ini pada bayi baru lahir
akan terjadi secara cepat dalam waktu 1-2 jam bila tidak diatasi secara cepat dan
tepat (Aliyah Anna, 1997).

D. Tanda dan Gejala


Pada asfiksia, tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan yang disebabkan oleh
beberapa keadaan diantaranya adalah :
1. Hilang sumber glikogen dalam jantung yang akan mempengaruhi fungsi
jantung.
2. Terjadinya asidosis metabolic yang akan mengakibatkan menurunnya sel
jaringan termasuk otot jantung sehingga menimbulkan kelemahan jantung.
3. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan menyebabkan tetap
tingginya resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah mengalami
gangguan.
Gejala klinis bayi yang mengalami kekurangan O2 akan terjadi pernafasan
yang cepat dalam periode yang singkat apabila asfiksia berlanjut, gerakan
pernafasan akan berhenti, denyut jantung juga menurun, sedangkan tonus
neuromuskular berkurang secara barangsur-angsur dan memasuki periode apnue
primer. Gejala dan tanda asfiksia neonatorum yang khas antara lain meliputi
pernafasan cepat, pernafasan cuping hidung, sianosis dan nadi cepat.
Berikut ini adalah gejala lanjut pada asfiksia :
1. Pernafasan megap-megap dalam
2. Denyut jantung terus menurun
3. Tekanan darah mulai menurun
4. Bayi terlihat lemas (flaccid)
5. Menurunnya tekanan O2 anaerob (PaO2)
6. Meningkatnya tekanan CO2 darah (PaO2)
7. Menurunnya PH (akibat asidosis respiratorik dan metabolik)
8. Dipakainya sumber glikogen tubuh anak metabolisme anaerob
9. Terjadinya perubahan sistem kardiovaskular
10. Pernafasan terganggu
11. Detak jantung berkurang
12. Reflek atau respon bayi melemah
13. Tonus otot menurun
14. Warna kulit biru atau pucat
Diagnosis asfiksia neonatorum juga dapat ditegakkan dengan cara
menghitung nilai APGAR, memperhatikan keadaan klinis, adanya sianosis,
bradikardi dan hipotoni. Pemeriksaan dan kardiotokografi (KTG) nilai APGAR 7-
10 dikategorikan sebagai asfiksia ringan atau bayi normal, nilai APGAR 4-6
dikategorikan sebagai asfiksia sedang, nilai APGAR 1-3 dikategorikan sebagai
asfiksia berat.

E. Komplikasi
Komplikasi yang dapat muncul pada asfiksia neonatorum antara lain :
1. Oedema otak dan perdarahan otak
Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah berlanjut
sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke otak pun akan
menurun. Keadaaan ini akan menyebabkan hipoksia dan iskemik otak yang
berakibat terjadinya oedema otak, hal ini juga dapat menimbulkan perdarahan
otak.
2. Anuria atau oliguria
Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia, keadaan ini
dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya yang disertai dengan
perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung akan lebih banyak mengalir
ke organ seperti mesentrium dan ginjal. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya
hipoksemia pada pembuluh darah mesentrium dan ginjal yang menyebabkan
pengeluaran urine sedikit.
3. Kejang
Pada bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan pertukaran gas dan
transport O2 sehingga penderita kekurangan persediaan O2 dan kesulitan
pengeluaran CO2 hal ini dapat menyebabkan kejang pada anak karena perfusi
jaringan tidak efektif.
4. Koma
Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan menyebabkan
koma karena beberapa hal diantaranya yaitu hipoksemia dan perdarahan pada
otak.

