Anda di halaman 1dari 5

FARMAKOLOGI

PHENYTOIN
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya

Oleh:

Sabila Tazqia Rakhmani

21604101041

Pembimbing:

Prof. Dr.HM.Aris Widodo, MS, Sp.FK, PhD

KEPANITERAAN KLINIK MADYA

LABORATORIUM FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG


2018
OBAT UNTUK EPILEPSI
Golongan Mekanisme Kerja
HIDANTOIN
Fenitoin, mefentoin dan etotoin Memblokade pergerakan ion melalui kanal natrium
dan menghambat kanal kalsium (Ca 2+) dan
menunda aktifasi aliran ion K keluar selama
potensial aksi
BARBITURAT
fenobarbital dan primidon Menurunkan konduktan Na dan K. Menurunkan
influx kalsium dan mempunyai efek langsung
terhadap reseptor GABA
OKSAZOLIDINDION
trimetadion memperkuat depresi pasca transmisi sehingga
transmisi impuls berurutan
dihambat
SUKSINIMIDA
etosuksimid, metsuksimid Inhibisi canal Ca2+ pada neuron thalamus
dan fensuksimid
TRISIKLIK
Karbamazepin menghambat kanal Na+ yang mengakibatkan influx
(pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel
berkurang
BENZODIAZEPIN Meningkatkan inhibisi GAB secara langsung pada
kompleks GABA dan kompleks Cl
ASAM VALPROAT menghambat sodium chanel dan meningkatkan
GABA dengan menghambat degradasinya
atau mengaktivasi sintesis GABA

MEKANISME KERJA ANTIEPILEPSI


Pada prinsipnya, obat antiepilepsi bekerja untuk menghambat proses inisiasi
dan penyebaran kejang. Dengan demikian secara umum ada dua mekanisme kerja
obat antiepilepsi yaitu peningkatan inhibisi ( GABA – ergik) dan penurunan
eksitasitasi yang kemudian memodifikasi konduksi ion Na+ , Ca2+ , K+ , dan Cl-
atau aktivasi neurotransmitter. Namun, umumnya obat antiepilepsi lebih cenderung
bersifat membatasi proses penyebaran kejang daripada mencegah proses inisiasi.

FENITOIN
Fhenytoin merupakan obat yang efektif digunakan untuk kejang parsial dan
kejang tonik-klonik. Fhenytoin termasuk golongan obat antikonvulsi yang digunakan
untuk mengobati penyakit epilepsi. Fenitoin adalah bubuk kristal yang larut dalam
lemak adalah asam lemah dan memiliki pKa di kisaran 8,3-9,2, sehingga larut dalam
larutan basa. Biasanya, obat ini diberikan kepada pasien sebagai garam sodium.
Adanya gugus fenil atau aromatik lainnya pada atom C5 penting untuk efek
pengendalian bangkitan tonik-klonik; sedangkan gugus alkil bertalian dengan efek
sedasi, sifat yang terdapat pada mefenition dan barbiturat, tetapi tidak pada fenitoin.
Adanya gugus metil pada atom N3 akan mengubah spektrum aktivitas misalnya
mefenitoin, dan hasil N demetilasi oleh enzim mikrosom hati menghasilkan metabolit
tidak aktif.

1. Farmakodinamik
Bekerjanya terutama pada korteks motoris dimana aktivitas bangkitan
dihambat penyebarannya. Kemungkinan dengan mempercepat pengeluaran Natrium
dari neuron-neuron. Phenytoin cenderung menstabilkan ambang kejang terhadap
kepekaan yang berlebihan yang disebabkan oleh rangsangan berlebihan atau
perubahan-perubahan lingkungan yang dapat mengurangi derajat membran terhadap
Natrium termasuk pengurangan potensiasi pasca tetanik pada sinap. Pengurangan
potensiasi pasca tetanik mencegah fokus bangkitan pada korteks untuk menjalar ke
daerah korteks disekitarnya. Phenytoin mengurangi aktivitas maksimum dari pusat
batang otak yang menyebabkan fase tonik dari bangkitan grand mal (Porter &
Meldrum, 1998).
Fenitoin berefek antikonvulsan tanpa menyebabkan depresi umum susunan
saraf pusat. Dosis toksik menyebabkan eksitasi dan dosis letal menimbulkan rigiditas
deserebrasi. Sifat antikonvulsan fenitoin didasarkan pada penghambatan penjalaran
rangsang dari fokus ke bagian lain di otak. Efek stabilisasi membran sel oleh fenitoin
juga terlihat pada saraf tepi dan membran sel lainnya yang juga mudah terpacu
misalnya sel sistem konduksi di jantung. Fenitoin juga mempengaruhi perpindahan
ion melintasi membran sel; dalam hal ini, khususnya dengan menggiatkan pompa
Na+ neuron. Bangkitan tonik-klonik dan beberapa bangkitan parsial dapat pulih
secara sempurna. Gejala aura sensorik dan gejala prodromal lainnya tidak dapat
dihilangkan secara sempurna oleh fenitoin.

2. Farmakokinetik
2.1 Absorpsi
Absorpsi fenitoin sangat berpengaruh pada formulasi bentuk dosis. Ukuran
partikel dan zat aditif mempengaruhi laju dan jumlah absorpsi. Absorpsi
natrium fenitoin dari saluran cerna pada sebagian besar pasien hampir
sempurna, meskipun waktu untuk untuk mencapai puncak berkisar antara 3-
12 jam. Absorpsi fenitoin yang diberikan per oral berlangsung lambat,
sesekali tidak lengkap. Bila dosis muatan (loading dose) perlu diberikan, 600
– 800 mg, dalam dosis terbagi 8 – 12 jam, kadar efektif plasma akan tercapai
dalam waktu 24 jam. Cara pemberian fenitoin melalui intramuskular tidak
dianjurkan, karena dapat terjadi pengendapan obat dalam otot (yaitu kira-kira
5 hari) sehingga absorpsi tidak dapat diperkirakan.
2.2 Distribusi
Obat ini tinggi berikatan pada protein (85-95%); berkurangnya protein atau
albumin serum menambah kadar fenitoin bebas dalam serum. Pada orang
sehat, termasuk wanita hamil dan wanita pemakai obat kontrasepsi oral, fraksi
bebas kira-kira 10% sedangkan pada pasien dengan penyakit ginjal, penyakit
hati atau penyakit hepatorenal dan neonatus fraksi bebas rata-rata di atas 5,8 –
12,6 %. Fenitoin terikat kuat pada jaringan saraf sehingga kerjanya bertahan
lebih lama; tetapi mula kerja lebih lambat daripada fenobarbital.
Fenitoin didistribusi ke berbagai jaringan tubuh dalam kadar yang berbeda-
beda. Setelah suntikan IV, kadar yang terdapat dalam otak, otot skelet dan
jaringan lemak lebih rendah daripada kadar di dalam hati, ginjal dan kelenjar
ludah.
2.3 Metabolisme
Biotramsformasi terutama berlangsung dengan cara hidroksilasi oleh enzim
mikrosom hati. Metabolit utamanya ialah derivat parahidroksifenil. Obat ini
menggunakan enzim P-450 enzim untuk metabolismenya. Biotransformasi
oleh enzim mikrosom hati sudah mengalami kejenuhan pada kadar terapi,
sehingga peninggian dosis akan sangat meningkatkan kadar fenitoin dalam
serum secara tidak proporsional. Oksidasi pada satu gugus fenil sudah
menghilangkan efek antikonvulsinya.
2.4 Ekskresi
Sebagian besar metabolit fenitoin diekskresikan bersama empedu, kemudian
mengalami reabsorpsi dan biotransformasi lanjutan dan diekskresi melalui
ginjal. Di ginjal, metabolit utamanya mengalami sekresi oleh tubuli,
sedangkan bentuk utuhnya mengalami reabsorpsi. Sedangkan dari dosis oral
sekitar 10% diekskresikan bersama tinja dalam bentuk utuh.