F. Pencegahan dan Penanganan


Pencegahan yang komprehensif dimulai dari masa kehamilan persalinan dan
beberapa saat setelah persalinan. Pencegahan yang dilakukan berupa :
1. Melakukan pemeriksaan antenatal rutin minimal 4 kali kunjungan
2. Melakukan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih lengkap pada
kehamilan yang diduga beresiko bayinya lahir dengan asfiksia neonatorum
3. Memberikan terapi kortikosteroid antenatal untuk persalinan pada usia
kehamilan kurang dari 37 minggu
4. Melakukan pemantauan yang baik terhadap kesejahteraan janin dan deteksi
dini terhadap tanda-tanda asfiksia fetal selama persalinan dengan kardiotokografi
5. Meningkatkan ketrampilan tenaga obstetri dalam penanganan asfiksia
neonatorum di masing-masing tingkat pelayanan kesehatan
6. Meningkatkan kerjasama tenaga obstetri dalam pemantauan dan penanganan
persalinan
7. Melakukan Perawatan Neonatal Esensial yang terdiri dari :
a. Persalinan yang bersih dan aman
b. Stabilisasi suhu
c. Inisiasi pernapasan spontan
d. Inisiasi menyusu dini
e. Pencegahan infeksi serta pemberian imunisasi
Penatalaksanaan khusus pada bayi asfiksia neonatorum adalah dengan
tindakan resusitasi segera setelah lahir. Resusitasi segera setelah lahir adalah
upaya untuk membuka jalan nafas, mengusahakan agar oksigen masuk tubuh bayi
dengan meniupkan nafas ke mulut bayi (resusitasi pernafasan), menggerakkan
jantung (resusitasi jantung) sampai bayi mampu bernafas spontan dan jantung
berdenyut spontan secara teratur.
Resusitasi dilakukan sesuai dengan tahap resusitasi dan sangat bergantung pada
derajat asfiksia (ringan, sedang dan berat), keadaan tidak bernafas disertai
gangguan fungsi jantung, keadaan tidak bernafas dengan keadaan jantung tidak
berdenyut, serta ada tidaknya aspirasi mekonium. Pada asfiksia berat diperlukan
pemasangan endotrakheal tube. Natrium Bikarbonat hanya diberikan pada
keadaan asidosis metabolik dan diberikan secara hati-hati, karena cairan ini
bersifat hipertonis yang memudahkan terjadinya perdarahan intracranial.
Selain tindakan resusitasi, bayi dengan asfiksia neonatorum juga membutuhkan
terapi suportif dan terapi medikamentosa. Terapi suportif diberikan dalam bentuk
cairan infus dextrose 5-10% untuk mencegah hipoglikemia, cairan elektrolit untuk
mencukupi kebutuhan elektrolit dan pemberian oksigen yang adekuat. Terapi
medikkamentosa dimaksudkan untuk mencegah terjadinya oedema cerebri dengan
pemberian kortikosteroid (masih kontroversi) dan phenobarbital untuk melokalisir
perdarahan dan mengurangi metabolism serebral.
Pada intinya penanganan asfiksia pada bayi baru lahir yaitu dengan tindakan
resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal sebagai ABC
(Airway, Breath, Circulation) resusitasi, yaitu :
1. Memastikan saluran terbuka
a. Meletakkan bayi dalam posisi kepala defleksi dan bahu diganjal 2-3 cm
b. Menghisap mulut, hidung dan kadang trachea
c. Bila perlu masukkan pipa endo trachel (pipa ET) untuk memastikan saluran
pernafasan terbuka
2. Memulai pernafasan
a. Memakai rangsangan taktil untuk memulai pernafasan
b. Memakai VTP bila perlu seperti : sungkup dan balon pipa endotrakheal dan
balon atau mulut ke mulut (hindari paparan infeksi)
3. Mempertahankan sirkulasi
a. Rangsangan dan pertahankan sirkulasi darah
b. Kompresi dada
c. Pengobatan

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Asfiksia neonatorum merupakan masalah pada bayi baru lahir dengan angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Dalam rangka menurunkan Angka
Kematian Perinatal dan Angka Kematian Neonatal Dini, masalah ini perlu segera
ditanggulangi dengan berbagai macam cara dan usaha mulai dari aspek promotif,
kuratif dan rehabilitatif.

B. Saran
Dari hasil kesimpulan yang telah dikemukakan maka dapat diberikan saran-
saran sebagai bahan masukan bagi pihak yang bersangkutan dalam rangka
meningkatkan kualitas dalam pemberian obat antidiuretik guna menunjang
peningkatan kualitas kesehatan ibu sehingga dapat menjadi literatur guna
mendukung peningkatan kualitas pelayanan kesehatan khususnya kesehatan ibu
dan bayi.
DAFTAR PUSTAKA

Aliyah Anna, dkk. 1997. Resusitasi Neonatal. Jakarta : Perkumpulan


perinatologi Indonesia (Perinasia).
http://kampusdokter.blogspot.com/2012/12/asfiksia-neonatorum.html.
Diunduh pada tanggal 24 Desember 2013 pukul 09.30 WIB.
Manuaba, I. 1997. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga
Berencana Untuk Pendidikan Bidan Kedokteran. Jakarta : EGC.
Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.
Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardj

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Asfiksia pada bayi baru lahir (BBL) adalah kegagalan nafas secara spontan
dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir.
B. Prinsip dasar
 Asfiksia merupakan penyebab kematian neonatal yang paling tinggi. Menurut
SKRT 2001, 27% kematian neonatal diakibatkan oleh asfiksia dan angka
kematian sekitar 41,94% di RS pusat rujukan provinsi.
 Asfiksia perinatal dapat terjadi selama anterpartum, intrapartum maupun
postpartum
 Asfiksia selain dapat menyebabkan kematian dapat mengakibatkan kematian
C. Langkah promotive dan preventive
Sebetulnya asfiksia pada BBL, dapat dicegah, maka sebaiknya dilakukan
tindakan pencegahan sebagai berikut :
 Pemeriksaan selama kehamilan secara teratur yang berkualitas
 Meningkatkan status nutrisi ibu
 Manajemen persalinan yang baik dan benar
 Melaksanakan pelayananneonatal esensial terutama dengan melakukan resusitasi
yang baik dan benar yang standar
D. Fisiologi pernafasan bayi baru lahir
Oksigen sangat penting untuk kehidupan sebelum dan sesudah persalinan.
Selama di dalam Rahim, janin mendapatkan oksigen dan nutrient dari ibu melalui
mekanisme difusi melalui plasenta yang berasal dari ibu diberikan kepada darah
janin. Sebelum lahir, alveoli paru bayi menguncup dan terisi oleh cairan. Paru
janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan untuk mengeluarkan CO2
( karbondioksida) sehingga paru tidak perlu diperfusi atau dialiri darah dalam
jumlah besar.
Setelah lahir, bayi tidak berhubungan dengan plasenta lagi sehingga dan
akan segera bergantung kepada paru sebagai sumber utama oksigen. Oleh karena
itu, maka beberapa saat sesudah bayi lahir paru harus segera terisi oksigen dan
pumbuluh darah paru harus berelaksasi untuk memberikan perfusi pada alveoli
dan menyerap okesigen untuk diedarkan ke seluruh tubuh.
E. Reaksi bayi pada masa transisi normal
Biasanya BBL akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke dalam
paru. Hal ini mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan interstitial
di paru, sehingga oksigen dapat dihantarkan ke arteri pulmonal dan menyebabkan
arteriole berelaksasi. Jika keadaan ini terganggu maka arteriole pulmonal akan
tetap konstriksi dan pembuluh darah ateri sistemik tidak mendapat oksigen
sehingga tidak dapat memberikan perfusi ke organ tubuh yang palinag penting
seperti otak, jantung, ginjal dan lain-lain. Bila keadaan ini berlangsung lama maka
menyebabkan kerusakan jaringan otak dan organ lain yang dapat menyebabkan
kematian atau kecacatan
F. Patofisiologi
Asfiksia adalah keadaan bayi baru lahir tidak bernafas secara spontan dan
teratur. Sering sekali seorang bayi yang mengalami gawat janin sebelum
persalinan akan mengalami asfiksia sesudah persalinan. Masalah ini mungkin
berkaitan dengan kondisi ibu, masalah pada tali pusat dan plasenta atau masalah
pada bayi selama atau sesudah persalinan.
G. Perubahan yang terjadi pada saat asfiksia
Pernafasan adalah tanda vital pertama yang berhenti ketika BBL
kekurangan oksigen. Pada periode awal bayi akan mengalami nafas cepat ( rapis
breathing) yang disebut dengan gasping primer. Setelah periode awal ini akan
diikuti dengan keadaan bayi tidak bernafas (apnu) yang disebut apnu primer. Pada
saat ini frekuensi jantung mulai menurun, namun tekanan darah masih tetap
bertahan.
Bila keadaan ini berlangsung lama dan tidak dilakukan pertolongan pada
BBL, maka bayi akan melakaukan usaha nafas megap-megap yang disebut
gasping sekunder dan kemudian masuk kedalam priode apnu sekunder. Pada saat
ini frekuensi janyung semakin menurun dan tekanan darah semakin menurun dan
bisa menyebabkan kematian bila bayi tidak segera ditolong. Sehingga setiap
menjumpai kasus degan apnu, hurus dianggap sebagi apnu sekunder dan segera
dilakukan resusitasi.
H. Penyebab asfiksia
Asfiksia pada BBL dapat disebabkan oleh karena factor ibu, factor dan
factor tali pusat atau plasenta
Factor ibu :
Keadaan ibu yang dapat mengakibatkan alira darah ibu melalui placenta
berkurang, sehingga aliran oksigen ke janin bekurang akibatnya akan
mengakibatkan gawat janin dan akan berlanjut sebagai asfiksia BBL, antara lain :
 Preeklamsi dan eklamsi
 Perdarahan antepartum abnormal ( plasenta previa dan sousio placenta)
 Partus lama atau partus macet
 Demam sebelum dan selama persalinan
 Infeksi berat ( malaria, sifilis, TBC< HIV)
 Kehamilan lebih bulan ( > 42 minggu kehamilan )
Factor placenta dan tali pusat
Keadaan plasenta atau tali pusat yang dapat mengakibatkan asfiksia BBL
akibat penurunan aliran darah dan oksigen melalui talipusat bayi
 Infark placenta
 Hematoma placenta
 Lilitan tali pusat
 Prolapses tali pusat
 Tali pusat pendek
 Simpul tali pusat
Factor bayi
Keadaan bayi yang dapat menagalami asfiksia walaupun kadang-kadang tanpa
didahului tanda gawat janin:
 Bayi kurang bulan / premature (>37 minggu kehamilan )
 Air ketuban bercampur meconium
 Kelainan kongenital yang memberi dampak pada pernafasan bayi

I. Diagnosis
Anamnesia :
 Gangguan atau kesulitan waktu lahir ( lilitan tali pusat, sungsang, ekstraksi
vacuum, forcep)
 Lahir tidak bernafas/menangis
 Air ketuban bercampur meconium
Pemeriksaan fisik :
 bayi tidak bernafas atau nafas megap-megap
 denyut jantung kurang dari 100x/menit
 kulit sianosis pucat
 tonus otot menurun
 untuk diagnosis asfiksia tidak perlu menunggu nilai skor APGAR
J. Manajemen
Persiapan Resusitasi BBL
 Persiapan yang diperlukan adalah :
a. Persiapan keluarga.
Bicarakan dengan keluarga mengenai kemungkinan-kemungkinan yang dapat
terjadi pada ibu dan bayi dan persiapan persalinan, sebelum melakukan
pertolongan persalinan
b. Persiapan tempat.
Meliputi ruang bersalin dan tempat resusitasi.
- Gunakan ruangan yang hangat dan terang
- Tempat resusitasi hendaknya datar, rata, cukup keras, bersih, kering dan hangat,
misalnya meja, dipan atau diatas lantai beralaskan tikar.
Sebaiknya dekat pemancar panas 60 cm (lampu 60 watt atau lampu petromak
dengan jarak 60 cm dari meja resusitasi. Nyalakan lampu menjelang persalinan.
c. Persiapan alat untuk resusitasi
Sebelum menolong persalinan, siapkan alat-alat resusitasi dalam keadaan siap
pakai, selain menyiapkan alat-alat pertolongan persalinan, yaitu :
1. Tiga (3) helai kain yang berguna untuk : kain 1 untuk mengeringkan badan bayi,
kain ke 2 untuk menyelimuti bayi dan kain ke 3 untuk mengganjal bahu.
2. Alat penghisap lendir DeLee atau bola karet
3. Alat ventilasi (Tabung dan sungkup dengan bantalan udara untuk bayi cukup
bulan atau prematur.
4. Kotak alat resusitasi
5. Sarung tangan
6. Stetoskop
7. Jam atau pencatat waktu.
d. Persiapan diri Bidan
1. Memakai alat pelindung diri pada saat menolong persalinan.
2. Melepaskan perhiasan, cincin, jam tangan sebelum mencuci tangan.
3. Mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau dengan campuran alkohol
dan gliserin.
4. Mengeringkan dengan kain/tisu bersih
5. Menggunakan sarung tangan sebelum menolong persalinan
Keputusan Untuk Melakukan Resusitasi BBL
1. Penilaian
Sebelum bayi lahir :
* Apakah kehamilan cukup bulan atau tidak?
* Apakah air ketuban jernih, tidak bercampur mekonium (warna
kehijauan)?
Segera setelah bayi lahir :
* Menilai apakah bayi menangis atau bernapas/ tidak megap-megap?
*Menilai apakah tonus otot bayi baik/bayi bergerak aktif?
2. Keputusan
Memutuskan bayi perlu resusitasi jika :
* Bayi tidak cukup bulan dan atau
* Air ketuban bercampur mekonium dan atau
* Bayi megap-megap/ tidak bernapas dan atau
* Tonus otot bayi tidak baik atau bayi lemas.