3. Efek samping obat


Salah satu kelemahan dari obat ini adalah bahwa hal itu menyebabkan efek
samping SSP dan sistemik. Penggunaan jangka panjang fenitoin juga
dikaitkan dengan terjadinya osteoporosis.
a. Efek samping pada Susunan Saraf Pusat : diplopia, ataksia, vertigo,
nistagmus, sukar berbicara (slurred speech) disertai gejala lain, misalnya
tremor, gugup, kantuk, rasa lelah, gangguan mental yang sifatnya berat, ilusi,
halusinasi sampai psikotik. Defisiensi folat yang cukup lama merupakan
faktor yang turut berperan dalam terjadinya gangguan mental. Efek samping
susunan saraf pusat lebih sering terjadi dengan dosis melebihi 0,5 gram sehari.
b. Efek samping pada Saluran Cerna dan Gusi : Nyeri ulu hati, anoreksia,
mual dan muntah, terjadi karena fenitoin bersifat alkali. Pemberian sesudah
makan atau dalam dosis terbagi, dapat mencegah atau mengurangi gangguan
saluran cerna. Proliferasi epitel dan jaringan ikat gusi dapat terjadi pada
penggunaan kronik, dan menyebabkan hiperplsia pada 20 % pasien. Edema
gusi mudah terjadi gingivitis, terutama bila kebersihan mulut tidak terjaga.
Pengobatan tidak perlu dihentikan pada gangguan gusi; dapat diringankan bila
kebersihan mulut dipelihara.
c. Efek samping pada Kulit : Efek samping pada kulit terjadi pada 2 – 5 %
pasien, lebih sering pada anak dan remaja yaitu berupa ruam morbiliform.
Beberapa kasus diantaranya biasanya disertai hiperpireksia, eosinofilia, dan
limfadenopati. Eritema multiform hemoragik sifatnya lebih berat dan dapat
fatal, karena itu bila terjadi ruam pada kulit sebaiknya pemberian obat
dihentikan, dan diteruskan kembali dengan berhati-hati bila kelainan kulit
telah hilang. Pada wanita muda, pengobatan fenitoin secara kronik
menyebabkan keratosis dan hirsutisme, karena meningkatkan aktivitas korteks
suprarenalis.
4. Interaksi obat
Penggunaan fenitoin dengan:
a. Amiodaron  Peningkatan konsentrasi hydantoin dalam
serum dengan gejala toksisitas. Hydantoins dapat menurunkan kadar
amiodarone dalam serum.
b. Dicumarol warfarin  Peningkatan konsentrasi hydantoin dalam
serum dengan kemungkinan toksisitas, serta peningkatan
risiko pendarahan
c. Bleomycin, Carboplatin, Carmustin, Cisplatin, Methotrexate,
Vinblastine  Konsentrasi fenitoin dalam serum, mungkin akan
menurun, yang mengakibatkan, hilangnya efek terapi
d. Chloramphenicol  Peningkatan konsentrasi fenitoin dalam
serum dengan potensi toksisitas. Konsentrasi kloramfenikol juga dapat
berubah.
e. Carbamazepin  Fenitoin mengurangi konsentrasi karbamazepin
dalam serum. Efek dari karbamazepin pada fenitoin adalah bervariasi.
f. Cimetidine  Peningkatan konsentrasi hydantoin dalam
serum, meningkatkan efek farmakologis. Penghambatan Metabolisme
simetidin di hati
g. Isoniazid  Konsentrasi hydantoin dalam serum dapat meningkat,
menghasilkan peningkatan efek farmakologis dan toksisitas
dari hydantoins. Isoniazid menghambat enzim mikrosomal hati yang
memetabolisme hydantoins.

Anda mungkin juga menyukai