1. Resusitasi
 Begitu bayi lahir tidak menangis, maka dilakukan langkah awal yang terdiri dari:
 hangatkan bayi di bawah panas atau lampu
 posisikan kepala bayi sedikit ekstensi
 isap lender dari mulut kemudian hidung
keringakan bayi sambil merangsang taktil dengan menggosok punggung atau
menyentil ujung jari kaki dan mengganti kain yang basah dengan yang kering.
 Reposisi kepala bayi
 Nilai bayi : usaha nafas, warna kulit dan denyut jantung
 Bila bayi tidak bernafas lakukan ventilasi tekanan positif ( VTP) dengan memakai
balon dan sungkup selama 30 detik dengan kecepatan 40-60 kali per menit
 Nilai bayi : usaha nafas , warna kulit dan denyut jantung
 Bila belum bernafas dan denyut jantung, 60x /menit, beri epinefrin dan lanjutkan
VTP dan kompresi dada secara terkoordinasi selama 30 detik
 Nilai bayi : usaha napas, warna kulit dan denyut jantung
 Bila dengan jantung < 60x/menit, beri epinefrin dan lanjutkan VTP dan kompresi
dada
 Bila denyut jantung >60x/menit kompresi dada dihentikan , VTP dilanjutkan
 Pemasangan pipa ET bisa dilakukan pada setiap tahapan resusitasi

K. Terapi medikamentosa
Epinefrin
Indikasi :
 Denyut jantung bayi <60x/m setelah paling tidak 30 detik dilakukan ventilasi
adekuat dan kompresi dada belum ada respons
 Asistolik
Dosis : 0,1-0,3 ml/kgBB dalam larutan 1:10.000 (0,01 mg-0,03mg/kgBB)
Cara : IV atau endotrakeal. Dapat diulang stiap 3-5 menit bila perlu

Cairan pengganti volume darah


Indikasi :
 Bayi baru lahir yang dilakukan resusitasi mengalami hipovolemia dan tidak ada
respon dengan resusitasi
 Hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syock. Kliniis ditandai
dengan adanya pucat, perfusi buruk,nadi kecil/lemah dan pada resusitasi tidak
memberiakan respon yang adekuat.
Jenis cairan :
 Larutan kristaloid yang isotonis ( NaCl 0,9 % atau RL)
 Transfusi darah gol.O negatif jika diduga kehilangan darah banyak dan bila
fasilits tersedia.
Dosis : dosis awal 10ml/kgBB IV pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang sampai
menunjukan respons klinis.
Bikarbonat
Indikasi :
Asidosis metabolik secara klinik ( nafas cepat dan dalam, sianosis)
Prasyarat : bayi telah dilakukan ventilasi dengan efektif
Dosis : 1-2 mg/kgBB atau 2 ml/KgBB (4,2%) atau 1 ml/kgBB (7,4%)
Cara : diencerkan dengan aquabides atau dektrose 5% sama banyak diberikan
secara IV dengan kecepatan minimal 2 menit
Efek samping : pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO2 dari
bikarbonat merusak fungsi miokardium dan otak

L. Tindakan Setelah Resusitasi


Setelah melakukan resusitasi, maka harus dilakukan tindakan :
Pemantauan pasca resusitasi
Sering sekali bahwa setelah dilakukan resusitasi dan berhasil, bayi dianggap
sudah baik dan tidak perlu dipantau, pada hal bayi masih mempunyai potensi atau
resiko terjadinya hal yang fatal, misalnya hipoglikemia dan kejang. Untuk itu ,
pasca rsusitasi harus tetap dilakukan pengawasan sebagai berikut :
- Bayi harus dipantau secara khusus :
 Bukan dirawat secar rawat gabung
 Pantau tanda vital : nafas, jantung, kesadaran dan produksi urin
 Jaga bayi agar senantiasa hangat
 Bila tersedia fasilitas , periksa kadar gula
 Perhatian khusus diberikan pada waktu malam hari
- Berikan imunisasi hepatitis B pada saat bayi masih dirawat dan polio pada saat
pulang
Kapan harus merujuk :
Rujukan paling ideal adalah rujukan antepartum untuk ibu resiko tinggi
atau komplikasi
Kapan menghentikan resusitasi :
Resusitasi dinilai tidak berhasil jika :
Bayi tidak bernafas spontan dan tidak terdengar denyut jantung setelah
dilakukan resusitasi secara efektif selama 15 menit.

a) Dekontaminasi, mencuci dan mesterilkan alat


b) Membuat catatan tindakan resusitasi
c) Keonseling pada keluarga

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Jadi dapat disimpulkan asfiksia merupakan salah satu bentuk
kegawatdaruratan maternal dan neonatal yang memerlukan penanganan lebih
lanjut dan cepat. Maka penangan medis dan persiapan rujukan sangat diperlukan
untuk menangani masalah asfiksia.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Waspodo,Djoko SpOG(K), dkk. Pelatihan pelayanan obstetri neonatal
emergency dasar. Depkes RI. 2005. Jakarta.

JNPK-KR/POGI. Pelatihan asuhan persalinan normal. Revisi 2007.JHPIEGO

Anda mungkin juga menyukai